Anda di halaman 1dari 21

ANALISIS JURNAL KEPERAWATAN

PENGARUH THERAPY REMINISCENCE(kenangan)


TERHADAP TINGKAT DEPRESI
PADA KELOMPOK USIA LANJUT

Disusun Oleh :

Kelompok 2

RISHI FANBELA NPM 220101008P


ANDI SRIYONO.S. NPM 220101150P
ANDRE KURNIAWAN NPM 220101057P
ANGGA WIJAYA NPM 220101070P
LIZA AULIA NPM 220101012P
MEZA DAMAYATI NPM 220101055P
NOPITASARI NPM 220101169P
SUCIATI NPM 220101155P
TRI PUTRA PURNOMO NPM 220101024P
VERAWATI NPM 220101109P
WARA YUDHA ELIYANTO NPM 220101001P

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS AISYAH PRINGSEWU
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keperawatan gerontik adalah ilmu yang mempelajari tentang keperawatan pada lansia
yang berfokus pada pengkajian kesehatan dan status fungsional, perencanaan, implementasi
serta evaluasi yang mencakup biopsikososial dan spiritual dimana klien adalah orang yang
telah berusia >60 tahun, baik yang kondisinya sehat maupun sakit (Maryam, 2008).
Cakupan dari ilmu keperawatan gerontik adalah tidak terpenuhinya kebutuhan dasar lansia
sebagai akibat dari proses penuaan sehingga lansia akan tetap sehat, sejahtera, berguna, dan
berkualitas (Nugroho, 2009).

Lansia dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia.
Menurut WHO seseorang disebut lanjut usia (elderly) jika berumur 60-74 tahun.
Sedangkan menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No.13 Tahun 1998 tentang Kesehatan
dikatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun.

Proporsi penduduk lansia di Indonesia mengalami peningkatan cukup signifikan


selama 30 tahun terakhir. Badan Pusat Statistik memprediksikan persentase penduduk
lanjut usia akan mencapai 9,77% dari total penduduk Indonesia pada tahun 2010 dan
menjadi 11,34% pada tahun 2020. Meningkatnya populasi lansia ini dapat menimbulkan
permasalahan yang kompleks karena ketika seseorang memasuki masa usia lanjut, terjadi
berbagai perubahan baik perubahan fisik, perubahan mental dan psikologis, perubahan
sosial, maupun spiritual

Berbagai perubahan yang dialami lansia disebabkan oleh faktor fisiologis yang telah
mengalami kemunduran seperti kemampuan visual, berpikir, mengingat dan mendengar .
Hal tersebut akan menimbulkan depresi pada lansia (Gibson; Rachmaningrum, 1999 dalam
Nasution, 2011).

Depresi merupakan rasa sedih yang menetap lebih dari dua pekan dan mempengaruhi
kehidupan sehari-hari. Yang terburuk, depresi dapat memicu seseorang melakukan bunuh
diri. Sekitar satu juta orang di dunia bunuh diri setiap tahun dan separuhnya mengalami
depresi. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa depresi berada pada urutan
ke empat penyakit di dunia.
Pada umumnya, yang rentang terkena depresi adalah orang cacat dan lanjut usia
(lansia) dengan tingkat depresi rata-rata depresi berat. Hal ini disebabkan karena mereka
menganggap bahwa perasaan tidak berdaya dan kehilangan harapan¸yang disertai perasaan
sedih, kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya energi yang menuju kepada
meningkatnya keadaan mudah lelah yang sangat nyata dan berkurangnya aktivitas (Effendi,
2009). Oleh karena itu diperlukan penanganan terhadap depresi yang lebih efektif untuk
menanggulangi depresi yang dialami lansia. Salah satu terapi non farmakologis yang dapat
diberikan pada lansia untuk mengurangi depresi adalah terapi reminiscence.
Terapi Reminiscence ditemukan oleh Erik Erikson (1963), yang menekankan
pentingnya bagi individu yang sudah memasuki usia tua untuk mencapai rasa intergritas
diri dengan melihat kembali kehidupan mereka dan mengumpulkan perasaan, tujuan serta
makna hidup. Sementara itu, Nursing Interventions Classification (NIC) mendefinisikan
terapi Reminiscence sebagai intervensi yang dilakukan dengan mengingat peristiwa masa
lalu, perasaan, dan pikiran untuk memfasilitasi kesenangan, kualitas hidup, dan beradaptasi
dengan kondisi saat ini

Berdasarkan latar belakang di atas, maka kelompok tertarik untuk melakukan analsis
jurnal terkait terapi reminiscance pada lansia dengan jurnal utama yang berjudul “Effect of
group reminiscence therapy on depression in older adults attending a day centre in Shiraz,
southern Islamic Republic of Iran” untuk mengetahui jenis terapi yang tepat untuk
menurunkan tingkat depresi pada lansia.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana analisis jurnal
keperawatan gerontik yang berjudul “Effect of group reminiscence therapy on depression in
older adults attending a day centre in Shiraz, southern Islamic Republic of Iran”.

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui tinjauan pustaka Reminiscence Therapy
2. Untuk mengetahui pembahasan terkait pengaruh Reminiscence Therapy dalam
mengatasi permasalahan depresi pada lansia
3. Untuk mengetahui implikasi keperawatan dari Reminiscence Therapy

1.4 Manfaat
1. Mengetahui tinjauan pustaka dari Reminiscence Therapy
2. Mengetahui pembahasan terkait pengaruh Reminiscence Therapy dalam mengatasi
permasalahan depresi pada lansia
3. Mengetahui implikasi keperawatan dari Reminiscence Therapy
4. Meningkatkan keterampilan perawat dalam memberikan Reminiscence Therapy
pada lansia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Lansia


2.1.1 Pengertian Lansia
Menjadi tua merupakan suatu proses yang alamiah, dimana hal tersebut berarti
seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu tahap anak-anak, dewasa, dan tua.
Ketiga tahap ini memiliki perbedaan baik secara biologis maupun psikologis (Nugroho,
2008). Pudjiastuti (2003 dalam Efendi & Makhfudli, 2009) menyatakan bahwa lansia
bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang
ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan.
Menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 Pasal 1 Ayat 2 tentang Kesejahteraan
Lanjut Usia, yang dimaksud dengan lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60
tahun ke atas.
Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa lansia adalah
seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas yang telah memasuki tahap lanjut dari
suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk
beradaptasi dengan stres fisiologis dan lingkungan.

2.1.1 Klasifikasi Lansia


Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1 Ayat 2, lansia
adalah seseorang yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas. World Health
Organization (WHO) membagi usia lanjut menjadi empat kriteria meliputi, usia
pertengahan (middle age) ialah usia 45-59 tahun, lansia (elderly) ialah usia 60-74 tahun,
lansia tua (old) ialah usia 75-90 tahun, usia sangat tua (very old) ialah di atas 90 tahun
(Efendi & Makhfudli, 2009).

2.1.2 Perubahan Akibat Proses Menua


Menua merupakan suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan
untuk memperbaiki atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi
normalnya sehingga tidak dapat bertahan dari jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki
kerusakan yang di derita (Ismail & Santoso, 2009). Perubahan-perubahan yang terjadi
meliputi perubahan fisik, perubahan mental dan psikologis, perubahan sosial, dan spiritual.
a. Perubahan Fisik
Meliputi semua sistem tubuh yaitu:
1) Sistem Persarafan
2) Sistem Pendengaran
3) Sistem Integumen
4) Sistem Muskuloskeletal
5) Sistem Gastrointestinal
6) Sistem Pernapasan
7) Sistem Reproduksi
8) Sistem Endokrin
9) Sistem Kardiovaskuler
b. Perubahan Mental dan Psikologis
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental adalah perubahan perubahan
fisik, kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan (hereditas), lingkungan, tingkat
kecerdasan (intelligence quotient-I.Q), dan kenangan (memory) (Efendi & Makhfudli,
2009). Perubahan psikologis pada lansia meliputi perubahan fungsi kognitif, afektif,
psikomotor dan kepribadian. Perubahan fungsi kognitif yaitu perubahan pada kemampuan
belajar, kemampuan pemahaman, kinerja, pemecahan masalah, daya ingat, motivasi,
pengambilan keputusan, dan kebijaksanaan. Sementara itu, perubahan fungsi afektif (emosi
atau perasaan) akan nampak jelas pada lansia yang sangat tua (diatas 90 tahun), penurunan
tersebut sering diikuti oleh tingkah laku regresi dan penurunan fungsi mental yang semakin
buruk dan sering tidak tertolong dengan upaya terapi. Perubahan pada psikomotor dimana
lansia umumnya masih memiliki dorongan dan kemauan untuk melakukan kegiatan atau
memenuhi activity daily living, akan tetapi kadang-kadang realisasinya tidak dapat
dilaksanakan, karena kesiapan/ kemampuan organ dan fungsi tubuh yang berkurang
(Kuntjoro, 2002).

c. Perubahan Sosial
Perubahan sosial yang dapat dialami lansia yaitu perubahan status dan perannya
dalam kelompok atau masyarakat, kehilangan pasangan hidup, serta kehilangan sistem
dukungan dari keluarga, teman dan tetangga (Ebersole, 2005 dalam Syarniah, 2010).
Perubahan dalam peran sosial di masyarakat akibat berkurangnya fungsi indera
pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan sebagainya maka muncul gangguan fungsional
atau bahkan kecacatan pada lansia.

d. Perubahan Spiritual
Perubahan spiritual yang terjadi pada lansia (Potter & Perry, 2005), yaitu:
1) Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupan.
2) Lansia makin matur dalam kehidupan keagamaannya, hal ini terlihat dalam berpikir
dan bertindak sehari-hari.
3) Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun menurut Folwer (1978), perkembangan
yang diapai pada tingkat ini adalah berpikir dan bertindak dengan cara memberikan
contoh cara mencintai keadilan.
2.2 Depresi
2.2.1 Pengertian Depresi

Depresi merupakan masalah kesehatan mental yang paling umum terjadi pada lansia.
Seseorang dengan depresi dan khususnya lansia yang mengalami depresi mengalami
peningkatan resiko bunuh diri. Orang tua yang mengalami depresi mungkin enggan untuk
mengakui terjadinya perubahan mood dan juga perasaan sedih (Menzel, 2008). Menurut
Nugroho (2008) depresi adalah suatu perasaan sedih dan pesimis yang berhubungan dengan
suatu penderitaan, dapat berupa serangan yang ditujukan pada diri sendiri atau perasaan
marah yang mendalam.

2.2.2 Etiologi

Etiologi depresi secara pasti belum diketahui, menurut Idrus (2007) ada beberapa hipotesis
yang berhubungan dengan faktor biologik dan psikososial yaitu :
1) Faktor Biologi
a. Biogenik Amin. Biogenik amin ini dilepaskan dalam ruang sinaps sebagai
neurotransmiter. Neurotransmiter yang banyak berperan pada depresi adalah
norepinefrin dan serotonin.
b. Hormonal
c. Tidur
d. Genetik

2) Faktor Psikososial
a. Peristiwa dalam kehidupan dan stres lingkungan. Para klinikus percaya bahwa
peristiwa kehidupan memegang peranan penting dalam terjadinya depresi.
b. Tipe kepribadian tertentu seperti kepribadian dependen, obsesi kompulsif dan
histrionik mempunyai risiko lebih besar untuk menjadi depresi dibanding dengan
kepribadian anti sosial dan paranoid.
c. Faktor psiko-analitik, manifestasi penyakit depresi dicetuskan karena kehilangan
objek libidinal di mana terjadi penurunan fungsi ego.

2.2.3 Tanda dan Gejala


Menurut Azizah (2011), perilaku yang berhubungan dengan depresi meliputi beberapa
aspek seperti :
1. Afektif
Kemarahan, ansietas, apatis, kekesalan, penyangkalan perasaan, kemurungan, rasa
bersalah, ketidakberdayaan, keputusasaan, kesepian, harga diri rendah, kesedihan.
2. Fisiologik
Nyeri abdomen, anoreksia, sakit punggung, konstipasi, pusing, keletihan, gangguan
pencernaan, insomnia. Perubahan haid, makan berlebihan/kurang, gangguan tidur, dan
perubahan berat badan.
3. Kognitif
Ambivalensi, kebingungan, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan minat dan
motivasi, menyalahkan diri sendiri, mencela diri sendiri, pikiran yang destruktif tentang
diri sendiri, pesimis, ketidakpastian.
4. Perilaku
Agresif, agitasi, alkoholisme, perubahan tingkat aktivitas, kecanduan obat, intoleransi,
mudah tersinggung, kurang spontanitas, sangat tergantung, kebersihan diri yang kurang,
isolasi sosial, mudah menangis, dan menarik diri.

2.2.5 Bentuk Depresi

Menurut Idrus (2007) depresi dibedakan dalam tiga tingkatan, yaitu :


1. Depresi ringan (mild), jika terdapat sekurang-kurangnya dua dari tiga gejala utama
ditambah sekurang-kurangnya dua dari gejala tambahan yang sudah berlangsung
sekurang- kurangnya selama dua minggu. Dan tidak boleh ada gejala yang berat di
antaranya.
2. Depresi sedang (moderate), jika terdapat sekurang-kurangnya dua dari tiga gejala
utama ditambah sekurang-kurangnya tiga (sebaiknya empat) gejala tambahan.
3. Depresi berat (severe), jika terdapat tiga gejala utama ditambah sekurang-kurangnya
empat gejala tambahan, beberapa di antaranya harus berintensitas berat
2.2.6 Penatalaksanaan Depresi

Penatalaksanaan depresi menurut Setiawan (2011) antara lain yaitu :

1. Terapi Fisik
Pemberian anti-depresan pada usia lanjut, sama seperti pemberian psikotropika pada
umumnya harus hati-hati. Umumnya diperlukan dosis yang leebih kecil daripada orang
dewasa karena dikhawatirkan terjadi akumulasi akibat fungsi ginjal yang sudah kurang
baik.
2. Terapi keluarga
Problem keluarga dapat berperan dalam perkembangan gangguan depresi, sehingga
dukungan terhadap keluarga pasien adalah sangat penting. Proses penuaan mengubah
dinamika keluarga, diantaranya ada perubahan posisi dari dominan menjadi dependen
pada lanjut usia. Tujuan dari terapi terhadap keluarga pasien yang depresi adalah untuk
meredakan perasaan frustasi dan putus asa, merubah dan memperbaiki sikap atau
struktur dalam keluarga yang menghambat proses penyembuhan pasien.
3. Terapi kognitif-perilaku
Bertujuan mengubah pola pikirpasien yang selalu negatif (persepsi diri yang buruk, masa
depan yang suram, dunia yang tak ramah, diri yang tak berguna lagi, tak mampu dan
sebagainya) ke arah pola piker yang netral atau positif. Ternyata pasien lanjut usia
dengan depresi dapat menerima metode ini meskipun penjelasan harus diberikan secara
singkat dan terfokus. Melalui latihan-latihan, tugas-tugas dan aktivitas, terapi kognitif-
perilaku bertujuan mengubah perilaku dan pola pikir.
4. Terapi Seni
Terapi seni digunakan sebagai sarana menyelesaikan konflik emosional, meningkatkan
kesadaran diri, mengembangkan keterampilan sosial, mengontrol perilaku,
menyelesaikan
permasalahan, mengurangi kecemasan, mengerahkan realitas, meningkatkan harga diri
dan berbagai gangguan psikologis lainnya (Mukhlis 2011).

2.3 Terapi Reminiscence

2.3.1. Pengertian Terapi Reminiscence


Terapi Reminiscence ditemukan oleh Erik Erikson (1963), yang menekankan
pentingnya bagi individu yang sudah memasuki usia tua untuk mencapai rasa intergritas
diri dengan melihat kembali kehidupan mereka dan mengumpulkan perasaan, tujuan serta
makna hidup. Nursing Interventions Classification (NIC) mendefinisikan terapi
Reminiscence sebagai intervensi yang dilakukan dengan mengingat peristiwa masa lalu,
perasaan, dan pikiran untuk memfasilitasi kesenangan, kualitas hidup, dan beradaptasi
dengan kondisi saat ini. Fontaine dan Fletcher (2003, dalam Banon, 2011) menambahkan
terapi ini dapat menjadi intervensi keperawatan untuk mengatasi masalah psikososial.
Terapi Reminiscence diterapkan pada lansia melalui proses motivasi dan diskusi tentang
pengalaman masa lalu yang dialami dan upaya penyelesaian masalah yang dilakukan pada
saat itu (Glod, 1998; Meiner dan Lueckenotte, 2006 dalam Banon, 2011).
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa terapi
Reminiscence merupakan suatu terapi yang dapat diberikan pada lansia sebagai upaya
untuk mengatasi masalah psikososial dengan cara memotivasi dan memberikan perhatian
terhadap kenangan atau pengalaman masa lalu dan upaya penyelesaian masalah yang
dilakukan pada saat itu serta dapat disharingkan kepada keluarga, kelompok, ataupun staf
keperawatan.

2.3.2. Manfaat Terapi Reminiscence

National Guideline Clearinghouse (2008, dalam Stinson, 2009) menyatakan terapi


Reminiscence dapat memfasilitasi penyesuaian lansia terhadap proses penuaan dengan
membantu lansia memikirkan kembali dan memperjelas pengalaman-pengalaman
sebelumnya, dan studi penelitian telah menunjukkan adanya peningkatan kesejahteraan
psikologis setelah mendapat intervensi Reminiscence. Menurut Banon (2011), melalui
proses mengenang, lansia dapat mempromosikan diri, melestarikan kenangan pribadi
maupun kenangan bersama, mengatasi kekurangan materi dan keterbatasan fisik,
mengidentifikasi tema universal tentang kehidupan manusia, dan memperkuat mekanisme
pertahanan diri. Fontaine dan Fletcher (2003, dalam Syarniah, 2010) menambahkan bahwa
terapi Reminiscence bertujuan untuk meningkatkan harga diri dan membantu individu
mencapai kesadaran diri dan memahami diri, beradaptasi terhadap stres dan melihat bagian
dirinya dalam konteks sejarah dan budaya. Menurut Bohlmeijer (2007 dalam Utami, 2013),
terapi Reminiscence dapat menjadi treatment psikologis yang menarik bagi para lansia
karena membuat mereka mempunyai ikatan masa lalu baik yang bersifat umum maupun
yang khusus. Reminiscence juga dapat berfokus pada mengevaluasi kembali, memecahkan
konflik pada masa lalu, menemukan arti kehidupan dan memperkirakan koping adaptif
yang bisa dilakukan sebelumnya.
Terapi Reminiscence tidak hanya bertujuan untuk memberikan pengalaman yang
menyenangkan untuk meningkatkan kualitas hidup, tetapi juga dapat meningkatkan
sosialisasi dan hubungan dengan orang lain, memberikan stimulasi kognitif, meningkatkan
komunikasi dan dapat menjadi suatu terapi yang efektif untuk gejala depresi (Bohlmeijer,
2003; Haight & Burnside, 1993; Ebersole, 2005 dalam Syarniah, 2010).
Bohlmeijer (2007, dalam Utami, 2013), menambahkan bahwa terapi reminiscence
memiliki enam fungsi, yaitu integrative (menemukan arti dan keberlanjutan kehidupan);
instrumental (menggunakan pemecahan masalah masa lalu untuk pemecahan masalah di
masa kini); transmissive (menceritakan cerita yang merupakan petunjuk-petunjuk
kehidupan kepada anak muda); escapist (mengingat keindahan masa lalu untuk melupakan
sejenak hal-hal yang tidak menyenangkan di masa sekarang); obsessive (memikirkan ulang
permasalahan-permasalahan tak terpecahkan pada masa lalu); dan narrative
(mempertahankan ingatan-ingatan mengenal orang-orang penting dalam kehidupan
pribadi).

2.3.3. Tipe Terapi Terapi Reminiscence


Menurut Kennard (2006, dalam Syarniah, 2010), terapi Reminiscence dapat

dikategorikan menjadi tiga tipe, yaitu:


1. Simple atau Positive Reminiscence
Tipe ini merefleksikan informasi dari pengalaman dan perasaan yang
menyenangkan di masa lalu. Cara menggali pengalaman tersebut dengan
menggunakan pertanyaan langsung yang tampak seperti interaksi sosial antara klien
dan terapis yang bertujuan untuk meningkatkan adaptasi dan memelihara harga diri.
2. Evaluative Reminiscence
Tipe ini biasanya digunakan sebagai pendekatan dalam menyelesaikan masalah,
seperti pada terapi life review
3. Offensive Defensive Reminiscence
Tipe ini dapat menggali informasi yang tidak menyenangkan dan dapat
menyebabkan atau menghasilkan perilaku dan emosi, serta menimbulkan resolusi
terhadap informasi yang penuh konflik dan tidak menyenangkan.

2.3.4. Pelaksanaan Terapi Reminiscence


Penelitian yang dilakukan Poorneselvan & Steefel (2014) terkait efek Individual
Reminiscence terhadap harga diri dan depresi pada lansia di India, terapi Reminiscence
dapat dilakukan secara individu yang dibagi menjadi 8 sesi dan dilaksanakan selama 8 hari
meliputi, 1 hari untuk pre-assessment, 6 hari untuk terapi Reminiscence, dan hari terakhir
dilakukan post-assessment. Terapi Reminiscence dilakukan sekitar 45-90 menit pada setiap
sesinya, baik tanpa pedoman maupun yang sudah terstruktur. Tiap sesi terapeutik dimulai
dengan fase pengantar selama 5-10 menit yang meliputi memberikan salam, membiarkan
klien memilih tempat yang nyaman untuk pelaksanaan terapi, menanyakan keadaan umum
klien, memberikan deskripsi singkat terkait sesi sebelumnya, dan memperkenalkan tema
baru. Pada fase kerja setiap sesi, klien akan mengingat dan mengumpulkan kembali
memori-memori yang berhubungan dengan tema setiap sesinya kira-kira selama 10 menit.
Selama mengumpulkan dan sharing memori menggunakan teknik komunikasi terapeutik.
Berbagai stimulus dapat digunakan untuk mengembalikan memori yang sesuai dengan tema
dari tiap sesi. Di akhir fase (kira-kira selama 5 menit) meliputi menjawab pertanyaan jika
klien bertanya, mengemukakan kembali tema utama dan memori dari sesi tersebut, sharing
pengalaman antara klien dan fasilitator, rencana untuk sesi selanjutnya (Poorneselvan &
Steefel, 2014).
Terapi Reminiscence yang dikembangkan oleh Syarniah (2010) terdiri dari 5 sesi

yaitu:
a. Sesi 1: berbagi pengalaman masa anak-anak. Pada sesi ini pengalaman masa anak
lebih difokuskan pada pengalaman yang berkaitan dengan permainan yang paling
disenangi dan pengalaman tentang guru yang paling disenangi pada waktu sekolah
dasar atau setingkat SD pada masa tersebut.
b. Sesi 2: berbagi pengalaman masa remaja. Dalam sesi ini topik yang didiskusikan lebih
ditujukan pada hobi yang dilakukan bersama teman-teman sebaya dan pengalaman
rekreasi bersama teman pada masa remaja tersebut.
c. Sesi 3: berbagi pengalaman masa dewasa. Focus pada sesi ini adalah pengalaman
yang berkaitan dengan pekerjaan dan makanan yang disukai.
d. Sesi 4: berbagi pengalaman keluarga di rumah. Pada sesi ini topik kegiatan terapi
menakup pengalaman merayakan hari raya agama bersama anggota keluarga dan
bergaul dengan tetangga.
e. Sesi 5: evaluasi integritas diri. Pada sesi ini kegiatan yang dilakukan adalah
mengevaluasi pencapaian integritas diri lansia. Kegiatan ini meliputi berbagi
pengalaman yang di dapat setelah melakukan kegiatan sesi 1 sampai 4 untuk
mencapai peningkatan harga diri, penerimaan diri sebagai lansia dan meningkatkan
interaksi lansia dengan orang lain.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Ringkasan Jurnal


Penelitian ini menjelaskan mengenai terapi Reminiscence untuk mengatasi depresi
pada lansia. Hipotesis pada studi ini menyatakan bahwa dalam penelitian dikatakan bahwa
terapi Reminiscence ini lebih hemat dan bebas dari efek samping. Reminiscence merupakan
terapi pada lansia melalui latihan mengingat kenangan yang menghibur, menumbuhkan
rasa
berbagi dan terapi ini juga dapat meningkatkan harga diri pada lansia. Melalui terapi
mengingat kenangan ini, diharapkan lansia mampu untuk memahami, menerima masa
lalunya dan dapat mengenai nilai dari masa lalunya tersebut. Memalui terapi ini juga
diharapkan lansia menerima konflik-konflik yang dialaminya dimasa lalu.Penelitian ini
menggunakan jenis penelitian quasi-experimental design dengan mengukur gejala depresi
pada lansia sebelum intervensi, segera setelah intervensi, dan satu bulan setelah intervensi
terapi reminiscence. Penelitian dilakukan dari bulan September sampai dengan desember
2007 di Jahandidegan centre.
Kriteria inklusi pada panelitian ini adalah :
1. Perempuan dan laki-laki
2. Berusia ≥ 60 tahun
3. Tinggal di komunitas
4. Anggota dari Jahandidegan centre

Kriteria ekskluasi
1. Memiliki kegawatan saat intervensi
2. Gangguan fisik atau psikologis yang parah
3. Mendapat obat anti depressan
4. Berpartisipasi dalam kegiatan lain selama intervensi
5. Belum menikah
6. Tidak memiliki orientasi waktu, tempat atau orang
7. Memiliki depresi berat
300 orang lansia secara acak dipilih untuk mengisi skala depresi. Sampel akhir yang
digunakan adalah 50 orang, 9 laki-laki dan 40 perempuan (1 wanita dikeluarkan karena
sakit). Instrumen yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah 15 item geriatric
depression scale (GDS-15). Setelah diberikan penjelasan tujuan penelitian oleh peneliti,
300 anggota menyelesaikan GDS-15 dan 50 peserta dengan semua kriteria dan GDS-15
skor ≤ 10 dari 15 dipilih sebagai sampel penelitian untuk intervensi. Semua sampel
intervensi menyelesaikan GDS-15 sebelum memulai intervensi, segera setelah sesi terakhir,
dan 1 bulan setelah sesi terakhir dari terapi reminiscence. Sampel yang buta huruf dibantu
oleh asisten peneliti. Kerahasiaan identitas sampel dalam penelitian ini sangat dijaga.
Subjek yang terpilih dibagi menjadi 5 kelompok untuk mengikuti sesi Reminiscence.
(6 sesi diadakan dua kali seminggu selama 3 minggu). Dalam penelitian ini 12 topik
digunakan sebagai dasar diskusi (2 topik persesi) dan setiap orang secara terpisah berbicara
tentang kenangan mereka sesuai dengan topik. Topik dalam penelitian ini tentang
kehidupan masa muda mereka sebelum bertemu dengan suami/istri, masa berkenalan, saat
hari pernikahan, menata rumah, berumah tangga, kehidupan berumah tangga sebelum
memiliki anak, memiliki anak, kehidupan pernikahan setelah memiliki anak, kehidupan
setelah anak meninggalkan rumah, memiliki cucu dan mengenai kehidupan yang dialami
sekarang.
Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa terdapat penurunan yang signifikan.
Namun keterbatasan dalam penelitian ini yaitu penelitian hanya dilakukan dalam 1 wilayah
kota, ukuran sampel kecil dan tidak terdapat kelompok control.

3.2 Analisis PICOT


Population :

Populasi penelitian ini direkrut melalui selebaran dengan kriteria inklusi yaitu pria atau
wanita dengan usia 60 tahun ke atas yang tinggal di lingkungan komunitas. Berdasarkan
kriteria tersebut, 300 orang tua yang aktif dipilh secara acak untuk menyelesaikan skala
depresi. Dari total tersebut terpilih 50 sampel final yang terdiri dari 9 laki-laki, 40 wanita
dan 1 orang wanita lagi masuk ke dalam kriteria eksklusi karena sakit.

Intervention :

Intervensi yang diberikan yaitu terapi kenangan berkelompok dimana responden yang
terpilih dibagi menjadi lima kelompok untuk mengikuti sesi kenangan ( enam sesi diadakan
dua kali seminggu dalam tiga minggu). Terdapat 12 topik yang digunakan untuk diskusi (2
topik per sesi) dan setiap orang secara terpisah berbicara mengenai kenangan mereka
masing-masing pada setiap topik. Topik-topik tersebut diantaranya masa dewasa muda
sebelum bertemu pasangan mereka, pertemuan pertama dengan pasangan, proses pacaran,
hari pernikahan, saat membangun rumah, membina rumah tangga, kehidupan menikah
sebelum memiliki anak, memiliki anak, kehidupan pernikahan setelah memiliki anak,
kehidupan setelah anak-anak meninggalkan rumah, memiliki cucu, hidup sebagai suami-
istri yang mengasuh cucu dan kehidupan saat ini.
Comparison :

Pada analisis artikel ini dilakukan pembandingan dengan artikel lain dengan topik serupa
untuk mendapatkan analisis yang lebih baik terhadap penggunaan reminiscene therapy pada
lansia. Artikel yang digunakan sebagai pembanding adalah The Effect of Individual
Reminiscence Therapy on Self-Esteem and Depression Among Institutionalized Elderly in
India. Dari artikel ini didapatkan perbandingan sebagai berikut:

1. Tempat penelitian
Pada artikel utama yang kami analisis, tempat penelitian adalah di Iran sedangkan pada
artikel pembanding penelitian dilakukan di India. Perbedaan lokasi penelitian ini sudah
pasti sangat berpengaruh terhadap karakteristik dan tingkat depresi lansia. Sehingga
dalam beberapa desain dan kriteria disesuaikan dengan kondisi tempat penelitian
masing-masing.

2. Desain penelitian
Pada artikel pembanding menggunakan desain kuasi eksperimental dengan penilaian
dilakukan pada sebelum, segera setelah intervensi, dan 1 bulan setelah intervensi pada.
Selain itu, jumlah sampel pada artikel utama 49 sampel yang berusia lebih dari 60
tahun. Pada artikel utama, terapi dilakukan selama tiga minggu dengan frekuensi dua
kali dalam seminggu, dengan dua topik tiap sesi. Pada artikel pembanding, desain
penelitian menggunakan pretest-posttest desain dengan menggunakan satu skala yang
berbeda yaitu skala Rosenberg yang merupakan parameter penilaian harga diri. Selain
itu, pada artikel pembanding juga dilakukan uji korelasi terhadap faktor-faktor yang
dapat memengaruhi depresi lansia yang telah dikaji selama reminiscence therapy. Pada
artikel pembanding, intervensi dilakukan selama 7 sesi dengan 1 sesi tiap minggu
dengan sampel yang digunakan adalah lansia dengan usia 65-85 tahun.
3. Hasil
Pada kedua artikel, hasil reminiscence therapy memiliki efek yang signifikan
dibuktikan dengan nilai signifikasi pada skor Geriatric Depression Scale (GDS) <0,001
pada saat segera setelah terapi dan satu bulan setelah terapi. Sehingga dapat
disimpulkan efek reminiscence therapy terhadap depresi lansia bertahan selama satu
bulan. Sedangkan pada artikel pembanding, ditemukan bahwa, selain menurunkan skor
depresi lansia secara signifikan, reminiscence therapy juga dapat meningkatkan harga
diri lansia secara signifikan pula.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa artikel pembanding mendukung hasil
pada artikel utama sehingga dari kedua artikel tersebut diketahui bahwa reminiscence
therapy sangat efektif dalam menurunkan tingkat depresi lansia serta mampu meningkatkan
harga diri lansia.

Outcome :

Berdasarkan pengukuran tingkat depresi menggunakan GDS (Geriatric Depression Scale)


yang dilakukan sebelum dan setelah intervensi didapatkan hasil yaitu terjadi penurunan
tingkat depresi secara signifikan setelah dilakukan intervensi. Rata-rata tingkat depresi
sebelum dilakukan intervensi yaitu 8, 18 dan setelah dilakukan intervensi berkurang
menjadi rata-rata 6,73. Satu bulan setelah intervensi rata-rata skor depresi telah meningkat
menjadi 7.55, meskipun hal ini masih signifikan lebih rendah dibandingkan sebelum
intervensi. Kemudian berdasarkan data demografi para responden, didapatkan hasil bahwa
hanya status pernikahan yang mempengaruhi nilai secara signifikan. Responden yang
menikah menunjukkan penurunan skor depresi secara statistik setelah terapi kelompok
kenangan dan satu bulan setelah intervensi dibandingkan dengan sebelumnya.

Time :

Intervensi yang dilakukan pada penelitian ini berlangsung selama tiga minggu dengan 2
kali terapi dalam satu minggu. Serta setelah itu dilakukan pengkajian kembali setelah 1
bulan program terapi berakhir. Sehingga total waktu penelitian adalah 7 minggu. Artikel ini
diterima oleh Eastern Mediterranean Health Journal pada tangga 1 Februari 2008 dan
disetujui pada tanggal 10 Juni 2008. Artikel ini dipublikansikan di Eastern Mediterranean
Health Journal dalam volume jurnal ke 16 nomor 7.

3.3 Implikasi Keperawatan


Berdasarkan dari hasil penelitian yang berjudul “Effect of group reminiscence therapy
on depression in older adults attending a day centre in Shiraz, southern Islamic Republic of
Iran”, implikasi terhadap profesi keperawatan adalah dapat mengurangi angka kejadian
pasien lansia yang mengalami depresi. Tenaga keperawatan dapat melakukan tindakan
Reminiscence Therapy secara mandiri. Reminiscence Therapy memang dikonsep sebagai
proses alami yang memungkinkan lansia untuk mengatur dan mengevaluasi pengalaman
hidup mereka. Terapi ini merupakan salah satu pendekatan yang paling umum digunakan
untuk terapi kelompok dengan lansia. Diskusi tentang peristiwa masa lalu, apakah
menyenangkan atau menyakitkan, memungkinkan anggota kelompok untuk saling
berkenalan satu sama lain pada tingkat yang lebih dalam, mempromosikan pengembangan
kelompok dan memungkinkan setiap lansia mendukung dalam situasi yang berdula dan
penegasan terhadap keberhasilan.

3.4 Penerapan di Indonesia


Jurnal ini dapat di aplikasikan di Indonesia terlebih dalam dunia keperawatan, dimana
peran perawat dalam merawat lansia dengan memberikan intervensi berupa terapi
reminiscence akan sangat bermanfaat untuk kesejahteraan hidup lansia. Mengingat jumlah
lansia yang semakin bertambah jumlahya di Indonesia, maka terapi reminiscence ini akan
memberikan banyak manfaat yang berguna untuk meningkatkan kesejahteraan mental dan
meningkatkan kualitas hidup lansia. Seperti jurnal yang berjudul “Pengaruh Remniscence
Therapy Terhadap Tingkat Stress Pada Lansia di PSTW Unit Budi Luhur, Kasongan,
Bantul Yogyakarta” hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat stress lansia pada
kelompok intervensi mengalami penurunan yang signifikan setelah mendapatkan intervensi
berupa Reminiscence Therapy sebanyak 3,47 poin (p=0,005), dan pada kelompok kontrol
terdapat peningkatan yang bermakna sebanyak 2,32 poin (p=0,004). Hasil uji statistik
kedua kelompok setelah postest didapatkan bahwa ada perbedaan yang bermakna dengan
nilai p
value 0,000, dengan kesimpulan bahwa reminiscence therapy berpengaruh secara signifikan
dapat meningkatkan menurunkan tingkat stress pada lansia di PSTW Unit Budi Luhur,
Kasongan, Bantul, Yogyakarta. Selain itu, jurnal yang berjudul “Pengaruh Terapi
Kelompok Reminiscence Terhadap Depresi Pada Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha
Budi Sejahtera Provinsi Kalimantan Selatan” hasil penelitian ini menunjukkan kondisi
depresi, harga diri rendah, ketidakberdayaan, keputusan dan isolasi social pada lansia yang
mendapat terapi kelompok reminiscence menurun secara bermakna (Pvalue ≤ α), hal ini
menunjukkan bahwa ada pengaruh terapi kelompok reminiscence terhadap depresi pada
lansia di panti sosial tresna werdha budi sejahtera provinsi kalimantan selatan. Dari jurnal
tersebut dapat disimpulkan bahwa terapi reminiscence yang diberikan untuk lansia sangat
bermanfaat dalam mengatasi stress, depresi maupun harga diri rendah yang nantinya akan
bermanfaat untuk kesejahteraan dan meningkatkan kualitas hidup lansia.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan
Depresi merupakan rasa sedih yang menetap lebih dari dua pekan dan mempengaruhi
kehidupan sehari-hari. Pada umumnya, yang rentang terkena depresi adalah orang cacat dan
lanjut usia (lansia) dengan tingkat depresi rata-rata depresi berat. Hal ini disebabkan karena
mereka menganggap bahwa perasaan tidak berdaya dan kehilangan harapan¸yang disertai
perasaan sedih, kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya energi yang menuju

kepada meningkatnya keadaan mudah lelah yang sangat nyata dan berkurangnya
aktivitas Oleh karena itu diperlukan penanganan terhadap depresi yang lebih efektif untuk
menanggulangi depresi yang dialami lansia. Salah satu terapi non farmakologis yang dapat
diberikan pada lansia untuk mengurangi depresi adalah terapi reminiscence. Terapi
Reminiscence merupakan suatu terapi yang dapat diberikan pada lansia sebagai upaya
untuk mengatasi masalah psikososial dengan cara memotivasi dan memberikan perhatian
terhadap kenangan atau pengalaman masa lalu dan upaya penyelesaian masalah yang
dilakukan pada saat itu serta dapat disharingkan kepada keluarga, kelompok, ataupun staf
keperawatan. Terapi Reminiscence tidak hanya bertujuan untuk memberikan pengalaman
yang menyenangkan untuk meningkatkan kualitas hidup, tetapi juga dapat meningkatkan
sosialisasi dan hubungan dengan orang lain, memberikan stimulasi kognitif, meningkatkan
komunikasi dan dapat menjadi suatu terapi yang efektif untuk gejala depresi

4.2 Saran

Terapi reminiscence yang diberikan untuk lansia sangat bermanfaat dalam mengatasi
stress, depresi maupun harga diri rendah yang nantinya akan bermanfaat untuk
kesejahteraan dan meningkatkan kualitas hidup lansia, untuk itu sangat direkomendasikan
untuk diaplikasikan dan ditingkatkan dalam perawatan pasien di rumah sakit umum dan
rumah sakit jiwa.
Bagi instansi pendidikan agar menjadikan terapi reminiscence ini sebagai refrensi dan
bahan pembelajaran terkait dengan pemberian terapi dalam mengatasi stress, depresi
maupun harga diri rendah.
DAFTAR PUSTAKA

Arumsari. 2014. Pengaruh Remniscence Therapy Terhadap Tingkat Stress Pada Lansia di
PSTW Unit Budi Luhur, Kasongan, Bantul Yogyakarta. (Online).
www.thesis.umy.ac.id/datapublik/t34166.pdf di akses 14 april 2015

Banon, E. (2011). Pengaruh Terapi Reminiscence dan Psikoedukasi Keluarga Terhadap


Kondisi Depresi dan Kualitas Hidup Lansia Di Katulampa Bogor. Depok:
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
Devi, P.S. (2012). Pengaruh Terapi Warna Hijau Terhadap Stres Pada Lansia di Panti
Sosial Tresna Werdha Wana Seraya Denpasar. Denpasar: Program Studi Ilmu
Keperawatan Universitas Udayana

Ismail, A. dan Santoso, H. (2009). Memahami Krisis Lanjut Usia. Jakarta: Gunung Mulia

Isnaeni, D.N. (2010). Hubungan Antara Stres dengan Pola Menstruasi pada Mahasiswa D
IV Kebidanan Jalur Reguler Universitas Sebelas Maret Surakarta. Surakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

Maryam, S.R. 2008. Mengenai Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba Medika

Nasution, H. (2011). Gambaran Koping Stres pada Wanita Madya dalam Menghadapi
Pramenopause. Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, (online),
(repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24670/4/Chapter%20II.pdf diakses
tanggal 14 April 2015)

Nugroho. 2009. Komunikasi dalam Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC

Potter dan Perry. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Syarniah. (2010). Pengaruh Terapi Kelompok Reminiscence Terhadap Depresi Pada


Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Provinsi Kalimantan Selatan.
(Online) www.lib.ui.ac.id/file?file=digital/137197-T%20Syarniah.pdf di akses 14
april 2015

Yulianti, D. (2004). Manajemen Stres. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai