Anda di halaman 1dari 19

1.

1 Konsep Keperawatan Gerontik dan Teori Menua


1.1.1. Latar Belakang Pentingnya Keperawatan Gerontik
Saat ini diseluruh dunia jumlah orang lanjut usia di perkirakan ada 500
juta dengan usia rata-rata 60 tahun dan diperkirakan pada tahun 2025 akan
mencapai 1,2 miliyar. Di negara maju seperti Amerika serikat pertambangan
orang lanjut usia diperkirakan 50% dari penduduk berusia di atas 50 tahun
sehingga istilah Baby Boom pada masa lalu berganti menjadi “Ledakan
penduduklanjut usia” (Lansia) (Padila, 2013).
Permasalahan pada lansia dalam pemeliharaan kesehatan: hanya 5%
yang diurus oleh institusi, 25% dari semua resep obat-obat adalah untuk
lanjut usia, penyakit-penyakit mungkin ganda dan kronis hampir 40%
melibatkan lebih dari satu penyakit (komplikasi sering terjadi), akibat-akibat
dari ketidak mampuan akan lebih dari satu penyakit (komplikasi sering
terjadi), ak bibat-akibat dari ketidak mampuan akan lebih cepat terjadi
apabila lanjut usia itu jatu sakit, respon terhadap pengobatan berkurang, daya
tangkal lebih rendah karna proses ketuaan sehingga seorang lanjut usia lebih
budah terkena penyakit, lanjut usia kurang tahan terhadap tekanan mental
lingkungan dan fisik, pemeliharaan kesehatan yang buruk umumnya terjadi
1.Kurang dari 1/3 tidak dilakukan check up kesehatan tahunan,2.Banyak
terlihat pemeliharaan kesehatan sebagai pelayanan yang digunakan hanya
selama kritis hidup, 3. Banyak terlihat lebih dari satu orang dokter yang
melihat secara terpisah (Padila, 2013).
Proses manua di dalam perjalannan hidup manusia merupakan suatu hal
yang wajar akan dialami semua orang yang dikaruniai umur panjang. Hanya
lambat cepatnya proses tersebut bergantung pada masing-masing individu
yang bersangkutan. Adapun permasalahan yang berkaitan dengan lanjut usia
antar lain(Padila, 2013):
1.1.1.1 Secara individu, pengaruh proses menua dapat menimbulkan
berbagai masalah baik secara fisik-biologis, mental maupun sosial
ekonomis
1.1.1.2 Lanjut usia tidak hanya di tandai dengan kemunduran fisik, tetapi
dapt pula berpengaruh terhadap kondisi mental
1.1.1.3 Pada usia mereka yang telah lanjut, sebagian dari para lanjut usia
tersebut masi mempunyai kemampuan bekerja
1.1.1.4 Disamping itu, masi ada dari sebagian lanjut usia dalam keadaan
terlentang, selain tidak mempunyai bekal hidup dan pekerjaan/
penghasilan, mereka juga tidak pempunyai keluarga/ sebatang kara
1.1.1.5 Dalam masyarakat tradisinal biasanya usi lanjut dihargai dan
dihormati sehingga mereka masi dapat berperan yang berguna bagi
masyarakat
1.1.1.6 Didasarkan pada sistem kultural yang berlaku maka mengharuskan
generasi tua/ lanjut usia masih dibutuhkan sebagai Pembina agar jati
diri budaya dan ciri-ciri khas Indonesia tetap terpeliharanya
kelestarianya.
1.1.1.7 Karena kondisinya, lanjut usia memerlukan tempat tinggal atau
fasilitas perubahan yang khusus.

Gambar a. Demografi Orang Lanjut Usia di Indonesia.


NO TAHUN 1980 1985 1990 1995 2000 2020
1. Total penduduk (55 148 165 183 202 222
tahun ke atas)

a. Total (Juta) 11,4 13,3 16 19 22,2 29,1


2
b. Presentase (%) 7,7 8 9,4 9,4 10 11,0
9
c. Harapan Hidup 55,30 58,19 61,12 64,05 65-70 70-
75

Gambar b. Jumlah dan presentase populasi lanjut usia di Indonesia


1971-2020.
Tahun Jumlah Lansia Persentasi
1971a 5.305.874 4.48
1980b 7.998.543 5.54
1990c 11.277.557 6.29
1995d 12.778.212 6.56
2000d 15.262.199 7.97
2005d 17.767.709 7.97
2010d 19.936.895 8.48
2015d 23.992.553 9.77
2020d 28.822.879 11.34

