2. Batasan Lansia
3) Usia lanjut beresiko yaitu usia 70 tahun ke atas atau usia 60 tahun ke
atas dengan masalah kesehatan.
3. Klasifikasi Lansia
a) Pralansia (prasenilis), seseorang yang berada pada usia antara 45-59 tahun
c) Lansia yang beresiko tinggi, seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih
atau seseorang lansia yang berusia 60 tahun atau lebih yang memiliki
masalah kesehatan
d) Lansia potensial, lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan atau
melakukan kegiatan yang menghasilkan barang atau jasa
e) Lansia tidak potensial, lansia yang tidak berdaya atau tidak bisa mencari
nafkah sehingga dalam kehidupannya bergantung pada orang lain
4. Ciri-Ciri Lansia
Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor
psikologis. Motivasi memiliki peran yang penting dalam kemunduran
pada lansia. Misalnya lansia yang memiliki motivasi yang rendah dalam
melakukan kegiatan, maka akan mempercepat proses kemunduran fisik,
akan tetapi ada juga lansia yang memiliki motivasi yang tinggi, maka
kemunduran fisik pada lansia akan lebih lama terjadi.
b. Lansia memiliki status kelompok minoritas.
Kondisi ini sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan
terhadap lansia dan diperkuat oleh pendapat yang kurang baik, misalnya
lansia yang lebih senang mempertahankan pendapatnya maka sikap sosial
di masyarakat menjadi negatif,tetapi ada juga lansia yang mempunyai
tenggang rasa kepada orang lain sehingga sikap social masyarakat
menjadi positif.
c. Menua membutuhkan perubahan peran.
Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami
kemundurandalam segala hal. Perubahan peran pada lansia sebaiknya
dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan atas dasar tekanan dari
lingkungan. Misalnya lansia menduduki jabatan sosial di masyarakat
sebagai Ketua RW, sebaiknya masyarakat tidak memberhentikan lansia
sebagai ketua RW karena usianya.
5. Perkembangan Lansia
Usia lanjut merupakan usia yang mendekati akhir siklus kehidupan
manusia di dunia. Tahap ini dimulai dari 60 tahun sampai akhir kehidupan.
Lansia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Semua orang akan
mengalami proses menjadi tua (tahap Penuaan). Masa tua merupakan masa
hidup manusia yang terakhir, dimana pada masa ini seseorang mengalami
kemunduran fisik, mental dan sosial sedikit demi sedikit sehingga tidak dapat
melakukan tugasnya sehari-hari lagi (tahap penurunan). Penuaan merupakan
perubahan kumulatif pada makhluk hidup, termasuk tubuh, jaringan dan sel,
yang mengalami penurunan kapasitas fungsional. Pada manusia, penuaan
dihubungkan denganperubahan degeneratif pada kulit, tulang, jantung,
pembuluh darah, paru-paru, saraf dan jaringan tubuh lainnya. Dengan
kemampuan regeneratif yang terbatas, mereka lebih rentan terhadap berbagai
penyakit, sindroma dan kesakitan dibandingkan dengan orang dewasa lain.
Untuk menjelaskan penurunan pada tahap ini, terdapat berbagai perbedaan
teori, namun para ahli pada umumnya sepakat bahwa proses ini lebih banyak
ditemukan pada faktor genetik.
a) sistem Indera
Perubahan sistem penglihatan pada lansia serta kaitannya dengan presbiopi.
Lensa kehilangan elastisitas dan kaku. Otot penyangga lensa lemah,
ketajaman penglihatan dan daya akomodasi dari jarak jauh atau dekat
berkurang, penggunaan kacamata dan sistem penerangan yang baik dapat
digunakan (Azizah, 2011).
b) Sistem pendengaran
1. Pengertian Mobilitas
Mobilitas atau mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk bergerak secara
mudah, bebas dan teratur untuk mencapai suatu tujuan, yaitu untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya baik secara mandiri maupun dengan bantuan orang lain dan
hanya dengan bantuan alat (Widuri, 2010). Mobilisasi merupakan kemampuan
seseorang untuk bergerak bebas, mudah, teratur, dan mempunyai tujuan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehat. Kehilangan kemampuan untuk bergerak
menyebabkan ketergantungan dan ini membutuhkan tindakan keperawatan
(Ambarwati, 2014).
