Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN VERTIGO


STASE KEPERAWATAN GERONTIK
DI RT 15 KELURAHAN SOLOK SIPIN

DISUSUN OLEH :
ALDA RATIKA
G1B221015

PEMBIMBING AKADEMIK:
Ns. Luri Mekeama, S. Kep., M.Kep

PEMBIMBING KLINIK:
Ns. Ana, S. Kep

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2022
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Lansia dan Proses Menua


1. Definisi Lansia dan Proses Menua
Menurut World Health Organization (WHO), lansia adalah seseorang
yang telah memasuki usia 60 tahun keatas. Lansia merupakan kelompok umur
pada manusia yang telah memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya.
Kelompok yang dikategorikan lansia ini akan terjadi suatu proses yang disebut
Aging Process atau proses penuaan. Seseorang dikatakan lansia ialah apabila
berusia 60 tahun atau lebih, karena faktor tertentu tidak dapat memenuhi
kebutuhan dasarnya baik secara jasmani, rohani maupun sosial (Nugroho,
2012).
Proses penuaan adalah siklus kehidupan yang ditandai dengan tahapan-
tahapan menurunnya berbagai fungsi organ tubuh, yang ditandai dengan
semakin rentannya tubuh terhadap berbagai serangan penyakit yang dapat
menyebabkan kematian misalnya pada sistem kardiovaskuler dan pembuluh
darah, pernafasan, pencernaan, endokrin dan lain sebagainya. Hal tersebut
disebabkan seiring meningkatnya usia sehingga terjadi perubahan dalam
struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ. Perubahan tersebut pada
umumnya mengaruh pada kemunduran kesehatan fisik dan psikis yang pada
akhirnya akan berpengaruh pada ekonomi dan sosial lansia. Sehingga secara
umum akan berpengaruh pada activity of daily living (Fatimah, 2010).

2. Teori Proses Menua


Menurut Depkes RI (2016) tentang proses menua yaitu:
1) Teori – teori biologi
a. Teori genetik dan mutasi (somatic mutatie theory)
Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk spesies
– spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia
yang diprogram oleh molekul – molekul/DNA dan setiap sel pada
saatnya akan mengalami mutasi sehingga terjadi penurunan kemampuan
fungsional sel.
b. Pemakaian dan rusak
Kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel – sel tubuh lelah (rusak).
c. Reaksi dari kekebalan sendiri (auto immune theory)
Di dalam proses metabolisme tubuh, suatu saat diproduksi suatu zat
khusus. Ada jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap zat
tersebut sehingga jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit.
d. Teori “immunology slow virus” (immunology slow virus theory)
Sistem immune menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan
masuknya virus kedalam tubuh dapat menyebabkan kerusakan organ
tubuh.
e. Teori stres
Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan tubuh.
Regenerasi jaringan tidak dapat
mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan usahadan
stres menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai.
f. Teori radikal bebas
Radikal bebas dapat terbentuk dialam bebas, tidak stabilnya radikal
bebas (kelompok atom) mengakibatkan osksidasi oksigen bahan-bahan
organik seperti karbohidrat dan protein. Radikal bebas ini dapat
menyebabkan sel-sel tidak dapat regenerasi.
g. Teori rantai silang
Sel-sel yang tua atau usang, reaksi kimianya menyebabkan ikatan yang
kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini menyebabkan kurangnya
elastis, kekacauan dan hilangnya fungsi.
h. Teori program
Kemampuan organisme untuk menetapkan jumlah sel yang membelah
setelahsel-sel tersebut mati.
2) Teori kejiwaan sosial
a. Aktivitas atau kegiatan (activity theory)
Lansia mengalami penurunan jumlah kegiatan yang dapat dilakukannya.
Teori ini menyatakan bahwa lansia yang sukses adalah mereka yang
aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial. Ukuran optimum (pola
hidup) dilanjutkan pada cara hidup dari lansia berupa mempertahankan
hubungan antara sistem sosial dan individu agar tetap stabil.
b. Kepribadian berlanjut (continuity theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lansia. Pada
teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seseorang yang
lansia sangat dipengaruhi oleh tipe personality yang dimiliki.
c. Teori pembebasan (disengagement theory)
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang
secara berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan
sosialnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia
menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga sering terjaadi
kehilangan ganda (triple loss), yakni: (1) Kehilangan peran; (2)
Hambatan kontak sosial; (3) Berkurangnya kontak komitmen.

3. Batasan Lanjut Usia


Menurut Nugroho (2012) ada beberapa pendapat para ahli mengenai
batasan lanjut usia diantaranya :
1) Menurut World Health Organization (WHO), ada empat tahapan lanjut usia
yaitu:
a. Usia pertengahan (middle age) usia 45-59 tahun
b. Lanjut usia (elderly) usia 60-74 tahun
c. Lanjut usia tua (old) usia 75-90 tahun
d. Usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun

2) Menurut Koesoemanto Setyonegoro, lanjut usia dikelompokkan sebagai


berikut:
a. Usia dewasa muda (elderly adulthood) yaitu usia 18/20-25 tahun
b. Usia dewasa penuh (middle years) atau maturitas (usia 25-60/65tahun)
c. Lanjut usia (geriatric age) yaitu usia lebih dari 65/70 tahun,terbagi:
1) Usia 70-75 tahun (young old)
2) Usia 75-80 tahun (old)
3) Usia lebih dari 80 tahun (very old)

3) Menurut Hurlock, perbedaan lanjut usia terbagi dalm dua tahap yaitu:
a. Early old age (usia 60-70 tahun)
b. Advanced old age (usia 70 tahun ke atas)

4. Klasifikasi Lansia
Menurut Depkes RI (2016) klasifikasi lansia terdiri dari:
1) Pra lansia yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun
2) Lansia ialah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih
3) Lansia resiko tinggi ialah seseorang yang berusia 60 tahun lebihdengan
masalah kesehatan
4) Lansia potensial ialah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaandan
kegiatan yang dapat mengahasilkan barang atau jasa
5) Lansia tidak potensial ialah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah,
sehingga hidupnya tergantung pada bantuan orang lain

5. Ciri-Ciri Lansia
Menurut Depkes RI (2016), ciri-ciri lansia adalah sebagai berikut :
a. Lansia merupakan periode kemunduran
Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor
psikologis sehingga motivasi memiliki peran yang penting dalam
kemunduran pada lansia. Misalnya lansiayang memilikimotivasi yang
rendah dalam melakukan kegiatan, maka akanmempercepat proses
kemunduran fisik, akan tetapi ada juga lansia yang memilikimotivasi yang
tinggi, maka kemunduran fisik pada lansia akan lebih lama terjadi.
b. Lansia memiliki status kelompok minoritas
Kondisi ini sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan
terhadap lansiadan diperkuat oleh pendapat yang kurang baik, misalnya
lansia yang lebih senangmempertahankan pendapatnya maka sikap sosial
di masyarakat menjadi negatif, tetapiada juga lansia yang mempunyai
tenggang rasa kepada orang lain sehingga sikap sosialmasyarakat menjadi
positif.
c. Menua membutuhkan perubahan peran
Perubahan peran pada lansia sebaiknya dilakukan atas dasarkeinginan
sendiri bukan atas dasar tekanan dari lingkungan. Misalnya
lansiamenduduki jabatan sosial di masyarakat sebagai Ketua RW,
sebaiknya masyarakattidak memberhentikan lansia sebagai ketua RW
karena usianya.
d. Penyesuaian yang buruk pada lansia
Perlakuan yang buruk terhadap lansia membuat mereka cenderung
mengembangkankonsep diri yang buruk sehingga dapat memperlihatkan
bentuk perilaku yang buruk.Akibat dari perlakuan yang buruk itu membuat
penyesuaian diri lansia menjadi buruk pula. Contoh: lansia yang tinggal
bersama keluarga sering tidak dilibatkan untukpengambilan keputusan
karena dianggap pola pikirnya kuno, kondisi inilah yangmenyebabkan
lansia menarik diri dari lingkungan, cepat tersinggung dan bahkanmemiliki
harga diri yang rendah.

6. Perubahan-perubahan pada Lansia


Semakin bertambahnya umur manusia, terjadi proses penuaan secara
degeneratif yang akan berdampak pada perubahan-perubahan pada diri
manusia, tidak hanya perubahan fisik, tetapi juga kognitif, perasaan, sosial dan
seksual (Azizah dan Lilik M, 2011).
1) Perubahan Fisik
a. Sistem Indra
Sistem pendengaran:Prebiakusis (gangguan pada pendengaran) oleh
karenahilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada telinga dalam,
terutamaterhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang
tidak jelas, sulitdimengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas 60
tahun.
b. Sistem Integumen
Pada lansia kulit mengalami atropi, kendur, tidak elastiskering dan
berkerut. Kulit akan kekurangan cairan sehingga menjadi tipis
danberbercak. Kekeringan kulit disebabkan atropiglandula sebasea dan
glandula sudoritera, timbul pigmen berwarna coklat pada kulit dikenal
dengan liver spot.
c. Sistem Muskuloskeletal
Perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia: Jaringan penghubung
(kolagendan elastin), kartilago, tulang, otot dan sendi. Kolagen sebagai
pendukungutama kulit, tendon, tulang, kartilago dan jaringan pengikat
mengalamiperubahan menjadi bentangan yang tidak teratur.
a) Kartilago: jaringan kartilagopada persendian menjadi lunak dan
mengalami granulasi, sehingga permukaansendi menjadi rata.
Kemampuan kartilago untuk regenerasi berkurang dandegenerasi
yang terjadi cenderung kearah progresif,konsekuensinya
kartilagopada persendiaan menjadi rentan terhadap gesekan.
b) Tulang: berkurangnyakepadatan tulang setelah diamati adalah
bagian dari penuaan fisiologi, sehinggaakan mengakibatkan
osteoporosis dan lebih lanjut akan mengakibatkan nyeri,deformitas
dan fraktur.
c) Otot: perubahan struktur otot pada penuaan sangatbervariasi,
penurunan jumlah dan ukuran serabut otot, peningkatan
jaringanpenghubung dan jaringan lemak pada otot mengakibatkan
efek negatif.
d) Sendi: pada lansia, jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon,
ligamen dan fasiamengalami penuaan elastisitas.
d. Sistem kardiovaskuler
Perubahan pada sistem kardiovaskuler pada lansia adalah massa
jantungbertambah, ventrikel kiri mengalami hipertropi sehingga
peregangan jantungberkurang, kondisi ini terjadi karena perubahan
jaringan ikat. Perubahan inidisebabkan oleh penumpukan lipofusin,
klasifikasi SA Node dan jaringankonduksi berubah menjadi jaringan
ikat.
e. Sistem Respirasi
Pada proses penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru, kapasitas total
parutetap tetapi volume cadangan paru bertambah untuk
mengkompensasi kenaikanruang paru, udara yang mengalir ke paru
berkurang. Perubahan pada otot,kartilago dan sendi torak
mengakibatkan gerakan pernapasan terganggu dankemampuan
peregangan toraks berkurang.
f. Pencernaan dan Metabolisme
Perubahan yang terjadi pada sistem pencernaan, seperti penurunan
produksisebagai kemunduran fungsi yang nyata karena kehilangan gigi,
indra pengecap menurun, rasa lapar menurun (kepekaan rasa lapar
menurun), liver (hati) makinmengecil dan menurunnya tempat
penyimpanan, dan berkurangnya aliran darah.
g. Sistem perkemihan
Pada sistem perkemihan terjadi perubahan yang signifikan. Banyak
fungsi yangmengalami kemunduran, contohnya laju filtrasi, ekskresi,
dan reabsorpsi olehginjal.
h. Sistem saraf
Sistem susunan saraf mengalami perubahan anatomi dan atropi yang
progresifpada serabut saraf lansia. Lansia mengalami penurunan
koordinasi dankemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.
i. Sistem reproduksi
Perubahan sistem reproduksi lansia ditandai dengan menciutnya ovary
danuterus. Terjadi atropi payudara. Pada laki- laki testis masih dapat
memproduksispermatozoa, meskipun adanya penurunan secara
berangsur-angsur.
2) Perubahan Kognitif: (1) Daya Ingat (Memory); (2) IQ (Intellegent
Quotient); (3) Kemampuan Belajar (Learning); (4) Kemampuan
Pemahaman (Comprehension); (5)Pemecahan Masalah (Problem Solving);
(6) Pengambilan Keputusan (Decision Making); (7)Kebijaksanaan
(Wisdom); (8)Kinerja (Performance); (9)Motivasi (Motivation)
3) Perubahan mental
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental :
a. Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa
b. Kesehatan umum
c. Tingkat pendidikan
d. Keturunan (hereditas)
e. Lingkungan
f. Gangguan syaraf panca indera, timbul kebutaan dan ketulian.
g. Gangguan konsep diri akibat kehilangan kehilangan jabatan.
h. Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan teman
dan keluarga.
i. Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap gambaran
diri,perubahan konsep diri. Perubahan spiritual agama atau kepercayaan
makin terintegrasi dalam kehidupannya. Lansia semakinmatang
(mature) dalam kehidupan keagamaan, hal ini terlihat dalam berfikir
danbertindak sehari-hari.
4) Perubahan Psikososial
a. Kesepian
Terjadi pada saat pasangan hidup atau teman dekatmeninggal terutama
jikalansia mengalami penurunan kesehatan,seperti menderita penyakit
fisik berat,gangguan mobilitas atau gangguan sensorik terutama
pendengaran.
b. Duka cita (Bereavement)
Meninggalnya pasangan hidup, teman dekat, atau bahkan hewan
kesayangandapat meruntuhkan pertahanan jiwa yang telah rapuh pada
lansia. Hal tersebutdapat memicu terjadinya gangguan fisik dan
kesehatan.
c. Depresi
Duka cita yang berlanjut akan menimbulkan perasaan kosong, lalu
diikuti dengankeinginan untuk menangis yang berlanjut menjadi suatu
episode depresi. Depresijuga dapat disebabkan karena stres lingkungan
dan menurunnya kemampuanadaptasi.
d. Gangguan cemas
Dibagi dalam beberapa golongan: fobia, panik, gangguan cemas
umum,gangguan stress setelah trauma dan gangguan obsesifkompulsif,
gangguan-gangguantersebut merupakan kelanjutan dari dewasa muda
dan berhubungandengan sekunder akibat penyakit medis, depresi, efek
samping obat, atau gejalapenghentian mendadak dari suatu obat.
e. Parafrenia
Suatu bentuk skizofrenia pada lansia, ditandai dengan waham (curiga),
lansiasering merasa tetangganya mencuri barang- barangnya atau
berniatmembunuhnya. Biasanya terjadi pada lansia yang
terisolasi/diisolasi ataumenarik diri dari kegiatan sosial.
f. Sindroma Diogenes
Suatu kelainan dimana lansia menunjukkan penampilan perilaku
sangatmengganggu. Rumah atau kamar kotor dan bau karena lansia
bermain-main dengan feses dan urinnya, sering menumpuk barang
dengan tidak teratur.Walaupun telah dibersihkan, keadaan tersebut
dapat terulang kembali.

7. Tujuan Pelayanan Kesehatan pada Lansia


Tujuan pelayanan kesehatan pada lansia menurut Depkes RI (2016) terdiri
dari :
1) Mempertahankan derajat kesehatan para lansia pada taraf yang setinggi-
tingginya,sehingga terhindar dari penyakit atau gangguan.
2) Memelihara kondisi kesehatan dengan aktifitas-aktifitas fisik dan mental.
3) Mencari upaya semaksimal mungkin agar para lansia yang menderita
suatupenyakit atau gangguan, masih dapat mempertahankan kemandirian
yangoptimal.
4) Mendampingi dan memberikan bantuan moril dan perhatian pada lansia
yang beradadalam fase terminal sehingga lansia dapat mengadapi kematian
dengan tenang danbermartabat.Fungsi pelayanan dapat dilaksanakan pada
pusat pelayanan sosial lansia, pusat informasi pelayanan sosial lansia, dan
pusat pengembangan pelayanan sosial lansiadan pusat pemberdayaan
lansia.

B. Konsep Vertigo
1. Definisi
Vertigo berasal dari bahasa latin, yaitu “vertere” yang dapat diartikan
berputar, dan igo yang berarti kondisi. Vertigo merupakan subtipe dari
“dizziness” yang dapat didefinisikan sebagai ilusi gerakan, dan yang paling
sering adalah perasaan atau sensasi tubuh yang berputar terhadap lingkungan
atau sebaliknya, lingkungan sekitar kita rasakan berputar. Vertigo bukan
merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan kumpulan gejala atau sindrom
yang terjadi akibat gangguan keseimbangan pada sistem vestibular ataupun
gangguan pada sistem syaraf pusat (Setiawati & Susianti, 2016). Vertigo
merupakan keluhan yang sering dijumpai dalam praktik, yang sering
digambarkan sebagai rasa berputar, rasa oleng, tidak stabil (Giddiness,
Unsteadiness) atau rasa pusing (Dizziness). Deskripsi keluhan tersebut penting
diketahui agar tidak dikacaukan oleh nyeri kepala atau sefalgia, terutama
karena di kalalangan awam kedua istilah tersebut (pusing dan nyeri kepala)
sering digunakan secara bergantian. (Sutarni,2018)
Berdasarkan ringkasan vertigo dapat diartikan sebagai penyakit yang
ditandai dengan kepala terasa berputar dan biasanya disertai dengan pusing dan
nyeri kepala yang disebabkan karena terdapat gangguan pada alat
keseimbangan tubuh pada bagian telinga.

2. Etiologi
Vertigo disebabkan karena :
1) Otologi 24-61% kasus
a) Benigna Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)
b) Meniere Desease
c) Parese N VIII Uni/bilateral
d) Otitis Media
2) Neurologik 23-30% kasus
a) Gangguan serebrovaskuler batang otak/ serebelum
b) Ataksia karena neuropati
c) Gangguan visus
d) Gangguan serebelum
e) Gangguan sirkulasi LCS
f) Multiple sklerosis
g) Vertigo servikal
3) Interna kurang lebih 33% karena gangguan kardiovaskuler
a) Tekanan darah naik turun
b) Aritmia kordis
c) Penyakit koroner
d) Infeksi
e) < glikemia
f) Intoksikasi Obat: Nifedipin, Benzodiazepin, Xanax,
4) Psikiatrik > 50% kasus
a) Depresi
b) Fobia
c) Anxietas
d) Psikosomatis
5) Fisiologik
Melihat turun dari ketinggian. (Sutarni 2018)

3. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada klien yang mengalami vertigo antara lain:
1. Merasakan mual yang luar biasa
2. Sering muntah sebagai akibat dari rasa mual
3. Gerakan mata yang abnormal
4. Tiba - tiba muncul keringat dingin
5. Telinga sering terasa berdenging
6. Mengalami kesulitan bicara
7. Mengalami kesulitan berjalan karena merasakan sensasi gerakan berputar
8. Pada keadaan tertentu, penderita juga bisa mengalami ganguuan
penglihatan ( Sutarni 2018)

4. Komplikasi
Menurut Sutarni 2018 vertigo dapat menyebabkan komplikasi sebagai
berikut :
1. Cidera fisik
Pasien dengan vertigo ditandai dengan kehilangan keseimbangan akibat
terganggunya saraf VIII (Vestibularis), sehingga pasien tidak mampu
mempertahankan diri untuk tetap berdiri dan berjalan.
2. Kelemahan otot
Pasien yang mengalami vertigo seringkali tidak melakukan aktivitas.
Mereka lebih sering untuk berbaring atau tiduran, sehingga berbaring yang
terlalu lama dan gerak yang terbatas dapat menyebabkan kelemahan otot.

5. Patofisiologi Vertigo
Dalam kondisi alat keseimbangan baik sentral atau perifer yang tidak
normal atau adanya gerakan yang aneh/berlebihan, maka tidak terjadi proses
pengolahan input yang wajar dan muncullah vertigo. Selain itu, terjadi pula
respons penyesuaian otot-otot yang tidak adekuat, sehingga muncul gerakan
abnormal mata ( nistagmus), unsteadiness/ ataksia sewaktu berdiri/ berjalan
dan gejala lainnya. Sebab pasti mengapa terjadi gejala tersebut belum diketahui
(PERDOSSI, 2000) Dikutip dari buku Bunga Rampai Vertigo (Sutarni,2018)
Rasa pusing atau vertigo disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan tubuh
yang mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang sebenarnya
dengan apa yang dipersepsi oleh susunan saraf pusat (Akbar, M. 2013).
Ada beberapa teori yang berusaha menerangkan kejadian tersebut :
1) Teori rangsang berlebihan (overstimulation)
Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan
menyebabkan hiperemi kanalis semisirkularis sehingga fungsinya
terganggu, akibatnya akan timbul vertigo, nistagmus, mual dan muntah.
2) Teori konflik sensorik.
Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal
dari berbagai reseptor sensorik perifer yaitu mata/visus, vestibulum dan
proprioceptif, atau ketidakseimbangan/asimetri masukan sensorik yang
berasal dari sisi kiri dan kanan. Ketidakcocokan tersebut menimbulkan
kebingungan sensorik di sentral sehingga timbul respons yang dapat
berupa nistagmus (usaha koreksi bola mata), ataksia atau sulit berjalan
(gangguan vestibuler, serebelum) atau rasa melayang, berputar (berasal
dari sensasi kortikal). Berbeda dengan teori rangsang berlebihan, teori ini
lebih menekankan gangguan proses pengolahan sentral sebagai penyebab.
3) Teori neural mismatch
Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik, menurut teori
ini otak mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan tertentu,
sehingga jika pada suatu saat dirasakan gerakan yang aneh/tidak sesuai
dengan pola 3 gerakan yang telah tersimpan, timbul reaksi dari susunan
saraf otonom. Jika pola gerakan yang baru tersebut dilakukan berulang-
ulang akan terjadi mekanisme adaptasi sehingga berangsur-angsur tidak
lagi timbul gejala.
4) Teori otonomik
Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebagai
usaha adaptasi gerakan/perubahan posisi, gejala klinis timbul jika sistim
simpatis terlalu dominan, sebaliknya hilang jika sistim parasimpatis
mulai berperan.
5) Teori neurohumoral
Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl) dan teori
serotonin (Lucat) yang masing-masing menekankan peranan
neurotransmiter tertentu dalam pengaruhi sistim saraf otonom yang
menyebabkan timbulnya gejala vertigo.
6) Teori Sinap
Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjai peranan
neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada
proses adaptasi, belajar dan daya ingat. Rangsang gerakan menimbulkan
4 stres yang akan memicu sekresi CRF (corticotropin releasing factor),
peningkatan kadar CRF selanjutnya akan mengaktifkan susunan saraf
simpatik yang selanjutnya mencetuskan mekanisme adaptasi berupa
meningkatnya aktivitas sistim saraf parasimpatik. Teori ini dapat
meneangkan gejala penyerta yang sering timbul berupa pucat,
berkeringat di awal serangan vertigo akibat aktivitas simpatis, yang
berkembang menjadi gejala mual, muntah dan hipersalivasi.
6. Pathway Vertigo
Gangguan Telinga tjd gangguan nervus vestibularis neuroma akustik

Vertigo

Otot Leher Otak Kecil Gangguan Sistem Telinga Kurang Pengetahuan


Syaraf Pusat
Tertekan/ Tjd Ggn Gangguan pada
Kaku Keseimbangan Nyeri tekanan dalam
Cemas

Resiko Cidera Telinga/ Endolimfe

Gangguan Pendengaran

Mual muntah

Gangguan Pola
Tidur Gangguan Nutrisi

7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksan penunjang pada vertigo antara lain: Meliputi uji tes
keberadaan bakteri melalui laboratorium, sedangkan untuk pemeriksaan
diagnostik yang penting untuk dilakukan pada klien dengan kasus vertigo
antara lain (Sutarni,2018) :
1. Pemeriksaan fisik
a) Pemeriksaan mata ( Gerakan Bola mata / Nistagmus)
b) Pemeriksaan alat keseimbangan tubuh (Untuk mengetahui keseimbangan
tubuh pasien)
a. Uji Romberg
Penderita berdiri dengan kedua kaki dirapatkan, mula-mula dengan
kedua mata terbuka kemudian tertutup. Biarkan pada posisi demikian
selama 20-30 detik. Harus dipastikan bahwa penderita tidak dapat
menentukan posisinya (misalnya dengan bantuan titik cahaya atau
suara tertentu). Pada kelainan vestibuler hanya pada mata tertutup
badan penderita akan bergoyang menjauhi garis tengah kemudian
kembali lagi, pada mata terbuka badan penderita tetap tegak.
Sedangkan pada kelainan serebeler badan penderita akan bergoyang
baik pada mata terbuka maupun pada mata tertutup.
b. Uji Tandem gait.
Penderita berjalan dengan tumit kaki kiri/kanan diletakkan pada
ujung jari kaki kanan/kiri ganti berganti. Pada kelainan vestibuler, 7
perjalanannya akan menyimpang dan pada kelainan serebeler
penderita akan cenderung jatuh.
c) Pemeriksaan neurologik
• Kesadaran
• Nn. Craniales
• Motorik
• Sensorik
• Cerebellum
d) Pemeriksaan otologik
Untuk mengetahui Fungsi Vestibuler
a. Uji Dix Hallpike
Perhatikan adanya nistagmus, lakukan uji ini ke kanan dan kiri. 9
Dari posisi duduk di atas tempat tidur, penderita dibaringkan ke
belakang dengan cepat, sehingga kepalanya menggantung 45° di
bawah garis horizontal, kemudian kepalanya dimiringkan 45° ke
kanan lalu ke kiri. Perhatikan saat timbul dan hilangnya vertigo dan
nistagmus, dengan uji ini dapat dibedakan apakah lesinya perifer atau
sentral. 10 Perifer, vertigo dan nistagmus timbul setelah periode laten
2-10 detik, hilang dalam waktu kurang dari 1 menit, akan berkurang
atau menghilang bila tes diulang-ulang beberapa kali (fatigue).
Sentral, tidak ada periode laten, nistagmus dan vertigo berlangsung
lebih dari 1 menit, bila diulang-ulang reaksi tetap seperti semula (non-
fatigue).
e) Pemeriksaan fisik umum ( Head To Toe)
2. Pemeriksaan khusus
Menurut Akbar 2013 pemeriksaan khusus untuk menunjang vertigo
a) ENG
Pemeriksaan ini hanya dilakukan di rumah sakit, dengan tujuan
untuk merekam gerakan mata pada nistagmus, dengan demikian
nistagmus tersebut dapat dianalisis secara kuantitatif.
b) Audiometri dan BAEP
untuk mengetahui fungsi pendengaran berguna dengan baik baik
atau tidak. Sedangkan Audiometri atau BERA bertujuan untuk
membantu menentukan letak lesi
c) Psikiatrik
Untuk mengetahui apakah pasien mengalai ansietas, trauma atau
phobia.
3. Pemeriksaan tambahan
a) Radiologik dan Imaging
Foto rontgen pada tengkorak, leher untuk mengetahui kelainan pada
kepala dan leher (pada neurinoma akustik). Serta untuk mengetahui
adanya perdarahan pada pada cerebelum, serta adanya multiple sclerosis.
b) EEG, EMG
Untuk mengetahui neurofisiologi pasien.
8. Penatalaksanaan
Menurut Sutarni 2018 Penatalaksanaan Vertigo dapat dilakukan:
1) Penatalaksanaan Medis
a) Terapi kausal
b) Terapi simtomatik
c) Terapi rehabilitatif
Beberapa terapi yang dapat diberikan adalah terapi dengan obat-obatan
seperti :
a. Anti kolinergik
1) Sulfas Atropin : 0,4 mg/im
2) Scopolamin : 0,6 mg IV bisa diulang tiap 3 jam
b. Simpatomimetika
1) Epidame 1,5 mg IV bisa diulang tiap 30 menit
c. Menghambat aktivitas nukleus vestibuler
1) Golongan antihistamin
Golongan ini, yang menghambat aktivitas nukleus vestibularis adalah:
• Diphenhidramin: 1,5 mg/im/oral bisa diulang tiap 2 jam
• Dimenhidrinat: 50-100 mg/ 6 jam.

2) Penatalaksanaan Keperawatan
Menurut Yulianto (2016) Penatalaksaan keperawatan pada pasien vertigo
dijelaskan sebagai berikut :
1) Karena gerakan kepala memperhebat vertigo, pasien harus dibiarkan
berbaring diam dalam kamar gelap selama 1-2 hari pertama.
2) Fiksasi visual cenderung menghambat nistagmus dan mengurangi
perasaan subyektif vertigo pada pasien dengan gangguan vestibular
perifer, misalnya neuronitis vestibularis. Pasien dapat merasakan bahwa
dengan memfiksir pandangan mata pada suatu obyek yang dekat,
misalnya sebuah gambar atau jari yang direntangkan ke depan, temyata
lebih enak daripada berbaring dengan kedua mata ditutup.
3) Karena aktivitas intelektual atau konsentrasi mental dapat memudahkan
terjadinya vertigo, maka rasa tidak enak dapat diperkecil dengan
relaksasi mental disertai fiksasi visual yang kuat.
4) Bila mual dan muntah berat, cairan intravena harus diberikan untuk
mencegah dehidrasi.
5) Bila vertigo tidak hilang. Banyak pasien dengan gangguan vestibular
perifer akut yang belum dapat memperoleh perbaikan dramatis pada hari
pertama atau kedua. Pasien merasa sakit berat dan sangat takut mendapat
serangan berikutnya. Sisi penting dari terapi pada kondisi ini adalah
pernyataan yang meyakinkan pasien bahwa neuronitis vestibularis dan
sebagian besar gangguan vestibular akut lainnya adalah jinak dan dapat
sembuh. Dokter harus menjelaskan bahwa kemampuan otak untuk
beradaptasi akan membuat vertigo menghilang setelah beberapa hari.
6) Latihan vestibular dapat dimulai beberapa hari setelah gejala akut
mereda. Latihan ini untuk rnemperkuat mekanisme kompensasi sistem
saraf pusat untuk gangguan vestibular akut.

C. Asuhan Keperawatan Vertigo


1. Pengkajian Data Keperawatan
a. Identitas klien
1. Nama
2. Usia : biasanya pada usia 40-50 tahun
3. Alamat
4. Jenis kelamin : wanita lebih sering mengalami vertigo 2x daripada laki-
laki.
5. Agama
6. Status
b. Anamnesis
1. Kaji keluhan utama pasien saat itu: merasa kepala berputar-putar
2. Kaji riwayat penyakit saat ini
3. Kaji riwayat penyakit dahulu
4. Riwayat kesehatan keluarga
5. Riwayat psikososial
c. Pola Sehari-hari
a) Aktivitas / Istirahat
Letih, lemah, malaise, keterbatasan gerak, ketegangan mata, kesulitan
membaca, insomnia, bangun pada pagi hari dengan disertai nyeri kepala,
sakit kepala yang hebat saat perubahan postur tubuh, aktivitas (kerja)
atau karena perubahan cuaca.
b) Sirkulasi
Riwayat hypertensi, denyutan vaskuler, misal daerah temporal, pucat,
wajah tampak kemerahan
c) Integritas Ego
Faktor faktor stress emosional/lingkungan tertentu, perubahan
ketidakmampuan, keputusasaan, ketidakberdayaan depresi,
kekhawatiran, ansietas, peka rangsangan selama sakit kepala,
mekanisme refresif/dekensif (sakit kepala kronik)
d) Makanan dan cairan
Makanan yang tinggi vasorektiknya misalnya kafein, coklat, bawang,
keju, alkohol, anggur, daging, tomat, makan berlemak, jeruk, saus,
hotdog, MSG (pada migrain), mual/muntah, anoreksia (selama nyeri),
penurunan berat badan
e) Neurosensoris
Pening, disorientasi (selama sakit kepala), riwayat kejang, cedera kepala
yang baru terjadi, trauma, stroke, aura ; fasialis, olfaktorius, tinitus,
perubahan visual, sensitif terhadap cahaya/suara yang keras, epitaksis,
parastesia, kelemahan progresif/paralysis satu sisi tempore, perubahan
pada pola bicara/pola pikir, mudah terangsang, peka terhadap stimulus,
penurunan refleks tendon dalam, papiledema.
f) Nyeri/ kenyamanan
Karakteristik nyeri tergantung pada jenis sakit kepala, misal migrain,
ketegangan otot, cluster, tumor otak, pascatrauma, sinusitis, nyeri,
kemerahan, pucat pada daerah wajah, fokus menyempit, fokus pada diri
sendiri, respon emosional / perilaku tak terarah seperti menangis,
gelisah, otot-otot daerah leher juga menegang, frigiditas vokal.
g) Keamanan
Riwayat alergi atau reaksi alergi, demam (sakit kepala), gangguan cara
berjalan, parastesia, paralisis, drainase nasal purulent (sakit kepala pada
gangguan sinus).
h) Interaksi sosial
Perubahan dalam tanggung jawab/peran interaksi sosial yang
berhubungan dengan penyakit.
i) Penyuluhan/ Pembelajaran
Riwayat hypertensi, migrain, stroke, penyakit pada keluarga,
penggunaan alkohol/obat lain termasuk kafein, kontrasepsi oral/
hormone, menopause.
d. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan alat keseimbangan tubuh :
1) Gait Test
2) Uji Romberg
2. Neurologik : Pemeriksaan nervus cranialis untuk mencari tanda
paralisis nervus, tuli sensorineural, Nistagmus.
3. Pemeriksaan otologik : Nistagmus adalah gerakah bola mata yang
tidak terkendali, biasanya terdapat pada penderita vertigo
1) Uji Dix Halpike Manueveur Untuk mengetahui adanya Nistagmus
atau tidak.
Hasil Dix Halpike Biasanya:
• Nistagmus muncul 5 - 20 s setelah maneuver dilakukan (ada
periode laten), arah nistagmus vertical (upbeat) - torsional
• Terdapat gejala vertigo
• Nistagmus dan vertigo membaik setelah 60 s dari onset
nistagmus
• Saat kembali duduk, nistagmus membaik.
• Bila dilakukan berulang, gejala akan berkurang (fatigable)
• Cresendo-decresendo
4. Pemeriksaan fisik umum ( Head To Toe)
a. Keadaan umum
b. Pemeriksaan TTV
c. Pemeriksaan head to toe
d. Pemeriksaan Penunjang
1. ENG
2. Audiometri dan BAEP
3. Psikiatrik

2. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI
tahun (2017) dalampenyakit vertigo adalah :
1) Cemas/Ansietas (D.0080)
2) Nyeri (D.0077)
3) Gangguan pola tidur (D.0055)
4) Resiko cidera (D.0136)
5) Gangguan nutrisi (D.0019)
6) Gangguan pendengaran (D.0085)

3. Intervensi
Perencanaan atau intervensi yang dilakukan yaitu :
a. Ansietas (D.0080)
Tujuan umum : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 minggu
diharapkan masalah ansietas teratasi.
Tujuan khusus : setealah dilakukan tindakan keperawatan selama minggu
diharapkan masalah ansietas teratasi dengan kriteria hasil (L.09093):
1) Perilaku gelisah 1-5
2) Verbalisasi khawatir akibat kondisi yang dihadapi 1-5
3) Verbalisasi kebingungan 1-5
Intervensi (I.09314):
1) Monitor tanda-tanda ansietas
2) Temani pasien untuk mengurangi kecemasan
3) Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
4) Informasikan secara faktual mengenai diagnosis, pengobatan, dan
prognosis
5) Latih teknik relaksasi

b. Nyeri (D.0077)
Tujuan Umum : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 Minggu
diharapkan masalah teratasi.
Tujuan Khusus : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 30 menit
diharapkan rasa nyeri berkurang dengan kriteria hasil (L.08066):
1) Kesulitan tidur 1-4
2) Rasa nyeri berkurang 1-4
3) Tanda-tanda vital dalam batas normal
Intervensi (I.08238):
1) Observasi tanda-tanda vital
2) Kaji karakteristik nyeri
3) Lakukan manajemen nyeri
4) Fasilitasi istirahat dan tidur
5) Ajarkan memonitor nyeri secara mandiri

c. Gangguan pola tidur (D.0055)


Tujuan umum : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 minggu
diharapkan masalah teratasi.
Tujuan Khusus : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 30
menit diharapkan gangguan pola tidur teratasi dengan kriteria hasi
(L.05045):
1) Keluhan tidak nyaman menurun
2) Keluhan sulit tidur menurun
Intervensi (I.05174):
1) Identifikasi faktor pengganggu tidur
2) Identifikasi pola aktifitas dan tidur
3) Lakukan prosedur untuk meningkatkan kenyamanan
4) Ajarkan relaksasi untuk mengurangi ketidaknyamanan atau nyeri

d. Resiko cidera (D.0136)


Tujuan umum : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 minggu
diharapkan masalah resiko cidera teratasi.
Tujuan khusus : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 30 menit
diharapkan resiko cidera teratasi dengan kriteria hasil :
1) Mempertahankan keseimbangan tubuh 1-5
2) Mengantisipasi resiko cidera
Intervensi (L.12104):
1) Kaji tingkat energi yang dimiliki klien
2) Berikan terapi ringan untuk mempertahankan keseimbangan
3) Ajarkan penggunaan alat bantu pada klien
4) Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan resiko cidera

e. Gangguan nutrisi (D.0019)


Tujuan umum : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 minggu
diharapkan masalah nutrisi klien dapat teratasi.
Tujuan khusus : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 30 menit
diharapkan masalah nutrisi dapat teratasi dengan kriteria hasil (L.08006):
1) Mual muntah 1-5
2) Nafsu makan 1-5
Intervensi (L.03119):
1) Monitor asupan makan
2) Identifikasi makanan yang disukai
3) Sajikan makanan secara menarik
4) Berikan makanan tinggi kalori tinggi protein
f. Gangguan pendengaran (D.0085)
Tujuan umum : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 minggu
diharapkan gangguan pendengaran dapat teratasi
Tujuan khusus : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 30 menit
diharapkan masalah gangguan pendengaran dapat teratasi dengan kriteria
hasil (L.09083) :
1) Verbalisasi mendengar bisikan 1-5
Intervensi (I.09288):
1) Monitor dan sesuaikan tingkat aktivitas dan stimulsi sosial
2) Pertahankan lingkungan yang aman
3) Anjurkan melakukan distraksi (mendengarkan musik, melakukan
aktivitas dan teknik relaksasi)

4. Implementasi
Berdasarkan Rencana Keperawatan yang telah disusun.

5. Evaluasi
Berdasarkan kriteria hasil dalam rencana keperawatan dengan Hasil respon
pasien setelah diberikan implementasi.
DAFTAR PUSTAKA

Akbar, M. 2013. Diagnosis Vertigo. Makasar: Fakultas Kedokteran Universitas


Hasanudin

Azizah Dan Lilik M. 2011. Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta: Graha Ilmu

Depkes RI. 2016. Situasi Lanjut Usia (Lansia) Di Indonesia. Infodatin Pusat Data
Dan Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. ISSN 2442-7659

Fatimah, 2010. Psikologi Perkembangan. Bandung: Pustaka Setia

Nugroho, 2012. Keperawatan Gerontik dan Geriatrik, Edisi 3. Jakarta: EGC

PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator


Diagnostik, Edisi 1, Jakarta: DPP PPNI.

PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Setiawati & Susianti, 2016. Diagnose Dan Tatalaksana Vertigo. Majority 5(4): 191-
195

Sutarni,2018. Bunga Rampai Vertigo. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Yulianto, 2016. Perkembangan Terapi Massage Terhadap Penyembuhan Penyakit


Vertigo. Journal Of Physical Education Health And Sport. Vol 3 No 2. Hal
127-133

Anda mungkin juga menyukai