1.1.2. Batasan-Batasan Lanjut Usia


Usia yang dijadikan patokan untuk lanjut usia berbeda-beda, umumnya
berkisaran antara 60-65 tahun. Ada empat tahapan lanjut usia yaitu usia
pertengahan (middle age) usia 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) usia 60-74
tahun, lanjut usia tua (old) usia 75-90 tahun, dan usia sangat tua (very old)
usia > 90 tahun(Padila, 2013).
1.1.3. Proses Menua (Aging Process)
Menjadi tua (Menua) adalah suatu keadaan yang terjadi didalam
kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup yang
tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan
kehidupan(Murwani Arita, 2010).
Menurut WHO dan Undang-Undang No 13 tahun 1998 tentang
kesejahtraan lanjut usia pada pasal 1 ayat 2 yang memyebutkan bahwa umur
60 tahun adalah usia permulaan tua (Murwani Arita, 2010).
Proses penuaan terdiri atas teori-teori tentang penuaan, aspek biologis
pada proses menua, proses penuaan pada pada tingkat sel, proses penuaan
menurut sistem tubuh, dn aspek psikologis pada proses penuaan (Murwani
Arita, 2010).
1.1.4. Teori-Teori Proses Penuaan
Teori-teori tentang penuaan suda banyak yang dikemukakan. Namun
tidak semuanya bisa diterima. Teori-teori itu dapat digolongkan dalam dua
kelompok, yaitu yang termasuk kelompok teori biologis dan teori
psikososial(Murwani Arita, 2010):

1.1.4.1 Teori Biologis


Teori yang merupakan teori biologis adalah sebagi teori jam genetic.
Menurut Hay Ick (1965), secara genetic sudah terprogram bahwa
material didalam inti sel dikatakan bagaikan memiliki jam genetic
terkait dengan frekuensi mitosis.
1.1.4.2 Teori Psikososial
Teori yang merupakan teori psikososial adalah sebagi berikut:
a. Teori Integritas Ego
Teori perkembangan ini mengidentifikasi tugas-tugas yang harus
dicapai dalam tiap tahap perkembangan.
b. Teori Stabilitas Personal
Kepribadian seseorang terbentuk pada masa kanak-kanak dan
tetap bertahan secara stabil. Perubahan yang radikal pada usia tua
bisa jadi mengindikasikan penyakit otak.
c. Teori Sosiokultural
Teori yang merupakan teori sosiokultural adalah sebagai berikut:
1. Teori Yang ( Disengagement Theory)
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya
usia,sesorang berangsur angsur mulai melepaskan diri dari
kehidupan sosialnya, atau menarik diri dari pergaulan dari
sekitarnya. Hal ini mengakibatkan interaksi social lanjut usia
menurun, sehingga sering terjadi kehilangan ganda meliputi
kehilangan peran, hambatan kontak social, berkurangnya
komitmen
2. Teori Aktifitas
Teori ini menyatakan bahwa penuaan yang sukses
tergantung dari bagaimna seorang usia lanjut merasakan
kepuasan dalam beraktifitas dan mempertahankan aktifitas
tersebut selama mungkin. Adapun kualitas aktifitas tersebut
lebih penting dibandingkan kuantitas yang dilakukan.
3. Teori Konsekuensi Fungsional
Teori yang merupakan teori fungsional adalah sebagai
berikut:
a) Teori yang menyatakan tentang konsekuensi funsional
usia lanjut yang berhubungan dengan perubahan-
perubahan karna usia dan factor resiko tambahan.
b) Tanpa intervensi maka beberapa konsekuensi fungsional
akan negative, dengan intervensi menjadi positif.
1.1.5 Landasan Hukum Penanganan Lanjut Usia Dalam Keperawatan
Gerontik
Landasan hukum penanganan lanjut usia adalah sebagai berikut
(Murwani Arita, 2010):
1.1.5.1 Filsafat Negara/P4
1.1.5.2 UUD 1945, pasal 27 ayat 2 dan pasal 34.
1.1.5.3 UU No.9 tahun 1960, tentang pokok-pokok kesehatan bab 1 pasal 1
ayat 1.
1.1.5.4 UU No.4 tahun 1965, tentang pemberian bantuan penghidupan
orangtua.
1.1.5.5 UU No.5 tahun 1974, tentang pokok-pokok pemerintahan didaerah.
1.1.5.6 UU No.6 tahun 1974, tentang ketentuan-ketentuan pokok
kesejahteraan social.
1.1.5.7 Keputusan Presiden RI No.44 tahun 1974
1.1.5.8 Program PBB tentang lanjut usia, anjuran kongres internasional
WINA 1983.GBHN 1983/Repelita IV.
1.1.5.9 Keputusan menteri social RI NO.44 tahun 1974, tentang organisasi
dan tata kerja departemen social provinsi.
1.1.6 Trend Dan Issu Keperawatan Gerontik
Menurut dinas kependudukan Amerika Serikat (1999), jumlah populasi
lansia berusia 60 tahun atau diperkirakan hampir mencapai 600 juta orang
dan diproyeksikan menjadi dua miliar pada thun 2050, pada saat itu lansia
akan melebihi jumlah populasi anak (0-14 tahun). Sedangkan diindonesi
menurut BPS, (1992), pada tahun 2000 jumlah lansia diindonesia di
proyeksikan sebesar 7,28% dan pada tahun 2020 menjadi sebesar 11,34%
(Murwani Arita, 2010).
Disebutkan pada sebuah provinsi dicina disebutkan terdapat populasi
lansia yang sebagian besar berusia lebih dari 100 tahun masih hidup dengan
sehat dan sedikit sekali prevelensi kepikunannya. Menurut mereka,
rahasianya adalah menghindar makanan moderend, banyak mengkomsumsi
sayur dan buah, aktivitas fisik yang tinggi, sosialisasi dengan warga lainnya,
serta hidup ditempat yang sangat bersih dan jauh dari polusi udara. Hal ini
merupakan tantangan bagi kita semua untuk dapat mempertahankan
kesehatan dan kemandirian para lansia agar tidak menjadi beban bagi
dirinya, keluarga, maupun masyarkat (Murwani Arita, 2010).
Sering dengan berkembangnya Indonesia sebagai salah satu negara
dengan tingkat perkembangan yang cukup baik, maka makin tinggi pula
harapan hidup penduduknya. Diproyeksikan harapan hidup orang Indonesia
dapat mencapai 70 tahun pada tahun 2000. Perlahan tapi pasti masalah lansia
mulai dapat perhatian pemerintah dan msyarakat. Hal ini merupakan
konsekuensi logis terhadap berhasilnya pembangunan, yaitu bertambahnya
usia harapan hidup dan banyaknya jumlah lansia diindonesia. Dengan
meningkatnya jumlah penduduk lanjut usia dan makin panjangnya harapan
hidup sebagai akibat yang telah dicapai dalam pembangunan selama ini,
maka merek yang memiliki pengalaman, keahlian, dan keahrifan perlu diberi
kesempatan untuk untuk berperan dalam pembangunan. Maka lansia perlu
mendapat perhatian khusus dari pemerintah dan masyarakat (GBHN, 1993).
Hal ini merupkan tantangan bagi kita semua dapat pertahankan kesehatan
dan kemandirian para lansia agar tidak menjadi beban bagi dirinya,
keluarganya, maupun masyarakat(Murwani Arita, 2010).
Upaya pelayanan kesehatan terhadap lansia meliputi azas pendekatan dan
jenis pelayanan kesehatan yang diterima (Murwani Arita, 2010):
1.1.6.1 Azas
Menurut WHO (1991) adalah to add life to the years that have
been added to life, dengan prinsip kemerdekaan, partisipasi,
perawatan, pemenuhan diri dan kehormatan , sedangkan azas yang
dianut oleh departemen kesehatan Ri adalah meningkatkan mutu
kehidupan lanjut usia, meningkatkan kesehatan, dan
memperpanjang usia
1.1.6.2 Pendekatan
Menurut Word Health Organization (1982), pendekatan yang
digunakan adalah sebagai berikut:
a. Menikmati hasil pembangunan
b. Masing-masing lansia mempunyai keunikan
c. Lansia tturut memilih kebijakan
d. Memberikan perawatan dirumah
e. Pelayanan harus dicapai dengan mudh
f. Mendorong ikatan akrab antara kelompok/antar generasi
g. Transportasi dan bangunan yang ergonomis dengan lansia
h. Lansia beserta keluarga aktif memelihara kesehatan lansia.
1.1.6.3 Jenis
Jenis pelayanan kesehatan terhadap lansia meliputi lima upaya
kesehatan, yaitu peningkatan (promotion), pencegahan
(prevention), diagnosis dini dan pengobatan (early diagnosis and
prompt treatment), pembatasan kecacatan (disability limitation),
serta pemulihan (rehabilitation).
a. Promotif
Upaya promotif merupakan proses advokasikesehatan untuk
meningkatkan dukungan klien, tenaga professional, dan
masyarakat terhadap praktik kesehatan yang positif menjadi
norma-norma sosial. Upaya perlindungan kesehatan bagi lansia
adalah sebagai berikut:
1. Mengurangi cedera, dilakukan dengan tujuan mengurangi
kejadian jatuh, mengurangi bahaya kebakaran dalam rumah,
meningkatkan penggunaan alat pengaman, dan mengurngi
kejadian keracunan makanan.
2. Meningkatkan keamanan ditempat kerja yang bertujuan
untuk mengurangi terpapar dengan bahan-bahan kimia dan
meningkatkan sistem penggunaan keamanan kerja.
3. Meningkatkan perlindungan dan kualitas udra yang buruk,
bertujuan untuk mengurangi penggunaan smprotan
berbahan bahan kimia, meningkatkan pebgelolahan rumah
tangga terhadap bahan berbahaya, serta mengurangi
kontaminasi makanan dan obat obatan.
4. Meningkatkan perhatian terhadap kebutuhan gigi dan mulut
yang bertujuan untuk mengurangi karies gigi serta
memelihara kebersihan gigi dan mulut.
b. Preventif
1. Mencakup pencegahan primer, sekunder dan tersier
2. Melakukan pencegahan primer, meliputi pencegahan pada
lansia sehat, terhadap faktor resiko, tidak ada penyakit, dan
promosi kesehatan.
3. Jenis pelayanan kesehatan pencegahan primer adalah
sebagian berikut: konseling (berhenti merokok dan
minuman beralkohol). Dukungan nutrisi, exercise,
keamanan didalam dan sekitar rumah, manajemen stress
dan penggunaan medikasi yang tepat. Mengidap faktor
resiko: control hipertensi, deteksi, dan pengobatan kanker,
screening (pemeriksaan rektal, memprogramkan, papsmear,
gigi mulut, dan lain-lain)
4. Melakukan pencegahan tersier dilakukan setelah terdapat
gejala penyakit dan cacat : mencegah cacat bertambah dan
ketergantungan serta perawatan terhadap penderita tanpa
gejala hinggah penderita yang mengidap faktor resiko:
control hipertensi, deteksi dan pengobatan kanker,
screening (pemeriksaan rektal, mammogram, papsmer, gigi
mulut dan lain lain
5. Melakukan pencegahan tersier, dilakukan setelah terdapat
gejala penyakit dan cacat: mencegah cacat bertambah dan
ketergantungan, serta perawatan terhadap penyakit
c. Early diagnosis dini dapat dilakukan oleh lansia sendiri atau
petugas professional dan petugas institusi:
1. Oleh lansia sendiri dengan melakukan tes diri, skrening
kesehatan, memanfaatkan kartu menuju sehat (KMS) lansia,
memanfaatkan buku keseshatan pribadi (BKP), serta
pendatanganan kontrak kesehatan.
2. Oleh petugas professional/tim
a) Pemeriksaan status fisik
b) Wawancara masalah masa lalu dan saat ini
c) Obat yang dimakan dan dminum
d) Riwayat keluarga atau lingkungan sosial
e) Kebiasaan merokok atau minuman beralkohol
f) Periksaan fisik diagnosis sepert pemeriksaan darah
lengkap, pemeriksaan pelvis dan rectum, gerakan sendi,
kekuatab otot, penglihatan dan pendengaran dll
g) Skrening kesehatan meliputi berita dan tinggi
badan,kolestrol dan tumor
h) Pemeriksaan status mental dan psikologis, status mental
terdiri dari pengkajian memori, perhatian orientasi,
komunikasi dan perilaku.
i) Pemeriksaan status fungsi tubuh apakah mandiri
(independent), kurang mandiri (partially),
ketergantungan (dependent).
4. Disability Limination
Kecacatan adalah kesulitan dalam memfungsikan kerangka, obat
dan sistem saraf.
a. Kecacatan sementara (dapat dikoreksi)
b. Kecacatan menetap (tidak dapat dipulihkan)
c. Langkah-langkah yang dlakukan adalah pemeriksaan
identifikasi masalah, perencanan, pelaksanaan dan penilaian.
5. Rehabilitation
a. Pelaksanaan tim rehabilitas (petugas medis, paramedic, da
non paramedic)
b. Prinsip : pertahankan kenyamanan lingkungan istirahat, dan
aktivitas mobilisasi
c. Pertahankan kecukupan nutrisi
d. Pertahankan fungsi pernafasan
e. Pertahankan fungsi pencernaan, saluran kemih, psikososial,
dan komunikasi
f. Mendorong pelaksanaan tugas

1.2 Konsep Perubahan pada Usia Lanjut


1.2.1 Perubahan Fisik/Biologis (Fisiologis) yang Lazim pada Usia Lanjut
Menjadi tua atau menua membawah pengaruh serta perubahan
menyeluruh baik fisik, sosial, mental, dan norma spiritual, yang
keseluruhannya saling kait mengait antara satu bagian dengan bagian yang
lainnya. Dan perlu kita ingat bahwa tiap-tiap perubahan memerlukan
penyesuaian diri, padahal dalam kenyataan semakin menua usia kita
kebanyakan semakin kurang baik untuk menyesuaikan terhadap berbagai
perubahan yang terjadi dan disinilah terjadi berbagai gejolak yang harus
dihadapi oleh setiap kita yang mulai menjadi manula. Gejolak-gejolak itu
antara lain perubahan fisik dan perubahan social (Sulistyawati Emi, 2010).
Menurut bahan kesehatan dunia atau WHO, 2000 penggolongan dewasa
lanjut atau lansia dibagi menjadi tiga kelompok yakni usia pertengahan
(middle age) ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun, lanjut usia (elderly)
antara 60 dan 74 tahun, lanjut usia tual (old) antara 75 dan 90 tahun, dan usia
sangat tua (very old) diatas 90 tahun. Perubahan-perubahan yang terjadi
meliputi dari sistem integumentary, sistem rangka, sistem otot, sistem saraf,
sistem endocrine, sistem cardiovascular, sistem imunitas, sistem pernapasan,
sistem pencernaan, sistem perkemihan, sistem reproduksi wanita dan
pria(Sulistyawati Emi, 2010).
Secara umum, menjadi tua ditandai oleh kemunduran biologis yang
terlihat sebagai gejala-gejala kemunduran fisik, antara lain(Sulistyawati Emi,
2010):
1.2.1.1 Kulit mulai mengendur dan wajah mulai keriput serta garis-garis
yang menetap
1.2.1.2 Rambut kepala mulai memutih dan beruban
1.2.1.3 Gigi mulai lepas (ompong)
1.2.1.4 Penglihatan dan pendengaran mulai berkurang
1.2.1.5 Mudah lelah dan mudah jatuh
1.2.1.6 Mudah terserang penyakit
1.2.1.7 Nafsu makan menurun
1.2.1.8 Penciuman mulai berkurang
1.2.1.9 Gerakan menjadi lambat dan kurang lincah
1.2.1.10 Pola tidur berubah
1.2.2 Perubahan Psikososial
Akibat berkurangnya fungsi indra pendengaran, penglihatan, gerak fisik
dan sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan
pada lansia. Misalnya badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat
berkurang, penglihatan kabur, dan sebagainya sehingga sering menimbulkn
keterasingan. Hal itu sebaiknya dicegah dengan selalu mengajak mereka
melakukan aktifitas, selama yang bersangkutan masih sanggup, agar tidak
merasa terasingkan atau di asingkan. Karena jika terasingan terjadi maka
lansia semakin menolak untuk berkomunikasi dengan orang lain dan kadang-
kadang muncul prilaku regresi seperti mudah menangis, mengurung diri,
mengumpulkan barang-barang tak berguna, serta merengek-merengek dan
menangis bila bertemu orang lain sehingga perilakunya seperti anak
kecil(Emmelia, 2012).
Dalam menghadapi berbagai permasalahan diatas pada umumnya lansia
yang memiliki keluarga bagi orang-orang kita (budaya ketimuran) masih
sangat beruntung karena anggota keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak
saudara bahkan kerabat umumnya ikut membantu memelihara dengan penuh
kesabaran dan pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak punya keluarga
atau sanak saudara karena hidup membujang, atau punya pasangan hidup
namun tidak mempunyai anak dan pasangannya sudah meninggal, apalagi
hidup dalam perantauan sendiri, maka sering kali lansia menjadi
terlantar(Emmelia, 2012).
1.2.3 Penganiayaan
Penganiayaan terhadap lansia mengakibatkan cedera fisik atau
mengelantaran emosional yang meliputi menentang keinginan lansia,
mengintimidasi atau membuat keputuan yang kejam. Penganiayaan terhadap
lansia umumnya dilakukan oleh anaknya sendiri (Muhith Abdul, 2016).
1.2.4 Pengabaian
Pengabaian merupakan kondisi yang berhubungan dengan kegagalan
pemberi perawatan dalam membimbing pelayanan yang dibutuhan oleh
lansia baik itu pemenuhan kebutuhan kesehatan fisik maumpun pemenuhan
kebutuhan mental. Pengabaian adalah kegagalan yang dilakukan oleh
pemberi perawatan pada lansia untuk memberikan pelayan yang baik atau
mempersiapkan segala sesuatu yang lansia butuhkan untuk mencapai fungsi
optimal dan menjauhi dari sesuatu yang membahayakan. Pengabaian terbagi
menjadi 3 jenis yakni, pengabaian fisik yang merupakan suatu penolakan
atau kegaggalan keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar lansia, jenis
kedua adalah pengabaian psikologis sebagai suatu kegagalan sebagai suatu
kegagalan asuhan untuk memuaskan kebutuhan emosi atau psikologis lansia,
jenis pengabaian ketiga dalaha pengabaian finasial yang merupakan tindakan
keluarga yang mengambil atau menjual barang berharga milik
lansia(Emmelia, 2012).
1.2.5 Salah Perlakuan
Perlakuan yang salah terhadap lansia merupakan salah satu bentuk
cedera yang dapat dicegah dan merupakan masalah yang serius. Perlakuan
yang salah terhadap lansia dapat berupa penganiayaan, pengabaian,
eksploitasi maumpun pengisolasian yang dilakukan oleh kerabat, teman, atau
perawat yang dapat berakibat fatal. Hal tersebut baik disengaja maupun tidak
dapat mengakibatkan menurunnya kualitas hidup dan kesehatan seorang
lansia (Muhith Abdul, 2016).
1.2.6 Fungsi Seksual pada Lansia
Penurunan fungsi dan potensial seksual pada lanjut usia sering kali
berhubungan dengan berbagai gangguan fisik seperti gangguan jantung,
gangguan metabolisme, missal diabetes mellitus, vaginitis, post op
prostatektomi, kekurangan gizi karena pencernaan kurang sempurna atau
nafsu makan sangat kurang, penggunaan obat tertentu seperti anti hipertensi,
golonga steroid, tranquilizer. Factor psikologis yang menyertai lansia antara
lain (Muhith Abdul, 2016):
1.2.6.1 Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada
lansia
1.2.6.2 Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta
diperkuat oleh tradisi dan budaya
1.2.6.3 Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam
kehidupannya.
1.2.6.4 Pasangan hidup telah meninggal
1.2.6.5 Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah
kesehatan jiwa lainnya, misalnya cemas, depresi dan pikun

1.3 Konsep Penyakit


1.3.1 Definisi
Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik lebih dari 140
mmHg dan tekanan diastolic lebih dari 90 mmHg, berdasarkan pada dua kali
pengukuran atau lebih. Menurut JNC hipertensi terjadi apabila tekanan darah
lebih dari 140/90 (Susan C.Smeltzer, 2015)
Hipertensi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1.3.1.1 Normal : sistolik kurang dari 120 mmHg diastolik kurang dari 80
mmHg.
1.3.1.2 Prahipertensi : sistolik 120 sampai 139 mmHg diastolik 80 sampai
89 mmHg
1.3.1.3 Stadium 1 : sistolik 140 sampai 159 mmHg diastolic 90 sampai 99
mmHg
1.3.1.4 Stadium 2 sistolik 160 mmHg diastolik 100 mmHg .
Hipertensi adalah faktor risiko utama untuk penyakit
kardiovaskular aterosklerotik, gagal jantung, stroke, dan gagal
ginjal. Hipertensi menimbulkan risiko morbiditas atau mortalitas
dini, yang meningkat saat tekanan darah sistolik dan diastolic
meningkat. Peningkatan tekanan darah yang berkepanjangan
merusak pembuluh darah di organ target ( jantung, ginjal, otak, dan
mata ) (Susan C.Smeltzer, 2015)
1.3.2 Patofisiologi
Kepastian mengenai patofisiologi hipertensi masih dipenuhi
ketidak pastian. Sejumlah kecil ( antara 2% dan 5% ) memiliki penyakit
dasar ginjal atau adrenal yang menyebabkan penigkatan tekanan darah.
Namun, masih belum ada penyebab tunggal yang dapat diidentifikasikan dan
kondisi inilah yang disebut sebagai “ hipertensi esensial “. Sejumlah
mekanisme fisiologis terlibat dalam pengaturan tekanan darah normal, yang
kemudian dapat turut berperan dalam terjadinya hipertensi esensial
(Suddarth, 2013).
Beberapa faktor yang saling berhubungan mungkin juga turut
serta menyebabkan peningkatan tekanan darah pada pasien hipertensif, dan
peran mereka berbeda pada setiap individu. Diantara faktor-faktor yang telah
dipelajari secara intensif adalah asupan garam, obesitas, dan resistensi
insulin, sistem rennin-angiotensin, dan sistem saraf simpatis. Pada beberapa
tahun belakangan, faktor lainnya telah dievaluasi, termasuk genetik,
disfungsi endotel (yang tampak pada perubahan endotelin dan nitrat oksida).
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh
darah terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor
ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut kebawah ke korda spinalis
dan keluar dari kolumna medulla spinalis ke ganglia simpatis ditoraks dan
abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yg
bergerak kebawah melalui saraf simpatis keganglia simpatis. Pada titik ini,
neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut
saraf paska ganglion kepembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya
norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor
seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh
darah terhadap rangsang vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sensitive
terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal
terssebut bisa terjadi (Suddarth, 2013).
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang
pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga
terangsang mengakibatkan tambahan aktivitas vaasokontriksi. Medulla
adrenal mengsekresi epinefrin yang menyebabkan vasokontriksi.korteks
adrenal mengsekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat
respon vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan
penurunan aliran darah keginjal, menyebabkan pelepasan rennin. Rennin
merangsang pembentukan angiotensin l yang kemudian diubah menjadi
angiotensin II , suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang
sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi
natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume
intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung pencetus keadaan hipertensi
(Suddarth, 2013).
Perubahan struktual dan fungsional pada sistem pembuluh darah
perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada
lanjut usia. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas
jaringan ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah,
yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang
pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar
berkurangkemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang
dipompa oleh jantung ( volume sekuncup ), mengakibatkan penurunan
curah jantung dan peningkatan tahanan perifer (Suddarth, 2013).

1.3.3 Pemeriksaan Penunjang


1.3.3.1 Pemeriksaan laboratorium
a. Hb/Ht : untuk mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap volume
cairan (viskositas)dan dapat mengindikasikan faktor resiko
seperti : hipokoagulabilitas, anemia.
b. BUN/ kreatinin: memberikan informasi tentang perfusi/ fungsi
ginjal.
c. Glucose : hiperglikemi (DM adalah pencetus hipertensi) dapat di
akibatkan oleh pengeluaran kadar ketokolami
1.3.3.2 EKG : dapat menunjukan pola rengangan, di mana luas, peninggian
gelombang P adalah sala satu tanda dini penyakit jantung hipertensi
IUP : mengidentifikasi penyebab hipertensi seperti : batu ginjal,
perbaikan ginjal (Hardhi Kusuma, 2015).

1.3.4 Penatalaksanaan
1.3.4.1 Penatalaksanaan Nonfarmakologi :
Penatalaksanaan nonfarmakologis dengan modifikasi gaya hidup
sangat penting dalam mencegah tekanan darah tinggi dan
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam mengobati
tekanan darah tinggi (Nurarif huda 2016).
Penatalaksanaan hipertensi dengan nonfarmakologis terdiri dari
berbagai macam cara modifikasi gaya hidup untuk menurunkan
tekanan darah yaitu :
a. Mempertahankan berat badan ideal
Mempertahankan berat badan ideal sesuai body Mass
Index (BMI) dengan rentang 18,5-24,9 kg/m2 (Kaplan, 2006).
BMI dapat diketahui dengan membagi berat badan anda dengan
tinggi badan anda yang telah dikuadratkan dalam satuan meter.
Mengatasi obesitas (kegemukan) juga dapat dilakukan dengan
melakukan diet rendah kolestrol namun kaya dengan serat dan
protein (pfizerpeduli.com), dan jika berhasil menurunkan berat
badan 2,5-5 kg maka tekanan darah diastolik dapat diturunkan
sebanyak 5 mmHg (Nurarif huda 2016).
a. Kurangi asupan natrium (sodium)
Mengurangi asupan natrium dapat dilakukan dengan cara diet
rendah garam yaitu tidak lebih dari 100 mmol/hari (kira-kira 6 gr
NaCl atau 2,4 gr/hari ) (Kaplan, 2006). Jumlah yang lain dengan
mengurangi asupan garam sampai kurang dari 2300 mg(1
sendok teh) setiap hari. Pengurangan konsumsi garam menjadi ½
sendok teh/hari, dapat menurunkan tekanan sistolik sebanyak 5
mmHg dan tekanan diastolic sekitar 2,5 mmHg (Nurarif huda
2016).
b. Batasi konsumsi alcohol
Radmarssy (2007) mengatakan bahwa konsumsi alcohol
harus dibatasi karena konsumsi alcohol berlebihan dapat
meningkatkan tekanan darah. Para peminum berat mempunyai
risiko mengalami hipertensi empat kali lebih besar daripada
mereka yang tidak minum minuman alcohol.
c. Makan K dan Ca yang cukup dari diet
1.4 Konsep Tindakan Keperawatan yang Diberikan
1.4.1 Pengkajian Keperawatan
Pengkajian merupakan pengumpulan informasi yang
berkesinanmbungan, di analisa dan di interpretasikan serta di identifikasikan
secara mendalam. Sumber data pengkajian diperoleh dari anamnesa
(wawancara), pengamatan (observasi), pemeriksaan fisik anggota keluarga
dan data dokumentasi. Alat-alat yang biasa digunakan dalam pengkajian
keperawatan adalah kuesioner dan lembar check list (Harmoko, 2012).
1.4.2 Diagnosis Keperawatan
Masalah kesehatan adalah situasi atau kondisi yang berhubungan dengan
tidak terpenuhinya kebutuhan dasar keluarga atau anggota keluarga.
Sedangkan diagnosis keperawatan adalah keputusan tentang respon keluarga
tentang masalah kesehatan actual dan potensial, sebagai dasar seleksi
intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan asuhan keperawatan keluarga
sesuai dengan kewenangan perawat. Tahapan dalam diagnosis keperawatan
keluarga antara lain (Harmoko, 2012):
1.4.2.1 Analisa Data
Analisa Data dilakukan dengan cara mengaitkan data dan
menghubungkan dengan konsep teori dan prinsip yang relevan
untuk membuat kesimpulan dalam menentukan masalah kesehatan
dan keperawatan keluarga.
1.4.2.2 Perumusan Masalah
1.4.2.3 Perumusan masalah dalam keperawatan keluarga dapat diarahkan
kepada sasaran baik individu maupun keluarga.
1.4.3 Intervensi Keperawatan
Perencanaan tindakan keperawatan merupakan salah satu tahap dari
proses keperawatan dimulai dari penentuan tujuan (umum atau khusus),
penetapan standard dan kriteria serta menentukan perencanaan untuk
mengatasi masalah keluarga. Rencana tindakan ini diarahkan untuk
membantu keluarga mengubah pengetahuan menjadi lebih baik, mengubah
sikap yang mendukung perilaku sehat, dan mengubah perilaku kearah yang
lebih baik (Harmoko, 2012).
1.4.4 Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah melaksanakan tindakan keperawatan yang sudah
ditentukan sebelumnya. Dalam melaksanakan tindakan keperawatan seperti
ini, perawat seharusnya tidak boleh bekerja sendiri dan melibatkan keluarga
serta disiplin ilmu lain (Harmoko, 2012).
1.4.5 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi bertujuan untuk melihat kemampuan keluarga dalam mencapai
tujuan. Evaluasi terbagi menjadi dua jeniss yakni (Harmoko, 2012):
1.4.5.1 Evaluasi Formatif
Evaluasi formatif dilakukan sesaat setelah pelaksanaan tindakan
keperawatan.
1.4.5.2 Evaluasi Sumatif
Evaluasi sumatif dilakukan apabila waktu perawatan sudah sesuai
dengan perencanaan.

DAFTAR REFERENSI

Emmelia, R. (2012). Asuhan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

Harmoko. (2012). Asuhan Keperawatan Keluarga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Muhith Abdul, S. S. (2016). Pendidikan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: CV. Andi
Offset.

Murwani Arita, P. W. (2010). Gerontik Konsep Dasar dan Asuhan Keperawatan Home
Care dan Komunitas. Yogyakarta: Citra Maya.

Padila. (2013). Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Nuha Medika.

Sulistyawati Emi, P. (2010). Menopause dan Sindrome Pre Menopause. Yogyakarta:


Nuha Medika.

Brunner & Suddarth, (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2.
Jakarta EGC

Amin Huda Nurarif & Hardhi Kusuma. (2015). Nanda Nic-Noc Aplikasi Jilid 1.
Jakarta: Mediaction.

Anda mungkin juga menyukai