Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

“ GERONTIK “

Oleh :

DELVIA
NH0117022

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)

NANI HASANUDDIN MAKASSAR

2021
LAPORAN PENDAHULUAN
“ STROKE “

Oleh :

DELVIA
NH0117022

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)

NANI HASANUDDIN MAKASSAR

2021
LAPORAN PENDAHULUAN

GERONTIK

1.1.1 KONSEP KEPERWATAN GERONTIK DAN TEORI MENUA


Gerontik adalah salah satu cabang dari gerontology dan medis yang
memperlajari khusus aspek kesehatan dari usia lanjut, baik yang di tinjau dari segi
promotif preventif, kuratif, maupun rehabilitative yang mencakup kesehat badan,
jiwa dan sosial, serta penyakit cacat
A. Definisi Lansia
Lansia atau menua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan
manusia. Menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari
suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua
merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang telah memalui tiga tahap
kehidupannya, yaitu anak, dewasa dan tua. Tiga tahap ini berbeda baik secara
biologis, maupun psikologis. Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran,
misalnya kemunduran fisik, yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut
memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin
memburuk, gerakan lambat dan figure tubuh yang tidak proporsional.(Nasrullah,
2016)
B. Batasan-Batasan Lanjut Usia
Menurut WHO lanjut usia meliputi :
1. Usia pertengahan (middle age)adalah kelompok usia (45-59 tahun)
2. Lanjut usia (eldery) antara (60-74tahun)
3. Lanjut usia (old) antara (75-90 tahun)
4. Usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun
Perkembangan manusia dibagi sebagai berikut :
1. Usia 0-1 tahun (masa bayi)
2. Usia 1-6 tahun (masa prasekolah)
3. Usia 6-10 tahun (masa sekolah)
4. Usia 10-20 tahun (masa pubertas)
5. Usia 40-65 tahun (masa setangah umur, prasenium)
6. Usia 65 tahun keatas (masa lanjut usia, senium) (Nasrullah, 2016)
C. Teori-Teori Proses Menua
1. Teori biologi
a. Teori genetic clock
Teori ini menyatakan bahwa proses menua terjadi akibat adanya
program genetic di dalam nuclei. Jam ini berputar dalam jangka waktu
tertentu dan jika ini sudah habis putarannya maka akan menyebabkan
berhentinya proses miosis.
b. Teori error
Menurut teori ini menua diakibatkan oleh penumpukan berbagai macam
kesalahan sepanjang kehidupan manusia akibat kesalahan tersebut akan
berakibat kerusakan metabolism yang dapat mengakibatkan kerusakan
sel dan fungsi sel secara perlahan
c. Teori autoimun
Proses menua dapat terjadi akibat perubahan protein pasca translasi
yang dapat mengakibatkan kurangnya kemampuan system imun tubuh
mengenali dirinya sendiri.
d. Teori free radikal
Penuaan dapat terjadi akibat interaksi dari komponen radikal bebas
dalam tubuh manusia. Radikal bebas berupa suproksida.
e. Teori kolagen
Kelebihan usaha dan stress menyebabkan sel tubuh rusak. Peningkatan
jumlah kolagen dalam jaringan menyebabkan kecepatan kerusakan
jaringan dan melambatnya perbaikan sel jaringan
2. Teori psikologi
a. Activity theory
Penuaan mengakibatkan penurunan jumlah kegiatan secara langsung
b. Continitas theory
adanya suatu kepribadian berlanjut yang menyebabkan adanya suatu
perilaku yang meningkatkan stress
c. Dissaggement theory
Putusnya hubungan dengan luar seperti dengan masyarakat, hubungan
demngan individu lain
d. Theory stratifikasi usia
Karena orang digolongkan dalam usia tua dan mempercepat proses
penuaan
e. Theory kebutuhan manusia
Orang yang bisa mencapai aktualisasi menurut penelitian 5 % dan tidak
semua mencapai kebutuhan yang sempurna
f. Jung theory
Terdapat tingkatan hidup yang mempunyai tugas dalam perkembangan
kehidupan
g. Cause of human life theory
Seseorang dalam hubungan dengan lingkungan ada tingkat maksimum
h. Development task theory
Tiap tingkat kehidupan mempunyai tugas perkembangan sesuai dengan
usianya
3. Teori sosiologis
a. Teori interaksi social
Teori ini menjelaskan mengapa lanjut usia bertindak pada suatu situasi
tertentu, yang asa dasar hal-hal yang dihargai masyarakat
b. Teori aktivitas atau kegiatan
c. Teori kepribadian berlanjut
Dasar kepribadian atau tingkah laku berubah pada lanjut usia. Teori ini
menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada saeorang lanjut usia
sangat dipengaruhi oleh tipe personalitas yang dimilikinya
d. Teori pembebasan/penarikan diri
Teori ini membahas putusnya pergaulan atau hubungan dengan
masyarakat dan kemunduran individu dengan individu
lainnya(Nasrullah, 2016)
D. Tipe Lanjut Usia
1. Tipe arif bijaksana
Lanjut usia ini kaya dengan hikma, pengalaman, menyesuaikan diri dengan
perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati,
sederhana, dermawan, memenuhi undang-undang dan menjadi panutan
2. Tipe mandiri
Lanjut usia ini senang mengganti kegiatan yang hilang dengan kegiatan baru,
selektif dan mencari pekerjaan dan teman pergaulan, serta memenuhi
undangan
3. Tipe tidak puas
Lanjut usia yang selalu mengalami konflik lahir batin, menentang proses
penuaan yang menyebabkan kehilangan kecantikan, kehilangan daya tarik
jasmani, kehilangan kekuasaan, status, teman yang disayangi, pemarah, tidak
sabar, mudah tersinggung, menuntut
4. Tipe pasrah
Lanjut usia yang selalu menerima dan menunggu nasib baik, mempunyai
konsep habis, mengikuti kegiatan beribadat, ringan kaki, pekerjaan apa saja
dilakukan
5. Tipe bingung
Lanjut usia yang kagetan, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri,
merasa minder, menyesal, pasif dan acuh tak acuh(Nasrullah, 2016)

1.1.2. KONSEP PERUBAHAN FISIOLOGI DAN PSIKOSOSIAL

1. Perubahan Fisiologi
a. Perubahan Fisik
1) Sistem Indra
Sistem pendengaran; Prebiakusis (gangguan pada pendengaran) oleh
karena hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada telinga dalam,
terutama terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang tidak
jelas, sulit dimengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas 60 tahun.
2) Sistem Intergumen
Pada lansia kulit mengalami atropi, kendur, tidak elastis kering dan
berkerut. Kulit akan kekurangan cairan sehingga menjadi tipis dan
berbercak. Kekeringan kulit disebabkan atropi glandula sebasea dan
glandula sudoritera, timbul pigmen berwarna coklat pada kulit dikenal
dengan liver spot.

3) Sistem Muskuloskeletal

Perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia: Jaaringan


penghubung (kolagen dan elastin), kartilago, tulang, otot dan sendi..
Kolagen sebagai pendukung utama kulit, tendon, tulang, kartilago dan
jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi bentangan yang tidak
teratur. Kartilago: jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan
mengalami granulasi, sehingga permukaan sendi menjadi rata. Kemampuan
kartilago untuk regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung
kearah progresif, konsekuensinya kartilago pada persendiaan menjadi rentan
terhadap gesekan.Tulang:berkurangnya kepadatan tulang setelah diamati
adalah bagian dari penuaan fisiologi, sehingga akan mengakibatkan
osteoporosis dan lebih lanjut akan mengakibatkan nyeri, deformitas dan
fraktur.Otot: perubahan struktur otot pada penuaan sangat bervariasi,
penurunan jumlah dan ukuran serabut otot, peningkatan jaringan
penghubung dan jaringan lemak pada otot mengakibatkan efek negatif.
Sendi; pada lansia, jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligament dan
fasia mengalami penuaan elastisitas.
4) Sistem kardiovaskuler

Perubahan pada sistem kardiovaskuler pada lansia adalah massa


jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertropi sehingga peregangan
jantung berkurang, kondisi ini terjadi karena perubahan jaringan ikat.
Perubahan ini disebabkan oleh penumpukan lipofusin, klasifikasi SA Node
dan jaringan konduksi berubah menjadi jaringan ikat.

5) Sistem respirasi

Pada proses penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru, kapasitas


total paru tetap tetapi volume cadangan paru bertambah untuk
mengkompensasi kenaikan ruang paru, udara yang mengalir ke paru
berkurang. Perubahan pada otot, kartilago dan sendi torak mengakibatkan
gerakan pernapasan terganggu dan kemampuan peregangan toraks
berkurang.

6) Pencernaan dan Metabolisme

Perubahan yang terjadi pada sistem pencernaan, seperti penurunan


produksi sebagai kemunduran fungsi yang nyata karena kehilangan gigi,
indra pengecap menurun, rasa lapar menurun (kepekaan rasa lapar
menurun), liver (hati) makin mengecil dan menurunnya tempat
penyimpanan, dan berkurangnya aliran darah.

7) Sistem perkemihan

Pada sistem perkemihan terjadi perubahan yang signifikan. Banyak


fungsi yang mengalami kemunduran, contohnya laju filtrasi, ekskresi, dan
reabsorpsi oleh ginjal.
8) Sistem saraf

Sistem susunan saraf mengalami perubahan anatomi dan atropi


yang progresif pada serabut saraf lansia. Lansia mengalami penurunan
koordinasi dan kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.

9) Sistem reproduksi

Perubahan sistem reproduksi lansia ditandai dengan menciutnya


ovary dan uterus. Terjadi atropi payudara. Pada laki-laki testis masih dapat
memproduksi spermatozoa, meskipun adanya penurunan secara berangsur-
angsur.

b. Perubahan Kognitif
1) Memory (Daya ingat, Ingatan)
2) IQ (Intellegent Quotient)
3) Kemampuan Belajar (Learning)
4) Kemampuan Pemahaman (Comprehension)
5) Pemecahan Masalah (Problem Solving)
6) Pengambilan Keputusan (Decision Making)
7) Kebijaksanaan (Wisdom)
8) Kinerja (Performance)
9) Motivasi
C. Perubahan mental
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental :
1. Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa.
2. Kesehatan umum
3. Tingkat pendidikan
4. Keturunan (hereditas)
5. Lingkungan
6. Gangguan syaraf panca indera, timbul kebutaan dan ketulian.
7. Gangguan konsep diri akibat kehilangan kehilangan jabatan.
8. Rangkaian dari kehilangan , yaitu kehilangan hubungan dengan teman dan
famili.
9. Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap gambaran diri,
perubahan konsep diri.
2. Perubahan Psikososial
1. Kesepian
Terjadi pada saat pasangan hidup atau teman dekat meninggal terutama jika
lansia mengalami penurunan kesehatan, seperti menderita penyakit fisik berat,
gangguan mobilitas atau gangguan sensorik terutama pendengaran.
2. Duka cita (Bereavement)
Meninggalnya pasangan hidup, teman dekat, atau bahkan hewan kesayangan
dapat meruntuhkan pertahanan jiwa yang telah rapuh pada lansia. Hal tersebut
dapat memicu terjadinya gangguan fisik dan kesehatan.
3. Depresi
Duka cita yang berlanjut akan menimbulkan perasaan kosong, lalu diikuti
dengan keinginan untuk menangis yang berlanjut menjadi suatu episode depresi.
Depresi juga dapat disebabkan karena stres lingkungan dan menurunnya
kemampuan adaptasi.
4. Gangguan cemas
Dibagi dalam beberapa golongan: fobia, panik, gangguan cemas umum,
gangguan stress setelah trauma dan gangguan obsesif kompulsif,
gangguangangguan tersebut merupakan kelanjutan dari dewasa muda dan
berhubungan dengan sekunder akibat penyakit medis, depresi, efek samping
obat, atau gejala penghentian mendadak dari suatu obat.
5. Parafrenia
Suatu bentuk skizofrenia pada lansia, ditandai dengan waham (curiga),
lansia sering merasa tetangganya mencuri barang-barangnya atau berniat
membunuhnya. Biasanya terjadi pada lansia yang terisolasi/diisolasi atau
menarik diri dari kegiatan sosial.
6. Sindroma Diogenes
Suatu kelainan dimana lansia menunjukkan penampilan perilaku sangat
mengganggu. Rumah atau kamar kotor dan bau karena lansia bermain-main
dengan feses dan urin nya, sering menumpuk barang dengan tidak teratur.
Walaupun telah dibersihkan, keadaan tersebut dapat terulang kembali.
LAPORAN PENDAHULUAN

STROKE

1.1.3. KONSEP DASAR MEDIS


1. Definisi
Stroke adalah gangguan peredaran darah otak yang menyebabkan defisit
neurologis mendadak sebagai akibat iskemia atau hemoragi sirkulasi saraf otak.
(Saputra, 2015)
Stroke adalah gangguan peredaran darah otak yang menyebabkan deficit
neurologis mendadak sebagai akibat iskemia atau hemoragi sirkulasisaraf otak.
Istilah strioke biasanya di gunakan secara spesifik untuk menjelaskan infark
serebrum. (Nurarif, 2015)
Stroke hemoragik adalah stroke yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh
darah otak. Hampir 70 % kasus stroke hemoragik terjadi pada penderita hipertensi.
(Nurarif, 2013)
Stroke hemoragik adalah pembuluh darah otak yang pecah sehingga
menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam suatu daerah
di otak dan kemudian merusaknya.
Stroke hemoragik ada dua jenis yaitu:
a. Hemoragik intra serebral: perdarahan yang terjadi di dalam jaringan otak.
b. Hemoragik sub arachnoid: perdahan yang terjadi pada ruang sub arachnoid
(ruang sempit antara permukaan otak dan lapisan jaringan yang menutupi
otak). (Nurarif, 2013)
2. Etiologi
Stroke hemoragik umumnya disebabkan oleh adanya perdarahan intra
cranial dengan gejala peningkatan tekanan darah systole > 200 mmHg pada
hipertonik dan 180 mmHg pada normotonik, bradikardia, wajah keunguan, sianosis,
dan pernafasan mengorok.
Penyebab stroke hemoragik, yaitu:
a. Kekurangan suplay oksigen yang menuju otak.
b. Pecahnya pembuluh darah di otak karena kerapuhan pembuluh darah otak.
c. Adanya sumbatan bekuan darah di otak. (Saputra, 2015)
1.1.4. Patofisiologi
a. Perdarahan intra serebral
Pecahnya pembuluh darah otak terutama karena hipertensi mengakibatkan
darah masuk ke dalam jaringan otak membentuk massa atau hematoma yang
menekan jaringan otak dan menimbulkan edema disekitar otak. Peningkatan
TIK yang terjadi dengan cepat dapat mengakibatkan kematian yang mendadak
karena herniasi otak. Perdarahan intra serebral sering dijumpai di daerah
putamen, thalamus, sub kortikal, nukleus kaudatus, pon, dan cerebellum.
Hipertensi kronis mengakibatkan perubahan struktur dinding pembuluh darah
berupa lipohyalinosis atau nekrosis fibrinoid. (Saputra, 2015)
b. Perdarahan sub arachnoid
Pecahnya pembuluh darah karena aneurisma atau AVM. Aneurisme paling
sering didapat pada percabangann pembuluh darah besar di sirkulasi willisi.
AVM dapat dijumpai pada jaringan otak dipermukaan piameter dan ventrikel
otak, ataupun di dalam ventrikel otak dan ruang sub arachnoid. Pecahnya
arteri dan keluarnya darah ke ruang sub arachnoid mengakibatkan terjadinya
peningkatan tekanan inta kranial yang mendadak, meregangnya struktur peka
nyeri, sehingga timbul nyeri kepala hebat. Sering pula dijumpai kaku kuduk
dan tanda-tanda rangsangan selaput otak lainnya. Peningkatan tekanan intra
kranial yang mengakibatkan perdarahan subhialoid pada retina dan penurunan
kesadaran. Perdarahan sub arachnoid dapat mengakibatkan vaso spasme
pembuluh darah serebral. Vaso spasme ini sering kali terjadi 3-5 hari setelah
timbulnya perdarahan, mencapai puncaknya pada hari ke 5-9, dan dapat
menghilang setelah minggu ke 2-5. Timbulnya vaso spasme diduga karena
interaksi antara bahan-bahan yang berasal dari darah dan dilepaskan ke dalam
cairan serebrospinalis dengan pembuluh arteri di ruang sub arachnoid. Vaso
spasme ini dapat mengakibatkan disfungsi otak global (nyeri kepala,
penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparase, gangguan hemisensorik,
afasia, dan lain-lain). Otak dapat berfungsi jika kebutuhan oksigen dan
glukosa otak dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel saraf
hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak punya cadangan
oksigen jadi kerusakan, kekurangan aliran darah otak walau sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa
sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh kekurangan dari 20 mg %
karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari
seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun
sampai 70 % maka akan terjadi gejala disfungsi serebral. Pada saat otak
hipoksia, tubuh berusaha memenuhi oksigen melalui proses metabolik
anaerob, yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak. (Nurarif,
2013)
1.1.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium: darah rutin, gula darah, urin rutin, cairan serebrospinal, AGD,
biokimia darah, elektrolit.
b. CT Scan kepala untuk mengetahui lokasi dan luasnya perdarahan dan juga untuk
memperlihatkan adanya edema hematoma, iskemia, dan adanya infark.
c. Ultrasonografi doppler: mengidentifikasi penyakit arterio vena.
d. Angiografi serebral membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti
perdarahan atau obstruksi arteri.
e. MRI: menunjukkan darah yang mengalami infark, hemoragic.
f. EEG: memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
a. Sinar X tengkorak: menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah
yang berlawanan dari masa yang meluas, klasifikasi karotis interna terdapat
pada tro Laboratorium: darah rutin, gula darah, urin rutin, cairan serebrospinal,
AGD, biokimia darah, elektrolit.
b. CT Scan kepala untuk mengetahui lokasi dan luasnya perdarahan dan juga untuk
memperlihatkan adanya edema hematoma, iskemia, dan adanya infark.
c. Ultrasonografi doppler: mengidentifikasi penyakit arterio vena.
d. Angiografi serebral membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik
seperti perdarahan atau obstruksi arteri.
e. MRI: menunjukkan darah yang mengalami infark, hemoragic.
f. EEG: memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
g. Sinar X tengkorak: menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah
yang berlawanan dari masa yang meluas, klasifikasi karotis interna terdapat
pada trombosit serebral, klasifikasi parsial dinding aneurisme pada perdarahan
sub arachhnoid. (Saputra, 2015)
1.1.6. PENATALAKSANAAN MEDIS
a. Penatalaksanaan Medis
1) Menurunkan kerusakan iskemik serebral.
Tindakan awal difokuskan untuk menyelamatkan sebanyak mungkin area
iskemik dengan memberikan oksigen, glukosa dan aliran darah yang adekuat
dengan mengontrol atau memperbaiki disritmia serta tekanan darah.
2) Mengendalikan hipertensi dan menurunkan TIK
Dengan meninggikan kepala 15-30 derajat menghindari flexi dan rotasi
kepala yang berlebihan, pemberian dexamethason.
3) Pengobatan
a) Anti koagulan : Heparin untuk menurunkan kecenderungan perdarahan
pada fase akut.
b) Obat anti trombotik : pemberian ini diharapkan mencegah peristiwa
trombolitik atau embolik.
c) Diuretika : untuk menurunkan edema serebral.
4) Pembedahan
Endarterektomi karotis dilakukan untuk memperbaiki peredaran darah otak.
b. Penatalaksanaan Keperawatan
1) Posisi kepala dan badan 15-30 derajat. Posisi miring apabila muntah dan
boleh mulai mobilisasi bertahap jika hemodinamika stabil.
2) Bebaskan jalan nafas dan pertahankan ventilasi yang adekuat.
3) Tanda-tanda vital usahakan stabil.
4) Bedrest.
5) Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
6) Hindari kenaikan suhu, batuk, konstipasi, atau cairan suction yang berlebih.
(Saputra, 2015)
1.1.8 . KOMPLIKASI
a. Infark serebri.
b. Hidrosephalus yang sebagian kecil menjadi hidrosephalus
normotensif.
c. Fistula caroticocavernosum.
d. Epistaksis.
e. Peningkatan TIK, tonus otot abnormal.
f. Gangguan otak berat.
g. Kematian bila tidak dapat mengontrol respon pernafasan atau
kardiovaskuler. (Saputra, 2015)

1.1.9. KONSEP TINDAKAN KEPERAWATAN YANG DI BERIKAN


Pathway

Stroke Hemoragik Stroke Non Hemoragik

Peningkatan Thrombus/Emboli
tekanan sistemik di serebral

Aneurisma./APM
Suplai darah ke
jaringan serebral
Perdarahan tidak adekuat
arachnoid/ventrikel

Perfusi jaringan
Vasospasme arteri serebral tidak
Hematoma serebral adekuat
serebral/saraf
serebral
PTIK/Herniosis serebral
Iskemik/infork

Penurunan Penekanan sal


kesadaran pernafasan Defisit neurologi

Pola nafas
tidak efektif
Hemifer kanan Hemifer kiri

Area
brocca Hemiparase/plegi kiri Hemiparase/plegi kanan

Defisit perawatan diri gg. mobilitas fisik


Kerusakan fungsi
nervous VII dan
nervous XII
Kerusakan integritas kulit

Kerusakan
kemunikasi verbal
Kurang pengetahuan

Resiko aspirasi Resiko trauma Resiko jatuh Resti nutrisi


< dari Kebutuhan
1.2. KONSEP KEPERWATAN

a. Identitas
Meliputi identitas klien (nama, umur, jenis kelamin, status, suku, agama,
alamat, pendidikan, diagnosa medis, tanggal MRS, dan tanggal pengkajian
diambil) dan identitas penanggung jawab (nama, umur, pendidikan, agama,
suku, hubungan dengan klien, pekerjaan, alamat).
b. Keluhan Utama
Kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat
berkomunikasi dan penurunan tingkat kesadaran.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Serangan stroke hemoragik sering kali berlangsung sangat mendadak saat klien
sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah
bahkan kejang sampai tidak sadar, kelumpuhan separuh badan atau gangguan
fungsi otak yang lain.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya riwayat hipertensi, DM, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma
kepala, kotrasepsi oral yang lama, penggunan obat-obat anti koagulasi, aspirin,
vasodilator, obat-obat adiktif, kegemukan.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, DM, atau adanya
riwayat stroke dari generasi terdahulu
f. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum
Mengalami penurunan kesadaran, suara bicara, kadang mengalami
gangguan yaitu sukar dimengerti, kadang tidak bisa bicara/afasia, TTV
meningkat, nadi bervariasi.
a) B1 (Breathing)
Pada infeksi didapatkan klien batuk, peningkatan sputum, sesak naps,
penggunaan alat bantu napas, dan peningkatan frekuensi napas. Pada
klien dengan kesadaran CM, pada infeksi peningkatan pernapasannya
tidak ada kelainan, palpasi thoraks didapatkan taktil fremitus
seimbang, auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan.
b) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan (syok
hipovolemik) yang sering terjadi pada klien stroke. Tekanan darah
biasanya terdapat peningkatan dan dapat terjadi hipertensi masif
(tekanan darah >200 mmHg)
c) B3 (Brain)
Stroke yang menyebabkan berbagai defisit neurologis, tergantung pada
likasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran arean
perfusinya tidak adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder atau
aksesori). Lesi otak yang rusak dapat membaik sepenuhnya.
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya
d) B4 (Bladder)
Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine
sememntara karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan
kebutuhan dan ketidakmampuan mengendalian kandung kemih karena
kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang kontrol sfingter urine
eksternal hilang atau berkurang selama periode ini, dilakukan
kateterisasi intermitten dengan teknik steril. Inkontinensia urine yang
berlanjut menunujukkan kerusakan neurologis luas.
e) B5 (Bone)
Pada kulit, jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan jika
kekurangan cairan maka turgor kulit akan buruk. Selain itu, perlu juga
tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonojol karena
klien stroke mengalami masalah mobility frekuensi napas. Pada klien
dengan kesadaran CM, pada infeksi peningkatan pernapasannya tidak
ada kelainan, palpasi thoraks didapatkan taktil fremitus seimbang,
auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan.
f) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan (syok
hipovolemik) yang sering terjadi pada klien stroke. Tekanan darah
biasanya terdapat peningkatan dan dapat terjadi hipertensi masif
(tekanan darah >200 mmHg)
g) B3 (Brain)
Stroke yang menyebabkan berbagai defisit neurologis, tergantung pada
likasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran arean
perfusinya tidak adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder atau
aksesori). Lesi otak yang rusak dapat membaik sepenuhnya.
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya
h) B4 (Bladder)
Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine
sememntara karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan
kebutuhan dan ketidakmampuan mengendalian kandung kemih karena
kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang kontrol sfingter urine
eksternal hilang atau berkurang selama periode ini, dilakukan
kateterisasi intermitten dengan teknik steril. Inkontinensia urine yang
berlanjut menunujukkan kerusakan neurologis luas.
i) B5 (Bone)
Pada kulit, jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan jika
kekurangan cairan maka turgor kulit akan buruk. Selain itu, perlu juga
tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonojol karena
klien stroke mengalami masalah mobilitas fisik. Adanya kesulitan
untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau
paralise/hemiplegi serta mudah lelah menyebabkan masalah pada pola
aktivitas dan istirahat. (Saputra, 2015)
2) Pengkajian Tingkat Kesadaran
Pada klien lanjut usia kesadaran klien stroke biasanya berkisar pada tingkat
latergi, stupor dan koma
3) Pengkajian Fungsi Serebral
Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual, kemampuan
bahasa, lobus frontal dan hemisfer
4) Pangkajian Saraf Kranial
Umumnya terdapat gangguan nervus cranialis VII dan XII central
5) Pengkajian Sistem Motorik
Hampir selalu terjadi kelumpuhan/kelemahan pada salah satu sisi tubuh
6) Pengkajian Reflek
Pada fase akur refleks fisiologis yang lumpuh akan menghilang setelah
beberapa hari reflek fisiologian muncul kembali didahului refleks patologis
7) Pengkajian Sistem Sensori
Dapat terjadi hemihipertensi. (Saputra, 2015)
1.3. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Gangguan perfusi jaringan serebral b.d gangguan aliran darah sekunder akibat
peningkatan tekanan intra cranial.
b. Gangguan komunikasi verbal b.d kehilangan kontrol otot facial atau oral.
c. Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuscular.
d. Defisit perawatan diri b.d hemiparese/ hemiplegic.
e. Resiko tinggi ketidakefektifan pola napas b.d menurunnya reflek batuk dan
menelan, immobilisasi.
f. Resiko tinggi gangguan intergritas kulit b.d tirah baring lama.
g. Resiko tinggi gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
ketidakmampuan menelan.
h. Defisiensi pengetahuan b.d informasi yang tidak adekuat. (Nanda, 2013)
i. Resiko Jatuh
1.4. INTERVENSI KEPERWATAN
a. Gangguan perfusi jaringan serebral b.d aliran darah sekunder akibat
peningkatan tekanan intracranial.
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
perfusi jaringan otak dapat tercapai secara optimal.
Kriteria Hasil :
1) Klien tidak gelisah.
2) Tidak ada keluhan nyeri kepala, mual, kejang.
3) GCS E : 4, M: 6, V: 5.
4) TTV normal (N: 60-100 x/menit, S: 36-36.7 OC, RR: 16-20 x/menit).
Intervensi:
1) Berikan penjelasan pada keluarga tentang sebab-sebab peningkatan TIK
dan akibatnya.
2) Berikan klien bed rest total.
3) Observasi dan catat TTV dan kelainan intrakranial tiap 2 jam.
4) Berikan posisi kepala lebih tinggi 15-30o dengan letak jantung (beri bantal
tipis)..
5) Anjurkan klien untuk menghindari batuk dan mngejan berlebihan..
6) Ciptakan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjung.
7) Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian obat neuroprotektor
b. Gangguan komunikasi verbal b.d kehilangan kontrol otot facial atau oral.
Tujuan & Kriteria Hasil :
1) Kemampuan berbicara meningkat dari 1 ke 5
2) Afasia meningkat dari 5 ke 1
Intervensi :
1) Monitor kecepatan, tekanan, kuantitas, volume dan diksi bicara
2) Berikan dukungan psikologis
3) Anjurkan berbicara perlahan
c. Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuscular.
Tujuan dan Kriteria Hasil :
1) Pergerakan ekstremitas meningkat dari 1 ke 5
2) Kekuatan otot meningkat dari 1 ke 5
3) Rentang Gerak (ROM) meningkat dari 1 ke 5
Intervensi :
1) Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
2) Fasilitasi melakukan pergerakan
3) Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam melakukan pergerakan
4) Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi.
d. Defisit perawatan diri b.d hemiparese/ hemiplegic.
Tujuan & Kriteria Hasil :
1) Kemampuan mandi meningkat dari 1 ke 5
2) Kemampuan menggunakan pakaian meningkat dari 1 ke 5
3) Kemampuan toileting meningkat dari 1 ke 5
Intervensi :
1) Monitor tingkat kemandirian
2) Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan diri,berpakaian, bersiap dan
makan
3) Jadwalkan rutinitas perawatan diri
4) Anjurkan melakukan perawatan diri secara konsisten sesuai kemampuan
e. Resiko tinggi ketidakefektifan pola napas b.d menurunnya reflek batuk dan
menelan, immobilisasi.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
pola nafas efektif.
Kriteria hasil :
1) Klien tidak sesak nafas.
2) Tidak terdapat suara nafas tambahan.
3) RR dalam rentang normal (16-20 x/menit)
Intervensi :
1) Observasi pola dan frekuensi nafas.
2) Auskultasi suara nafas.
3) Ubah posisi tiap 2 jam sekali..
4) Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga sebab ketidakefektifan pola
nafas.
Rasional : klien dan keluarga berpartisipasi dalam mencegah
ketidakefektifan pola nafas.
5) Kolaborasi dalam pemberian terapi oksigen.
f. Resiko tinggi gangguan intergritas kulit b.d tirah baring lama
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
klien mampu mempertahankan keutuhan kulit.
Kriteria hasil :
1) Tidak ada tanda-tanda kemerahan atau luka.
Intervensi :
1) Anjurkan untuk melakukan latihan ROM jika mungkin..
2) Ubah posisi tiap 2 jam.
3) Gunakan bantal air atau pengganjal yang lunak di bawah daerah yang
menonjol.
4) Observasi terhadap eritema dan kepucatan dan palpasi area sekitar terhadap
kehangatan dan pelunakan jaringan tiap merubah posisi.
Rasional : hangat dan pelunakan adalah tanda kerusakan jaringan.
5) Jaga kebersihan kulit dan seminimal mungkin hindari trauma, panas
terhadap kulit.
g. Resiko tinggi gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
ketidakmampuan menelan.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
tidak terjadi gangguan nutrisi.
Kriteria hasil :
1) Turgor kulit baik.
2) Tidak terjadi penurunan berat badan.
3) Tidak muntah.
Intervensi :
1) Tentukan kemampuan klien dalam mengunyah, menelan, dan reflex batuk..
2) Berikan makan dengan bertahan pada lingkungan yang tenang.
3) Berikan makanan dalam penyajian masih hangat.
4) Kolaborasi dengan dokter untuk memberikan makanan melalui selang.
5) Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diit yang tepat.
h. Defisiensi pengetahuan b.d informasi tidak adekuat.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
kebutuhan pengetahuan klien dan keluarga terpenuhi.
Kriteria hasil :
1) Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi,
prognosis, dan program pengobatan.
Intervensi :
1) Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses
penyakit yang spesifik.
2) Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi dengan cara yang tepat.
3) Sediakan bagi keluarga tentang informasi kemajuan keadaan pasien.
4) Diskusikan dalam pemilihan terapi atau penanganan terhadap pasien.
i. Resiko Jatuh
Tujuan & Kriteria Hasil :
1) Jatuh saat berjalan menurun dari 5 ke 1
Intervensi :
1) Identifikasi faktor resiko jatuh
2) Anjurkan menggunakan alas kaki yang tidak licin
3) Anjurkan melebarkan jarak kedua kaki untuk meningkatkan keseimbangan
saat berdiri
1.5. IMPLEMENTASI
Implementasi adalah inisiatif dari rencana tindakan keperawatan untuk mencapai
tujuan yang spesifik (Ferry, 2016)
1.6. EVALUASI
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi prose keperawatan yang
menandakan seberapa jauh diagnose keperawatan, rencana keperawatan dan
implementasi sudah berhasi dicapai (Ferry, 2016)
DAFTAR PUSTAKA
Ferry, E. (2016). keperawatan kesehatan komunitas teori dan praktik dalam keperawatan. jakarta:
Salemba Medika.

NANDA International. Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2012-2014. Jakarta: EGC.
Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardi. 2013. Panduan Penyusunan Asuhan Keperawatan
Profesional Jilid 2. Yogyakarta: Media Action Publishing.
Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardi. 2015. Panduan Penyusunan Asuhan Keperawatan
Profesional Jilid 3. Yogyakarta: Media Action Publishing.
Wilkinson, Judith M. & Ahern, Nancy R. 2014. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 9. Jakarta:
EGC.
Saputra, A. D. (2015). Stroke Hemoragik. Academik keperawatan, 48.

Siti Nur Kholifah, SKM, M.Kep, S. K. (2016). KEPERWATAN GERONTIK.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Defenisi dan
Indikator Diagnostik. Jakarta : Dewan Pengurus PPNI

Anda mungkin juga menyukai