2. Jenis Mobilitas
Menurut Hidayat (2009), ada 2 jenis mobilitas yaitu :
a. Mobilitas Penuh
Merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara penuh dan bebas
sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan menjalankan peran sehari – hari.
Mobilitas penuh ini merupakan fungsi saraf motorik volunter dan sensorik untuk
dapat mengontrol seluruh area tubuh seseorang.
b. Mobilitas sebagian
Merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan batasan jelas dan tidak
mampu bergerak secara bebas karena dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik
dan sensorik pada area tubuhnya. Hal ini dapat dijumpai pada kasus cedera atau
patah tulang dengan pemasangan traksi. Pasien para plegi dapat mengalami
mobilitas sebagian pada ekstremitas bawah karena kehilangan kontrol motorik
dan sensorik. Mobilitas sebagian ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu :
- Mobilitas sebagian temporer
Merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang
sifatnya sementara. Hal tersebut dapat disebabkan oleh trauma reversibel pada
sistem muskuloskletal, contohnya adalah adanya sendi dan tulang.
- Mobilitas sebagian permanen
Merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang
sifatnya menetap. Hal tersebut disebabkan oleh rusaknya sistem saraf yang
reversibel, contohnya terjadinya hemiplegia karena stroke, paraplegi karena
cedera tulang belakang, poliomielitis karena terganggunya sistem saraf
motorik dan sensorik.
3. Tujuan Mobilitas
Menurut Ambarwati, 2014 mobilisasi diperlukan untuk meningkatkan kemandirian
diri, meningkatkan kesehatan, memperlambat proses penyakit khususnya penyakit
degeneratif, dan untuk aktualisasi diri (harga diri dan citra tubuh)
4. Faktor Yang Mempengaruhi Mobilitas
Menurut Hidayat (2009), mobilitas seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya :
a. Gaya Hidup
Perubahan gaya hidup dapat memengaruhi kemampuan mobilitas seseorang
karena gaya hidup berdampak pada perilaku atau kebiasaan sehari – hari. Hal ini
terjadi karena adanya perubahan gaya hidup terutama orang muda perkotaan
modern, seperti mengkonsumsi makanan siap saji (fast food) yang mengandung
kadar lemak tinggi, kebiasaan merokok, minuman beralkohol, kerja berlebihan,
kurang berolahraga dan stres (Junaidi, 2011).
b. Proses penyakit / cedera
Proses penyakit dapat memengaruhi kemampuan mobilitas karena dapat
memengaruhi fungsi sistem tubuh.
c. Kebudayaan
Kemampuan melakukan mobilitas dapat juga dipengaruhi kebudayaan. Sebagai
contoh, orang yang memiliki budaya sering berjalan jauh memiliki kemampuan
mobilitas yang kuat, sebaliknya ada orang yang mengalami gangguan mobilitas
(sakit) karena adat dan budaya tertentu dilarang untuk beraktivitas.
d. Tingkat energi
Energi adalah sumber untuk melakukan mobilitas. Agar seseorang dapat
melakukan mobilitas dengan baik, dibutuhkan energi yang cukup.
e. Usia dan Status Perkembangan
Terdapat perbedaan kemampuan mobilitas pada tingkat usia yang berbeda. Hal ini
dikarenakan kemampuan atau kematangan fungsi alat gerak sejalan dengan
perkembangan usia.
5. Pengertian Gangguan Mobilitas Fisik
Gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih
ekstremitas secara mandiri (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017). Menurut North
American Nursing Diagnosis Association (NANDA) gangguan mobilitas fisik atau
immobilisasi merupakan suatu kedaaan dimana individu yang mengalami atau
berisiko mengalami keterbatasan gerakan fisik (Kozier, Erb, Berman & Snyder,
2010). Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan pada pergerakan fisik tubuh satu
atau lebih ekstremitas secara mandiri dan terarah (Nurafif & Hardi, 2015).
6. Etiologi
Faktor penyebab terjadinya gangguan mobilitas fisik yaitu :
a. Penurunan kendali otot
b. Penurunan kekuatan otot
c. Kekakuan sendi
d. Kontraktur
e. Gangguan muskuloskletal
f. Gangguan neuromuskular
g. Keengganan melakukan pergerakan (Tim Pokja DPP PPNI, 2017)
7. Tanda Dan Gejala
Adapun tanda dan gejala pada gangguan mobilitas fisik menurut Tim Pokja SDKI
DPP PPNI (2017) yaitu :
a. Tanda dan gejala mayor
Tanda dan gejala mayor subjektif dari gangguan mobilitas fisik, yaitu mengeluh
sulit menggerakkan ekstremitas. Kemudian, untuk tanda dan gejala mayor
objektifnya, yaitu kekuatan otot menurun, dan rentang gerak menurun.
b. Tanda dan gejala minor
Tanda dan gejala minor subjektif dari gangguan mobilitas fisik, yaitu nyeri saat
bergerak, enggan melakukan pergerakan, dan merasa cemas saat bergerak.
Kemudian, untuk tanda dan gejala minor objektifnya, yaitu sendi kaku, gerakan
tidak terkoordinasi, gerakan terbatas, dan fisik lemah
8. Dampak Gangguan Mobilitas Fisik
Menurut Widuri (2010) gangguan mobilitas fisik akan mengakibatkan individu
mengalami immobilisasi yang dapat mempengaruhi sistem tubuh, seperti :
a. Perubahan metabolisme
Kecepatan metabolisme dalam tubuh akan turun dengan dijumpainya basal
metabolisme rate (BMR) yang akibatnya energi yang digunakan untuk perbaikan
sel-sel tubuh berkurang sehingga dapat mempengaruhi gangguan oksigenasi sel.
Dampak lainnya seperti anabolisme akan menurun sedangkan katabolisme akan
meningkat yang berisiko meningkatkan gangguan metabolisme.
b. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
Cairan dan elektrolit yang tidak seimbang akan mengakibatkan persediaan protein
menurun dan konsentrasi protein serum berkurang yang dapat mengganggu
kebutuhan cairan tubuh. Selain itu, berkurangnya perpindahan cairan dari
intravaskuler menuju interstisial dapat menyebabkan edema.
c. Gangguan pengubahan zat gizi
Pemasukan protein dan kalori yang menurun dapat menyebabkan pengubahan zat-
zat makanan pada tingkat sel menurun sehingga tidak cukup untuk melaksanakan
aktivitas metabolisme.
d. Gangguan fungsi gastrointestinal
Makanan yang dicerna akan menurun sehingga dapat menyebabkan keluhan,
seperti perut kembung, mual, serta nyeri lambung yang berdampak pada proses
eliminasi.
e. Perubahan sistem pernapasan
Dampak yang ditimbulkan pada sistem pernapasan, antar lain kadar hemoglobin
menurun, ekspansi paru menurun, dan otot mengalami kelemahan yang
mengganggu proses metabolisme.
f. Perubahan kardiovaskular
Perubahan pada sistem kardiovaskuler berupa hipotensi artostatik, meningkatnya
kerja jantung, serta terjadi pembentukan trombus.
g. Perubahan sistem muskuloskeletal
Dampak yang ditimbulkan, antara lain gangguan muskular yang berupa
menurunnya massa otot yang menyebabkan turunnya kekuatan otot serta atropi
pada otot, gangguan skeletal berupa kontraktur sendi serta osteoporosis.
h. Perubahan sistem integumen
Pada sistem integumen akan terjadi penurunan elastisitas kulit, terjadi iskemia
serta nekrosis jaringan superfisial ditandai dengan adanya luka dekubitus akibat
tekanan dan sirkulasi ke jaringan menurun.
i. Perubahan eliminasi
Kurangnya asupan dan penurunan curah jantung mengakibatkan penurunan
jumlah urine. j. Perubahan perilaku Seseorang akan mengalami perubahan peran,
konsep diri, kecemasan yang berdampak ke perilaku yang ditimbulkan, seperti
rasa bermusuhan, bingung, cemas, emosional yang tinggi, depresi, siklus tidur
berubah, serta penurunnya mekanisme koping.
9. Komplikasi
Menurut Garrison (dalam Bakara D.M & Warsito S, 2016) gangguan mobilitas fisik
dapat menimbulkan komplikasi, yaitu abnormalitas tonus, orthostatic hypotension,
deep vein thrombosis, serta kontraktur. Selain itu, komplikasi yang dapat terjadi
adalah pembekuan darah yang mudah terbentuk pada kaki yang lumpuh
menyebabkan penimbunan cairan daan pembengkaan. Kemudian, juga menyebabkan
embolisme paru yaitu sebuah bekuan yang terbentuk dalam satu arteri yang mengalir
ke paru. Selanjutnya yaitu dekubitus. Bagian yang biasa mengalami memar adalah
pinggul, pantat, sendi kaki dan tumit. Bila memar ini tidak dirawat akan menjadi
infeksi. Atrofi dan kekakuan sendi juga menjadi salah satu komplikasi dari gangguan
mobilitas fisik. Hal itu disebabkan karena kurang gerak dan mobilisasi. Komplikasi
lainnya, seperti disritmia, peningkatan tekanan intra cranial, kontraktur, gagal nafas,
dan kematian (Andra, Wijaya, Putri , 2013).
10. Penatalaksanaan ROM
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan masalah gangguan
mobilitas fisik yaitu dengan memberikan latihan rentang gerak. Latihan rentang gerak
yang dapat diberikan salah satunya yaitu dengan latihan Range of Motion (ROM)
yang merupakan latihan gerak sendi dimana pasien akan menggerakkan masing-
masing persendiannya sesuai gerakan normal baik secara pasif maupun aktif. Range
of Motion (ROM) pasif diberikan pada pasien dengan kelemahan otot lengan maupun
otot kaki berupa latihan pada tulang maupun sendi dikarenakan pasien tidak dapat
melakukannya sendiri yang tentu saja pasien membutuhkan bantuan dari perawat
ataupun keluarga. Kemudian, untuk Range of Motion (ROM) aktif sendiri merupakan
latihan yang dilakukan sendiri oleh pasien tanpa membutuhkan bantuan dari perawat
ataupun keluarga. Tujuan Range of Motion (ROM) itu sendiri, yaitu mempertahankan
atau memelihara kekuatan otot, memelihara mobilitas persendian, merangsang
sirkulasi darah, mencegah kelainan bentuk (Potter & Perry, 2012).
SUMBER:
Andormoyo, S. (2013). Konsep & Proses Keperawatan Nyeri.
Yogyakarta: Ruzz Media.Asmadi (2008). Konsep dasar
keperawatan. Jakarta: EGC
Aspiani, R.Y. (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gerontik.
Jakarta: Trans Info Media.
Lukman., & Ningsih, N. (2013). Asuhan Keperawatan pada Klien
dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba
Medika
Mubarak, W.I., Lilis, I., & Joko S. (2015). Buku Ajar Ilmu Keperawatan Dasar (hlm.
3-24). Jakarta: Salemba Medika.
Gabrielle, F.J. (1998). Fisika Kedokteran. Jakarta: EGC.
Azizah, L.M. (2011). Keperawatan Usia Lanjut, Gramedia Pustaka Utama.
Depkes RI (2005). Pedoman pembinaan Kesehatan Lanjut Usia. Jakarta.
Kemenkes RI (2014).Situasi dan Analisis Lanjut Usia. Pusat Data dan Informasi
Kemenkes RI. Jakarta.
Nugroho, W. (2012). Keperawatan Gerontik, ed. 2. Jakarta: EGC. Notoatmodjo, S.
(2007). Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. Jakarta: EGC. Padila. (2013). Buku
Ajar Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Nusa Medika.
Ratnawati, E. (2017). Asuhan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Pustaka Baru
Press.
Siti Nur Kholifah. (2016). Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan Gerontik. Jakarta
Selatan.
Sunarti, dkk. (2019). Prinsip Dasar Kesehatan Lanjut Usia (Geriatri). Malang: UB
Press.
Undang-Undang No 13 (1998). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13
Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia.