Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Negara Indonesia merupakan Negara dengan presentasi penduduk lansia
terbanyak yaitu sebesar 55,52% (World Population Prospect, 2010). Menurut Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 tahun 2004, dikatakan lanjut usia adalah
seseorang yang telah berusia mencapai 60 tahun keatas (Kemenkes, 2017). Menurut
World Health Organization (2015), proporsi penduduk diatas 60 tahun di dunia tahun
2000 sampai 2050 akan berlipat ganda dari sekitar 11% menjadi 22%. Populasi lansia
diprediksi terus mengalami peningkatan secara global, Asia dan Indonesia dari tahun
2015 sudah memasuki era penduduk menua (ageing population) karena jumlah
penduduknya yang berusia 60 tahun keatas (penduduk lansia) melebihi angka 7%.
Peningkatan jumlah penduduk berusia lanjut akan memunculkan berbagai masalah
kesehatan. Selain masalah fisik, para lanjut usia juga sering mengalami kemunduran
fungsi intelektual termasuk fungsi kognitif, fungsi utama untuk memelihara peran dan
interaksi yang adekuat dalam lingkungan sosial. Kemunduran fungsi kognitif dapat
dimulai dari bentuk yang paling ringan berupa mudah-lupa (forgetfulness). Jika
penduduk berusia lebih dari 60 tahun di Indonesia berjumlah 7% dari seluruh penduduk,
maka keluhan mudah-lupa tersebut diderita oleh setidaknya 3% populasi di Indonesia.
Mudah-lupa bisa berlanjut menjadi Gangguan Kognitif Ringan (Mild Cognitive
Impairment-MCI) sampai ke Demensia sebagai bentuk klinis paling berat, berupa
kemunduran intelektual berat dan progresif yang mengganggu fungsi sosial, pekerjaan,
dan aktivitas harian seseorang (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003
Demensia merupakan suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual progresif
yang menyebabkan deteriorasi kognitif dan fungsional, sehingga mengakibatkan
gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan aktivitas sehari-hari (Alzheimer‟s Association,
2016). Aktivitas untuk mengisi waktu senggang pada lansia dapat menurunkan risiko
demensia. Jenis aktivitas tersebut melibatkan fungsi kognitif dan fisik. Pada lansia yang
melakukan aktivitas melibatkan fungsi kognitif dapat menurunkan demensia (Verghese,
et al., 2003). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wreksoatmodjo, 2014
di Jakarta, Aktivitas kognitif yang buruk memperbesar risiko fungsi kognitif buruk di
kalangan lanjut usia.
Ketika seseorang mengalami penurunan fungsi kognitif dan intelektual. Maka
lansia akan lebih menarik diri dari lingkungan Lansia yang mengalami gangguan fungsi
kognitif baik ringan, sedang, maupun berat sangat membutuhkan terapi untuk
menstimulus kognitif melalui terapi non medikasi. Salah satu terapi non medikasi adalah
dengan terapi aktivitas kelompok, salah satu terapi modalitas yang dilakukan perawat
kepada kelompok lansia yang mempunyai masalah keperawatan yang sama. Aktivitas
digunakan sebagai terapi dan kelompok diguanakan sebagai target asuhan. Di dalam
kelompok terjadi dinamika interaksi yang saling bergantung, saling membutuhkan dan
menjadi laboratorium tempat lansia melatih perilaku baru yang adaptif untuk
memperbaiki perilaku yang maladaptif. Sangat bermanfaat terutama bagi lansia yang
berada di panti sosial.

Panti Sosial Tresna Werdha adalah panti sosial yang mempunyai tugas untuk
memberikan bimbingan dan pelayanan bagi lansia terlantar agar dapat hidup secara baik
dan terawat dalam kehidupan bermasyarakat (Kemenkes, 2017). Berasarkan hasil
wawancara dengan salah satu perawat panti, selain itu juga dilakukan observasi serta
melakukan skrinning menggunakan format pengkajian yang sesuai di wisma Melati
Sasana Tresna Werdha Ciracas terdapat 36 lansia perempuan dengan 10 pasien total care
(27,77%), Partial care (19,44%), pasien minimal care (52,7%) mengalami keterbatasan
gerak dengan menggunakan alat bantu berupa walker, kruk dan bangku/kursi untuk
berjalan. Sedangkan prevalensi keseluruhan permasalahan fisik seperti Mulia 01 Ciracas
yang mengalami 3 penyakit terbanyak antara lain Hipertensi (27,7%) , Dermatitis
(5,40%), Diabetes Militus (5,40%), dan Demensia (27,7%). Sedangkang didapatkan
permasalahan yang berpusat pada psikologis lansia di ruang Melati didapatkan lansia
dengan kehilangan 1 orang (1,3%), kesepian 14 orang (14,39%), menarik diri (0%),
depresi 5 orang (5,14%). Dapat di simpulkan bahwa prevalensi paling besar pada
permasalahan fisik lansia diruang Melati adalah Hipertensi, sedangkan pada permasalah
psikologis lansia di ruang melati adalah Demensia. Berdasarkan hasil survey di wisma
Melati, kelompok terdorong untuk memprioritaskan permasalahan psikologis yang
dialami oleh lansia, dengan melakukan skrining serta observasi pada lansia dengan
menggunakan pengkajian keperawatan terhadap status kognitif serta intelektual pada
lansia, yaitu Short Portable Mental Status Questionnaire (SPMSQ) didapatkan lansia
dengan gangguan kognitif demensia menjadi prioritas utama masalah.
Dalam kesehariannya, lansia menghabiskan waktu di wisma melati adalah dengan
berdiam di kamar dan terkadang duduk santai di taman wisma saat sore hari. Kegiatan -
kegiatan yang selalu rutin dilaksanakan oleh panti sosial, seperti bernyanyi, menari,
bermain games, dan lain sebagainya, bersifat menstimulus lansia untuk bersosialisasi,
meningkatkan memori, membuat perasaan lansia senang, meskipun aktivitas panggung
gembira menjadi kegiatan rutin yang dilaksanakan setiap hari Rabu oleh pihak PSTW
untuk meningkatkan stimulus positif pada lansia di PSTW, namun tidak semua lansia
aktif dan ikut serta dalam mengikuti aktivitas yang diselenggarakan oleh panti tersebut.
Dilihat dari latar belakang tersebut, maka demensia di panti sosial masih cukup
tinggi dan dapat memiliki dampak yang serius baik fisik maupun mental pada lansia itu
sendiri. Perawat mempunyai peran penting terhadap lansia yang berada di panti untuk
membantu mempertahankan serta memperbesar semangat hidup pada lansia, maka dari
itu kelompok tertarik untuk melakukan terapi aktivitas tentang “Terapi Aktivitas
Kelompok (Tak) Reminiscence Therapy Pada Lansia Dengan Masalah Psikologis :
Demensia Di Sasana Tresna Werdha Ciracas”.

B. TUJUAN
1. TUJUAN UMUM
Setelah dilakukan pengkajian dan observasi pada lansia dengan masalah psikolologis
diharapkan dapat menstimulus kembali memori, kognitif serta intelektual yang
dimiliki lansia terutama untuk mengatasi atau menurunkan masalah kognitif terutama
demensia.

2. TUJUAN KHUSUS
a. Kelompok dapat mengidentifikasi masalah kesehatan lansia melalui pengkajian

keperawatan.
b. Kelompok dapat mengidentifikasi diagnosa keperawatan pada lansia dengan

demensia

c. Kelompok dapat merencanakan tindakan keperawatan yang akan dilakukan guna

mengatasi diagnosa keperawatan yang ada

d. Kelompok dapat melakukan implementasi sesuai rencana keperawatan yang telah

ditentukan untuk masing – masing diagnosa.

e. Kelompok dapat melakukan evaluasi dari masing – masing implementasi dari

masing – masing diagnosa yang muncul

f. Kelompok dapat mendokumentasikan hasil dari implementasi yang telah

dilakukan di PSTW Budhi Mulya 01 Ciracas, Jakarta Timur


BAB II
TINJAUAN TEORI
1. Konsep Lansia
1. Definisi
Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan
yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stress
lingkungan (Pudjiastuti, 2003 dalam Efendi & Makhfudli, 2009).
Lansia adalah individu yang berusia di atas 60 tahun, pada umumnya memiliki tanda-
tanda terjadinya penurunan fungsi-fungsi biologis, psikologis, sosial, dan ekonomi
(BKKBN, 1995 dalam Mubarak, dkk 2012).
Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode
dimana seseorang telah “beranjak jauh” dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan
atau beranjak dari waktu yang penuh dengan manfaat (Hurlock, 2000 dalam Murwani &
Priyantari, 2011).
Menurut UU N0. 13 tahun 1998 dalam Maryam, dkk tahun 2010 dikatakan bahwa usia
lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas.

2. Klasifikasi Lansia
Menurut Maryam, dkk tahun 2008 ada lima klasifikasi pada lansia.
a. Pralansia
Seseorang yang berusia antara 45-49 tahun.
b. Lansia
Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
c. Lansia resiko tinggi
Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau
lebih dengan masalah kesehatan (Depkes RI, 2005).
d. Lansia potensial
Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat
menghasilkan barang/jasa (Depkes RI, 2003).
e. Lansia tidak potensial
Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada
bantuan orang lain (Depkes RI, 2003).

3. Batasan Umur Lanjut Usia


Berikut ini adalah batasan – batasan umur yang mencakup batasan umur lansia dari
pendapat berbagai ahli yang dikutip dari (Nugroho, 2002 dalam Efendi & makhfudli,
2009).
a. Menuru tundang – undang nomor 13 tahun 1998 dalam bab 1 pasal 1 ayat 2 yang
berbunyi“ lanjut usia adalah sesorang yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun
keatas “.
b. Menurut World Health Organization (WHO)
Usia pertengahan (middle age) : 45-59 tahun
Lanjut usia (elderly) : 60-74 tahun
Lanjut usia tua (old) : 75-90 tahun
Usia sangat tua (very old) : diatas 90 tahun

4. Tipe usia lanjut


Menurut Maryam, dkk tahun 2010, beberapa tipe pada usia lanjut bergantung pada
karakter, pengalaman hidup, lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial dan ekonomi. Tipe
tersebut antara lain :
a. Tipe Arif Bijaksana
Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan zaman,
mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan,
memenuhi undangan, dan menjadi panutan.
b. Tipe Mandiri
Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam mencari pekerjaan,
bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.
c. Tipe Tidak Puas
Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah, tidak
sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik, dan banyak menuntut.
d. Tipe Pasrah
Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan melakukan
pekerjaan apa saja.
e. Tipe Bingung
Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif, dan acuh
tak acuh.
Menurut Nugroho (2008), lanjut usia dapat pula dikelompokkan dalam beberapa
tipe yang tergantung pada karakter, pengalaman hidup, lingkungan, kondisi fisik,
mental sosial, dan ekonominya. Tipe ini antara lain :
a. Tipe optimis
Lanjut usia santai dan periang, penyesuaian cukup baik, mereka memandang masa
lanjut usia dalam bentuk bebas dari tanggung jawab dan sebagai kesempatan
untuk menuruti kebutuhan pasifnya. Tipe ini sering disebut juga lanjut usia tipe
kursi goyang ( the rocking chairman).

b. Tipe konstruksi
Lanjut usia ini mempunyai integritas baik, dalam menikmati hidup, mempunyai
toleransi yang tinggi, humoristik, fleksibel, dan tahu diri. Biasanya, sifat ini
terlihat sejak muda. Mereka dengan tenang menghadapi proses menua dan
menghadapi akhir.
c. Tipe ketergantungan
Lanjut usia ini masih dapat diterima ditengah masyarakat, tetapi selalu pasif, tidak
berambisi, masih tahu diri, tidak mempunyai inisiatif dan bila bertindak yang
tidak praktis. Ia senang pensiun, tidak suka bekerja, dan senang berlibur, banyak
makan, dan banyak minum.
d. Tipe defensive
Lanjut usia biasanya sebelumnya mempunyai riwayat pekerjaan/jabatan yang
tidak stabil, bersifat selalu menolak bantuan, emosi tidak terkontrol, memegang
teguh kebiasaan, bersifat konpulsif aktif, anehnya mereka takut menghadapi
“menjadi tua” dan menyenangi masa pensiun.
e. Tipe militant dan serius
Lanjut usia yang tidak mudah menyerah, serius senang berjuang, bisa menjadi
panutan.
f. Tipe pemarah frustasi
Lanjut usia yang pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, selalu menyalahkan
orang lain, menunjukan penyesuian yang buruk. Lanjut usia sering
mengekspresikan kepahitan hidupnya.
g. Tipe bermusuhan
Lanjut usia yang selalu menganggap orang lain yang menyebabkan kegagalan,
selalu mengeluh, bersifat agresif, dan curiga. Biasanya, pekerjaan saat ia muda
tidak stabil, menganggap menjadi tua itu bukan hal yang baik, takut mati, iri hati
pada orang yang muda, senang mengadu untung pekerjaan, aktif meghindari masa
yang buruk.
h. Tipe putus asa, membenci, dan menyalahkan diri sendiri
Lanjut usia ini bersifat kritis dan menyalahkan diri sendiri, tidak mempunyai
ambisi, mengalami penurunan sosio-ekonomi, tidak dapat menyesuaikan diri.
Lanjut usia tidak hanya mengalami kemarahan, tetapi juga depresi, memandang
lanjut usia sebagai tidak berguna karena masa yang tidak menarik. Biasanya,
perkawinan tidak bahagia, merasa menjadi korban keadaan, membenci diri
sendiri, dan ingin cepat mati.

5. Teori Proses Menua


a. Teori Biologis
Menurut potter (2005) menjelaskan proses fisik penuaan, termasuk perubahan fungsi,
struktur, pengembangan, panjang usia dan kematian.
a) Teori Genetik (Genetic Theory/Genetic Lock)
Teori ini mengusulkan bahwa akumulasi sampah metabolik atau zat nutrisi dapat
merusak sintensis DNA. Teori genetik terdiri dari teori asam deoksribonukleat
(DNA), teori ketepatan dan kesalahan, mutasi, somatik, dan glikogen. Teori ini
menyatakan bahwa proses replikasi pada tingkatan seluler menjadi tidak teratur
karena adanya informasi tidak sesuai yang diberikan dari inti sel. Molekul DNA
menjadi bersilangan (crosslink) dengan unsur yang lain sehingga mendorong
malfungsi molekular dan akhirnya malfungsi organ tubuh.
b) Teori Imunologis
Teori imunitas menggambarkan penurunan atau kemunduran dalam keefektifan
sistem imun yang berhubungan dengan penuaan. Mekanisme seluler tidak teratur
diperkirakan menyebabkan serangan pada jaringan tubuh melalui penurunan
imun. Dengan bertambahnya usia, kemampuan pertahanan/imun untuk
menghancurkan bakteri, virus dan jamur melemah sehingga mereka lebih rentan
untuk menderita berbagai penyakit seperti kanker dan infeksi. Seiring
berkurangnya imun terjadilah suatu peningkatan respon auto imun pada tubuh
lansia.
c) Teori Neuroendokrin
Salah satu area neurologi yang mengalami gangguan secara universal akibat
penurunan adalah waktu reaksi yang diperlukan untuk dapat menerima.
Memproses dan bereaksi terhadap perintah. Hal ini dapat dikenal sebagai
perlambatan tingkah laku, respon ini terkadang aktualisasikan sebagai tindakan
untuk melawan, ketulian atau kurang pengetahuan. Umumnya pada usia lanjut
merasa seolah-olah mereka tidak kooperatif/ tidak patuh.
d) Teori Lingkungan
Menurut teori ini, faktor dari dalam lingkungan seperti karsinogen dari industri,
cahaya matahari, trauma dan infeksi dapat membawa perubahan dalam proses
penuaan. Dampak dari lingkungan lebih merupakan dampak sekunder dan bukan
faktor utama dalam penuaan.
e) Teori Crossllink
Teori cross link dan jaringan ikat mengatakan bahwa molekul kolagen dan elastin,
komponen jaringan ikat, membentuk senyawa yang lama meningkatkan rigiditas
sel, cross link diperkirakan berakibat menimbulkan senyawa antara molekul yang
normalnya terpisah. Saat serat kolagen yang awalnya dideposit dalam jaringan
otot polos, menjadi renggang berikatan dan jaringan menjadi fleksibel. Contoh
cross link jaringan ikat terkait usia meliputi penurunan kekuatan daya rentang
dinding arteri seperti tanggalnya gigi, kulit yang menua, tendon kering dan
berserat.

f) Teori Radikal Bebas


Radikal bebas adalah produk metabolisme seluler yang merupakan bagian
molekul yang sangat reaktif. Molekul ini memiliki muatan ektraseluler kuat yang
dapat menciptakan reaksi dengan protein, mengubah bentuk sifatnya, molekul ini
juga dapat bereaksi dengan lipid yang berada dalam membran sel dan
mempengaruhi permeabilitasnya atau dapat berikatan dengan organel sel. Teori
ini menyatakan bahwa penuaan disebabkan karena terjadinya akumulasi
kerusakan ireversibel akibat senyawa pengoksidasi dimana radikal bebas dapat
terbentuk dialam. Tidak stabilnya radikal bebas mengakibatkan oksidasi bahan
organik seperti karbohidrat dan protein.

b. Teori Psikososial
Teori ini memusatkan pada perubahan sikap dan prilaku yang menyertai peningkatan
usia, sebagai lawan dari implikasi biologi pada kerusakan anatomis, yang terdiri
dari :
a) Teori Pemutusan Hubungan (Disengagement)
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia maka seseorang akan
berangsur-angsur akan melepaskan dirinya dari kehidupan sosialnya (menarik
diri) dari lingkungan sekitarnya dan ini menyebabkan kehilangan ganda seperti :
kehilangan peran, hambatan kontak sosial, berkurangnya komitmen atau dengan
kata lain orang yang menua menarik diri dari perannya dan digantikan oleh
generasi yang lebih muda. Peran yang terkait pada aktivitas yang lebih
introspektif dan berfokus pada diri sendiri. Disengagement adalah intrinsik dan
tidak dapat dielakkan baik secara biologis dan psikologis, dianggap perlu untuk
keberhasilan penuaan dan bermanfaat baik bagi lansia dan masyarakat.
b) Teori Aktivitas
Teori ini tidak menyetujui teori disengagement dan lebih menegaskan bahwa
kelanjutan aktivitas dewasa tengah penting untuk keberhasilan penuaan.
Havighurst (1952) yang pertama menulis tentang pentingnya tetap aktif secara
sosial sebagai alat untuk penyesuian diri yang sehat untuk lansia. Beberapa
pendapat mengemukakan bahwa penuaan terlalu kompleks untuk dikarateristikan
kedalam cara sederhana tersebut. Gagasan pemenuhan kebutuhan seseorang harus
seimbang dengan pentingnya perasaan dibutuhkan orang lain dalam
mempertahankan interaksi yang penuh arti dengan orang lain dan kesejahteraan
fisik secara mental orang tersebut. Teori ini menyatakan pada lansia yang sukses
adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial. Ukuran optimum
dilanjutkan pada cara hidup dari lansia, mempertahan hubungan antara sistem
sosial dan individu agar tetap stabil dari usia pertengahan kelanjutan usia. Selain
itu dapat menunjukan pentingnya aktivitas mental dan fisik yang
berkesinambungan untuk mencegah kehilangan dan pemeliharaan kesehatan
sepanjang masa kehidupan manusia.
c) Teori Tugas Perkembangan (Kontuinitas)
Teori kontuinitas menyatakan bahwa kepribadian tetap masa dan prilaku menjadi
lebih mudah diprediksi seiring penuaan. Hasil penelitian Ericson tugas
perkembangan adalah aktivitas dan tantangan yang harus dipenuhi oleh seseorang
pada tahap spesifik dalam kehidupannya untuk mencapai penuaan yang sukses.
Beberapa pendapat bahwa teori ini terlalu sederhana dan tidak
mempertimbangkan berbagai faktor yang mempengaruhi respon seseorang
terhadap proses penuaan. Teori ini juga menyatakan bahwa perubahan yang
terjadi pada lanjut usia dipengaruhi oleh tipe kepribadian yang dimiliki. Pada
kondisi ini tidak adanya pencapaian perasaan bahwa ia telah menikmati hidup
yang baik, maka lansia tersebut beresiko untuk disibukkan dengan rasa
penyesalan atau putus asa.
d) Teori Kepribadian
Jun berteori bahwa keseimbangan antara dua hal tersebut adalah penting bagi
kesehatan. Menurunya tanggung jawab dan tuntutan dari keluarga dan ikatan
sosial sering terjadi dikalangan lansia. Konsep interioritas dari Jun mengatakan
bahwa separuh kehidupan manusia berikutnya digambarkan dengan tujuan sendiri
yaitu mengembangkan kesadaran diri sendiri melalui aktivitas yang dapat
merefleksikan dirinya sendiri. Lansia sering beranggapan bahwa hidup telah
memberikan satu rangkaian pilihan yang sekali dipilih akan membawa orang
tersebut pada suatu arah yang tidak bisa diubah.

6. Perubahan Sistem Tubuh Lansia


Menurut Nugroho, 2000 beberapa perubahan sistem tubuh manusia
a. Perubahan Fisik
a) Sel
Pada lansia, jumlah jumlah selnya akan lebih sedikit dan ukurannya akan lebih
besar. Cairan tubuh dan cairan intraseluler akan berkurang, proporsi protein di
otak, otot, ginjal, darah, dan hati juga ikut berkurang. Jumlah sel otak akan
menurun, mekanisme perbaikan sel akan terganggu, dan otak menjadi atrofi.
b) Sistem Persarafan
Rata-rata berkurangnya saraf neocortical sebesar 1 per detik (Pakkenberg dkk,
2003), hubungan persarafan cepat menurun, lambat dalam merespon baik dari
gerakan maupun jarak waktu, khususnya dengan stress, mengecilnya saraf
pancaindra, serta menjadi kurang sensitive terhadap sentuhan.
c) Sistem Pendengaran
Gangguan pada pendengaran (presbiakusis), membran timpani mengalami atrofi,
terjadi pengumpulan dan pengerasan serumen karena peningkatan keratin,
pendengaran menurun pada lanjut usia yang mengalami ketengagan jiwa atau
stress.
d) Sistem Penglihatan
Timbul skelerosis pada sfinter pupil dan hilangnya respon terhadap sinar, kornea
lebih berbentuk seperti bola (sferis), lensa lebih suram (keruh) dapat menyebakan
katarak, meningkatnya ambang, pengamatan sinar dan daya adaptasi terhadap
kegelapan menjadi lebih lambat dan sulit untuk melihat dalam kedaan gelap,
hilangnya daya akomodasi, menurunnya lapang pandang, dan menurunya daya
untuk membedakan antara warna biru dengan hijau pada skala pemeriksaan.
e) Sistem Kardiovaskular
Elastisitas dinding aorta menurun, katub jantung menebal dan menjadi kaku,
kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur
20 tahun, hal ini menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya.
Kehilangan elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektifitas pembuluh darah
perifer untuk oksigenisasi, sering terjadi postural hipotensi, tekanan darah
meningkat diakibatkan oleh meningkatnya resistensi dari pembuluh darah perifer.
f) Sistem Pengaturan Suhu Tubuh
Suhu tubuh menurun (hipotermia) secara fisiologis ± 350 C, hal ini diakibatkan
oleh metabolisme yang menurun, keterbatasan reflek menggigil, dan tidak dapat
memproduksi panas yang banyak sehingga terjadi rendahnya aktivitas otot.
g) Sistem Pernafasan
Otot-otot pernapasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, menurunnya
aktivitas dari silia, paru-paru kehilangan elastisitas sehingga kapasitas residu
meningkat, menarik napas lebih berat, kapasitas pernapasan maksimum menurun,
dan kedalaman bernapas menurun. Ukuran alveoli melebar dari normal dan
jumlahnya berkurang, oksigen pada arteri menurun menjadi 75 mmHg,
kemampuan untuk batuk berkurang, dan penurunan kekuatan otot pernapasan.
h) Sistem Gastrointestinal
Kehilangan gigi, indra pengecapan mengalami penurunan, esophagus melebar,
sensitivitas akan rasa lapar menurun, produksi asam lambung menurun, peristaltik
lemah dan waktu pengosongan lambung menurun, peristaltik lemah dan biasanya
timbul konstipasi, fungsi absorbsi menurun, hati (liver) semakin mengecil dan
menurunnya tempat penyimpanan, serta berkurangnya suplai aliran darah.
i) Sistem Genitourinaria
Ginjal mengecil dan nefron menjadi atrofi, aliran darah keginjal menurun hingga
50%, fungsi tubulus berkurang (berakibat pada penurunan kemampuan ginjal untuk
mengkonsentrasikan urin, berat jenis urin menurun, proteinuria biasanya +1), blood
urea nitrogen (BUN) meningkat hingga 21 mg%, nilai ambang ginjal terhadap
glukosa meningkat. Otot-otot kandung kemih (vesica urinaria) melemah,
kapasitasnya menurun hingga 200 ml dan menyebabkan frekuensi buang air kecil
meningkat, kandung kemih sulit dikosongkan sehingga meningkatkan retensi urine.
Pria dengan usia 65 tahun keatas sebagian besar mangalami pembesaran prostat
hingga ±75% dari besar normalnya.

j) Sistem Endokrin
Menurunnya produksi ACTH, TSH, FSH, dan LH, aktivitas tiroid, basal metabolic
rate (BMR), daya pertukaran gas, produksi aldosteron, serta sekresi hormon
kelamin seperti progesteron, estrogen, dan testosteron.
k) Sistem Integumen
Kulit menjadi keriput akibat kehilangan jaringan lemak, permukaan kulit kasar
dan bersisik, menurunnya respon terhadap trauma, mekanisme proteksi kulit
menurun, kulit kepala dan rambut menipis serta berwarna kelabu, rambut dalam
hidung dan telinga menebal, berkurangnya elstisitas akibat menurunnya cairan
vaskularitas, pertumbuhan kuku lebih lambat, kuku jari menjadi keras dan rapuh,
kuku kaki tumbuh secara berlebihan dan seperti tanduk, kelenjar keringat
berkurang jumlahnya dan fungsinya, kuku menjadi pudar dan kurang bercahaya.
 Perubahan pada Epidermis
Stratum korneum yang merupakan lapisan terluar dari epidermis akan
mengalami jumlah lipid seiring bertambahnya usia sehingga rentan terhadap
kerusakan. Pernurunan proliferasi sel – sel epidermis (keratinosis) juga
menyebabkan stratum korneum lebih lama dalam mengatasi kerusakan
tersebut. Sel – sel melanosit yang memberikan warna pada kulit dan
melindungi kulit dari sinar ultraviolet akan mengalami penururnan jumlah aktif
sebanyak 10 – 20% perdekade. Selain itu, sel – sel langerhans yang berperan
sebagai makrofag juga menururn, sehingga rentan terhadap terjadinya infeksi
(Reichel, 2009).
 Perubahan Pada Dermis
Pada usi atua terjadi penururna kekebalan kulit dan penururnan vaskularisasi
serta komponen sel. Dermis tersusun atas 80% kolagen yang memeberikan
daya elastisitas dan fleksibilitas pada kulit. Penururnan kolagen dan elastisitas
dapat menyebabkan kelemahan, ketahanan, dan kerutan halus tampak pada
kulit yang menua.
 Perubahan Jaringan Subkutan
Pertambahan usia menyebabkan penururnan jumlah dan distribusi lemak pada
subkutan. Beberapa jaringan subkutan mengalami atropi. Hal ini
mengakibatkan orang tua mengalami kehilangan bantalan tubuh yang
melindungi dari tekanan dan nkehilangan suhu tubuh. Selain itu, pada saraf
juga mengalami penurunan shingga mempengaruhi sensasi tekan dan
sentuhan.
l) Sistem Muskuloskeletal
Tulang kehilangan kepadatan (density) dan semakin rapuh, kifosis, persendian
membesar dan menjadi kaku, tendon mengerut dan mengalami sklerosis, atrofi
serabut otot sehingga gerak seseorang menjadi lambat, otot-otot kram dan
menjadi tremor.

b. Perubahan Mental
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental adalah perubahan fisik,
kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan (hereditas), lingkungan, tingkat
kecerdasan (intelligence quotient-I.Q.), dan kenangan (memory). Kenangan dibagi
menjadi dua, yaitu kenangan jangka panjang (berjam-jam sampai berhari-hari yang
lalu) mencakup beberapa perubahan dan kenangan jangka pendek atau seketika (0-10
menit) biasanya dapat berupa kenangan buruk.

c. Perubahan Psikososial
Perubahan psikososial terjadi terutama setelah seseorang mengalami pensiun. Berikut
ini adalah hal-hal yang akan terjadi pada masa pensiun.
a) Kehilangan sumber finansial atau pemasukan (income) berkurang.
b) Kahilangan status karena dulu mempunyai jabatan posisi yang cukup tinggi,
lengkap dengan segala fasilitasnya.
c) Kehilangan teman atau relasi.
d) Kehilangan pekerjaan atau kegiatan.
e) Merasakan atau kesadaran akan kematian (sense of awareness of mortality).

7. Tugas Perkembangan Lansia


Menurut Erickson, dalam Maryam dkk, 2008 kesiapan lansia untuk beradaptasi atau
menyesuaikan terhadap diri tugas perkembangan usia lanjut dipengaruhi oleh proses
tumbuh kembang pada tahap sebelumnya.
Apabila seseorang pada tahap tumbuh kembang sebelumnya melakukan kegiatan sehari-
hari dengan teratur dan baik serta membina hubugan yang serasi dengan orang-orang
disekitarnya, maka pada usia lanjut ia akan tetap melakukan kegiatan yang biasa ia
lakukan pada tahap perkembangan sebelumnya seperti olahraga, mengembangkan hobi
bercocok tanam, dan lain-lain.

Adapun tugas perkembangan lansia adalah sebagai berikut


a. Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun
b. Mempersiapkan diri untuk pensiun
c. Membentuk hubungan baik dengan orang seusianya
d. Mempersiapkan kehidupan baru
e. Melakukan penyesuaian terhadap kehidupan sosial/masyarakat secara santai
f. Mempersiapkan diri untuk kematiannya dan kematian pasangan.

B. Konsep Demensia
1. Definisi
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi ke III (PPDGJ –III)
menyatakan bahwa demensia merupakan suatu sindrom yang diakibatkan oleh penyakit
atau gangguan otak yang biasanya bersifat kronikprogresif dimana terdapat gangguan
fungsi luhur kortikal yang multipel (multiple higher cortical function) termasuk di
dalamnya daya ingat, daya pikir, orientasi, daya tangkap (comprehension), berhitung,
kemampuan belajar, berbahasa, dan daya nilai (judgement). Demensia umumnya
disertai dan ada kalanya diawali dengan kemerosotan (deterioration) dalam
pengendalian emosi, perilaku sosial, atau motivasi hidup.
Demensia adalah kondisi klinis dimana terjadi penurunan fungsi mentalintelektual
(kognitif) yang progresif. Demensia dapat disebabkan oleh penyakit organik difusi pada
hemisfer serebri (demensia subkortikal – misal penyakit Alzheimer) atau kelainan
struktur subkortikal (demensia subkortikal, misalnya penyakit Parkinson dan
Huntington) (Elvira, Sylvia D, et al. 2010). Memori adalah bagian kognitif yang paling
banyak hilang pada demensia. Kemampuan mental juga terpengaruh pada kasus
demensia, seperti bahasa, kemampuan visuospatial, perhitungan, pengambilan
keputusan, dan pemecahan pemecahan masalah. Neuropsikiatri dan defisit sosial juga
berkembang di banyak gejala demensia yang mengakibatkan depresi, penarikan,
halusinasi, delusi, agitasi dan insomnia (Guyton & Hall, 2012).
2. Gambaran Klinik
Demensia memiliki beberapa gambaran klinis antara lain sebagai berikut:
a. Gangguan Memori
Gangguan memori merupakan ciri yang awal dan menonjol pada kasus demensia
dimana penderita mengalami penurunan daya ingat segera dan daya ingat peristiwa
jangka pendek (recent memory – hipokampus) kemudian secara bertahap daya ingat
recall juga mengalami penurunan (temporal medial dan regio diensephalik). Pasien
demensia tidak mampu untuk belajar tentang hal-hal baru atau lupa mengenai hal-hal
yang baru saja dikenal, dilakukan atau dipelajari seperti lupa janjinya, orang yang baru
saja dijumpai atau tempat yang baru saja dikunjunginya.
b. Orientasi
Daya ingat penting untuk orientasi terhadap waktu, orang dan tempat. Orientasi dapat
terganggu secara progresif selama terjadi perjalanan penyakit demensia. Pasien dengan
demensia mungkin lupa bagaimana kembali ke ruangannya setelah pergi dari kamar
mandi.
c. Afasia
Afasia yaitu kesulitan dalam menyebutkan benda atau orang. Penderita afasia berbicara
samar-samar dengan ungkapan kata-kata yang panjang atau dengan menggunakan
istilah-istilah yang tak menentu, seperti “itu”, “apa itu“. Pada tahap lanjut, penderita
dapat menjadi bisu atau mengalami gangguan pola bicara yang dicirikan oleh ekolalia
yang berarti menirukan yang dia dengar atau palilia yang berarti mengulang suara atau
kata terus menerus.
d. Apraksia
Apraksia ialah ketidak-mampuan dalam melakukan suatu gerakan meskipun kemampuan
motorik yang diperlukan tetap baik. Penderita mengalami kesulitan dalam menggunakan
benda tertentu atau melakukan gerakan-gerakan yang telah dikenali misalnya
melambaikan tangan.
e. Agnosia
Agnosia yaitu ketidak-mampuan penderita dalam mengenali atau mengindentifikasi
suatu benda meskipun fungsi sensoriknya utuh, seperti penderita tidak dapat mengenali
meja ataupun kursi meskipun visusnya atau penglihatannya baik. Penderita semakin
lama semakin tidak mengenal lagi anggota-anggota keluarganya.
f. Gejala psikotik
Sekitar 20%-30% pasien demensia memiliki halusinasi dan 30%-40% pasien demensia
mempunyai waham, terutama dengan sifat paranoid atau persekutorik dan tidak
sistematik walaupun waham yang kompleks, menetap dan tersistematik dengan baik
juga dilaporkan pada pasien demensia. Agresi fisik dan bentuk kekerasan lainnya sering
terjadi pada pasien demensia yang juga mempunyai gejala psikotik.

g. Perubahan kepribadian
Sifat kepribadian pada pasien demensia sebelumnya mungkin diperkuat selama
perkembangan demensia. Pasien dengan demensia mungkin menjadi introvert dan
tampaknya juga kurang memperhatikan efek perilaku mereka terhadap orang lain.
Pasien demensia yang mempunyai waham paranoid biasanya bersikap bermusuhan
terhadap anggota keluarganya ataupun pengasuhnya. Pasien dengan gangguan frontal
dan temporal kemungkinan mengalami perubahan kepribadian yang jelas dan mungkin
mudah untuk marah.
h. Gangguan lain
Reaksi katastropik adalah reaksi yang menunjukkan penurunan kemampuan untuk
menerapkan perilaku abstrak sesuai dengan apa yang disebut oleh Kurt Goldstein.
Pasien mempunyai kesulitan dalam generalisasi dari satu contoh tunggal, membentuk
konsep dan mengambil perbedaan serta persamaan diantara konsep-konsep. Pada tahap
selanjutnya, pasien mengalami kesulitan dalam hal kemampuan untuk memecahkan
masalah, memberikan alasan secara logis dan memberikan pertimbangan yang baik.
Reaksi katastropik menurut Goldstein ditandai oleh agitasi sekunder karena kesadaran
subjektif tentang defisit fungsi intelektualnya. Pasien berusaha untuk mengompensasi
defeknya tersebut dengan menggunakan strategi untuk menghindari terlihatnya
kegagalan dalam fungsi intelektualnya seperti mengubah subjek, membuat lelucon atau
mengalihkan pewawancara dengan cara lain. Penderita demensia yang terutama
mempengaruhi lobus frontalis sering ditemukan tidak adanya pertimbangan atau kontrol
impuls yang buruk, sebagai contoh dari gangguan tersebut adalah bahasa yang kasar,
humor yang tidak sesuai, pengabaian penampilan higiene pribadi dan mengabaikan
aturan konvensional mengenai tingkah laku sosial (Kaplan & Sadock, 2007).
3. Etiologi
Urutan tersering demensia adalah sebagai berikut:
a. Penyakit Alzheimer (Paling banyak)
b. Demensia vaskular
c. Human Immunodeficiency Virus (HIV)
d. Penyakit Pick
f. Penyakit Creutzfeldt-Jakob
g. Penyakit Huntington
h. Penyakit Parkinson (Thomas et al, 2006)

4. Klasifikasi
Klasifikasi demensia adalah sebagai berikut:
1. Demensia tipe Alzheimer
2. Demensia vaskuler
3. Demensia dengan badan lewy (DLB)
4. Demensia frontotemporal
5. Demensia berhubungan dengan HIV (Crash Course Psychiatry).
Klasifikasi demensia menurut patoetiologi adalah sebagai berikut:
1. Primary neurodegenerative disorders:
a. Alzheimer disease (AD)
b. Lewy body disorders
Dementia with Lewy bodies (DLB)
Parkinson disease dementia (PDD)
c. Frontotemporal dementias (FTD)
Progressive supranuclear palsy (PSP)
Corticobasal degeneration (CBD)
d. Huntington disease (HD)
e. Creutzfeldt-Jakob disease (CJD)
2. Demensia vaskuler:
Multi-infarct dementia, Binswanger disease, CADASIL
3. Inflammatory dementias:
Multiple sclerosis, CNS vasculitis
1. Infectious dementias:
Neurosyphilis, neuro-Lyme, HIV dementia
2. Neoplastic dementias:
Tumors, carcinomatous meningitis, paraneoplastic syndromes
3. Other/physical dementias:
Hydrocephalus, brain trauma (Merritt's neurology)

5. Patogenesis Demensia
Porsi tertentu dari suatu fungsi intelektual dikontrol oleh batasan region dari cerebrum.
Penurunan memori adalah gejala utama dari demensia dan mungkin terjadi bersamaan
dengan penyakit yang luas pada beberapa bagian yang berbeda di cerebrum. Keutuhan
bagian-bagian tertentu dari diencephalon dan bagian inferomedial dari globus temporal
adalah dasar dari kuatnya suatu memori. Pada hal yang sama, penurunan fungsi bahasa
diasosiasikan secara spesifik dengan penyakit yang menyerang hemisfer cerebrum
khsusunya bagian perisylvian dari frontal, temporal dan globus parietal. Kemampuan
dalam membaca dan menghitung yang menurun atau bahkan menghilang dihubungkan
dengan lesi pada bagian posterior dari hemisfer serebral bagian kiri (dominan).
Kemampuan dalam menggunakan alat atau apraxia yang menurun atau bahkan menghilang
berhubungan dengan menghilangnya jaringan pada bagian parietal yang dominan.
Penurunan dalam menggambar ataupun konstruksi figur yang simpel dan kompleks dapat
dilihat dengan lesi pada globus parietal dengan bagian kanan yang lebih sering
dibandingkan bagian kiri. Masalah mengenai tingkah laku dan stabilitas personality
umumnya berhubungan dengan degenerasi lobus frontal. Hasil gambaran klinis dari
penyakit cerebral bergantung pada tingkat lesi, banyaknya jaringan cerebral yang rusak dan
bagian-bagian dari otak yang menanggung beban dari perubahan patologis.
Demensia tipe generatif biasanya berhubungan dengan penyakit struktural yang jelas
terutama pada cortex serebral tetapi juga dapat terjadi pada diencephalon. Pada beberapa
penyakit seperti penyakit Alzheimer, proses utamanya yaitu degenerasi dan kehilangan sel
saraf pada area cortical dan globus medial temporal. Pada penyakit pick dan demensia
frontotemporal primer, atrophy terutama terjadi pada bagian frontal, temporal atau bahkan
keduanya, kadang-kadang sedikit tidak simetris. Pada penyakit lain seperti Huntington
Chorea, degenerasi sel syaraf lebih dominan pada caudate nuclei, putamens dan bagian
lain pada ganglia basalis. Degenerasi thalamus secara murni jarang dijumpai dan
kemungkinan menjadi dasar dari terjadinya demensia karena terdapatnya hubungan antara
thalamus dengan cortex serebral khususnya yang berkaitan dengan memori, bahkan ketika
penyakit tertentu mempengaruhi satu bagian dari cerebrum, area tambahan juga sering ikut
terlibat dan berkonstribusi terhadap terjadinya penurunan mental. Salah satu temuan
penting pada penyakit Alzheimer yaitu terjadinya kerusakan utama pada hipokampus dan
juga degenerasi nuclei cholinergic dari daerah frontal basal yang dapat sangat
menurunkan fungsi memori. Penggantian dari hilangnya cholinergic adalah satu dari
pendekatan-pendekatan utama untuk perawatan dari penyakit ini.
Penyakit arteriosclerotic cerebrovaskular berbeda perjalanannya dibandingkan dengan
penyakit neurodegenerative mengakibatkan multiple infark sepanjang thalamus, ganglia
basal, brain stem, cerebrum termasuk saraf motor dan sensorik serta area proyeksi visual
maupun area asosiasi. Efek kumulatif dari stroke yang berulang dapat merusak intelektual.
Stroke yang berulang dapat meningkatkan penyakit secara jelas pada pasien (Multiinfarct
dementia). Penurunan karakteristik fungsi mental dapat dikaitkan dengan perubahan
periventricular white matter (leukoaraiosis) yang dapat diamati pada computed
tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI) scans pada beberapa pasien tua
dan pada pasien yang terduga mengalami iskemik secara alami. Stroke ringan yang
berlebihan dalam berbagai cara dapat menghasilkan proses Alzheimer Neuropathologic,
hal tersebut telah diterima di beberapa tempat.
Lesi yang diakibatkan oleh trauma serebral berat dapat mengakibatkan demensia bila
kerusakan terjadi terutama pada bagian frontal dan temporal, corpus callosum dan
thalamus. Beberapa kasus degenerasi yang menyebar luas sampai ke dalam hemisfer
cerebral disebabkan dari gangguan mekanik pada bagian dalam white matter yang dapat
disebut axonal shearing. Kebanyakan lesi yang berasal dari trauma yang menyebabkan
demensia cukup luas, sehingga membuat sulit dalam penentuan letak lesi utama. Para ahli
menyatakan bahwa lesi pada axonal shearing adalah penyebab primer dari demensia akibat
trauma.
Proses inflamasi secara difusi pada serebral menjadi dasar terjadinya demensia pada
syphilis, cryptococcosis, kronik meningitis dan infeksi virus yang lain seperti AIDS, herpes
simpleks enchepalitis serta subakut subsclerosis panecephalitis. Terdapat penurunan dari
beberapa neuron dan inflamasi menganggu fungsi neuron secara tetap. Penyakit
sebelumnya (Creutzfeldt-Jakob disease) menyebabkan penurunan saraf cortical secara
difus, penggantian gliosis dan perubahan bentuk spongi.
Woc Demensia:
Lingkungan Faktor genetik Proses menua Imunologi Trauma

Hilangnya serat – serat


gangguan pada neuron
6. Penegakan diagnosis
Dalam menegakkan diagnosis klinis dari demensia dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1 Anamnesis
Anamnesis (wawancara) dilakukan pada penderita, keluarga atau pengasuh yang
mengetahui perjalanan penyakit pada pasien. Hal yang penting untuk diperhatikan pada
saat melakukan anamnesis adalah riwayat penurunan fungsi terutama fungsi kognitif pada
pasien dibandingkan sebelumnya, mendadak atau progresif lama dan adanya perubahan
perilaku kepribadian.
a. Riwayat medis umum
Ditanyakan faktor resiko demensia, riwayat infeksi kronis (misalnya HIV dan sifilis),
gangguan endokrin (hiper/hipotiroid), diabetes melitus, neoplasma/tumor, penyakit
jantung, penyakit kolagen, hipertensi, hiperlipidemia dan aterosklerosis perifer
mengarah ke demensia vaskular.
b. Riwayat neurologis
Bertujuan untuk mengetahui etiologi demensia seperti riwayat gangguan
serebrovaskular, trauma kapitis, infeksi sistem saraf pusat , epilepsi, stroke, tumor
serebri dan hidrosefalus.
c. Riwayat gangguan kognitif

Riwayat gangguan memori sesaat, jangka pendek dan jangka panjang yang meliputi:
• Gangguan orientasi orang, waktu dan tempat
• Gangguan berbahasa/komunikasi (kelancaran, menyebut maupun gangguan
komprehensif)
• Gangguan fungsi eksekutif (pengorganisasian, perencanaan dan pelaksanaan suatu
aktifitas)
• Gangguan praksis dan visuospasial.
Hal lain yang perlu untuk diketahui mengenai aktifitas harian yang dilakukan
pasien diantaranya melakukan pekerjaan, mengatur keuangan, mempersiapkan
keperluan harian, melaksanakan hobi serta mengikuti aktifitas sosial.
d. Riwayat gangguan perilaku dan kepribadian
Pada penderita demensia dapat ditemukan gejala-gejala neuropsikologis berupa
waham, halusinasi, miss identifikasi, depresi, delusi, pikiran paranoid, apatis dan
cemas. Gejala perilaku salah satu contohnya dapat berupa bepergian tanpa tujuan,
agitasi, agresivitas fisik maupun verbal, kegelisahan dan disinhibisi (rasa malu).
e. Riwayat keracunan, nutrisi dan obat-obatan
Adanya riwayat intoksikasi aluminium, air raksa, pestisida, insektisida, lem,
alkoholisme dan merokok. Riwayat pengobatan terutama pemakaian kronis obat anti
depresan dan narkotika perlu diketahui.
f. Riwayat keluarga
Mencari riwayat terhadap keluarga, apakah keluarga mengalami demensia atau
riwayat penyakit serebrovaskular, depresi, penyakit parkinson, retardasi mental, dan
gangguan psikiatri
g. Pemeriksaan objektif
Pemeriksaan untuk deteksi demensia harus meliputi pemeriksaan fisik umum,
pemeriksaan neurologis, pemeriksaan neuropsikologis, pemeriksaan status fungsional
dan pemeriksaan psikiatrik (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003)
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik terdiri dari pemeriksaan umum, pemeriksaan neurologis dan
pemeriksaan neuropsikologis.
a. Pemeriksaan umum
Pemeriksaan ini terdiri dari pemeriksaan medis umum atau status interna seperti yang
dilakukan dalam praktek klinis.
b. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan ini penting dilakukan untuk membedakan proses degeneratif primer
atau sekunder dan kondisi komorbid lainnya. Pasien Demensia Alzheimer onset awal
pada umunya memiliki pemeriksaan neurologis yang normal. Kelainan hanya
didapatkan pada status mental pasien. Gejala tambahan spesifik selain status mental
dapat mengarah ke suatu diagnosis tertentu. Peningkatan tonus otot dan bradikinesia
dengan tidak adanya gejala tremor mengarah pada dementia Lewy’s Body. Refleks
asimetris, defisit lapang pandang dan lateralisasi mengindikasikan dementia vaskuler.
Myoklonus sugesti pada Creutzfeldt-Jakob. Neuropati perifer dapat mengarah pada
toksin dan enselopati metabolik. Pemeriksaan pendengaran dan visus penting untuk
dilakukan karena dapat mempengaruhi pemeriksaan MMSE (Sorbi et al, 2012).
Pemeriksaan neurologis dapat juga digunakan untuk mengetahui adanya tekanan
tinggi intrakranial, gangguan neurologis fokal misalnya: gangguan berjalan,
gangguan motorik, sensorik, otonom, koordinasi, gangguan penglihatan,
pendengaran, keseimbangan, tonus otot, gerakan abnormal/apraksia dan adanya
refleks patologis dan primitif (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003).
c. Pemeriksaan neuropsikologis
Pemeriksaan neuropsikologis meliputi evaluasi memori, orientasi, bahasa, kalkulasi,
praksis, visuospasial dan visuoperceptual. Mini Mental State Examination (MMSE) dan
Clock Drawing Test (CDT) adalah pemeriksaan awal yang berguna untuk mengetahui
adanya disfungsi kognisi, menilai efektivitas pengobatan dan untuk menentukan
progresivitas penyakit. Nilai normal MMSE adalah 24-30. Gejala awal demensia perlu
dipertimbangkan pada penderita dengan nilai MMSE kurang atau dibawah dari 27
terutama pada golongan berpendidikan tinggi. Pemeriksaan aktifitas harian dengan
pemeriksaan Activity of Daily Living (ADL) dan instrumental Activity of Daily Living
(IADL) dapat pula dilakukan. Hasil pemeriksaan tersebut dipengaruhi olehtingkat
pendidikan, sosial dan budaya (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003).
Pemeriksaan demensia dapat menggunakan Mini Mental State Examination (MMSE)
yang merupakan gold standar untuk diagnosis demensia. Pemeriksaan neuropsikologi
ini pertama kali diperkenalkan oleh Folstein pada tahun 1975. Pemeriksaan ini mudah
dikerjakan dan membutuhkan waktu yang relatif singkat yaitu antara lima sampai
sepuluh menit yang mencakup penilaian orientasi, registrasi, perhatian dan kalkulasi,
mengingat kembali serta bahasa. Pasien dinilai secara kuantitatif pada fungsifungsi
tersebut dengan nilai sempurna adalah 30. Pemeriksaan MMSE dapat digunakan secara
luas sebagai pemeriksaan yang sederhana dan cepat untuk mencari kemungkinan
munculnya defisit kognitif sebagai tanda demensia (Kaplan & Sadock, 2007).
Pemeriksaan ini juga digunakan secara luas pada praktik klinis sebagai instrumen
skrining kognitif yang telah dibuktikan dalam studi National Institute of Mental Health
yang menyebutkan bahwa MMSE sebagai penilai fungsi kognitif yang
direkomendasikan untuk kriteria diagnosis penyakit Alzheimer dan dikembangkan oleh
National Institute of Neurological and Communication Disorders & Stroke and the
Alzheimer’s Disease & Related Disordes Association (Zulsita, Arni, 2011 cit McKhann
et al, 1984).
Menurut Folstein (1990), interpretasi MMSE didasarkan pada skor yang diperoleh pada
saat pemeriksaan:
1. Skor 27-30 diinterpretasikan sebagai fungsi kognitif normal,
2. Skor 21-26 diinterpretasikan sebagai gangguan fungsi kognitif ringan
3. Skor 10-20 diinterpretasikan sebagai gangguan fungsi kognitif sedang
4. Skor < 10 diinterpretasikan sebagai gangguan fungsi kognitif berat.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk penegakkan demensia meliputi pemeriksaan
laboratorium, pencitraan otak, elektro ensefalografi dan pemeriksaan genetika.
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap termasuk elektrolit, fungsi ginjal, fungsi hati, hormon
tiroid dan kadar vitamin B12. Pemeriksaan HIV dan neurosifilis pada penderita
dengan resiko tinggi. Pemeriksaan cairanotak bila terdapat indikasi.
b. Pemeriksaan pencitraan otak
Pemeriksaan ini berperan untuk menunjang diagnosis, menentukan beratnya penyakit
serta prognosis. Computed Tomography (CT) – Scan atau Metabolic Resonance
Imaging (MRI) dapat mendeteksi adanya kelainan struktural sedangkan Positron
Emission Tomography (PET) dan Single Photon Emission Tomography (SPECT)
digunakan untuk mendeteksi pemeriksaan fungsional. MRI menunjukkan kelainan
struktur hipokampus secara jelas dan berguna untuk membedakan demensia
alzheimer dengan demensia vaskular pada stadium awal.
c. Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG tidak menunjukkan adanya kelainan yang spesifik. Pada stadium
lanjut ditemukan adanya perlambatan umum dan kompleks secara periodik.
d. Pemeriksaan Genetika
Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein pengangkut lipid polimorfik yang
memiliki 3 allel yaitu epsilon 2, epsilon 3, dan epsilon 4. Setiap allel mengkode
bentuk APOE yang berbeda. Meningkatnya frekuensi epsilon 4 diantara penyandang
demensia Alzheimer tipe awitan lambat atau tipe sporadik menjadikan genotif APOE
epsilon 4 sebagai penanda untuk demensia. (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003).

7. Konsep Asuhan Keperawatan Gangguan Proses Pikir

1. Pengkajian Keperawatan (Aspiani, 2014)

a. Identitas Klien

Demensia lebih sering terjadi pada kelompok usia lanjut, 50% populasi berusia lebih
dari 85 tahun (Muttaqin, 2011).

b. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien dan keluarga untuk meminta
pertolongan kesehatan adalah penurunan daya ingat, perubahan kognitif, dan
kelumpuhan gerak ekstremitas (Muttaqin, 2011).
1. Riwayat Kesehatan Sekarang

Pada anamnesis, klien mengeluhkan sering lupa dan hilangnya ingatan yang baru.
Pada beberapa kasus, keluarga atau caregiver sering mengeluhkan bahwa klien
sering mengalami tingkah laku aneh dan kacau serta sering keluar rumah sendiri
tanpa meminta izin pada anggota keluarga yang lain atau caregiver sehingga sangat
meresahkan anggota atau caregiver yang menjaga klien.
Pada tahap lanjut dari penyakit, keluarga atau caregiver sering mengeluhkan bahwa
klien menjadi tidak dapat mengatur buang air, tidak dapat mengurus keperluan dasar
sehari-hari, atau mengenali anggota keluarga/caregiver (Muttaqin, 2011).
2. Riwayat Kesehatan Dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi, diabetes
melitus, penyakit jantung, penggunaan obat-obatan anti-ansietas (benzodiazepin),
penggunaan obat-obatan antikolinergik dalam jangka waktu yang lama, dan riwayat
sindrom Down yang pada suatu saat kemudian menderita penyakit Alzheimer pada
usia empat puluhan (Muttaqin, 2011).
3. Riwayat Kesehatan keluarga
Yang perlu di kaji apakah dalam keluarga ada yang mengalami gangguan psikologi
seperti yang dialami oleh klien, atau adanya penyakit genetik yang mempengaruhi
psikososial (Aspiani, 2014). Pengkajian adanya anggota generasi terdahulu yang
menderita hipertensi dan diabetes melitus diperlukan untuk melihat adanya
komplikasi penyakit lain yang dapat mempercepat progresifnya penyakit (Muttaqin,
2011).

4. Pemeriksaan Fisik

1) Keadaan Umum

Keadaan umum klien lansia yang mengalami masalah psikososial: Demensia


biasanya lemah (Aspiani, 2014).
2) Kesadaran
Kesadaran klien biasanya Composmentis.

3) Tanda-Tanda Vital:

a. Suhu: hipotermia mempengaruhi sistem saraf pusat.

Hipotermia ringan mendepresikan otak dan menyebabkan confusi, apatis,


psikomotor menurun. Hipotermia moderat menurunkan kesadaran dan
menyebabkan halusinasi. Hipotermia berat dapat menyebabkan koma (Sunaryo,
2016).

b. Nadi: klien dengan demensia alzheimer dapat mengalami bradikardi


(Muttaqin, 2011).

c. Tekanan darah yang meningkat dapat mengalami dimensia pada lansia


(Maulidia, Rosalina, & Yunita, 2016).

d. Pernapasan pada klien dengan demensia alzheimer akan mengalami penurunan


frekuensi pernapasan (Muttaqin, 2011).
4) Pemeriksaan Review Of System (ROS) (Aspiani, 2014):

a. Sistem pernapasan (B1 : Breathing)

Dapat ditemukan peningkatan frekuensi napas atau masih dalam batas normal.

b. Sistem sirkulasi (B2 : Bleeding)

Tidak ditemukan adanya kelainan, frekuensi nadi masih dalam batas normal.
c. Sistem persyarafan (B3 : Brain).

Klien mengalami gangguan memori, kehilanganingatan, gangguan konsentrasi,


kurang perhatian, gangguan persepsi sensori, insomnia.
d. Sistem perkemihan (B4 : Bleder)

Tidak ada keluhan terkait dengan pola berkemih.

e. Sistem pencernaan (B5 : Bowel)

Klien makan berkurang atau berlebih karena kadang lupa apakah sudah makan
atau belum, penurunan berat badan, kadang konstipasi.
f. Sistem muskuloskeletal (B6 : Bone)
Klien mengalami gangguan dalam pemenuhan aktivitas.

5. Pola fungsi kesehatan


Yang perlu dikaji adalah aktifitas apa saja yang biasa dilakukan sehubungandengan
adanya masalah psikososial demensia (Aspiani, 2014):
1. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Klien mengalami gangguan persepsi, klien mengalami gangguan dalam
memelihara dan menangani masalah kesehatannya.
2. Pola nutrisi
Klien dapat mengalami makan berlebih/berkurang karena kadang lupa apakah
sudah makan atau belum.
3. Pola eliminasi: Tidak ada masalah terkait dengan pola eliminasi.

4. Pola tidur dan istirahat: Klien mengalami insomnia.

5. Pola aktifitas dan istirahat

Klien mengalami gangguan dalam pemenuhan aktifitas sehari-hari karena


penurunan minat. Pengkajian kemampuan klien dalam memenuhi kebutuhan
aktivitas sehari-hari dapat menggunakan Indeks KATZ. Dari hasil Indeks KATZ
pada klien demensia pada stadium menengah bisa sampai pada skor D serta untuk
klien demensia dengan stadium lanjut dengan skor Indeks KATZ: G karena hanya
duduk di kursi roda dan berbaring ditempat tidur.
6. Pola hubungan dan peran
Menggambarkan dan mengetahui hubungan dan peran klien terhadap anggota
keluarga dan masyarakat tempat tinggal, pekerjaan, tidak punya rumah, dan
masalah keuangan. Pengkajian APGAR keluarga. Pada APGAR keluarga fungsi
sosial klien dengan demensia terganggu dengan gejala-gejala yang muncul pada
demensia.
7. Pola sensori dan kognitif
Klien mengalami kebingungan, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan
minat dan motivasi, mudah lupa, gagal dalam melaksanakan tugas, cepat marah,
disorientasi. Untuk mengetahui status mental klien dapat dilakukan pengkajian
menggunakan tabel Short Portable Mental Status Quesionare (SPMSQ) pada skor
3-10 kesalahan (kerusakan intelektual ringan sampai berat) dan untuk mengetahui
status kognitif klien demensia bisa menggunakan tabel MMSE (Mini Mental State
Examination) pada nilai 23-0 (gangguan kognitif ringan sampai berat).

Tabel 2.2 Interpretasi MMSE (Folstein, 1975)

Metode Skor Interpreta


si
Single Cut Off <24 Abnormal
Range <21 Kemungkinan demensia lebih besar
>25 Kemungkinan demensia lebih kecil
Pendidikan 21 Abnormal pada tingkat pendidikan 8 tahun
<23 Abnormal pada tingkat pendidikan 12 tahun
<24 Abnormal pada tingkat pendidikan
perguruan tinggi
Keparahan 24-30 Tidak ada kelainan
18-23 kognitif Kelainan
0-17 kognitif ringan
Kelainan kognitif berat

8. Pola persepsi dan konsep diri


Klien dengan demensia umumnya mengalami gangguan persepsi, tidak
mengalami gangguan konsep diri. Untuk mengkaji tingkat depresi klien dapat
menggunakan tabel Inventaris Depresi Beck (IDB) atau Geriatric Depresion
Scale (GDS) dengan skor 5-10 (kemungkinan depresi sampai menunjukkan
depresi).
9. Pola seksual dan reproduksi
Klien dengan demensia umumnya berusia lanjut dengan masa menopause pada
perempuan dan masa andropause pada laki-laki.
10.Pola mekanisme/penanggulangan stress dan koping
Klien menggunakan mekanisme koping yang tidak efektif dalam menangani
stress yang dialaminya.
11. Pola tata nilai dan kepercayaan

Klien tidak mengalami gangguan dalam spiritual.

2. Diagnosa keperawatan (SIKI, 2017)

a. Gangguan Memori

3. Intervensi
a. Gangguan Memori

1) Latihan memori
 Observasi masalah memori yang dialami
 Observasi Kesalahan terhadap orientasi
 Monitor perilaku dan perubahan memori
 Stimulasi memori dengan mengulang pikiran yang terahir kali diucapkan
 Koreksi kesalahan orientasi
 Fasilitasi mengingat kembali pengalaman masa lalu
2) Terapi Reminisens

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan rencana asuhan
keperawatan ke dalam bentuk intervensi keperawatan guna membantu klien
mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Asmadi, 2008). Implementasi merupakan
bagian aktif dalam asuhan keperawatan, yaitu perawat melakukan tindakan sesuai
rencana. Tindakan ini bersifat intelektual, teknis, dan interpersonal berupa
berbagai upaya memenuhi kebutuhan dasar klien. Tindakan keperawatan meliputi
tindakan keperawatan, observasi keperawatan, pendidikan kesehatan/keperawatan,
dan tindakan medis yang dilakukan perawat (tugas limpah) (Sunaryo, 2016).

5. Evaluasi Keperawatan
a. Klien dapat mengidentifikasi tempat saat ini
b. Klien dapat mengidentifikasi hari dengan benar
c. Klien dapat mengidentifikasi bulan dengan benar
d. Klien dapat mengidentifikasi tahun dengan benar
e. Klien dapat mengidentifikasi musim dengan benar
f. Klien dapat mengidentifikasi peristiwa saat ini yang signifikan.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN KELOMPOK PADA LANSIA
PANTI SASANA TRESNA WERDHA CIRACAS

A. Pengkajian
Dari hasil pengkajian kelompok di Panti Sasana Werdha Ciracas di Ruang Melati terhadap
36 orang lansia yang terkaji didapatkan data sebagai berikut :

1. Identitas Kelompok
a. Usia

Kategori Jumlah Persentase (%)


Middle Age (45-59 thn) 2 5,55
Elderly (60-74 thn) 33 91,60
Old (75-90 thn) 1 0
Very old (diatas 90 thn) -

b. Jenjang Pendidikan
Katagori Jumlah Persentase (%)
Tidaksekolah 17 47
SD 12 33
SMP 5 14
SMA 2 6

c. Agama
Katagori Jumlah Prosentase (%)
Islam 29 80,5
Non Islam 7 19,5
d. Suku Bangsa
Katagori Jumlah Prosentasi (%)
Jawa 24 24,67
Sunda 6 6,16
Betawi 1 1,3
Bugis 5 5,14

2. Biologi Kelompok
a. Masalah kesehatan
Berdasarkan pengkajian kami pada masalah kesehatan pada lansia di PSTW Budi
Mulia 01 Ciracas yang mengalami 3 penyakit terbanyak antara lain Hipertensi
27,7% , Dermatitis 5,40%, Diabetes Militus 5,40%, Demensia 27,7%
b. Masalah keterbatasan gerak
Dari hasil pengkajian dan beberapa test yang kami lakukan terdapat beberapa pasien
yang mengalami keterbatasaan gerak. Dari 36 pasien dalam satu ruangan Melati di
dapat 10 pasien total care (27,77%), Partial care (19,44%), pasien minimal care
(52,7%) mengalami keterbatasan gerak dengan menggunakan alat bantu berupa
walker, kruk dan bangku/kursi untuk berjalan.
c. Masalah dan Gangguan Kebersihan Diri
Didapat 10 pasien (27,7%) yang toal care aktifitas daily living nya di bantu 100%,
sedangkan 26 Pasien (72,2 %) partial dan mandiri dapat melakukan aktifitas
kebersihan dirinya dengan mandiri,Walaupun tidak benar benar bersih.
d. Masalah ketergantungan obat
Dari hasil observasi dan wawancara kami terhadap para lansia di ruang Melati
mengenai penggunaan obat, Kebanyakan lansia tidak mengetahui jenis obat apa yang
di konsumsi.Setiap habis makan sore lansia selalu di beri obat oleh petugas.
Hasil konfirnasi dengan petugas di klinik,setiap lansia mempunyai obat yang berbeda
beda sesuai dengan penyakitnya.Dan selalu di berikan sesuai instruksi dokter dan
sehabis makan selalu di berikan obat sesuai dosis.

e. Pelayanan kesehatan yang digunakan


Dari hasil observasi dan wawancara kami, pelayanan kesehatan yang digunakan para
lansia adalah sebuah klinik. Di klinik tersebut tersedia beberapa macam obat yang
biasa digunakan untuk para lansia. Ketika ada lansia yang kondisinya memburuk dan
membutuhkan pelayanan kesehatan yang lebih lanjut atau darurat maka petugas
segera merujuk membawanya ke Rumah Sakit Daerah.
f. Rekreasi
Dari hasil wawancara kepada para lansia, ada lansia yang mengisi hari hari mereka
dengan membuat kerajinan tangan dari manik manik atau bahan perca.Ada kegiatan
keagamaan seperti penggajian dan kebaktian, selain itu ada kegiatan senam bersama
warga panti bagi lansia yang mandiri.
g. Pola makan dan minum
Dari hasil observasi dan wawancara di Pani Sasana Tresa Werdha Ciracas Jakarta
Timur, sebagian besar tidak ada masalah pola makan dan minum, rata-rata mereka
menghabiskan setiap porsi makan yang diberikan oleh petugas panti, tetapi ada
beberapa orang lansia yang tidak menghabiskan makan dengan berbagai alasan
seperti bosan ,masih kenyang, hambar dll.

3. Psikologi Kelompok
Berdasarkan pengkajian kelompok kami dengan observasi untuk kondisi psikologis di
PSTW Budi Mulia 01 Ciracas Jakarta Timur didapat hasil lansia kondisi psikologisnya
seperti halnya kehilangan 1 orang (1,3%), kesepian 14 orang (14,39%), menarik diri
(0%), depresi 5 orang (5,14%).

4. Spiritual
Dari hasil wawancara dan observasi kami, ada beberapa lansia mengatakan jarang
mengikuti kegiatan beribadah dikarenakan kelemahan fisiknya. Sedangkan kebanyakan
lansia rajin mengikuti kegiatan beribadah seperti sholat 5 waktu walaupun di tempat
tidurnya dan rutin mengikuti pengajian

5. Sosial Kelompok
a. Keadaan ekonomi
Dari data status yang kami lihat pada bagian registrasi dan diperkuat dari hasil
wawancara mengenai keadaan ekonomi lansia, didapatkan para lansia tergolong
ekonomi menengah kebawah.
b. Hubungan sosial
Dari hasil observasi yang kami lakukan pada lansia di PSTW Ciracas sebagian lansia
tampak lebih senang berdiam diri di kamar.
c. Kegiatan sosial
Kegiatan sosial yang rutin dilaksanakan dipanti ini adalah panggung gembira, senam
bersama, pengajian, kebaktian dan membuat kerajinan (keset). Dari kegiatan tersebut
yang paling diminati oleh para lansia adalah panggung gembira.

6. Keadaan Lingkungan
a. Lingkungan dalam ruangan
Kondisi lingkungan dalam ruangan yang kami lihat adalah lantai terlihat bersih baik
dilorong maupun disebagian kamar, namun masih ada beberapa kamar yang terlihat
kotor dan tercium bau pesing serta terlihat ada melintas tikus disudut-sudut ruangan
Pencahayaan cukup,letak bangunan yang saling berhimpit oleh bangunan sebelahnya
yang sama besar sehingga cahaya matahari sedikit yang masuk. Ventilasi di ruangan
cukup baik, dalam satu kamar terdapat dua buah jendela yang setiap hari dibuka.

b. Lingkungan di luar ruangan


Dari hasil pengamatan kami, kondisi disekitar ruangan bersih karena setiap pagi para
petugas membersihkan seluruh halaman, juga terlihat beberapa lansia yang membantu
merapikan taman serta menyapu halaman sekitar.

c. Sumber air minum


Pada setiap ruangan terdapat 1-2 galon air. Apabila habis, maka petugas akan
menggantinya untuk memenuhi kebutuhan air minum mereka
B. Analisa Data
Analisa data merupakan pengelompokan data sesuai dengan respon subjek dan objek yang
mendukung kepada perumusan diagnosa. Berdasarkan hasil pengkajian di PSTW Ciracas
dapat dirumuskan analisa data sebagai berikut :
N DATA MASALAH
O
1  Dari hasil pengkajian yang kami dapat terdapat Gangguan Memori
44,4% lansia yang mengalami dimensia
berdasarkan hasil SPMSQ dan MMSE.
 Terdapat beberapa lansia saat dikaji mengalami
ketidakmampuan mengingat suatu peristiwa atau
mengalami lupa terhadap beberapa pengalaman,
tidak mampu mengingat prilaku tertentu yang
pernah dilakukan,tidak mampu mengingat
informasi actual.
 Terdapat beberapa lansia tampak tidak mampu
melakukan kemampuan yang di pelajari.

Dengan demikian didapatkan diagnosa keperawatan gerontik, diantaranya :


1. Gangguan Memori
C. Rencana Keperawatan
Diagnosa Tujuan dan KH Intervensi Paraf
Gangguan Tujuan : Setelah  Identifikasi masalah memori yang
Memori dilakukan tindakan dialami
keperawatan  Identifikasi kesalahan terhadap
kepada lansia orientasi
selama 3 hari  Monitor perilaku dan perubahan
diharapkan memori
gangguan Memori  Stimulasi memori dengan
tidak terjadi mengulang pikiran yang terakhir kali
KH : di ucapkan
 Klien Mampu  Stimulasi memori dan ajarkan
mengingat suatu teknik memori dengan menggunakan
peristiwa teknik permainan (Terapi Reminisens)
 Klien mampu
mengingat suatu
beberapa
pengalaman,
 Mampu
mengingat
prilaku tertentu
yang pernah
dilakukan
 Mampu
mengingat
informasi
actual.
 Mampu
melakukan
kemampuan
yang di pelajari
D. Implementasi
No Dx Tanggal Pelaksanaan
 Mengobservasi masalah memori yang dialami
1 29-08-2019  Mengobservasi kesalahan terhadap orientasi
 Memonitor perilaku dan perubahan memori
 Menstimulasi memori dengan mengulang pikiran
2 03-09-2019 yang terakhir kali di ucapkan
 Menstimulasi memori dan ajarkan teknik memori dengan
3 05-09-2019 menggunakan teknik permainan (Terapi Reminisens)

E. Evaluasi
No Dx Evaluasi
1 S ; Klien mengatakan senang mengikuti TAK ini

O :Semua klien terlihat kooperatif, 3 klien mampu menceritakan masa lalu yang
dialami, 3 klien kurang mampu menceritakan pengalaman yang dialami

A : Gangguan memori belum teratasi

P ; Intervensi dilanjutkan
- anjurkan lakukan
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Karakteristik Lansia di PSTW Budi Mulia 1 Ciracas


1. Usia
Dari hasil pengkajian serta wawancara didapatkan usia dalam kategori lansia Middle age
45-59 tahun (5,55%), Elderly 60-74 tahun (91,60%), Old 75-90 tahun (2,77%). Usia
lansia pada pengkajian ini berkisar antara 60 – 74 tahun. Pengkategorian usia lansia
berdasarkan World Health Organization (2012). Menurut Nugroho (2008), lanjut usia
yang berusia >60 tahun beresiko terkena penyakit demensia. Lansia mengalami
perubahan-perubahan seperti perubahan fisik, mental, prikososial dan psikologis (Dewi,
2014). Jadi dapat di simpulkan pada usia diatas 60 tahun atau proses penuaan, jika tidak
diikuti oleh adaptasi yang baik dan ditambah dengan dukungan sosial yang buruk,
perubahan-perubahan tersebut dapat memicu berbagai masalah pada lansia termasuk
demensia pada lansia.

2. Pendidikan
Ditinjau dari tingkat pendidikan, hasil pengkajian menunjukkan bahwa pendidikan
terakhir lansia terbanyak adalah tidak sekolah dengan jumlah 47% (17 lansia). Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Septiana Pratiwi (2016), tentang
faktor yang mempengaruhi demensia pada lansia salah satunya adalah tingkat pendidikan.
dengan pendidikan para lansia ingatannya masih kuat, karena dengan bekal pendidikan
itulah yang dapat mencegah demensia.

3. Masalah Kesehatan
Dari hasil pengkajian serta wawancara didapatkan masalah kesehatan pada lansia di
ruang melati PSTW Ciracas yang paling utama adalah Hipertensi 27,7% . Hal ini sejalan
dengan teori dikemukakan oleh Mariam, dkk (2011) yaitu, salah satu faktor yang
mempengaruhi penurunan kognitif atau dimensia pada lansia adalah hipertensi. penyakit
hipertensi yang di derita pada lansia seiring dengan proses penuaan, dimana pembuluh
darah pada lansia lebih tebal dan kaku sehingga tekanan darah meningkat. peningkatan
tekanan darah dapat meningkatkan efek penuaan pada struktur otak. dapat disumpulkan
bahwa pada hipertensi mempengaruhi demensia pada lansia.

BAB VII

PENUTUP

A. Kesimpulan

Peningkatan jumlah penduduk berusia lanjut akan memunculkan berbagai masalah

kesehatan. Selain masalah fisik, para lanjut usia juga sering mengalami kemunduran fungsi

intelektual termasuk fungsi kognitif. Ketika seseorang mengalami penurunan fungsi

kognitif dan intelektual. Maka lansia akan lebih menarik diri dari lingkungan Lansia yang

mengalami gangguan fungsi kognitif baik ringan, sedang, maupun berat sangat

membutuhkan terapi untuk menstimulus kognitif melalui terapi non medikasi. Re

B. Saran

1. Bagi Lansia

Bagi lansia yang tinggal di panti diharapkan senantiasa berpikir positif dan

berusaha beradaptasi dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupannya. Lansia

juga diharapkan dapat bekerja sama dengan perawat dalam mengikuti setiap

kegiatan di panti sesuai dengan kemampuan masing – masing khususnya kegiatan

yang menstimulus kognitif lansia yang diselenggarakan oleh panti, serta menjalin

hubungan baik dengan sesama penghuni panti lainnya serta pihak panti sehingga

situasi yang harmonis bisa menambah rasa kebersamaan dan mendukung satu sama

lain.
2. Bagi Perawat

Bagi Perawat di panti diharapkan dapat lebih meningkatkan minat serta motivasi

bagi lansia dalam mengikuti kegiatan – kegiatan yang diselenggarakan rutin oleh

panti, khususnya dalam kegiatan yang menstimulus kognitif serta memori lansia

guna meningkatkan kognitif dan memori hidup bagi lansia. Selain itu diharapkan

perawat dapat lebih memfasilitasi serta memberikan perhatian lebih bagi psikologis

serta psikososial yang dirasakan oleh lansia.

3. Bagi PSTW Budi Mulia 01 Ciracas

Hasil penelitian terkait dengan tingkat depresi di lingkungan panti dapat dijadikan

sebagai salah satu data untuk meningkatkan pelayanan kesehatan.


DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. (2017). Statistik penduduk lansia 2017. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Darmawan, Mahendra Dwi. (2016). Gambaran tingkat depresi pada lansia yang tinggal di panti
griya sehat bahagia palur karanganyar. Skripsi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Depkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Departemen Sosial RI. (2009). Direktorat jenderal pelayanan dan rehabilitasi sosial, direktorat
pelayanan sosial lanjut usia. Jakarta: Depsos RI
Effendi, F & Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktek Dalam
Keperawatan. Jakarta: Salemba medika.
Keliat, Budi Anna. (2004). Keperawatan Jiwa Terapi Aktivitas Kelompok. EGC : Jakarta
Kementerian Sosial RI. (2017). Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW). Jakarta: Kemenkes RI.
Diakses pada 25 September 2018, dari https://www.kemsos.go.id/content/panti-sosial-tresna-
werdha-pstw
Kementerian Kesehatan RI. (2017). Analisis lansia di indonesia. Jakarta: Kemenkes RI.
Diunduh 25 September 2018, dari
Mubarak, W, I & Chayatin, N (2009). Ilmu Keperawatan Komunitas Pengantar dan Teori.
Jakarta : Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai