DISUSUN OLEH :
ALDA RATIKA
G1B221015
PEMBIMBING AKADEMIK:
Ns. Luri Mekeama, S. Kep., M.Kep
PEMBIMBING KLINIK:
Ns. Ana, S. Kep
3) Menurut Hurlock, perbedaan lanjut usia terbagi dalm dua tahap yaitu:
a. Early old age (usia 60-70 tahun)
b. Advanced old age (usia 70 tahun ke atas)
4. Karakteristik Lansia
Lansia memiliki karakteristik yang berusia lebih dari 60 tahun, kebutuhan
dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, kebutuhan
biopsikososial dan spiritual, kondisi adaptif hingga kondisi maladaptif
(Maryam, 2008).
5. Klasifikasi Lansia
Menurut Depkes RI (2016) klasifikasi lansia terdiri dari:
1) Pra lansia yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun
2) Lansia ialah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih
3) Lansia resiko tinggi ialah seseorang yang berusia 60 tahun lebihdengan
masalah kesehatan
4) Lansia potensial ialah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaandan
kegiatan yang dapat mengahasilkan barang atau jasa
5) Lansia tidak potensial ialah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah,
sehingga hidupnya tergantung pada bantuan orang lain
6. Ciri-Ciri Lansia
Menurut Depkes RI (2016), ciri-ciri lansia adalah sebagai berikut :
a. Lansia merupakan periode kemunduran
Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor
psikologis sehingga motivasi memiliki peran yang penting dalam
kemunduran pada lansia. Misalnya lansiayang memiliki motivasi yang
rendah dalam melakukan kegiatan, maka akanmempercepat proses
kemunduran fisik, akan tetapi ada juga lansia yang memilikimotivasi yang
tinggi, maka kemunduran fisik pada lansia akan lebih lama terjadi.
b. Lansia memiliki status kelompok minoritas
Kondisi ini sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan
terhadap lansiadan diperkuat oleh pendapat yang kurang baik, misalnya
lansia yang lebih senangmempertahankan pendapatnya maka sikap sosial di
masyarakat menjadi negatif, tetapiada juga lansia yang mempunyai
tenggang rasa kepada orang lain sehingga sikap sosialmasyarakat menjadi
positif.
c. Menua membutuhkan perubahan peran
Perubahan peran pada lansia sebaiknya dilakukan atas dasarkeinginan
sendiri bukan atas dasar tekanan dari lingkungan. Misalnya
lansiamenduduki jabatan sosial di masyarakat sebagai Ketua RW, sebaiknya
masyarakattidak memberhentikan lansia sebagai ketua RW karena usianya.
d. Penyesuaian yang buruk pada lansia
Perlakuan yang buruk terhadap lansia membuat mereka cenderung
mengembangkankonsep diri yang buruk sehingga dapat memperlihatkan
bentuk perilaku yang buruk.Akibat dari perlakuan yang buruk itu membuat
penyesuaian diri lansia menjadi buruk pula. Contoh: lansia yang tinggal
bersama keluarga sering tidak dilibatkan untukpengambilan keputusan
karena dianggap pola pikirnya kuno, kondisi inilah yangmenyebabkan
lansia menarik diri dari lingkungan, cepat tersinggung dan bahkanmemiliki
harga diri yang rendah.
3. Klasifikasi
Menurut Wijaya dan Putri (2014) kasifikasi asma berdasarkan berat
penyakit,antara lain :
a. Tahap I : Intermitten
Penampilan klinik sebelum mendapat pengobatan :
1) Gejala inermitten < 1 kali dalam seminggu
2) Gejala eksaserbasi singkat (mulai beberapa jam sampai beberapa hari)
3) Gejala serangan asma malam hari < 2 kali dalam sebulan
4) Asimptomatis dan nilai fungsi paru normal diantara periode eksaserbasi
5) PEF atau FEV1 : ≥ 80% dari prediksi
6) Variabilitas < 20%
7) Pemakaian obat untuk mempertahankan kontrol :
8) Obat untuk mengurangi gejala intermitten dipakai hanya kapan perlu
inhalasi jangka pendek β2 agonis
9) Intensitas pengobatan tergantung pada derajat eksaserbasi
kortikosteroid oral mungkin dibutuhkan.
b. Tahap II : Persisten ringan
Penampilan klinik sebelum mendapatkan pengobatan :
1) Gejala ≥ 1 kali seminggu tetapi < 1 kali sehari
2) Gejala eksaserbasi dapat mengganggu aktivitas dan tidur
3) Gejala serangan asma malam hari > 2 kali dalam sebulan
4) PEF atau FEV1 : > 80 % dari prediksi Variabilitas 20-30%
5) Pemakaian obat harian untuk mempertahankan kontrol :
Obat-obatan pengontrol serangan harian mungkin perlu bronkodilator
jangka panjang ditambah dengan obat-obatan antiinflamasi (terutama
untuk serangan asma malam hari.
5. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis yang dapat ditemui pada pasien asma diantaranya ialah :
a. Stadium Dini
1) Faktor hipersekresi yang lebih menonjol
a) Batuk berdahak disertai atau tidak dengan pilek
b) Ronchi basah halus pada serangan kedua atau ketiga, sifatnya hilang
timbul
c) Wheezing belum ada
d) Belum ada kelainan bentuk thorak
e) Ada peningkatan eosinofil darah dan IgE
f) BGA belum patologis
b. Stadium lanjut/kronik
1) Batuk, ronchi
2) Sesak napas berat dan dada seolah-olah tertekan
3) Dahak lengket dan sulit dikeluarkan
4) Suara napas melemah bahkan tak terdengar (silent chest)
5) Thorak seperti barel chest
6) Tampak tarikan otot stenorkleidomastoideus
7) Sianosis
8) BGA Pa O2 kurang dari 80%
9) Terdapat peningkatan gambaran bronchovaskuler kiri dan kanan pada
Rongen paru
10) Hipokapnea dan alkalosis bahkan asidosis respiratorik (Padila, 2015)
7. Patofisiologi
Asma adalah obstruksi jalan nafas difus reversibel. Obstruksi disebabkan
oleh satu atau lebih dari konstraksi otot-otot yang mengelilingi bronkhi, yang
menyempitkan jalan nafas, atau pembengkakan membran yang melapisi
bronkhi, atau penghisap bronkhi dengan mukus yang kental. Selain itu, otot-
otot bronkhial dan kelenjar mukosa membesar, sputum yang kental, banyak
dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflasi, dengan udara terperangkap di dalam
jaringan paru. Mekanisme yang pasti dari perubahan ini belum diketahui, tetapi
ada yang paling diketahui adalah keterlibatan sistem imunologis dan sisitem
otonom.
Beberapa individu dengan asma mengalami respon imun yang buruk
terhadap lingkungan mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian
menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen
mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi, menyebabkan pelepasan produk
sel-sel mast (disebut mediator) seperti histamin, bradikinin, dan prostaglandin
serta anafilaksis dari substansi yang bereaksi lambat (SRS-A). Pelepasan
mediatorini dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan
nafas, menyebabkan bronkospasme, pembengkakan membaran mukosa dan
pembentukan mukus yang sangat banyak.
Sistem saraf otonom mempengaruhi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh
impuls saraf vagal melalui sistem parasimpatis, Asma idiopatik atau nonalergik,
ketika ujung saraf pada jalan nafas dirangsang oleh faktor seperti infeksi,
latihan, dingin, merokok, emosi dan polutan, jumlah asetilkolin yang dilepaskan
meningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara langsung menyebabkan
bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi yang
dibahas di atas. Individu dengan asma dapat mempunyai toleransi rendah
terhadap respon parasimpatis.
Selain itu, reseptor α- dan β- adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak
dalam bronki. Ketika reseptor α- adrenergik dirangsang terjadi
bronkokonstriksi, bronkodilatasi terjadi ketika reseptor β- adregenik yang
dirangsang. Keseimbangan antara reseptor α- dan β- adregenik dikendalikan
terutama oleh siklik adenosin monofosfat (cAMP). Stimulasi reseptor alfa
mengakibatkan penurunan cAMP, mngarah pada peningkatan mediator
kimiawi yang dilepaskan oleh sel mast bronkokonstriksi. Stimulasi reseptor
beta adrenergik mengakibatkan peningkatan tingkat cAMP yang menghambat
pelepasan mediator kimiawi dan menyababkan bronkodilatasi. Teori yang
diajukan adalah bahwa penyekatan β- adrenergik terjadi pada individu dengan
asma. Akibatnya asmatik rentan terhadap peningkatan pelepasan mediator
kimiawi dan konstriksi otot polos (Wijaya dan Putri, 2014).
8. Pathway
9. Pemeriksaan penunjang
10. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan menurut Wijaya & Putri (2014) yaitu :
Non farmakologi, tujuan dari terapi asma :
a) Menyembuhkan dan mengendalikan gejala asma
b) Mencegah kekambuhan
c) Mengupayakan fungsi paru senormal mungkin serta mempertahankannya
d) Mengupayakan aktivitas harian pada tingkat normal termasuk melakukan
exercise
e) Menghindari efek samping obat asma
f) Mencegah obstruksi jalan nafas yang ireversibel
b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada pasien asma menurut SDKI
(2017) dan Donsu, Induniasih, dan Purwanti (2015) yaitu :
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan ketidakmampuan
keluarga memberikan perawatan bagi anggotanya yang sakit
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga
memberikan perawatan bagi anggotanya yang sakit
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga
memberikan perawatan bagi anggotanya yang sakit
4. Ansietas berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga mengambil
keputusan dalam merawat anggota yang sakit
5. Manajement kesehatan keluarga tidak efektif berhubungan dengan
ketidakmampuan keluarga mengambil keputusan dalam merawat anggota
yang sakit
c. Rencanaan Keperawatan
Rencanaan keperawatan merupakan rencana tindakan yang akan
diberikan kepada klien sesuai dengan kebutuhan berdasarkan diagnosa
keperawatan yang muncul. Rencana keperawatan berdasarkan Standar
Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI, 2018) dan Standar Luaran
Keperawatan Indonesia (SLKI,2019) dapat dijabarkan dalam tabel sebagai
berikut :
Tabel 1. Rencanaan Keperawatan
NO DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI
1. Bersihan jalan Setelah dilakukan Intervensi :
nafas tidak tindakan keperawatan Manajementjalan nafas
efektif diharapkan klien 1. Observasi
berhubungan jalan nafas klien a. Monitor bunyi nafas
dengan tetap paten dengan tambahan
ketidakmampua kriteria hasil : b. Monitor sputum
n keluarga 1. Batuk efektif 2. Terapeutik
memberikan meningkat a. Posisikan semifowler
perawatan bagi 2. Produksi sputum ataufowler
anggotanya menurun b. Berikan minum
yang sakit 3. Mengi menurun hangat
4. Wheezing c. Berikan oksigen jika
menurun perlu
5. Gelisah menurun 3. Edukasi
6. Frekuensi nafas a. Ajarkan teknik
membaik batuk efektif
7. Polanafas 4. Kolaborasi
membaik a. Kolaborasipemberian
Bronkodilator,
ekspektoran,
mukolitik
Intervensi :
ManajementAsma
1. Observasi
a. Monitor frekuensi
dan keadaan nafas
b. Monitor tanda dan
gejala hipoksia
c. Monitor bunyi nafas
tambahan
2. Terapeutik
a. Berikan posisi
semifowler 30-45o
3. Edukasi
a. Anjurkan
meminimalkan
ansietas yang dapat
meningkatkan
kebutuhan oksigen
b. Anjurkan bernafas
lambat dan dalam
c. Ajarkan
mengidentifikasi dan
menghindaripemicu
2. Gangguan Setelah diberikan Intervensi : Pemantauan
pertukaran gas tindakan respirasi
berhubungan keperawatan 1. Observasi
dengan diharapkan a. Monitor frekuensi,
ketidakmampuan pernafasan pasien irama, kedalaman dan
keluarga membaik, dengan upaya nafas
memberikan kriteria hasi : b. Monitor pola nafas
perawatan bagi 1. Tingkat kesadaran c. Monitor kemampan
anggotanya yang pasienmeningkat batuk efektif
sakit 2. Bunyi nafas d. Monitor adanya
tambahan produksi sputum
menurun e. Monitor adanya
3. Gelisah menurun sumbatan jalan nafas
4. Nafas cuping f. Palpasi kesimetrisan
hidung menurun ekspansi paru
g. Auskultasi bunyi
nafas
h. Monitor saturasi
oksigen
2. Terapeutik
a. Atur interval
pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
b. Dokumentasikanhasil
pantauan
3. Edukasi
a. Jelaskan tujuan
prosedur pemantauan
b. Informasikan hasil
pemantauan
Intervensi :
Dukunganventilasi
1. Observasi
a. Identifikasi adanya
kelelahan otot bantu
nafas
b. Monitorr status
espirasi dan
oksigenasi
2. Terapeutik
a. Pertahankan
kepatenan jalan
nafas
b. Berikan posisi
semifowler atau
fowler
c. Berikan oksigenasi
sesuai kebutuhan
3. Edukasi
a. Ajarkan malakukan
teknik relaksasinafas
dalam
b. Ajarkan teknik
batuk efektif
3. Pola nafas tidak Setelah dilakukan Intervensi :
efektif tindakan Manajementjalan nafas
berhubungan keperawatan pola 1. Observasi
dengan nafas pasien kembali a. Monitor pola nafas
ketidakmampuan normal, dengan 2. Terapeutik
keluarga kriteria hasil : a. Posisikan
memberikan 1. Ventilasi semenit semifowler atau
perawatan bagi meningkat fowler
anggotanya yang 2. Tekanan ekspirasi b. Berikan oksigen
sakit daninspirasi jikaperlu
meningkat 3. Edukasi
3. Penggunaan otot Ajarkan teknik batuk
bantu nafas efektif
menurun Intervensi : Dukungan
4. Frekuensi nafas ventilasi
membail 1. Observasi
5. Kedalaman nafas a. Identifikasi adanya
membaik kelelahan otot bantu
nafas
b. Monitorr status
c. respirasi dan
oksigenasi
2. Terapeutik
a. Pertahankan
kepatenan jalan
nafas
b. Berikan posisi
semifowler atau
fowler
c. Berikan oksigenasi
sesuai kebutuhan
3. Edukasi
Ajarkan malakukan teknik
relaksasinafas dalam
4. Ansietas Setelah dilakukan Intervensi : Terapi
berhubungan tindakan keperawatan relaksasi otot progresif
dengan diharapkan 1. Observasi
ketidakmampuan kecemasan pasien a. Identifikasi tempat yang
keluarga berkurang, dengan tenang dan nyaman
mengambil kriteria hasil : b. Monitor secara berkala
keputusan dalam 1. Kekhawatiran untuk memastikan otot
merawat anggota akibat kondisi rileks
yang sakit yang dihadapi c. Monitor adanya
menurun indikator tidak rileks
2. Perilaku gelisah 2. Terapeutik
menurun a. Atur lingkungan agar
3. Perilaku tegang tidak ada gangguan
menurun saat terapi
Frekuensi b. Berikan posisi yang
pernafasan nyaman bersandar
menurun dikursi atau posisi
5. Frekuensi nadi tidur
menurun c. Beri waktu
6. Tekanan darah mengungkapkan
menurun perasaan tentang
7. Pucat menurun terapi
Konsentrasimembaik 3. Edukasi
a. Anjurkan memakai
pakaian yang
nyaman dan tidak
sempit
b. Ajarkan langkah-
langkah sesuai
prosedur
c. Anjurkan
menegangkan otot
selama 5 sampai 10
detik, kemudian
anjurkan merilekskan
otot 20- 30 detik,
masing masing 4-8
kali
d. Anjurkan
menegangkan otot
kaki selama tidak
lebih dari 5 detik
untuk menghindari
kram
e. Anjurkan fokus pada
sensasi otot yang
menegang
f. Anjurkan fokus pada
sensasi otot yang
rileks
g. Anjurkan bernafas
dalam dan perlahan
5. Manajement Setelah dilakukan Intervensi :
kesehatan tindakan keperawatan PendampinganKeluarga
keluarga tidak diharapkan keluarga 1. Observasi
efektif mampu mengambil a. Identifikasi
berhubungan keputusan, dengan kebutuhan keluarga
dengan kriteria hasil: terkait masalah
ketidakmampuan 1. Kemampuan kesehatan keluarga
keluarga menjelaskan b. Identifikasi tugas
mengambil masalah kesehatan kesehatan keluarga
keputusan dalam yang dialami yang terhambat
merawat anggota meningkat c. Identifikasi dukungan
yang sakit 2. Aktifitas keluarga spiritualyang
mengatasi masalah mungkin untuk
kesehatan dengan keluarga
tepat meningkat 2. Terapeutik
3. Tindakan untuk a. Berikan harapan
mengurangi faktor yang realistis
resikomeningkat b. Bina hubungan
4. Gejala penyakit saling percaya
anggota menurun dengan keluarga
5. Kemampuan c. Dengarkan keinginan
melakukan danperasaan keluarga
tindakan d. Dukung mekanisme
pencegahan koping adaptif yang
masalah kesehatan digunakan keluarga
meningkat 3. Edukasi
6. Kemampuan a. Ajarkan mekanisme
peningkatkan koping yang dapat
kesehatan dijalankan keluarga
meningkat Intervensi : Dukungan
7. Pencapaian Keluarga Merencanakan
pengendalian Perawatan
kesehatan 1. Observasi
a. Identifikasi
kebutuhan dan
harapan keluarga
tentang kesehatan
b. Identifikasi tindakan
yang dapat dilakukan
keluarga
2. Terapeutik
a. Motivasi
pengembangan sikap
dan emosi yang
mendukungupaya
kesehatan
b. Ciptakan perubahan
lingkungan rumah
secara optimal
3. Edukasi
Ajarkan cara perawatan
yang bisa dilakukan
keluarga
d. Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan keperawatan adalah pemberian asuhan keperawatan yang
dilakukan secara langsung kepada pasien. Kemampuan yang harus dimiliki
perawat pada tahap implementasi adalah kemampuan komunikasi yang efektif,
kemampuan untuk menciptakan hubungan saling percaya dan saling membantu,
kemampuan tekhnik psikomotor, kemampuan melakukan observasi sistematis,
kemampuan memberikan pendidikan kesehatan, kemampuan advokasi dan
evaluasi. Tahap pelaksanaan keperawatan meliputi: fase persiapan
(preparation), tindakan dan dokumentasi.
e. Evaluasi Keperawatan
Menurut Dion dan Betan (2013) evaluasi keperawatan adalah tahap akhir
dari proses keperawatan yang merupakan perbandingan sistematis dan
terencana antara hasil akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang
dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan
dengan melibatkan klien dan keluarga. Evaluasi bertujuan untuk melihat
kemampuankeluarga dalam mencapai tujuan. Evaluasi terbagi atas dua jenis,
yaitu:
a) Evaluasi Formatif
Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses keperawatan dan hasil
tindakan keperawatan. Evaluasi ini dilakukan segera setelah perawat
mengimplementasikan rencanan keperawatan guna menilai keefektifan
tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Perumusan evaluasiformatif
ini meliputi empat komponen yang dikenal dengan istilah SOAP, yakni
Subjektif (data berupa keluhan klien), Objektif (data hasil pemeriksaan),
Analisa data (perbandingan data dengan teori), danPlanning (perencanaan).
b) Evaluasi Sumatif
Evaluasi Sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah semua aktifitas
proses keperawatan selesai dilakukan. Evaluasi sumatif ini bertujuan
menilai dan memonitor kualitas asuhan keperawatan yang telah diberikan.
Metode yang dapat digunakan pada evaluasi jenis ini adalah melakukan
wawancara pada akhir layanan, menanyakan respon pasien dan keluarga
terkait layanan keperawatan, mengadakan pertemuan pada akhir pelayanan.
DAFTAR PUSTAKA
Almazini, 2012. Bronchial Thermoplasty Pilihan Terapi Baru Untuk Asma Berat.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Azizah Dan Lilik M. 2011. Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta: Graha Ilmu
Depkes RI. 2016. Situasi Lanjut Usia (Lansia) Di Indonesia. Infodatin Pusat Data
dan Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. ISSN 2442-7659
Dion Dan Betan. Asuhan Keperawatan Keluarga Konsep dan Pratik. Yogyakarta:
Nuha Medika
Maryam, 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatnnya. Jakarta: Salemba Medika
PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI