Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK PADA LANSIA DENGAN


DIAGNOSA DEMENSIA DI PANTI WERDA SURABAYA

Oleh :
Elin Nur Annisa NIM. 132013143067

Dosen Pembimbing :
Eka Mishbahatul M.Has, S.Kep., Ns., M.Kep.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

2020
I. TINJAUAN TEORI
A. Konsep Lanjut Usia (Lansia) dan Proses Penuaan
1. Definisi Lansia
Lansia merupakan orang dengan usia lebih dari 60 tahun, pada usia lansia
secara normal tubuh akan mengalami beberapa kemunduran baik secara
fungsi fisiologis, psikologis maupun fisik (Dahroni et al., 2019). Penurunan
kemampuan fisiologis tersebut dapat menyebabkan mereka tidak mampu
diberikan tugas-tugas dan tanggung jawab yang berat dan beresiko tinggi.
Pada usia lanjut daya tahan fisik sudah mengalami kemunduran fungsi
sehingga mudah terserang beragam jenis penyakit, masalah yang terjadi
disebabkan karena imunitas dan kekuatan fisik ikut melemah begitu juga
dengan kemampuan tubuh dalam menangkal serangan penyakit yang semakin
melemah, sehingga lebih sering mengalami masalah kesehatan (Siregar,
2018).
2. Batasan Lansia
Lansia dapat digolongkan menjadi empat kategori menurut (Pratiwi,
2017) yaitu:
a. Pertengahan (midle age ) :ialah batas usia 45-59 tahun.
b. Lansia (eldeny):ialah batas usia 60-75 tahun

c. Lansia tua (old):ialah batas usia 75-90 tahun


d. Sangat tua (very old) : ialah usia lebih dari 90 tahun.
Undang-Undang yang membahas tentang lansia yaitu pasal 1 ayat 2,3,4
UU No.13 tahun 1998 tentang kesehatan menyatakan lansia merupakan
golongan dengan usia lebih dari 60 tahun (Prayogi, 2017).

3. Ciri – Ciri Lansia

1. Lansia merupakan periode kemunduran

Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor
psikologis. Motivasi memiliki peran yang penting dalam
kemunduran pada lansia.

2. Lansia memiliki status kelompok minoritas

Kondisi ini sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak


menyenangkan terhadap lansia dan diperkuat oleh pendapat yang
kurang baik.
3. Menua membutuhkan perubahan peran

Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami


kemunduran dalam segala hal. Perubahan peran pada lansia
sebaiknya dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan atas dasar
tekanan dari lingkungan.

4. Penyesuaian yang buruk pada lansia

Perlakuan yang buruk terhadap lansia membuat mereka cenderung


mengembangkan konsep diri yang buruk sehingga dapat
memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk. Akibat dari perlakuan
yang buruk itu membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk pula
(Kholifah, 2016).

4. Perkembangan Lansia

Usia lanjut merupakan usia yang mendekati akhir siklus kehidupan


manusia di dunia. Tahap ini dimulai dari 60 tahun sampai akhir kehidupan.
Lansia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Semua orang akan
mengalami proses menjadi tua (tahap penuaan). Masa tua merupakan masa
hidup manusia yang terakhir, dimana pada masa ini seseorang mengalami
kemunduran fisik, mental dan sosial sedikit demi sedikit sehingga tidak dapat
melakukan tugasnya sehari-hari lagi (tahap penurunan).
Penuaan merupakan perubahan kumulatif pada makhluk hidup, termasuk
tubuh, jaringan dan sel, yang mengalami penurunan kapasitas fungsional.
Pada manusia, penuaan dihubungkan dengan perubahan degeneratif pada
kulit, tulang, jantung, pembuluh darah, paru-paru, saraf dan jaringan tubuh
lainnya. Dengan kemampuan regeneratif yang terbatas, mereka lebih rentan
terhadap berbagai penyakit, sindroma dan kesakitan dibandingkan dengan
orang dewasa lain (Kholifah, 2016).
5. Proses Penuaan

1. Teori-teori

Teori biologi, diantaranya yaitu:

1) Teori genetik dan mutasi (somatic mutatie theory)

Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk


spesies – spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari
perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul – molekul /
DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi.
Sebagai contoh yang khas adalah mutasi dari sel – sel kelamin
(terjadi penurunan kemampuan fungsional sel).
2) Pemakaian dan rusak

3) Reaksi dari kekebalan sendiri (auto immune theory)

4) Teori “Immunology slow virus”

5) Teori stres

6) Teori radikal bebas

7) Teori rantai silang

8) Teori program (Kholifah, 2016). Teori kejiwaaan sosial,


diantaranya yaitu:
1) Aktifitas atau kegiatan (activity theory)

Lansia mengalami penurunan jumlah kegiatan yang dapat


dilakukannya. Teori ini menyatakan bahwa lansia yang sukses
adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial.
2) Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup dari
lansia
3) Kepribadian berlanjut (continuity theory)

4) Teori pembebasan (disengagement theory)

2. Faktor-faktor yang memengaruhi ketuaan

1) Hereditas atau ketuaan genetik


2) Nutrisi atau makanan

3) Status kesehatan

4) Lingkungan

5) Stres

3. Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia

1) Perubahan fisik (sistem indra, integumen, muskuloskeletal,


kardiovaskular, respirasi, pencernaan dan metabolisme,
perkemihan, saraf, dan reproduksi)
2) Perubahan kognitif

- Memory (Daya ingat, Ingatan)

- IQ (Intellegent Quotient)

- Kemampuan Belajar (Learning)

- dan lain-lain.

3) Perubahan mental

4) Perubahan spiritual

5) Perubahan psikososial

- Penurunan kondisi fisik

- Penurunan fungsi dan potensi seksual

- Perubahan aspek psikososial

- Perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan

- Perubahan dalam peran sosial di masyarakat (Kholifah,


2016).

B. Konsep Demensia pada Lansia


1. Definisi

Demensia adalah gejala terjadinya penurunan memori, berfikir, perilaku, dan


kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Kehilangan kapasitas intelektual
pada demensia tidak hanya pada memori atau ingatan saja, tetapi juga pada kognitif
dan kepribadian (WHO,2019).

Demensia adalah kemunduran kognitif yang sedemikian beratnya sehingga


mengganggu aktivitas hidup sehari-hari dan aktivitas social. Kemunduran kognitif
pada demensia biasanya diawali dengan kemunduran memori atau daya ingat. Lanjut
usia sangat berkaitan erat dengan terjadinya demensia (Suryatika & Pramono,2019)

2. Etiologi

Penyebab demensia menurut Nugroho (2008) dalam Pitaloka (2019)


dapat digolongkan menjadi 3 golongan yaitu:
1.Sindrom demensia dengan penyakit yang etiologi dasarnya tidak
dikenal kelainan yaitu: terdapat pada tingkat subsuler atau secara
biokimiawi pada system enzim, atau pada metabolisme
2. Sindrom demensia dengan etiologi yang dikenal tetapi belum dapat
diobati, penyebab utama dalam golongan ini diantaranya:
a. Penyakit degenerasi spino-selebelar

b. Subakut leuko-ensefalitis sklerotik fan bogaert

c. Khorea hungtington

3.Syndrome demensia dengan etiologi penyakit yang dapat diobati,


dalam golongan ini diantaranya:
a. Penyakit kardiovaskuler

b. Penyakit- penyakit metabolic

c. Gangguan nutrisi

d. Akibat intoksikasi menahun

3. Manifestasi Klinis

Gejala klinis demensia berlangsung lama dan bertahap sehingga pasien


dangan keluarga tidak menyadari secara pasti kapan timbulnya penyakit.
Gejala klinik dari demensia Nugroho (2009) dalam Pitaloka (2019)
menyatakan jika dilihat secara umum tanda gejala demensia adalah:
1. Menurunnya daya ingat yang terjadi. Pada penderita demensia, lupa
menjadi bagian keseharian yang tidak bisa lepas
2. Gangguan orientasi waktu dan tempat, misalnya: lupa hari, minggu, bulan,
tahun, tempat penderita demensia berada.
3. Penurunan ketidakmampuan menyusun kata menjadi kalimat yang benar,
menggunakan kata yang tidak tepat untuk sebuah kondisi, mengulang kata
atau cerita yang sama berkali-kali.
4. Ekspresi yang berlebihan, misalnya menangis berlebihan saat melihat
drama televisi, marah besar pada kesalahan kecil yang dilakukan orang
lain, rasa takut dan gugup yang tak beralasan. Penderita demensia tidak mengerti
mengapa perasan-perasan tersebut muncul.
5. Adanya perubahan perilaku seperti: acuh tak acuh, menarik diri dan
gelisah.

4. Patofisiologi

Proses menua tidak dengan sendirinya menyebabkan terjadinya demensia.


Penuaan menyebabkan terjadinya perubahan anatomi dan biokimiawi di
susunan saraf pusat yaitu berat otak akan menurun sebanyak sekitar 10% pada
penuaan antara umur 30 -70 tahun. Berbagai faktor etiologi yang telah
disebutkan diatas merupakan kondisi kondisi yang dapat mempernaruhi sel sel
neuron korteks serebri.
Penyakit degenerative pada otak, gangguan vaskular dan penyakit lainnya
serta gangguan nutrisi, metabolik dan toksitasi secara langsung maupun tak
langsung depat menyebabkan sel neuron mengalami kerusakan melalui
mekanisme iskemia, infrak, inflamasi, deposisi protein abnormal sehingga
jumlah neuron menurun dan mengganggu fungsi dari area kortikal ataupun sub
kortikal.
Disamping itu kadar neurotransmitter di otak yang diperlukan untuk
proses konduksi saraf juga akan berkurang. Hal ini akan menimbulkan
gangguan fungsi kognitif (daya ingat, daya pikir dan belajar), gangguan
sensorium (perhatian, kesadaran), persepsi, isi pikir, emosi dan mood. Fungsi
yang mengalami gangguan tergantung lokasi area yang terkena (kortikal atau
subkortikal) atau penyebabnya, karena manifestasinya dapat berbeda.
Keadaan patologis dari hal tersebut akan memicu keadaan konfusio akut
demensia (Boedhi-Darmojo, 2009 dalam Pitaloka, 2019).

5. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Wahjudi (2008), berikut adalah pemeriksaan diagnostik untuk klien
demensia.
a. CT Scan untuk melihat serebral ventrikel dan pembesaran ruang subaraknoid,
atropi otak.
b. MRI sama dengan CT Scan.
c. Biopsi otak untuk membuktikan adanya neurofibrillary tangles dan neuritis
plague
d. Pemeriksaan skrinning neuropsikologis atau kognitif MMSE (Mini Mental
State Examination), skrinning selama 7 menit. Pemeriksaan SPMSQ (Short
Portable Mental Status Questionnaire) juga bisa dilakukan

6. Penatalaksaan

Penatalaksanaan pada pasien demensia menurut Aspiani (2014) dalam


Pitaloka (2019) sebagai berikut:
1.Farmakoterapi
a. Untuk mengobati demensia alzheimer digunakan obat-obatan
antikoliesterase seperti Donepezil, Rivastigmine, Glantamine,
Memantine
b. Demensia vaskuler membutuhkan obat-obatan anti platelet seperti
Aspirin, Ticlopidine, Clopidogrel untuk melancarkan aliran darah
ke otak sehingga memperbaiki gagguan kognitif
c. Demensia karena stroke yang berturut-urut tidak dapat diobati,
tetapi perkembangannya bisa diperlambat atau bahkan dihentikan
dengan mengobati tekanan darah tinggi atau kencing manis yang
berhubungan dengan stroke
d. Jika hilangnya ingatan disebabkan oleh depresi, diberikan obat anti-
depresi seperti Sertraline dan Citalopramntuk mengendaliakn
agitasi dan perilaku yang meledak-ledak, yang bisa menyertai
demensia stadium lanjut, sering digunakan antipsikotik (misalnya
Haloperidol, Quetiaoine dan Risperidone).
2. Dukungan atau peran keluarga

Mempertahankan lingkungan yang familiar akan membantu penderita


tetap memiliki orientasi. Kalender yang besar, cahaya yang terang, jam
dinding dengan angka angka.

3. Terapi simtomatik

Menurut Erwanto & Kurniasih (2018) dalam Pitaloka (2019) Penderita


penyakit demensia dapat diberikan terapi simtomatika yaitu terapi
rekreasional dan aktifitas dimana upaya yang dapat dilakukan dengan
memberikan terapi brain gym. Brain gym ini berupa senam otak dengan
melibatkan petugas untuk mengajarkan gerakan-gerakan mudah pada
pasien demensia. Senam otak ini bertujuan untuk membuktikan pernyataan
menurut Pratiwi (2016) dalam Pitaloka (2019) bahwa apabila senam otak
dilakukan secara rutin 1 kali dalam sehari maka dapat menjaga fungsi daya
ingat pada lansia sehingga lansia dapat memenuhi aktivitas sehari-hari, hal
ini dibuktikan dengan peningkatan presentase pengkajian Indeks KATZ.
Sesuai penelitian yang dilakukan oleh Chancellor, Duncan, & Chatterjee
(2014) dalam Pitaloka (2019) bahwa senam otak mampu meningkatkan
fungsi kognitif pada lansia yang mengalami demensia.
7. WOC
II. TINJAUAN ASUHAN KEPERAWATAN
A. Konsep Carrol A Miller
1. Functional Consequences

Teori ini merupakan teori Midle Range Theory of Carol Ann Miller
yang dikenal dengan functional consequencies theory. Teori ini dibangun dari
penelitian, praktik pengembangan beberapa teori berdasarkan penelitian
penuaan, kesehatan dan memberikan asuhan keperawatan kepada lansia.
Teori ini menjelaskan hubungan individu , kesehatan, keperawatan dan
lingkungan bertujuan menggambarkan, menjelaskan dan memprediksi
keperawatan pengembangan teori ini mengacu pada teori konsep
kesejahteraan, kesehatan dan keperawatan holistik (Miller, 2009 dalam
Pitaloka, 2018).
Fungtional Consequences Theory terdiri dari teori tentang penuaan,
lansia, dan keperawatan holistik. Konsep domain keperawatan adalah orang,
lingkungan, kesehatan, dan keperawatan dihubungkan bersama secara khusus
dalam kaitannya dengan lansia. Inti dasar dari teori ini adalah
1. Asuhan keperawatan holistik merupakan hubungan semangat
pikiran tubuh lansia mencakup semua fungsi termasuk psikologis.
2. Faktor risiko merupakan penyebab masalah terbesar lansia dari
perubahan terkait usia.
3. Gabungan perubahan terkait usia dan faktor risiko menimbulkan
konsekuensi fungsional positif atau negatif pada lansia.
4. Konsekuensi funsional negatif dilakuakan tindakan mengurangi atau
memodifikasi efek faktor risiko.
5. Meningkatkan kesejahteraan lansia melalui tindakan keperawatan
terhadap konsekuensi fungsional negatif.
6. Tindakan keperawtan mengakibatkan konsekuensi fungsional positif
lansia berfungsi optimal meskipun dipengaruhi perubahan terkait usia
dan faktor risiko (Miller, 2012 dalam Pitaloka, 2018).
II. Komponen Functional Consequences
1. Risk factor

Faktor risiko adalah kondisi yang memungkinkan terjadi pada lansia


yang memiliki efek merugikan signifikan terhadap kesehatan dan fungsi
mereka. Faktor- faktor risiko umumnya muncul dari kondisi

lingkungan, kondisi akut dan kronis, kondisi psikososial, atau efek


pengobatan yang buruk. Meski banyak faktor risiko juga terjadi pada orang
dewasa muda mereka lebih cenerung mengalai dampak fungsional serius
pada orang dewasa (Miller 2012 dalam Pitaloka, 2018). Faktor risiko
memiliki konsekuensi fungsional pada lansia bersifat :
a. Kumulatif dan progresif misal efek jangka panjang merokok,
kegemukan.
b. Efek- efek diperburuk oleh perubahan terkait usia misal efek arteritis
diperburuk oleh berkurangnya kekuatan otot.
c. Efek berakibat terhadap perubahan terkait usia karena konsisi reversibel
misalnya perubahan mental disebabkan oleh penuaan atau demensia.
2. Konsekuensi fungsional

Konsekuensi fungsional positif atau negatif adalah keadaan lansia yang


merupaka efek tindakan, faktor risiko dan perubahan terkait usia yang
mempengaruhi kualitas hidup lansia. Faktor risiko berasal dari hambatan
lingkungan, kondisi patologis, pengobatan yang didapat, keterbatan informasi,
pandangan terhadap kondisi lansia, pengaruh fisiologis dan psikososial.
Konsekuensi fungsional positif memfasilitasi kinerja fungsi sistem kualitas
hidup, sedikit ketergantungan, kemampuan memaksimalkan kesehatan secara
optimal dan memiliki penilaian yang baik. Konsekuensi fungsional negatif
menggagu kualiatas hidup, fungsional, ketergantungan (Miller, 2012 dalam
Pitaloka, 2018).
Konsekuensi fungsional negatif apabila lansia tidak dapat memaksimalkan
faktor yang ada maupun terganggu dengan kondisi sehingga berdampak
ketergantungan kepada orang lain. Konsekuensi positif merupakan hasil
tindakan atau intervensi. Posif jika lanjut usia dapat memaksimalkan faktor
yang ada untuk mencapai forma kehidupan secara maksimal dengan sedikit
ketergantungan. lanjut usia dapat memaksimalkan faktor yang ada untuk
mencapai forma kehidupan secara maksimal dengan sedikit ketergantungan

3. Age related changes

Proses fisiologis yang meningkatkan kerentanan pada dampak negatif


pada faktor risiko. Secara fisiologis terjadi perubahan degeneratif, mengalami
kondisi terminal atau progresif. Perubahan pada psikologis dan spiritual terjadi
potensi dan perkembangan pertumbuhan rohani (Miller 2012 dalam Pitaloka,
2018).
4. Individu

Individu ialah dalam pendekatan holistik menyatakan lansia sebagai


individu komplek berfungsi unik sejahtera dipengaruhi oleh faktor internal dan
eksternal (perubahan terkait usia dan faktor risiko). Lansia ditandai
karakteristik fisiologis dan psikososial terkait peningkatan kematangan
sehingga memperlambat keseimbangan proses fisiologis, psikologis, sosial
meningkatkan kerentanan kondisi patologis dan faktor risiko lainya. Faktor
risiko menyebabkan lansia tergantung terhadap orang lain terhadap kebutuhan
sehari-hari, care giver dianggap sebagai fokus internal asuhan keperawatan
(Miller 2012 dalam Pitaloka, 2018).
5. Keperawatan

Keperawatan ialah asuhan keperawatan merupakan aplikasi simultan


seni dan keterampilan berfokus meminimalkan efek negatif perubahan terkait
usia dan faktor risiko serta meningkatkan hasil kesehatan, dan mendorong
pertumbuhan serta perkembangan individu. Bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan dan tindakan keperawatan untuk meminimalkan konsekuensi
fungsional negatif (Miller, 2012 dalam Pitaloka, 2018).
6. Kesehatan

Kesehatan adalah kemampuan lansia berfungsi pada kapasitas


maksimal. Kesehatan ditentukan secara individual berdasarkan kapasitas
fungsional terpenting oleh individu misalnya tingkat fungsi diartikan sebagai
kapasitas hubungan atau kemampuan melakukan kegiatan (Miller, 2012 dalam
Pitaloka, 2018).
7. Lingkungan

Lingkungan adalah Model keperawatan konsekuensi fungsional


menjelaskan lingkungan adalah konsep umum meliputi berbagai aspek
manajemen keperawatan untuk lansia mengalami ketergantungan, care giver
yang mempengaruhi kondisi lansia, serta faktor lingkungan primer yaitu
hubungan interpersonal dengan orang lain yang dekat dengan lansia.

8. Welness

Wellness adalah kondisi sehat mental dan fisik pada lansia (Miller, 2012
dalam Pitaloka, 2018). Indikatornya adalah kemandirian dalam pemenuhan
sehari-hari dan tindakan keselamatan pada lansia. Kemandirian lansia dalam
melakuka aktivitas yang tetap dipertahankan pada lansia akan membentuk
konsep diri positif. Faktor yang mempengaruhi kemandirian adalah faktor
kesehatan dan faktor sosial (Hadywinoto, Setiabudhi 2007 dalam Pitaloka,
2018). Faktor kesehatan meliputi kondisi fisik sedangkan faktor sosial meliputi
penyesuaian terhadap kondisi lansia.

B. Fokus Pengkajian
1. Nama Wisma dan Tanggal Pengkajian

2. Identitas Klien

Berisi nama, umur, dan alamat pasien sesuai kartu identitas. Tanggal datang di
panti dan lama tinggal. Penyesuaian dapat dilihat dari rekam medik milik
panti.
3. Data Keluarga

Berisi identitas anggota keluarga klien yang bertanggung jawab terhadap diri
klien dalam pengambilan keputusan terkait pembiayaan, tindakan medis dan
perawatan.
4. Status Kesehatan Sekarang

Keluhan utama : Pada umumnya klien mengalami hilang ingatan atau lupa
pada suatu hal
Pengetahuan, usaha yang dilakukan untuk mengatasi keluhan:
informasi mengeni pengobatan, aktifitas dan terapi dalam mengatasi keluhan
yang telah diketahui atau dilakukan oleh klien
Obat-obatan : obat-obatan, herbal dan jamu yang dikonsumsi oleh klien
dalam kurun waktu 2 minggu terakhir dan pada saat pengkajian dilakukan
5. Age Related Changes

Perubahan terkait proses penuaan. Perubahan yang terjadi meliputi aspek


fisik, psikososial dan psipiritual
1. Kondisi Umum : Secara umum klien tampak letih dan lemah, serta
pandangan seperti kosong
2. Integumen : Dalam batas normal
3. Hematopic : Dalam batas normal
4. Kepala : Dalam batas normal
5. Mata : Biasanya klien mengalami penuruan penglihatan akibat usia
6. Telinga : Biasanya klien mengalami penurunan pendengaran akibat usia
7. Hidung Sinus : Dalam batas normal
8. Mulut, Tenggorokan : Dalam batas normal
9. Leher : Dalam batas normal
10. Pernafasan : Dapat ditemukan adanya peningkatan frekuensi nafas atau
dalam batas normal
11. Kardiovaskular : Dalam batas normal
12. Gastrointestinal : Dalam batas normal
13. Perkemihan : Biasanya terdapat urgency (rasa ingin berkemih secara tiba-
tiba), atau dalam batas normal
14. Reproduksi : Dalam batas normal
15. Muskuloskeletal : Adanya kelemahan otot, dan menurunnya ADL klien
16. Persyarafan : Terdapat masalah pada memori, tidak dapat mengingat
beberapa kejadian di masa lampau, benda atau suatu barang, dan atau
peristiwa yang baru saja terjadi

6. Potensi Pertumbuhan Psikososial dan Spiritual

Biasanya klien mengalami kesulitan dalam berkonsentrasi, menurunnya


memori, sehingga menghambat dalam berinteraksi dengan anggota keluarga
atau orang lain. Kondisi spiritual klien bergantung terhadap kondisi
kesehatan klien
7. Lingkungan

Dalam kondisi baik

8. Negative Functional Consequences

1. Kemampuan ADL (Indeks barthel)

2. Aspek Kognitif (Aspek ini diukur apabila pada pengkajian psikososial


diketahui klien sulit berkonsentrasi, kehilangan memori.)

3. Tes Keseimbangan (Diukur dengan menggunakan Time Up Go Test


apabila diketahui lansia memiliki hambatan pada pelaksanaan ADL,
kondisi setelah stroke, fraktur pada kaki, dan membutuhkan asistensi
untuk mobilisasi.)

4. Kecemasan, GDS (Diukur dengan menggunakan Geriatric Depression


Scale apabila pada pengkajian psikososial lansia ditemukan ada
kecemasan dan tanda depresi.

5. Status Nutrisi (Diukur dengan menggunakan American Dietetic


Association and National Council on the Agingapabila pada pengkajian
sistem gastrintestinal ditemukan kelainan, serta ada perubahan nafsu
makan dan penurunan berat badan)

6. Hasil Pemeriksaan Diagnostik (Hasil pemeriksaan diagnostik yang


diagnostik yang pernah dilakuakan oleh klien)
7. Fungsi Sosial Lansia (Diukur apabila pada mekanisme koping klien
menunjukkan mekanisme koping negatif, disertai adanya depresi dan
kecemasan.
C. Diagnosa Keperawatan
1. Ganguan memori b.d proses penuaan d.d tidak mampu mengingat perilaku
tertentu yang pernah dilakukan, tidak mampu mengingat peristiwa, dan
merasa mudah lupa (D.0062).
2. Defisit perawatan diri : mandi dan toileting b.d kelemahan d.d tidak mampu
mandi dan toileting secara mandiri (D.0109).
3. Risiko jatuh d.d usia ≥ 65 tahun (D.0143).

D. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan kriteria Hasil Intervensi Keperawatan

1. Ganguan memori b.d Setelah dilakukan tindakan Latihan memori (I.06188)


proses penuaan d.d keperawatan selama 1x24 1. Identifikasi masalah
tidak mampu jam, diharapkan masalah pada memori yang
keperawatan dapat teratasi dialami
mengingat perilaku
dengan kriteria hasil:
tertentu yang pernah 2. Identifikasi masalah
Status kognitif (L.09086)
dilakukan, tidak terhadap orientasi
1. Konsentrasi meningkat
mampu mengingat 3. Monitor perubahan
peristiwa, dan merasa 2. Memori segera kognitif dan perilaku
mudah lupa meningkat 4. Rencanakan metode
(D.0062). mengajar sesuai
3. Memori saat ini
kemampuan pasien
meningkat
5. Fasilitasi kemampuan
4. Memori jangka panjang
konsentrasi
meningkat
6. Stimulasi menggunakan
memori pada peristiwa
yang baru terjadi
7. Perkenalkan nama saat
memulai interaksi
8. Orientasikan orang,
tempat, dan waktu
9. Ajarkan teknik memori
yang tepat
10. Ajarkan keluarga
dalam perawatan
orientasi realita
11. Rujuk pada terapi
okupasi
Setelah dilakukan tindakan Dukungan perawatan diri :
2. Defisit perawatan diri
keperawatan selama 1x24 mandi (I.11352)
: mandi dan toileting
jam, diharapkan masalah 1.Identifikasi jenis bantuan
b.d kelemahan d.d
keperawatan dapat teratasi yang dibutuhkan
tidak mampu mandi dengan kriteria hasil: 2. Identifikasi kebiasaan
dan toileting secara Perawatan diri (L.11103):
BAK/BAB sesuai usia
mandiri (D.0109). 1. Kemampuan mandi
3. Fasilitasi mandi sesuai
meningkat
kebutuhan
2. Kemampuan ke toilet 4. Latih BAB/BAK sesuai
(BAB/BAK) jadwal
meningkat 5. Berikan bantuan sesuai
tingkat kemandiri
6. Ajarkan kepada keluarga
cara memandikan pasien
7. Anjurkan BAB/BAK
secara rutin
2. Risiko jatuh b.d usia Setelah dilakukan tindakan Pencegahan jatuh
≥ 65 tahun (D.0143). keperawatan selama 1x24 (I.14540)
jam, diharapkan masalah 12. Identifikasi faktor
keperawatan dapat teratasi
risiko jatuh
dengan kriteria hasil:
13. Identifikasi faktor
Tingkat jatuh (L.14138):
lingkungan yang
1. Jatuh dari tempat tidur
meningkatkan risiko jatuh
menurun
14. Hitung risiko jatuh
2. Jatuh saat berjalan dengan menggunakan
menurun skala
3. Jatuh saat dipindahkan 15. Gunakan alat bantu
menurun berjalan
16. Anjurkan
berkonsentrasi untuk
menjaga keseimbangan
tubuh
II. DAFTAR PUSTAKA
Al-Finatunni'mah, A., & Nurhidayati, T. (2020). Pelaksanaan Senam Otak untuk
Peningkatan Fungsi Kognitif pada Lansia dengan Demensia. Ners Muda, 1(2), 139-145.

FUADAH, A. HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN DEMENSIA


PADA LANSIA DI POSBINDU WILAYAH KERJA PUSKESMAS PLUMBON
KABUPATEN INDRAMAYU TAHUN 2020. Hasanah, S. A. (2020). Hubungan
hiperkolesterotemia dengan penurunan fungsi kognitif pada lansia. SKRIPSI-2020.

Harlina, R. P. (2020). Gambaran Kadar Asam Urat Pada Lansia (Studi Di Puskesmas
Maospati, Kabupaten Magetan) (Doctoral dissertation, STIKes Insan Cendekia Medika
Jombang).

Kholifah, Siti N. 2016. Keperawatan Gerontik (Modul). Jakarta Selatan: Pusdik SDM
Kesehatan, Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan,
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Pitaloka, Dyah. 2018. Keperawatan Lansia Komprehensif Dengan Pendekatan Teori


Family Centered Nursing dan Functional Consequences Dalam Pencegahan
Pengabaian Lansia Dalam Keluarga (Tesis). Surabaya: Fakultas Keperawatan,
Universitas Airlangga.

Pitaloka, Melisa D. 2019. Asuhan Keperawatan Gerontik Pada Ny. B dan Tn. M yang
Mengalami Demensia Dengan Masalah Keperawatan Defisit Perawatan Diri di UPT
PSTW Jember Tahun 2019 (Laporan Tugas Akhir). Jember: Fakultas Keperawatan,
Universitas Jember.

PRIMITASARI, I. S. (2019). AKTIVITAS BERPIKIR DENGAN KEJADIAN DEMENSIA


PADA LANSIA DI POSYANDU LANSIA KREMBANGAN SELATAN
SURABAYA (Doctoral dissertation, Poltekkes Kemenkes Surabaya).

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. 1st edn.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. 1st edn.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. 1st edn.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Utami, Asty N. 2013. Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat


Perkotaan Pada Ibu H (88 Tahun) Dengan Masalah Kerusakan Memori di Wisma
Cemapaka Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Cibubur (Karya Ilmiah Akhir Ners).
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai