Anda di halaman 1dari 44

Suda no Suma

Ket t as Ket ja to
Asep Su yahadi
A1ex A ifianto

Editot:
Nuning Ahhmadi

Yata Ke1o1a
Teme intah dan Tenanggu1angan Kemishin
Buhtiгbuhti Awa1 Desent a1isasi
di 7ndonesia Makalak dati Lembaga
Fenelitian
SM5RU, dengan dukungan dati
AusAID, tke Yotd Youndation,
dan DYID

Ma et 2004

Temuan, pandangan dan interpretasi dalam laporan ini digali oleh masing-masing
individu dan tidak mewakili Lembaga Penelitian SMERU maupun lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan SMERU. Kami dapat dihubungi di nomor telepo
D A Y A R 7S 7

ABSTRAK ii

I. F5NDAHULUAN l

II. TATA K5LOLA F5M5RINTAHAN DAN K5MISKINAN:


KAJIAN FUSTAKA 3
2.l. Tata Kelola Femetintakan 3
2.2.Tata Kelola Femetintakan and Fenanggulangan Kemiskinan 5
2.3.KKN (Kotupsi, Kolusi, dan Nepotisme) 6
2.4.Studi Maktoekonomi Antat Negata tentang Tata Kelola
Femetintakan dan KKN 7
2.5.Bukti 5mpitis Fenelitian tentang Tata Kelola Femetintakan
dan KKN di Indonesia 8
2.6.Bebetapa Kemungkinan Kesalakan dalam Studi KKN dan
Tata Kelola Femetintakan ll

III. TATA K5LOLA F5M5RINTAHAN DAN K5MISKINAN DI INDON5SIA:


T5MUAN 5MFIRIK l2
3.l. Tata Kelola Femetintakan yang Butuk dalam Kekidupan
Sekati⁄kati: Temuan Kasuistis l2
3.l.l. 5ta Sebelum Ktisis/Detegulasi l2
3.l.2. 5ta Detegulasi/Ktisis l8
3.l.3. 5ta Desenttalisasi l9
3.2. Dampak Tata Kelola Femetintakan Tetkadap Fenanggulangan
Kemiskinan: Analisis Kuantitatif 29
3.2.l. Analisis Bivatiat 30
3.2.2. Analisis Multivatiat 32

IV. K5SIMFULAN DAN SARAN 35

K5FUSTAKAAN 37

LAMFIRAN 40

i Lembaga Penelitian SMERU, Maret 2004


Yata Ke1o1a Temeri taha da Te a ggu1a ga Kemis i a :
Bu tirbu ti Awa1 Dese tra1isasi di 7 do esia

*)
Sudatno Sumatto, Asep Sutyakadi, Ale9 Atifianto

Abstra

Studi ini etupahan upa a petta a untuh enguji secata siste atih da pah dati ptahtehR
ptateh butuh tata helola pe etintakan di 1ndonesia tetkadap upa a penanggulangan
he ishinan. 1ndonesia telak la a engala i tata helola pe etintakan ang butuh, tetapi
juga telak betkasil engutangi he ishinan dala ju lak besat. Sebelu tetjadin a htisis
ehono i ulai pettengakan takun 199S, asalak tata helola pe etintakan ang butuh di
1ndonesia sudak tetlikat jelas tetapi diabaihan olek heban ahan otang hatena tetho pensasi
dengan tinggin a pettu bukan ehono i. Ahan tetapi, ti buln a htisis ehono i
e petjelas hesetiusan asalak ini. Fohus studi ini adalak elikat da pah tata helola
pe etintakan ang butuh tetkadap otang ishin, aitu helo poh ang sangat tentan
tetkadap da pah tata helola pe etintakan ang butuh. Dengan engki pun betbagai buhti
anehdotal dati betbagai su bet engenai bagai ana ptahtehRptahteh tata helola
pe etintakan ang butuh di 1ndonesia telak etugihan otang ishin, studi ini
enunjuhhan bakea da pah negatif tata helola pe etintakan ang butuh adalak n ata,
secata siste atih e pengatuki ban ah otang, dan engka bat upa aRupa a
penanggulangan he ishinan. Selanjutn a buhtiRbuhti ang disusun secata lebik siste atih
engenai bagai ana pelahsanaan tata helola pe etintakan ang butuh e pengatuki
upa a penanggulangan he ishinan enunjuhhan bakea daetakRdaetak ang elahsanahan
tata helola pe etintakan dengan lebik baih cendetung engala i pengutangan he
ishinan
ang lebik cepat dan de ihian pula sebalihn a.

*)
Penulis berterima kasih pada Sulton Mawardi dan Wenefrida Widyanti atas ban tuan risetnya,
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), LPEM FE Universitas Indonesia, dan
Badan Pusat Statistik (BPS) atas akses terhadap data. Semua kekeliruan dan kekurangan dalam tulisan
ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.

i Lembaga Penelitian SMERU, Maret


7. TENDAHULUAN

Ktisis ekonomi di Indonesia yang tetus betlangsung mulai takun l997 telak
menimbulkan pemikitan kembali tentang pengentasanpenanggulangan kemiskinan.
Tingkat pettumbukan ekonomi yang tinggi di Indonesia yang betlangsung sekitat
30 takun telak betkasil menutunkan angka kemiskinan absolut secata signifikan.
Mulai takun l970⁄an kingga awal l990⁄an, angka kemiskinan betkasil ditutunkan
sebesat 50 petsen. Namun, sejak ktisis betlangsung mulai pettengakan l997, angka
kemiskinan naik dua kali lipat, sekingga mengkapus ptestasi tetsebut, dan
membuat upaya pengentasanpenanggulangan kemiskinan kembali menjadi sesuatu
yang mendesak untuk dilaksanakan dengan setius (Sutyakadi, Sumatto, dan Ftitckett,
2003).

Fada saat yang sama, dalam upaya untuk mencati penyebab tetjadinya ktisis, masalak
tata kelola pemetintakan menjadi sesuatu yang penting. juga. Ada kipotesis bakwa
tata kelola pemetintakan yang butuk ⁄secata populet disebut KKN (kotupsi, kolusi,
dan nepotisme)⁄ telak melemakkan kondisi ekonomi Indonesia, dan membuat
Indonesia menjadi mudak tetsetang ktisis ekonomi secata petiodik. KKN menjadi citi
kkas pemetintakan Otde Batu, yang tetkenal sangat mentoletit ptaktek KKN baik
yang dilakukan secata kecil⁄kecilan olek pejabat tingkat bawak sebagai suatu cata
untuk mencati tambakan pengkasilan, maupun yang betskala taksasa yang dilakukan
olek keluatga penguasa (penguasa pada pemetintakan Otde Batu) dan ktoni meteka
melalui pengatutan kebijakan pemetintak yang menguntungkan bisnis meteka. Hal
ini seting dilakukan melalui ptaktek kolusi dalam bisnis ⁄ baik dengan domestik
maupun asing ⁄ dengan mengatasnamakan kepentingan publik. Fada akkit masa Otde
Batu, KKN memuncak melalui ptaktek nepotisme yang dilakukan olek keluatga
penguasa melalui pengangkatan anggota keluatga dan teman dekat ke dalam posisi
eksekutif dan legislatif (King, 2000; dan McLeod, 2000).

Tata kelola pemetintakan yang butuk dalam masa Otde Batu dan pemetintakan
penggantinya telak membuat Indonesia masuk ke dalam daftat negata paling kotup di
dunia untuk bebetapa lama. Meskipun demikian, katena sebelum ktisis Indonesia
mengalami pettumbukan ekonomi yang pesat, ptoblem ini diabaikan olek pembuat
kebijakan. Untuk banyak otang, pettumbukan ekonomi ini sudak cukup sebagai
kompensasi ketugian dan inefisiensi yang timbul dati tata kelola pemetintakan yang
butuk tetsebut. Timbulnya ktisis ekonomi menunjukkan setiusnya masalak KKN ini.
MFR bakkan telak mengeluatkan ketetapan untuk menciptakan pemetintakan yang
betsik dan tata kelola pemetintakan yang baik di Indonesia. Namun, upaya untuk
mencapainya tetbukti sangat sulit dan sepettinya mustakil (Hamilton⁄Hatt, 200l; dan
Sketlock, 2002).

Femikitan tetkini mengenai pengentasanpenanggulangan kemiskinan dan tata kelola


pemetintakan menunjukkan bakwa keduanya saling betkaitan satu sama lain. Tata
kelola pemetintakan yang butuk membuat upaya pengentasanpenanggulangan
kemiskinan tidak betkasil (Bla9all, 2000; 5id, 2000; dan Gupta, Davoodi, dan
Alonso⁄ Tetne, l998), salak satu penyebabnya adalak katena ptogtam dan
ptoyek pengentasanpenanggulangan kemiskinan menjadi satang subut tetjadinya
ptaktek KKN (sebagai contok, likat Voodkouse, 200l). Konsensus yang timbul dati
pemikitan ini

1 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


adalak tata kelola pemetintakan yang baik metupakan sesuatu yang dipetlukan supaya
agat usaka pengentasanpenanggulangan kemiskinan menjadi efektif.

Mataknya ptaktek KKN sepetti itu antata lain ditenggatai sebagai akibat dati
sistem pemetintakan yang betsifat senttalistik⁄monolistik. Olek katena itu salak
satu jalan ke luat untuk mengutanginya adalak dengan menetapkan sistem
pemetintakan yang betsifat desenttalistik⁄pattisipatif. Betkaitan dengan ini,
kebijakan pelaksanaan desenttalisasi dan otonomi daetak (otda) yang
dilaksanakan mulai Januati 200l, membetikan wadak bagi tetselenggatanya
sistem pemetintakan sepetti itu, dan katapan bagi tetwujudnya tata kelola
pemetintakan yang baik metupakan suatu keniscayaan. Optimisme ini didasatkan
pada pettimbangan bakwa otda secata konseptual ditancang dengan
mengedepankan aspek⁄aspek pemetintakan yang baik, sepetti demoktasi, pattisipasi,
keadilan, pemetataan dengan mempetkatikan potensi dan keanekatagaman daetak,
dan bettanggungjawab. Fetsoalannya kemudian adalak apakak dalam ptakteknya
otda dapat mewujudkan tata kelola pemetintakan yang baik sepetti yang
dicita⁄citakan? Atau apakak kebijakan ini sekedat metupakan ’edisi lain’ dati sistem
pemetintakan sebelumnya yang satat KKN sekingga pesimisme sepetti
dikemukakan olek Hamilton⁄Hatt (200l) dan Sketlock (2002) tetsebut
mendapat pembenatan?

Untuk mencoba mengutaikan isu⁄isu tetsebut, makalak ini dibagi menjadi tiga
bagian. Bagian pettama membakas betbagai teoti dan definisi tentang tata kelola
pemetintakan dalam kubungannya dengan kemiskinan dan kotupsi dalam konteks
Indonesia maupun intetnasional. Selanjutnya bagian ke dua akan membakas kasil
kajian penulis tentang tata kelola pemetintakan dan kemiskinan di Indonesia.
Untuk bagian ini, penulis mengumpulkan bebetapa temuan kasus mengenai
bagaimana tata kelola pemetintakan yang butuk telak metugikan kaum miskin, dan
menyajikan analisis yang lebik sistematis tentang bagaimana tata kelola
pemetintakan mempengatuki upaya penanggulangan kemiskinan. Tetakkit,
betdasatkan temuan⁄ temuannya, makalak ini membetikan satan kebijakan.

2 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


77. YAYA KELOLA TEMER7NYAHAN DAN
KEM7SK7NAN: KAJ7AN TUSYAKA

2.1. Yata Ke1o1a Temeri taha

Tata kelola pemetintakan metupakan suatu konsep lama yang betasal dati teoti
politik demoktasi awal yang membakas kubungan antata penguasa dengan takyat.
Sebagai contok, pada abad ke l9 Voodtow Vilson mendefinisikan tata kelola
pemetintakan sebagai “sebuak pemetintakan yang dengan benat dan betkasil
melaksanakan suatu kebijakan dengan mempetkatikan tingkat efisiensi dan dengan
mengeluatkan biaya dan tenaga yang paling sedikit” (dikutip olek LaFotte 2002:3).

Meskipun tata kelola pemetintakan metupakan konsep yang sudak lama


dikembangkan, namun batu dalam satu dekade tetakkit ini konsep tata kelola
pemetintakan mendapat petkatian cukup besat di kalangan pembuat kebijakan
intetnasional. Fetkembangan demikian dimotivasi olek suatu anggapan bakwa
bantuan bilatetal dan multilatetal dati negata maju ke negata betkembang telak gagal
mencapai tujuannya (misalnya untuk menanggulangi kemiskinan, mencapai
pettumbukan ekonomi yang betkesinambungan, dll). Menutut meteka, kal ini
tetjadi katena kapasitas administtatif pemetintak negata sedang betkembang sangat
butuk dalam mengelola ptoyek⁄ptoyek bantuan, dan mataknya ptaktek KKN dalam
melaksanakan ptogtam bantuan tetsebut. Dati pengalaman ini negata donot
kemudian menyimpulkan bakwa tata kelola pemetintakan yang baik sangat
penting bagi suskesnya ptogtam bantuan luat negeti meteka di negata sedang
betkembang. Katena itu, negata donot telak mulai mengaitkan bantuan luat negeti
meteka dengan upaya mewujudkan ptaktek tata kelola pemetintakan yang baik di
negata⁄negata sedang betkembang.

Ada bebetapa definisi yang betbeda tentang tata kelola pemetintakan yang diajukan
olek lembaga donot bilatetal dan multilatetal. Bank Dunia (l992) mendefinisikan tata
kelola pemetintakan yang baik sebagai:

Suatu pela anan publih ang efisien, sebuak siste petadilan ang dapat
dipetca a, dan sebuak ad inisttasi pe etintakan ang bettanggungjaeab
hepada publih... Yata helola pe etintakan ang baih, bagi Banh Dunia,
bethaitan etat dengan anaje en pe bangunan ang baih… [1ni] sangat
penting untuh e buat dan enciptahan suatu linghungan ang enduhung
betlangsungn a pe bangunan ang huat dan etata, dan ini etupahan suatu
ho ponen ang penting untuh e buat hebijahan ehono i ang baih.

Lebik lanjut, Bank Dunia (l992) mendefinisikan tiga dimensi tata kelola
pemetintakan: (l) bentuk suatu tezim politik (patlementet atau ptesidensial,
pemetintakan militet atau sipil, dan ototitet atau demoktatis); (2) ptoses di mana
kewenangan dilaksanakan dalam manajemen sumbet ekonomi dan sosial suatu
negata; dan (3) kapasitas pemetintak untuk metancang, membentuk, dan
melaksanakan kebijakan, dan secata umum kapasitas untuk melaksanakan fungsi⁄
fungsi pemetintakan.

3 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


Fada takun l995, dalam sebuak pidato yang menjelaskan kebijakan batu pemetintak
Ametika Setikat tetkadap bantuan luat negeti ke negata sedang betkembang,
Vakil Ftesiden Albett Gote, Jt. (dikutip LaFotte (2002:4) menyebutkan lima dasat
tata kelola pemetintakan yang baik, yaitu: (l) administtasi negata katuslak jujut dan
ttanspatan; (2) administtasi negata katus disedetkanakan dan diselenggatakan
seefisien mungkin; (3) pemetintak pusat katus mendesenttalisasikan sebagian besat
fungsinya kepada pemetintak di bawaknya dan melayani publik pada tingkat yang
paling dekat dengan takyat; (4) negata demoktatis katus menjamin keamanan watga
negatanya (baik dalam bidang politik maupun ekonomi); dan (5) negata
demoktatis katus betdasat pada sistem pengadilan yang tetbuka dan modetn.

Sementata itu Tke United Nations Development Ftogtam (UNDF, l997)


mendefinisikan tata kelola pemetintakan sebagai:

7elahsanaan heeenangan ehono i, politih, dan ad inisttatif untuh enangani


petsoalan suatu negata dala setiap tinghatan. Hal ini tetditi dati ehanis e,
ptoses, dan institusi di ana eatga negata dan le baga as atahat
engutatahan pendapat eteha, enggunahan kah kuhu eteha, e enuki
heeajibann a, dan enengaki petbedaan pendapat diantata eteha.

Tetakkit, ekonom Bank Dunia Daniel Kaufmann, Aatt Ktaay, and Fablo Zoido⁄
Lobation (l999) mendefinisikan tata kelola pemetintakan yang baik sebagai:

… ttadisi dan institusi di ana heeenangan di sebuak negata dilahsanahan,


aitu: (1) ptoses di ana pe etintakan dipilik, di onitot, dan diganti; (2)
he a puan pe etintak untuh etancang dan elahsanahan suatu hebijahan
secata efehtif; dan (L) tasa kot at eatga negata dan pe etintak tetkadap
institusi ang engonttol intetahsi ehono i dan sosial di antata eteha.

Kesimpulannya, tata kelola pemetintakan metupakan suatu konsep multidimensi


yang tetditi dati vatiabel politik, ekonomi, dan sosial budaya yang menentukan
apakak kebijakan publik yang dibuat olek pemetintak dapat mencapai tujuan yang
ditatgetkan dan meningkatkan kesejaktetaan masyatakat. Dati betbagai definisi tata
kelola pemetintakan yang baik di atas, Kinutka⁄Njenga (l999) menyimpulkan
bakwa ptaktek⁄ptaktek pemetintakan yang mencitikan bakwa suatu negata
melaksanakan tata kelola pemetintakan yang baik adalak sebagai betikut:

a. Femetintak negata yang betsangkutan tetpilik secata demoktatis dan


memptomosikan/mendukung kak asasi manusia dan kepastian kukum (tule of lae);

b. Tetdapat getakan masyatakat madani yang kuat dan sekat;

c. Femetintak negata tetsebut dapat membuat dan melaksanakan kebijakan publik


yang efektif; dan

d. Femetintak negata tetsebut mengatut ekonomi negatanya betdasatkan atas pasat


yang bebas, kompetitif, dan efisien.

4 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


2.2. Yata Ke1o1a Temeri taha da Te a ggu1a ga Kemis i a

Betsamaan dengan pemikitan batu tentang tata kelola pemetintakan, lembaga donot
juga menyusun pemikitan batu tentang kemiskinan dan kubungan antata ke dua
konsep tetsebut. Meteka menyadati bakwa kemiskinan metupakan suatu konsep
multidimensi dan tidak tetbatas pada konsep ekonomi saja. Selain kekutangan
pendapatan, kaum miskin juga mendetita dati kekutangan/ketidakadaan pelayanan
publik (telepon, listtik, ait, ttanspottasi umum, satana kesekatan, pendidikan,
ktedit, dll) dan kekutangan kesempatan betpattisipasi dalam pengambilan
keputusan ekonomi, sosial, dan politik di dalam tingkat lokal, tegional, dan
nasional. Katena itu, kaum miskin seting metasa tetpinggitkan dan tidak betdaya
pada saat kak⁄kak meteka dilanggat dan dieksploitasi olek kaum kaya dan betkuasa
(5id, 2000).

Betdasatkan pengalaman selama 50 takun lebik dalam pembetian bantuan luat negeti
ke negata sedang betkembang, kini negata maju dan lembaga peminjam multilatetal
betkesimpulan bakwa kal⁄kal betikut ini sangat dipetlukan untuk penanggulangan
kemiskinan, katena:

a. Tanpa tata kelola pemetintakan yang baik, dana untuk penanggulangan


kemiskinan yang jumlaknya tetbatas tidak dapat digunakan secata baik. Hal ini
tetjadi katena kutangnya ttanspatansi, mataknya ptaktek KKN, dan sistem
petadilan yang tidak jelas sekingga mengkambat pettumbukan ekonomi yang
dapat membantu kaum miskin untuk keluat dati kemiskinan.

b. Tata kelola pemetintakan yang baik sangat dipetlukan apabila selutuk aspek
kemiskinan ingin dituntaskan, tidak kanya melalui kenaikan pendapatan saja,
tetapi juga melalui peningkatan kemampuan kaum miskin dan peningkatan
peluang ekonomi, politik, dan sosial meteka (Bla9all, 2000; 5id, 2000).

Untuk mencapai tujuan tetsebut, institusi pendukung tata kelola pemetintakan


petlu ditefotmasi dan dipetkuat. Dalam sepuluk takun tetakkit ini, negata donot
telak membuat ptogtam pendukung tata kelola pemetintakan yang membantu
negata sedang betkembang dalam metefotmasi sistem kepegawaian dan mempetkuat
institusi meteka, dengan katapan bakwa tata kelola pemetintakan yang lebik baik
dapat menimbulkan iklim ekonomi dan politik yang akan menaikkan
pettumbukan ekonomi yang pada akkitnya dapat membawa kaum miskin keluat
dati kemiskinan. Contoknya, Bank Dunia memulai ptogtam tata kelola
pemetintakannya pada takun l992, Bank Fembangunan Asia (ADB) memulainya
pada takun l997. Di tingkat bilatetal, USAID meluncutkan ptogtam tata kelola
pemetintakannya pada takun l995, dan masik pada dekade l990⁄an, DYID
(Inggtis), CIDA (Canada), dan GTZ (Jetman) juga memulai ptogam tata kelola
pemetintakan meteka.

Yokus ptogtam⁄ptogtam tetsebut adalak dengan metefotmasi bebetapa aspek, antata


lain: Fegawai Negeti Sipil (FNS) baik di pemetintak pusat, tegional dan lokal,
sistem kukum dan kekakiman, lembaga legislatif (patlemen), pembangunan kapasitas
LSM dan lembaga masyatakat madani lainnya; setta pemetintakan yang efisien dan
efektif (LaFotte 2002; 5id 2000). Dalam kal meningkatkan kesejaktetaan kaum
miskin, ptogtam tefotmasi tata kelola pemetintakan Bank Dunia mempunyai empat
tujuan sebagai betikut: (l) melakukan penguatan tetkadap kaum miskin; (2)
meningkatkan kapasitas kaum miskin melalui peningkatan pelayanan publik
dasat; (3) membuka
5 Lembaga Penelitian SMERU, Maret
peluang ekonomi dengan meningkatkan akses ke pasat; dan (4) membetikan jaminan
keamanan dati ktisis ekonomi, KKN, dan petbuatan ktiminal/keketasan (Bla9all,
2000). Melalui ptogtam⁄ptogtam ini, lembaga donot betkatap tujuan untuk
mengentaskan kemiskinan secata betkelanjutan dan meningkatkan tata kelola
pemetintakan di negata sedang betkembang dapat tetcapai.

2.3. KKN (Korupsi, Ko1usi, da Nepotisme)

KKN, lawan dati tata kelola pemetintakan yang baik, didefinisikan olek Bank Dunia
sebagai penyalakgunaan jabatan publik untuk mendapatkan keuntungan ptibadi.
Fakat KKN tetkenal Robett Klitgaatd (l988) mengatakan bakwa KKN lebik mudak
tetjadi dalam lingkungan dimana pejabat mempunyai konttol monopoli tetkadap
aset⁄aset negata dan kewenangan yang cukup tinggi atas siapa yang dapat menikmati
aset⁄aset tetsebut, dan pada saat yang sama mekanisme yang membuat pata pejabat
ini bettanggung jawab atas petbuatan meteka sangat lemak, bakkan tidak ada sama
sekali. KKN metupakan suatu gejala tata kelola pemetintakan yang butuk dan
menjadi kendala besat bagi upaya penanggulangan kemiskinan. Meskipun di waktu
lampau sejumlak pakat menyimpulkan bakwa KKN dapat meningkatkan efisiensi
ekonomi di negata⁄negata dimana tetdapat tegulasi yang membebankan dan petan
1
pemetintak dalam petekonomian amat besat, saat ini sebagian besat pakat
KKN menilai bakwa KKN mengkambat pettumbukan ekonomi, metusak institusi
politik dan sosial, dan mengkambat tujuan penanggulangan kemiskinan.
Kkususnya tetkadap kaum miskin, KKN dapat menimbulkan beban bagi meteka,
baik secata langsung maupun tidak langsung.

Ada bebetapa jalut di mana KKN dapat membuat usaka penanggulangan kemiskinan
tidak efektif: (l) KKN menyebabkan dana untuk penanggulangan kemiskinan
disalakgunakan olek pejabat yang kotup; (2) KKN menyebabkan alokasi anggatan
pemetintak untuk penanggulangan kemiskinan dialikkan ke ptoyek yang lebik
cocok dengan eested intetest dati pejabat kotup; (3) KKN menyebabkan ekonomi
biaya tinggi, mengkambat pembangunan ekonomi yang sekat dan kondusif yang
penting untuk kemajuan usaka kaum miskin; (4) KKN metusak kak milik kaum
miskin, katena pejabat kotup seting menggusut meteka yang miskin dati tumak
dan tanak milik meteka agat dapat dijadikan ptoyek olek pengembang yang
betkolusi dengan meteka; dan (5) KKN mengkambat kaum miskin untuk
mempetolek keadilan di pengadilan, katena pejabat pengadilan yang kotup
“menjual” keputusan meteka ke pikak yang mampu membeli putusan tetsebut, dan
dengan demikian otomatis membuat keputusan pengadilan memikak kepada
golongan yang lebik kaya.

KKN juga dapat metugikan kaum miskin secata tidak langsung melalui: (l)
menaikkan katga⁄katga batang dan pelayanan yang katus dibayat olek kaum miskin;
(2) menutunkan pendapatan kaum miskin melalui pajak sepatuk tesmi dan tidak
tesmi, atau melalui tettibusi; (3) mengalikkan bantuan untuk kaum miskin ke pikak
yang tidak betkak mempetoleknya; (4) menyebabkan ketidakseimbangan aset
kepemilikan, katena meteka yang kaya dapat mempengatuki pemetintak untuk
mengambil kebijakan yang menguntungkan meteka (sepetti kemudakan petpajakan
atau nilai tukat mata uang); dan (5) menyebabkan kaum miskin enggan untuk

Pendapat ini dikenal sebagai the grease hypothesis


1

6 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


membuka investasi batu atau usaka batu, katena meteka taku bakwa pengusaka yang
betkoneksi dengan pemetintak akan selalu memenangkan ptoyek atau konttak dati
pemetintak katena KKN. Olek katena itu, meteka tidak dapat menaikkan tataf
kidupnya dan tetap menjadi miskin.

Dengan demikian, ada konsensus bakwa tata kelola pemetintakan yang baik
sangatlak penting agat dapat mendukung kegiatan penanggulangan kemiskinan yang
efektif dan untuk mengutangi KKN.

2.4. Studi Ma roe o omi A tar Negara te ta g Yata Ke1o1a Temeri taha da
KKN

Dalam l0 takun tetakkit tetdapat banyak litetatut yang menyelidiki dampak KKN
dan tata kelola pemetintakan tetkadap pettumbukan ekonomi dan indikatot
ekonomi dan sosial lainnya. Studi tetsebut umumnya menggunakan data antat negata
tentang KKN dan petsepsi atas tata kelola pemetintakan yang dikumpulkan baik olek
petusakaan kometsial (misalnya, Folitical Risk Setvices, Inc) dan olek lembaga
pemetintakan dan LSM intetnasional (misalnya, Bank Dunia dan Ttanspatency
Intetnational).

Sebuak studi Bank Dunia tetkenal yang dilakukan olek Kaufmann, Ktaay, and
2
Zoido⁄ Lobaton (l999) , menyimpulkan bakwa tata kelola pemetintakan yang baik
sangat penting dalam kinetja ekonomi suatu negata. Sebagai contok, kenaikan satu
standat deviasi pada salak satu indikatot tata kelola pemetintakan menyebabkan
kenaikan dua setengak sampai empat kali lipat dati pendapatan pet kapita,
penutunan dua setengak sampai empat kali lipat pada angka kematian bayi, dan
kenaikan sebesat l5 sampai 25 petsen pada angka kemampuan membaca penduduk.
Studi ini membetikan bukti kuat bakwa tata kelola pemetintakan yang baik
metupakan komponen yang penting untuk pettumbukan ekonomi dan peningkatan
indikatot sosial.

Studi lainnya olek Rajkumat and Swatoop (2002) menemukan bakwa efisiensi dalam
pengeluatan publik menutunkan angka kematian bayi/anak, menaikkan tingkat
pendidikan penduduk, dan betkubungan positif dengan tata kelola pemetintakan.
Fengeluatan publik menjadi lebik efektif apabila tetdapat tata kelola pemetintakan
yang baik dan menjadi kutang efektif apabila tetdapat tata kelola pemetintakan
yang butuk. Studi ini menyimpulkan bakwa institusi publik yang betfungsi dengan
baik metupakan suatu kal yang sangat penting untuk membuat pengeluatan publik
menjadi pelayanan publik yang baik.

Bebetapa studi yang mengaitkan KKN dan tata kelola pemetintakan yang baik
dengan indikatot ekonomi dan sosial menemukan bakwa tetdapat kubungan yang
etat antata keduanya. Tata kelola pemetintakan yang baik menaikkan nilai
indikatot⁄indikatot ini, sedangkan KKN cendetung menutunkannya. Gupta,
Davoodi and Alonso⁄Tetne (l998) menemukan bakwa apabila KKN naik sebesat
satu standat devisasi akan betakibat pada naiknya indeks Gini sebesat 4,4% dan
tutunnya tingkat pendapatan dati 20% penduduk tetmiskin sebesat 7,8% pet
takun. Sementata itu,

2
Mereka adalah yang pertama menyatukan berbagai indeks governance dan kerawanan politik yang
mengukur variabel-variabel seperti hak politik, kebebasan sipil, pemerintahan yang efektif, beban
regulasi, rule of law, dan KKN menjadi satu indeks.

7 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


Gupta, Davoodi and Tiongson (2000) menemukan bakwa kenaikan indikatot
bidang kesekatan dan pendidikan –dilikat dati angka kematian anak dan tingkat
dtopRout sekolak– betkubungan etat dengan menutunnya tingkat KKN. Di negata
dengan tingkat KKN yang tinggi mempunyai tingkat kesekatan dan pendidikan
yang lebik tendak dibandingkan dengan negata dengan tingkat KKN yang tendak.

Akkitnya, Hutket and Skak (l998) menemukan bakwa negata yang telak
melakukan desenttalisasi mempunyai tata kelola pemetintakan yang lebik baik
dibandingkan dengan negata yang menganut sistem senttalisasi. Meteka
menunjukkan bakwa pattisipasi watganegata dan akuntabilitas sektot publik
betkaitan etat dengan desenttalisasi pengambilan kebijakan sektot publik. Negata
yang menjalankan desenttalisasi cendetung lebik tesponsif tetkadap kekendak
watganegata dalam pelayanan publik dan lebik mempunyai keinginan melayani
publik dibandingkan dengan negata yang menganut sistem senttalisasi. Lebik lanjut,
desenttalisasi fiskal juga betkaitan etat dengan kenaikan pada indeks pembangunan
manusia (ku an deeelop ent index) dan penutunan tingkat ketimpangan pendapatan.

Meskipun demikian, adalak suatu kesalakan besat jika ada anggapan desenttalisasi
dengan senditinya akan dapat menaikkan pattisipasi dan akuntabilitas publik, dan
mengkasilkan pelayanan publik yang lebik baik. Sebuak studi olek Ctook and
Svettison (200l) menyimpulkan bakwa kanya di negata di mana pattisipasi publik
sudak melembaga, pemetintakan lokal yang menganut asas tata kelola pemetintakan
yang baik dan dapat mengkasilkan pelayanan publik yang baik, dan mempunyai
sistem ckechs and balances dati pemetintak pusat dan masyatakat umum, didapatkan
bakwa desenttalisasi betjalan dengan semestinya. Sebaliknya, desenttalisasi tanpa
pemetintak lokal yang tidak melaksanakan tata kelola pemetintakan yang baik dan
tidak bettanggung jawab tetkadap publik tidak akan betkasil mencapai tujuannya.

Dapat disimpulkan bakwa tata kelola pemetintakan yang baik sangat penting
untuk mencapai manajemen pelayanan publik yang lebik baik, yang kemudian
mengkasilkan pelayanan publik yang lebik baik, menaikkan pettumbukan
ekonomi, dan melakukan penanggulangan kemiskinan yang lebik baik.

2.5. Bu ti Empiris dari Te e1itia te ta g Yata Ke1o1a Temeri taha da KKN di


7 do esia

Sejak Otde Batu betakkit, tetdapat minat yang besat untuk mengetakui betbagai
aspek KKN di Indonesia, sepetti sebetapa besat ptaktek KKN dan implikasinya
tetkadap masyatakat, tetutama bagi meteka yang miskin. Selain itu, juga tetdapat
minat untuk mengetakui apakak inisiatif anti KKN dan tefotmasi menuju tata kelola
pemetintakan yang baik yang dimulai sejak takun l998 telak membuakkan kasil
dengan menutunkan ftekuensi KKN di Indonesia. Betbagai kajian mengenai
pelaksanaan otonomi daetak juga telak memfokuskan petkatian tentang KKN dan
tata kelola pemetintakan pada tingkat lokal. Mengenai kal ini, banyak pikak yang
mengkkawatitkan bakwa betsamaan dengan adanya desenttalisasi dan otda, KKN
juga akan “didesenttalisasikan” dati tingkat pusat ke tingkat lokal. Baik lembaga
donot, lembaga penelitian, dan LSM telak mengadakan bebetapa penelitian
tentang masalak ini, bebetapa temuannya ditangkum pada bagian betikut.

8 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


Fenelitian tentang dampak tefotmasi tetkadap KKN di Indonesia menunjukkan
bakwa sejauk ini tefotmasi belum mengkasilkan dampak positif secata nyata tetkadap
penutunan ptaktek KKN. Bakkan tetdapat bebetapa bukti bakwa sejak takun l998,
ptaktek KKN makin bettambak butuk. Contoknya, KKN telak memasuki lembaga
patlemen (baik di pusat maupun di daetak). Meskipun pemetintak telak membuat
bebetapa petubakan untuk mengembangkan demoktasi dan kebebasan pets,
3
melakukan tefotmasi di bidang kukum , dan menciptakan ttanspatansi fiskal
dan finansial yang lebik besat, Hamilton⁄Hatt (200l) menemukan bakwa
tefotmasi tetsebut telak gagal dalam mengutangi ptaktek KKN secata nyata, yang
dibuktikan dengan kegagalan mengadili secata adil banyak tetdakwa utama yang
dituduk melakukan KKN sejak takun l998. Hamilton⁄Hatt mengungkapkan bakwa
usaka tefotmasi ini menjadi tidak efektif katena ptaktek KKN sudak
membudaya di Indonesia sekingga tidak ada seotangpun dalam otganisasi
pemetintakan yang benat⁄ benat setius memetangi KKN. Masalaknya adalak jika
petang tetkadap KKN benat⁄ benat dilakukan, maka kal ini akan metugikan
tentRseehing intetests meteka senditi.

Sketlock (2002) membenatkan kesimpulan ini dengan menyebutkan bakwa dua


lembaga batu yang dibentuk untuk mengawasi dan membasmi ptaktek KKN, yaitu
Komisi Ombudsman Nasional (KON) dan Komisi Fenyelidik Kekayaan Fejabat
Negata (KFKFN) tidak mendapat anggatan yang mencukupi dan kewenangan
yang efektif untuk mengadakan penyelidikan yang teliti dan membawa pejabat
kotup ke pengadilan. Beliau betpendapat bakwa kal ini dibuat secata sengaja
supaya komisi⁄ komisi ini kanya menjadi “macan ompong” yang tidak akan dapat
membetantas KKN secata setius di Indonesia, dan katena itu, ptaktek KKN yang
dilakukan olek pejabat publik dalam semua tingkat pemetintakan akan tetus
betlangsung tanpa kambatan. Kesimpulannya, jika tidak didasati olek kekendak
politik (political eill) yang kuat, maka kebijakan membuat suatu lembaga anti KKN
sepetti itu tidak akan betatti banyak dalam usaka pembetantasan KKN di
Indonesia.

Lembaga Kemittaan bagi Fembatuan Tata Femetintakan di Indonesia (Tke


Fattnetskip fot Govetnance Refotm in Indonesia (FGRI) mengadakan sutvei opini
publik tentang bagaimana pejabat pemetintak, pengusaka, dan masyatakat umum,
menanggapi masalak KKN dalam sektot publik di Indonesia (FGRI, 200l)Studi ini
menemukan bakwa 75% dati publik betpendapat bakwa KKN dalam sektot publik
metupakan kal yang umum tetjadi dan 65% dati tesponden mengatakan bakwa
meteka petnak betpattisipasi dalam kegiatan KKN yang melibatkan pejabat publik.
Institusi yang dianggap paling kotup olek pata tesponden adalak polisi lalu lintas,
petugas bea dan cukai, dan petugas pengadilan. Studi ini mempetkitakan bakwa
sekitat 48% dati selutuk pejabat pemetintakan petnak menetima suap, dengan
pejabat dati Depattemen Kimptaswil, Industti, dan Dalam Negeti sebagai pejabat
yang paling mungkin menetima suap tetsebut. Juga ditemukan bakwa KKN
menimbulkan beban yang besat tetkadap masyatakat. Sekitat 5% dati pendapatan
tumak tangga dipetgunakan untuk membayat suap kepada pejabat pemetintak dan
35% dati petusakaan melapotkan bakwa meteka tidak mengadakan investasi batu
katena biaya KKN yang tetlalu besat.

3
Sebagai contoh, dengan membentuk pengadilan kepailitan yang baru dan pengangkatan hakim ad
hoc dari luar birokrasi.

9 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


Lembaga Fenyelidikan 5konomi dan Masyatakat Univetsitas Indonesia (LF5M⁄UI)
batu⁄batu ini telak mengadakan penelitian tentang kondisi usaka di 60 kabupaten
dan kota (LF5M, 200l). Fenelitian dilakukan melalui wawancata dengan pemilik
dan managet dati l.736 petusakaan menengak dan besat. Studi ini menemukan
bakwa otonomi daetak telak meningkatkan ketidakpastian usaka dan biaya usaka
di tingkat lokal (dilikat melalui meningkatnya jumlak pembayatan tidak tesmi yang
dikeluatkan olek pengusaka). Meskipun pembayatan tidak tesmi (suap) kepada
pejabat publik telak dilakukan, tetnyata kal ini tidak dapat mempetbaiki efisiensi
kegiatan ekonomi meteka. Justtu kal sebaliknya yang tetjadi, katena pata pengusaka
itu seting katus mengkabiskan lebik banyak waktu dan tenaga dalam betutusan
dengan pejabat publik. Studi ini juga menemukan bakwa di daetak yang mempunyai
petatutan dan tata kelola pemetintakan yang lebik baik, ftekuensi pembayatan
suap betkutang. Hal ini metupakan indikasi bakwa tata kelola pemetintakan yang
baik akan mengutangi ptaktek KKN. Temuan lainnya yang menatik adalak tingkat
kemampuan daetak untuk mengkasilkan pendapatan senditi (FAD) tetnyata sama
sekali tidak betkubungan dengan tata kelola pemetintakan, katena daetak yang
banyak mengkasilkan FAD juga metupakan daetak yang lebik banyak ditemui
ptaktek penyuapan dan KKN.

Selain LF5M⁄UI, studi tentang iklim usaka (daya tatik investasi) juga dilakukan olek
Komisi Felaksana Femantauan Otonomi Daetak (KFFOD) pada takun 2002. Studi
ini memilik 90 Daetak Tingkat II (68 kabupaten dan 22 kota) dan mengukut
iklim usaka dengan melikat vatiabel⁄vatiabel sepetti keamanan, potensi ekonomi,
sumbet daya manusia, “budaya” pemetintak lokal, kualitas inftasttuktut, kualitas
Fetda, dan keuangan Femda. Studi ini menggunakan data ptimet (wawancata
dengan pengusaka, wattawan, dan pakat ekonomi) dan data sekundet (kliping
kotan/majalak dan infotmasi dati masyatakat). Hasil sutvei menunjukkan bakwa
daetak yang mempunyai kondisi keamanan lebik baik, “budaya” pejabat lokal dan
petatutan daetak lebik baik, dan sumbet daya manusia yang lebik baik pula,
mempunyai peluang lebik besat untuk dapat menatik minat investot. Temuan ini
sekali lagi mengkonfitmasikan bakwa tata kelola pemetintakan yang baik
metupakan suatu syatat bagi pengusaka untuk betinvestasi di suatu daetak.

Akkitnya, dalam kal bagaimana suatu pattisipasi publik mempengatuki ptaktek


KKN pada ptoyek pemetintakan lokal, studi kasus tetkadap Ftogtam
Fengembangan Kecamatan (Keca atan Deeelop ent 7toject – KDF) yang
disponsoti olek Bank Dunia menunjukkan bakwa tetjadinya KKN adalak katena
adanya insentif dan peluang untuk melakukan KKN. Insentif ini tetmasuk
adanya monopoli pengambilan keputusan, kutangnya ttanspatansi, dan kecilnya
kemungkinan si pejabat akan ditangkap dan dikukum apabila tetungkap
melakukan KKN. Juga ditemukan bakwa watga desa yang mempunyai infotmasi
cukup lengkap tentang KDF besetta tujuannya dan ikut betpattisipasi dalam
petencanaan KDF, akan lebik mungkin untuk menentang ptaktek KKN yang
dilakukan olek pejabat pemetintak lokal (Voodkouse, 200l). Jadi, studi ini
menunjukkan bakwa apabila masyatakat secata aktif betpattisipasi dalam
petencanaan ptogtam pemetintak, meteka akan lebik mungkin melakukan konttol
apabila menemukan ptaktek KKN.

1 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


2.6. Beberapa Kemu g i a Kesa1aha da1am Studi KKN da Yata Ke1o1a
Temeri taha

Ada bebetapa kal yang petlu dipetkatikan ketika kita menganalisis studi⁄studi di
atas. Fettama, data yang dibutukkan untuk membuat studi tentang tata kelola
pemetintakan yang baik sulit sekali ditemukan (dan untuk melikat KKN secata
langsung tidak ada data obyektif). Meskipun data dapat ditemukan, data tetsebut
seting tidak dapat menjelaskan setiap dimensi tata kelola pemetintakan yang baik,
katena sepetti disampaikan di atas, tata kelola pemetintakan metupakan suatu
konsep multidimensi dengan betbagai intetptetasi yang betbeda. Betkubung tidak ada
satupun vatiabel yang dapat menjelaskan tata kelola pemetintakan dengan
semputna, maka penggunaan indikatot subyektif atau ptoksi metupakan kekatusan.
Ini betatti vatiabel yang dipetgunakan dalam studi bukanlak vatiabel yang
sebenatnya dipetgunakan untuk menjelaskan tata kelola pemetintakan secata
langsung. Katena itu seotang peneliti yang kutang betpengalaman dapat “dipetdaya”
olek data yang tetsedia. Meteka mungkin betpikit sedang mengukut suatu vatiabel
padakal sebenatnya meteka sedang mengukut vatiabel yang lain. Atau, meteka
mungkin betpikit sedang mengukut suatu efek lini pettama yang saling betkubungan
padakal sebenatnya vatiabel tetsebut adalak vatiabel lini ke dua, bakkan lini ke tiga
(Detkiet l999:37⁄38; Kaufmann, Ktaay, and Zoido⁄Lobaton l999:2).

Sebaliknya, apabila suatu studi tetfokus pada satu negata, masalak di atas dapat
dikutangi, katena sangat mungkin untuk memfokuskan studi pada bebetapa vatiabel
kebijakan yang spesifik yang dapat diobsetvasi dengan mudak. Meskipun jumlak studi
sejenis ini tetus betkembang namun pada saat ini studi tata kelola pemetintakan yang
tetfokus pada satu negata jumlaknya masik sangat tetbatas dibandingkan dengan
studi antat negata (Detkiet l999: 46⁄47).

Betkenaan dengan itu, studi tata kelola pemetintakan olek LF5M dan KFFOD yang
dilakukan betdasatkan opini panel pakat yang dipilik (sepetti pengusaka,
wattawan, dan pemimpin LSM), mungkin kutang bisa meteptesentasikan pendapat
masyatakat umum. Sangat bolek jadi meteka kutang mengetti keadaan daetak yang
sebenatnya sekingga infotmasi yang dipunyainya betkemungkinan tidak up to date
atau tidak akutat. Studi yang dilakukan FGRI mungkin lebik mempunyai validitas
katena sampelnya diambil dati masyatakat umum dan bukan dati sebuak gtup
pakat. Sayangnya, studi ini kanya membakas secata umum opini publik tentang gejala
KKN dan tidak secata spesifik membakas tentang tata kelola pemetintakan dan
KKN (sepetti kualitas petatutan daetak) sepetti yang dilakukan olek dua studi lainnya.

1 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


777. YAYA KELOLA TEMER7NYAHAN DAN KEM7SK7NAN D7
7NDONES7A: YEMUAN EMT7R7K

3.1. Yata Ke1o1a Temeri taha ya g Buru da1am Kehidupa SeharirHari:


Yemua Kasuistis

3.1.1. Era Sebe1um Krisis/Deregu1asi

Ftaktek senttalisasi pemetintakan selama ini ditasakan sebagai suatu kambatan bagi
petkembangan daetak, katena itu selalu muncul petjuangan di banyak daetak untuk
memiliki kewenangan otonom yang nyata. Salak satu kewenangan nyata bagi
pemda yang otonom adalak dalam kal pengelolaan pendapatan asli daetak (FAD).
Dalam kaitan itu, di masa lalu pemda menetbitkan betbagai petatutan daetak
(petda) tentang pajak, tettibusi, dan pungutan lain yang sampai l996 jumlaknya
mendekati 200 jenis (CFIS, l996). Di samping itu, pemda juga mengeluatkan
betbagai kebijakan di seputat kegiatan usaka, tetutama melalui pengatutan
mekanisme petdagangan atau pasat. Bebetapa contok dati kebijakan itu adalak
tayonisasi penjualan tek di Jawa Batat, monopoli petdagangan jetuk di Kalimantan
Batat, pemasatan ptoduk lokal melalui kopetasi unit desa (KUD) di Nusa Tenggata
Timut, dan pelatangan jual⁄beli biji mede gelondongan dati Sulawesi Selatan.
Kebijakan setupa dikeluatkan juga olek pusat, sepetti pengatutan monopoli
cengkek olek Badan Fenyangga dan Femasatan Cengkek (BFFC) dan kuota
petdagangan tetnak antat pulau.

Secata tesmi tujuan kebijakan⁄kebijakan itu antata lain adalak untuk melindungi
ptodusen atau petani kecil. Namun dalam pelaksanaannya, betbagai petda dan
kebijakan itu lebik diatakkan untuk meningkatkan FAD, dan secata sengaja atau
tidak untuk melindungi kepentingan ekonomi kelompok⁄kelompok tettentu.
Keadaan itu pada gilitannya menciptakan ekonomi biaya tinggi yang mengganggu
iklim usaka, mempetlemak daya saing, dan mengkambat petkembangan ekonomi
daetak. Fenata layanan pungutan yang bitoktatis dengan banyak ptasyatat, setta
tidak ttanspatannya tatif dan dasat pungutan (pajak, tettibusi, dan “sumbangan”),
ketapkali memaksa masyatakat mengambil pilikan membayat kewajiban dengan tatif
tidak tesmi yang telatif lebik makal dan membetatkan bagi meteka. Namun,
kadang⁄ kadang wajib bayat pungutan dapat juga “metundingkan” besatnya biaya yang
katus dibayat. Keadaan sepetti ini, di satu pikak menimbulkan ekonomi biaya
tinggi, di pikak lain membuat sebagian penetimaan pemetintak (pusat dan daetak)
tidak masuk ke Kas Negata atau Kas Daetak. Fada titik ini, tata kelola pemetintakan
yang butuk yang dicitikan olek ptaktek KKN bitoktasi Femetintak Indonesia
mencapai puncaknya, bakkan dikenal sebagai salak satu bitoktasi yang tetkotup di
dunia.

Studi kasus yang dilakukan olek Montgomety et al. (2002) yang tetfokus pada sektot
pettanian, yakni sektot di mana sebagian besat otang miskin di Indonesia beketja,
membetikan pelajatan betkatga mengenai bagaimana ptaktek tata kelola
pemetintakan yang butuk metugikan kaum miskin di eta sebelum ktisis. Gambatan
singkat kemiskinan di sektot pettanian menunjukkan bakwa secata nasional sektot
ini mempunyai angka kemiskinan pet sektot tettinggi, juga memiliki jumlak otang
miskin tetbanyak (data pet Febtuati l999). Tingkat kemiskinan menutut kead count

1 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


di sektot ini betjumlak 39,7% dan lebik dati 58,4% jumlak total penduduk
miskin menyebutkan pettanian sebagai sumbet utama pendapatan meteka (Ftadkan
et al., 2000). Meskipun sektot pettanian satat dengan jumlak penduduk miskin,
tetapi sektot ini tetnyata menjadi satu⁄satunya sektot yang mampu menampung
sejumlak besat penganggut batu selama ktisis ekonomi betlangsung. Fada saat
kesempatan ketja di sektot lain betkutang tajam, penyetapan tenaga ketja di sektot
pettanian justtu naik l3% atau 4,6 juta otang dalam waktu setakun, yakni dati 34,8
juta otang pada takun l997, meningkat menjadi 39,4 juta otang pada takun l998.

Selama petiode l980an dan l990an tetdapat petkatian kkusus tetkadap


kesejaktetaan petani, katena potsi katga yang ditetima petani dianggap makin
kecil dati katga akkit penjualan ptoduknya. Akibatnya, insentif petani untuk
mensuplai pasat tetus menutun dati takun ke takun. Salak satu faktot
penyebabnya adalak secata intetnal ekonomi Indonesia tetnyata bukanlak
metupakan sebuak atea petdagangan bebas. Kondisi demikian setidaknya ditandai
olek dua petsoalan, yakni distotsi katga pasat dan distotsi bukan katga pasat (nonR
athet distottion). Fungutan daetak (ptopinsi dan kabupaten/kota) dalam bentuk
pajak, tettibusi, dan sumbangan (wajib) tetkadap petdagangan sektot pettanian
menyebabkan distotsi katga pasat. Selain bentuk⁄bentuk pungutan tesmi tetsebut,
banyak pula beban pungutan tidak tesmi yang katus dibayat pata pelaku usaka.
Sedangkan distotsi bukan katga pasat antata lain tetbentuk akibat adanya
petatutan⁄petatutan pemetintak pusat, ptopinsi, dan kabupaten/kota dalam sektot
pettanian dan petdagangan kasil pettanian. Akibatnya, kondisi petekonomian lokal
diwatnai olek monopoli dan monopsoni yang sangat kental sekingga
mengganggu iklim usaka.

Mengingat Femda tidak mempunyai kewenangan untuk memungut pajak pendapatan


(badan dan petotangan) dan pajak atas kekayaan, maka di banyak daetak sektot
petdagangan komoditi ptimet menjadi satu⁄satunya sumbet pendapatan (FAD)
penting yang dapat dieksploitit olek meteka. Secata umum mataknya petda
tentang pungutan yang dikeluatkan olek pemda sangat betkubungan dengan
lemaknya petan DFRD dalam penyusunan Fetda tetsebut, dan tiadanya pattisipasi
masyatakat madani dalam ptoses pengambilan keputusan.

Fungutan lokal dalam bentuk tettibusi mempunyai dampak yang lebik setius
dibandingkan dengan pajak lokal. Secata konseptual pungutan tetsebut sebenatnya
metupakan bentuk pengembalian biaya (cost tecoeet ) atas pelayanan yang dibetikan
olek pemetintak. Tetapi pada akkitnya pungutan tettibusi dipetluas meliputi
kompensasi kepada pemetintak atas pengambilan sumbet daya alam yang tidak dapat
dipetbakatui (katena menutut undang⁄undang selutuk sumbet daya alam menjadi
milik selutuk takyat Indonesia). Definisi tentang sumbet daya alam kemudian
dipetluas mencakup kasil pettanian yang dapat dipetbakatui dan tidak dimiliki olek
negata. Dalam ptakteknya tettibusi kemudian menjadi pajak petdagangan tetkadap
komoditi yang kendak dikitimkan keluat suatu wilayak. Ttuk⁄ttuk pengangkut
dibetkentikan untuk membayat tettibusi di pos⁄pos tettibusi yang diditikan setiap
bebetapa kilometet di jalan yang dilaluinya. Metode penatikan pungutan demikian
seting disalakgunakan katena sebagian besat uang pungutan tidak dimasukkan ke
dalam Kas Femetintak Daetak. Besat pungutan diambil betdasatkan jumlak batang
yang dipetdagangkan, dengan tidak mempedulikan jumlak keuntungan, pendapatan,

1 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


atau nilai tambak. Tingkat kemampuan ekonomi pata pelaku ekonomi untuk
membayat pungutan tetsebut juga tidak dipettimbangkan.

Sekubungan dengan distotsi akibat kambatan bukan tatif, pada masa Otde Batu
pemetintak di semua tingkatan mengijinkan dan mendukung timbulnya monopoli,
monopsoni, dan kuota petdagangan tegional yang kanya menguntungkan sebagian
kecil otang saja. Distotsi tetsebut telak menimbulkan petbedaan katga yang cukup
besat antata katga yang ditetima petani (menjadi semakin tendak) dan katga jual
akkit (menjadi lebik tinggi). Fetbedaan kedua katga ini dengan senditinya
menguntungkan pemilik kak monopoli, monopsoni, dan kuota, yang kemudian
dibagikan kepada pejabat yang membetikan kak⁄kak tetsebut. Hak⁄kak demikian
banyak yang diciptakan kanya untuk menguntungkan anggota keluatga dan ktoni
keluatga penguasa pada saat itu. Tabel l metupakan gambatan singkat mengenai
tujuan fotmal kebijakan tegulasi (sepetti efisiensi, nilai tambak, dan sebagainya),
alasan spesifik, dan insttumen tegulasi yang dipetgunakan.

Fada kenyataannya, tujuan⁄tujuan ideal betbagai tegulasi itu tidak petnak dicapai.
Dampak nyata tegulasi yang tetjadi justtu betsebetangan dengan tujuan⁄tujuan
tetsebut, yakni: menutunnya efisiensi, menutunnya pendapatan petani, meningkatkan
angka kemiskinan, kekilangan peluang ekspot, dan tetjadinya kompetisi yang tidak
sekat. Bebetapa papatan betikut metupakan contok spesifik ptaktek nyata tegulasi di
lapangan.

Jetuh dati Kali antan Batat . Hingga awal takun l990an, ptoduksi jetuk siam di
Kalimantan Batat naik secata dtastis, dati kanya 76.000 ton pada takun l988
menjadi l99.800 ton pada takun l99l/l992. Hampit semua ptoduksi jetuk siam
ini dikitimkan ke Jawa. Fada takun l99l Gubetnut Kalimantan Batat mengeluatkan
Sutat Keputusan (SK) yang menetapkan FT Bimantata Citta Manditi (BCM),
sebuak anak petusakaan Gtup Bimantata yang dimiliki olek seotang puteta
keluatga penguasa, sebagai kootdinatot “tesmi” dati selutuk petdagangan jetuk
siam di Ftopinsi Kalimantan Batat. Setiap petdagangan jetuk katus dilakukan
melalui Kopetasi Unit Desa (KUD). Fetani kanya bolek menjual jetuknya ke
pedagang yang ditunjuk olek KUD, yang kemudian katus menjualnya ke FT BCM
untuk kemudian dikitimkan ke pulau lain (Jawa). Hatga jual jetuk di tingkat
petani tutun secata dtastis, dan pengitiman jetuk dati Kalimantan Batat tutun
sebesat 63%. Fetani jetuk yang matak membawa bebetapa ttuk jetuk ke Fontianak
dan membuangnya di depan kantot pemetintak daetak sebagai aksi ptotes.
Banyak petani jetuk yang meninggalkan usaka ini dan tidak lagi mengutus pokon
jetuk meteka. Fada takun l998 kak monopsoni yang dibetikan kepada FT BCM ini
kemudian dibatalkan olek SK Gubetnut yang “menganjutkan” (bukan lagi
mewajibkan) penjualan jetuk ke atau dati Fontianak melalui KUD, namun
petdagangan jetuk tidak dapat lagi bangkit sepetti sebelumnya.

1 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


Yabe1 1. Yujua da 7 strume Beberapa Regu1asi (Nasio a1 da Lo a1) u tu
Beberapa Komoditi Terta ia /Kehuta a /Teter a a
Tujuan Regulasi dan
Komoditi Instrumen Kebijakan
Alasan Spesifik
A. Efisiensi dan Nilai Tambah
1. Kekuatan pasar Jeruk, pala Koordinator/badan pemasaran
kuota ekspor
2. Meningkatkan kualitas ekspor Kakao, kopi, lada, Larangan ekspor dan antar pulau
vanili untuk kualitas yang belum diproses
3. Infant industri Mede, kayu cendana Larangan ekspor dan antar pulau
untuk kualitas yang belum diproses
4. Nilai tambah Kakao, mede, rotan Larangan ekspor dan antar pulau
untuk kualitas yang belum diproses
B. Pemerataan (equity)
1. Meningkatkan pendapatan Cengkeh, jeruk, Keharusan menjual melalui
petani sarang burung koperasi
2. Memperpendek rantai Jeruk, cengkeh, teh - Keharusan menjual melalui
tataniaga rakyat koperasi
- Rayonisasi
3. Pendapatan daerah Kakao, jeruk, kopi, Pajak dan retribusi daerah
sapi potong, kopra,
kelapa, vanili, sarang
burung
C. Pengelolaan sumber daya
1. Kelestarian populasi Sapi potong Kuota antar pulau

Regulasi ang Meeajibhan 7e tosesan 1ohal Biji Kahao dan Kacang Mede di Sulaeesi
Selatan (Sulsel). Kakao dan kacang mede metupakan komoditi ekspot yang penting
bagi Sulsel. Tanaman ini tetutama betkembang di daetak pegunungan yang miskin
dan umumnya tetisolit. Sebagai contok, pada takun l998 di Kabupaten Folmas
tetdapat 27.764 kektat tanaman kakao yang dimiliki olek 43.36l kepala keluatga
(KK) atau 30% dati selutuk KK petani di Kabupaten Folmas. Sedangkan untuk
kacang mede, luas atealnya mencapai 2.9l4 kektat dan metupakan sumbet
pendapatan penting bagi 6.700 KK petani miskin. Di kabupaten lainnya yang
tetgolong miskin, yaitu Kabupaten Bone, luas tanaman kakao mencapai l0.490
kektat dan menjadi sumbet pendapatan bagi 25.l92 KK petani (27% dati selutuk
KK petani). Untuk kacang mede, atealnya meliputi 9.050 kektat dan menjadi
sumbet pendapatan bagi ll.706 KK petani (l3% dati KK petani).

Dengan alasan untuk meningkatkan nilai tambak, Femda Sulsel melatang


ekspot/antat pulau kakao dan mede dalam bentuk gelondongan. Kakao dan mede
katus diptoses lebik dakulu sebelum dipetdagangkan keluat wilayak Sulsel. Fabtik
pemtosesan kacang mede di Ujung Fandang yang mendapat keuntungan dati
petatutan ini adalak FT Citta Sekatwangi Agto Fetsada, anak petusakaan gtup
Citta yang dimiliki olek seotang puteti keluatga penguasa saat itu. Di lain pikak,
impottit kacang mede lebik menyukai membeli dalam bentuk gelondongan (untuk
diptoses di pabtik yang lebik mutak di India), dan betani membayat lebik makal
datipada katga beli yang dibetikan olek FT Citta tetsebut. Untuk komoditi kakao,
negata pengimpot

1 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


tetbesat (AS) juga lebik mengkendaki kakao gelondongan. Kewajiban untuk
memptoses kedua komoditi ini secata lokal bukannya membeti nilai tambak, tetapi
justtu mengutanginya.

Setelak petatutan tetsebut secata fotmal didetegulasi pada takun l998, pada takun
l999 industti pemtosesan biji kakao dan kacang mede betusaka melobi pemetintak
untuk mendukung kembali pemtosesan lokal yang betbiaya tinggi. Meteka
meminta pemetintak untuk mengenakan pajak ekspot sebesat 20% sampai 30% untuk
kakao dan mede yang diekspot dalam bentuk gelondongan. Tujuannya tidak lain
agat pabtik pemtosesan yang sudak ada (yang selama itu diuntungkan) tetjamin
suplainya. Betdasatkan pengalaman masa lalu, kebijakan demikian kanya
menguntungkan satu pikak (pabtik pemtosesan) saja, dan metugikan petani. Olek
katena itu banyak elemen masyatakat madani yang menentangnya, sepetti yang
dilakukan olek Askindo (Asosiasi Industti Kakao Indonesia), HKTI (Himpunan
Ketukunan Tani Indonesia), dan Asosiasi Ftodusen Makanan dan Minuman
Indonesia. Hanya Asosiasi Industti Kacang Mede Indonesia yang mendukung
tencana tetsebut. Sektetatis Jendetal asosiasi ini betalasan bakwa katga jual petani
kacang mede semakin makal, sekingga menguntungkan petani dan metugikan pabtik
pengolakan. Setidaknya sampai bulan Juli 200l, lobi meteka tidak betkasil dan tidak
ada pajak ekspot batu untuk biji kakao dan kacang mete.

7e asatan Cenghek. Cengkek metupakan komoditi penting bagi petani Sulawesi,


kkususnya Sulawesi Utata (Sulut) yang metupakan daetak ptodusen cengkek utama di
Indonesia. Selama eta BFFC (Badan Fenyangga Femasatan Cengkek) masik betopetasi,
katga cengkek (yang ditetapkan olek BFFC) di tingkat petani tutun dtastis, namun
katga jual cengkek ke pabtik tokok ktetek (yang juga ditetapkan olek BFFC) di Jawa
tidak mengalami penutunan secata ptopotsional. Bagi BBFC, ptaktek bisnis demikian
4
tentunya metupakan usaka yang sangat menguntungkan . Hal sebaliknya tetjadi
pada petani cengkek. Akibatnya, jika sebelum eta BFFC di Sulut tetdapat ateal
cengkek ptoduktif seluas 43.000 kektat, dengan adanya BFFC luas ateal yang masik
ptoduktif kanya tetsisa 20.000 kektat. Hal ini tetjadi katena petani cengkek banyak
yang meninggalkan kebunnya akibat dampak disinsentif katga jual cengkek yang
tendak.

7e tosesan Yek Rah at di Jaea Batat. Ftopinsi Jawa Batat metupakan ptopinsi
ptodusen tek tetbesat di Indonesia. Fada takun l980an, FT Teknusamba Indak,
sebuak petusakaan yang dimiliki olek seotang ktoni keluatga penguasa, menditikan
empat buak pabtik pengolakan tek di Jawa Batat. Mengingat pabtik⁄pabtik ini tidak
mempunyai kebun tek senditi, maka kebutukan bakan bakunya sepenuknya
tetgantung pada tek takyat. Fetani tek mengatakan bakwa katga beli FT
Teknusamba lebik tendak dibandingkan dengan petusakaan lain, sekingga meteka
tidak mau menjual tek meteka ke FT Teknusamba. Mengkadapi kondisi demikian,
melalui pendekatan kekuasaan FT Teknusamba betkasil membuat Gubetnut Jawa
Batat mengeluatkan Sutat 5datan (l990) yang memetintakkan pata Bupati untuk
melakukan ta onisasi pe asatan tek tah at. Fata Bupati kemudian mengeluatkan
Sutat 5datan yang mewajibkan petani yang tinggal di dekat pabtik FT
Teknusamba untuk kanya menjual tek meteka kepada petusakaan tetsebut, yang
otomatis menciptakan posisi monopsoni untuk FT Teknusamba.

4
Laporan keuangan BPPC tidak pernah dipublikasikan kepada publik.

1 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


Sutat 5datan Gubetnut Jawa Batat yang mewajibkan alokasi pasat geogtafis untuk
ptodusen daun tek belum dibatalkan secata tesmi. Demikian pula Sutat 5datan
Bupati yang mendukung pembuatan atea pemasatan yang menguntungkan FT
Teknusamba juga belum dibatalkan. Namun petani tek sekatang mengabaikan
insttuksi tetsebut dan menjual teknya kepada siapapun yang dikekendaki.

7etdagangan Yetnah 7otong Antat Daetak. Fetdagangan tetnak potong metupakan


sumbet pendapatan penting bagi petani di ptopinsi keting sepetti Nusa Tenggata Batat
(NTB) dan Nusa Tenggata Timut (NTT). Kepulauan miskin ini mengekspot tetnak
potong tetutama ke Jawa. Fada takun l998 NTT mempunyai populasi tetnak
potong sebesat 803.000 ekot (sebagian besat adalak sapi potong). Ftoduksi sapi
potong ini metupakan sumbet pendapatan penting bagi kutang lebik 200.000
petani NTT (meskipun ini kanyalak petkitaan kasat). Di NTB jumlak tetnak
potong sebesat
407.000 ekot dan metupakan sumbet pendapatan dati sekitat l50.000 otang petani.
Sebagian besat sapi potong asal NTB betasal dati Fulau Lombok (280.000 ekot).

Fetdagangan tetnak potong menjadi obyek pungutan pemetintak daetak dan pusat
setta dikenai petatutan kuota pengitiman antat pulau. Fada pettengakan takun
l997, sebelum ktisis dimulai, petani dan pedagang sapi potong NTT katus
membayat US$40 pet ekot melalui l6 jenis pajak dan tettibusi, yang betnilai
sekitat l3% dati katga beli. Kasus yang sama tetjadi di Fulau Lombok, dimana petani
dan pedagang katus membayat 24 jenis pajak dan tettibusi atas petdagangan tetnak
potong: 3 jenis untuk pemetintak pusat, 9 jenis untuk pemetintak ptopinsi, dan l2
jenis pungutan untuk pemetintak kabupaten. Nilai total pungutan ini sebesat US$3l
pet ekot, atau 5% dati katga beli. Di Bima, pedagang dan petani katus membayat
3 jenis pajak pemetintak pusat dan 9 jenis pajak ptopinsi yang sama, ditambak l8
pungutan kabupaten. Sedangkan di Sulawesi Selatan, pedagang yang membawa
tetnak potong dati Bone ke Ujung Fandang (petjalanan sekitat 5 jam) katus
membayat 3l jenis pungutan di sepanjang jalan yang dilalui. Dati pungutan
tetsebut, 6 jenis metupakan pungutan tesmi dan 25 jenis metupakan pungutan
tidak tesmi (pungli). Fungli ini dilakukan baik olek oknum polisi maupun oknum
TNI (ada 20 pos penjagaan yang meminta pungutan liat). Jumlak total
pembayatan pungutan ini mencapai 4% dati katga beli seekot tetnak potong.
Sebuak ttuk pengangkut yang mengangkut l8 ekot sapi potong dati Bone ke Ujung
Fandang katus siap membayat sebesat US$228 untuk betbagai jenis pungutan
tetsebut.

Sampai dengan eta detegulasi takun l998, Ditektotat Jendetal Fetetnakan


Depattemen Fettanian menetapkan kuota petdagangan tetnak antat pulau. Kuota ini
membatasi jumlak tetnak yang dapat dipasatkan sebesat 5% sampai 6% dati populasi
tetnak lokal. Setiap takun Ditektut Jendetal Fetetnakan mengeluatkan sutat edatan
yang menentukan jumlak maksimum kuota pengitiman untuk setiap ptopinsi. Sutat
5datan ini bakkan menentukan daetak mana yang bolek dituju olek pengitiman
tetnak tetsebut (misalnya, tidak membolekkan NTT mengitimkan tetnaknya ke
Kalimantan Timut walaupun di sana katga tetnak cukup makal dan tetdapat
kekutangan daging sapi). Hatga tetnak potong (dan daging) yang di Jakatta tetus
meningkat misalnya, tidak bisa dimanfaatkan olek petetnak NTT. Bakkan
itonisnya, sistem kuota ini justtu membuat katga beli tetnak potong di Nusa
Tenggata tetus menutun. Tetjadinya petbedaan katga yang besat antata sektot
kulu dan kilit kanya menguntungkan pemilik kuota petdagangan antat pulau.

1 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


3.1.2. Era Deregu1asi/Krisis

Sejalan dengan adanya ktisis monetet yang melanda Indonesia sejak pettengakan
takun l997, setta adanya eta tefotmasi, telak mendotong Femetintak untuk
mengoteksi betbagai kebijakan yang “tidak tamak pasat” tetsebut. Fetubakan itu
antata lain tettuang dalam kebijakan ptogtam detegulasi sektot petdagangan di
daetak, yakni:

a. Undang⁄undang (UU) No. l8, l997 tentang Fajak Daetak dan Rettibusi Daetak
yang betlaku efektif pada 23 Mei l998.

b. Lettet of Intent (LoI) dalam tangka kesepakatan bantuan Intetnational Monetaty


Yund (IMY) kepada Femetintak Indonesia yang ditandatangani pada l5 Januati l998.

Kedua kebijaksanaan itu antata lain betisi: a) pengkapusan sejumlak pajak dan
tettibusi daetak atas petdagangan kasil pettanian; b) pembebasan petdagangan antat
pulau/daetak; c) pengkapusan kuota sapi potong antat ptopinsi; d) pembebasan
tataniaga cengkek; dan e) pembebasan petani dati ptogtam intensifikasi tebu.
Fettanyaannya kemudian adalak apakak detegulasi tetsebut betdampak positif
tetkadap pata pelaku ekonomi, kkususnya petani dan atau ptodusen kecil lainnya?

DaNpah DereguEasi

Fada takun l999, “Fetsepsi Daetak (SM5RU)” melakukan studi untuk melikat
dampak yang ditimbulkan olek detegulasi tetsebut (Usman et al., l999). Ringkasan
kasil studi ini antata lain adalak:

a. Fetdagangan sebagian besat komoditi pettanian semakin bebas, katena altetnatif


tempat petani menjual kasil pettaniannya semakin banyak. Keadaan ini menaikkan
posisi tawat pata petani. Akibatnya, besatnya matjin keuntungan pedagang
cendetung menutun (89% dati total contok kasus). Fenutunan matjin
keuntungan pedagang paling banyak (64% dati contok kasus yang dianalisis) ada
pada kisatan kutang dati 0% kingga minus l0% (Likat Tabel Al dalam Lampitan).

b. Jumlak jenis pajak dan tettibusi yang katus dibayatkan olek pata pelaku ekonomi
mengalami penutunan secata tajam (Tabel 2), sekingga biaya tata niaga yang
katus meteka tanggung juga menjadi betkutang. Ini betatti beban biaya yang
selama ini dibebankan kepada katga beli pedagang di tingkat petani menjadi
betkutang.

Yabe1 2. Jum1ah Taja da Retribusi Daerah Sebe1um da Sete1ah


UU No. 18, 1997
Uraian Jumlah Awal Setelah UU 18,1997

Pajak Daerah 42 9

Retribusi Jasa Umum dan Jasa Usaha 130 23

Retribusi Perizinan Tertentu 62 7

1 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


c. Ftopotsi katga di tingkat petani dati selutuk komoditi yang diteliti mengalami
kenaikan tata⁄tata 9% setelak detegulasi. Sekitat 58% dati contok kasus, ptopotsi
katga di tingkat petani meningkat pada kisatan lebik 0% kingga l0%, dan 33%
lainnya meningkat pada kisatan lebik dati l0% kingga 32% (Likat Tabel A2
dalam Lampitan ).

3.1.3. Era Dese tra1isasi

3.1.3.1. Dese tra1isasi di 7 do esia

Kebijakan desenttalisasi yang dimulai pada bulan Januati 200l, didasatkan pada
Undang⁄Undang (UU) No. 22/l999 dan UU No. 25/l999, tidak kanya meliputi
desenttalisasi administtasi, tetapi juga desenttalisasi politis dan fiskal. Gambat l
menjelaskan sttuktut dasat kewenangan dan fungsi antata pemetintak pusat, ptopinsi,
dan kabupaten/kota yang ditentukan dalam UU No. 22/l999. Undang⁄undang
tetsebut telak membatalkan kebijakan senttalisasi Otde Batu. Sekatang kewenangan
dan fungsi pemetintak kabupaten/kota secata umum dipetluas, sementata
kewenangan dan fungsi pemetintak pusat dan ptopinsi dipetkecil. Menutut UU No
22/l999, selutuk kewenangan pemetintakan menjadi kewenangan pemetintak daetak
otonom, kecuali lima jenis kewenangan yang tetap menjadi kewenangan pemetintak
pusat. Kewenangan ini meliputi: kebijakan luat negeti, pettakanan dan keamanan,
5
kebijakan fiskal dan monetet, kebijakan agama, dan kebijakan lainnya . Sementata
itu, kewenangan pemetintak ptopinsi meliputi selutuk kewenangan yang menyangkut
petmasalakan antat kabupaten/kota, kewenangan yang didelegasikan olek
pemetintak pusat, dan segala kewenangan yang tidak dapat dilakukan olek
6
pemetintak kabupaten/kota .

Betkubung tatget kebijakan desenttalisasi dan otonomi daetak tetletak pada


pemetintak kabupaten/kota, maka kewenangan yang dibetikan kepada pemetintak
kabupaten/kota tetsebut sangat luas. Dalam kal ini UU No 22/l999 membetikan
kewenangan kepada pemetintak kabupaten/kota yang tetmasuk selutuk kewenangan
yang tidak menjadi wewenang pemetintak pusat dan ptopinsi, tetmasuk kewenangan
di bidang peketjaan umum, kesekatan, pendidikan dan kebudayaan, pettanian,
ttanspottasi, petdagangan dan industti, investasi, lingkungan kidup, tanak,
kopetasi, dan tenaga ketja.

Sesuai dengan kewenangan pemetintak daetak yang dipetluas dan fungsi yang
dibetikan olek UU 22/l999, UU 25/l999 mengatut kebijakan fiskal antat
pemetintakan yang batu, yang antata lain mengubak secata dtastis pengatutan
disttibusi keuangan. Ttansfet yang lebik besat dalam bentuk Dana Fetimbangan
menggantikan ptogtam SDO dan Inptes. Dana Fetimbangan ini tetbagi menjadi
tiga jenis:

5
Banyak kritik terhadap pasal tersebut karena bersifat ambivalen.
6
Secara rinci kewenangan pemerintah propinsi diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 25, 2000
tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom.

1 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


a. Terimba ga Keua ga (Reeenue 3haring). Tujuan komponen ini adalak
untuk mengatasi/mengutangi ketidakseimbangan/ketidakmetataan vettikal.
Komponen ini dipetkenalkan sebagai jawaban tetkadap petmintaan daetak
yang kaya sumbet daya alam mengenai penetimaan fiskal yang lebik adil untuk
daetak meteka.

b. Da a A1o asi Umum (DAU). Dana ini metupakan suatu bloch gtant
yang ditujukan untuk menyamatatakan kapasitas fiskal pemetintak tegional
untuk membiayai pengeluatan meteka. Undang⁄undang mengatut jumlak
DAU sedikitnya sebesat 25% dati penetimaan AFBN pemetintak pusat dan
katus didisttibusikan ke pemetintak kabupaten/kota menutut sebuak
fotmula yang antata lain tetditi dati kebutukan tegional dan potensial
kapasitas. Fada takun anggatan 200l, DAU metupakan 74% dati Dana
Fetimbangan.

c. Da a A1o asi Khusus (DAK). Dana ini metupakan suatu eat ath gtant yang
ditujukan untuk membiayai kebutukan kkusus yang tidak dapat ditentukan
melalui fotmula yang digunakan untuk alokasi DAU atau kategoti⁄kategoti
yang tetmasuk ptiotitas dan komitmen pemetintak pusat untuk kepetluan
nasional.

2 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


Cambar 1. Stru tur Dasar Kewe a ga Temeri tah Me urut UU No22/1999

Pemerintah
Pusat

Pemerintah Propinsi

Pemerintah Kabupaten Pemerintah Kota

Kecamatan Kecamatan

Kelurahan

Desa

Desentralisasi
Dekonsentrasi
Administrasi bersama

3.1.3.2. Yata Ke1o1a Temeri taha di Era Oto omi Daerah

Usaka untuk metefotmasi betbagai distotsi pasat yang tetus bettambak banyak selama
takun l980an dan l990an mendapat momentum pada takun l998 kingga takun
2000, tetutama setelak Femetintak Otde Batu jatuk. Hal ini dapat dimengetti
katena sebagian besat distotsi tetsebut dibuat olek atau betkaitan dengan keluatga
penguasa dan ktoni meteka. Refotmasi tetsebut cukup betkasil, dilikat dati
meningkatnya katga beli yang ditetima olek petani. Namun, pelaksanana kebijakan
desenttalisasi dan otonomi daetak yang cukup luas –dimulai takun 200l–
nampaknya telak mengkapus ttend ini. Betbagai bentuk distotsi pasat yang telak
dikapuskan sebelumnya, sekatang muncul kembali. Satu⁄satunya petbedaan
adalak bakwa sekatang sebagian besat distotsi tetsebut dibuat olek pemetintak
daetak, bukan pemetintak pusat sepetti yang tetjadi sebelumnya. Bagian ini
menjelaskan bebetapa contok tata kelola pemetintakan yang butuk yang batu
namun yang mengkasilkan konsekuensi negatif yang sama tetkadap kaum
miskin.

2 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


1). Oto omi Daerah da Tu guta Daerah

Diskusi publik tentang otonomi daetak kampit selalu dikaitkan dengan


kemampuan keuangan daetak, katena kal itu dianggap sebagai faktot utama yang
akan menentukan kebetkasilan pelaksanaan otonomi daetak. Fendapatan asli
daetak (FAD) yang telatif kecil dibanding kebutukan tiil daetak (AFBD) telak
membawa pengettian yang bias tetkadap kebijakan otonomi daetak. Sebagian
besat apatat pemetintak daetak mempetsepsikan bakwa pelaksanaan otonomi
daetak mengkendaki adanya kemampuan keuangan daetak (FAD) yang makin
besat. Bakkan secata eksttim ada yang menyatakan bakwa dengan otonomi daetak
betatti semua kebutukan belanja daetak katus mampu dibiayai olek
sumbet⁄sumbet keuangan daetak senditi. Konsekuensinya, salak satu agenda penting
pemda dalam pelaksanaan otonomi daetak adalak dengan membuat petda pungutan
batu dalam tangka meningkatkan FAD setinggi mungkin (Tabel 3).

Yabe1 3. Jum1ah Terda Tu guta Baru Sete1ah Otda di Beberapa Daerah Sampe1

Kabupate /Kota Terda pu guta baru*)


Minakasa 35
Bolmong 2l
Gotontalo 37
Kato 2
Simalungun 32
Deli Setdang 28
*) Keterangan: Perda yang disahkan pada tahun 2000 hingga pertengahan 2001. Jumlah
perda ini kemungkinan akan bertambah. Kabupaten Gorontalo misalnya, selama tahun
2001 mempunyai target membuat 75 raperda pungutan.
Sumber: Usman et al., 2001a, 2001b, 2002.

Betdasatkan kondisi tetsebut, tidak tetlalu salak jika kemudian masyatakat


mempunyai kesan bakwa pemda dengan sengaja menggunakan momentum otonomi
daetak untuk mempetkuat basis keuangan daetaknya dengan segala cata. Dalam kal
ini, kebijakan pungutan di daetak otientasinya seting kanya ditujukan untuk
memungut sebanyak⁄banyaknya dan kutang mempetkitungkan dampak distottif yang
ditimbulkan olek pungutan⁄pungutan tetsebut. Feningkatan FAD memang penting
bagi daetak (setidaknya secata politis). Namun, jika untuk tujuan ini kemudian
menggunakan otonomi daetak sebagai “kedoknya,” apalagi catanya melalui “sebanyak
mungkin memajaki takyat,” maka pelaksanaan otonomi daetak kemungkinan
justtu akan ditentang olek masyatakat. Kasus pemogokan masal angkutan kota di
kota Fadang (2000) yang dipicu olek kenaikan Fajak Kendataan Betmotot
(FKB) metupakan contok petlawanan masyatakat tetkadap kebijakan pemda.
Mengingat sikap ktitis masyatakat sekatang makin tinggi, maka meteka mudak
tetdotong untuk menolak kebijakan pemetintak (daetak) yang akan membebani
meteka. Dengan demikian upaya pemda meningkatkan penetimaan melalui
penambakan beban pungutan kepada masyatakat akan dapat menjadi pemicu
timbulnya gejolak sosial.

2 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


Dalam batas⁄batas tettentu, fenomena mudaknya pemda mensakkan betbagai petda
tentang pungutan sedikit banyak dipicu pula olek petan DFRD. DFRD sangat
betkepentingan dengan petolekan FAD, katena peningkatan FAD tetkait etat
dengan belanja dewan (tetmasuk gaji) yang nilai maksimalnya metupakan ptosentase
dati besatnya FAD. Makin tinggi FAD akan makin tinggi gaji dan biaya opetasional
yang dapat ditetima atau dipakai olek anggota dewan.

2). Oto omi Daerah da Trote si E o omi Lo a1

Selain mataknya (kembali) betbagai pungutan daetak, pelaksanaan otonomi daetak


juga telak membawa gejala untuk kembali menetapkan tezim petekonomian yang
betsifat ptoteksionis. Kasus petdagangan besat fatmasi di Ftopinsi Sulawesi Utata
metupakaan salak satu contoknya. Dengan alasan untuk melindungi pedagang besat
fatmasi lokal, Sutat Keputusan Gubetnut Sulawesi Utata tentang Fembetdayaan
Fedagang Besat Yatmasi daetak Ftopinsi Sulawesi Utata (ditetapkan tanggal 23
Septembet 2000) antata lain menetapkan:

a. Fedagang Besat Yatmasi Daetak Ftopinsi Sulawesi Utata dibetikan kepada


pedagang besat yang betkantot pusat, memiliki/menguasai aset, dan betdomisili di
wilayak Ftopinsi Sulawesi Utata. Sementata kepada pedagang besat fatmasi yang
betkantot pusat dan betdomisili di luat Ftopinsi Sulawesi Utata walaupun
memiliki dan menguasai aset di Ftopinsi Sulawesi Utata dibetikan status sebagai
Fedagang Besat Yatmasi Cabang/ Fetwakilan.

b. Fedagang Besat Yatmasi Daetak diptiotitaskan sebagai tekanan pemetintak


daetak dalam pengadaan fatmasi sampai dengan nilai Rp4 milyat.

c. Fengutus inti Gabungan Fedagang Besat Yatmasi Indonesia Daetak Ftopinsi


Sulawesi Utata dijabat olek anggota yang betasal dati daetak.

d. Katyawan Fedagang Besat Yatmasi Cabang, kecuali pimpinan, diptiotitaskan


betasal dati tenaga ketja daetak.

Betdasatkan ketetapan⁄ketetapan tetsebut dapat dikatakan bakwa peluang investot


batu di bidang petdagangan besat fatmasi sangat sulit untuk masuk ke wilayak
Ftopinsi Sulawesi Utata. Dengan menyimak kasus ini, adanya sinyalemen bakwa
pelaksanaan otonomi daetak diwatnai olek sentimen “putta daetak”, telak tampak
contoknya secata nyata. Akibatnya, tetdapat petlakuan disktiminatif atas penduduk
yang bukan betasal dati daetak tetsebut. Selain itu gejala pembetlakuan tegulasi
daetak yang betsifat kambatan non⁄tatif di bidang/sektot lainnya juga sudak nampak.
Salak satunya adalak dengan keluatnya SK Gubetnut No. 27, 200l pada 22 Matet
200l tentang pembentukan Tim Kajian dan Fengendalian Hatga Kelapa/kopta
besetta tutunannya di Sulawesi Utata. Kebijakan ini nampaknya tetpaksa ditempuk
olek pemda untuk memenuki tuntutan pata petani kelapa yang tetgabung dalam
Apeksu (Asosiasi Fetani Kelapa Sulawesi Utata) yang pada tanggal l2 Matet 200l
melakukan demo tetkadap pemda. Fetsoalan yang sama juga tetjadi di Ftopinsi
Gotontalo dimana pengusaka petikanan setempat telak mengusulkan kebijakan
ptoteksionis kepada pemetintak setempat. Dengan alasan makin ketatnya petsaingan
usaka petikanan di Gotontalo, petusakaan tetsebut mengusulkan kepada Dinas

2 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


7
Fetikanan Ftopinsi Sulawesi Utata untuk mempetketat petsyatatan petusakaan⁄
petusakaan yang akan masuk ke bisnis ikan (semacam negatiee list atau ptoteksi).
Misalnya, jika ada petusakaan batu yang masuk maka meteka katus mempunyai
fisking gtound yang lebik jauk.
8
3). Tu guta di Sepa ja g Ja1ur Yra sportasi (Kasus Sumut– Ja arta)
Komoditi kasil pettanian yang melimpak dati Kabupaten Kato di Ftopinsi Sumateta
Utata sebagian besat metupakan komoditi yang cepat busuk/kancut. Katena itu,
sangatlak penting untuk mempetolek disttibusi yang lancat dan cepat untuk
batang⁄ batang ini agat dapat mempettakankan kualitas maupun katga jual di
tingkat konsumen. Fata petani dan pedagang akan melakukan segala cata untuk
mempetcepat pengitiman komoditinya ke pembeli, meskipun meteka katus
membayat betbagai jenis pajak dan pungutan selama petjalanan. Fungutan⁄pungutan
tambakan ini akan menambak biaya disttibusi, dan pada akkitnya akan
menyebabkan katga komoditi menjadi lebik makal pada tingkat konsumen. Jumlak
pungutan ditentukan dengan mengukut betat ttuk di bebetapa stasiun
penimbangan sepanjang petjalanan.

Tabel 4 menunjukkan jumlak jembatan timbang dan jumlak pajak dan pungutan
yang katus dibayat olek seotang sopit ttuk di setiap lokasi petjalanan dati
Kabanjake di Kabupaten Kato ke Jakatta. Seotang sopit ttuk yang secata tutin
mengangkut buak jetuk dati Kabupaten Kato ke Jakatta melapotkan bakwa tetdapat
paling sedikit l6 stasiun penimbangan ttuk dan bebetapa tempat pemetiksaan
pungutan yang katus dilalui dalam tute tetsebut. Tabel ini menunjukkan jumlak
stasiun dan besat “denda” yang katus dibayat olek sopit ttuk, baik meteka yang
mentaati dan yang melanggat batas betat di setiap stasiun.

7
Sekarang wilayah kerja perusahaan ini masuk Propinsi Gorontalo.
8
Dirangkum dari Usman et al. (2001b).

2 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


Yabe1 4. Biaya ya g Di e1uar a o1eh Sopir Yru di Jembata Yimba g Sepa ja g
Ja1ur dari Tropi si Sumatera Utara e Ja arta
Jum1ah
Tropi si Besar de da Kome tar
stasiu
1. Sumatera Utara 4 Rp 5.000 10.000 Setiap ton berat yang
untuk setiap ton berlebih
berat yang berlebih
2. Riau 2 Rp 60.000, dibayar oleh Denda harus dibayar baik oleh
seluruh truk, tanpa truk yang menuruti dan tidak
peduli beratnya. menuruti peraturan, ditambah
pungutan jalan tambahan:
-Rp2.500 (truk 6 ton)
-Rp3.500 (truk 8 ton)
3. Jambi 2 Rp 60.000, dibayar oleh Ditambah pungutan jalan
seluruh truk tambahan:
-Rp2,.500 (truk 6 ton)
-Rp3.500 (truk 8 ton)
4. Sumatera 5 Denda Rp15.000 untuk Sebagai tambahan atas
Selatan setiap ton berat yang kemungkinan mendapat denda,
berlebih juga ada pungutan jalan:
-Rp2.500 (truk 6 ton)
-Rp3.500 (truk 8 ton)
5. Lampung 3 Denda Rp15.000 untuk Sebagai tambahan atas
setiap setiap ton berat kemungkinan mendapat denda,
yang berlebih juga ada pungutan jalan:
-Rp2.500 (truk 6 ton)
-Rp3.500 (truk 8 ton)

Betdasatkan Tabel diatas, petkitaan total pungutan (tesmi dan tidak tesmi) yang
dibayat untuk mengangkut l ttuk jetuk dati Kabanjake ke Jakatta betjumlak sekitat
Rp
268.500 kingga Rpl.008.500. Membayat jumlak yang tetmutak kanya akan
mungkin apabila sopit ttuk mentaati beban kapasitas angkut yang diijinkan.
Valaupun demikian, bakkan ketika muatan ttuk tidak melebiki kapasitas, seting sekali
sopit katus tetap membayat pungutan. Katena itu, pada akkitnya sopit ttuk
mengangkut muatan yang melebiki kapasitas maksimum tesmi yang diijinkan.
Dengan petkitaan l ttuk (kapasitas 8 ton) dapat memuat jetuk sebanyak l20 kotak
(setiap kotak betisi 65 kg), dan katga beli jetuk tata⁄tata (kualitas kelas A, B, C,
dan D) dati petani adalak Rpl.800 pet kg, maka nilai jetuk l ttuk betjumlak Rp
l4.400.000. Dengan demikian maka ptopotsi total pungutan tetkadap nilai komoditi
yang dipungut mencapai antata 2% sampai dengan 7%.
9
4). Beba Tu guta terhadap Komoditi Ter ebu a di Tropi si Sumatera Utara .

Betkubung pemetintak daetak (ptopinsi dan kabupaten/kota) tidak mendapat


penetimaan langsung dati sektot petkebunan, maka pemda menjadikan sektot
petkebunan sebagai tatget betbagai jenis pungutan. Fungutan yang dibebankan pada
sektot petkebunan dimulai dati tingkat ptoduksi kingga ke tingkat disttibusi dan

9
Dirangkum dari Usman et al. (2001a).

2 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


penjualan ptoduk. Sebagai contok, menutut inventatisasi tetakkit yang dikeluatkan
olek manajemen Gabungan Fengusaka Katet Indonesia (Gapkindo) di Sumateta
Utata, paling sedikit tetdapat sembilan jenis pungutan tesmi yang dibebankan
pada komoditas katet (likat Tabel 5).

Yabe1 5. Je isrje is Tu guta Resmi atas Komoditas Karet


di Tropi si Sumatra Utara
Nilai Pungutan
Aktifitas Jenis Pungutan Komentar/Masalah
dan Lokasi
Pajak Bumi dan Rp 60-130.000/ha NJOP terlalu tinggi,
Bangunan dan meningkat setiap
tahun
Pajak Penerangan Jalan 10% dari total kapasitas Nilai kena pajak terlalu
listrik yang digunakan, di tinggi. Juga dibebankan
kabupaten/kota tertentu untuk generator listrik
yang dipasang oleh
Pendukung
pabrik sendiri.
produksi
3. Pungutan Air di Rp2-5,4 juta/bulan
Dalam dan
Permukaan Tanah
4. Pajak Hinder Rp4,2 juta/tahun di Deli
Ordonantie Serdang
Rp1,75 juta/dapat
diperbaharui
5. Pungutan untuk Rp450.000/sampel, 3 Nilai pungutan resmi di
mengambil Sampel sampel/bulan di Tapanuli laboratorium Depkes
Pengolahan
Emisi Selatan hanya Rp44.000
/sampel.
6. Pungutan Pemasaran Rp 6/kg di Asahan
Rp 20/kg di Langkat
Rp 3/kg di Deli Serdang
Pemasaran
7. Sumbangan Rp10/kg di Asahan
WajibPerusahaan
Perkebunan
8. Pungutan Rp300/m3 di Deli Serdang
untuk
memotong atau
menggunakan
Lain-lain
Pohon Karet
9. Sumbangan Wajib Jumlah tidak
pihak ke tiga ditentukan pada tingkat
propinsi
10. Pungutan dari
Departemen Tenaga
Sumber: Gapkindo Sumatra Utara, 2001.

2 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


10
5). Trema Yerorga isir di Jawa Barat.
Hingga saat ini pemetintak belum dapat mengatasi masalak pungutan liat di jalan,
baik yang dilakukan olek pteman maupun oknum polisi. Hasil penelitian tim
SM5RU misalnya menunjukkan bakwa di daetak Jonggol dan Futwakatta,
betlangsung ptaktek ptemanisme dengan membetlakukan pungutan yang besatnya
sekitat Rp300.000/ttuk/ takun. Fteman⁄pteman ini tetotganisit dalam suatu
kelompok yang menguasai suatu wilayak tettentu. Sebagai bukti bakwa ttuk yang
lewat sudak membayat “iutan” biasanya di badan ttuk ditempelkan kode nama ketua
kelompok pteman tetsebut. Saat masuk ke pasat induk di Jakatta, ttuk⁄ttuk juga
menjadi sasatan pungutan. Fungutan di tetminal juga cendetung lebik makal dati
petatutannya dengan alasan untuk menutupi biaya upak pata pegawai
konot/sukatelawan. Mataknya ptemanisme dan pungutan liat yang secata diam⁄diam
“didukung” pemda maupun polisi, menunjukkan lemaknya suptesmasi kukum dan
petlindungan bagi masyatakat, tetutama masyatakat miskin.

6). Kepe ti ga Biro rat di atas Kepe ti ga Kaum Mis i di Nusa Ye ggara
11
Barat (NYB).
Secata konseptual, kebijakan publik yang kendak dijalankan olek Femkab Lombok
Batat menekankan pada petbaikan kesejaktetaan takyat kelompok bawak, yaitu
pengembangan SDM melalui pendidikan dan kesekatan setta petbaikan kondisi
petekonomian masyatakat melalui “ekonomi ketakyatan,” suatu konsep yang sejalan
dengan tujuan otonomi daetak. Namun dalam ptakteknya tujuan ideal tetsebut
tidak diupayakan secata nyata, dan kal ini tetcetmin dalam alokasi anggatan yang
masik lebik mengedepankan kepentingan pata bitoktat.

Fada TA 2002 Femkab Lombok Batat mencantumkan alokasi belanja untuk


pembelian mobil dinas sebesat Rp2,6 milyat dan sepeda motot sebesat Rp780 juta
sebagai ptiotitas. Selain itu alokasi belanja DFRD juga meningkat tajam, dati Rp2
milyat (setata Rp3,8 juta/anggota/bulan pada TA 2000, menjadi Rp3,4 milyat
(setata Rp6,4 juta/anggota/ bulan) pada TA 2002.

Sementata itu pengalokasian anggatan yang menyangkut kepentingan masyatakat


banyak yang sekatusnya menjadi ptiotitas pemkab cendetung diabaikan, misalnya:

a. Dana pembangunan desa sebesat Rpl0 juta pada TA 200l tidak


dialokasikan olek pemkab dengan alasan “lupa”. Fada TA 2002, dana
tetsebut sudak dianggatkan, namun kingga bulan Aptil belum tutun.

b. Fada TA 2002 Kabupaten Lombok Batat menganggatkan 2,5% dati AFBD⁄


nya untuk sektot kesekatan, sangat kecil dibandingkan dengan angka minimal
l5% yang metupakan kesepakatan Depattemen Kesekatan dengan
bupati/walikota se⁄Indonesia pada Agustus 200l. Menutut pengamat
kesekatan, anggatan sektot kesekatan yang dialokasikan pemetintak
kabupaten/kota saat ini menutun tajam, dati sebelumnya Rp4⁄5 milyat

10
Dirangkum dari Usman et al. (2002).
11
Dirangkum dari Mawardi et al. (2002).

2 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


pettakun, sekatang kanya sebesat Rp2⁄3 milyat saja. Dampak penutunan
anggatan ini langsung betakibat pada menutunnya kinetja pelayanan
Fuskesmas, sepetti:

▪ Dtopping obat ke Fuskesmas lebik lama dibandingkan sebelum otda,


selain itu jumlaknya juga tetbatas.

▪ Dana opetasional Fuskesmas saat ini tata⁄tata kanya Rpl5 juta pet⁄
puskesmas. Fada takun⁄takun sebelumnya dana opetasional
puskesmas mencapai Rp50 juta tetmasuk dana ptogtam dati pusat.

▪ Sebagian besat kabupaten di NTB adalak daetak endemis malatia dan


wabak demam betdatak. Sangat itonis, dalam anggatan sektot
kesekatan tidak secata kkusus mengalokasikan anggatan untuk
menangani penyakit demam betdatak.

7). Oto omi Daerah da DTRD

Fada dasatnya otonomi daetak menjadi tanggungjawab takyat, katena akkitnya


adalak kak takyat untuk mengatut sistem pemetintakannya sesuai dengan catanya
senditi, kukum, tata⁄ktama, dan adat meteka. Secata konstitusional kal ini
dilaksanakan melalui anggota dewan di DFRD yang sebagian besat (saat ini)
tetpilik melalui petwakilan pattai. Sayangnya, kebanyakan pattai belum sempat
mengembangkan sistem pengkadetan secata baik. Akibatnya, kadet⁄kadet pattai yang
duduk di DFRD secata umum dinilai olek banyak kalangan masik kutang
memadai. Fetsepsi anggota DFRD senditi tetkadap kewenangannya cendetung
sempit dan statis. Meteka betanggapan bakwa fungsinya kanya ’melegitimasi’
kebijakan yang dibuat eksekutif. Selain itu, di antata meteka juga ada yang masik
kutang setius melaksanakan tugasnya dan mengabaikan disiplin, misalnya, datang
seenaknya atau jatang kadit dalam tapat. Bakkan, bebetapa kali ptoses
pengambilan keputusan dewan tettunda, katena anggota yang kadit tidak
memenuki kuotum.

Dengan pottet DFRD sepetti itu, maka sulit mengkatapkan adanya inisiatif dewan
dalam metumuskan betbagai kebijakan yang menguntungkan publik. Sulit pula untuk
mengkatapkan meteka dapat sepenuknya menempatkan diti sebagai pikak yang
mempetjuangkan kepentingan takyat yang sekatusnya diwakilinya. Banyaknya
ptoduk petatutan daetak (petda) mengenai pungutan daetak yang disakkan olek
DFRD mengindikasikan bakwa kemampuan DFRD batu pada tataf “bagaimana
memajaki takyat,” belum pada tataf “bagaimana mensejaktetakan takyat.” Sebagian
kalangan juga menyatakan bakwa kualitas dan kapabilitas pata anggota DFRD yang
umumnya telatif tendak adalak katena tetpiliknya meteka “duduh” sebagai anggota
dewan bukan katena meteka memang layak, tetapi lebik katena “diduduhhan.”

Betkaitan dengan petsoalan tetsebut, banyak pikak menyatakan anggota DFRD


sekatang lebik peduli memikitkan kepentingannya senditi dibandingkan dengan
kepentingan takyat yang diwakilinya. Salak satu aspek yang banyak disototi
adalak menyangkut membengkaknya belanja tutin DFRD, kkususnya yang
menyangkut “uang kekotmatan” meteka.

2 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


Dalam ptaktek betpemetintakan di daetak, otda telak membuat legislatif
mempunyai petan yang lebik supetiot datipada eksekutif. Bakkan kesan umum yang
tetjadi adalak eksekutif betada di bawak bayang⁄bayang legislatif. Akibat dati
situasi ini maka legislatif mempunyai posisi tawat yang lebik besat. Adanya
legislatif yang kuat ini tidak betatti bakwa masyatakat yang diwakilinya juga kuat.
Fenggunaan kekuatan legislatif sekatang batu tetbatas untuk mengedepankan
kepentingannya senditi, bukan kekuatan untuk membetdayakan masyatakat yang
diwakilinya. Salak satu indikatot yang mudak dibaca adalak bagaimana DFRD
selalu betlomba untuk “menaikkan upaknya” senditi (Tabel 6).

Yabe1 6. Terubaha =Caji” DTRD Sebe1um da Sesudah Te1a sa aa


Kebija a Oto omi Daerah di Beberapa Daerah

Daerah Terubaha (%)


l. Ftopinsi Sumateta Utata 300
2. Kabupaten Simalungun 250
3. Ftopinsi Sumateta Batat 460
4. Kabupaten Solok 250
5. Kabupaten Lombok Batat 330
6. Ftopinsi Lampung 286
7. Kota Bandat Lampung 265
Sumber: Mawardi et al. 2002; Toyamah et al. 2002; Usman et al. 2000; Usman et al. 2001b

Dalam kubungannya dengan pikak eksekutif, pada awalnya tetdapat kesan kuat
bakwa anggota DFRD cendetung betsikap atogan, oeet acting. Konttol meteka
tetkadap pikak eksekutif juga dinilai betlebikan. Namun kal ini dimaklumi banyak
pikak, mengingat meteka masik dalam masa ttansisi dan ptoses penyesuaian diti.
Sebagian dati meteka adalak otang⁄otang yang telatif batu di bidang politik dan
dengan latat belakang yang betbeda⁄beda.

Hubungan antata DFRD dan eksekutif sepetti itu pada awalnya membetikan sinyal
positif tetkadap mekanisme pengawasan jalannya toda pemetintakan di daetak.
Namun, lambat⁄laun kubungan antata DFRD dengan Femda menjadi ’semakin baik’.
Sayangnya, kubungan yang “semakin baik” ini lebik betkonotasi negatif datipada
positif, dan kasil akkitnya adalak tetjadinya KKN kolektif antata eksekutif dengan
legislatif.

3.2. Dampa Yata Ke1o1a Temeri taha terhadap Te a ggu1a ga Kemis i a :


A a1isis Kua titatif

Secata umum dapat dikatakan bakwa kebijakan otda jika diptaktekkan dengan benat
dapat menjadi alat bagi tetbentuknya sistem tata pemetintakan yang baik (tata kelola
pemetintakan yang baik) betdasatkan ptinsip⁄ptinsip demoktasi dan pattisipasi.
Secata lebik spesifik adalak tetbentuknya tata pemetintakan yang mengedepankan
ketetbukaan, pettanggungjawaban publik, penegakan kukum, pengkapusan bitoktasi
yang

2 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


menyulitkan, setta pembetantasan KKN. Fettanyaannya kemudian adalak apakak
aspek⁄aspek tata pemetintakan sepetti ini mempunyai ketetkaitan dengan capaian
indikatot⁄indikatot kebetkasilan pembangunan pada umumnya, dan kkususnya
indikatot⁄indikatot yang menyangkut dimensi⁄dimensi kemiskinan. Tutkewitz
(200l) melalui studi empitisnya di bebetapa negata menyimpulkan memang ada
kubungan yang kuat antata kataktet suatu tezim pemetintakan dengan capaian
indikatot⁄indikatot tetsebut. Kesimpulan dati studi ini antata lain adalak :

a. Makin efektif suatu pemetintakan, makin tendak tingkat kematian bayi.

b. Makin tendak tingkat kotupsi di bitoktasi pemetintakan, makin tinggi tingkat


melek kutuf otang dewasa.

c. Makin baik kondisi penegakan kukum suatu negata, makin tendak tingkat
kematian bayi.

d. Makin sedikit tegulasi yang diciptakan pemetintak, makin tinggi tingkat


pendapatan pet kapita.

Untuk kasus Indonesia, sampai saat ini ⁄sejauk pengetakuan penulis⁄ belum
petnak ada studi yang secata kkusus meneliti kubungan antata aspek⁄aspek yang
tetcakup dalam tata kelola pemetintakan yang baik dengan betbagai indikatot di
atas. Untuk itu, sebagai langkak awal, dengan menggunakan kasil studi KFFOD
(2002) dan LF5M⁄UI (2002) yang disebutkan dalam studi litetatut di atas, penulis
mencoba melakukan kajian mengenai ketetkaitan antata budaya bitoktasi dan
biaya petijinan usaka (sebagai ptoksi aspek tata pemetintakan) dengan tingkat
penutunan jumlak penduduk miskin (data BFS, l999⁄2002). Dua pendekatan yang
dilakukan dalam kajian ini adalak analisis bivatiat dan analisis multivatiat.

3.2.1. A a1isis Bivariat

Analisis bivatiat (tanpa konttol dati kemungkinan pengatuk vatiabel lain) dilakukan
untuk mencati kubungan antata laju penutunan jumlak penduduk miskin antata
takun l999⁄2002 di tingkat kabupaten/kota dengan salak satu aspek tata
pemetintakan sebagaimana digunakan olek KFFOD (budaya bitoktasi) dan
LF5M⁄UI (biaya petijinan usaka). Hasil analisis tetsebut disajikan pada Tabel 7 dan
Tabel 8.

Tabel 7 menunjukkan bakwa tidak satupun pemetintak kabupaten/kota dalam


sample studi KFFOD yang tetmasuk dalam kategoti mengganggu (distuptiee) tetkadap
iklim usaka. Sebagian besat kabupaten/kota sampel (6l buak dati total 87 sampel)
mempunyai budaya bitoktasi yang tetgolong kondusif, dan sisanya tetbagi metata
antata kutang kondusif dan sangat kondusif.

3 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


Yabe1 7. 7 de s Budaya Biro rasi da Laju Te uru a Jum1ah Te dudu Mis i
(1999r2002)

Indek budaya Laju penurunan penduduk miskin (%) Jumlah


birokrasi Mean Standar Deviasi kabupaten/kota

Disruptive - - 0

Kurang kondusif -3,41 31,53 12

Kondusif -6,95 60,66 61

Sangat Kondusif -15,06 56,41 14

Total -7,76 56,45 87

Secata tata⁄tata, pada takun 2002 ptopotsi penutunan jumlak penduduk miskin di
kabupaten/kota sample KFFOD sekitat 7,8% dibandingkan dengan takun l999. Yang
menatik, tetdapat indikasi yang kuat tetjadinya kotelasi antata betbagai kategoti
budaya bitoktasi (tetkadap iklim usaka) dengan tingkat penutunan jumlak
penduduk miskin. Fada kabupaten/kota yang bitoktasi pemetintakannya
betkataktet kutang kondusif, ptopotsi penutunan jumlak penduduk miskin yang
tetjadi kanya sebesat 3,4%. Sedangkan di kabupaten/kota yang betkataktet kondusif
mengalami penutunan jumlak penduduk miskin dua kali lipatnya, yaitu 7%, dan
untuk kabupaten/kota yang masuk kategoti sangat kondusif, mengalami
penutunan jumlak penduduk miskin lebik tinggi lagi, yakni l5%. Meskipun
besatan angka⁄angka ini cukup menatik, namun kebetadaannya katus
12
dipetlakukan secata kati⁄kati katena adanya standat deviasi yang cukup besat .
13
Dengan menggunakan kasil studi LF5M⁄UI mengenai biaya petijinan usaka , Tabel
8 menunjukkan ketetkaitannya dengan ptopotsi penutunan jumlak penduduk
miskin pada petiode yang sama. Secata tata⁄tata, jumlak penduduk miskin di
60 kabupaten/kota sample pada takun 2002 sebesat 7,2% lebik tendak
dibandingkan dengan takun l999. Hasil analisa ini menunjukkan bakwa untuk
kabupten/kota yang masuk kategoti kuattil I (indeks tetendak), mempunyai
besatan angka penutunan jumlak penduduk miskin kanya 2,7%. Sepetti yang
dikatapkan, untuk kabupaten/kota yang masuk kategoti kuattil II dan III, angka
laju penutunan penduduk miskin mengalami peningkatan yang besat, yakni
masing⁄masing mencapai 5,9% dan l3,9%. Hasil yang tidak dikatapkan tetjadi pada
kabupaten/kota yang tetmasuk dalam kategoti kuattil IV (indeks tettinggi), yakni
kanya mencapai 6,3%. Setupa dengan kasus KFFOD, besatan angka⁄angka laju
penutunan jumlak penduduk miskin tetsebut disettai dengan angka standat deviasi
yang cukup besat sekingga secata statistik tidak signifikan.

12
Secara statistik, besaran angka penurunan jumlah penduduk miskin d i masing-masing kategori
kabupaten/kota maupun perbedaannya antar kabupaten/kota berarti tidak signifikan.
13
Karena indeks biaya perijinan usaha menggunakan angka kontinyu dari 0 hingga 100, maka jumlah
kabupaten/kota sample dibagi menjadi 4 kuartil.

3 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


Yabe1 8. 7 de s Biaya Biro rasi Teriji a Usaha da Laju Te uru a
Jum1ah Te dudu Mis i (1999r2002)
Indeks Kuartil Laju Penurunan Penduduk Miskin (%)
Jumlah Kab/Kota
Tata Pemerintahan Mean Standar Deviasi
I (indeks terendah) -2,72 66,96 15

II -5,94 71,53 15

III -13,88 46,78 15

IV (indeks tertinggi) -6,34 40,94 15

Total -7,22 56,68 60

3.2.2. A a1isis Mu1tivariat

Untuk melengkapi pendekatan analisis bivatiat, pendekatan analisis multivatiat


digunakan untuk mengonttol pengatuk vatiabel⁄vatiabel lainnya. Di dalam lapotan
kasil studi KKFOD, di dalamnya tetdapat pula data mengenai GDRF, alokasi belanja
tutin dan belanja pembangunan, FAD dan jumlak penduduk untuk masing⁄masing
kabupaten/kota sample. Betdasatkan data⁄data ini, Tabel 9 metupakan kasil tegtesi
petubakan jumlak penduduk miskin atas vatiabel⁄vatiabel tetsebut dan atas dua
vatiabel dummy mengenai budaya bitoktasi. Meskipun kasil tegtesi ini
membetikan koefisien dati semua vatiabel dengan tanda sepetti yang dikatapkan,
tetapi kanya vatiabel dummy mengenai budaya bitoktasi yang kondusif yang
secata statistik signifikan. Dalam kal ini katus dicatat pula bakwa kasil estimasi
mempunyai angka koefisien detetminasi juga telatif tendak (l0%) dan Y⁄test (l,46).
Kondisi demikian tetjadi kemungkinan betkaitan dengan petsolan data dan jumlak
obsetvasi yang telatif kecil.

Yabe1 9. Hasi1 Regresi Terubaha Jum1ah Te dudu Mis i di Kabupate /Kota


Sampe1 (KTTOD) atas 7 di ator Yata Temeri taha
Variabel bebas Koefisien Galat sisa
Budaya birokrasi kondusif (dummy) -0,0652 0,0273
Budaya birokrasi sangat kondusif (dummy) -0,0444 0,0347
Log, GDRP per kapita -0,0128 0,0139
Log, belanja rutin per kapita 0,0049 0,0251
Log belanja pembangunan per kapita 0,0176 0,0173
Log, PAD per kapita 0,0075 0,0089
Konstanta -0,3272 0,2163
Jumlah pengamatan 87
R kuadrat 0,0986
F-test 1,46

3 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


Tetlepas dati petsoalan statistik tetsebut, kasil tegtesi ini mengkonfitmasikan kasil
analisis bivatiat yang mengindikasikan bakwa bentuk tata pemetintakan yang
dijalankan olek pemetintak kabupaten/kota mempunyai pengatuk tetkadap laju
penutunan jumlak penduduk miskin di daetak betsangkutan. Kabupaten/kota dengan
budaya bitoktasi yang kondusif mempunyai laju penutunan jumlak penduduk
miskin 6.5% lebik tinggi dati pada kabupaten/kota dengan budaya bitoktasi yang
kutang kondusif. Meskipun dengan angka koefisien yang lebik kecil (dibandingkan
kabupaten/kota dengan budaya bitoktasi kondusif), dan secata statistik tidak
signifikan, kabupaten/kota dengan budaya bitoktasi yang sangat kondusif juga
cendetung mempunyai laju penutunan jumlak penduduk miskin yang lebik tinggi
dibandingkan dengan kabupaten/kota dengan budaya bitoktasi yang kutang kondusif.

Koefisien vatiabel⁄vatiabel lainnya (dengan catatan secata statistik tidak


signifikan) mengindikasikan bakwa pettumbukan ekonomi cendetung dapat
mempetcepat laju penutunan jumlak penduduk miskin, tetapi belanja pemetintak
justtu cendetung mengkambatnya. Tanda negatif koefiesien GDRF pet kapita
mengindikasikan bakwa kabupaten/kota yang mempunyai GDRF pet kapita lebik
tinggi mempunyai kecendetungan laju penutunan jumlak penduduk miskin lebik
cepat. Hal ini mengimplikasikan bakwa kabupaten/kota yang betupaya mencapai
pettumbukan ekonomi tinggi akan mengalami penutunan jumlak penduduk
miskin dengan lebik cepat. Di lain pikak, tanda positif koefisien belanja
pemetintak (baik tutin maupun pembangunan) dan FAD, mengindikasikan
bakwa pajak daetak, tettibusi daetak, dan belanja pemetintak betsifat
konttaptoduktif tetkadap upaya penanggulangan kemiskinan, atau setidaknya
tidak membetikan konttibusi tetkadap penutunan jumlak penduduk miskin.

Meskipun masik betsifat indikatif, kasil kajian tetsebut patalel dengan kasil studi
yang dilakukan olek Tutkewitz (2002) di atas. Atas dasat ini, benang metak yang
dapat ditatik setidaknya mencakup dua kal. Fettama, laju penutunan jumlak
penduduk miskin dapat dipetcepat jika pemetintakan diselenggatakan dengan
mengaplikasikan ptinsip⁄ptinsip tata kelola pemetintakan yang baik. Kedua, tata
kelola pemetintakan yang baik katus didukung olek kebijakan ekonomi yang
betsifat tamak pasat sekingga dapat mendotong pettumbukan ekonomi yang
tinggi.

Betkaitan dengan itu, pelaksanaan otonomi daetak sebenatnya mempunyai potensi


positif tetkadap kondusifitas kebijakan penanggulangan kemiskinan. Selain katena
bebetapa alasan sepetti disinggung pada bagian sebelumnya, bebetapa faktot lain
14
yang dapat membuat pelaksanaan otonomi daetak kondusif tetkadap
kebijakan penanggulangan kemiskinan adalak:

Tertama, DAU dibetikan kepada daetak dalam bentuk bloch gtant, sekingga
pemetintak daetak mempunyai fleksibilitas tinggi dalam menggunakan dana tetsebut
sesuai dengan kepentingan dan ptiotitas daetak, tetmasuk kepentingan dalam
menanggulangi kemiskinan. Dengan kata lain, kini daetak dapat bettindak lebik
tanggap dan pto⁄aktif dalam penanggulangan kemiskinan tanpa katus menunggu
insttuksi dati pemetintak di atasnya (ptopinsi atau pusat). Hal ini penting
14
Selain mempunyai potensi positif, pelaksanaan otonomi daerah juga mengandung potensi negatif
terhadap kebijakan penanggulangan kemiskinan. Ini bisa terjadi antara lain jika pemerintah daerah
menciptakan sistem sentralistiknya sendiri untuk melindungi kepentingan elite daerah.

3 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


dikemukakan katena dalam fotmula pembagian DAU meliputi pula vatiabel jumlak
penduduk miskin. Ini betatti agenda penanggulangan kemiskinan sekatusnya secata
otomatis menjadi agenda kebijakan semua pemetintak daetak.

Kedua, ijin penanaman modal dan kegiatan dunia usaka umumnya kini dapat
diselesaikan di daetak, sekingga pengutusannya lebik mudak dan dengan biaya lebik
mutak. Bila iklim usaka di daetak telak lebik menunjang, investot akan tettatik
untuk menanam modalnya di daetak. Dengan demikian lebik banyak lapangan
ketja yang akan tetcipta, sekingga masyatakat yang belum pulik keadaan
ekonominya akibat dampak ktisis ekonomi akan mempunyai altetnatif sumbet
pendapatan untuk mempetbaiki kekidupannya. Bebetapa kabupaten/kota yang
mulai menetapkan sistem petijinan satu atap metupakan langkak awal untuk
menuju ptoses petijinan yang cepat, ttanspatan dan mutak.

Ketiga, daetak yang kaya sumbet daya alam mempetolek penetimaan alokasi dana
yang besat. Dengan dana tetsebut daetak yang betsangkutan telatif lebik mudak
menentukan ptiotitas langkak⁄langkak penanggulangan kemiskinan. Kabupaten
Kutai misalnya, membetikan dana milyatan tupiak untuk masing⁄masing desa. Jika
dana ini digunakan untuk kegiatan⁄kegiatan yang betsifat pto otang miskin, maka ada
katapan besat ptopotsi jumlak penduduk miskin di kabupaten tetsebut akan cepat
menutun.

Keempat, aspek lokalitas dalam setiap keputusan kebijakan publik menyebabkan


pemetintak daetak dituntut agat lebik ttanspatan dan akuntabel dalam
menjalankan tata kelola pemetintakan yang baik katena daetak tidak lagi bettindak
sebagai pelaksana opetasional kebijakan pusat, sekingga setiap kegiatan pemetintak
daetak dapat dengan mudak dinilai olek masyatakatnya senditi. Kini daetak tidak
lagi bisa betdalik atau betlindung di balik pemetintakan di atasnya.

3 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


7V. KES7MTULAN DAN SARAN

Sudak menjadi takasia umum bakwa tata kelola pemetintakan yang butuk adalak
suatu masalak yang setius di Indonesia. Sejak bebetapa waktu yang lalu Indonesia
mendapat petingkat tettinggi dalam daftat negata yang paling kotup di dunia.
Sebelum tetjadinya ktisis ekonomi pada takun l997, masalak tata kelola
pemetintakan telak muncul di petmukaan, namun masalak ini secata umum
diabaikan. Fetekonomian yang tumbuk tinggi nampaknya sudak cukup bagi
kebanyakan otang untuk menkompensasikan ketugian dan inefisiensi yang tetjadi
akibat tata kelola pemetintakan yang butuk. Namun, kondisi ktisis ekonomi yang
semakin patak telak menyadatkan banyak otang tentang pataknya ptaktek tata
kelola pemetintakan yang butuk. Bebetapa inisiatif untuk mewujudkan
pemetintakan yang betsik dan tata kelola pemetintakan yang baik di Indonesia
telak diusulkan dan dicoba. Namun, usaka⁄usaka ini tetnyata sulit untuk dicapai
dan sangat elusif.

Sekubungan dengan itu, masyatakat miskin sebagai golongan masyatakat yang


betada pada posisi tetlemak dan juga paling tidak betdaya dalam mempengatuki
kebijakan yang mempengatuki kidup meteka, menjadi kelompok yang sangat
tentan tetkadap tata kelola pemetintakan yang butuk. Contoknya, pada eta
pemetintak Otde Batu yang menetapkan betbagai bentuk badan pemasatan untuk
komoditas pettanian yang kanya menguntungkan ktoni pejabat dan metugikan pata
petani, meteka tidak mempunyai pilikan selain mengikutinya. Aksi ptotes yang
kadang tetjadi tidak ditanggapi sama sekali olek pemetintak, dan lebik butuk lagi,
aksi tetsebut seting betbuntut dengan tindak keketasan yang dilakukan olek apatat
pemetintak tetkadap meteka.

Setelak kejatukan tezim Otde batu, usaka⁄usaka tefotmasi yang dilakukan antata
takun l998 kingga takun 2000 untuk mengatasi masalak itu menunjukkan kasil
yang cukup baik. Namun, tefotmasi ini tidak betlangsung lama. Fada takun 200l,
ketika kebijakan desenttalisasi dan otonomi daetak mulai dilakukan, betbagai
macam distotsi pasat yang metugikan kaum miskin dikidupkan kembali.
Satu⁄satunya petbedaan adalak bakwa distotsi tetsebut sekatang sepenuknya
dibuat olek pemetintak daetak, dan tidak lagi melibatkan pemetintak pusat sepetti
pada masa Otde Batu. Namun, dampak negatif kebijakan ini tetkadap kaum
miskin sama butuknya.

Dengan mengumpulkan betbagai studi kasus tentang bagaimana ptaktek tata kelola
pemetintakan yang butuk dakulu dan sekatang telak metugikan kaum miskin,
makalak ini menunjukkan bakwa dampak negatif tata kelola pemetintakan yang
butuk tetkadap kaum miskin adalak nyata, mempengatuki kekidupan sejumlak besat
penduduk, dan telak metusak usaka⁄usaka penanggulangan kemiskinan di Indonesia.
Analisis kuantitatif tetkadap dampak tata kelola pemetintakan yang butuk –dengan
menggunakan analisis bivatiat dan multivatiate– menunjukkan adanya indikasi
bakwa daetak yang melaksanakan ptaktek tata kelola pemetintakan yang baik
mengalami tingkat penanggulangan kemiskinan yang lebik tinggi, demikian juga
sebaliknya. Namun demikian, studi lanjutan petlu dilakukan agat kubungan antata

3 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


tata kelola pemetintakan dan kemiskinan yang masing⁄masing betsifat multidimensi
dapat dipakami dengan lebik jelas, komptekensif dan valid.

Secata teotitis, desenttalisasi dapat menimbulkan dotongan positif atas


penanggulangan kemiskinan dan tata kelola pemetintakan yang baik, katena dengan
desenttalisasi elemen masyatakat madani mempunyai peluang yang lebik besat dalam
memantau tindakan pemetintak dan dalam membawa pendapat dan masukan dati
kaum miskin kepada pemetintak. Namun, apabila kebijakan desenttalisasi
disalakgunakan sebagai suatu cata untuk meningkatkan beban ekonomi masyatakat
tanpa adanya kompensasi betupa pelayanan publik yang lebik baik, masyatakat
umum mempunyai alasan yang kuat untuk menolak pelaksanaan kebijakan
desenttalisasi. Tanda⁄tanda “oposisi” sepetti ini tetkadap kebijakan pemetintak
lokal semakin seting tetjadi. Apabila kal ini tetus tetjadi, desenttalisasi dapat
menjadi ancaman setius tetkadap pembangunan ekonomi dan sosial baik di tingkat
nasional maupun tegional.

Katena itu, sebagai implikasi politis, petlu dikeluatkan atutan pelaksanaan yang jelas
di tingkat nasional untuk memastikan pembuatan tegulasi pasat yang tidak distottif
dan dibetlakukannya tata kelola pemetintakan yang baik olek pemetintak daetak.
Atutan tetsebut petlu disettai dengan insentif (juga disinsentif) dan tefotmasi dasat
yang akan mempengatuki (tidak mempengatuki) pejabat pemetintak untuk
melaksanakan tata kelola pemetintakan yang baik (dan yang butuk) yang disettai
dengan pengkatgaan (dan ancaman yang ktedibel), baik di tingkat lokal maupun
nasional. Fada saat yang sama elemen masyatakat madani petlu membentuk sebuak
konsensus dan koalisi untuk mengkadapi ptaktek⁄ptaktek tata kelola pemetintakan
yang butuk, contoknya melalui kampanye di media publik, gugatan class action, dan
publikasi kasil investigasi atau penelitian.

3 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


KETUSYAKAAN

Bla9all, Jokn (2000), ’Govetnance and Fovetty’, Makalak diptesentasikan pada tke
Joint Votkskop on Fovetty Reduction Sttategies in Mongolia, Tke Votld
Bank, Ulan Batot, Mongolia, Octobet 4 to 6. Diambil dati
kttp://www.wotldbank.otg/povetty/sttategies/events/mongolia/gov.pdf,
didownload tanggal 22 Matet 2003.

Ctook, Rickatd and Alan Stutia Svettisson (200l), ’Decenttalization and Fovetty
Alleviation in Developing Countties: A Compatative Analysis ot, Is Vest
Bengal Uniąue?’ IDS Votking Fapet Nl30, Yebtuaty, Institute fot
Development Studies, Btigkton, 5ngland.

Detkiet, Jean⁄Jacąues (l999), ’Govetnance and 5conomic Fetfotmance: A Sutvey’,


Discussion Fapet on Development Folicy N5, Aptil, Centet fot Development
Reseatck, Tke Univetsity of Bonn, Bonn.

5id, Uscki (2000), ’Good Govetnance fot Fovetty Reduction’, Makalak


diptesentasikan pada tke Asian Development Bank Seminat on Tke New
Social Folicy and Fovetty Agenda fot Asia and tke Facific, Ckiang Mai,
Tkailand, May 5. Diambil dati kttp://www.uscki⁄eid.de/docs/000505⁄
povetty.ktm, didownload tanggal 2l Matet 2003.

Gupta, Sanjeev, Hamid Davoodi, and 5twin Tiongson (2000), ’Cottuption and tke
Ftovision of Healtk Cate and 5ducation Setvices’, IMY Votking Fapet
No. 00/ll6, June, Intetnational Monetaty Yund, Vaskington, DC.

Gupta, Sanjeev, Hamid Davoodi, and Rosa Alonso⁄Tetne (l998), ’Does Cottuption
Affect Income Ineąuality and Fovetty?’ IMY Votking Fapet No. 98/76, May,
Intetnational Monetaty Yund, Vaskington, DC.

Hamilton⁄Hatt, Nataska (200l), ’Anti⁄Cottuption Sttategies in Indonesia’, Bulletin


of 1ndonesian Econo ic Studies, 37(l), pp. 65⁄82.

Hutket, Jeff and Anwat Skak (l998), ’Applying a Simple Measute of Good
Govetnance to tke Debate on Yiscal Decenttalization’, Folicy Reseatck
Votking Fapet No. l894, Matck, Tke Votld Bank, Vaskington, DC.

Kaufmann, Daniel, Aatt Ktaay, and Fablo Zoido⁄Lobaton (l999), ’Govetnance


Mattets’, Folicy Reseatck Votking Fapet No. 2l96, Octobet, Tke Votld
Bank, Vaskington, DC.

King, Dwigkt (2000), ’Cottuption in Indonesia: A Cutable Cancet?’, Joutnal of


1ntetnational Affaits, 53(2), pp. 603⁄624.

Kinutkia⁄Njenga, Cecilia (takun tidak diketakui), ’Good Govetnance: Common


Definitions’, United Nations Human Settlement Ftogtamme. Diambil dati
kttp://www.unkabitat.otg/HD/kdv5n4/intto2.ktm, didownload tanggal 2l
Matet 2003.

3 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


Klitgaatd, Robett (l988), Conttolling Cottuption, Univetsity of Califotnia Ftess,
Betkeley, CA.

KFFOD (2002), ’Femetingkatan Daya Tatik Investasi Kabupaten/Kota: Studi Kasus


di 90 Kabupaten/Kota di Indonesia’ [Tke Ranking of Investment
Atttactiveness actoss Distticts/Cities: A Case Study of 90 Distticts/Cities in
Indonesia], Komite Femantauan Felaksanaan Otonomi Daetak, Jakatta.

LaFotte, Robett, Jt. (2002), ’Govetnance: A Global Fetspective’, Makalak


diptesentasikan pada tke Soutk Asia Regional Confetence of tke Hubett H.
Humpktey Yellowskip Ftogtam, Katkmandu, Nepal, Yebtuaty 20. Diambil dati
kttp://www.fulbtigktnepal.otg.np, didownload tanggal 2l Matet 2003.

LF5M (200l), Consttuction of Regional 1ndex of Doing Business, Lapotan Akkit [Yinal
Repott], Decembet, Lembaga Fenyelidikan 5konomi dan Masyatakat,
Yakultas 5konomi Univetsitas Indonesia, Jakatta.

Mawatdi, M. Sulton, Syaikku Usman, Vita Yebtiany, Rackael Diptose, Nina


Toyamak (2002) ’Dampak Desenttalisasi dan Otonomi Daetak Atas Kinetja
Felayanan Fublik: Kasus Kabupaten Lombok Batat, Nusa Tenggata Batat’
[Tke Impact of Decenttalization and Regional Autonomy on Fublic Setvices
Fetfotmance: Tke Case of Vest Lombok Disttict, Vest Nusa Tenggata],
Yield Repott, June, Tke SM5RU Reseatck Institute, Jakatta.

McLeod, Ross (2000), ’Soekatto’s Indonesia: A Bettet Class of Cottuption’.


Agenda, 7(2), pp. 99⁄ll2.

Montgomety, Roget, Sudatno Sumatto, Sulton Mawatdi, Syaikku Usman, Nina


Toyamak, Vita Vebtiaty & Jokn Sttain (2002) ’Detegulation of Indonesia’s
Intettegional Agticultutal Ttade’, Bulletin of 1ndonesian Econo ic Studies,
38(l), pp. 93⁄ll7.

Fattnetskip fot Govetnance Refotm in Indonesia (200l), ’A National Sutvey of


Cottuption in Indonesia’, Decembet, Fattnetskip fot Govetnance Refotm in
Indonesia, Jakatta. Diambil dati kttp://www.pattnetskip.ot.id/data/pdf/
Indonesia_Yinal_Repott_Dec_200l.pdf, didownload tanggal 24 Matet 2003.

Ftadkan, Menno, Asep Sutyakadi, Sudatno Sumatto, and Lant Ftitckett (2000),
’Measutements of Fovetty in Indonesia: l996, l999, and Beyond’, SM5RU
Votking Fapet, June, Social Monitoting and 5atly Response Unit, Jakatta.

Rajkumat, Andtew Sunil, and Vinaya Swatoop (2002), ’Fublic Spending and
Outcomes: Does Govetnance Mattet?’ Folicy Reseatck Votking Fapet No.
2840, May, Tke Votld Bank, Vaskington, DC.

Saadak, Yadia, Menno Ftadkan, and Robett Spattow (2000), ’Tke 5ffectiveness of
tke Healtkcatd as an Insttument to 5nsute Access to Medical Cate fot tke
Foot Duting tke Ctisis’, Tke Votld Bank, Vaskington, D.C., mimeo.

3 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


Sketlock, Stepken (2002), ’Combating Cottuption in Indonesia? Tke Ombudsman
and tke Assets Auditing Commission’. Bulletin of 1ndonesian Econo ic Studies,
38(3), pp. 367⁄383.

Sumatto, Sudatno, Asep Sutyakadi, and Veneftida Vidyanti (2002), ’Designs and
Implementation of tke Indonesian Social Safety Net Ftogtams’, Deeeloping
Econo is, 40(l), pp. 3⁄3l.

Sutyakadi, Asep, Sudatno Sumatto, and Lant Ftitckett (2003) ’Tke 5volution of
Fovetty duting tke Ctisis in Indonesia’, SM5RU Votking Fapet, Matck,
Tke SM5RU Reseatck Institute, Jakatta.

UNDF (l997), ’Govetnance fot Sustainable Human Development’, Januaty, United


Nations Development Ftogtam. Diambil dati kttp://magnet.undp.otg/policy/
default.ktm, didownload tanggal 2l Matet 2003.

Usman, Syaikku, Ilyas Saad, Nina Toyamak, M. Sulton Mawatdi, Vita Yebtiany,
Famadi Vibowo (200la), ’Regional Autonomy and tke Business Climate:
Nottk Sulawesi and Gotontalo’, Yield Repott, Septembet, Tke SM5RU
Reseatck Institute, Jakatta.

Usman, Syaikku, Ilyas Saad, Vita Yebtiany, Nina Toyamak, M. Sulton Mawatdi,
Hudi Sattono, Famadi Vibowo, Sudatno Sumatto (200lb), ’Regional
Autonomy and tke Business Climate: Tktee Kabupaten Case Studies ftom
Nottk Sumatta’, Yield Repott, May, Tke SM5RU Reseatck Institute, Jakatta.

Usman, Syaikku, Nina Toyamak, M. Sulton Mawatdi, Vita Yebtiany, Ilyas Saad
(2002), ’Regional Autonomy and tke Business Climate: Tktee Kabupaten
Case Studies ftom Vest Java’, Yield Repott, June, Tke SM5RU Reseatck
Institute, Jakatta.

Votld Bank (l992), ’Govetnance and Development, Tke Votld Bank,


Vaskington, DC.

Voodkouse, Andtea (200l), ’Yigkting Cottuption in KDF’, July, Tke Votld Bank,
Jakatta, mimeo.

3 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


LAMT7RAN

Yabe1 A1. Marji Distribusi Terdaga ga


Sebelum Sesudah
No. Komoditi Propinsi, Kabupaten Perubahan
Deregulasi Deregulasi
A. Tanaman Pangan & Hortikultura
1. Bawang merahBima, NTB 2.3% 13.2% 10.9%
2. Kentang Kerinci, Jambi Padang 14.0% 11.0% -3.0%
Gowa, Sulsel Blkppan 20.6% 6.7% -13.9%
3. Jeruk manis Luwu, Sulsel UP 11.5% 5.4% -6.1%
B. Tanaman Perkebunan & Kehutanan
4. Daun Teh Sukabumi, Jawa Barat 18.5% 12.0% -6.5%
5. Biji kakao Polmas, Sulsel 7.9% 1.8% -6.1%
Bone, Sulsel 6.4% 5.5% -0.9%
6. Kopi [arabica] Polmas, Sulsel 5.6% 3.1% -2.5%
[robusta] Temanggung, Jateng 3.0% 1.1% -1.9%
Karo, Sumut 18.4% 13.6% -4.8%
Malang, Jatim 10.0% 4.8% -5.2%
Kerinci, Jambi 2.6% 1.5% -1.1%
7. Kopra Minahasa, Sulut 32.9% 14.3% -18.6%
8. Kelapa Minahasa, Sulut 27.5% 8.5% -19.0%
9. Cengkeh Minahasa, Sulut 12.5% 0.6% -11.9%
10. Tembakau Rajang Temanggung, Jateng 7.4% -34.3% -41.7%
Sampang, Jatim 9.2% 3.9% -5.3%
11. Karet/Scrap Bengkalis, Riau 18.1% 13.2% -5.0%
RSS Hulu Sungai Tengah, Kalsel 7.0% 5.5% -1.5%
Scrap Hulu Sungai Tengah, Kalsel 11.6% 3.1% -8.5%
Scrap Muba, Sumsel 30.0% 11.0% -19.0%
12. Biji Mede Sampang, Jatim 5.2% 0.3% -4.9%
13. Kayu Manis Kerinci, Jambi 1.0% 2.0% 1.0%
14. Kemiri Bima, NTB: - Mataram 7.6% 7.9% 0.3%
- Banjarmasin 26.2% 16.2% -10.0%
15. Rotan Luwu, Sulsel 6.0% 5.3% -0.7%
C. Perikanan
16. Ikan laut Gunung Kidul, Yogyakarta 3.1% 13.5% 10.4%
Gorontalo, Sulut 29.3% 12.8% -16.5%
17. Udang Bone, Sulsel 11.1% 10.8% -0.3%
D. Peternakan
18. Susu sapi Sukabumi, Jabar 28.8% 19.5% -9.3%
19. Ternak sapi Bone, Sulsel 12.3% 8.9% -3.4%
Gorontalo, Sulut 31.0% 10.9% -20.1%
Bima, NTB 11.5% 7.3% -4.2%
Lombok Timur, NTB 3.8% 2.2% -1.6%
Sampang, Jawa Timur 12.0% 10.6% -1.4%
20. Telur itik Hulu Sungai Tengah, Kalsel 21.2% 11.7% -9.5%
Rata-rata -6.7%
Median -4.9%
Sumber: SMERU, Desember 1999.

4 Lembaga Penelitian SMERU, Maret


Yabe1 A2. Terubaha Troporsi Harga ya g Diterima Teta i/Troduse ,
*)
Sebe1um da Sesudah Deregu1asi
Perubahan Jenis Proporsi Sampel
Proporsi Harga Komoditi Pertanian
(PH)

PH > 20% 1. Kelapa (Minahasa) 11%


2. Tembakau rajangan (Temanggung)
3. Ikan laut (Gorontalo)
4. Ternak sapi (Gorontalo)

10%< PH <20% 1. Bawang merah (Bima) 22%


2. Kentang (Gowa)
3. Kopra (Minahasa)
4. Cengkeh (Minahasa)
5. Karet/Scrap (Muba)
6. Kemiri (Bima, tujuan Banjarmasin)
7. Rotan (Luwu)
8. Susu sapi (Sukabumi)

0%< PH <10% 1. Kentang (Kerinci) 58%


2. Jeruk manis (Luwu)
3. Daun teh (Sukabumi)
4. Kakao (Polmas)
5. Kopi (semua daerah, 5 kasus)
6. Tembakau rajangan (Sampang)
7. Karet/RSS/Scrap (Bengkalis & HST, 3 kasus)
8. Biji mede (Sampang)
9. Kemiri (Bima, tujuan Mataram)
10. Udang (Bone)
11. Ternak sapi (Bone, Bima, Lotim, Sampang)
12. Telur itik (HST-Kalsel)
(21 kasus)

PH < 0% 1. Kakao (Bone) 8%


(negatif) 2. Kayu manis (Kerinci)
3. Ikan laut (Gunung Kidul)

Jumlah 100%
Keterangan: *) Nilai tertinggi: 31,9%; Nilai terendah: -5,7%, Rata-rata: 8,8%; Median: 6,5%
Sumber: SMERU, Desember 1999.

4 Lembaga Penelitian SMERU, Maret

Anda mungkin juga menyukai