PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penuaan merupakan proses normal perubahan yang berhubungan dengan
waktu, sudah dimulai sejak lahir dan berlanjut sepanjang hidup (Fatimah,
2010). Menurut Priyoto(2015) menua adalah suatu proses menghilangnya
secara perlahan- lahan kemampuan jaringan untuk melakukan fungsinya
dalam memenuhi kebutuhan hidup, menua ditandai dengan kulit yang
mengendur, rambut yang memutih, penurunan pendengaran, penglihatan yang
menjadi semakin buruk, sensivitas emosi, sehingga proses menua merupakan
proses yang terus-menerus (berlanjut) secara ilmiah yang pada umumnya
dimiliki olehlansia.
Lansia digolongkan menjadi dua yakni lansia potensial dan tidak potensial,
lansia potensial adalah orang yang masih mampu melakukan segala
aktivitasnya dengan baik dan melakukan kegiatan yang dapat menghasilkan
baik barang maupun jasa. Sementara lansia yang tidak potensial orang yang
tidak mampu mencari nafkah sehingga hidupnya bergantung kepada bantuan
orang lain, seperti lansia penghuni panti tresna werdha. Dinegara berkembang,
lansia digolongkan berdasarkan usia 60 tahun keatas, sedangkan dinegara
maju seperti Amerika Serikat, Prancis, Jepang, dan Belanda lansia
digolongkan usia 65 tahun keatas (Priyoto,2015).
Prevalensi lansia menurut World Health Organization (WHO) dalam
Departemen Kesehatan Republik Indonesia di kawasan Asia Tenggara
populasi lansia sebesar 8% atau sekitar 142 juta jiwa, pada tahun 2050
diperkirakan populasi lansia meningkat 3 kali lipat dari tahun ini. Tahun 2000
jumlah lansia sekitar 5.300.000(7,4%) dari total populasi, sedangkan pada
tahun 2010 jumlah lansia 24.000.000 (9,77%) dari total populasi, dan tahun
2020 diperkirakan jumlah lansia mencapai 28.000.000 (11,34%) dari total
populasi, sedangkan di Indonesia sendiri pada tahun 2020 diperkirakan jumlah
lansia sekitar 80.000.000.
____Indonesia
Lansia memiliki potensi yang harus dijaga, dipelihara, dirawat dan
dipertahankan bahkan diaktualisasikan untuk mencapai kualitas hidup lansia
yang optimal (optimum Aging) (Depsos,2008). Kualitas hidup diusia tua
dapat digolongkan sebagai sesuatu yang kompleks, multi dimensi, dan
holistik yang mencakup sosial, lingkungan, struktural, serta aspek kesehatan.
Kualitas hidup juga sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental dan
kesejahteraan lansia (Prazeres & Figueiredo,2014).
Menurut Nugroho (2008) bahwa lansia akan mengalami banyak
perubahan dan penurunan fungsi fisik dan psikologis hal ini akan
menimbulkan berbagai masalah pada lansia yang akan mempengarui dalam
menilai dirinya sendiri yang disebut konsep diri. Dampak dari menurunnya
konsep diri pada lansia menyebabkan bergesernya peransosial dalam
berinteraksi sosial dimasyarakat maupun dikeluarga. Hal ini didukung oleh
sikap lansia yang cenderung egois dan enggan mendengarkan pendapat orang
lain, sehingga mengakibatkan lansia terasingkan secara sosial dan akhirnya
merasa terisolir dan merasa tidak berguna lagi karena tidak ada penyaluran
emosional dari bersosialisasi. Keadaan ini mengakibatkan interaksi
sosialmenurun baik secara kualitas maupun kuantitas karena peran lansia
yang digantikan kaum muda, dimana keadaan ini terja disepanjang hidup dan
tidak dapat dihindari (Standley & Beare,2007).
Lansia selain mengalami masalah komunikasi dan kesehatan
mental,masalah keagamaan juga di alami oleh para lansia, dimana pada masa
tuanya itu mereka memerlukan ketenangan jiwa sehingga perlu adanya
pendampingan dengan pendekatan bimbingan dan konseling keagamaan
(Fauziah, 2015). Pelayanan spiritualitas yang baik pada lansia akan
memberikan makna dan tujuan sebagai makhluk spiritual yang khas, serta
berhubungan dengan kesejahteraan, mengatasi penderitaan, mengembangkan
koping yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup lansia. Tenaga
kesehatan wajib menghargai keyakinan dan nilai-nilai lansia, apakah mereka
beragama dan memiliki budaya (Rogers & Wattis,2015).
Hasil pengkajian yang dilakukan oleh praktisi pada bulan Januari 2021 di
Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Sosial Tresna Werdha (UPT PSTW)
Pasuruan diketahui bahwa jumlah klien sebanyak 110 orang yang terdiri dari
39 laki- laki dan 71 perempuan. ( di tambah kronologi spirtiual )
Masalah kualitas hidup yang di alami sebagian besar lansia
mengungkapkan dan mengeluh tentang kondisi kehidupan di masa tua yang
sangat susah karena jauh dari keluarga, aktivitas yang mereka lakukan sangat
terbatasnya dilingkungan UPT, lansia juga tidak percaya dirikarena kondisi
fisik yang semakin hari mengalami penurunan dan melemah, serta beberapa
lansia ada yang mengeluh dikarenakan satu kamar ditempati 3 orang dan
membuat lansia tidak nyaman saat istirahat. Hal ini menjadi rendahnya
kualitas hidup lansia karena mereka tidak dapat menikmati masa tua yang
menggembirakan. Kesejahteraan psikologis menjadi salah satu faktor yang
sangat menentukan kualitas hidup lansia, yang meliputi kesehatan fisik,
hubungan sosial dan lingkungan (Rohmah,2012).
Berdasarkan masalah yang telah dipaparkan diatas, maka peneliti ingin
meneliti lebih jauh tentang hubungan spiritualitas dan konsep diri dengan
kualitas hidup pada lansia, dengan penelitian yang berjudul “Pengaruh
Latihan Range of Motion untuk Menurunkan Nyeri Sendi Pada Lansia di
UPT PSTW Pasuruan”.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Setelah melakukan asuhan keperawatan, diharapkan mahasiswa
mampu mengaplikasikan teori yang sudah didapat kedalam asuhan
keperawatan pada kelompok khusus lansia dengan masalah Nyeri Sendi,
dikelompok khusus lansia yang berada di Wisma Teratai
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui tingkat pengetahuan klien tentang nyeri sendi akibat
Osteoasthritis.
b. Mengetahui penyebab nyeri Sendi pada lansia yang muncul akibat
Osteoasthritis.
c. Mengetahui tata cara penatalaksanaan nyeri sendi pada klien dengan
kejadian Osteoasthritis.
d. Memberikan motivasi kepada klien untuk melakukan penatalaksanaan
secara mandiri.
e. Mengurangi keluhan nyeri sendi pada klien.
C. Manfaat
1. Bagi Mahasiwa
Mahasiswa dapat menerapkan dan mengaplikasikan teori asuhan
keperawatan gerontik sesuai keluhan yang diarasakan klien di Wisma
Teratai
2. Lansia
Diharapkan dapat menambah wawasan bagi lansia bahwa
pengetahuan tentang Osteoasthritis sangat di butuhkan agar lansia
terhindar dari komplikasi penyakit Osteoasthritis serta memiliki motivasi
yang tinggi untuk menerapkan hidup sehat.
3. Pendidikan
Tercapainya tujuan pembelajaran asuhan keperawatan gerontik pada
lansia di lingkungan UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha Pasuruan.
4. Bagi Profesi
Dapat memberikan gambaran mengenai sikap lansia dengan penyakit
Osteoasthritis sehingga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk
memberikan pendidikan kesehatan dan pemberdayaan kesehatan tentang
penyakit Osteoasthritis.
D. Ruang Lingkup
Dalam penulisan laporan ini mahasiswa Program Pendidikan Profesi Ners
Fakultas Kesehatan Universitas Nurul Jadid memberikan asuhan keperawatan
kesehatan gerontik di Wisma Mawar UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha
Pasuruan
E. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang dilakukan adalah metode pendekatan asuhan
keperawatan gerontik yang profesional yang meliputi biologis, psikologis,
sosial, spiritual dan kultural secara mandiri maupun kolaborasi lintas sektor
yang diberikan secara langsung kepada kelompok lanjut usia di Wisma
Mawar UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha Pasuruan
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dimulai dengan pengkajian data keperawatan,
analisis data, penapisan masalah, penentuan prioritas diagnosa keperawatan,
rencana keperawatan, dan kesimpulan.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Konsep Lansia
1. Pengertian lanjut Usia
Proses menua merupakan suatu yang fisiologis, yang akan dialami
oleh setiap orang. Batasan orang dikatakan lanjut usia berdasarkan UU No
13 tahun 1998 adalah 60 tahun. Proses menua (aging process) merupakan
suatu proses biologis yang tidak dapat dihindarkan, yang akan dialami
oleh setiap orang. Menurut Paris Constantinides, 1994 Menua adalah suatu
proses menghilangnya secara perlahan-lahan (graduil) kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri/ mengganti dan mempertahankan struktur
dan fungsi secara normal, ketahanan terhadap injury (termasuk infeksi)
tidak seperti pada saat kelahirannya,
Proses menua sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai
dewasa, misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot,
susunan syaraf dan jaraingan lain sehingga tubuh ‘mati’ sedikit demi
sedikit.
Sebenarnya tidak ada batas yang tegas, pada usia berapa
penampilan seseotang mulai menurun. Pada setiap orang, fungsi fisiologis
alat tubuhnya sangat berbeda, baik dalam hal pencapaian puncak maupun
saat menurunnya. Namun umumnya fungsi fisiologis tubuh mencapai
puncaknya pada umur 20–30 tahun. Setelah mencapai puncak, fungsi alat
tubuh akan berada dalam kondisi tetap utuh beberapa saat, kemudian
menurun sedikit demi sedikit sesuai bertambahnya umur.
C. Konsep Osteoarthritis
1. Pengertian Osteoarthritis
Osteoarthritis adalah penyakit sendi yang terjadi pada cartilago
(tulang rawan) yang ditandai dengan timbulnya nyeri saat terjadi
penekanan sendi yang terkena. Kelainan pada kartilago akan berakibat
tulang bergesekan satu sama lain, sehingga timbul gejala kekakuan,
nyeri pembatasan gerak pada sendi. (Helmi, 2016).
3. Klasifikasi Osteoarthritis
Pembagian osteoarthritis berdasarkan etiologinya dibagi
menjadi 2 diantaranya osteoarthritis primer dan osteoarthritis sekunder.
Osteoarthritis primer merupakan osteoarthritis ideopat ik atau
osteoarthritis yang belum diketahui penyebabnya dan tidak ada
hubungannya dengan penyakit sistemik maupun proses perubahan
lokal sendi. Sedangkan osteoarthritis sekunder penyebabnya yaitu
pasca trauma, genetic, mal posisi, pasca operasi, metabolic, gangguan
endokrin, ostonekrosis aseptik. (Wilke, WS, 2010)
4. Patofisiologi Osteoarthritis
Perkembangan perjalanan penyakit osteoarthritis dibagi menjadi
4 mekanisme yaitu sebagai berikut : (Helmi, 2016)
1) Peningkatan Matrix Metalloproteases (MMP)
Collagenase, sebuah enzim MMP bertanggung jawab
atas degradasi proteoglikan. Begitu juga stromelysin
bertanggung jawab atas proteoglikan. Sebuah enzim yang
disebut Agrecanase juga bertanggung jawab atas degradasi
proteoglikan. Kondisi ini menyebabkan penipisan kartilago.
2) Inflamasi Membran Sinovial
Sintesis mediator-mediator seperti interlukin-1 beta (IL-1)
dan TNF- alfa (Tumor Necrosis Factor) pada membran sinovial
menyebabkan degradasi tulang rawan. Pada fase ini terjadi
fibrasi dan erosi dari permukaan kartilago desertai dengan
adanya pelepasan proteoglikan dan fragmen kolagen ke dalam
cairan sinovial.
3) Stimulasi Produksi Nixtric Oxide
Produksi mikrofag synovial seperti interlukin-1 beta (IL-1)
dan TNF- alfa (Tumor Necrosis Factor) dan metalloproteases
menjadi meningkat. Kondisi ini secara langsung memberikan
dekstruksi pada kartilago. Molekul-molekul pro-infalamsi juga
ikut terlibat seperti Nixtric Oxide. Kondisi ini memberikan
manefestasi perubahan bentuk sendi dan memberikan dampak
terhadap pertumbuhan tulang akibat stabilitas sendi. Perubahan
bentuk sendi dan stress infala msi ini memberikan pengaruh
pada permukaan articular menjadi gangguan yang progresif.
4) Fase nyeri
Pada fase ini terjadi proses peningkatan aktivitas
fibriogenik dan penurunan aktivitas fibrinoiliyik. Proses ini
menyebabkan penumpukan trombus dan komplek lipid pada
pembuluh darah subkondral seingga menyebabkan terjadinya
iskemik dan nekrosis jaringan. Hal ini mengakibatkan
lepasnya mediator kimia seperti prostaglandin dan interlukin
yang dapat menghantarkan rasa nyeri.
5. Manifestasi Klinis
Penyakit Osteoarthritis mempunyai gejala-gejala yang
menulitkan penderitanya. Gejala-gejala tersebut diantaranya nyeri
sendi, kekakuan, pembengkakan. Nyeri yang dialami diperberat
dengan aktivitas atau menahan berat tubuh dan berkurang dengan
istirahat. Kekakuan t erjadi ketika di pagi hari atau setelah bangun tidur
dan mereda kurang dari 30 menit. Pembengkakan disebebabkan karena
synovitis dengan efusi. Gangguan fungsi disebabkan karena nyeri yang
terjadi dan kerusakan struktur sendi. (Smetlzer, SC., O’Conell & Bare,
2003)
6. Penatalaksanaan Osteoarthritis
Tujuan utama dari pengobatan pada pasien osteoarthritis
adalah untuk mengurangi gejala nyeri maupun peradangan, mencegah
terjadinya kontraktur dan memperbaiki deformitas pada sendi.
Penatalaksanaan utama yang perlu dilakukan adalah dengan memberikan
edukasi mengenai penyakitnya secara lengkap, selanjutnya adalah
istirahat yang adekuat, pemberian gizi seimbang dan memberikan
terapi farmakologis untuk mengurangi nyeri yaitu dengan pemberian obat
analgesik. Pemberian Pendidikan kesehatan merupakan penatalaksanaan
utama yang dilakukan bagi pasien maupun keluarga. Pendidikan
kesehatan yang harus dijelaskan secara terperinci diantaranya
mengenai pengertian, patofisiologi, prognosis, serta sumber bantuan
untuk mengatasi keluhan dari osteoarthritis. Di samping itu istirahat
yang adekuat juga merupakan komponen penting dari penatalaksanaan
osteoarthritis. Untuk mengurangi nyeri maka perlu diberikan obat-
obatan yang dapat mengurangi nyeri dan meredakan peradanagan
seperti obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID). (Ningsih, N., 2013).
Selain itu Teknik non farmakologis dengan pemberian ekstrak
jahe juga dapat mengurangi nyeri pada osteoarthritis. Jahe memiliki sifat
pedas, panas dan aromatic dari oleoresin seperti zingaron, gingerol dan
shogaol. Teknik komplementer dengan pemberian boreh jahe juga mampu
mengurangi nyeri yang diderita penderita osteoarthritis.Jahe memiliki sifat
pedas, pahit dan aromatic dari oleoresin seperti zingaron, gingerol dan
shogaol. Gingerol dan shogaol memiliki berat molekul yang
menunjukan potensi yang baik untuk penetrasi kulit. Boreh jahe yang
dibalurkan pada sendi yang nyeri akan mengakibatkan stratum korneum
pada kulit menjadi lebih permeabel, sehingga mampu meningkatkan
pembukaan ruang intraseluler dan tejadinya ekspansi. Permeabilitas
yang terjadi mengakibatkan gingerol dan shogaol melewati kulit, masuk
ke sirkulasi sistemik dan memberikan efek terapi anti-inflamasi.(Ningsih,
N., 2013)
D. Konsep Dasar Nyeri Pada Osteoarthritis
1. Pengertian Nyeri
Menurut The International Association for The Study of Pain (IASP),
nyeri didefisinikan sebagai pengalaman sensoris dan emosional yang
tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau
potensial yang akan menyebabkan kerusakan jaringan (Jone, 2010).
Nyeri merupakan tanda peringatan bahwa terjadi kerusakan jaringan,
yang harus menjadi pertimbangan utama perawat saat mengkaji nyeri
(S.Andarmoyo, 2013). Persepsi yang diakibatkan oleh rangsangan yang
potensial dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang disebut nosiseptor,
yang merupakan tahap awal proses timbulnya nyeri. Reseptor yang dapat
membedakan rangsang noksius dan non-noksius disebut nosiseptor.
Nosiseptor merupakan terminal yang Tidak tediferensiasi serabut a-
delta dan serabut c. Serabut a-delta merupakan serabut saraf yang
dilapisi oleh mielin yang tipis dan berperan menerima rangsang
mekanik dengan intensitas menyakitkan, dan disebut juga high-
threshold mechanoreceptors, sedangkan serabut c merupakan serabut
yang tidak dilapisi mielin (Set iadi, 2013).
2. Nyeri Kronis
Nyeri kronis merupakan pengalaman sensorik atau emosional
yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual maupun fungsional
dengan waktu yang mendadak atau lambat dengan intensitas ringan
hingga berat dan konstan yang berlangsung selama lebih dari 3 bulan
(Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016).
6. Dampak nyeri
Nyeri yang dirasakan pasien akan berdampak pada fisik,
perilaku, dan aktifitas sehari-hari (S.Andar moyo, 2013) :
a. Dampak fisik
Nyeri yang tidak ditangani dengan adekuat akan
mempengaruhi system pulmonary, kardiovaskuler, edokrin, dan
imunologik. Nyeri yang tidak diatasi juga memicu stress yang akan
berdampak secara fisiologis ya itu timbulnya infark miokard, infeksi
paru, dan ileus paralitik. Dampak ini tentunya akan
memperlambat kesembuhan pasien.
b. Dampak perilaku
Seseorang yang sedang mengalami nyeri cenderung
menunjukkan respon perilaku yang abnormal. Respon vokal
individu yang mengalami nyeri biasanya mengaduh, mendengkur,
sesak napas hingga menangis. Ekspresi wajah meringis, menggigit
jari, membuka mata dan mulut dengan lebar, menutup mata dan mulut,
dan gigi yang bergemeletuk. Gerakan tubuh menunjukkan
perasaan gelisah, imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan
gerakan jari dan tangan, gerakan menggosok dan gerakan
melindungi tubuh yang nyeri. Dalam melakukan interaksi sosial
individu dengan nyeri menunjukkan karakteristik menghindari
percakapan, menghindari kontak sosia l, perhatian menurun, dan
fokus hanya pada aktifitas untuk menghilangkan nyeri.
c. Pengaruh terhadap aktifitas sehari-hari
Aktivitas sehari-hari akan terganggu apabila nyeri yang
dirasakan sangat hebat. Nyeri dapat mengganggu mobilitas pasien
pada tingkat tertentu. Nyeri yang dirasakan mengganggu akan
mempengaruhi pergerakan pasien.
7. Pengalaman nyeri
Potter dan Perry menjabarkan 3 fase pengalaman nyeri diantaranya
(Potter, P. A., & Perry, 2005) :
a. Fase antisipasi
Fase antisipasi merupakan fase sebelum nyeri dimana fase
ini mempengaruhi 2 fase lainnya. Pada fase ini seseorang
seseorang belajar tentang nyeri, dan upaya untuk menghilangkan
nyeri. Pada fase ini perawat berperan dalam memberikan informasi
yang adekuat.
b. Fase sensasi
Fase ini merupakan fase ketika nyeri sudah dirasakan
pasien. Toleransi setiap orang terhadap nyeri berbeda-beda
sehingga respon terhadap nyeri juga akan berbeda. Seseorang
dengan toleransi nyeri tinggi maka tidak akan merasa nyeri
dengan stimulus kecil tetapi seseorang dengan toleransi nyeri
rendah akan mengeluh nyeri dari stimulus kecil. Pasien
mengungkapkan nyeri melalui ekspresi wajah, voxsasi dan gerakan
tubuh
c. Fase akibat
Fase ini berlangsung ketika nyeri berkurang atau sudah
menghilang. Pasien masih memerlukan kontrol perawat untuk
meminimalkan rasa takut yang berulang sebab nyeri bersifat krisis
yang memungkinkan adanya gejala sisa pasca nyeri. Advokasi dari
perawat untuk mempertahankan kondisi pasien kepada pasien dan
keluarga.
8. Pengukuran nyeri
Pengukuran nyeri dapat merupakan pengukuran satu dimensional saja
(one dimensional) atau pengukuran berdimensi ganda (multi-
dimensional). Pada pengukuran satu dimensional umumnya hanya
mengukur pada satu aspek nyeri saja, misalnya seberapa berat rasa
nyeri menggunakan pain rating scale yang dapat berupa pengukuran
kategorikal atau numerical misalnya visual analogue scale (VAS),
sedangkan pengukuran multi-dimensional dimaksudkan tidak hanya
terbatas pada aspek sensorik belaka, namun juga termasuk
pengukuran dari segi afektif atau bahkan proses evaluasi nyeri
dimungkinkan oleh metoda ini (Setiyohadi, B., Sumariyono, Kasjmir, Y.
I., Isbagio, H., & Xm, 2006).
a. Skala Nyeri Menurut Bourbanis
Keterangan: 0: Tidak nyeri, 1-3: Nyeri ringan: secara
obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik, 4-6: Nyeri
sedang: Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat
mengikuti perintah dengan baik, 7-9: Nyeri berat: secara obyektif
klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon
terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat
mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas
panjang dan distraksi, 10: Nyeri sangat berat: Pasien sudah tidak
mampu lagi berkomunikasi, memukul.
E. Asuhan Keperawatan
1. Proses Keperawatan
a. Pengkajian
Pengkajian merupakan proses pengumpulan data secara
sistematis yang bertujuan untuk menentukan status kesehatan dan
fungsional dan untuk menentukan pola respon pasien. Hal-hal
yang perlu dikaji meliputi (Muttaqin, 2010) :
b. Anamnesis
Pengkajian dengan melakukan anamnesis atau wawancara
untuk menggali masalah keperawatan lainnya yang dilaksanakan
perawat adalah mengkaji riwayat kesehatan pasien. Perawat
memeroleh data subjektif dari pasien mengenai masalahnya dan
bagimana penangan yang sudah dilakukan. Persepsi dan harapan
pasien sehubungan dengan masalah kesehatan dapat memengaruhi
perbaikan kesehatana) Informasi Biografi Informasi biografi
meliputi nama, umur, alamat, jenis kelamin, status pekerjaan, status
perkawinan, nama anggota keluarga terdekat atau orang terdekat
lainnya, agama, dan sumber asuransi kesehatan
c. Keluhan Utama
Pengkajian anamnesis keluhan utama didapat dengan
menanyakan tentang gangguan terpenting yang dirasakan pasien
sampai perlu pertolongan
d. Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan termasuk alasan untuk mencari perawatan
kesehatan dan pengkajian riwayat kesehatan masa lampau dan saat
ini.
1) Riwayat kesehatan saat ini
Riwayat penyakit sekarang merupakan serangkaian
wawancara yang dilakukan perawat untuk menggali permasalah
pasien dari timbulnya keluhan utama pada saat pengkajian.
Misalnya, sejak kapan keluhan dirasakan, berapa lama dan berapa
keluhan tersebut terjadi, bagaimana sifat dan hebatnya keluhan, di
mana pertama keluhan timbul apa yang sedang dilakukan
ketika keluhan ini terjadi, keadaan apa yang memperberat atau
memper ingan keluhan, usaha mengatasi keluhan ini sebelum
meminta pertolongan, serta berhasil atau tidaknya usaha
tersebut, dan sebagainya Pertanyaan tentang penggunaan obat
-obatan yang telah digunakan oleh pasien perlu mendapat
perhatian dengan tujuan mencegah perawat dalam melakukan
pemberian obat yang tidak rasional dan memungkinkan
memberi dampak yang merugikan pada pasien akibat efek
samping dari obat -obatan yang telah dan akan diberikan
2) Riwayat kesehatan dahulu
Perawat menanyakan tentang penyakit-penyakit yang pernah
dialami sebelumnya. Hal-hal yang perlu dikaji meliputi:
a) Pengobatan yang lalu dan riwayat alergi.
Ada beberapa obat yang diminum oleh pasien pada masa
lalu yang masih relevan, seperti pemakaian obat kortikosteroid.
Catat adanya efek samping ya ng terjadi di masa lalu. Selain itu
juga harus menanyakan alergi obat dan reaksi alergi seperti apa
yang timbul.
b) Riwayat keluarga
Perawat menanyakan tentang penyakit yang pernah
dialami oleh keluarga. Apabila ada anggota keluarga yang
meninggal, maka penyebab kematian juga ditanyakan. Hal
ini ditanyakan karena banyak penyakit menurun dalam keluarga
c) Riwayat pekerjaan dan kebiasaan
Perawat menanyakan situasi tempat bekerja dan
lingkungannya. Seperti kebiasaan sosial dan kebiasaan yang
memengaruhi kesehatan
d) Status perkawinan dan kondisi kehidupan
Tanyakan mengenai status perkawinan pasien dan
tanyakan dengan hati hati menganai kepuasan dari
kehidupannya yang sekarang. Tanyakan mengenai kondisi
kesehatan pasangannya dan setiap anak-anaknya
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dengan pendekatan per sistem dimulai dari
kepala ke ujung kaki dapat lebih mudah dilakukan pada kondisi
klinik. Pada pemeriksaan fisik diperlukan empat modalitas dasar yang
digunakan meliputi, inspeksi. Perawat menginspeksi bagian tubuh untuk
mendeteksi karakteristik normal atau tanda fisik yang signifikan Kedua
adalah palpasi, dalam melakukan palpasi menggunakan kedua tangan
untuk menyentuh bagian tubuh untuk membuat suatu pengukuran
sensitive terhadap tanda khusus fisik. Selanjutnya perkusi, perkusi
merupakan teknik pemeriksaan fisik dengan melibatkan pengetukan
tubuh dengan ujung ujung jari guna mengevaluasi ukuran, batasan dan
konsistensi organ-organ tubuh yang bertujuan untuk menemukan adanya
cairan di dalam rongga tubuh. Keempat auskultasi, teknik ini adalah teknik
pemeriksaan fisik dengan mendengarkan bunyi yang dihasilkan tubuh.
Setelah pemeriksaan fisik terdapat pemeriksaan tambahan mengenai
pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk mengkaji tingkat
kesehatan umum seseorang dan pengukuran tanda-tanda vital (tekanan
darah, suhu, respirasi, nadi)
3. Pemeriksaan diagnostic
Data penunjang berisi berisi hasil Laboratorim, radiologi, EKG,
USG, CT- Scan, dan lain-lain.
4. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan merupakan suatu proses penilaian klinis
mengenai respon klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan
yang dialaminya baik yang berlangsung actual maupun potensial.
Diagnosis prioritas yang diambil adalah nyeri kronis. Nyeri kronis
merupakan pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan
dengan kerusakan jaringan aktual maupun fungsional dengan waktu
yang mendadak atau lambat dengan intensitas ringan hingga berat
dan konstan yang berlangsung selama lebih dari 3 bulan (Tim Pokja SDKI
DPP PPNI, 2016). Diagnosis keperawatan yang dapat ditemukan pada
osteoarthritis adalah nyeri kronis berhubungan dengan kondisi
musculoskeletal kronis, gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan
penurunan kekuatan otot, gangguan citra tubuh berhubungan dengan
perubahan fungsi tubuh, defisit pengetahuan berhubungan dengan
kurang terpapar informasi, risiko cedera berhubungan dengan
perubahan fungsi psiko motor (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016)
5. Perencanaan Keperawatan
Perencanaan atau intervensi merupakan langkah berikutnya dalam
proses keperawatan. Pada langkah ini, perawat menentapkan tujuan
dan kriteria hasil yang diharapkan bagi pasien dan merencanakan
intervensi keperawatan. Pernyataan tersebut diketahui bahwa dalam
membuat perencanaan perlu mempertimbangkan tujuan, kriteria yang
diperkirakan atau diharapkan dan intervensi keperawatan.
6. Pelaksanaan/Implementasi
Implementasi keperawatan merupakan sebuah fase dimana
perawat melaksanakan rencana atau intervensi yang sudah
dilaksanakan sebelumnya. Berdasarkan terminologi SIKI, implementasi
terdiri atas melakukan dan mendokumentasikan yang merupakan
tindakan khusus yang digunakan untuk melaksanakan intervensi (Tim
Pokja SLKI DPP PPNI, 2018).
7. Evaluasi
Evaluasi keperawatan berdasarkan adalah fase kelima dan
terakhir dalam suatu proses keperawatan. Proses evaluasi dalam
asuhan keperawatan didokumentasikan dalam SOAP (subjektif,
objektif, assesment, planing (Achjar, 2010) Evaluasi keperawatan
terhadap pasien dengan masalah nyeri dilakukan dengan menilai
kemampuan pasien dalam merespon rangsangan nyeri diantaranya
(S.Andarmoyo, 2013) :
a. Pasien melaporkan adanya penurunan rasa nyeri
b. Meningkatkan kemampuan fungsi fisik dan psikologis yang dimiliki
pasien
c. Mampu melakukan teknik penanganan nyeri non farmakologis
d. Mampu menggunakan terapi yang diberikan untuk mengurangi nyeri
8. Tujuan Umum Asuhan Keperawatan
Setelah di lakukan Asuhan Keperawatan selama 3x24 jam maka di
harapkan klien mampu meningkatkan pengetahuan dalam mengontrol
nyeri yang terjadi ketika mengalami nyeri pada lutut yang disebabkan oleh
faktor usia dan penurunan fungsi motorik
A. Pengertian UPT
Unit Pelaksanaan Teknis Pelayanan Sosial Tresna Werdha merupakan
unsur pelaksana teknis Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur yang melaksanakan
kegiatan teknis operasional dan atau kegiatan teknis penunjang tertentu,
berdasarkan pada peraturan Gubernur Jawa Timur nomor : 108 tahun 2016
tentang Nomenklatur, Susunan Organisasi, Uraian Tugas Dan Fungsi Serta
Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur.
B. Landasan Hukum
1. Pancasila dan UUD 1945 Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 34;
2. Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia;
3. Undang-Undang No.11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
4. Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 71 Th. 2016 tentang Kedudukan,
Susunan Organisasi, Uraian Tugas & Fungsi serta Tata Kerja Dinas
Sosial Provinsi Jawa Timur.
5. Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 85 Th. 2018 tentang Nomenklatur,
Susunan Organisasi, Uraian Tugas & Fungsi serta Tata Kerja Unit
Pelaksana Teknis Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur;
6. Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 92 Tahun 2018 tentang Pedoman
Kerja dan Pelaksanaan Tugas Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur
tahun 2019
G. Prinsip Pelayanan
1. Menerima klien apa adanya
2. Menghormati harkat dan martabat klien
3. Menjaga kerahasiaan data
4. Tidak memberikan stigma
5. Tidak mengucilkan
6. Menghindari sikap sensitive
7. Pemenuhan kebutuhan secara tepat dan komprehensif
8. Menghindari sikap belas kasian
9. Pelayanan yang cepat dan tepat, bermutu, efisien, dan efektif, serta
akuntabel
Berdasarkan tabel 4.2 dapat di ketahuan bahwa besaran skala yang di rasakan
lansia ialah pada skala 4-6 sebanyak 5 lansia, artinya dari data tersebut lansia
di Wisma Teratai hampir sebagaian mengalami nyeri sedang.
Tabel 4.3 Kualitas nyeri yang di rasakan lansia berdasarkan McGill Pain
Quertionnarre (MPQ)
No Skala Jumlah
1 Cekot-cekot 0
2 Menyentak 0
3 Menikam (seperti pisau) 1
4 Tajam (seperti silet) 0
5 Keram 0
6 Menggigit 0
7 Terbakar 0
8 Ngilu 3
9 Berat atau Pegal 0
10 Nyeri Sentuh 1
11 Mencabik-cabik 0
12 Melelahkan 0
13 Memualkan 0
14 Menghukum/kejam 0
Berdasarkan tabel 4.3 dapat di ketahuan bahwa kualitas nyeri yang dirasakan
klien ialah sebanyak 3 lansia merasakan nyerinya ngilu, 1 lansia merasakan
nyerinya seperti di tusuk-tusuk dan 1 orang merasakan nyerinya seperti saat
di sentuh
Berdasarkan tabel 4.1 dapat di ketahuan bahwa regional nyeri yang di rasakan
lansia terbanyak ialah pada daerah ekstremitas bawah yaitu sebanyak 4 lansia
dan terkecil ialah ekstremitas atas ialah 1 lansia.
Berdasarkan tabel 4.5 dapat di ketahuan bahwa waktu yang dirasakan lansia
yaitu nyerinya hilang timbul yaitu sebanyak 3 lansia, 1 lansia saat beraktivitas
dan 1 lansia saat di sentuh.
B. Fungsi Kemandirian
Tabel 4.6 Jumlah lansia yang mandiri dan tergantung dalam melakakan
aktifitas sehari-hari
No Aktivitas Mandiri Tergantung
Mandi di kamar mandi ( Menggosok,
1. 8
membersihkan dan mengeringkan badan
Menyiapkan pakaian, membuka dan
2. 8
menggunakannya
3. Memakan makanan yang disiapkan 8
Memelihara kebersihan diri untuk
penampilan diri ( Menyisir rambut,
4. 8
mencuci rambaut, menggosok gigi,
mencukur kumis )
BAB di WC ( memberikan dan
5. 8
mengeringkan daerah bokong )
6. Dapat mengontrol pengeluaran feses 8
Membuang air kecil di kamar mandi
7. ( Membersihakan dan mengeringkan 8
daerah kemaluan )
8. Dapat mengontrol pengeluaran kemih 8
Berjalan di lingkungan tempat tinggal
9. atau keluar rauangan tanpa alat bantu, 8
seperti tongkat
Menjalankan agama sesuai agama dan
10. 8
kepercayaan yang di anut
Melakukan pekerjaan rumah seperti
merapikan tempat tidur, mencuci
11. 8
pakaian, memasak dan membersihakn
ruangan
Berbelanja untuk kebutuhan sendiri atau
12. 8
kebutuhan keluarga
Mengelola keuangan ( menyimpan dan
13. 8
mengunakan uang sendiri )
Menggunakan sarana transportasi
14. 8
umum untuk berpergian
Menyiapkan obat dan minum obat
15. sesuai dengan aturan ( takaran obat dan 2 6
waktu minum obat tepat )
Merencanakan dan mengambil
keputusan untuk kepentingan keluarga
16. dalam hal penggunaan uang, aktivitas 3 5
sosialnyg dilakukan dan kebutuhan akan
pelayanan kesehatan
Melakukan aktivitas di waktu luang
17. ( kegiatan keagamaan, sosial, rekreasi, 8
olah raga dan menyalurkan hobi.
Dari tabel 4.6 didapatkan bahwa pola aktivitas lansia pada poin 1 sampai 11,
13 dan 17 dilakukan secara mandiri. Pada point nomor 12 didapatkan bahwa
8 lansia tergantung karena lansia di Wisma Teratai tidak belanja dan tidak
makan sendiri karena sudah di sediakan oleh panti. Pada point nomor 14
didapatkan bahwa 8 lansia tergantung karena lansia di UPT PSTW tidak
memiliki kendaraan pribadi. Pada point 15 didapatkan bahwa 2 orang mandiri
dan 6 orang tergantung. Pada poin 16 didapatkan bahwa 3 lansia mandiri dan
5 lansia tergantung.
D. Fungsi Psikososial
Tabel 4.8 Hasil penilaian status fungsi psikososial pada lansia
No Fungsi Selalu Kadang-kadang Hampir tidak pernah
1 Adaptation 2 6 0
2 Partneship 3 5 0
3 Growth 7 1 0
4 Affection 1 6 1
5 Resolve 8 0 0
E. Fungsi Spiritual
Tabel 4.9 Hasil pengkajian fungsi spiritual
Tidak Kadang-
No Pertanyaan Sering Selalu
pernah kadang
Saya bertamban yakin
dengan keberadaan
tuhan setelah
1 mempelajari ilmu 0 2 4 2
pengetahuan dan
penyajian data
(Pengajian)
Saya berdoa sebelum
dan sesudah
2 0 6 1 1
melakukan suatu
kegiatan
Saya mengucap rasa
syukur atas segala
3 0 3 3 2
karunia tuhan sesuai
agama saya
Saya mengungkapkan
keagunangan tuhan
4 apabila melihat 0 5 2 1
kebesarannya sesuai
agama saya
Saya memberi salam
sebelum dan sesudan
mengungkapkan
5 0 5 1 2
pendapat di depan
umum sesuai agama
saya
Berdasarkan tabel 4.9 pada point 1 didapatkan bahwa sebanyak 2 lansia selalu
mengikuti pengajian 4 lansai sering mengukuti pengajian serta 2 lansia
kadang – kadang mengikuti pengajian. Pada point 2 didapatkan bahwa 6
lansia kadang – kadang, 1 lansia sering dan 1 lansia selalu. Pada point 3
didapatkan bahwa 3 lansia kadang-kadang melakukan, 3 sering melakkan dan
2 lansia selalu melakukan. Pada point 4 didapatkan 5 lansia kadang-kadang
melakukan, 2 lansia sering melakukan dan 1 lansia selalu melakukan. Pada
poin nomor 5 didapatkan 5 lansia kadang-kadang melakukan, 1 lansia sering
melakukan dan 2 lansia selalu melakukan.
BAB V
ANALISA DATA DAN PENYUSUNAN INTERVENSI
A. Analisa Data
Tabel 5.1 Analisa Data Masalah
No Data Masalah
1. Dari hasil pengakjian yang di Nyeri kronis berhubungan
jalasakan pada tabel 4.1 didapatkan dengan agen cidera fisiologis
bahwa keluhan terbanyak yang (D.0078)
dialami lansia ialah pada keluhan
nyeri sendi dimana dari 8 lansia 5
diantaranya mengalami masalah
nyeri sendi.