Anda di halaman 1dari 33

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Lansia


2.1.1 Pengertian Lansia
Menurut World Health Organization (WHO), lansia adalah
seseorang yang telah memasuki usia 60 tahun ke atas. Lansia merupakan
kelompok umur pada manusia yang telah memasuki tahapan akhir dari fase
kehidupannya. Kelompok yang dikategorikan lansia ini akan terjadi suatu
proses yang disebut aging process atau proses penuaan. Lansia merupakan
salah satu kelompok atau populasi dengan risiko yang semakin meningkat
jumlahnya. Populasi dengan risiko merupakan sekelompok orang yang
masalah kesehatannya memiliki kemungkinan akan berkembang lebih buruk
karena adanya faktor-faktor risiko yang mempengaruhinya (Mendes et al,
2018).
Undang-Undang No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia
menyatakan bahwa lansia merupakan seseorang yang mencapai usia 60
tahun ke atas. Secara biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk yang
mengalami proses penuaan secara terus menerus, yang ditandai dengan
menurunnya daya tahan tubuh atau semakin rentannya terhadap serangan
penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal tersebut disebabkan
terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem
organ (Puteri, 2015).
2.1.2 Batasan Usia Lansia
Batasan lansia menurut WHO (2016) meliputi usia pertengahan
(middle age) antara 44-59 tahun, usia lanjut (elderly) antara 60-74 tahun,
lanjut usia tua (old) antara 75-90 tahun, dan usia sangat tua (very old) > 90
tahun.
2.1.3 Klasifikasi Lansia
Menurut Depkes RI (2013) klasifikasi lansia terdiri dari :
1. Pra lansia yaitu seorang yang berusia antara 45-59 tahun.
2. Lansia ialah seorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
3. Lansia risiko tinggi ialah seorang yang berusia 60 tahun atau lebih
dengan masalah kesehatan.
4. Lansia potensial adalah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan
dan kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa.
5. Lansia tidak potensial ialah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah
sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.
2.1.4 Karakteristik Lansia
Menurut Pusat Data dan Informasi, Kementerian Kesehatan RI
(2016), karakteristik lansia dapat dilihat berdasarkan kelompok berikut ini :
1. Jenis kelamin
Lansia lebih didominasi oleh jenis kelamin perempuan. Artinya, ini
menunjukan bahwa harapan hidup yang paling tinggi adalah perempuan.
2. Status perkawinan
Penduduk lansia ditilik dari status perkawinannya sebagian besar
berstatus kawin 60% dan cerai mati 37%.
3. Living arrangement
Angka beban tanggungan adalah angka yang menunjukan perbandingan
banyaknya orang tidak produktif (umur < 15 tahun dan > 65 tahun)
dengan orang berusia produktif (umur 15-64 tahun). Angka tersebut
menjadi cermin besarnya beban ekonomi yang harus ditanggung
penduduk usia produktif untuk membiayai penduduk usia nonproduktif.
4. Kondisi kesehatan
Angka kesakitan merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk
mengukur derajat kesehatan penduduk. Angka kesakitan bisa menjadi
indikator kesehatan negatif. Artinya, semakin rendah angka kesakitan
menunjukan derajat kesehatan penduduk yang semakin baik.
2.1.5 Proses Menua
Menua atau proses menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi di
dalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang
hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak
permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah, yang berarti
seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu anak, dewasa dan
tua. Tiga tahap ini berbeda, baik secara biologis maupun psikologis.
Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, misalnya kemunduran
fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut memutih, gigi
mulai ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk,
gerakan lambat dan postur tubuh yang tidak proporsional (Nugroho, 2012).
2.1.6 Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia
Menua atau menjadi tua membawa perubahan serta pengaruh
menyeluruh baik mental, fisik, moral, spiritual dan sosial yang
keseluruhannya antara satu bagian dengan bagian lainnya saling memiliki
keterikatan. Perubahan-perubahan memerlukan penyesuaian diri (Padila,
2013). Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia diantaranya adalah:
1. Perubahan Fisik
Perubahan yang bersifat fisik antara lain adalah penurunan
kekuatan fisik, stamina dan penampilan. Hal ini dapat menyebabkan
beberapa orang menjadi depresi atau merasa tidak senang saat memasuki
masa usia lanjut, mereka menjadi tidak efektif dalam pekerjaan dan
peran sosial, jika mereka bergantung pada energi fisik yang sekarang
tidak dimilikinya lagi (Azizah, 2017). Secara umum penuaan ditandai
dengan kemunduran biologis dan dilihat sebagai kemunduruan fisik,
yakni :
a. Kulit wajah mulai mengeriput, mengendur, serta garis-garis yang
menetap
b. Penciuman mulai berkurang
c. Gigi mulai tangal dan lepas (ompong)
d. Pola tidur berubah
e. Rambut kepala mulai memutih dan beruban
f. Nafsu makan menurun
g. Mudah lelah dan mudah jatuh
h. Penglihatan dan pandangan berkurang
i. Gerakan menjadi lamban
j. Mudah terserang penyakit
2. Perubahan Sosial
Menurut Ratnawati (2017) perubahan psikososial erat kaitannya
dengan keterbatasan produktivitas kerjanya. Oleh karena itu, lansia yang
memasuki masa-masa pensiun akan mengalami kehilangan-kehilangan
sebagai berikut:
a. Kehilangan finansial (pedapatan berkurang).
b. Kehilangan status (jabatan/posisi, fasilitas).
c. Kehilangan teman/kenalan atau relasi
d. Kehilangan pekerjaan/kegiatan
3. Perubahan Mental
Perubahan psikis atau mental yang terjadi pada lansia dapat berupa
sikap yang mudah curiga dan bertambah pelit apabila memiliki sesuatu
dan semakin egosentrik. Terdapat hal penting yang perlu di pahami yaitu
keinginan untuk memiliki umur panjang dan seminimal mungkin dengan
hemat tenaga, ingin tetap berwibawa dengan tetap mempertahankan hak
dan hartanya, mengharapkan tetap memberikan peran dalam masyarakat
dan menginginkan meninggal secara terhormat (Nugroho et al, 2018).
4. Perubahan Psikologis
Perubahan psikososial selama proses penuaan akan melibatkan
proses transisi kehidupan dan kehilangan. Semakin panjang usia
seseorang, maka akan semakin banyak pula transisi dan kehilangan yang
harus dihadapi. Transisi hidup, yang mayoritas disusun oleh pengalaman
kehilangan, meliputi masa pensiun dan perubahan keadaan finansial,
perubahan peran dan hubungan, perubahan kesehatan, kemampuan
fungsional dan perubahan jaringan sosial. Bahaya psikologis pada lansia
dianggap memiliki dampak lebih besar dibandingkan dengan usia muda,
karena penyesuaian pribadi dan sosial pada lansia jauh lebih sulit.
Dengan demikian dibutuhkan kondisi hidup yang menunjang agar lansia
dapat menjalani masa lansia dengan baik dan memuaskan, kondisi hidup
yang menunjang. Kondisi hidup ini antara lain adalah sosial ekonomi,
kesehatan, kemandirian, kesehatan mental (Kemensos RI, 2012).
2.1.7 Penyakit Yang Sering Dijumpai Pada Lansia
Menurut Nugroho (2008), penyakit yang sering dijumpai pada lansia yaitu:
1. Penyakit Sistem Pernafasan
Fungsi paru-paru mengalami kemunduran dengan datangnya usia tua
yang disebabkan elastisitas jaringan paru dan dinding dada semakin
berkurang. Dalam usia yang lebih lanjut, kekuatan kontraksi otot
pernafasan dapat berkurang sehingga sulit bernafas. Fungsi paru
menentukan konsumsi oksigen seseorang, yakni jumlah oksigen yang
diikat oleh darah dalam paru untuk digunakan tubuh. Jadi, konsumsi
oksigen sangat erat hubungannya dengan arus darah ke paru-paru.
Dengan demikian mudah dimengerti bahwa konsumsi oksigen akan
menurun pada usia lanjut. Infeksi yang sering diderita lanjut usia adalah
pneumonia bahkan mempunyai angka kematian cukup tinggi. Secara
patofisiologis, lanjut usia tanpa penyakit saja sudah mengalami
penurunan fungsi paru, apalagi menderita Tuberkulosis/TB Paru maka
akan jelas memperburuk keadaan.
2. Penyakit Sistem Kardiovaskuler
Pada orang lanjut usia, umumnya besar jantung akan sedikit mengecil.
Yang paling banyak mengalami penurunan adalah rongga bilik kiri,
akibat semakin berkurangnya aktivitas. Yang juga mengalami penurunan
adalah besarnya sel-sel otot jantung hingga menyebabkan menurunnya
kekuatan otot jantung. Tekanan darah akan naik secara bertahap.
Perubahan yang jauh lebih bermakna dalam kehidupan lanjut usia adalah
terjadi pada pembuluh darah. Proses yang disebut sebagai Arterisklerosis
atau pengapuran dinding pembuluh darah dapat terjadi dimana-mana.
Proses pengapuran ini akan berlanjut menjadi proses yang menghambat
aliran darah yang pada suatu saat dapat menutup pembuluh darah. Pada
tahap awal gangguan dari dinding pembuluh darah yang menyebabkan
elastisitasnya berkurang memacu jantung bekerja lebih keras, karena
terjadi hipertensi. Bila terjadi sumbatan maka jaringan yang dialiri zat
asam oleh pembuluh darah ini akan rusak/mati, terjadi infark. Bila
terjadi di otak akan terjadi stroke, bila terjadi di jantung dapat
menyebabkan infark jantung atau infark miokard.
3. Penyakit Sistem Pencernaan
Produksi saliva menurun sehingga mempengaruhi proses perubahan
kompleks karbohidrat menjadi disakarida. Fungsi ludah sebagai pelican
makanan berkurang sehingga proses menelan lebih sukar. Keluhan
seperti, kembung, perasaan tidak enak di perut dan sebagainya,
seringkali disebabkan makanan yang kurang bisa dicerna akibat
berkurangnya toleransi terhadap makanan terutama yang mengandung
lemak. Penyakit dan gangguan pada lambung yaitu gastritis atau proses
inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa lambung, insidensi
gastritis meningkat dengan lanjutnya proses menua. Ulkus peptikum
yang bisa terjadi di esophagus, lambung dan duodenum walaupun kadar
asam lambung pada lanjut usia sudah menurun, insidensi ulkus di
lambung masih lebih banyak di banding ulkus duodenum.
4. Penyakit Sistem Urogenital
Peradangan pada sistem urogenital terutama dijumpai di wanita lanjut
usia berupa peradangan kandung kemih sampai peradangan sisa akibat
sisa air seni pada vesika urinaria. Keadaan ini disebabkan berkurangnya
tonus kandung kemih dan adanya tumor yang menyumbat saluran
kemih. Pada pria berusia 50 tahun, sisa air seni dalam kandung kemih
dapat disebabkan pembesaran kelenjar prostat (hipertrofi prostat).
5. Penyakit Gangguan Endokrin (Metabolik)
Penyakit metabolik yang banyak yang terjadi pada lanjut usia terutama
disebabkan menurunnya produksi hormon antara lain terlihat pada
wanita mendekati 50 tahun yang ditandai dimulainya menstruasi yang
tidak teratur sampai berhenti sama sekali/menopause. Penyakit
metabolik yang banyak dijumpai ialah diabetes mellitus atau kencing
manis dan onsteoporosis (berkurangnya zat kapur dan bahan-bahan
mineral sehingga tulang lebih mudah rapuh dan menipis).
6. Penyakit Persendian dan Tulang
Penyakit pada sendi ini adalah akibat degenerasi atau kerusakan pada
permukaan sendi-sendi tulang yang banyak dijumpai pada lansia.
Hampir 8% orang berusia 50 tahun keatas mempunyai keluhan pada
sendi-sendi, misalnya: linu-linu, pegal dan kadang terasa seperti nyeri.
Biasanya yang terkena ialah persendian pada jari-jari, tulang punggung,
sendi-sendi penahan berat tubuh (lutut dan punggung). Biasanya nyeri
akut pada persendian itu disebabkan oleh gout, hal ini disebabkan
gangguan metabolisme asam urat dalam tubuh.
2.2 Konsep Pengetahuan
2.2.1 Pengertian Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2012), pengetahuan (knowledge) adalah hasil
tau dari manusia yang sekedar menjawab pertanyaan “What”. Pengetahuan
merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan, penciuman, rasa
dan raba. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior).
Pengetahuan merupakan hasil yang didapatkan dari rasa
keingintahuan seseorang melalui proses sensoris menggunakan panca indera
terutama mata dan telinga terhadap objek tertentu. Pengetahuan memiliki
peran yang penting dalam terbentuknya perilaku terbuka dan open behavior
(Donsu, 2017).
Dengan bertambahnya umur seseorang dapat berpengaruh pada
pertambahan pengetahuan yang diperoleh, akan tetapi pada umur-umur
tertentu kemampuan penerimaan atau mengingat suatu pengetahuan akan
berkurang (Agoes, 2013). Sedangkan menurut Slameto (2012) menyebutkan
bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang maka semakin
membutuhkan pusat-pusat pelayanan kesehatan sebagai tempat berobat bagi
dirinya dan keluarganya.
2.2.2 Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2014), pengetahuan seseorang terhadap suatu
objek mempunyai intensitas atau tingkatan yang berbeda-beda. Secara garis
besarnya dibagi dalam 6 tingkatan, yaitu:
1. Tahu (Know)
Tahu merupakan tingkatan yang paling bawah. Tahu diartikan sebagai
mengingat kembali (recall) segala sesuatu yang spesifik dari seluruh
bahan yang telah dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Untuk
mengukur seseorang tahu tentang apa yang telah dipelajarinya dapat
diukur dengan cara, seseorang dapat menyebutkan, menguraikan,
mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.
2. Memahami (Comprehension)
Memahami adalah tingkatan dimana orang tersebut bukan hanya sekedar
tahu terhadap objek, tetapi harus dapat menjelaskan dan
menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahuinya.
Seseorang yang telah memahami objek atau apa yang telah dipelajarinya
harus dapat menjelaskan, menyimpulkan dan menginterpretasikan objek
tersebut.
3. Aplikasi (Application)
Aplikasi adalah tingkatan dimana orang telah memahami materi yang
telah dipelajari dapat menerapkan atau mengaplikasikan prinsip yang
diketahui pada situasi atau kondisi yang sebenarnya. Aplikasi juga dapat
diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus,
metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
4. Analisis (Analysis)
Analisis merupakan suatu kemampuan menjelaskan yang dimiliki
seseorang dalam menjelaskan materi atau objek tertentu ke dalam
kelompok-kelompok yang terdapat dalam suatu masalah dan masih
berkaitan satu sama lain. Seseorang yang sudah pada tahap ini mampu
membedakan, memisahkan, menggambarkan (membuat bagan) dan
mengelompokkan objek tersebut.
5. Sintesis (Synthesis)
Pada tingkatan pengetahuan ini seseorang dapat merangkum semua
komponen pengetahuan yang dimilikinya menjadi suatu bentuk
keseluruhan yang baru. Pada tahap ini kemampuan yang harus dimiliki
seseorang yaitu menyusun, merencanakan, mengkategorikan, mendesain
dan menciptakan.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi merupakan tingkatan pengetahuan dimana seseorang mampu
untuk melakukan penilaian terhadap objek atau materi tertentu. Hal-hal
yang dapat dilakukan seseorang pada tahap ini antara lain merencanakan,
memperoleh dan menyediakan informasi.
2.2.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut Astutik (2013) adapun beberapa faktor yang mempengaruhi
pengetahuan seseorang yaitu:
1. Usia
Usia mempengaruhi daya tangkap dan pola fikir seseorang, semakin
bertambahnya usia maka semakin berkembang pula daya tangkap dan
pola fikir seseorang. Setelah melewati usia madya (40-60 tahun), daya
tangkap dan pola fikir seseorang akan menurun.
2. Pendidikan
Tingkat pendidikan dapat menentukan tingkat kemampuan seseorang
dalam memahami dan menyerap pengetahuan yang telah di peroleh.
Umumnya, pendidikan mempengaruhi suatu proses pembelajaran,
semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin baik tingkat
pengetahuannya.
3. Pengalaman
Pengalaman adalah suatu proses dalam memperoleh kebenaran
pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang telah
diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi saat masa lalu dan
dapat digunakan dalam upaya memperoleh pengetahuan.
4. Informasi
Jika seseorang memiliki tingkat pendidikan yang rendah, namun
mendapatkan informasi yang baik dari berbagai media seperti televisi,
radio, surat kabar, majalah dan lain-lain, maka hal tersebut dapat
meningkatkan pengetahuan seseorang.
5. Sosial budaya dan ekonomi
Tradisi atau kebiasaan yang sering dilakukan oleh masyarakat dapat
meningkatkan pengetahuannya, selain itu, status ekonomi juga dapat
mempengaruhi pengetahuan dengan tersedianya suatu fasilitas yang
dibutuhkan oleh seseorang.
6. Lingkungan
Lingkungan sangat berpengaruh dalam proses penyerapan pengetahuan
yang berada dalam suatu lingkungan. Hal ini terjadi karena adanya
interaksi yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu.
2.2.4 Pengukuran Pengetahuan
Pengetahuan dapat diukur dengan cara melakukan tes wawancara
serta angket kuesioner, dimana tes tersebut berisikan pertanyaan-pertanyaan
yang berkaitan dengan materi yang ingin diukur dari subyek penelitian
(Notoatmodjo, 2010). Pengukuran tingkat pengetahuan bertujuan untuk
mengetahui status pengetahuan seseorang dan dirangkum dalam tabel
distribusi frekuensi.
Pengukuran tingkat pengetahuan seseorang dapat dikategorikan
sebagai berikut :
1. Tingkat pengetahuan dikatakan baik jika responden mampu menjawab
pernyataan pada kuesioner dengan benar sebesar ≥ 75% dari seluruh
pernyataan dalam kuesioner.
2. Tingkat pengetahuan dikatakan cukup jika reponden mampu menjawab
pernyataan pada kuesioner dengan benar sebesar 56-74% dari seluruh
pernyataan dalam kuesioner.
3. Tingkat pengetahuan dikatakan kurang jika responden mampu menjawab
pernyataan pada kuesioner dengan benar sebesar < 55% dari seluruh
pernyataan dalam kuesioner (Budiman, 2013).
2.3 Dukungan Keluarga
2.3.1 Pengertian Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga menurut Friedman (2013) adalah sikap, tindakan
penerimaan keluarga terhadap anggota keluarganya berupa dukungan
informasional, dukungan penilaian, dukungan instrumental dan dukungan
emosional.
Dukungan keluarga adalah bantuan yang dapat diberikan kepada
anggota keluarga lain berupa barang, jasa, informasi dan nasehat yang
mampu membuat penerima dukungan akan merasa disayang, dihargai dan
tenteram. Dukungan ini merupakan sikap, tindakan dan penerimaan keluarga
terhadap penderita yang sakit. Anggota keluarga memandang bahwa orang
yang bersifat mendukung akan selalu siap memberi pertolongan dan bantuan
yang diperlukan. Dukungan keluarga yang diterima salah satu anggota
keluarga dari anggota keluarga yang lainnya dalam rangka menjalankan
fungsi-fungsi yang terdapat dalam sebuah keluarga. Bentuk dukungan
keluarga terhadap anggota keluarga adalah secara moral atau material.
Adanya dukungan keluarga akan berdampak pada peningkatan rasa percaya
diri pada penderita dalam menghadapi proses pengobatan penyakitnya
(Misgiyanto & Susilawati, 2014).
2.3.2 Bentuk Dukungan Keluarga
Bentuk-bentuk dukungan keluarga pada lansia hipertensi (Perdana, 2017)
yaitu:
1. Dukungan Emosional
Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat serta
pemulihan dan membantu penguasaan terhadap emosi. Dukungan
emosional yang diberikan keluarga pada lansia meliputi dukungan yang
diwujudkan dalam bentuk kasih sayang dan perhatian seperti merawat
lansia dengan penuh kasih sayang, mendampingi dan menemani lansia
saat menjalani perawatan, memperhatikan lansia selama sakit dan
mendengarkan keluhan-keluhan yang dirasakan oleh lansia.
2. Dukungan Informasional
Keluarga berfungsi sebagai pemberi informasi, dimana keluarga
menjelaskan tentang pemberian saran dan informasi yang dapat
digunakan untuk mengungkapkan suatu masalah. Dukungan
informasional yang diberikan dapat diwujudkan dalam bentuk
memberikan informasi tentang hasil pemeriksaan lansia, menjelaskan
terkait hal-hal yang harus dihindari lansia selama masih mengalami
hipertensi, mengingatkan lansia untuk meminum obat, olahraga ringan,
istirahat dan makan makanan yang perlu dikonsumsi saat mengalami
hipertensi.
3. Dukungan Instrumental
Keluarga merupakan sumber pertolongan praktis dan konkrit,
diantaranya adalah dalam hal kebutuhan keuangan, makan, minum dan
istirahat. Dukungan instrumental yang diberikan keluarga kepada lansia
hipertensi seperti menyediakan waktu dan fasilitas bagi lansia untuk
keperluan pengobatan, menyediakan makanan yang khusus bagi lansia
yang mengalami hipertensi, membayar biaya perawatan lansia, serta
membantu lansia dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti makan,
mandi, berpakaian dan membantu lansia beranjak dari tempat tidur
apabila lansia tidak mampu melakukannya secara mandiri.
4. Dukungan Penghargaan
Keluarga yang bertindak membimbing dan menengahi pemecahan
masalah, seperti sumber dan validator identitas anggota keluarga
diantaranya memberikan dukungan dan penghargaan. Bentuk dukungan
yang dapat diberikan seperti memberikan dukungan dan semangat
terhadap lansia, memberikan pujian terhadap lansia, melibatkan lansia
dalam pengambilan keputusan dan memberikan respon positif terhadap
pendapat atau perasaan lansia.
2.3.3 Fungsi Dukungan Keluarga
Menurut Friedman dalam Andarmoyo (2012), fungsi keluarga sebagai
berikut:
1. Fungsi Afektif
Gambaran diri anggota keluarga, perasaan memiliki dan dimiliki dalam
keluarga, dukungan keluarga terhadap anggota keluarga lain, saling
menghargai dan kehangatan di dalam keluarga.
2. Fungsi Sosialisasi
Interaksi atau hubungan dalam keluarga, bagaimana keluarga belajar
disiplin, norma, budaya dan perilaku.
3. Fungsi Kesehatan
Sejauh mana keluarga menyediakan pangan, perlindungan dan merawat
anggota yang sakit, sejauh mana pengetahuan tentang masalah
kesehatan, kemampuan keluarga untuk melakukan 5 tugas kesehatan
dalam keluarga serta kemauan keluarga untuk mengatasi masalah
kesehatan yang sedang dihadapi.
4. Fungsi Ekonomi
Keluarga memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan. Keluarga
memanfaatkan sumber yang ada di masyarakat dalam upaya peningkatan
status kesehatan keluarga. Hal yang menjadi pendukung keluarga adalah
jumlah anggota keluarga yang sehat, fasilitas-fasilitas yang dimiliki
keluarga untuk menunjang kesehatan. Fasilitas mencakup fasilitas fisik,
fasilitas psikologis atau dukungan dari masyarakat setempat.
2.3.4 Manfaat Dukungan Keluarga
Dukungan sosial keluarga adalah sebuah proses yang terjadi
sepanjang masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan sosial berbeda-beda
dalam berbagai tahap-tahap siklus kehidupan. Namun demikian, dalam
semua tahap siklus kehidupan, dukungan sosial keluarga membuat keluarga
mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal. Sebagai akibatnya,
hal ini meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga (Andarmoyo, 2012).
Friedman (1998) dalam Andarmoyo (2012) menyimpulkan bahwa
baik efek-efek penyangga (dukungan social menahan efek-efek negatif dari
stress terhadap kesehatan) dan efek-efek utama (dukungan sosial secara
langsung mempengaruhi akibat-akibat dari kesehatan) pun ditemukan.
Sesungguhnya efek-efek penyangga dan utama dari dukungan social
terhadap kesehatan dan kesejahteraan boleh jadi berfungsi bersamaan.
Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan sosial yang adekuat terbukti
berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit
dan dikalangan kaum tua, fungsi kognitif, fisik dan kesehatan emosi.
2.3.5 Faktor Yang Mempengaruhi Dukungan Keluarga
Menurut Suparyanto (2012) faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan
keluarga adalah:
1. Faktor Internal
a. Tahap Perkembangan
Artinya dukungan dapat ditentukan oleh faktor usia dalam hal ini
adalah pertumbuhan dan perkembangan, dengan setiap rentang usia
(bayi-lansia) memiliki pemahaman dan respon terhadap perubahan
kesehatan yang berbeda-beda.
b. Faktor Emosi
Faktor emosional juga mempengaruhi keyakinan terhadap adanya
dukungan dan cara melaksanakannya. Seseorang yang mengalami
respons stress dalam setiap perubahan hidupnya cenderung berespon
terhadap berbagai tanda sakit, mungkin dilakukan dengan cara
mengkhawatirkan bahwa penyakit tersebut dapat mengancam
kehidupannya. Seseorang yang secara umum terlihat sangat tenang
mungkin mempunyai respon emosional yang kecil selama ia sakit.
Seorang individu yang tidak mampu melakukan koping secara
emosional terhadap ancaman penyakit mungkin akan menyangkal
adanya penyakit pada dirinya dan tidak mau menjalani pengobatan.
c. Spiritual
Aspek spiritual dapat terlihat dari bagaimana seseorang menjalani
kehidupannya, mencakup nilai dan keyakinan yang dilaksanakan,
hubungan dengan keluarga atau teman dan kemampuan mencari
harapan dan arti dalam hidup.
2. Faktor Eksternal
a. Praktik Dalam Keluarga
Cara bagaimana keluarga memberikan dukungan biasanya
mempengaruhi penderita dalam melaksanakan kesehatannya.
Misalnya : pasien hipertensi juga kemungkinan besar akan
melakukan tindakan pencegahan jika keluarganya melakukan hal
yang sama.
b. Pendidikan Dan Tingkat Pengetahuan
Keyakinan seseorang terhadap adanya dukungan terbentuk oleh
variabel intelektual yang terdiri dari pengetahuan, latar belakang
pendidikan, dan pengalaman masa lalu. Kemampuan kognitif akan
membentuk cara berfikir seseorang termasuk kemampuan untuk
memahami faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit dan
menggunakan pengetahuan tentang kesehatan untuk menjaga
kesehatan dirinya.
c. Faktor Sosial Ekonomi
Faktor sosial dan psikososial dapat meningkatkan risiko terjadinya
penyakit dan mempengaruhi cara seseorang mendefinisikan dan
bereaksi terhadap penyakitnya. Variabel psikososial mencakup:
stabilitas perkawinan, gaya hidup dan lingkungan kerja. Seseorang
biasanya akan mencari dukungan dan persetujuan dari kelompok
sosialnya, hal ini akan mempengaruhi keyakinan kesehatan dan cara
pelaksanaannya. Semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang biasanya
ia akan lebih cepat tanggap terhadap gejala penyakit yang
dirasakannya. Sehingga ia akan segera mencari pertolongan ketika
merasa ada gangguan pada kesehatannya.
d. Latar Belakang Budaya
Latar belakang budaya mempengaruhi keyakinan, nilai dan
kebiasaan individu, dalam memberikan dukungan termasuk cara
pelaksanaan kesehatan pribadi.
2.4 Keaktifan Kontrol
2.4.1 Definisi Keaktifan Kontrol
Keaktifan adalah suatu kesibukan yang dilakukan oleh seseorang
untuk memperoleh sesuatu (Dian Suseno, 2012). Keaktifan lansia
merupakan suatu bentuk keterlibatan individu dalam suatu kegiatan.
Keaktifan lansia mempunyai arti sama dengan aktivitas banyak sedikitnya
orang yang menyatakan diri ataupun seseorang yang memiliki kegiatan yang
membuat seseorang tersebut sibuk. Selain itu aktif juga merupakan suatu
kegiatan atau kesibukan yang sedang dijalani (Elis Agustina, 2017).
Keaktifan kontrol adalah perilaku seseorang dimana orang yang
mengalami sakit akan patuh untuk melakukan perawatan kesehatan.
Menurut Sackett (1976) dalam Niven (2008), kepatuhan pasien adalah
sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh
professional kesehatan (Slamet B, 2007), mendefinisikan kepatuhan
(ketaatan) sebagai tingkat penderita melaksanakan cara pengobatan dan
perilaku yang disarankan oleh dokter atau orang lain.
Jadi keaktifan kontrol pada lansia dengan hipertensi adalah suatu
perilaku yang positif terutama terkait dengan motivasi untuk sembuh.
Keaktifan kontrol dapat menjadi suatu tolak ukur sejauh mana
perkembangan dan keberhasilan seseorang dalam menjalankan proses
pengobatan yang harus dihadapi. Kontrol pada pasien hipertensi merupakan
hal yang penting untuk diperhatikan mengingat hipertensi merupakan
penyakit yang tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikendalikan.
2.4.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Keaktifan Kontrol Pada Lansia
Faktor-faktor yang mempengaruhi keaktifan lansia dalam melakukan
kontrol atau kunjungan, antara lain:
1. Pengetahuan lansia
Menurut Siti Rahmah (2018) pengetahuan merupakan hasil “tahu”,
dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu
objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni
indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba, sebagian
besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Dengan
banyaknya pengetahuan apalagi mengenai kesehatan, maka seharusnya
setiap penderita dapat mengetahui penyebab, cara mengobati dan
melindungi diri dari penyakit tersebut.
Pengetahuan merupakan salah satu faktor penentu dalam kaitannya
dengan perilaku seseorang. Melalui riset dapat disimpulkan bahwa
dengan semakin baik pengetahuan penderita mengenai penyakit
hipertensi, maka kemungkinannya untuk aktif melakukan kontrol ke
fasilitas kesehatan juga akan semakin tinggi (Siti Rahmah, 2018).
Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh
Mappagerang yang membuktikan bahwa adanya hubungan bermakna
antara pengetahuan dengan kontrol diet rendah garam di Puskesmas
Anggareja Kabupaten Enrekang tahun 2018. Salah satu upaya untuk
dapat meningkatkan pengetahuan penderita, diantaranya adalah dengan
giat melakukan promosi kesehatan secara rutin dan langsung terjun ke
masyarakat sehingga kesadaran penderita untuk melakukan kontrol
semakin baik. Pengetahuan yang rendah tentang manfaat kontrol pada
lansia dapat menjadi kendala bagi lansia dalam keaktifan untuk kontrol.
Pengetahuan yang salah tentang tujuan dan manfaat kontrol dapat
menimbulkan salah persepsi yang akhirnya kunjungan lansia untuk
kontrol rendah.
2. Dukungan keluarga
Salah satu upaya untuk menciptakan sikap penderita patuh dalam
pengobatan adalah adanya dukungan keluarga. Hal ini karena keluarga
sebagai individu terdekat dari penderita. Tidak hanya memberikan
dukungan dalam bentuk lisan, namun keluarga juga harus mampu
memberikan dukungan dalam bentuk sikap. Misalnya keluarga
membantu penderita untuk mencapai suatu pelayanan kesehatan (Siti
Rahmah, 2018).
Sulistio Rini (2017) dukungan keluarga merupakan bantuan atau
dukungan yang positif yang diberikan oleh orang-orang tertentu terhadap
individu dalam kehidupannya serta dalam lingkungan sosial tertentu
sehingga individu yang menerima merasa diperhatikan, dihargai,
dihormati dan dicintai. Individu yang menerima dukungan akan lebih
percaya diri dalam menghadapi kehidupan sehari-hari. Semakin keluarga
mendukung lansia maka keaktifan lansia akan semakin meningkat.
Dukungan keluarga menurut Arnia (2017) mengatakan bahwa
dukungan keluarga tidak bermakna secara statis karena sifat dan sikap
lansia mengalami penurunan seperti saat lansia masih dewasa sehingga
dukungan dan kontrol keluarga serta orang terdekat sangat berpengaruh
pada aktivitas keseharian lansia. Keluarga kadang tidak menghiraukan
atau melupakan jadwal kunjungan lansia, sedangkan lansia sendiri butuh
diingatkan berhubungan dengan faktor ingatan yang sudah menurun oleh
karena proses degenerative, sehingga terjadi rentang yang sangat
berjauhan antara lansia yang memiliki dukungan keluarga yang baik dan
lansia dengan dukungan keluarga kurang.
Menurut Novian (2013), dukungan keluarga yang baik dapat
memberikan motivasi bagi penderita hipertensi untuk selalu melakukan
aktifitas kontrol kepada petugas kesehatan di puskesmas. Setiap anggota
keluarga baik ayah, ibu, anak maupun saudara, serta anggota keluarga
terdekat lainnya harus mampu memberikan dukungan/dorongan ke arah
yang positif, sehingga para penderita hipertensi dapat menjalankan
proses pengobatan dengan lebih bersemangat karena merasa didukung
dan dihargai secara penuh.
3. Motivasi
Menurut Sulistianingsih (2016), menyatakan bahwa semakin tinggi
motivasi yang dimiliki seseorang maka akan menimbulkan semangat
yang lebih tinggi. Seseorang akan berhasil dalam mencapai tujuannya
kalau di dalam diri sendiri ada dorongan atau motivasi.
Motivasi adalah suatu dorongan yang timbul oleh adanya
rangsangan-rangsangan dari dalam maupun dari luar sehingga seseorang
berkeinginan untuk mengadakan perubahan tingkah laku atau aktivitas
tertentu yang lebih baik dari sebelumnya (Uno, 2019).
4. Kondisi Fisik Lansia
Menurut Hidawati (2016), menyatakan bahwa usia lansia adalah
usia yang rawan dengan penyakit mulai dari penyakit penglihatan,
pendengaran, pernafasan, jantung, pencernaan, pergerakan, persyarafan
dan saluran perkemihan. Hal ini menunjukkan sudah menurunnya
system organ dalam tubuh lansia sehingga menjadi keterbatasan lansia
dalam beraktifitas.
Lansia memiliki dua fakta sosial dan biologi. Secara fakta sosial,
lansia merupakan suatu proses penarikan diri seseorang dari berbagai
status dalam suatu struktur. Sedangkan secara biologi/fisik, pertambahan
usia dapat berarti semakin melemah nyaman usia secara fisik dan
kesehatan lansia (Danu, 2017).
Bertambahnya umur lansia akan semakin meningkatkan
ketergantungannya kepada kaum yang lebih muda. Hal ini disebabkan
secara alami lansia mengalami perubahan fisik, mental, ekonomi dan
psikososial, sehingga menyebabkan lansia memerlukan pelayanan
kesehatan seperti kegiatan pembinaan kesehatan lansia (Dwi dkk, 2016).
2.5 Konsep Hipertensi
2.5.1 Pengertian Hipertensi
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami
peningkatan tekanan darah diatas normal yang meningkatkan peningkatan
angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian/mortalitas. Tekanan darah
140/90 mmHg didasarkan pada dua fase dalam setiap denyut jantung yaitu
fase sistolik 140 menunjukan fase darah yang sedang di pompa oleh jantung
dan fase diastolik 90 menunjukan fase darah yang kembali ke jantung
(Triyanto, 2014).
Menurut Kemenkes (2013), hipertensi atau tekanan darah tinggi
adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan
darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang
waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang. Pada populasi
lansia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan
tekanan diastolik 90 mmHg (Smeltzer & Bare, 2013).
Hipertensi pada lanjut usia sebagian besar merupakan hipertensi
sistolik terisolasi (HST), dan pada umumnya merupakan hipertensi primer.
Adanya hipertensi, baik HST maupun kombinasi sistolik dan diastolik
merupakan faktor risiko morbiditas dan mortalitas untuk orang lanjut usia
(Pranama, Okatiranti, & Ningrum, 2016).
2.5.2 Klasifikasi Hipertensi
Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa (Triyanto, 2014)

Kategori Tekanan Darah Tekanan Darah


Sistolik Diastolik
Normal Dibawah 130 mmHg Dibawah 85 mmHg
Normal - Tinggi 130 - 139 mmHg 85 - 89 mmHg
Stadium 1 (hipertensi 140 - 159 mmHg 90 - 99 mmHg
ringan)
Stadium 2 (hipertensi 160 - 179 mmHg 100 - 109 mmHg
sedang)
Stadium 3 (hipertensi 180 - 209 mmHg 110 - 119 mmHg
berat)
Stadium 4 (hipertensi 210 mmHg atau lebih 120 mmHg atau lebih
maligna)
2.5.3 Etiologi Hipertensi
Ada beberapa faktor yang menyebabkan hipertensi pada lansia
seperti umur, riwayat keluarga, obesitas, merokok, konsumsi alkohol,
kurang olahraga, banyak mengonsumsi garam dan stress yang dialami oleh
lansia (Wahyuningsih & Astuti, 2013).
2.5.4 Manifestasi Klinis Hipertensi Pada Lansia
Kebanyakan penderita hipertensi pada lansia tidak memiliki gejala
(asimtomatik). Gejala yang biasanya dijumpai pada hipertensi yaitu pusing,
palpitasi (jantung berdebar-debar) atau sakit kepala. Sakit kepala pada pagi
hari terutama didaerah oksipital merupakan karakteristik dari hipertensi
stadium II. Kerusakan target organ seperti stroke, penyakit jantung
kongestif, atau gagal ginjal mungkin merupakan tanda awal hipertensi
(Sihombing dkk, 2016).
2.5.5 Faktor-faktor Risiko Hipertensi
Adapun faktor risiko hipertensi menurut Triyanto (2014) antara lain:
1. Faktor Genetik
Pada 70-80 kasus hipertensi esensial, didapatkan riwayat hipertensi
keluarga. Apabila riwayat hipertensi didapatkan pada kedua orangtua
maka dugaan hipertensi esensial lebih besar. Hipertensi juga banyak
dijumpai pada penderita kembar monozigot (satu telur), apabila salah
satunya menderita hipertensi. Riwayat keluarga juga merupakan masalah
yang memicu terjadinya masalah hipertensi cenderung merupakan
penyakit keturunan. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar
sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium terhadap
sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium terhadap
sodium individu dengan orangtua dengan hipertensi mempunyai risiko
dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari pada orang yang
tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi (Triyanto, 2014).
2. Faktor Usia
Faktor usia sangat berpengaruh terhadap hipertensi karena dengan
bertambahnya umur maka semakin tinggi mendapat risiko hipertensi. Ini
sering disebabkan oleh perubahan alamiah didalam tubuh yang
mempengaruhi jantung, pembuluh darah fan hormon. Hipertensi pada
yang berusia kurang dari 35 tahun akan menaikkan insiden penyakit
arteri koroner dan kematian prematur.
3. Jenis Kelamin
Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita. Namun
wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause.
Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon
estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density
Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor
pelindung dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek
perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas
wanita pada usia premenopause (Triyanto, 2014).
4. Stres
Stres berpengaruh terhadap timbulnya hipertensi esensial. Hubungan
antara stress dengan hipertensi, diduga melalui aktivasi saraf simpatis.
Saraf simpatis adalah saraf yang bekerja pada saat kita beraktivitas.
Apabila stress berkepanjangan, dapat meningkatkan tekanan darah
tinggi. Tekanan darah tinggi sering intermiten pada awal perjalanan
penyakit. Bahkan pada kasus yang sudah ditegakkan diagnosisnya,
sangat berfluktuasi sebagai akibat dari respon terhadap stress emosional
dan aktivitas fisik (Triyanto, 2014).
5. Obesitas (Kegemukan)
Kegemukan merupakan ciri khas dari populasi hipertensi dan dibuktikan
bahwa faktor ini mempunyai kaitan erat dengan terjadinya hipertensi di
kemudian hari. Terbukti bahwa daya pompa jantung dan sirkulasi
volume penderita obesitas dengan hipertensi lebih tinggi daripada
penderita hipertensi dengan berat badan normal (Triyanto, 2014).
6. Asupan Garam
Garam merupakan faktor penting dalam patogenesis hipertensi. Garam
menyebabkan penumpukan cairan didalam tubuh, karena menarik cairan
luar sehingga tidak keluar, sehingga akan meningkatkan volume dan
tekanan darah. Pada manusia, tingkat konsumsi garam sebanyak 3 gram
atau kurang ditemukan tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan asupan
garam sekitar 7-8 gram tekanan darahnya rata-rata lebih tinggi.
Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium
didalam cairan akstraselular meningkat. Untuk menormalkannya cairan
intraseluler ditarik ke luar, sehingga volume cairan ekstraseluler
meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraseluler tersebut
menyebabkan meningkatnya volume darah, sehingga berdampak kepada
timbulnya hipertensi (Triyanto, 2014).
7. Kebiasaan Merokok
Zat-zat beracun, seperti nikotin dan karbon yang dihisap melalui rokok
akan masuk kedalam aliran darah dan merusak lapisan endotel pembuluh
darah arteri, mengakibatkan proses aterosklerosis dan hipertensi. Nikotin
didalam tembakau yang menjadi penyebab meningkatnya tekanan darah
segera setelah isapan pertama. Hanya dalam beberapa detik nikotin
sudah mencapai otak. Otak bereaksi terhadap nikotin dengan memberi
sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepas epinefrin (adrenalin).
Hormon yang kuat ini akan menyempitkan pembuluh darah dan
memaksa jantung untuk bekerja lebih keras karena tekanan yang lebih
tinggi (Triyanto, 2014).
2.5.6 Komplikasi Hipertensi
Komplikasi hipertensi menurut (Triyanto, 2014) sebagai berikut :
1. Stroke
Stroke dapat timbul akibat perdarahan tekanan tinggi di otak, atau akibat
embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan tekanan
tinggi. Stroke sendiri merupakan kematian jaringan otak yang terjadi
karena berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak. Biasanya kasus
ini terjadinya secara mendadak dan menyebabkan kerusakan otak dalam
beberapa menit.
2. Infark Miokard
Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang arterosklerosis
tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila
terbentuk thrombus yang menghambat aliran darah melalui pembuluh
darah tersebut. Hipertensi kronik dan hipertensi ventrikel, maka
kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat terpenuhi dan dapat
terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark.
3. Gagal Ginjal
Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan
tinggi pada kapiler-kapiler ginjal, glomerulus. Dengan rusaknya
glomerulus, darah akan mengalir ke unit-unit fungsional ginjal, nefron
akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksis dan kematian.
4. Gagal Jantung
Tekanan darah yang terlalu tinggi memaksa otot jantung bekerja lebih
berat untuk memompa darah dan menyebabkan pembesaran otot jantung
kiri sehingga jantung mengalami gagal fungsi. Pembesaran pada otot
jantung kiri disebabkan kerja keras jantung untuk memompa darah.
Ketidakmampuan jantung dalam memompa darah yang kembalinya ke
jantung dengan cepat mengakibatkan cairan terkumpul di paru, kaki dan
jaringan lain sering disebut edema.
2.5.7 Pencegahan Hipertensi
Pencegahan agar terhindar dari komplikasi fatal hipertensi menurut
Triyanto (2014) dengan cara sebagai berikut :
1. Mengurangi konsumsi garam
Pembatasan konsumsi garam sangat dianjurkan, maksimal 2 garam
dapur untuk diet setiap hari.
2. Olahraga teratur
Menurut penelitian, olahraga secara teratur dapat menyerap atau
menghilangkan endapan kolesterol dan pembuluh nadi. Olahraga yang
dimaksud adalah latihan menggerakan semua sendi dan otot tubuh
(latihan isotonik atau dinamik), seperti gerak jalan, berenang, naik
sepeda. Tidak dianjurkan melakukan olahraga yang menegangkan seperti
tinju, gulat atau angkat besi, karena latihan yang berat bahkan dapat
menimbulkan hipertensi (Triyanto, 2014).
3. Makan banyak buah dan sayuran segar
Buah dan sayuran segar mengandung banyak vitamin dan mineral. Buah
yang banyak mengandung mineral kalium dapat membantu menurunkan
tekanan darah.
4. Tidak merokok dan minum alkohol
5. Latihan relaksasi atau meditasi
Relaksasi atau meditasi berguma untuk mengurangi stress atau
ketegangan jiwa. Relaksasi dilaksanakan dengan mengencangkan dan
mengendorkan otot tubuh sambil membayangkan sesuatu yang damai,
indah dan menyenangkan. Relaksasi dapat pula dilakukan dengan
mendengarkan music, atau bernyanyi (Triyanto, 2014).
2.5.8 Penatalaksanaan Hipertensi Pada Lansia
Sebagian besar pasien lansia yang didiagnosis hipertensi pada akhirnya
menjalani terapi menggunakan obat anti hipertensi. Pengobatan hipertensi
secara farmakologi pada usia lanjut sedikit berbeda dengan usia muda, hal
ini dikarenakan adanya perubahan-perubahan fisiologis akibat proses menua.
Perubahan fisiologis yang terjadi pada lansia menyebabkan konsentrasi obat
menjadi lebih besar, waktu eliminasi obat menjadi lebih panjang, terjadi
penurunan fungsi dan respon dari organ, adanya berbagai penyakit penyerta
lainnya (Sihombing dkk, 2016).
Adapun penatalaksanaan non farmakologik dan farmakologik pada
lansia yaitu:
1. Penatalaksanaan non farmakologik
Modifikasi gaya hidup selalu diajarkan sebagaimana penanganan
hipertensi pada umumnya, bahkan pada sebagian pasien hipertensi
ringan dapat dilakukan tanpa obat. Tindakan penghentian merokok,
pengendalian berat badan, mengurangi stress mental, pembatasan
konsumsi garam dan alkohol, serta meningkatkan aktivitas fisik dapat
menurunkan tekanan darah pada lansia (Sihombing dkk, 2016).
Dukungan keluarga juga berperan dalam pengendalian hipertensi
pada lansia, dimana dukungan social keluarga dapat meningkatkan
motivasi lansia untuk menjaga perilaku hidup sehat dalam
mengendalikan hipertensi (Herlina dkk, 2013).
2. Penatalaksanaan farmakologik
Prinsip pengobatan hipertensi pada lansia selalu dimulai dengan
dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai mencapai target. Berbagai
kelas obat telah terbukti menurunkan tekanan darah pada lansia, baik
secara tunggal maupun yang lebih sering dalm bentuk kombinasi.
Diuretik, penyekat beta (blocker), Calcium Channel Blocker (CCB),
Angiotensin Converting Enzyme – Inhibitor (ACE-Inhibitor),
Angiostensin Reseptor Blocker (ARB), dan yang terakhir adalah
golongan Direct Renin Inhibitor (DRI) semua telah terbukti dapat
menurunkan tekanan darah dan mengurangi tingkat morbiditas dan
mortalitas pada pasien hipertensi.
2.6 Kerangka Teori

Lansia merupakan seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas (Puteri, 2015)

Batasan usia lansia Klasifikasi lansia Depkes RI, 2013)

1. Usia pertengahan (middle age) = 44-59 thn 1. Pra lansia


2. Usia lanjut (elderly) = 60-74 thn 2. Lansia
3. Lanjut usia tua (old) = 75-90 thn 3. Lansia risiko tinggi
4. Usia sangat tua (very old) > 90 thn (WHO, 4. Lansia potensial
2016). 5. Lansia tidak potensial

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg
dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu 5
menit dalam keadaan cukup istirahat / tenang (Kemenkes, 2013).

Pengetahuan Penatalaksanaan Dukungan keluarga


Pengetahuan merupakan
hasil dari tahu, dan ini 1.Penatalaksanaan non Dukungan keluarga adalah
terjadi setelah orang farmakologik sikap, tindakan penerimaan
melakukan penginderaan 2.Penatalaksanaan farmakologik keluarga terhadap anggota
terhadap suatu objek keluarganya berupa
tertentu. Penginderaan, dukungan informasional,
Keaktifan kontrol pada lansia
penciuman, rasa dan raba dukungan penilaian,
dengan hipertensi adalah suatu
(Notoatmodjo, 2012). dukungan instrumental dan
perilaku yang positif terutama
dukungan emosional
terkait dengan motivasi untuk
(Friedman, 2013).
Tingkat pengetahuan sembuh. Keaktifan adalah suatu
1. Tahu (Know) kesibukan yang dilakukan oleh
2. Memahami seseorang untuk memperoleh Bentuk dukungan keluarga
(Comprehension) sesuatu (Dian Suseno, 2012).
1. Dukungan emosional
3. Aplikasi (Application)
2. Dukungan
4. Analisis (Analysis) Komplikasi
informasional
5. Sintesis (Synthesis)
Stroke, Infark miokard, Gagal 3. Dukungan instrumental
6. Evaluasi (Evaluation)
ginjal, Gagal jantung (Triyanto, 4. Dukungan penghargaan
(Notoatmodjo,2014).
2014). (Perdana, 2017).

Gambar 2.1 Kerangka Teori Hubungan Tingkat Pengetahuan Dan


Dukungan Keluarga Dengan Keaktifan Kontrol Pada Lansia
Dengan Hipertensi Di Puskesmas Pasir Panjang Kota
Kupang.
2.7 Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah suatu uraian dan visualisasi tentang hubungan
atau kaitan antara konsep-konsep atau variabel-variabel yang akan diamati
atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan (Notoatmodjo, 2012).

Faktor-faktor yang mempengaruhi Faktor-faktor yang mempengaruhi


pengetahuan : dukungan keluarga :

1. Usia 1. Faktor internal


2. Pendidikan - Tahap perkembangan
3. Pengalaman - Faktor emosi
4. Informasi - Spiritual
5. Sosial budaya dan ekonomi 2. Faktor eksternal
6. Lingkungan - Praktik dalam keluarga
- Pendidikan dan tingkat pengetahuan
- Faktor sosial ekonomi
- Latar belakang budaya

Tingkat Pengetahuan

1. Tahu (Know) Dukungan keluarga


2. Memahami (Comprehension)
1. Dukungan Emosional
3. Aplikasi (Application)
4. Analisis (Analysis) 2. Dukungan Informasional
5. Sintesis (Synthesis) 3. Dukungan Instrumental
6. Evaluasi (Avaluation) 4. Dukungan Penghargaan

Keaktifan kontrol
hipertensi pada lansia

Keterangan :
: Diteliti
: Tidak diteliti
: Berhubungan
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Hubungan Tingkat Pengetahuan dan
Dukungan Keluarga Dengan Keaktifan Kontrol Pada
Lansia Dengan Hipertensi Di Puskesmas Pasir Panjang
Kota Kupang.
2.8 Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau
pertanyaan penelitian (Nursalam, 2016). Adapun hipotesis penelitian ini
adalah:
H1 : Ada hubungan antara tingkat pengetahuan dan dukungan keluarga dengan
keaktifan kontrol pada lansia penderita hipertensi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Agoes. 2013, Hubungan Tingkat Pengetahuan tentang Faktor Resiko


Hipertensi dengan Kejadian Hipertensi. (Diakses Januari 2016).
2. Agustina Elis. (2017). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Keaktifan
Lansia Dalam Mengikuti Kegiatan Posyandu Lansia. Skripsi. Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan Insan Cendekia Medika Jombang.
3. Andarmoyo, S. 2012. Keperawatan Keluarga Konsep Teori, Proses dan
Praktik Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
4. Arnia, (2017). Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Keaktifan Lansia
Dalam Mengikuti Kegiatan Posyandu Di Puskesmas Samata.
5. Astutik, (2013). Data dan Riset Kesehatan Daerah Dasar: (Riskesdas).
6. Budiman dan Riyanto, (2013). Kapita Selekta Kuesioner : Pengetahuan dan
Sikap dalam Penelitian Kesehatan, Penerbit Salemba Medika, Jakarta, pp. 11-
22.
7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Buletin jendela data dan
informasi kesehatan. Diakses pada tanggal 13 Januari 2016 dari
http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/buletin/
buletin-lansia.pdf.
8. Dewi, R.P. 2013. Penyakit Penyakit Mematikan. Yogyakarta : Nuha Medika.
9. Donsu, J. D. T. 2017. Psikologi Keperawatan. Yogyakarta: Pustaka Baru
Press.
10. Friedman, M. M. (2013). Buku Ajar Keperawatan Keluarga : Riset, Teori, dan
Praktik. Jakarta: EGC.
11. Junaedi, Edi. 2013. Hipertensi kandas Berkat Herbal, Jakarta: Imprint Argo
Media Pustaka.
12. Junianto, Danu (2017). Hubungan Keaktifan Dengan Status Kesehatan Lansia
Di Posyandu Lansia Anggrek 02 Wilayah Kerja Puskesmas Sumberbaru
Jember.
13. Kemenkes. (2013). Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di Indonesia. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Diakses pada tanggal 28 Agustus
2018 dari
www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/buletin/buletin-
lansia.pd
14. Kemenkes RI. 2016. Situasi Lanjut Usia (Lansia) di Indonesia. Infodatin
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. ISSN
2442-7659.
15. Kontjoro, S. Z. (2012). Dukungan Sosial Pada Lansia. Diakses pada tanggal
22 Juli 2016.
16. Listyana Wijayanti, (2017). Skripsi Hubungan Pengetahuan Keluarga
Tentang Hipertensi Dengan Dukungan Keluarga Dalam Proses Penyembuhan
Hipertensi Pada Lansia Di Puskesmas Banjarejo Kota Madiun. Diakses pada
2017.
17. Mahfudz B.P.S. (2015). Hubungan Tingkat Pengetahuan Dan Dukungan
Keluarga Dengan Keaktifan Kontrol Pada Penderita Hipertensi Di Wilayah
Puskesmas Gatak Kabupaten Sukoharjo.
18. Mappagerang, R., Alimin, M., & Anita, A. (2018). Hubungan Pengetahuan
Dan Sikap Pada Penderita Hipertensi Dengan Kontrol Diet Rendah Garam.
JIKP Jurnal Ilmiah Kesehatan PENCERAH, 7(1), 37-44
19. Misgiyanto & Susilawati, D. (2014). Hubungan Antara Dukungan Keluarga
dengan Tingkat Kecemasan Penderita Kanker Serviks Paliatif, Semarang:
Universitas Diponegoro.
20. Nikma K.D, (2016). Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Motivasi
Lansia Dalam Pengontrolan Hipertensi Di Posyandu Mawar Merah Wilayah
Kerja Puskesmas Juanda Kelurahan Air Hitam.
21. Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta,
Jakarta, pp. 127.
22. Notoatmodjo, S. (2012). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
23. Notoatmodjo, S. (2012). Pengantar pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku
Kesehatan. Yogyakarta: Adi Offset.
24. Notoatmodjo, S. (2014). Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
25. Novian, Arista, (2013). Kepatuhan diit pasien hipertensi. KEMAS: Jurnal
Kesehatan Masyarakat, 9 (1), 100-105.
26. Nugroho. (2012). Keperawatan gerontik & geriatrik, edisi 3. Jakarta : EGC.
27. Padila. (2013). Buku ajar keperawatan gerontik. Yogyakarta : Nuha Medika.
28. Perdana, M. A. (2017). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan
Diit Hipertensi Pada Lansia Di Dusun Depok Ambarketawang Gamping
Sleman Yogyakarta. Diakses pada tanggal 10 Oktober 2018 dari
http://digilib.unisayogya.ac.id/2961/1/NASKAH%20PUBLIKASI%20FIX
%20PDF.pdf
29. Puteri, A. E. (2015). Hubungan Lamanya Hipertensi dengan Gangguan
Kognitif pada Lansia di Posyandu Lansia Wilayah Puskesmas Padang Bulan
Tahun 2015. Diakses pada tanggal 2 September 2018 dari
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/56130
30. Pramana, M. A. (2016). Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Kejadian
Hipertensi di Panti Sosial Tresna Werdha Senjarawi Bandung. Jurnal Ilmu
Keperawatan, 116-128. Diakses pada 11 Oktober 2018 dari
https://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/indeks.php/jk/article/download/863/709
31. Sihombing, B., Aprilia, D., Purba, A., & Sinurat, F. (2016). Penatalaksanaan
Hipertensi Pada Usia Lanjut. 1-35. Di akses pada tanggal 30 Agustus 2018
dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/63271/018%20.pdf?
sequence=1
32. Siti Rahmah, 2018. Hubungan Pengetahuan, Sikap Dan Dukungan Keluarga
Dengan Keaktifan Kontrol Penderita Hipertensi Di Puskesmas Durian
Gantang Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
33. Slameto, 2012. Belajar Dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya, Rikene
Cipta, Jakarta.
34. Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah. Jakarta: EGC.
35. Sulistianingsih, (2016). Hubungan Motivasi Dengan Frekuensi Kunjungan Ke
Posyandu Laraslestari II Pada Lansia Di Dusun Karang Tengah Sleman
Yogyakarta.
36. Sulistio Rini, (2017). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Keaktifan
Lansia Dalam Mengikuti Posyandu Lansia Di Dusun Kronggahan Gamping
Kabupaten Sleman.
37. Suparyanto. (2012). Konsep Dukungan Keluarga. http://konsep-dukungan-
keluarga.blogspot.com. (diunduh pada tanggal 08 Oktober 2012.
38. Suseno, Dian (2012). Faktor Yang Mempengaruhi Keaktifan Lansia Dalam
Mengikuti Kegiatan Posyandu Lansia Di Desa Kauman Kecamatan Polanharjo
Kabupaten Klaten. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah,
Surakarta. http://eprints.ums.ac.id/20530/
39. Triyanto. E, (2014). Pelayanan Keperawatan Bagi Penderita Hipertensi
Secara Terpadu, Yogyakarta : Ruko Jambusari
40. Wahyuningsih, & Astuti, E. (2013). Faktor yang Mempengaruhi Hipertensi
Pada Usia Lanjut. Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia, 71-75.
41. WHO 2011. World Health Organization. World Health Statistic. Geneva :
WHO. Retrieved December 5, 2015.
42. Yeni, dkk. 2016. Dukungan Keluarga Mempengaruhi Kepatuhan Pasien
Hipertensi. Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 19 N0.3, November 2016,
hal 137-144.

Anda mungkin juga menyukai