Ket t as Ket ja to
Asep Su yahadi
A1ex A ifianto
Editot:
Nuning Ahhmadi
Yata Ke1o1a
Teme intah dan Tenanggu1angan Kemishin
Buhtiгbuhti Awa1 Desent a1isasi
di 7ndonesia Makalak dati Lembaga
Fenelitian
SM5RU, dengan dukungan dati
AusAID, tke Yotd Youndation,
dan DYID
Ma et 2004
Temuan, pandangan dan interpretasi dalam laporan ini digali oleh masing-masing
individu dan tidak mewakili Lembaga Penelitian SMERU maupun lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan SMERU. Kami dapat dihubungi di nomor telepo
D A Y A R 7S 7
ABSTRAK ii
I. F5NDAHULUAN l
K5FUSTAKAAN 37
LAMFIRAN 40
*)
Sudatno Sumatto, Asep Sutyakadi, Ale9 Atifianto
Abstra
Studi ini etupahan upa a petta a untuh enguji secata siste atih da pah dati ptahtehR
ptateh butuh tata helola pe etintakan di 1ndonesia tetkadap upa a penanggulangan
he ishinan. 1ndonesia telak la a engala i tata helola pe etintakan ang butuh, tetapi
juga telak betkasil engutangi he ishinan dala ju lak besat. Sebelu tetjadin a htisis
ehono i ulai pettengakan takun 199S, asalak tata helola pe etintakan ang butuh di
1ndonesia sudak tetlikat jelas tetapi diabaihan olek heban ahan otang hatena tetho pensasi
dengan tinggin a pettu bukan ehono i. Ahan tetapi, ti buln a htisis ehono i
e petjelas hesetiusan asalak ini. Fohus studi ini adalak elikat da pah tata helola
pe etintakan ang butuh tetkadap otang ishin, aitu helo poh ang sangat tentan
tetkadap da pah tata helola pe etintakan ang butuh. Dengan engki pun betbagai buhti
anehdotal dati betbagai su bet engenai bagai ana ptahtehRptahteh tata helola
pe etintakan ang butuh di 1ndonesia telak etugihan otang ishin, studi ini
enunjuhhan bakea da pah negatif tata helola pe etintakan ang butuh adalak n ata,
secata siste atih e pengatuki ban ah otang, dan engka bat upa aRupa a
penanggulangan he ishinan. Selanjutn a buhtiRbuhti ang disusun secata lebik siste atih
engenai bagai ana pelahsanaan tata helola pe etintakan ang butuh e pengatuki
upa a penanggulangan he ishinan enunjuhhan bakea daetakRdaetak ang elahsanahan
tata helola pe etintakan dengan lebik baih cendetung engala i pengutangan he
ishinan
ang lebik cepat dan de ihian pula sebalihn a.
*)
Penulis berterima kasih pada Sulton Mawardi dan Wenefrida Widyanti atas ban tuan risetnya,
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), LPEM FE Universitas Indonesia, dan
Badan Pusat Statistik (BPS) atas akses terhadap data. Semua kekeliruan dan kekurangan dalam tulisan
ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Ktisis ekonomi di Indonesia yang tetus betlangsung mulai takun l997 telak
menimbulkan pemikitan kembali tentang pengentasanpenanggulangan kemiskinan.
Tingkat pettumbukan ekonomi yang tinggi di Indonesia yang betlangsung sekitat
30 takun telak betkasil menutunkan angka kemiskinan absolut secata signifikan.
Mulai takun l970⁄an kingga awal l990⁄an, angka kemiskinan betkasil ditutunkan
sebesat 50 petsen. Namun, sejak ktisis betlangsung mulai pettengakan l997, angka
kemiskinan naik dua kali lipat, sekingga mengkapus ptestasi tetsebut, dan
membuat upaya pengentasanpenanggulangan kemiskinan kembali menjadi sesuatu
yang mendesak untuk dilaksanakan dengan setius (Sutyakadi, Sumatto, dan Ftitckett,
2003).
Fada saat yang sama, dalam upaya untuk mencati penyebab tetjadinya ktisis, masalak
tata kelola pemetintakan menjadi sesuatu yang penting. juga. Ada kipotesis bakwa
tata kelola pemetintakan yang butuk ⁄secata populet disebut KKN (kotupsi, kolusi,
dan nepotisme)⁄ telak melemakkan kondisi ekonomi Indonesia, dan membuat
Indonesia menjadi mudak tetsetang ktisis ekonomi secata petiodik. KKN menjadi citi
kkas pemetintakan Otde Batu, yang tetkenal sangat mentoletit ptaktek KKN baik
yang dilakukan secata kecil⁄kecilan olek pejabat tingkat bawak sebagai suatu cata
untuk mencati tambakan pengkasilan, maupun yang betskala taksasa yang dilakukan
olek keluatga penguasa (penguasa pada pemetintakan Otde Batu) dan ktoni meteka
melalui pengatutan kebijakan pemetintak yang menguntungkan bisnis meteka. Hal
ini seting dilakukan melalui ptaktek kolusi dalam bisnis ⁄ baik dengan domestik
maupun asing ⁄ dengan mengatasnamakan kepentingan publik. Fada akkit masa Otde
Batu, KKN memuncak melalui ptaktek nepotisme yang dilakukan olek keluatga
penguasa melalui pengangkatan anggota keluatga dan teman dekat ke dalam posisi
eksekutif dan legislatif (King, 2000; dan McLeod, 2000).
Tata kelola pemetintakan yang butuk dalam masa Otde Batu dan pemetintakan
penggantinya telak membuat Indonesia masuk ke dalam daftat negata paling kotup di
dunia untuk bebetapa lama. Meskipun demikian, katena sebelum ktisis Indonesia
mengalami pettumbukan ekonomi yang pesat, ptoblem ini diabaikan olek pembuat
kebijakan. Untuk banyak otang, pettumbukan ekonomi ini sudak cukup sebagai
kompensasi ketugian dan inefisiensi yang timbul dati tata kelola pemetintakan yang
butuk tetsebut. Timbulnya ktisis ekonomi menunjukkan setiusnya masalak KKN ini.
MFR bakkan telak mengeluatkan ketetapan untuk menciptakan pemetintakan yang
betsik dan tata kelola pemetintakan yang baik di Indonesia. Namun, upaya untuk
mencapainya tetbukti sangat sulit dan sepettinya mustakil (Hamilton⁄Hatt, 200l; dan
Sketlock, 2002).
Mataknya ptaktek KKN sepetti itu antata lain ditenggatai sebagai akibat dati
sistem pemetintakan yang betsifat senttalistik⁄monolistik. Olek katena itu salak
satu jalan ke luat untuk mengutanginya adalak dengan menetapkan sistem
pemetintakan yang betsifat desenttalistik⁄pattisipatif. Betkaitan dengan ini,
kebijakan pelaksanaan desenttalisasi dan otonomi daetak (otda) yang
dilaksanakan mulai Januati 200l, membetikan wadak bagi tetselenggatanya
sistem pemetintakan sepetti itu, dan katapan bagi tetwujudnya tata kelola
pemetintakan yang baik metupakan suatu keniscayaan. Optimisme ini didasatkan
pada pettimbangan bakwa otda secata konseptual ditancang dengan
mengedepankan aspek⁄aspek pemetintakan yang baik, sepetti demoktasi, pattisipasi,
keadilan, pemetataan dengan mempetkatikan potensi dan keanekatagaman daetak,
dan bettanggungjawab. Fetsoalannya kemudian adalak apakak dalam ptakteknya
otda dapat mewujudkan tata kelola pemetintakan yang baik sepetti yang
dicita⁄citakan? Atau apakak kebijakan ini sekedat metupakan ’edisi lain’ dati sistem
pemetintakan sebelumnya yang satat KKN sekingga pesimisme sepetti
dikemukakan olek Hamilton⁄Hatt (200l) dan Sketlock (2002) tetsebut
mendapat pembenatan?
Untuk mencoba mengutaikan isu⁄isu tetsebut, makalak ini dibagi menjadi tiga
bagian. Bagian pettama membakas betbagai teoti dan definisi tentang tata kelola
pemetintakan dalam kubungannya dengan kemiskinan dan kotupsi dalam konteks
Indonesia maupun intetnasional. Selanjutnya bagian ke dua akan membakas kasil
kajian penulis tentang tata kelola pemetintakan dan kemiskinan di Indonesia.
Untuk bagian ini, penulis mengumpulkan bebetapa temuan kasus mengenai
bagaimana tata kelola pemetintakan yang butuk telak metugikan kaum miskin, dan
menyajikan analisis yang lebik sistematis tentang bagaimana tata kelola
pemetintakan mempengatuki upaya penanggulangan kemiskinan. Tetakkit,
betdasatkan temuan⁄ temuannya, makalak ini membetikan satan kebijakan.
Tata kelola pemetintakan metupakan suatu konsep lama yang betasal dati teoti
politik demoktasi awal yang membakas kubungan antata penguasa dengan takyat.
Sebagai contok, pada abad ke l9 Voodtow Vilson mendefinisikan tata kelola
pemetintakan sebagai “sebuak pemetintakan yang dengan benat dan betkasil
melaksanakan suatu kebijakan dengan mempetkatikan tingkat efisiensi dan dengan
mengeluatkan biaya dan tenaga yang paling sedikit” (dikutip olek LaFotte 2002:3).
Ada bebetapa definisi yang betbeda tentang tata kelola pemetintakan yang diajukan
olek lembaga donot bilatetal dan multilatetal. Bank Dunia (l992) mendefinisikan tata
kelola pemetintakan yang baik sebagai:
Suatu pela anan publih ang efisien, sebuak siste petadilan ang dapat
dipetca a, dan sebuak ad inisttasi pe etintakan ang bettanggungjaeab
hepada publih... Yata helola pe etintakan ang baih, bagi Banh Dunia,
bethaitan etat dengan anaje en pe bangunan ang baih… [1ni] sangat
penting untuh e buat dan enciptahan suatu linghungan ang enduhung
betlangsungn a pe bangunan ang huat dan etata, dan ini etupahan suatu
ho ponen ang penting untuh e buat hebijahan ehono i ang baih.
Lebik lanjut, Bank Dunia (l992) mendefinisikan tiga dimensi tata kelola
pemetintakan: (l) bentuk suatu tezim politik (patlementet atau ptesidensial,
pemetintakan militet atau sipil, dan ototitet atau demoktatis); (2) ptoses di mana
kewenangan dilaksanakan dalam manajemen sumbet ekonomi dan sosial suatu
negata; dan (3) kapasitas pemetintak untuk metancang, membentuk, dan
melaksanakan kebijakan, dan secata umum kapasitas untuk melaksanakan fungsi⁄
fungsi pemetintakan.
Tetakkit, ekonom Bank Dunia Daniel Kaufmann, Aatt Ktaay, and Fablo Zoido⁄
Lobation (l999) mendefinisikan tata kelola pemetintakan yang baik sebagai:
Betsamaan dengan pemikitan batu tentang tata kelola pemetintakan, lembaga donot
juga menyusun pemikitan batu tentang kemiskinan dan kubungan antata ke dua
konsep tetsebut. Meteka menyadati bakwa kemiskinan metupakan suatu konsep
multidimensi dan tidak tetbatas pada konsep ekonomi saja. Selain kekutangan
pendapatan, kaum miskin juga mendetita dati kekutangan/ketidakadaan pelayanan
publik (telepon, listtik, ait, ttanspottasi umum, satana kesekatan, pendidikan,
ktedit, dll) dan kekutangan kesempatan betpattisipasi dalam pengambilan
keputusan ekonomi, sosial, dan politik di dalam tingkat lokal, tegional, dan
nasional. Katena itu, kaum miskin seting metasa tetpinggitkan dan tidak betdaya
pada saat kak⁄kak meteka dilanggat dan dieksploitasi olek kaum kaya dan betkuasa
(5id, 2000).
Betdasatkan pengalaman selama 50 takun lebik dalam pembetian bantuan luat negeti
ke negata sedang betkembang, kini negata maju dan lembaga peminjam multilatetal
betkesimpulan bakwa kal⁄kal betikut ini sangat dipetlukan untuk penanggulangan
kemiskinan, katena:
b. Tata kelola pemetintakan yang baik sangat dipetlukan apabila selutuk aspek
kemiskinan ingin dituntaskan, tidak kanya melalui kenaikan pendapatan saja,
tetapi juga melalui peningkatan kemampuan kaum miskin dan peningkatan
peluang ekonomi, politik, dan sosial meteka (Bla9all, 2000; 5id, 2000).
KKN, lawan dati tata kelola pemetintakan yang baik, didefinisikan olek Bank Dunia
sebagai penyalakgunaan jabatan publik untuk mendapatkan keuntungan ptibadi.
Fakat KKN tetkenal Robett Klitgaatd (l988) mengatakan bakwa KKN lebik mudak
tetjadi dalam lingkungan dimana pejabat mempunyai konttol monopoli tetkadap
aset⁄aset negata dan kewenangan yang cukup tinggi atas siapa yang dapat menikmati
aset⁄aset tetsebut, dan pada saat yang sama mekanisme yang membuat pata pejabat
ini bettanggung jawab atas petbuatan meteka sangat lemak, bakkan tidak ada sama
sekali. KKN metupakan suatu gejala tata kelola pemetintakan yang butuk dan
menjadi kendala besat bagi upaya penanggulangan kemiskinan. Meskipun di waktu
lampau sejumlak pakat menyimpulkan bakwa KKN dapat meningkatkan efisiensi
ekonomi di negata⁄negata dimana tetdapat tegulasi yang membebankan dan petan
1
pemetintak dalam petekonomian amat besat, saat ini sebagian besat pakat
KKN menilai bakwa KKN mengkambat pettumbukan ekonomi, metusak institusi
politik dan sosial, dan mengkambat tujuan penanggulangan kemiskinan.
Kkususnya tetkadap kaum miskin, KKN dapat menimbulkan beban bagi meteka,
baik secata langsung maupun tidak langsung.
Ada bebetapa jalut di mana KKN dapat membuat usaka penanggulangan kemiskinan
tidak efektif: (l) KKN menyebabkan dana untuk penanggulangan kemiskinan
disalakgunakan olek pejabat yang kotup; (2) KKN menyebabkan alokasi anggatan
pemetintak untuk penanggulangan kemiskinan dialikkan ke ptoyek yang lebik
cocok dengan eested intetest dati pejabat kotup; (3) KKN menyebabkan ekonomi
biaya tinggi, mengkambat pembangunan ekonomi yang sekat dan kondusif yang
penting untuk kemajuan usaka kaum miskin; (4) KKN metusak kak milik kaum
miskin, katena pejabat kotup seting menggusut meteka yang miskin dati tumak
dan tanak milik meteka agat dapat dijadikan ptoyek olek pengembang yang
betkolusi dengan meteka; dan (5) KKN mengkambat kaum miskin untuk
mempetolek keadilan di pengadilan, katena pejabat pengadilan yang kotup
“menjual” keputusan meteka ke pikak yang mampu membeli putusan tetsebut, dan
dengan demikian otomatis membuat keputusan pengadilan memikak kepada
golongan yang lebik kaya.
KKN juga dapat metugikan kaum miskin secata tidak langsung melalui: (l)
menaikkan katga⁄katga batang dan pelayanan yang katus dibayat olek kaum miskin;
(2) menutunkan pendapatan kaum miskin melalui pajak sepatuk tesmi dan tidak
tesmi, atau melalui tettibusi; (3) mengalikkan bantuan untuk kaum miskin ke pikak
yang tidak betkak mempetoleknya; (4) menyebabkan ketidakseimbangan aset
kepemilikan, katena meteka yang kaya dapat mempengatuki pemetintak untuk
mengambil kebijakan yang menguntungkan meteka (sepetti kemudakan petpajakan
atau nilai tukat mata uang); dan (5) menyebabkan kaum miskin enggan untuk
Dengan demikian, ada konsensus bakwa tata kelola pemetintakan yang baik
sangatlak penting agat dapat mendukung kegiatan penanggulangan kemiskinan yang
efektif dan untuk mengutangi KKN.
2.4. Studi Ma roe o omi A tar Negara te ta g Yata Ke1o1a Temeri taha da
KKN
Dalam l0 takun tetakkit tetdapat banyak litetatut yang menyelidiki dampak KKN
dan tata kelola pemetintakan tetkadap pettumbukan ekonomi dan indikatot
ekonomi dan sosial lainnya. Studi tetsebut umumnya menggunakan data antat negata
tentang KKN dan petsepsi atas tata kelola pemetintakan yang dikumpulkan baik olek
petusakaan kometsial (misalnya, Folitical Risk Setvices, Inc) dan olek lembaga
pemetintakan dan LSM intetnasional (misalnya, Bank Dunia dan Ttanspatency
Intetnational).
Sebuak studi Bank Dunia tetkenal yang dilakukan olek Kaufmann, Ktaay, and
2
Zoido⁄ Lobaton (l999) , menyimpulkan bakwa tata kelola pemetintakan yang baik
sangat penting dalam kinetja ekonomi suatu negata. Sebagai contok, kenaikan satu
standat deviasi pada salak satu indikatot tata kelola pemetintakan menyebabkan
kenaikan dua setengak sampai empat kali lipat dati pendapatan pet kapita,
penutunan dua setengak sampai empat kali lipat pada angka kematian bayi, dan
kenaikan sebesat l5 sampai 25 petsen pada angka kemampuan membaca penduduk.
Studi ini membetikan bukti kuat bakwa tata kelola pemetintakan yang baik
metupakan komponen yang penting untuk pettumbukan ekonomi dan peningkatan
indikatot sosial.
Studi lainnya olek Rajkumat and Swatoop (2002) menemukan bakwa efisiensi dalam
pengeluatan publik menutunkan angka kematian bayi/anak, menaikkan tingkat
pendidikan penduduk, dan betkubungan positif dengan tata kelola pemetintakan.
Fengeluatan publik menjadi lebik efektif apabila tetdapat tata kelola pemetintakan
yang baik dan menjadi kutang efektif apabila tetdapat tata kelola pemetintakan
yang butuk. Studi ini menyimpulkan bakwa institusi publik yang betfungsi dengan
baik metupakan suatu kal yang sangat penting untuk membuat pengeluatan publik
menjadi pelayanan publik yang baik.
Bebetapa studi yang mengaitkan KKN dan tata kelola pemetintakan yang baik
dengan indikatot ekonomi dan sosial menemukan bakwa tetdapat kubungan yang
etat antata keduanya. Tata kelola pemetintakan yang baik menaikkan nilai
indikatot⁄indikatot ini, sedangkan KKN cendetung menutunkannya. Gupta,
Davoodi and Alonso⁄Tetne (l998) menemukan bakwa apabila KKN naik sebesat
satu standat devisasi akan betakibat pada naiknya indeks Gini sebesat 4,4% dan
tutunnya tingkat pendapatan dati 20% penduduk tetmiskin sebesat 7,8% pet
takun. Sementata itu,
2
Mereka adalah yang pertama menyatukan berbagai indeks governance dan kerawanan politik yang
mengukur variabel-variabel seperti hak politik, kebebasan sipil, pemerintahan yang efektif, beban
regulasi, rule of law, dan KKN menjadi satu indeks.
Akkitnya, Hutket and Skak (l998) menemukan bakwa negata yang telak
melakukan desenttalisasi mempunyai tata kelola pemetintakan yang lebik baik
dibandingkan dengan negata yang menganut sistem senttalisasi. Meteka
menunjukkan bakwa pattisipasi watganegata dan akuntabilitas sektot publik
betkaitan etat dengan desenttalisasi pengambilan kebijakan sektot publik. Negata
yang menjalankan desenttalisasi cendetung lebik tesponsif tetkadap kekendak
watganegata dalam pelayanan publik dan lebik mempunyai keinginan melayani
publik dibandingkan dengan negata yang menganut sistem senttalisasi. Lebik lanjut,
desenttalisasi fiskal juga betkaitan etat dengan kenaikan pada indeks pembangunan
manusia (ku an deeelop ent index) dan penutunan tingkat ketimpangan pendapatan.
Meskipun demikian, adalak suatu kesalakan besat jika ada anggapan desenttalisasi
dengan senditinya akan dapat menaikkan pattisipasi dan akuntabilitas publik, dan
mengkasilkan pelayanan publik yang lebik baik. Sebuak studi olek Ctook and
Svettison (200l) menyimpulkan bakwa kanya di negata di mana pattisipasi publik
sudak melembaga, pemetintakan lokal yang menganut asas tata kelola pemetintakan
yang baik dan dapat mengkasilkan pelayanan publik yang baik, dan mempunyai
sistem ckechs and balances dati pemetintak pusat dan masyatakat umum, didapatkan
bakwa desenttalisasi betjalan dengan semestinya. Sebaliknya, desenttalisasi tanpa
pemetintak lokal yang tidak melaksanakan tata kelola pemetintakan yang baik dan
tidak bettanggung jawab tetkadap publik tidak akan betkasil mencapai tujuannya.
Dapat disimpulkan bakwa tata kelola pemetintakan yang baik sangat penting
untuk mencapai manajemen pelayanan publik yang lebik baik, yang kemudian
mengkasilkan pelayanan publik yang lebik baik, menaikkan pettumbukan
ekonomi, dan melakukan penanggulangan kemiskinan yang lebik baik.
Sejak Otde Batu betakkit, tetdapat minat yang besat untuk mengetakui betbagai
aspek KKN di Indonesia, sepetti sebetapa besat ptaktek KKN dan implikasinya
tetkadap masyatakat, tetutama bagi meteka yang miskin. Selain itu, juga tetdapat
minat untuk mengetakui apakak inisiatif anti KKN dan tefotmasi menuju tata kelola
pemetintakan yang baik yang dimulai sejak takun l998 telak membuakkan kasil
dengan menutunkan ftekuensi KKN di Indonesia. Betbagai kajian mengenai
pelaksanaan otonomi daetak juga telak memfokuskan petkatian tentang KKN dan
tata kelola pemetintakan pada tingkat lokal. Mengenai kal ini, banyak pikak yang
mengkkawatitkan bakwa betsamaan dengan adanya desenttalisasi dan otda, KKN
juga akan “didesenttalisasikan” dati tingkat pusat ke tingkat lokal. Baik lembaga
donot, lembaga penelitian, dan LSM telak mengadakan bebetapa penelitian
tentang masalak ini, bebetapa temuannya ditangkum pada bagian betikut.
3
Sebagai contoh, dengan membentuk pengadilan kepailitan yang baru dan pengangkatan hakim ad
hoc dari luar birokrasi.
Selain LF5M⁄UI, studi tentang iklim usaka (daya tatik investasi) juga dilakukan olek
Komisi Felaksana Femantauan Otonomi Daetak (KFFOD) pada takun 2002. Studi
ini memilik 90 Daetak Tingkat II (68 kabupaten dan 22 kota) dan mengukut
iklim usaka dengan melikat vatiabel⁄vatiabel sepetti keamanan, potensi ekonomi,
sumbet daya manusia, “budaya” pemetintak lokal, kualitas inftasttuktut, kualitas
Fetda, dan keuangan Femda. Studi ini menggunakan data ptimet (wawancata
dengan pengusaka, wattawan, dan pakat ekonomi) dan data sekundet (kliping
kotan/majalak dan infotmasi dati masyatakat). Hasil sutvei menunjukkan bakwa
daetak yang mempunyai kondisi keamanan lebik baik, “budaya” pejabat lokal dan
petatutan daetak lebik baik, dan sumbet daya manusia yang lebik baik pula,
mempunyai peluang lebik besat untuk dapat menatik minat investot. Temuan ini
sekali lagi mengkonfitmasikan bakwa tata kelola pemetintakan yang baik
metupakan suatu syatat bagi pengusaka untuk betinvestasi di suatu daetak.
Ada bebetapa kal yang petlu dipetkatikan ketika kita menganalisis studi⁄studi di
atas. Fettama, data yang dibutukkan untuk membuat studi tentang tata kelola
pemetintakan yang baik sulit sekali ditemukan (dan untuk melikat KKN secata
langsung tidak ada data obyektif). Meskipun data dapat ditemukan, data tetsebut
seting tidak dapat menjelaskan setiap dimensi tata kelola pemetintakan yang baik,
katena sepetti disampaikan di atas, tata kelola pemetintakan metupakan suatu
konsep multidimensi dengan betbagai intetptetasi yang betbeda. Betkubung tidak ada
satupun vatiabel yang dapat menjelaskan tata kelola pemetintakan dengan
semputna, maka penggunaan indikatot subyektif atau ptoksi metupakan kekatusan.
Ini betatti vatiabel yang dipetgunakan dalam studi bukanlak vatiabel yang
sebenatnya dipetgunakan untuk menjelaskan tata kelola pemetintakan secata
langsung. Katena itu seotang peneliti yang kutang betpengalaman dapat “dipetdaya”
olek data yang tetsedia. Meteka mungkin betpikit sedang mengukut suatu vatiabel
padakal sebenatnya meteka sedang mengukut vatiabel yang lain. Atau, meteka
mungkin betpikit sedang mengukut suatu efek lini pettama yang saling betkubungan
padakal sebenatnya vatiabel tetsebut adalak vatiabel lini ke dua, bakkan lini ke tiga
(Detkiet l999:37⁄38; Kaufmann, Ktaay, and Zoido⁄Lobaton l999:2).
Sebaliknya, apabila suatu studi tetfokus pada satu negata, masalak di atas dapat
dikutangi, katena sangat mungkin untuk memfokuskan studi pada bebetapa vatiabel
kebijakan yang spesifik yang dapat diobsetvasi dengan mudak. Meskipun jumlak studi
sejenis ini tetus betkembang namun pada saat ini studi tata kelola pemetintakan yang
tetfokus pada satu negata jumlaknya masik sangat tetbatas dibandingkan dengan
studi antat negata (Detkiet l999: 46⁄47).
Betkenaan dengan itu, studi tata kelola pemetintakan olek LF5M dan KFFOD yang
dilakukan betdasatkan opini panel pakat yang dipilik (sepetti pengusaka,
wattawan, dan pemimpin LSM), mungkin kutang bisa meteptesentasikan pendapat
masyatakat umum. Sangat bolek jadi meteka kutang mengetti keadaan daetak yang
sebenatnya sekingga infotmasi yang dipunyainya betkemungkinan tidak up to date
atau tidak akutat. Studi yang dilakukan FGRI mungkin lebik mempunyai validitas
katena sampelnya diambil dati masyatakat umum dan bukan dati sebuak gtup
pakat. Sayangnya, studi ini kanya membakas secata umum opini publik tentang gejala
KKN dan tidak secata spesifik membakas tentang tata kelola pemetintakan dan
KKN (sepetti kualitas petatutan daetak) sepetti yang dilakukan olek dua studi lainnya.
Ftaktek senttalisasi pemetintakan selama ini ditasakan sebagai suatu kambatan bagi
petkembangan daetak, katena itu selalu muncul petjuangan di banyak daetak untuk
memiliki kewenangan otonom yang nyata. Salak satu kewenangan nyata bagi
pemda yang otonom adalak dalam kal pengelolaan pendapatan asli daetak (FAD).
Dalam kaitan itu, di masa lalu pemda menetbitkan betbagai petatutan daetak
(petda) tentang pajak, tettibusi, dan pungutan lain yang sampai l996 jumlaknya
mendekati 200 jenis (CFIS, l996). Di samping itu, pemda juga mengeluatkan
betbagai kebijakan di seputat kegiatan usaka, tetutama melalui pengatutan
mekanisme petdagangan atau pasat. Bebetapa contok dati kebijakan itu adalak
tayonisasi penjualan tek di Jawa Batat, monopoli petdagangan jetuk di Kalimantan
Batat, pemasatan ptoduk lokal melalui kopetasi unit desa (KUD) di Nusa Tenggata
Timut, dan pelatangan jual⁄beli biji mede gelondongan dati Sulawesi Selatan.
Kebijakan setupa dikeluatkan juga olek pusat, sepetti pengatutan monopoli
cengkek olek Badan Fenyangga dan Femasatan Cengkek (BFFC) dan kuota
petdagangan tetnak antat pulau.
Secata tesmi tujuan kebijakan⁄kebijakan itu antata lain adalak untuk melindungi
ptodusen atau petani kecil. Namun dalam pelaksanaannya, betbagai petda dan
kebijakan itu lebik diatakkan untuk meningkatkan FAD, dan secata sengaja atau
tidak untuk melindungi kepentingan ekonomi kelompok⁄kelompok tettentu.
Keadaan itu pada gilitannya menciptakan ekonomi biaya tinggi yang mengganggu
iklim usaka, mempetlemak daya saing, dan mengkambat petkembangan ekonomi
daetak. Fenata layanan pungutan yang bitoktatis dengan banyak ptasyatat, setta
tidak ttanspatannya tatif dan dasat pungutan (pajak, tettibusi, dan “sumbangan”),
ketapkali memaksa masyatakat mengambil pilikan membayat kewajiban dengan tatif
tidak tesmi yang telatif lebik makal dan membetatkan bagi meteka. Namun,
kadang⁄ kadang wajib bayat pungutan dapat juga “metundingkan” besatnya biaya yang
katus dibayat. Keadaan sepetti ini, di satu pikak menimbulkan ekonomi biaya
tinggi, di pikak lain membuat sebagian penetimaan pemetintak (pusat dan daetak)
tidak masuk ke Kas Negata atau Kas Daetak. Fada titik ini, tata kelola pemetintakan
yang butuk yang dicitikan olek ptaktek KKN bitoktasi Femetintak Indonesia
mencapai puncaknya, bakkan dikenal sebagai salak satu bitoktasi yang tetkotup di
dunia.
Studi kasus yang dilakukan olek Montgomety et al. (2002) yang tetfokus pada sektot
pettanian, yakni sektot di mana sebagian besat otang miskin di Indonesia beketja,
membetikan pelajatan betkatga mengenai bagaimana ptaktek tata kelola
pemetintakan yang butuk metugikan kaum miskin di eta sebelum ktisis. Gambatan
singkat kemiskinan di sektot pettanian menunjukkan bakwa secata nasional sektot
ini mempunyai angka kemiskinan pet sektot tettinggi, juga memiliki jumlak otang
miskin tetbanyak (data pet Febtuati l999). Tingkat kemiskinan menutut kead count
Fungutan lokal dalam bentuk tettibusi mempunyai dampak yang lebik setius
dibandingkan dengan pajak lokal. Secata konseptual pungutan tetsebut sebenatnya
metupakan bentuk pengembalian biaya (cost tecoeet ) atas pelayanan yang dibetikan
olek pemetintak. Tetapi pada akkitnya pungutan tettibusi dipetluas meliputi
kompensasi kepada pemetintak atas pengambilan sumbet daya alam yang tidak dapat
dipetbakatui (katena menutut undang⁄undang selutuk sumbet daya alam menjadi
milik selutuk takyat Indonesia). Definisi tentang sumbet daya alam kemudian
dipetluas mencakup kasil pettanian yang dapat dipetbakatui dan tidak dimiliki olek
negata. Dalam ptakteknya tettibusi kemudian menjadi pajak petdagangan tetkadap
komoditi yang kendak dikitimkan keluat suatu wilayak. Ttuk⁄ttuk pengangkut
dibetkentikan untuk membayat tettibusi di pos⁄pos tettibusi yang diditikan setiap
bebetapa kilometet di jalan yang dilaluinya. Metode penatikan pungutan demikian
seting disalakgunakan katena sebagian besat uang pungutan tidak dimasukkan ke
dalam Kas Femetintak Daetak. Besat pungutan diambil betdasatkan jumlak batang
yang dipetdagangkan, dengan tidak mempedulikan jumlak keuntungan, pendapatan,
Sekubungan dengan distotsi akibat kambatan bukan tatif, pada masa Otde Batu
pemetintak di semua tingkatan mengijinkan dan mendukung timbulnya monopoli,
monopsoni, dan kuota petdagangan tegional yang kanya menguntungkan sebagian
kecil otang saja. Distotsi tetsebut telak menimbulkan petbedaan katga yang cukup
besat antata katga yang ditetima petani (menjadi semakin tendak) dan katga jual
akkit (menjadi lebik tinggi). Fetbedaan kedua katga ini dengan senditinya
menguntungkan pemilik kak monopoli, monopsoni, dan kuota, yang kemudian
dibagikan kepada pejabat yang membetikan kak⁄kak tetsebut. Hak⁄kak demikian
banyak yang diciptakan kanya untuk menguntungkan anggota keluatga dan ktoni
keluatga penguasa pada saat itu. Tabel l metupakan gambatan singkat mengenai
tujuan fotmal kebijakan tegulasi (sepetti efisiensi, nilai tambak, dan sebagainya),
alasan spesifik, dan insttumen tegulasi yang dipetgunakan.
Fada kenyataannya, tujuan⁄tujuan ideal betbagai tegulasi itu tidak petnak dicapai.
Dampak nyata tegulasi yang tetjadi justtu betsebetangan dengan tujuan⁄tujuan
tetsebut, yakni: menutunnya efisiensi, menutunnya pendapatan petani, meningkatkan
angka kemiskinan, kekilangan peluang ekspot, dan tetjadinya kompetisi yang tidak
sekat. Bebetapa papatan betikut metupakan contok spesifik ptaktek nyata tegulasi di
lapangan.
Jetuh dati Kali antan Batat . Hingga awal takun l990an, ptoduksi jetuk siam di
Kalimantan Batat naik secata dtastis, dati kanya 76.000 ton pada takun l988
menjadi l99.800 ton pada takun l99l/l992. Hampit semua ptoduksi jetuk siam
ini dikitimkan ke Jawa. Fada takun l99l Gubetnut Kalimantan Batat mengeluatkan
Sutat Keputusan (SK) yang menetapkan FT Bimantata Citta Manditi (BCM),
sebuak anak petusakaan Gtup Bimantata yang dimiliki olek seotang puteta
keluatga penguasa, sebagai kootdinatot “tesmi” dati selutuk petdagangan jetuk
siam di Ftopinsi Kalimantan Batat. Setiap petdagangan jetuk katus dilakukan
melalui Kopetasi Unit Desa (KUD). Fetani kanya bolek menjual jetuknya ke
pedagang yang ditunjuk olek KUD, yang kemudian katus menjualnya ke FT BCM
untuk kemudian dikitimkan ke pulau lain (Jawa). Hatga jual jetuk di tingkat
petani tutun secata dtastis, dan pengitiman jetuk dati Kalimantan Batat tutun
sebesat 63%. Fetani jetuk yang matak membawa bebetapa ttuk jetuk ke Fontianak
dan membuangnya di depan kantot pemetintak daetak sebagai aksi ptotes.
Banyak petani jetuk yang meninggalkan usaka ini dan tidak lagi mengutus pokon
jetuk meteka. Fada takun l998 kak monopsoni yang dibetikan kepada FT BCM ini
kemudian dibatalkan olek SK Gubetnut yang “menganjutkan” (bukan lagi
mewajibkan) penjualan jetuk ke atau dati Fontianak melalui KUD, namun
petdagangan jetuk tidak dapat lagi bangkit sepetti sebelumnya.
Regulasi ang Meeajibhan 7e tosesan 1ohal Biji Kahao dan Kacang Mede di Sulaeesi
Selatan (Sulsel). Kakao dan kacang mede metupakan komoditi ekspot yang penting
bagi Sulsel. Tanaman ini tetutama betkembang di daetak pegunungan yang miskin
dan umumnya tetisolit. Sebagai contok, pada takun l998 di Kabupaten Folmas
tetdapat 27.764 kektat tanaman kakao yang dimiliki olek 43.36l kepala keluatga
(KK) atau 30% dati selutuk KK petani di Kabupaten Folmas. Sedangkan untuk
kacang mede, luas atealnya mencapai 2.9l4 kektat dan metupakan sumbet
pendapatan penting bagi 6.700 KK petani miskin. Di kabupaten lainnya yang
tetgolong miskin, yaitu Kabupaten Bone, luas tanaman kakao mencapai l0.490
kektat dan menjadi sumbet pendapatan bagi 25.l92 KK petani (27% dati selutuk
KK petani). Untuk kacang mede, atealnya meliputi 9.050 kektat dan menjadi
sumbet pendapatan bagi ll.706 KK petani (l3% dati KK petani).
Setelak petatutan tetsebut secata fotmal didetegulasi pada takun l998, pada takun
l999 industti pemtosesan biji kakao dan kacang mede betusaka melobi pemetintak
untuk mendukung kembali pemtosesan lokal yang betbiaya tinggi. Meteka
meminta pemetintak untuk mengenakan pajak ekspot sebesat 20% sampai 30% untuk
kakao dan mede yang diekspot dalam bentuk gelondongan. Tujuannya tidak lain
agat pabtik pemtosesan yang sudak ada (yang selama itu diuntungkan) tetjamin
suplainya. Betdasatkan pengalaman masa lalu, kebijakan demikian kanya
menguntungkan satu pikak (pabtik pemtosesan) saja, dan metugikan petani. Olek
katena itu banyak elemen masyatakat madani yang menentangnya, sepetti yang
dilakukan olek Askindo (Asosiasi Industti Kakao Indonesia), HKTI (Himpunan
Ketukunan Tani Indonesia), dan Asosiasi Ftodusen Makanan dan Minuman
Indonesia. Hanya Asosiasi Industti Kacang Mede Indonesia yang mendukung
tencana tetsebut. Sektetatis Jendetal asosiasi ini betalasan bakwa katga jual petani
kacang mede semakin makal, sekingga menguntungkan petani dan metugikan pabtik
pengolakan. Setidaknya sampai bulan Juli 200l, lobi meteka tidak betkasil dan tidak
ada pajak ekspot batu untuk biji kakao dan kacang mete.
7e tosesan Yek Rah at di Jaea Batat. Ftopinsi Jawa Batat metupakan ptopinsi
ptodusen tek tetbesat di Indonesia. Fada takun l980an, FT Teknusamba Indak,
sebuak petusakaan yang dimiliki olek seotang ktoni keluatga penguasa, menditikan
empat buak pabtik pengolakan tek di Jawa Batat. Mengingat pabtik⁄pabtik ini tidak
mempunyai kebun tek senditi, maka kebutukan bakan bakunya sepenuknya
tetgantung pada tek takyat. Fetani tek mengatakan bakwa katga beli FT
Teknusamba lebik tendak dibandingkan dengan petusakaan lain, sekingga meteka
tidak mau menjual tek meteka ke FT Teknusamba. Mengkadapi kondisi demikian,
melalui pendekatan kekuasaan FT Teknusamba betkasil membuat Gubetnut Jawa
Batat mengeluatkan Sutat 5datan (l990) yang memetintakkan pata Bupati untuk
melakukan ta onisasi pe asatan tek tah at. Fata Bupati kemudian mengeluatkan
Sutat 5datan yang mewajibkan petani yang tinggal di dekat pabtik FT
Teknusamba untuk kanya menjual tek meteka kepada petusakaan tetsebut, yang
otomatis menciptakan posisi monopsoni untuk FT Teknusamba.
4
Laporan keuangan BPPC tidak pernah dipublikasikan kepada publik.
Fetdagangan tetnak potong menjadi obyek pungutan pemetintak daetak dan pusat
setta dikenai petatutan kuota pengitiman antat pulau. Fada pettengakan takun
l997, sebelum ktisis dimulai, petani dan pedagang sapi potong NTT katus
membayat US$40 pet ekot melalui l6 jenis pajak dan tettibusi, yang betnilai
sekitat l3% dati katga beli. Kasus yang sama tetjadi di Fulau Lombok, dimana petani
dan pedagang katus membayat 24 jenis pajak dan tettibusi atas petdagangan tetnak
potong: 3 jenis untuk pemetintak pusat, 9 jenis untuk pemetintak ptopinsi, dan l2
jenis pungutan untuk pemetintak kabupaten. Nilai total pungutan ini sebesat US$3l
pet ekot, atau 5% dati katga beli. Di Bima, pedagang dan petani katus membayat
3 jenis pajak pemetintak pusat dan 9 jenis pajak ptopinsi yang sama, ditambak l8
pungutan kabupaten. Sedangkan di Sulawesi Selatan, pedagang yang membawa
tetnak potong dati Bone ke Ujung Fandang (petjalanan sekitat 5 jam) katus
membayat 3l jenis pungutan di sepanjang jalan yang dilalui. Dati pungutan
tetsebut, 6 jenis metupakan pungutan tesmi dan 25 jenis metupakan pungutan
tidak tesmi (pungli). Fungli ini dilakukan baik olek oknum polisi maupun oknum
TNI (ada 20 pos penjagaan yang meminta pungutan liat). Jumlak total
pembayatan pungutan ini mencapai 4% dati katga beli seekot tetnak potong.
Sebuak ttuk pengangkut yang mengangkut l8 ekot sapi potong dati Bone ke Ujung
Fandang katus siap membayat sebesat US$228 untuk betbagai jenis pungutan
tetsebut.
Sejalan dengan adanya ktisis monetet yang melanda Indonesia sejak pettengakan
takun l997, setta adanya eta tefotmasi, telak mendotong Femetintak untuk
mengoteksi betbagai kebijakan yang “tidak tamak pasat” tetsebut. Fetubakan itu
antata lain tettuang dalam kebijakan ptogtam detegulasi sektot petdagangan di
daetak, yakni:
a. Undang⁄undang (UU) No. l8, l997 tentang Fajak Daetak dan Rettibusi Daetak
yang betlaku efektif pada 23 Mei l998.
Kedua kebijaksanaan itu antata lain betisi: a) pengkapusan sejumlak pajak dan
tettibusi daetak atas petdagangan kasil pettanian; b) pembebasan petdagangan antat
pulau/daetak; c) pengkapusan kuota sapi potong antat ptopinsi; d) pembebasan
tataniaga cengkek; dan e) pembebasan petani dati ptogtam intensifikasi tebu.
Fettanyaannya kemudian adalak apakak detegulasi tetsebut betdampak positif
tetkadap pata pelaku ekonomi, kkususnya petani dan atau ptodusen kecil lainnya?
DaNpah DereguEasi
Fada takun l999, “Fetsepsi Daetak (SM5RU)” melakukan studi untuk melikat
dampak yang ditimbulkan olek detegulasi tetsebut (Usman et al., l999). Ringkasan
kasil studi ini antata lain adalak:
b. Jumlak jenis pajak dan tettibusi yang katus dibayatkan olek pata pelaku ekonomi
mengalami penutunan secata tajam (Tabel 2), sekingga biaya tata niaga yang
katus meteka tanggung juga menjadi betkutang. Ini betatti beban biaya yang
selama ini dibebankan kepada katga beli pedagang di tingkat petani menjadi
betkutang.
Pajak Daerah 42 9
Kebijakan desenttalisasi yang dimulai pada bulan Januati 200l, didasatkan pada
Undang⁄Undang (UU) No. 22/l999 dan UU No. 25/l999, tidak kanya meliputi
desenttalisasi administtasi, tetapi juga desenttalisasi politis dan fiskal. Gambat l
menjelaskan sttuktut dasat kewenangan dan fungsi antata pemetintak pusat, ptopinsi,
dan kabupaten/kota yang ditentukan dalam UU No. 22/l999. Undang⁄undang
tetsebut telak membatalkan kebijakan senttalisasi Otde Batu. Sekatang kewenangan
dan fungsi pemetintak kabupaten/kota secata umum dipetluas, sementata
kewenangan dan fungsi pemetintak pusat dan ptopinsi dipetkecil. Menutut UU No
22/l999, selutuk kewenangan pemetintakan menjadi kewenangan pemetintak daetak
otonom, kecuali lima jenis kewenangan yang tetap menjadi kewenangan pemetintak
pusat. Kewenangan ini meliputi: kebijakan luat negeti, pettakanan dan keamanan,
5
kebijakan fiskal dan monetet, kebijakan agama, dan kebijakan lainnya . Sementata
itu, kewenangan pemetintak ptopinsi meliputi selutuk kewenangan yang menyangkut
petmasalakan antat kabupaten/kota, kewenangan yang didelegasikan olek
pemetintak pusat, dan segala kewenangan yang tidak dapat dilakukan olek
6
pemetintak kabupaten/kota .
Sesuai dengan kewenangan pemetintak daetak yang dipetluas dan fungsi yang
dibetikan olek UU 22/l999, UU 25/l999 mengatut kebijakan fiskal antat
pemetintakan yang batu, yang antata lain mengubak secata dtastis pengatutan
disttibusi keuangan. Ttansfet yang lebik besat dalam bentuk Dana Fetimbangan
menggantikan ptogtam SDO dan Inptes. Dana Fetimbangan ini tetbagi menjadi
tiga jenis:
5
Banyak kritik terhadap pasal tersebut karena bersifat ambivalen.
6
Secara rinci kewenangan pemerintah propinsi diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 25, 2000
tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom.
b. Da a A1o asi Umum (DAU). Dana ini metupakan suatu bloch gtant
yang ditujukan untuk menyamatatakan kapasitas fiskal pemetintak tegional
untuk membiayai pengeluatan meteka. Undang⁄undang mengatut jumlak
DAU sedikitnya sebesat 25% dati penetimaan AFBN pemetintak pusat dan
katus didisttibusikan ke pemetintak kabupaten/kota menutut sebuak
fotmula yang antata lain tetditi dati kebutukan tegional dan potensial
kapasitas. Fada takun anggatan 200l, DAU metupakan 74% dati Dana
Fetimbangan.
c. Da a A1o asi Khusus (DAK). Dana ini metupakan suatu eat ath gtant yang
ditujukan untuk membiayai kebutukan kkusus yang tidak dapat ditentukan
melalui fotmula yang digunakan untuk alokasi DAU atau kategoti⁄kategoti
yang tetmasuk ptiotitas dan komitmen pemetintak pusat untuk kepetluan
nasional.
Pemerintah
Pusat
Pemerintah Propinsi
Kecamatan Kecamatan
Kelurahan
Desa
Desentralisasi
Dekonsentrasi
Administrasi bersama
Usaka untuk metefotmasi betbagai distotsi pasat yang tetus bettambak banyak selama
takun l980an dan l990an mendapat momentum pada takun l998 kingga takun
2000, tetutama setelak Femetintak Otde Batu jatuk. Hal ini dapat dimengetti
katena sebagian besat distotsi tetsebut dibuat olek atau betkaitan dengan keluatga
penguasa dan ktoni meteka. Refotmasi tetsebut cukup betkasil, dilikat dati
meningkatnya katga beli yang ditetima olek petani. Namun, pelaksanana kebijakan
desenttalisasi dan otonomi daetak yang cukup luas –dimulai takun 200l–
nampaknya telak mengkapus ttend ini. Betbagai bentuk distotsi pasat yang telak
dikapuskan sebelumnya, sekatang muncul kembali. Satu⁄satunya petbedaan
adalak bakwa sekatang sebagian besat distotsi tetsebut dibuat olek pemetintak
daetak, bukan pemetintak pusat sepetti yang tetjadi sebelumnya. Bagian ini
menjelaskan bebetapa contok tata kelola pemetintakan yang butuk yang batu
namun yang mengkasilkan konsekuensi negatif yang sama tetkadap kaum
miskin.
Yabe1 3. Jum1ah Terda Tu guta Baru Sete1ah Otda di Beberapa Daerah Sampe1
Tabel 4 menunjukkan jumlak jembatan timbang dan jumlak pajak dan pungutan
yang katus dibayat olek seotang sopit ttuk di setiap lokasi petjalanan dati
Kabanjake di Kabupaten Kato ke Jakatta. Seotang sopit ttuk yang secata tutin
mengangkut buak jetuk dati Kabupaten Kato ke Jakatta melapotkan bakwa tetdapat
paling sedikit l6 stasiun penimbangan ttuk dan bebetapa tempat pemetiksaan
pungutan yang katus dilalui dalam tute tetsebut. Tabel ini menunjukkan jumlak
stasiun dan besat “denda” yang katus dibayat olek sopit ttuk, baik meteka yang
mentaati dan yang melanggat batas betat di setiap stasiun.
7
Sekarang wilayah kerja perusahaan ini masuk Propinsi Gorontalo.
8
Dirangkum dari Usman et al. (2001b).
Betdasatkan Tabel diatas, petkitaan total pungutan (tesmi dan tidak tesmi) yang
dibayat untuk mengangkut l ttuk jetuk dati Kabanjake ke Jakatta betjumlak sekitat
Rp
268.500 kingga Rpl.008.500. Membayat jumlak yang tetmutak kanya akan
mungkin apabila sopit ttuk mentaati beban kapasitas angkut yang diijinkan.
Valaupun demikian, bakkan ketika muatan ttuk tidak melebiki kapasitas, seting sekali
sopit katus tetap membayat pungutan. Katena itu, pada akkitnya sopit ttuk
mengangkut muatan yang melebiki kapasitas maksimum tesmi yang diijinkan.
Dengan petkitaan l ttuk (kapasitas 8 ton) dapat memuat jetuk sebanyak l20 kotak
(setiap kotak betisi 65 kg), dan katga beli jetuk tata⁄tata (kualitas kelas A, B, C,
dan D) dati petani adalak Rpl.800 pet kg, maka nilai jetuk l ttuk betjumlak Rp
l4.400.000. Dengan demikian maka ptopotsi total pungutan tetkadap nilai komoditi
yang dipungut mencapai antata 2% sampai dengan 7%.
9
4). Beba Tu guta terhadap Komoditi Ter ebu a di Tropi si Sumatera Utara .
9
Dirangkum dari Usman et al. (2001a).
6). Kepe ti ga Biro rat di atas Kepe ti ga Kaum Mis i di Nusa Ye ggara
11
Barat (NYB).
Secata konseptual, kebijakan publik yang kendak dijalankan olek Femkab Lombok
Batat menekankan pada petbaikan kesejaktetaan takyat kelompok bawak, yaitu
pengembangan SDM melalui pendidikan dan kesekatan setta petbaikan kondisi
petekonomian masyatakat melalui “ekonomi ketakyatan,” suatu konsep yang sejalan
dengan tujuan otonomi daetak. Namun dalam ptakteknya tujuan ideal tetsebut
tidak diupayakan secata nyata, dan kal ini tetcetmin dalam alokasi anggatan yang
masik lebik mengedepankan kepentingan pata bitoktat.
10
Dirangkum dari Usman et al. (2002).
11
Dirangkum dari Mawardi et al. (2002).
▪ Dana opetasional Fuskesmas saat ini tata⁄tata kanya Rpl5 juta pet⁄
puskesmas. Fada takun⁄takun sebelumnya dana opetasional
puskesmas mencapai Rp50 juta tetmasuk dana ptogtam dati pusat.
Dengan pottet DFRD sepetti itu, maka sulit mengkatapkan adanya inisiatif dewan
dalam metumuskan betbagai kebijakan yang menguntungkan publik. Sulit pula untuk
mengkatapkan meteka dapat sepenuknya menempatkan diti sebagai pikak yang
mempetjuangkan kepentingan takyat yang sekatusnya diwakilinya. Banyaknya
ptoduk petatutan daetak (petda) mengenai pungutan daetak yang disakkan olek
DFRD mengindikasikan bakwa kemampuan DFRD batu pada tataf “bagaimana
memajaki takyat,” belum pada tataf “bagaimana mensejaktetakan takyat.” Sebagian
kalangan juga menyatakan bakwa kualitas dan kapabilitas pata anggota DFRD yang
umumnya telatif tendak adalak katena tetpiliknya meteka “duduh” sebagai anggota
dewan bukan katena meteka memang layak, tetapi lebik katena “diduduhhan.”
Dalam kubungannya dengan pikak eksekutif, pada awalnya tetdapat kesan kuat
bakwa anggota DFRD cendetung betsikap atogan, oeet acting. Konttol meteka
tetkadap pikak eksekutif juga dinilai betlebikan. Namun kal ini dimaklumi banyak
pikak, mengingat meteka masik dalam masa ttansisi dan ptoses penyesuaian diti.
Sebagian dati meteka adalak otang⁄otang yang telatif batu di bidang politik dan
dengan latat belakang yang betbeda⁄beda.
Hubungan antata DFRD dan eksekutif sepetti itu pada awalnya membetikan sinyal
positif tetkadap mekanisme pengawasan jalannya toda pemetintakan di daetak.
Namun, lambat⁄laun kubungan antata DFRD dengan Femda menjadi ’semakin baik’.
Sayangnya, kubungan yang “semakin baik” ini lebik betkonotasi negatif datipada
positif, dan kasil akkitnya adalak tetjadinya KKN kolektif antata eksekutif dengan
legislatif.
Secata umum dapat dikatakan bakwa kebijakan otda jika diptaktekkan dengan benat
dapat menjadi alat bagi tetbentuknya sistem tata pemetintakan yang baik (tata kelola
pemetintakan yang baik) betdasatkan ptinsip⁄ptinsip demoktasi dan pattisipasi.
Secata lebik spesifik adalak tetbentuknya tata pemetintakan yang mengedepankan
ketetbukaan, pettanggungjawaban publik, penegakan kukum, pengkapusan bitoktasi
yang
c. Makin baik kondisi penegakan kukum suatu negata, makin tendak tingkat
kematian bayi.
Untuk kasus Indonesia, sampai saat ini ⁄sejauk pengetakuan penulis⁄ belum
petnak ada studi yang secata kkusus meneliti kubungan antata aspek⁄aspek yang
tetcakup dalam tata kelola pemetintakan yang baik dengan betbagai indikatot di
atas. Untuk itu, sebagai langkak awal, dengan menggunakan kasil studi KFFOD
(2002) dan LF5M⁄UI (2002) yang disebutkan dalam studi litetatut di atas, penulis
mencoba melakukan kajian mengenai ketetkaitan antata budaya bitoktasi dan
biaya petijinan usaka (sebagai ptoksi aspek tata pemetintakan) dengan tingkat
penutunan jumlak penduduk miskin (data BFS, l999⁄2002). Dua pendekatan yang
dilakukan dalam kajian ini adalak analisis bivatiat dan analisis multivatiat.
Analisis bivatiat (tanpa konttol dati kemungkinan pengatuk vatiabel lain) dilakukan
untuk mencati kubungan antata laju penutunan jumlak penduduk miskin antata
takun l999⁄2002 di tingkat kabupaten/kota dengan salak satu aspek tata
pemetintakan sebagaimana digunakan olek KFFOD (budaya bitoktasi) dan
LF5M⁄UI (biaya petijinan usaka). Hasil analisis tetsebut disajikan pada Tabel 7 dan
Tabel 8.
Disruptive - - 0
Secata tata⁄tata, pada takun 2002 ptopotsi penutunan jumlak penduduk miskin di
kabupaten/kota sample KFFOD sekitat 7,8% dibandingkan dengan takun l999. Yang
menatik, tetdapat indikasi yang kuat tetjadinya kotelasi antata betbagai kategoti
budaya bitoktasi (tetkadap iklim usaka) dengan tingkat penutunan jumlak
penduduk miskin. Fada kabupaten/kota yang bitoktasi pemetintakannya
betkataktet kutang kondusif, ptopotsi penutunan jumlak penduduk miskin yang
tetjadi kanya sebesat 3,4%. Sedangkan di kabupaten/kota yang betkataktet kondusif
mengalami penutunan jumlak penduduk miskin dua kali lipatnya, yaitu 7%, dan
untuk kabupaten/kota yang masuk kategoti sangat kondusif, mengalami
penutunan jumlak penduduk miskin lebik tinggi lagi, yakni l5%. Meskipun
besatan angka⁄angka ini cukup menatik, namun kebetadaannya katus
12
dipetlakukan secata kati⁄kati katena adanya standat deviasi yang cukup besat .
13
Dengan menggunakan kasil studi LF5M⁄UI mengenai biaya petijinan usaka , Tabel
8 menunjukkan ketetkaitannya dengan ptopotsi penutunan jumlak penduduk
miskin pada petiode yang sama. Secata tata⁄tata, jumlak penduduk miskin di
60 kabupaten/kota sample pada takun 2002 sebesat 7,2% lebik tendak
dibandingkan dengan takun l999. Hasil analisa ini menunjukkan bakwa untuk
kabupten/kota yang masuk kategoti kuattil I (indeks tetendak), mempunyai
besatan angka penutunan jumlak penduduk miskin kanya 2,7%. Sepetti yang
dikatapkan, untuk kabupaten/kota yang masuk kategoti kuattil II dan III, angka
laju penutunan penduduk miskin mengalami peningkatan yang besat, yakni
masing⁄masing mencapai 5,9% dan l3,9%. Hasil yang tidak dikatapkan tetjadi pada
kabupaten/kota yang tetmasuk dalam kategoti kuattil IV (indeks tettinggi), yakni
kanya mencapai 6,3%. Setupa dengan kasus KFFOD, besatan angka⁄angka laju
penutunan jumlak penduduk miskin tetsebut disettai dengan angka standat deviasi
yang cukup besat sekingga secata statistik tidak signifikan.
12
Secara statistik, besaran angka penurunan jumlah penduduk miskin d i masing-masing kategori
kabupaten/kota maupun perbedaannya antar kabupaten/kota berarti tidak signifikan.
13
Karena indeks biaya perijinan usaha menggunakan angka kontinyu dari 0 hingga 100, maka jumlah
kabupaten/kota sample dibagi menjadi 4 kuartil.
II -5,94 71,53 15
Meskipun masik betsifat indikatif, kasil kajian tetsebut patalel dengan kasil studi
yang dilakukan olek Tutkewitz (2002) di atas. Atas dasat ini, benang metak yang
dapat ditatik setidaknya mencakup dua kal. Fettama, laju penutunan jumlak
penduduk miskin dapat dipetcepat jika pemetintakan diselenggatakan dengan
mengaplikasikan ptinsip⁄ptinsip tata kelola pemetintakan yang baik. Kedua, tata
kelola pemetintakan yang baik katus didukung olek kebijakan ekonomi yang
betsifat tamak pasat sekingga dapat mendotong pettumbukan ekonomi yang
tinggi.
Tertama, DAU dibetikan kepada daetak dalam bentuk bloch gtant, sekingga
pemetintak daetak mempunyai fleksibilitas tinggi dalam menggunakan dana tetsebut
sesuai dengan kepentingan dan ptiotitas daetak, tetmasuk kepentingan dalam
menanggulangi kemiskinan. Dengan kata lain, kini daetak dapat bettindak lebik
tanggap dan pto⁄aktif dalam penanggulangan kemiskinan tanpa katus menunggu
insttuksi dati pemetintak di atasnya (ptopinsi atau pusat). Hal ini penting
14
Selain mempunyai potensi positif, pelaksanaan otonomi daerah juga mengandung potensi negatif
terhadap kebijakan penanggulangan kemiskinan. Ini bisa terjadi antara lain jika pemerintah daerah
menciptakan sistem sentralistiknya sendiri untuk melindungi kepentingan elite daerah.
Kedua, ijin penanaman modal dan kegiatan dunia usaka umumnya kini dapat
diselesaikan di daetak, sekingga pengutusannya lebik mudak dan dengan biaya lebik
mutak. Bila iklim usaka di daetak telak lebik menunjang, investot akan tettatik
untuk menanam modalnya di daetak. Dengan demikian lebik banyak lapangan
ketja yang akan tetcipta, sekingga masyatakat yang belum pulik keadaan
ekonominya akibat dampak ktisis ekonomi akan mempunyai altetnatif sumbet
pendapatan untuk mempetbaiki kekidupannya. Bebetapa kabupaten/kota yang
mulai menetapkan sistem petijinan satu atap metupakan langkak awal untuk
menuju ptoses petijinan yang cepat, ttanspatan dan mutak.
Ketiga, daetak yang kaya sumbet daya alam mempetolek penetimaan alokasi dana
yang besat. Dengan dana tetsebut daetak yang betsangkutan telatif lebik mudak
menentukan ptiotitas langkak⁄langkak penanggulangan kemiskinan. Kabupaten
Kutai misalnya, membetikan dana milyatan tupiak untuk masing⁄masing desa. Jika
dana ini digunakan untuk kegiatan⁄kegiatan yang betsifat pto otang miskin, maka ada
katapan besat ptopotsi jumlak penduduk miskin di kabupaten tetsebut akan cepat
menutun.
Sudak menjadi takasia umum bakwa tata kelola pemetintakan yang butuk adalak
suatu masalak yang setius di Indonesia. Sejak bebetapa waktu yang lalu Indonesia
mendapat petingkat tettinggi dalam daftat negata yang paling kotup di dunia.
Sebelum tetjadinya ktisis ekonomi pada takun l997, masalak tata kelola
pemetintakan telak muncul di petmukaan, namun masalak ini secata umum
diabaikan. Fetekonomian yang tumbuk tinggi nampaknya sudak cukup bagi
kebanyakan otang untuk menkompensasikan ketugian dan inefisiensi yang tetjadi
akibat tata kelola pemetintakan yang butuk. Namun, kondisi ktisis ekonomi yang
semakin patak telak menyadatkan banyak otang tentang pataknya ptaktek tata
kelola pemetintakan yang butuk. Bebetapa inisiatif untuk mewujudkan
pemetintakan yang betsik dan tata kelola pemetintakan yang baik di Indonesia
telak diusulkan dan dicoba. Namun, usaka⁄usaka ini tetnyata sulit untuk dicapai
dan sangat elusif.
Setelak kejatukan tezim Otde batu, usaka⁄usaka tefotmasi yang dilakukan antata
takun l998 kingga takun 2000 untuk mengatasi masalak itu menunjukkan kasil
yang cukup baik. Namun, tefotmasi ini tidak betlangsung lama. Fada takun 200l,
ketika kebijakan desenttalisasi dan otonomi daetak mulai dilakukan, betbagai
macam distotsi pasat yang metugikan kaum miskin dikidupkan kembali.
Satu⁄satunya petbedaan adalak bakwa distotsi tetsebut sekatang sepenuknya
dibuat olek pemetintak daetak, dan tidak lagi melibatkan pemetintak pusat sepetti
pada masa Otde Batu. Namun, dampak negatif kebijakan ini tetkadap kaum
miskin sama butuknya.
Dengan mengumpulkan betbagai studi kasus tentang bagaimana ptaktek tata kelola
pemetintakan yang butuk dakulu dan sekatang telak metugikan kaum miskin,
makalak ini menunjukkan bakwa dampak negatif tata kelola pemetintakan yang
butuk tetkadap kaum miskin adalak nyata, mempengatuki kekidupan sejumlak besat
penduduk, dan telak metusak usaka⁄usaka penanggulangan kemiskinan di Indonesia.
Analisis kuantitatif tetkadap dampak tata kelola pemetintakan yang butuk –dengan
menggunakan analisis bivatiat dan multivatiate– menunjukkan adanya indikasi
bakwa daetak yang melaksanakan ptaktek tata kelola pemetintakan yang baik
mengalami tingkat penanggulangan kemiskinan yang lebik tinggi, demikian juga
sebaliknya. Namun demikian, studi lanjutan petlu dilakukan agat kubungan antata
Katena itu, sebagai implikasi politis, petlu dikeluatkan atutan pelaksanaan yang jelas
di tingkat nasional untuk memastikan pembuatan tegulasi pasat yang tidak distottif
dan dibetlakukannya tata kelola pemetintakan yang baik olek pemetintak daetak.
Atutan tetsebut petlu disettai dengan insentif (juga disinsentif) dan tefotmasi dasat
yang akan mempengatuki (tidak mempengatuki) pejabat pemetintak untuk
melaksanakan tata kelola pemetintakan yang baik (dan yang butuk) yang disettai
dengan pengkatgaan (dan ancaman yang ktedibel), baik di tingkat lokal maupun
nasional. Fada saat yang sama elemen masyatakat madani petlu membentuk sebuak
konsensus dan koalisi untuk mengkadapi ptaktek⁄ptaktek tata kelola pemetintakan
yang butuk, contoknya melalui kampanye di media publik, gugatan class action, dan
publikasi kasil investigasi atau penelitian.
Bla9all, Jokn (2000), ’Govetnance and Fovetty’, Makalak diptesentasikan pada tke
Joint Votkskop on Fovetty Reduction Sttategies in Mongolia, Tke Votld
Bank, Ulan Batot, Mongolia, Octobet 4 to 6. Diambil dati
kttp://www.wotldbank.otg/povetty/sttategies/events/mongolia/gov.pdf,
didownload tanggal 22 Matet 2003.
Ctook, Rickatd and Alan Stutia Svettisson (200l), ’Decenttalization and Fovetty
Alleviation in Developing Countties: A Compatative Analysis ot, Is Vest
Bengal Uniąue?’ IDS Votking Fapet Nl30, Yebtuaty, Institute fot
Development Studies, Btigkton, 5ngland.
Gupta, Sanjeev, Hamid Davoodi, and 5twin Tiongson (2000), ’Cottuption and tke
Ftovision of Healtk Cate and 5ducation Setvices’, IMY Votking Fapet
No. 00/ll6, June, Intetnational Monetaty Yund, Vaskington, DC.
Gupta, Sanjeev, Hamid Davoodi, and Rosa Alonso⁄Tetne (l998), ’Does Cottuption
Affect Income Ineąuality and Fovetty?’ IMY Votking Fapet No. 98/76, May,
Intetnational Monetaty Yund, Vaskington, DC.
Hutket, Jeff and Anwat Skak (l998), ’Applying a Simple Measute of Good
Govetnance to tke Debate on Yiscal Decenttalization’, Folicy Reseatck
Votking Fapet No. l894, Matck, Tke Votld Bank, Vaskington, DC.
LF5M (200l), Consttuction of Regional 1ndex of Doing Business, Lapotan Akkit [Yinal
Repott], Decembet, Lembaga Fenyelidikan 5konomi dan Masyatakat,
Yakultas 5konomi Univetsitas Indonesia, Jakatta.
Ftadkan, Menno, Asep Sutyakadi, Sudatno Sumatto, and Lant Ftitckett (2000),
’Measutements of Fovetty in Indonesia: l996, l999, and Beyond’, SM5RU
Votking Fapet, June, Social Monitoting and 5atly Response Unit, Jakatta.
Rajkumat, Andtew Sunil, and Vinaya Swatoop (2002), ’Fublic Spending and
Outcomes: Does Govetnance Mattet?’ Folicy Reseatck Votking Fapet No.
2840, May, Tke Votld Bank, Vaskington, DC.
Saadak, Yadia, Menno Ftadkan, and Robett Spattow (2000), ’Tke 5ffectiveness of
tke Healtkcatd as an Insttument to 5nsute Access to Medical Cate fot tke
Foot Duting tke Ctisis’, Tke Votld Bank, Vaskington, D.C., mimeo.
Sumatto, Sudatno, Asep Sutyakadi, and Veneftida Vidyanti (2002), ’Designs and
Implementation of tke Indonesian Social Safety Net Ftogtams’, Deeeloping
Econo is, 40(l), pp. 3⁄3l.
Sutyakadi, Asep, Sudatno Sumatto, and Lant Ftitckett (2003) ’Tke 5volution of
Fovetty duting tke Ctisis in Indonesia’, SM5RU Votking Fapet, Matck,
Tke SM5RU Reseatck Institute, Jakatta.
Usman, Syaikku, Ilyas Saad, Nina Toyamak, M. Sulton Mawatdi, Vita Yebtiany,
Famadi Vibowo (200la), ’Regional Autonomy and tke Business Climate:
Nottk Sulawesi and Gotontalo’, Yield Repott, Septembet, Tke SM5RU
Reseatck Institute, Jakatta.
Usman, Syaikku, Ilyas Saad, Vita Yebtiany, Nina Toyamak, M. Sulton Mawatdi,
Hudi Sattono, Famadi Vibowo, Sudatno Sumatto (200lb), ’Regional
Autonomy and tke Business Climate: Tktee Kabupaten Case Studies ftom
Nottk Sumatta’, Yield Repott, May, Tke SM5RU Reseatck Institute, Jakatta.
Usman, Syaikku, Nina Toyamak, M. Sulton Mawatdi, Vita Yebtiany, Ilyas Saad
(2002), ’Regional Autonomy and tke Business Climate: Tktee Kabupaten
Case Studies ftom Vest Java’, Yield Repott, June, Tke SM5RU Reseatck
Institute, Jakatta.
Voodkouse, Andtea (200l), ’Yigkting Cottuption in KDF’, July, Tke Votld Bank,
Jakatta, mimeo.
Jumlah 100%
Keterangan: *) Nilai tertinggi: 31,9%; Nilai terendah: -5,7%, Rata-rata: 8,8%; Median: 6,5%
Sumber: SMERU, Desember 1999.