Anda di halaman 1dari 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Lansia


1. Definisi Lansia
Lansia merupakan proses penuaan dengan bertambahnya usia individu
yang ditandai dengan penuruna fungsi organ tubuh seperti otak, jantung, hati
dan ginjal serta peningkatan kehilangan jaringan aktif tubuh berupa otot-otot
tubuh. Penurunan fungsi organ tubuh pada lansia akibat dari berkurangnya
jumlah dan kemampuan jaringan tubuh untuk mempertahankan fungsi secara
normal menghilang, sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan
memperbaiki kerusakan yang diderita (Fatimah, 2010).
Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.
Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-
angsurmengakibatkan perubahan kumulatif, merupakan proses menurunnya
daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh.
Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaaan yang terjadi di dalam
kehidupan manusia.
Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai
dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi
tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap
kehidupan, yaitu anak, dewasa dan tua (Nugroho, 2006).

2. Batasan Lansia

a) WHO (1999) menjelaskan batasan lansia adalah sebagai berikut :

1) Usia lanjut (elderly) antara usia 60-74 tahun,

2) Usia tua (old) :75-90 tahun, dan

3) Usia sangat tua (very old) adalah usia > 90 tahun.

b) Depkes RI (2005) menjelaskan bahwa batasan lansia dibagi menjadi


tiga katagori, yaitu:
1) Usia lanjut presenilis yaitu antara usia 45-59 tahun,

2) Usia lanjut yaitu usia 60 tahun ke atas,

3) Usia lanjut beresiko yaitu usia 70 tahun ke atas atau usia 60 tahun ke
atas dengan masalah kesehatan.
3. Klasifikasi Lansia

Depkes RI (2003) mengklasifikasi lansia dalam kategori berikut :

a) Pralansia (prasenilis), seseorang yang berada pada usia antara 45-59 tahun

b) Lansia, seseorang yang berusia 60 tahun lebih

c) Lansia yang beresiko tinggi, seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih
atau seseorang lansia yang berusia 60 tahun atau lebih yang memiliki
masalah kesehatan
d) Lansia potensial, lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan atau
melakukan kegiatan yang menghasilkan barang atau jasa
e) Lansia tidak potensial, lansia yang tidak berdaya atau tidak bisa mencari
nafkah sehingga dalam kehidupannya bergantung pada orang lain

4. Ciri-Ciri Lansia

Ciri-ciri lansia sebagai berikut:

a. Lansia merupakan periode kemunduran.

Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor
psikologis. Motivasi memiliki peran yang penting dalam kemunduran
pada lansia. Misalnya lansia yang memiliki motivasi yang rendah dalam
melakukan kegiatan, maka akan mempercepat proses kemunduran fisik,
akan tetapi ada juga lansia yang memiliki motivasi yang tinggi, maka
kemunduran fisik pada lansia akan lebih lama terjadi.
b. Lansia memiliki status kelompok minoritas.
Kondisi ini sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan
terhadap lansia dan diperkuat oleh pendapat yang kurang baik, misalnya
lansia yang lebih senang mempertahankan pendapatnya maka sikap sosial
di masyarakat menjadi negatif,tetapi ada juga lansia yang mempunyai
tenggang rasa kepada orang lain sehingga sikap social masyarakat
menjadi positif.
c. Menua membutuhkan perubahan peran.
Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami
kemundurandalam segala hal. Perubahan peran pada lansia sebaiknya
dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan atas dasar tekanan dari
lingkungan. Misalnya lansia menduduki jabatan sosial di masyarakat
sebagai Ketua RW, sebaiknya masyarakat tidak memberhentikan lansia
sebagai ketua RW karena usianya.

d. Penyesuaian yang buruk pada lansia.

Perlakuan yang buruk terhadap lansia membuat mereka cenderung


mengembangkan konsep diri yang buruk sehingga dapat memperlihatkan
bentuk perilaku yang buruk. Akibat dari perlakuan yang buruk itu
membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk pula. Contoh: lansia yang
tinggal bersama keluarga sering tidak dilibatkan untuk pengambilan
keputusan karena dianggap pola pikirnya kuno, kondisi inilah yang
menyebabkan lansia menarik diri dari lingkungan, cepat tersinggung dan
bahkan memiliki harga diri yang rendah.

5. Perkembangan Lansia
Usia lanjut merupakan usia yang mendekati akhir siklus kehidupan
manusia di dunia. Tahap ini dimulai dari 60 tahun sampai akhir kehidupan.
Lansia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Semua orang akan
mengalami proses menjadi tua (tahap Penuaan). Masa tua merupakan masa
hidup manusia yang terakhir, dimana pada masa ini seseorang mengalami
kemunduran fisik, mental dan sosial sedikit demi sedikit sehingga tidak dapat
melakukan tugasnya sehari-hari lagi (tahap penurunan). Penuaan merupakan
perubahan kumulatif pada makhluk hidup, termasuk tubuh, jaringan dan sel,
yang mengalami penurunan kapasitas fungsional. Pada manusia, penuaan
dihubungkan denganperubahan degeneratif pada kulit, tulang, jantung,
pembuluh darah, paru-paru, saraf dan jaringan tubuh lainnya. Dengan
kemampuan regeneratif yang terbatas, mereka lebih rentan terhadap berbagai
penyakit, sindroma dan kesakitan dibandingkan dengan orang dewasa lain.
Untuk menjelaskan penurunan pada tahap ini, terdapat berbagai perbedaan
teori, namun para ahli pada umumnya sepakat bahwa proses ini lebih banyak
ditemukan pada faktor genetik.

6. Perubahan-perubahan yang Terjadi pada Lansia


Semakin bertambahnya umur manusia, terjadi proses penuaan secara
degeneratif yang akan berdampak pada perubahan-perubahan pada diri
manusia seperti perubahan fisik, antara lain :

a) sistem Indera
Perubahan sistem penglihatan pada lansia serta kaitannya dengan presbiopi.
Lensa kehilangan elastisitas dan kaku. Otot penyangga lensa lemah,
ketajaman penglihatan dan daya akomodasi dari jarak jauh atau dekat
berkurang, penggunaan kacamata dan sistem penerangan yang baik dapat
digunakan (Azizah, 2011).

b) Sistem pendengaran

Presbiakus (gangguan pada pendengaran) oleh karena hilangnya


kemampuan pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi
suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, 50% terjadi pada
usia di atas 60 tahun (Azizah, 2011).
c) Sistem integument
Sistem integument pada lansia mengalami atrofi, kendur, tidak elastis,
kering, dan berkerut. Kulit akan berkurang cairan sehingga menjadi tipis
dan bercak (Azizah, 2011).
d) Sistem kardiovaskular
Massa jantung bertambah, vertikel kiri mengalami hipertropi dan
kemampuan peregangan jantung berkurang karena perubahan pada jaringan
ikat dan penumpukan lipofusin (pigmen yang mengandung bahan-bahan
lemak).
e) Sistem perkemihan
Terjadi perubahan yang signifikaan pada sistem ini. Banyak yang
mengalami kemunduran contohnya laju filtrasi, ekstraksi dan reabsorbsi
oleh ginjal, penurunan kapasitas kandung kemih, dan stress pada wanita
terjadi akibat penurunan tonus otot perineal. Pada pria sering terjadi retensi
urin dan sering berkrmih akibat pembesaran prostat (Azizah, 2011).

7. Permasalahan Lansia Di Indonesia


Kebijakan pemerintah terhadap kesejahteraan lansia menurut UU
Kesejahteraan Lanjut Usia (UU No 13/1998) pasal 1 ayat 1: Kesejahteraan
adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial baik material maupun
spiritual yang diliputi oleh rasakeselamatan, kesusilaan, dan ketenteraman lahir
batin yang memungkinkan bagi setiap warga Negara untuk mengadakan
pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial yangsebaik-baiknya bagi
diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak dan

kewajiban asasi manusia sesuai dengan Pancasila. Pada ayat 2 disebutkan,


Lanjut Usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun
keatas. Dan mereka dibagi kepada dua kategori yaitu lanjut usia potential (ayat
3) dan lanjut usia tidak potensial (ayat 4). Lanjut Usia Potensial adalah lanjut
usia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat
menghasilkan barang dan/atau jasa. Sedangkan Lanjut Usia Tidak Potensial
adalah lanjut usia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya
bergantung pada bantuan orang lain. Bagi Lanjut Usia Tidak potensial (ayat 7)
pemerintah dan masyarakat mengupayakan perlindungan sosial
sebagaikemudahan pelayanan agar lansia dapat mewujudkan dan menikmati
taraf hidup yang wajar. Selanjutnya pada ayat 9 disebutkan bahwa
pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial adalah upaya perlindungan dan
pelayanan yang bersifat terus menerus agar lanjut usia dapat mewujudkan dan
menikmati taraf hidup yang wajar.
Lanjut usia mengalami masalah kesehatan. Masalah ini berawal dari
kemunduran sel-sel tubuh, sehingga fungsi dan daya tahan tubuh menurun serta
faktor resiko terhadap penyakit pun meningkat. Masalah kesehatan yang sering
dialami lanjut usia adalah malnutrisi, gangguan keseimbangan, kebingungan
mendadak, dan lain-lain. Selain itu, beberapa penyakit yang sering terjadi pada
lanjut usia antara lain hipertensi, gangguan pendengaran dan penglihatan,
demensia, osteoporosis, dsb.
Berdasarkan Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan,
upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia harus ditujukan untuk menjaga
agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial maupun ekonomis. Selain
itu, Pemerintah wajib menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan dan
memfasilitasi kelompok lansia untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif,
hal ini merupakan upaya peningkatan kesejahteraan lansia khususnya dalam
bidang kesehatan. Upaya promotif dan preventif merupakan factor penting
yang harus dilakukan untuk mengurangi angka kesakitan pada lansia. Untuk
mencapai tujuan tresebut, harus ada koordinasi yang efektif antara lintas
program terkait di lingkungan Kementerian Kesehatan dan organisasi profesi.
Kebijakan Kementerian Kesehatan dalam pelayanan kesehatan
melaluipenyediaan sarana pelayanan kesehatan yang ramah bag lansia
bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan lansia supaya lebih
berkualitas dan berdaya guna bagi keluarga dan masyarakat. Upaya yang
dikembangkan untuk mendukung kebijakan

tersebut antara lain pada pelayanan kesehatan dasar dengan pendekatan


Pelayanan Santun Lansia, meningkatkan upaya rujukan kesehatan melalui
pengembangan Poliklinik Geriatri Terpadu di Rumah Sakit, dan menyediakan
sarana dan prasarana yang ramah bagi lansia.Kesadaran setiap lansia untuk
menjaga kesehatan dan menyiapkan hari tua dengan sebaik dan sedini mungkin
merupakan hal yang sangat penting. Semua pelayanankesehatan harus
didasarkan pada konsep pendekatan siklus hidup dengan tujuan jangka
panjang, yaitu sehat sampai memasuki lanjut usia.
Pendapat lain menjelaskan bahwa lansia mengalami perubahan dalam
kehidupannya sehingga menimbulkan beberapa masalah. Permasalahan
tersebut diantaranya yaitu:
a. Masalah fisik
Masalah yang hadapi oleh lansia adalah fisik yang mulai melemah,
sering terjadi radang persendian ketika melakukan aktivitas yang cukup
berat, indra pengelihatan yang mulai kabur, indra pendengaran yang
mulai berkurang serta daya tahan tubuh yang menurun, sehingga sering
sakit.
b. Masalah kognitif (intelektual)
Masalah yang hadapi lansia terkait dengan perkembangan kognitif,
adalah melemahnya daya ingat terhadap sesuatu hal (pikun), dan sulit
untuk bersosialisasi dengan masyarakat di sekitar.
c. Masalah emosional
Masalah yang hadapi terkait dengan perkembangan emosional, adalah
rasa ingin berkumpul dengan keluarga sangat kuat, sehingga tingkat
perhatian lansia kepada keluarga menjadi sangat besar. Selain itu, lansia
sering marah apabila ada sesuatu yang kurang sesuai dengan kehendak
pribadi dan sering stres akibat masalah ekonomi yang kurang terpenuhi.
d. Masalah spiritual
Masalah yang dihadapi terkait dengan perkembangan spiritual, adalah
kesulitan untuk menghafal kitab suci karena daya ingat yang mulai
menurun, merasa kurang tenang ketika mengetahui anggota keluarganya
belum mengerjakan ibadah, dan merasa gelisah ketika menemui
permasalahan hidup yang cukup serius.
8. Tujuan Pelayanan Kesehatan pada Lansia
Menurut Depkes RI (2016), tujuan pelayanan kesehatan lansia terdiri dari:
a) Mempertahankan derajat kesehatan para lansia pada taraf yang setinggi-tingginya,
sehingga dari penyakit atau gangguan.
b) Memelihara kondisi kesehatan dengan aktifitas-aktifitas fisik dan mental.
c) Mencari upaya semaksimal mungkin agar para lansia yang menderita suatu penyakit atau
gangguan, masih dapat mempertahankan kemandirian yang optimal.
d) Mendampingi dan memberikan bantuan moril dan perhatian pada lansia yang berada
dalam fase terminal sehingga lansia dapat menghadapi kematian dengan tenang dan
bermartabat. Fungsi pelayanan dapat dilaksanakan pada pusat pelayanan sosial lansia,
pusat informasi pelayanan sosial lansia, dan pusat pengemabangan pelayanan sosial lansia
dan pusat pemberdayaan lansia.

9. Pendekatan Perawatan Lansia


a. Pendekatan Fisik
Perawatan pada lansia juga dapat dilakukan dengan pendekatan fisik melalui perhatian
terhadap kesehatan, kebutuhan, kejadian yang dialami klien lansia semasa hidupnya,
perubahan fisik pada organ tubuh, tingkat kesehatan yang masih dapatdicapai dan
dikembangkan, dan penyakit yang dapat dicegah atau progresifitas
penyakitnya.Pendekatan fisik secara umum bagi klien lanjut usia dapat dibagi 2bagian:
1) Klien lansia yang masih aktif dan memiliki keadaan fisik yang masih
mampu bergerak tanpa bantuan orang lain sehingga dalam kebutuhannya
sehari-hari ia masih mampu melakukannya sendiri.
2) Klien lansia yang pasif, keadaan fisiknya mengalami kelumpuhan atau
sakit. Perawat harus mengetahui dasar perawatan klien lansia ini, terutama
yang berkaitan dengan kebersihan perseorangan untuk mempertahankan
kesehatan.
b. Pendekatan Psikologis
1) Perawat mempunyai peranan penting untuk mengadakan pendekatan
edukatif pada klien lansia. Perawat dapat berperan sebagai pendukung terhadap
segala sesuatu yang asing, penampung rahasia pribadi dan sahabat yang
akrab. Perawat hendaknya

2) memiliki kesabaran dan ketelitian dalam memberi


kesempatan dan waktu yang cukup banyak untuk menerima
berbagai bentuk keluhan agar lansia merasa puas. Perawat harus
selalu memegang prinsip triple S yaitu sabar, simpatik dan
service. Bila ingin mengubah tingkah
c. Pendekatan Sosial
1) Berdiskusi serta bertukar pikiran dan cerita merupakan
salah satu upaya perawat dalam melakukan pendekatan sosial.
Memberi kesempatan untuk berkumpul bersama dengan sesama
klien lansia berarti menciptakan sosialisasi. Pendekatan sosial ini
merupakan pegangan bagi perawat bahwa lansia adalah makhluk
sosial yang membutuhkan orang lain.Dalam pelaksanaannya,
perawat dapat menciptakan hubungan sosial, baik antar lania
maupun lansia dengan perawat. Perawat memberi kesempatan
seluas-luasnya kepada lansia untuk mengadakan komunikasi dan
melakukan rekreasi. Lansia perlu dimotivasi untuk membaca surat
kabar dan majalah.

B. Konsep Dasar Rheumatoid Arthritis


1. Pengertian Rheumatoid Arthritis
Rheumatoid arthritis merupakan penyakit inflamasi sistemik kronik
atau penyakit autoimun dimana rheumatoid arthritis ini memiliki
karakteristikterjadinya kerusakan pada tulang sendi, ankilosis dan
deformitas. Penyakit ini adalah salah satu dari sekelompok penyakit jaringan
penyambung difus yang diperantarai oleh imunitas (Lukman & Nurna
Ningsih, 2013).

2. Etiologi Rheumatoid Arthritis


Penyebab Rheumatoid Arthritis belum diketahui secara pasti
walaupun banyak hal mengenai patogenesisnya telah terungkap. Faktor
genetik dan beberapa faktor lingkungan telah lama diduga berperan dalam
timbulnya penyakit ini. Kecenderungan wanita untuk menderita rheumatoid
arthritis dan sering dijumpainya remisi pada wanita yang sedang hamil
menimbulkan dugaan terdapatnya faktor keseimbangan hormonal sebagai
salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penyakit ini. Walaupun
demikian karena pembenaran hormon esterogen eksternal tidak pernah
menghasilkan perbaikan sebagaimana yang diharapkan, sehingga kini belum
berhasil dipastikan bahwa faktor hormonal memang merupakan penyebab
penyakit ini (Aspiani, 2014).
Infeksi telah diduga merupakan penyebab rheumatoid arthritis.
Dugaan faktor infeksi timbul karena umumnya omset penyakit ini terjadi
secara mendadak dan timbul dengan disertai oleh gambaran inflamasi yang
mencolok. Walaupun hingga kini belum berhasil dilakukan isolasi suatu
organisme dari jaringan synovial, hal ini tidak menyingkirkan kemungkinan
bahwa terdapat suatu komponen peptidoglikan atau endotoksin
mikroorganisme yang dapat mencetuskan terjadinya rheumatoid arthritis.
Agen infeksius yang diduga merupakan penyebab rheumatoid arthritis
Antara lain bakteri, mikoplasma atau virus (Aspiani, 2014).
Hipotesis terbaru tentang penyebab penyakit ini adalah adanya faktor
genetik yang akan menjurus pada penyakit setelah terjangkit beberapa
penyakit virus, seperi infeksi virus Epstein-Barr. Heat Shock Protein
(HSP) adalah sekelompok protein
berukuran sedang yang dibentuk oleh sel seluruh spesies sebagai respon terhadap
stress. Walaupun telah diketahui terdapa hubungan antaraHeat Shock Protein dan
sel T pada pasien Rheumatoid arthritis namun mekanismehubungan ini belum
diketahui dengan jelas (Aspiani, 2014).

3. Patofisiologi Rheumatoid Arthritis


Sistem imun merupakan bagian pertahanan tubuh yang dapat membedakan
komponen self dan non-self. Pada kasus Rheumatoid Arthritis system imun tidak
mampu lagi membedakan keduanya dan menyerang jaringan synovial serta
jaringan penyokong lain. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim tersebut
akan memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membrane synovial dan
akhirnya pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan
menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya permukaan sendi
yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan turut terkena karena serabut otot
akan mengalami perubahan degeneratif dengan menghilangnya elastisitas otot dan
kekuatan kontraksi otot (Aspiani, 2014).
Inflamasi mula-mula mengenai sendi-sendi synovial seperti edema, kongesti
vascular, eksudat fibrin, dan infiltrasi selular. Peradangan yang berkelanjutan,
synovial menjadi menebal, terutama pada sendi articular kartilago dari sendi. Pada
persendian ini granulasi membentuk pannus, atau penutup yang menutupi
kartilago. Pannus masuk ke tulang sub chondria. Jaringan granulasi menguat
karena radang menimbulkan gangguan pada nutrisi kartilago artikuler, sehingga
kartilago menjadi nekrosis. Tingkat erosi dari kartilago menentukan
ketidakmampuan sendi. Bila kerusakan kartilago sangat luas maka terjadi adhesi
diantara permukaan sendi, karena jaringan fibrosa atau tulang bersatu (ankilosis).
Kerusakan kartilago dan tulang menyebabkan tendon dan ligament menjadi lemah
dan bisa menimbulkan subluksasi atau dislokasi dari persendian. Keadaan seperti
ini akan mengakibatkan terjadinya nekrosis (rusaknya jaringan sendi), nyeri hebat
dan deformitas (Aspiani, 2014).

4. Tanda Dan Gejala Rheumatoid Arthritis


Menurut (Aspiani, 2014) ada beberapa gejala klinis yang umum ditemukan
pada pasien Rheumatoid Arthritis. Gejala klinis ini tidak harus timbul secara
bersamaan. Oleh karenanya penyakit ini memiliki gejala klinis yang sangat
bervariasi.
a. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan
menurun, dan demam. Terkadang dapat terjadi kelelahan yang hebat.
b. Poliaritis simetris, terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi di
tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalang distal,
hampir semua sendi diartrodial dapat terangsang.
c. Pentingnya untuk membedakan nyeri yang disebabkan perubahan mekanis
dengan nyeri yang disebabkan inflamasi. Nyeri yang timbul setelah aktivitas
dan hilang setelah istirahat serta tidak timbul pada pagi hari merupakan tanda nyeri
mekanis. Sebaliknya nyeri inflamasi akan bertambah berat pada pagi harisaat
bangun tidur dan disertai kaku sendi atau nyeri yang hebat pada awal gerakdan
berkurang setelah melakukan aktivitas.
d. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari satu jam, dapat bersifat generalisata
terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan
sendipada osteoartratis, yang biasanya hanya berlangsung selama beberapa
menit dan selalu kurang dari satu jam.
e. Arthritis erosif, merupakan ciri khas rheumatoid arthritis pada gambaran
radiologic. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang
dan dapat dilihat pada radiogram.
f. Deformitas, kerusakan dari struktur-struktur penunjang sendi dengan
perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, sublukasi sendi
metakarpofalangeal, leher angsa adalah beberapa deformitas tangan yang
seringdi jumpai pasien. Pada kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput
metatarsal yang timbul sekunder dari subluksasi metatarsal. Sendi-sendi yang
besar juga dapat terangsang dan akan mengalami pengurangan kemampuan
bergerak terutama dalam melakukan gerakan ekstensi.
g. Nodula-nodula rheumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada
sekitarsepertiga orang dewasa penderita rheumatoid arthritis. Lokasi yang
paling sering dari deformitas ini adalah bursa elekranon (sendi siku), atau di
sepanjangpermukaan ekstanor dari lengan, walaupun demikian nodul-nodul
ini dapat juga timbul pada tempat-tempat lainnya. Nodul-nodul ini biasanya
merupakan suatutanda penyakit yang aktif dan lebih berat.
h. Manifestasi ekstra articular, rheumatoid arthritis juga dapat menyerang
organorgan lain diluar sendi. Jantung (pericarditis), paru-paru (pleuritis),
mata, dan rusaknya pembuluh darah.
5. Komplikasi Rheumatoid Arthritis
Rheumatoid arthritis adalah penyakit sistemik yang dapat mempengaruhi
bagian lain dari tubuh selain sendi. Menurut (Aspiani, 2014) Rheumatoid
Arthritis dapat menimbulkan komplikasi pada bagian lain dari tubuh :
a. Sistem respiratori
Peradangan pada sendi krikoaritenoid tidak jarang dijumpai pada
rheumatoid arthritis. Gejala keterlibatan saluran nafas atas ini dapat berupa
nyeri tenggorokan,nyeri menelan, atau disfonia yang umumnya terasa lebih
berat pada pagi hari. PadaRheumatoid Arthritis yang lanjut dapat pula
dijumpai efusi pleura dan fibrosis paruyang luas (Aspiani, 2014).
b. Sistem kardiovaskuler
Seperti halnya pada sistem respiratorik, pada Rheumatoid Arthritis
jarang dijumpai gejala perikarditis berupa nyeri dada atau gangguan faal
jantung. Akan tetapi pada beberapa pasien dapat juga dijumpai gejala
perikarditis yang berat. Lesi inflamatif yang menyerupai nodul rheumatoid
dapat dijumpai miokardium dan katup jantung. Lesi ini dapat menyebabkan
disfungsi katup, fenomena embolisasi, gangguan konduksi, aortitis dan
kardiomiopati (Aspiani, 2014).
c. Sistem gastrointestinal
Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan
ulkus peptic yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat anti
inflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit
(Disease Modifying Antirheumatoid Drugs, DMARD) yang menjadi faktor
penyebab morbiditas danmortalitas utama pada Rheumatoid Arthritis
(Aspiani, 2014).
d. Sistem persarafan
Komplikasi neurologis yang sering dijumpai Rheumatoid Arthritis
umumnya tidak memberikan gambaran yang jelas sehingga sukar untuk
membedakan komplikasi neurologis akibat lesi artikular dari lesi neuropatik.
Pathogenesis komplikasi neurologis pada umumnya berhubungan dengan
mielopati akibat instabilitas vertebre, servikal, neuropai jepitan atau neuropati
iskemik akibatvasculitis (Aspiani, 2014).
e. Sistem perkemihan : ginjal
Berbeda dengan lupus eritematosus sistemik pada Rheumatoid Arthritis
jarang sekali dijumpai kelainan glomelural. Jika pada pasien Rheumatoid
Arthritis dijumpai proteinuria, umumnya hal tersebut lebih sering disebabkan
karena efek samping pengobatan seperi garam emas dan D-penisilamin atau
terjadi sekunder akibat amiloidosis. Walaupun kelainan ginjal interstisial
dapat dijumpai pada syndrome sjogren, umumnya kelainan tersebut lebih
banyak berhubungan dengan penggunaan OAINS. Penggunaan OAINS yang
tidak terkontrol dapat sampai menimbulkan nekrosis papilar ginjal (Aspiani,
2014).
f. Sistem hematologis
Anemia akibat penyakit kronik yang ditandai dengan gambaran eritrosit
normosistik-normokromik (hipokromik ringan) yang disertai dengan kadar
besi serum yang rendah serta kapasitas pengikatan besi yang normal atau
rendah merupakan gambaran umum yang sering dijumpai pada rheumatoid
arthritis. Enemia akibat penyakit kronik ini harus dibedakan dari anemia
defisiensi besi yang juga dapat dijumpai pada rheumatoid arthritis akibat
penggunaan OAINS atau DMARD yang menyebabkan erosi mukosa lambung
(Aspiani, 2014).

6. Penatalaksanaan Rheumatoid Arthritis


Pendidikan pada pasien mengenai penyakitnya dan penatalaksanaan yang
akan dilakukan sehingga terjalin hubungan baik serta ketaatan pasien untuk tetap
berobat dalam jangka waktu yang lama (Aspiani, 2014).
OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid ) diberikan sejak dini untuk
mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang sering dijumpai. OAINS yang
diberikan yaitu aspirin, pasien dibawah umur 65 tahun dapat dimulai dengan
dosis 3-4 x 1g/hari, kemudian dinaikkan 0,3-0,6 perminggu sampai terjadi
perbaikan atau gejala toksik. Dosis terapi 20-30 mg/dl. Ibuprofen, naproksen,
piroksikam, diklofenak dan sebagainya (Aspiani, 2014).
DMARD (Disease Modifying Antirheumatoid Drugs) digunakan unuk
melindungi rawan sendi dan tulang dari proes destruksi akibat rheumatoid
arthritis. Keputusan penggunaannya bergantung pada pertimbangan risiko
manfaat oleh dokter. Umumnya segera diberikan setelah diagnosis rheumatoid
arthritis diegakkan, atau bila respon OAINS tidak ada. DMARD yang diberikan:
(Aspiani, 2014)
a. Klorokuin fosfat 250 mg/hari atau hidroksiklorokuin 400 mg/hari
b. Sulfasalazin dalam bentuk tablet bersalu enteric, digunakan
dalam dosis 1 x 500mg/hari, ditinggikan 500 mg/minggu,
sampai mencapai dosis 4 x 500 mg.
c. D-penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat lambat.
Digunakan dalamdosis 250-300 mg/ hari, kemudian dosis
ditingkatkan setiap 2-4 minggu sebesar250-300 mg/hari untuk
mencapai dosis total 4 x 20-300 mg/hari.
d. Garam emas adalah gold standart bagi DMARD.
e. Obat imunosupresif atau imonoregulator; metotreksat dosis
dimulai 5-7, mg setiap minggu. Bila dalam 4 bulan idak
menunjukkan perbaikan, dosis harus ditingkatkan.
f. Korikosteroid, hanya dipakai untuk pengobatan Rheumatoid
arthritis dengan komplikasi berat dan mengancam jiwa seperti
vasculitis, karena obat ini memiliki efek samping yang sangat
berat.

Rehabilitasi bertujuan meningkatkan kualitas harapan hidup


pasien. Caranya antara lain dengan mengistirahatkan sendi yang
terlibat, latihan, pemanasan dan sebagannya. Fisioterapi dimulai
segera setelah rasa sakit pada sendi berkurang. Bila tidak juga
behasil, diperlukan pertimbangan untuk pertimbangan operatif.
Sering juga diperlukan alat-alat seperti pemakaian alat bidai,
tongkat penyangga, kursi roda, terapi mekanik, pemanasan baik
hidroterapi maupun elekroterapi, occupational therapy (Aspiani,
2014).
Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak
berhasil serta terdapat alasan yang cukup kuat, dapat dilakukan
tindakan pembedahan. Jenis pengobatan ini pada pasien rheumatoid
arthritis umunya bersifat orthopedic, misalnya sinovektomi,
artrodesis, memperbaiki deviasi ulnar (Aspiani, 2014).
C. Gangguan Mobilitas Fisik

1. Pengertian Mobilitas
Mobilitas atau mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk bergerak secara
mudah, bebas dan teratur untuk mencapai suatu tujuan, yaitu untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya baik secara mandiri maupun dengan bantuan orang lain dan
hanya dengan bantuan alat (Widuri, 2010). Mobilisasi merupakan kemampuan
seseorang untuk bergerak bebas, mudah, teratur, dan mempunyai tujuan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehat. Kehilangan kemampuan untuk bergerak
menyebabkan ketergantungan dan ini membutuhkan tindakan keperawatan
(Ambarwati, 2014).
2. Jenis Mobilitas
Menurut Hidayat (2009), ada 2 jenis mobilitas yaitu :
a. Mobilitas Penuh
Merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara penuh dan bebas
sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan menjalankan peran sehari – hari.
Mobilitas penuh ini merupakan fungsi saraf motorik volunter dan sensorik untuk
dapat mengontrol seluruh area tubuh seseorang.
b. Mobilitas sebagian
Merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan batasan jelas dan tidak
mampu bergerak secara bebas karena dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik
dan sensorik pada area tubuhnya. Hal ini dapat dijumpai pada kasus cedera atau
patah tulang dengan pemasangan traksi. Pasien para plegi dapat mengalami
mobilitas sebagian pada ekstremitas bawah karena kehilangan kontrol motorik
dan sensorik. Mobilitas sebagian ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu :
- Mobilitas sebagian temporer
Merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang
sifatnya sementara. Hal tersebut dapat disebabkan oleh trauma reversibel pada
sistem muskuloskletal, contohnya adalah adanya sendi dan tulang.
- Mobilitas sebagian permanen
Merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang
sifatnya menetap. Hal tersebut disebabkan oleh rusaknya sistem saraf yang
reversibel, contohnya terjadinya hemiplegia karena stroke, paraplegi karena
cedera tulang belakang, poliomielitis karena terganggunya sistem saraf
motorik dan sensorik.
3. Tujuan Mobilitas
Menurut Ambarwati, 2014 mobilisasi diperlukan untuk meningkatkan kemandirian
diri, meningkatkan kesehatan, memperlambat proses penyakit khususnya penyakit
degeneratif, dan untuk aktualisasi diri (harga diri dan citra tubuh)
4. Faktor Yang Mempengaruhi Mobilitas
Menurut Hidayat (2009), mobilitas seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya :
a. Gaya Hidup
Perubahan gaya hidup dapat memengaruhi kemampuan mobilitas seseorang
karena gaya hidup berdampak pada perilaku atau kebiasaan sehari – hari. Hal ini
terjadi karena adanya perubahan gaya hidup terutama orang muda perkotaan
modern, seperti mengkonsumsi makanan siap saji (fast food) yang mengandung
kadar lemak tinggi, kebiasaan merokok, minuman beralkohol, kerja berlebihan,
kurang berolahraga dan stres (Junaidi, 2011).
b. Proses penyakit / cedera
Proses penyakit dapat memengaruhi kemampuan mobilitas karena dapat
memengaruhi fungsi sistem tubuh.
c. Kebudayaan
Kemampuan melakukan mobilitas dapat juga dipengaruhi kebudayaan. Sebagai
contoh, orang yang memiliki budaya sering berjalan jauh memiliki kemampuan
mobilitas yang kuat, sebaliknya ada orang yang mengalami gangguan mobilitas
(sakit) karena adat dan budaya tertentu dilarang untuk beraktivitas.
d. Tingkat energi
Energi adalah sumber untuk melakukan mobilitas. Agar seseorang dapat
melakukan mobilitas dengan baik, dibutuhkan energi yang cukup.
e. Usia dan Status Perkembangan
Terdapat perbedaan kemampuan mobilitas pada tingkat usia yang berbeda. Hal ini
dikarenakan kemampuan atau kematangan fungsi alat gerak sejalan dengan
perkembangan usia.
5. Pengertian Gangguan Mobilitas Fisik
Gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih
ekstremitas secara mandiri (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017). Menurut North
American Nursing Diagnosis Association (NANDA) gangguan mobilitas fisik atau
immobilisasi merupakan suatu kedaaan dimana individu yang mengalami atau
berisiko mengalami keterbatasan gerakan fisik (Kozier, Erb, Berman & Snyder,
2010). Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan pada pergerakan fisik tubuh satu
atau lebih ekstremitas secara mandiri dan terarah (Nurafif & Hardi, 2015).
6. Etiologi
Faktor penyebab terjadinya gangguan mobilitas fisik yaitu :
a. Penurunan kendali otot
b. Penurunan kekuatan otot
c. Kekakuan sendi
d. Kontraktur
e. Gangguan muskuloskletal
f. Gangguan neuromuskular
g. Keengganan melakukan pergerakan (Tim Pokja DPP PPNI, 2017)
7. Tanda Dan Gejala
Adapun tanda dan gejala pada gangguan mobilitas fisik menurut Tim Pokja SDKI
DPP PPNI (2017) yaitu :
a. Tanda dan gejala mayor
Tanda dan gejala mayor subjektif dari gangguan mobilitas fisik, yaitu mengeluh
sulit menggerakkan ekstremitas. Kemudian, untuk tanda dan gejala mayor
objektifnya, yaitu kekuatan otot menurun, dan rentang gerak menurun.
b. Tanda dan gejala minor
Tanda dan gejala minor subjektif dari gangguan mobilitas fisik, yaitu nyeri saat
bergerak, enggan melakukan pergerakan, dan merasa cemas saat bergerak.
Kemudian, untuk tanda dan gejala minor objektifnya, yaitu sendi kaku, gerakan
tidak terkoordinasi, gerakan terbatas, dan fisik lemah
8. Dampak Gangguan Mobilitas Fisik
Menurut Widuri (2010) gangguan mobilitas fisik akan mengakibatkan individu
mengalami immobilisasi yang dapat mempengaruhi sistem tubuh, seperti :
a. Perubahan metabolisme
Kecepatan metabolisme dalam tubuh akan turun dengan dijumpainya basal
metabolisme rate (BMR) yang akibatnya energi yang digunakan untuk perbaikan
sel-sel tubuh berkurang sehingga dapat mempengaruhi gangguan oksigenasi sel.
Dampak lainnya seperti anabolisme akan menurun sedangkan katabolisme akan
meningkat yang berisiko meningkatkan gangguan metabolisme.
b. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
Cairan dan elektrolit yang tidak seimbang akan mengakibatkan persediaan protein
menurun dan konsentrasi protein serum berkurang yang dapat mengganggu
kebutuhan cairan tubuh. Selain itu, berkurangnya perpindahan cairan dari
intravaskuler menuju interstisial dapat menyebabkan edema.
c. Gangguan pengubahan zat gizi
Pemasukan protein dan kalori yang menurun dapat menyebabkan pengubahan zat-
zat makanan pada tingkat sel menurun sehingga tidak cukup untuk melaksanakan
aktivitas metabolisme.
d. Gangguan fungsi gastrointestinal
Makanan yang dicerna akan menurun sehingga dapat menyebabkan keluhan,
seperti perut kembung, mual, serta nyeri lambung yang berdampak pada proses
eliminasi.
e. Perubahan sistem pernapasan
Dampak yang ditimbulkan pada sistem pernapasan, antar lain kadar hemoglobin
menurun, ekspansi paru menurun, dan otot mengalami kelemahan yang
mengganggu proses metabolisme.
f. Perubahan kardiovaskular
Perubahan pada sistem kardiovaskuler berupa hipotensi artostatik, meningkatnya
kerja jantung, serta terjadi pembentukan trombus.
g. Perubahan sistem muskuloskeletal
Dampak yang ditimbulkan, antara lain gangguan muskular yang berupa
menurunnya massa otot yang menyebabkan turunnya kekuatan otot serta atropi
pada otot, gangguan skeletal berupa kontraktur sendi serta osteoporosis.
h. Perubahan sistem integumen
Pada sistem integumen akan terjadi penurunan elastisitas kulit, terjadi iskemia
serta nekrosis jaringan superfisial ditandai dengan adanya luka dekubitus akibat
tekanan dan sirkulasi ke jaringan menurun.
i. Perubahan eliminasi
Kurangnya asupan dan penurunan curah jantung mengakibatkan penurunan
jumlah urine. j. Perubahan perilaku Seseorang akan mengalami perubahan peran,
konsep diri, kecemasan yang berdampak ke perilaku yang ditimbulkan, seperti
rasa bermusuhan, bingung, cemas, emosional yang tinggi, depresi, siklus tidur
berubah, serta penurunnya mekanisme koping.
9. Komplikasi
Menurut Garrison (dalam Bakara D.M & Warsito S, 2016) gangguan mobilitas fisik
dapat menimbulkan komplikasi, yaitu abnormalitas tonus, orthostatic hypotension,
deep vein thrombosis, serta kontraktur. Selain itu, komplikasi yang dapat terjadi
adalah pembekuan darah yang mudah terbentuk pada kaki yang lumpuh
menyebabkan penimbunan cairan daan pembengkaan. Kemudian, juga menyebabkan
embolisme paru yaitu sebuah bekuan yang terbentuk dalam satu arteri yang mengalir
ke paru. Selanjutnya yaitu dekubitus. Bagian yang biasa mengalami memar adalah
pinggul, pantat, sendi kaki dan tumit. Bila memar ini tidak dirawat akan menjadi
infeksi. Atrofi dan kekakuan sendi juga menjadi salah satu komplikasi dari gangguan
mobilitas fisik. Hal itu disebabkan karena kurang gerak dan mobilisasi. Komplikasi
lainnya, seperti disritmia, peningkatan tekanan intra cranial, kontraktur, gagal nafas,
dan kematian (Andra, Wijaya, Putri , 2013).
10. Penatalaksanaan ROM
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan masalah gangguan
mobilitas fisik yaitu dengan memberikan latihan rentang gerak. Latihan rentang gerak
yang dapat diberikan salah satunya yaitu dengan latihan Range of Motion (ROM)
yang merupakan latihan gerak sendi dimana pasien akan menggerakkan masing-
masing persendiannya sesuai gerakan normal baik secara pasif maupun aktif. Range
of Motion (ROM) pasif diberikan pada pasien dengan kelemahan otot lengan maupun
otot kaki berupa latihan pada tulang maupun sendi dikarenakan pasien tidak dapat
melakukannya sendiri yang tentu saja pasien membutuhkan bantuan dari perawat
ataupun keluarga. Kemudian, untuk Range of Motion (ROM) aktif sendiri merupakan
latihan yang dilakukan sendiri oleh pasien tanpa membutuhkan bantuan dari perawat
ataupun keluarga. Tujuan Range of Motion (ROM) itu sendiri, yaitu mempertahankan
atau memelihara kekuatan otot, memelihara mobilitas persendian, merangsang
sirkulasi darah, mencegah kelainan bentuk (Potter & Perry, 2012).
SUMBER:
Andormoyo, S. (2013). Konsep & Proses Keperawatan Nyeri.
Yogyakarta: Ruzz Media.Asmadi (2008). Konsep dasar
keperawatan. Jakarta: EGC
Aspiani, R.Y. (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gerontik.
Jakarta: Trans Info Media.
Lukman., & Ningsih, N. (2013). Asuhan Keperawatan pada Klien
dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba
Medika
Mubarak, W.I., Lilis, I., & Joko S. (2015). Buku Ajar Ilmu Keperawatan Dasar (hlm.
3-24). Jakarta: Salemba Medika.
Gabrielle, F.J. (1998). Fisika Kedokteran. Jakarta: EGC.
Azizah, L.M. (2011). Keperawatan Usia Lanjut, Gramedia Pustaka Utama.
Depkes RI (2005). Pedoman pembinaan Kesehatan Lanjut Usia. Jakarta.
Kemenkes RI (2014).Situasi dan Analisis Lanjut Usia. Pusat Data dan Informasi
Kemenkes RI. Jakarta.
Nugroho, W. (2012). Keperawatan Gerontik, ed. 2. Jakarta: EGC. Notoatmodjo, S.
(2007). Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. Jakarta: EGC. Padila. (2013). Buku
Ajar Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Nusa Medika.
Ratnawati, E. (2017). Asuhan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Pustaka Baru
Press.
Siti Nur Kholifah. (2016). Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan Gerontik. Jakarta
Selatan.
Sunarti, dkk. (2019). Prinsip Dasar Kesehatan Lanjut Usia (Geriatri). Malang: UB
Press.
Undang-Undang No 13 (1998). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13
Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia.

Anda mungkin juga menyukai