Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN GERONTIK

Di Susun Oleh :
Hana Nurhanisah
18210100137
PROGRAM PROFESI NERS
UNIVERSITAS INDONESIA MAJU
TAHUN 2022
A. Lansia

1. Pengertian lansia

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13


tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, yang dimaksud
dengan lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60
tahun keatas. Lansia merupakan tahap akhir dari siklus hidup
manusia, yaitu bagian dari proses kehidupan yang tak dapat
dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu. Pada tahap ini
individu mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun
mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan
kemampuan yang pernah dimilikinya (Soejono dalam Muhith &
Siyoto, 2016).

Lansia adalah individu yang berusia diatas 60 tahun, pada


umumnya memiliki tanda-tanda terjadinya penurunan fungsi-
fungsi biologis, psikologis, sosial, ekonomi. Menua bukanlah
suatu penyakit, tetapi merupakan tahap lanjut dari suatu proses
kehidupan dengan berkurangnya daya tahan tubuh dalam
menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh (Muhith
& Siyoto, 2016).

2. Batasan umur lansia


Menurut pendapat berbagai ahli yang mencakup batasan
umur lansia adalah sebagai berikut (Sunaryo, dkk, 2016) :
a. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab
1 Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi “Lansia adalah seseorang
yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas”.
b. Menurut World Health Organization (WHO), lansia dibagi
menjadi empat kriteria berikut : usia pertengahan (middle
age) ialah 45-59 tahun, lansia (elderly) ialah 60-74 tahun,
lanjut
usia tua (old) ialah 75-90 tahun, usia sangat tua (very old)
ialah di atas 90 tahun.
c. Menurut Dra. Jos Masdani (Psikolog UI) terdapat empat fase
yaitu: pertama (fase inventus) ialah 25-40 tahun, kedua (fase
virilities) ialah 40-55 tahun, ketiga (fase presenium) ialah 55-
65 tahun, keempat (fase senium) ialah 65 hingga tutup usia.
d. Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro masa lansia
(geriatric age) : > 65 tahun atau 70 tahun. Masa lansia
(getiatric age) itu sendiri dibagi menjadi tiga batasan umur,
yaitu young old (70-75 tahun), old (75-80 tahun), dan very old
( > 80 tahun).
3. Klasifikasi lansia
Klasifikasi berikut ini merupakan lima klasifikasi pada
lansia berdasarkan Depkes RI (2003 dalam Maryam, dkk, 2009),
yang terdiri dari : pralansia (prasenilis) yaitu seseorang yang
berusia antara 45-59 tahun, lansia ialah seseorang yang berusia
60 tahun atau lebih, lansia resiko tinggi ialah seseorang yang
berusia 70 tahun lebih atau seseorang yang berusia 60 tahun
atau lebih dengan masalah kesehatan, lansia potensial ialah
lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan atau kegiatan
yang dapat menghasilkan barang dan jasa, lansia tidak potensial
ialah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga
hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.
4. Peoses menua
Menurut Constantanides dalam Bandiyah (2009), menua
meruakan suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti
dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat
bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang
diderita. Proses menua merupakan proses yang terus-menerus
(beranjut) secara alamiah. Dimulai sejak lahir dan umumnya
dialami semua makhluk hidup. Proses menua setiap individu
pada organ tubuh juga tidak sama cepatnya. Ada kalanya orang
belum tergolong lansia (masih muda) tetapi mengalami
kekurangan-kekurangan yang menyolok atau diskrepansi
(Nugroho, 2006).
Menjadi tua merupakan suatu proses menghilangnya
kemampuan jaringan secara perlahan-lahan untuk memperbaiki
atau mengganti diri dan mempertahankan struktur serta fungsi
normalnya. Akibatnya, tubuh tidak dapat bertahan terhadap
kerusakan atau terjadi pada seluruh organ tubuh, meliputi organ
dalam tubuh, seperti jantung, paru-paru, ginjal, indung telur, otak
dan lain-lain, juga organ terluar dan terluas tubuh, yaitu kulit
(Muhith & Siyoto, 2016).
5. Perubahan-perubahan pada lansia

Penuaan terjadi tidak secara tiba-tiba, tetapi berkembang


dari masa bayi, anak-anak, dewasa, dan akhirnya menjadi tua.
Proses menua merupakan proses yang berhubungan dengan
umur seseorang. Manusia mengalami perubahan sesuai dengan
bertambahnya umur tersebut. Semakin bertambah umur
semakin berkurang fungsi-fungsi organ tubuh. Tubuh akan
mengalami perubahan-perubahan pada struktur dan fisiologis
dari berbagai sel, jaringan, ataupun organ dan sistem yang
menyebabkan involusi dan degradasi. Organ tubuh mulai
mengalami kemunduran, baik fisik maupun mental. Pada lansia
terjadi perubahan-perubahan yang menuntut dirinya untuk
menyesuaikan diri secara terus-menerus. Apabila penyesuaian
diri dengan lingkungan kurang berhasil, maka timbullah berbagai
masalah. Namun, perubahan yang terjadi tidaklah sama antara
satu individu dengan lainnya dan terdapat pula variabilitas antar
individu.

Seiring perjalanan dan pertambahan usia, proses


penuaan pun terus berlangsung dan menimbulkan berbagai
macam perubahan. Perubahan-perubahan yang terjadi pada
lansia meliputi perubahan fisik, yang meliputi sel, sistem
pernapasan, sistem persarafan, sistem pendengaran,
penglihatan, sistem kardiovaskular, sistem genitourinaria,
sistem endokrin dan metabolik, sistem pencernaan, sistem
muskuloskeletal, sistem kulit dan jaringan ikat, sistem
reproduksi dan kegiatan seksual, dan sistem pengaturan tubuh,
serta perubahan mental, dan perubahan psikososial. Perubahan
pada lansia dipengaruhi oleh faktor hereditas (keturunan),
nutrisi atau makanan, status kesehatan, pengalaman hidup,
lingkungan dan stres. Semakin tua seseorang maka terjadi
kecenderungan penurunan status kesehatan (Sunaryo, dkk,
2016).

6. Permasalahan yang terjadi pada lansia

Proses menua di dalam perjalanan hidup manusia


merupakan suatu hal yang wajar akan dialami semua orang
yang dikarunia umur panjang. Hanya cepat lambatnya proses
tersebut bergantung pada masing-masing individu yang
bersangkutan. Secara individu, pengaruh proses menua dapat
menimbulkan berbagai masalah, baik secara fisik, biologi,
mental, maupun sosial ekonomis. Semakin lansia seseorang, ia
akan mengalami kemunduran terutama dibidang kemampuan
fisik, yang dapat menurunkan peran-peran sosialnya. Hal ini juga
mengakibatkan timbulnya gangguan didalam hal mencangkupi
kebutuhan hidupnya sehingga dapat meningkatkan
ketergantungan yang memerlukan bantuan orang lain (Sunaryo,
dkk, 2016).

Berbagai masalah fisik, biologi, psikologi, dan sosial akan


muncul pada lansia sebagai akibat dari proses menua dan
beresiko terhadap penyakit degeneratif yang muncul seiring
dengan menuanya seseorang. Masalah yang dapat dialami oleh
lansia antara lain mudah jatuh, mudah lelah, nyeri dada, sesak
nafas pada waktu melakukan kerja fisik, nyeri pinggang, nyeri
pada sendi punggul, berat badan menurun, mengompol,
gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, gangguan tidur
(Muhith & Siyoto, 2016).

B. Tidur

1. Pengertian tidur

Tidur adalah suatu keadaan relatif tanpa sadar yang


penuh ketenangan tanpa kegiatan yang merupakan urutan siklus
yang berulang-ulang dan masing-masing menyatakan fase
kegiatan otak dan badaniah yang berbeda (Tarwoto dan
wartonah, 2015).

Tidur adalah status perubahan kesadaran ketika persepsi dan


reaksi individu terhadap lingkungan menurun. Tidur di
karakteristikkan dengan aktivitas fisik yang minimal, tingkat
kesadaran yang bervariasi, perubahan proses fisiologis tubuh,
dan penurunan respon terhadap stimulus eksternal. Hampir
sepertiga dari waktu individu digunakan untuk tidur. Hal
tersebut di dasarkan pada keyakinan bahwa tidur dapat
memulihkan atau mengistirahatkan fisik setelah seharian
beraktivitas, mengurangi stress dan kecemasan, serta dapat
meningkatkan kemampuan dan konsentrasi saat hendak
melakukan aktivitas sehari-hari (Wahyudi & Wahid, 2016).

2. Fisiologi tidur

Pusat tidur yang utama terletak di hipotalamus.


Hipotalamus mensekresi hipokreatin (oreksin) yang
menyebabkan seseorang terjaga juga mengalami tidur rapid eye
movement. Prostaglandin D2, L-triptopan, dan faktor
pertumbuhan membantu mengatur tidur. Aktivitas tidur diatur
dan dikontrol oeh dua sistem pada batang otak, yaitu Reticular
Activating Sistem (RAS) dan Bulbar Synchronizing region (BSR).
RAS dibagian atas batang otak diyakini memiliki sel-sel khusus
yang dapat mempertahankan kewaspadaan dan kesadaran;
memberi stimulus visual, pendengaran, nyeri dan memori raba,
serta emosi dan proses berpikir. Pada saat sadar, RAS
melepaskan katekolamin, sedangkan pada saat tidur terjadi
pelepasan serum serotonin dari BSR.

Saat bangun RAS mengeluarkan katekolamin seperti


norepineprin. Ketika seseorang mencoba tidur, mereka akan
menutupkan mata dan berada dalam posisi rileks. Stimulus ke
RAS menurun. Jika ruangan gelap dan tenang, maka aktivitas
SAR menurun. Pada beberapa bagian, SBR mengambil alih dan
menyebabkan. Tidur adalah proses fisiologis, yang bersiklus
yang bergantian dengan periode yang lebih lama dari
keterjagaan. Siklus tidur terjaga mempengaruhi dan mengatur
fungsi fisiologis dan respons perilaku (Wahyudi & Wahid, 2016).

3. Irama sirkadian

Irama sirkadian atau diural berasal dari bahasa latin circa,


“tentang” dan dies, “hari”. Irama sirkadian berarti siklus 24
jam/siang dan malam. Setiap makhluk hidup memiliki bioritme
(jam biologis) yang berbeda. Pada manusia, bioritme ini
dikontrol oleh tubuh dan sesuaikan dengan faktor lingkungan
(misalnya, cahaya, kegelapan, gravitasi dan stimulus
elektromagnetik). Bentuk bioritme yang paling umum adalah
ritme sirkadian yang melengkapi siklus selama 24 jam. Siklus
menstruasi wanita adalah sebuah irama infrandian, adalah
siklus yang terjadi lebih dari 24 jam. Siklus biologis berakhir
kurang dari 24 jam disebut irama ultradian.
Dalam hal ini, fluktuasi denyut jantung, tekanan darah,
temperature, sekresi hormone, metabolisme dan penampilan
serta perasaan individu bergantung pada ritme sirkandiannya.
Tidur adalah salah satu irama biologis tubuh yang sangat
kompleks. Sinkronisasi sirkandian terjadi jika individu memiliki
pola tidur bangun yang mengikuti jam biologisnya, individu akan
bangun pada saat ritme fisiologis paling tinggi atau paling aktif
dan akan tidur pada saat ritme tersebut paling rendah (Wahyudi
& Wahid, 2016).

Pada manusia yang mengalami siklus normal


malam/siang, fungsi vital tubuh berubah dalam periode 24 jam.
Ritme ini dikenal sebagai ritme sirkadian dan dipengaruhi oleh
lingkungan. Mediator yang paling penting pada petunjuk ini
adalah melatonin, yaitu suatu hormon yang disekresi oleh
kelenjar pineal. Melatonin adalah neurohormon yang diproduksi
dalam otak yang membantu mengontrol irama sirkadian dan
mempromosikan tidur (Heffiner & Danny, 2008).

4. Tahapan tidur

Pada tes EEG, EMG, dan EOG dapat mengidentifikasi


perbedaan sinyal pada level otak, otot, dan aktivitas mata.
Normalnya, tidur dibagi menjadi dua yaitu nonrapid eye
movement (NREM) dan rapid eye movement (REM). Masa
NREM seseorang terbagi menjadi empat tahapan dan
memerlukan kira-kira 90 menit selama siklus tidur. Sementara
itu, tahapan REM adalah tahapan terakhir kira-kira 90 menit
sebelum tidur berakhir (Tarwoto & wartonah, 2015).

a. Tahapan tidur NREM.

1) NREM tahap 1

a) Tingkat transisi
b) Merespon cahaya

c) Berlangsung beberapa menit

d) Mudah terbangun dengan rangsangan

e) Aktivitas fisik, tanda vital, dan metabolisme menurun

f) Bila terbangun terasa sedang bermimpi

2) NREM tahap II

a) Periode suara tidur

b) Mulai relaksasi otot

c) Berlangsung 10 - 20 menit

d) Fungsi tubuh berlangsung lambat

e) Dapat dibangunkan dengan mudah

3) NREM tahap III

a) Awal tahap dari keadaan tidur nyenyak

b) Sulit dibangunkan

c) Relaksasi otot menyeluruh

d) Berlangsung 15 - 30 menit

4) NREM tahap IV

a) Tidur nyenyak

b) Sulit untuk dibangunkan, butuh stimulus intensif

c) Untuk restorasi dan istirahat, tonus otot menurun

d) Sekresi lambung menurun

e) Gerak bola mata cepat


b. Tahap tidur REM

1) Lebih sulit dibangunkan dibandingkan dengan tidur NREM.

2) Pada orang dewasa normal REM yaitu 20 - 25% dari tidur


malamnya.

3) Jika individu terbangun pada tidur REM, maka biasanya


terjadi mimpi.

4) Tidur REM penting untuk keseimbangan menta, emosi,


juga berperan dalam belajar, memori dan adaptasi.

Bagan 2.1 Siklus Tidur

Non Non REM


REM TahapII
Tahap I

Tidur Non REM


REM TahapIII

Non REM Non REM


TahapII TahapIV

Non REM
TahapIII

Selama tidur individu melewati tahap tidur NREM dan


REM. Sikus tidur yang komplet normalnya berlangsung selama
1,5 jam, dan setiap orang biasanya melalui empat hingga lima
siklus selama 7-8 jam tidur. Siklus tersebut dimulai dari tahap
NREM. Tahap NREM yang berlanjut ketahap REM. Tahap NREM I
-III berlangsung selama 30 menit, kemudian diteruskan ketahap
IV selama kurang lebih 20 menit. Setelah itu, individu kembali
melalui tahap III dan II selama 20 menit. Tahap I REM muncul
sesudahnya dan berlangsung selama 10 menit (Mubarak &
Chayatin, 2005).

5. Pola tidur normal

Pada pola tidur normal manusia menurut Tarwoto &


Wartonah (2015), sebagai berikut:

a. Neonatus sampai dengan 3 bulan.

1) Kira-kira membutuhkan 16 jam/hari

2) Mudah berespon terhadap stimulus

3) Pada minggu pertama kelahiran 50% adalah tahap REM

b. Bayi

1) Pada malam hari kira-kira tidur 8-10 jam

2) Usia 1 bulan sampai dengan 1 tahun kira-kira tidur 14


jam/hari

3) Tahap REM 20 - 30%

c. Toddler

1) Tidur 10 - 12 jam/hari

2) Tahap REM 25%

d. Prasekolah

1) Tidur 11 jam pada malam hari

2) Tahap REM 20%

e. Usia Sekolah

1) Tidur 10 jam pada malam hari


2) Tahap REM 18,5%

f. Remaja

1) Tidur 8,5 jam pada malam hari

2) Tahap REM 20%

g. Dewasa muda

1) Tidur 7 - 9 jam/hari

2) Tahap REM 20 - 25%

h. Usia dewasa pertengahan

1) Tidur ± 7 jam/hari

2) Tahap REM 20%

i. Lansia

1) Tidur ± 6 jam/hari

2) Tahap REM 20 - 25%

3) Tahap NREM IV menurun dan kadang-kadang absen

4) Sering terbangun pada malam hari

6. Kebutuhan tidur
Menurut Wahyudi & Wahid (2016), kebutuhan tidur
berdasarkan usia sebagai berikut:

Tabel 2.1 Kebutuhan Tidur


Kebutuhan
Usia Keterangan
Tidur/Hari
0 bulan - 1 bulan Neonatus 14 - 18 jam
1 bulan - 18 bulan Bayi 12 - 14 jam
18 bulan - 3 tahun Anak 11 - 12 jam
3 tahun - 6 tahun Pra sekolah 11 jam
6 tahun - 12 tahun Sekolah 10 jam
12 tahun -18 tahun Remaja 8,5 jam
18 tahun - 40
Dewasa muda 7 jam
tahun
40 tahun - 60
Paruh baya 7 jam
tahun
60 tahun ke atas Lansia 6 jam

7. Kualitas tidur

Kualitas tidur adalah kepuasan seseorang terhadap tidur,


sehingga seseorang tersebut tidak memperlihatkan perasaan
lelah, mudah terangsang, gelisah, lesu, apatis, kehitaman
disekitar mata, kelopak mata bengkak, konjungtiva merah, mata
perih, perhatian pecah-pecah, sakit kepala dan sering menguap
(Hidayat, 2006). Perempuan cenderung memiliki kualitas tidur
buruk dibandingkan laki-laki karena perempuan lebih sering
mengalami gangguan pada faktor psikis seperti stress atau
depresi. Perempuan menggunakan perasaan untuk
mengekspresikan sesuatu sehingga perempuan lebih sering
merasa takut, gelisa dan tertekan yang mengakibatkan stress
(Widya, 2010).
Kualitas tidur adalah suatu keadaan dimana tidur yang
dijalani seseorang individu menghasilkan kesegaran dan
kebugaran ketika terbangun. Kualitas tidur mencakup aspek
kuantitatif seperti durasi tidur, latensi tidur, serta aspek subjektif
seperti tidur dalam dan istirahat. Kualitas dan kuantitas tidur
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor psikologis, fisiologis
dan lingkungan dapat mengubah kualitas dan kuantitas tidur.
Kualitas tidak bergantung pada kuantitasnya namun dipengaruhi
oleh faktor yang sama. Kualitas tersebut dapat menunjukan
adanya kemampuan individu untuk tidur dan memperoleh
jumlah istirahat sesuai dengan kebutuhannya (Siregar, 2011).

Kualitas seseorang baik apabila tidak menunjukan tanda-


tanda kekurangan tidur dan tidak mengalami masalah dalam
tidurnya. Tanda-tanda kekurangan tidur dapat dibedakan
menjadi tanda fisik dan tanda psikologi. Tanda-tanda fisik akibat
kekurangan tidur antara lain ekspresi wajah (area gelap disekitar
mata, bengkak dikelopak mata, konjungtiva kemerahan dan
mata terlihat cekung), Kantuk yang berlebihan, tidak mampu
berkonsentrasi, terlihat tanda-tanda keletihan. Sedangkan tanda-
tanda psikologi antara lain menarik diri, apatis, merasa tidak
enak badan, malas, daya ingat menurun, bingung, halusinasi,
ilusi penglihatan dan kemampuan mengambil keputusan
menurun (Novianty, 2014).

C. Terapi Gangguan Tidur

1. Terapi farmakologi

Terapi farmakologi saat ini merupakan yang paling sering


digunakan untuk mengatasi masalah insomnia. Obat-obatan
sedatif atau hipotik dalam jangka panjang dapat mengganggu
tidur dan menyebabkan masalah yang lebih serius, satu
kelomok obat yang lebih aman adalah benzodiazepine karena
obat ini tidak menyebabkan depresi sistem saraf usat (SSP)
umum seperti sedative atau hipnotik (Saragih, 2010). Menurut
The NIH state-of-the-Science Conference obat hipnotik baru
seperti eszopiclone, ramelteon, zaleplon, zolpidem dan zolpidem
MR lebih efektif dan aman untuk lansia. Akan tetapi jika
digunakan dalam waktu jangka panjang dapat menimbulkan
efek samping seperti yang sering terjadi adalah bingung,
atakasia, sering terjatuh, retensi urin, konstipasi, dan hipotensi
postural. bahkan jika digunakan terus-menerus akan mengalami
ketergantungan (Soemardini, Suharsono dan Kusuma, 2013).

2. Terapi nonfarmakologi

Pemberian terapi nonfarmakologi juga dapat diberi pada


penderita insomnia, diantaranya dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut :

a. Terapi akupresur

Terapi akupresur dalam penelitian Majid (2014),


merupakan pengobatan melalui titik yang terletak di seluruh
tubuh, dekat dengan permukaan kulit dan terhubung satu
sama lain melalui jaringan yang komplek dari meridian.
Setiap titik akupresur tersebut mempunyai efek khusus pada
organ dan sistem tubuh tertentu. Penekanan pada titik
meridian jantung 7 (Shenmen) secara fisiologis akan
menstimulus peningkatan pengeluaran serotonin. Serotonin
akan berperan sebagai neurotransmitter yang membawa
sinyal ke otak untuk mengaktifkan kelenjar pineal
memproduksi hormon melatonin. Kemudian hormon
melatonin ini akan mempengaruhi suprachiasmatic nucleus
(SCN) di hipotalamus anterior otak dalam pengaturan ritme
sirkadian sehingga terjadi penurunan sleep latency, nocturnal
awakening, dan peningkatan total sleep time dan kualitas
tidur.

b. Terapi murottal Al-Qur’an

Murottal merupakan rekaman suara Al- Qur’an yang


dilagukan oleh seorang Qori’. Lantunan Al-Qur’an secara fisik
mengandung unsur suara manusia, suara manusia
merupakan instrumen penyembuhan yang menakjubkan dan
alat yang paling mudah dijangkau. Suara dapat menurunkan
hormon-hormon stres, mengaktifkan hormon endorfin alami,
meningkatkan perasaan rileks, dan mengalihkan perhatian
dari rasa takut, cemas dan tegang, memperbaiki sistem
kimia tubuh sehingga menurunkan tekanan darah serta
memperlambat pernafasan, detak jantung, denyut nadi, dan
aktivitas gelombang otak. Laju pernapasan yang lebih dalam
atau lebih lambat tersebut sangat baik menimbulkan
ketenangan, kendali emosi, pemikiran yang lebih dalam dan
metabolisme yang lebih baik sehingga seseorang memiliki
kemampuan untuk tidur nyenyak kembali (Heru, dalam
Sodikin 2012).

c. Terapi musik

Terapi musik dalam penelitian Merlianti (2014), terapi


musik adalah pengungkapan melalui gagasan melalui bunyi,
yang unsur dasarnya berupa melodi, irama, dan harmoni
dengan unsur pendukung berupa gagasan, sifat dan warna
bunyi. Ada beberapa jenis musik seperti pop, disco, rok and
roll dan lain-lain. Terapi musik ini dapat melatih otot-otot dan
pikiran menjadi rileks dengan cara yang cukup sederhana
seperti meditasi, relaksasi otot, mengurangi cahaya
penerangan dan memutar musik yang menyejukkan sebelum
tidur. Mendengarkan musik sampai saat ini menjadi metode
relaksasi yang sering dilakukan untuk mengatasi kesulitan
tidur. Keroncong misalnya, dengan alunan lembut iramanya,
tempo yang lamban mampu membangkitkan spirit tersendiri,
hati bahagia bila mendengarnya, hingga perasaan menjadi
tenang. Hal ini bisa mendorong untuk menjadikan musik
keroncong sebagai terapi untuk masalah insomnia.

d. Terapi modalitas : terapi musik

Terapi modalitas dalam penelitian Adriyani (2012),


terapi modalitas dalam ilmu keperawatan lebih dikenal
dengan terapi komplementer, terapi alternatif, terapi holistis,
terapi non biomedis, pengobatan intergratis atau perawatan
kesehatan, perawatan nonalopati, dan perawatan
nontradisional. Terapi modalitas merupakan metode
pemberian terapi yang menggunakan kemampuan fisik atau
elektrik. Terapi modalitas bermanfaat untuk mengobati
penderita insomnia.

e. Terapi dzikir

Terapi dzikir dalam penelitian Al-halaj (2014), dzikir


adalah semua amal atau perbuatan baik yang lahir maupun
batin, yang membawa seseorang untuk mengingat allah dan
mendekat (taqarrub) kepada-Nya, salah satu kegiatannya
adalah mengucapkan sesuatu secara berulang-ulang dalam
kondisi dan waktu tertentu. Terdapat kesamaan antara dzikir
dan meditasi, yaitu keduanya memfokuskan konsentrasi
pada satu titik, khusus untuk dzikir satu titik fokus
konsentrasinya adalah Allah. Membaca secara berulang-
ulang juga mempunyai manfaat terapeutik yang sama
layaknya meditasi dan latihan relaksasi, salah satunya
meningkatkan suasana hati dan menurunkan kecemasan
sehingga dapat meningkatkan kualitas tidur.

f. Terapi musik instrumental


Terapi Musik terdiri dari dua kata, yaitu “terapi” dan
“musik”. Kata “terapi” berkaitan dengan serangkaian upaya
yang dirancang untuk membantu atau menolong orang.
Biasanya kata tersebut digunakan dalam konteks masalah
fisik atau mental. Sedangkan, kata “musik” dalam terapi
musik digunakan untuk menjelaskan media yang digunakan
secara khusus dalam rangkaian terapi (Djohan, 2006).

Terapi musik merupakan penggunaan musik atau


elemen musik yang meliputi suara, irama, melodi, dan
harmoni sebagai sebuah aktivitas terapeutik yang
menggunakan musik sebagai media untuk memperbaiki,
memelihara, mengembangkan mental, fisik, dan kesehatan
emosi. Disamping kemampuan nonverbal, kreativitas dan
rasa yang alamiah dari musik, juga sebagai fasilitator untuk
menjalin hubungan, ekspresi diri, komunikasi, dan
pertumbuhan pada penggunanya. Pada tahap selanjutnya,
terapi musik difungsikan untuk memperbaiki kesehatan fisik,
interaksi sosial, hubungan interpersonal, ekspresi emosi, dan
meningkatkan kesadaran diri. Hal ini dikarenakan musik
memiliki beberapa kelebihan, seperti bersifat universal,
memberi ketenangan, rasa nyaman, menyenangkan, dan
terstruktur (Djohan, 2016).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), musik


merupakan ilmu atau seni menyusun nada atau suara dalam
urutan, kombinasi, dan hubungan temporal untuk
menghasilkan komposisi yang mempunyai kesatuan,
kesinambungan, nada atau suara yang disusun demikian
rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan keharmonisan,
terutama yang menggunakan alat-alat yang dapat
menghasilkan bunyi-bunyi itu. Musik menjadi rangkaian nada
-nada dan ritmik yang disusun secara teratur dan harmonis.
Keteraturan tersebut membuat pendengar menikmati musik.
Jika suara berasal dari alat musik maka musik disebut
sebagai musik instrumental. Namun jika dilengkapi dengan
vokal manusia maka dinamakan musik vokal. Sedangkan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia instrumental
merupakan tentang lagu yang dibawakan dengan alat-alat
musik dan tidak dinyanyikan.
Musik instrumental adalah merupakan nada-nada dari
suara yang disusun sedemikian rupa dan dikombinasikan
dari berbagai sumber suara yang diambil dari satu alat musik
atau lebih tanpa ada vokal. Musik instrumental yang
digunakan dalam penelitian ini adalah yiruma (yiruma adalah
nama seorang musisi yang memainkan musik instrumental
menggunakan alat musik piano). Musik instrumental juga
melibatkan hati, jiwa, dan pikiran baik bagi para pendengar
atau pemain musik itu sendiri. Musik lembut dan teratur
seperti instrumental merupakan musik yang dapat
digunakan untuk terapi. Vibrasi atau getaran dari bunyi yang
dihasilkan dari alat musik bermanfaat untuk mempengaruhi
perubahan fisiologi, menurunkan tekanan darah, detak
jantung, ketegangan otot, ACTH, sehingga pendengarnya
akan menjadi lebih rileks (Djohan, 2016).

Menurut ahli dari pusat gangguan tidur di Amerika


menyatakan bahwa terapi musik yang diberikan selama 30-
60 menit setiap hari menjelang waktu tidur, secara teratur
selama satu minggu cukup efektif untuk meningkatkan
kualitas tidur atau mengurangi gangguan tidur (Djohan,
2006).

Secara fisiologis vibrasi dari bunyi musik yang


dihasilkan masuk dari telinga, melalui serangkaian proses
tersebut vibrasi diteruskan oleh sistem saraf menuju ke
otak, kemudian otak akan menginterpretasikan menjadi
suatu hal yang positif. Vibrasi dari bunyi yang dihasilkan
dapat mempengaruhi peningkatkan hormon serotonin
(Djohan, 2016). Serotonin akan berperan sebagai
neurotransmiter yang membawa sinyal ke otak untuk
menstimulus kelenjar pineal untuk memproduksi hormon
melatonin. Kemudian hormon melatonin ini akan
mempengaruhi suprachiasmatic nucleus (SCN) di
hipotalamus anterior otak dalam pengaturan ritme sirkadian
sehingga terjadi penurunan sleep latency, nocturnal
awakening, dan peningkatan total sleep time dan kualitas
tidur (Iswari & Wahyuni, 2013).

D. Merokok

1. Definisi Rokok

Rokok merupakan hasil olahan tembakau yang terbungkus,


dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tabacum, Nicotiana Rustica
dan spesies lainnya atau sintetisnya yang mengandung nikotin
dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan (Heryani, 2014).

2. Kandungan Rokok

Menurut Muhibah (2011), ada beberapa racun rokok yang


paling utama yaitu :

a. Nikotin

Nikotin dapat meningkatkan adrenalin yang membuat


jantung berdebar lebih cepat dan bekerja lebih keras,
frekuensi jantung meningkat dan kontraksi jantung
meningkat sehingga menimbulkan tekanan darah
meningkat.
b. Tar

Tar merupakan substansi hidrokarbon yang bersifat lengket


dan menempel pada paru-paru, mengandung bahan-bahan
karsinogen.

c. Karbon monoksida (CO)

Merupakan gas berbahaya yang terkandung dalam asap


pembuangan kendaraan. CO menggantikan 15% oksigen
yang seharusnya dibawa oleh sel-sel darah merah. CO juga
dapat merusak lapisan dalam pembuluh darah dan
meninggikan endapan lemak pada dinding pembuluh darah,
menyebabkan pembuluh darah tersumbat.

3. Dampak Rokok Bagi Kesehatan

Menurut Octafrida (2011), merokok dapat menyebabkan


penyakit dan memperburuk kesehatan seperti :

a. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)


PPOK sudah terjadi pada 15% perokok. Individu yang
merokok mengalami penurunan pada Forced Expiratory
Volume in second (FEV1), dimana kira-kira hampir 90%
perokok berisiko menderita PPOK.
b. Pengaruh Rokok terhadap Gigi

Hubungan antara merokok dengan kejadian karies,


berkaitan dengan penurunan fungsi saliva yang berperan
dalam proteksi gigi. Risiko terjadinya kehilangan gigi pada
perokok, tiga kali lebih tinggi dibanding pada bukan perokok.

c. Pegaruh Rokok Terhadap Mata


Rokok merupakan penyebab penyakit katarak nuklear, yang
terjadi di bagian tengah lensa. Meskipun mekanisme
penyebab tidak diketahui, banyak logam dan bahan kimia
lainnya yang terdapat dalam asap rokok dapat merusak
protein lensa.
d. Pengaruh Terhadap Sistem Reproduksi
Merokok akan mengurangi terjadinya konsepsi, fertilitas
pria maupun wanita. Pada wanita hamil yang merokok, anak
yang dikandung akan mengalami penuruan berat badan,
lahir prematur, bahkan kematian janin.

E. ASUHAN KEPERAWATAN

Proses keperawatan adalah metode ilmiah yang digunakan


secara sistimatis untuk mengkaji dan menentukan masalah
kesehatan dan keperawatan keluarga, melaksanakan asuhan
keperawatan, serta implementasi keperawatan terhadap keluarga
sesuai rencana yang telah direncanakan atau dibuat serta
mengevaluasi hasil asuhan keperawatan yang telah dilaksanakan .

1. Pengkajian
a. Penjajakan pertama
Tujuan penjajakan tahap pertama adalah untuk
mengetahui masalah yang dihadapi oleh keluarga.
1) Pengumpulan data
Merupakan informasi yang diperlukan untuk mengukur
masalah kesehatan, status kesehatan, kesanggupan
keluarga dalam memberikan perawatan pada anggota
keluarga .
a) Struktur dan sifat anggota keluarga
(a) Anggota–anggota keluarga dan hubungan
dengan kepala keluarga.
(b) Data demografi : umur, jenis kelamin, kedudukan
dalam keluarga.
(c) Tempat tinggal masing-masing anggota keluarga,
(d) Macam struktur anggota keluarga apakah
matrikat,patrikat berkumpul atau menyebar.
(e) Anggota keluarga yang menonjol dalam
pengambilan keputusan.
(f) Hubungan dengan anggota keluarga termasuk
dalam perselisihan yang nyata ataupun tidak
nyata.
(g) Kegiatan dalam hidup sehari-hari,kebiasaan
tidur,kebiasaan makan dan penggunaan waktu
senggang
b) Faktor sosial budaya dan ekonomi
(1) Pekerjaan
(2) Penghasilan
(3) Kesanggupan untuk memenuhi kebutuhan primer
(4) Jam kerja ayah dan ibu
(5) Siapa yng menentukan keuangan dan
penggunaannya
c) Faktor lingkungan
(1) Perumahan
(a) Luas rumah
(b) Pengaturan dalam rumah
(c) Persediaan sumber air
(d) Adanya bahan kecelakaan
(e) Pembuangan sampah
(2) Macam lingkungan / daerah rumah
(3) Fasilitas social dan lingkungan
(4) Fasilitas transportasi dan kesehatan
d) Riwayat kesehatan
(1) Riwayat kesehatan dari tiap anggota keluarga
(2) Upaya pencegahan terhadap penyakit
(3) Sumber pelayanan kesehatan
(4) Perasepsi keluarga terhadap peran pelayanan
dari petugas
kesehatan.
(5) Pengalaman yang lalu dari petugas kesehatan.
e) Cara pengumpulan data
Oservasi langsung : dapat mengetahui keadaan
secara langsung.
1. Keadaan fisik dari tiap anggota keluarga.
2. Komunikasi dari tiap anggota keluarga
3. Peran dari tiap anggota keluarga
4. Keadaan rumah dan lingkungan
Wawancara dapat mengetahui hal-hal :
1. Aspek fisik
2. Aspek mental
3. Sosial budaya
4. Ekonomi
5. Kebiasaan
6. Lingkungan
Studi dokumentasi antara lain
1. Perkembangan kesehatan anak
2. Kartu keluarga
3. Catatan kesehatan lainnya
Dilakukan terhadap anggota keluarga yang
mengalami masalah kesehatan dan keperawatan
antara lain :
1. Tanda-tanda penyakit
2. Kelainan organ tubuh

2. Analisa data
Analisa data bertujuan untuk mengetahui masalah
kesehatan yang dialami oleh keluarga. Dalam menganalisis
data dapat menggunakan Typologi masalah dalam family
healt care.
Permasalahan dapat dikategorikan sebagai berikut :
a) Ancaman kesehatan adalah : keadaan yang dapat
memungkinkan terjadinya penyakit, kecelakaan atau
kegagalan dalam mencapai potensi
kesehatan. Contoh :
(1) Kebiasaan merokok yang susah di hilangkan, padahal
klien memiliki riwayat TB Paru
(2) Masalah Karies gigi karena kurangnya motivasi
keluarga untuk rajin merawat gigi dan mulut
b) Kurang atau tidak sehat adalah : kegagalan dalam
memantapkan kesehatan.
Contoh:
(1) Adakah didalam keluarga yang merokok
(2) Siapakah yang menderita karies gigi
c) Krisis adalah : saat- saat keadaan menuntut terlampau
banyak dari indivdu atau keluarga dalam hal penyesuaian
maupun sumber daya mereka.
Contoh :
Adakah anggota keluarga yang meninggal akibat
kebiasaan merokok berlebihan.

3. Penentuan prioritas masalah


Didalam menentukan prioritas masalah kesehatan
keluarga menggunakan sistim scoring berdasarkan
tipologi masalah dengan pedoman sebagai berikut :
No Kriteria Skala Bobot Skoring Rasional
1 Sifat Masalah
- Aktual 3
- Resiko 2 1
- Potensial/ weliness 1
2 Kemungkinan
Masalah dapat
diubah 2

- Mudah 1 2

- Sebagian 0
- Tidak dapat
3 Potensial Masalah
untuk dicegah
- Tinggi 3 1

- Cukup 2
- Rendah 1
4 Menonjolnya Masalah
- Segera 2 1
- Tidak perlu segera 1

- Tidak dirasakan 0
Total

Penjajakan pada tahap kedua


Tahap ini menggambarkan sampai dimana keluarga
dapat melaksanakan tugas-tugas kesehatan yang
berhubungan dengan ancaman kesehatan, kurang atau
tidak sehat dan krisis yamg dialami oleh keluarga yang
didapat pada penjajakan tahap pertama.
Pada tahap kedua menggambarkan ketidak mampuan
keluarga untuk melaklasanakan tugas-tugas kesehatan
serta cara pemecahan masalah yang dihadapi. Karena
ketidakmampuan keluarga dalam melaksanakan tugas-
tugas kesehatan dan keperawatan, maka dapat
dirumuskan diagnosa keperawatan secara umum pada
keluarga yang merokok dan karies gigi antara lain :
1) Ketidaksanggupan keluarga mengenal masalah yang
akan di timbulkan oleh baya merokok berhubungan
dengan ketidaktahuan tentang bahaya merokok
2) Ketidak mampuan keluarga memberikan motivasi untuk
rajin dalam menggosok gigi
3) Keitdaksanggupan memelihara lingkungan rumah yang
dapat mempengaruhi kesehatan keluarga berhubungan
dengan tadak dapat melihat keuntungan dan manfaat
pemeliharaan lingkungan.
4) Ketidakmampuan menggunakan sumber yang ada di
masyarakat guna memelihara kesehatan berhubungan
dengan kurangnya pengetahuan klien dan keluarga
tersedianya fasilitas kesehatan seperti JPS, dana sehat
dan tidak memahami manfaatnya.

4. Perencanaan
Rencana keperawatan keluarga adalah sekumpulan
tindakan keperawatan yang ditentukan oleh perawat untuk
dilaksanakan dalam memecahkan masalah kesehatan dan
keperawatan yang telah diidentifikasi (Nasrul Effendi,2010).
Rencana tindakan dari masing-masing diagnosa keperawatan
khusus diet pada klien hipertensi adalah :
a. Ketidakmampuan mengenal masalah Bahaya merokok
penyebab terjadinya TB paru ataupun penyakit lainnya
berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang
bahaya merokok.
1) Tujuan
Keluarga mampu mengenal bahaya merokok.
2) Kriteria hasil
a) Keluarga mampu menyebutkan secara sederhana
bahan berbahaya yang terkandung di dalam rokok
yang membahayakan kesehatan.
b) Keluarga dapat memahami danmampu mengambil
tindakan sesuai anjuran.
3) Rencana tindakan
a) Beri penjelasan kepada keluarga cara menyikat
gigi yang baik dan benar.
b) Beri penjelasan kepada klien dan keluarga perlunya
pemeliharaan kesehatan dalam keluarga.
4) Rasional
a) Dengan diberikan penjelasan diharapkan keluarga
menimbulkan peresepsi yang negative sehingga
dapat dijadikan motivasi untuk mengenal masalah
khususnya bahaya merokok dan karies gigi dalam
keluarga

5) Pelaksanaan
Pelaksanaan asuhan keperawatan pada
anggota keluarga yang menderita hipertensi sesuai
rencana yang telah disusun.
Pada peleksanaan asuhan keperawatan keluarga dapat
dilaksanakan antara lain :
a) Deteksi dini kasus baru.
b) Kerja sama lintas program dan lontas sektoral
c) Melakukan rujukan
d) Bimbingan dan penyuluhan.

5. Evaluasi
Penilaian adalah tahap yang menentukan apakah
tujuan tercapai (out put) dan penilaian selalu berkaitan
dengan tujuan.Evaluasi juga dapat meliputi penilaian input
dan porses.
Evaluasi sebagai suatu proses yang dipusatkan pada
beberapa dimensi :
a) Bila evaluasi dipusatkan pada tujuan kita
memperhatikan hasil dari tindakan keperawatan.
b) Bila evaluasi digunakan pada ketepatgunaan
(effisiensi), maka dimensinya dapat dikaitkan dengan
biaya, waktu, tenaga dan bahan.
c) Kecocokan (Apprioriatenes) dari tindakan
keperawatan adalah kesanggupan dari tindakan
keperawatan untuk mengatasi masalah.
d) Kecukupan (Adecuacy) dari tindakan keperawatan
(Family Health)

Anda mungkin juga menyukai