Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Lansia
1. Pengertian
Lansia merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang
ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan
stres lingkungan. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan
seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres
fisiologis (Azizah, 2011).
Lansia adalah seseorang yang telah berusia >60 tahun dan tidak
berdaya mencari nafkah sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
sehari-hari (Ratnawati, 2017).
Kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa lansia adalah
seseorang yang telah berusia >60 tahun, mengalami penurunan
kemampuan beradaptasi, dan tidak berdaya untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari seorang diri.
2. Klasifikasi Lansia
Klasifikasi lansia menurut Burnside dalam Nugroho (2012) :
a. Young old (usia 60-69 tahun)
b. Middle age old (usia 70-79 tahun)
c. Old-old (usia 80-89 tahun)
d. Very old-old (usia 90 tahun ke atas)
3. Karakteristik Lansia
Karakteristik lansia menurut Ratnawati (2017) yaitu :
a. Usia
Menurut Permensos No. 5 Tahun 2018 tentang kesejahteraan
lanjut usia, lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia diatas
60 tahun (Ratnawati, 2017).
b. Jenis kelamin
Data Kemenkes RI (2015), lansia didominasi oleh jenis kelamin
perempuan. Artinya, ini menunjukkan bahwa harapan hidup yang
paling tinggi adalah perempuan (Ratnawati, 2017).
c. Status pernikahan
Berdasarkan Badan Pusat Statistik RI SUPAS (2015),
penduduk lansia ditilik dari status perkawinannya sebagian besar
berstatus kawin (60%) dan cerai mati (37%). Adapun perinciannya
yaitu lansia perempuan yang berstatus cerai mati sekitar 56,04 % dari
keseluruhan yang cerai mati, dan lansia laki-laki yang berstatus kawin
ada 82,84 %. Hal ini disebabkan usia harapan hidup perempuan lebih
tinggi dibandingkan dengan usia harapan hidup laki-laki, sehingga
presentase lansia perempuan yang berstatus cerai mati lebih banyak
dan lansia laki-laki yang bercerai umumnya kawin lagi (Ratnawati,
2017).
d. Pekerjaan
Mengacu pada konsep active ageing WHO, lanjut usia sehat
berkualitas adalah proses penuaan yang tetap sehat secara fisik,
sosial dan mental sehingga dapat tetap sejahtera sepanjang hidup
dan tetap berpartisipasi dalam rangka meningkatkan kualitas hidup
sebagai anggota masyarakat. Berdasarkan data Pusat Data dan
Informasi Kemenkes RI 2016 sumber dana lansia sebagian besar
pekerjaan/ usaha (46,7%), pensiun (8,5%) dan (3,8%) adalah
tabungan, saudara atau jaminan sosial (Ratnawati, 2017).
e. Pendidikan terakhir
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Darmojo menunjukkan
bahwa pekerjaan lansia terbanyak sebagai tenaga terlatih dan sangat
sedikit yang bekerja sebagai tenaga professional. Dengan kemajuan
pendidikan diharapkan akan menjadi lebih baik (Aspiani, 2014).
f. Kondisi kesehatan
Angka kesakitan, menurut Pusat Data dan Informasi Kemenkes
RI (2016) merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk
mengukur derajat kesehatan penduduk. Semakin rendah angka
kesakitan menunjukkan derajat kesehatan penduduk yang semakin
baik.
Angka kesehatan penduduk lansia tahun 2014 sebesar
25,05%, artinya bahwa dari setiap 100 orang lansia terdapat 25 orang
di antaranya mengalami sakit. Penyakit terbanyak adalah penyakit
tidak menular (PTM) antar lain hipertensi, artritis, strok, diabetes
mellitus (Ratnawati, 2017).
4. Perubahan pada Lanjut Usia
Menurut Potter & Perry (2012) proses menua mengakibatkan
terjadinya banyak perubahan pada lansia yang meliputi :
a. Perubahan Fisiologis
Pemahaman kesehatan pada lansia umumnya bergantung
pada persepsi pribadi atas kemampuan fungsi tubuhnya. Lansia yang
memiliki kegiatan harian atau rutin biasanya menganggap dirinya
sehat, sedangkan lansia yang memiliki gangguan fisik, emosi, atau
sosial yang menghambat kegiatan akan menganggap dirinya sakit.
Perubahan fisiologis pada lansia bebrapa diantaranya, kulit
kering, penipisan rambut, penurunan pendengaran, penurunan
refleks batuk, pengeluaran lender, penurunan curah jantung dan
sebagainya. Perubahan tersebut tidak bersifat patologis, tetapi dapat
membuat lansia lebih rentan terhadap beberapa penyakit. Perubahan
tubuh terus menerus terjadi seiring bertambahnya usia dan
dipengaruhi kondisi kesehatan, gaya hidup, stressor, dan lingkungan.
b. Perubahan Fungsional
Fungsi pada lansia meliputi bidang fisik, psikososial, kognitif,
dan sosial. Penurunan fungsi yang terjadi pada lansia biasanya
berhubungan dengan penyakit dan tingkat keparahannya yang akan
memengaruhi kemampuan fungsional dan kesejahteraan seorang
lansia.
Status fungsional lansia merujuk pada kemampuan dan
perilaku aman dalam aktivitas harian (ADL). ADL sangat penting
untuk menentukan kemandirian lansia. Perubahan yang mendadak
dalam ADL merupakan tanda penyakit akut atau perburukan masalah
kesehatan.
c. Perubahan Kognitif
Perubahan struktur dan fisiologis otak yang dihubungkan
dengan gangguan kognitif (penurunan jumlah sel dan perubahan
kadar neurotransmiter) terjadi pada lansia yang mengalami gangguan
kognitif maupun tidak mengalami gangguan kognitif. Gejala
gangguan kognitif seperti disorientasi, kehilangan keterampilan
berbahasa dan berhitung, serta penilaian yang buruk bukan
merupakan proses penuaan yang normal.
d. Perubahan Psikososial
Perubahan psikososial selama proses penuaan akan
melibatkan proses transisi kehidupan dan kehilangan. Semakin
panjang usia seseorang, maka akan semakin banyak pula transisi
dan kehilangan yang harus dihadapi. Transisi hidup, yang mayoritas
disusun oleh pengalaman kehilangan, meliputi masa pensiun dan
perubahan keadaan finansial, perubahan peran dan hubungan,
perubahan kesehatan, kemampuan fungsional dan perubahan
jaringan sosial.
Menurut Ratnawati (2017) perubahan psikososial erat
kaitannya dengan keterbatasan produktivitas kerjanya. Oleh karena
itu, lansia yang memasuki masa-masa pensiun akan mengalami
kehilangan-kehilangan sebagai berikut:
1) Kehilangan finansial (pedapatan berkurang).
2) Kehilangan status (jabatan/ posisi, fasilitas).
3) Kehilangan teman/kenalan atau relasi.
4) Kehilangan pekerjaan/ kegiatan. Kehilangan ini erat kaitannya
dengan beberapa hal sebagai berikut:
a) Merasakan atau sadar terhadap kematian, perubahan bahan
cara hidup (memasuki rumah perawatan, pergerakan lebih
sempit).
b) Kemampuan ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan.
Biaya hidup meningkat padahal penghasilan yang sulit,
biaya pengobatan bertambah.
c) Adanya penyakit kronis dan ketidakmampuan fisik.
d) Timbul kesepian akibat pengasingan dari lingkungan sosial.
e) Adanya gangguan saraf pancaindra, timbul kebutaan dan
kesulitan.
f) Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan.
g) Rangkaian kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan
teman dan keluarga.
h) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik (perubahan
terhadap gambaran diri, perubahan konsep diri)
5. Permasalahan Lanjut Usia
Menurut Suardiman (2011) usia lanjut rentan terhadap berbagai
masalah kehidupan. Masalah umum yang dihadapi oleh lansia
diantaranya:
a. Masalah ekonomi
Usia lanjut ditandai dengan penurunan produktivitas kerja,
memasuki masa pensiun atau berhentinya pekerjaan utama. Disisi
lain, usia lanjut dihadapkan pada berbagai kebutuhan yang semakin
meningkat seperti kebutuhan akan makanan yang bergizi seimbang,
pemeriksaan kesehatan secara rutin, kebutuhan sosial dan rekreasi.
Lansia yang memiliki pensiun kondisi ekonominya lebih baik karena
memiliki penghasilan tetap setiap bulannya. Lansia yang tidak
memiliki pensiun, akan membawa kelompok lansia pada kondisi
tergantung atau menjadi tanggungan anggota keluarga (Suardiman,
2011).
b. Masalah sosial
Memasuki masa lanjut usia ditandai dengan berkurangnya
kontak sosial, baik dengan anggota keluarga atau dengan
masyarakat. kurangnya kontak sosial dapat menimbulkan perasaan
kesepian, terkadang muncul perilaku regresi seperti mudah
menangis, mengurung diri, serta merengek-rengek jika bertemu
dengan orang lain sehingga perilakunya kembali seperti anak kecil
(Santrock, 2012).
c. Masalah kesehatan
Peningkatan usia lanjut akan diikuti dengan meningkatnya
masalah kesehatan. Usia lanjut ditandai dengan penurunan fungsi
fisik dan rentan terhadap penyakit (Suardiman, 2011).
d. Masalah psikososial
Masalah psikososial adalah hal-hal yang dapat menimbulkan
gangguan keseimbangan sehingga membawa lansia kearah
kerusakan atau kemrosotan yang progresif terutama aspek psikologis
yang mendadak, misalnya, bingung, panik, depresif, dan apatis. Hal
itu biasanya bersumber dari munculnya stressor psikososial yang
paling berat seperti, kematian pasangan hidup, kematian sanak
saudara dekat, atau trauma psikis (Friedman, 2014).
B. Kemampuan Interaksi Sosial
1. Pengertian
Didalam kamus bahasa Indonesia (2015), kemampuan berasal dari
kata “mampu” yang berarti kuasa (bisa, sanggup, melakukan sesuatu,
dapat, berada, kaya, mempunyai harta berlebihan). Kemampuan adalah
suatu kesanggupan dalam melakukan sesuatu. Seseorang dikatakan
mampu apabila ia bisa melakukan sesuatu yang harus ia lakukan.
Menurut Chaplin (2011) ability (kemampuan, kecakapan,
ketangkasan, bakat, kesanggupan) merupakan tenaga (daya kekuatan)
untuk melakukan suatu perbuatan.
Interaksi sosial merupakan salah satu cara individu untuk
memelihara tingkah laku sosial individu tersebut sehingga individu tetap
dapat bertingkah laku sosial dengan individu lain. Interaksi sosial dapat
pula meningkatkan jumlah/kuatitas dan mutu/ kualitas dari tingkah laku
sosial individu sehingga individu makin matang dalam bertingkah laku
sosial dengn individu lain di dalam situasi sosial. Warren dan roucech
(Slamet, 2010) memberikan pengertian interaksi sosial adalah suatu
proses penyampaian kenyataan, keyakinan, sikap, reaksi emosional, dan
kesadaran lain dari sesamanya diantara kehidupan yang ada.
2. Ciri-Ciri Interaksi Sosial
Ada empat ciri-ciri interaksi sosial antara lain (Dayakisni & Hudaniah,
2014) :
a. Jumlah pelakunya lebih dari satu orang
b. Terjadinya komunikasi diantara pelaku melalui kontak mata
c. Mempunyai maksud atau tujuan yang jelas
d. Dilaksanakan melalui suatu pola sistem sosial tertentu.
3. Jenis-Jenis Interaksi Sosial
Menurut Gillin dan Gillin (dalam; Soekanto, 2012) interaksi sosial terbagi
menjadi tiga jenis, yaitu :
a. Interaksi antara individu dengan individu
Interaksi ini terjadi pada saat dua individu bertemu baik ada tindakan
maupun tidak ada tindakan. Hal yang terpenting adalah individu
sadar bahwa ada pihak lain yang menimbulkan perubahan pada diri
individu tersebut yang dimungkinkan oleh faktor-faktor tertentu,
misalnya bunyi sepatu atau bau parfum yang menyengat.
b. Interaksi antara individu dengan kelompok
Bentuk interaksi ini berbeda-beda sesuai dengan keadaan. Interaksi
ini terlihat mencolok pada saat terjadi benturan antara kepentingan
perorangan dengan kepentingan kelompok.
c. Interaksi antara kelompok dan kelompok
Kelompok merupakan satu-kesatuan, bukan pribadi. Ciri kelompok
adalah ada pelaku lebih dari satu, komunikasi dengan menggunakan
simbol, ada tujuan tertentu dan nada dimensi waktu yang
menentukan sifak aksi yang sedang berlangsung.
4. Aspek-Aspek Interaksi Sosial
Aspek-aspek yang mendasari terjadinya interaksi sosial, yaitu (Anorogo
dan Widiyanti, 2010) :
a. Adanya Kontak Sosial
Dalam hubungan kontak sosial memiliki tiga bentuk yaitu hubungan
antar perorangan, hubungan antar orang dengan kelompok,
hubungan antar kelompok. Hubungan ini bisa terjadi bila kita
berbicara dengan pihak lain secara berhadapan langsung maupun
tidak langsung.
b. Adanya Komunikasi
Komunikasi adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan
seseorang pada orang lain, yang biasanya proses penyampaiannya
dengan menggunakan bahasa. Walaupun ada juga yang
menggunakan bahasa atau hanya dengan isyarat saja. Dalam
kehidupan sehari-hari kita melihat komunikasi ini dalam berbagai
bentuk, misalnya bergaul dengan teman, percakapan antara dua
orang, pidato, berita yang dibacakan oleh penyiar, buku cerita, koran,
dan sebagainya. Terdapat lima unsur dalam proses komunikasi
yaitu :
1) Adanya pengirim berita
2) Penerima berita
3) Adanya berita yang dikirimkan
4) Ada media atau alat pengirim berita
5) Ada sistem simbol yang digunakan untuk menyatakan berita.
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Interaksi Sosial
Berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan pada beberapa faktor
berikut ini :
a. Imitasi
Gabriel Tarde (Dayakisni & Hudaniah, 2014) menyatakan bahwa
seluruh kehidupan sosial manusia didasari oleh faktor-faktor imitasi.
Imitasi dapat mendorong individu atau kelompok untuk melaksanakan
perbuatan-perbuatan yang baik.
b. Sugesti
Soekanto (1990; dalam Dayakisni & Hudaniah, 2014) menyatakan
bahwa proses sugesti dapat terjadi apabila individu yang memberikan
pandangan tersebut adalah orang yang berwibawa atau karena
sifatnya yang otoriter.
c. Identifikasi
Identifikasi di dalam psikologi berarti dorongan untuk menjadi indentik
(sama) dengan orang lain, baik secara lahiriah maupun bathiniah.
d. Simpati
Simpati merupakan suatu bentuk interaksi yang melibatkan adanya
ketertarikan individu terhadap individu lainnya. Soekanto (dalam
Dayakisni & Hudaniah, 2014) menyampaikan bahwa dorongan utama
pada simpati adalah adanya keinginan untuk memahami pihak lain
dan bekerja sama.
Selain beberapa faktor yang mendukung terjadinya interaksi sosial yang
telah diuraikan di atas, Rakhmat (2012) juga menjelaskan faktor-faktor
yang mendukung terjadinya perilaku manusia dalam interaksi sosial, yaitu
faktor personal dan faktor situasional, sebagai berikut:
a. Faktor Personal
Faktor personal yaitu faktor dari individu itu sendiri. Terdiri dari
faktor biologis dan faktor sosio psikologis:
1) Faktor Biologis
Manusia sebagai makhluk biologis mempunyai dorongan
untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Manusia memerlukan
makan dan minum untuk mempertahankan kehidupan,
memerlukan tempat tinggal untuk mendapatkan keamanan, dan
lawan jenis untuk melanjutkan reproduksi. Bahkan, sampai
kepada struktur DNA yang menyimpan seluruh memori warisan
biologis yang diterima dari kedua orang tua. Seseorang yang
berasal dari keturunan tertentu akan mewarisi sedikit banyaknya
sifat-sifat biologis orangtua. Apakah itu warna kulit, jenis rambut,
mata, hidung, maupun ukuran badan.
2) Faktor Sosio psikologis
Manusia adalah makhluk sosial, dari proses sosial ia
memperoleh beberapa karakteristik yang mempengaruhi
perilakunya. Hal ini dapat diklasifikasikan ke dalam tiga
komponen: afektif, kognitif dan konatif. Sebagaimana yang
dijelaskan Rakhmat (2012):
a) Afektif (motif sosiogenis, sikap dan emosi)
Motif sosiogenis merupakan motif skunder yang terdiri
dari: (1) motif ingin tahu: mengerti, menata dan menduga
(predictability), (2) motif kompetensi: seseorang ingin
membuktikan bahwa dirinya mampu dalam mengatasi
semua problem kehidupan, (3) motif cinta: kebutuhan akan
diterima dan mendapat perlakuan yang wajar dan kasih
sayang dari kelompoknya, (4) motif harga diri dan kebutuhan
untuk mencari identitas, (5) kebutuhan akan nilai, (6)
kebutuhan pemenuhan diri.
Sikap: (1) kecenderungan bertindak, berpersepsi,
berfikir dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi
atau nilai, (2) dorongan atau motivasi dalam menentukan
apa apakah seseorang harus pro atau kontra terhadap
sesuatu (3) relatif lebih menetap. Bagaimana studi
menunjukkan bahwa sikap politik kelompok cenderung
dipertahankan dan jarang mengalami perubahan, (4)
mengandung aspek evaluasi. Artinya mengandung nilai
menyenangkan atau tidak menyenangkan, (5) timbul dari
pengalaman.
Emosi: Emosi menunjukkan kegoncangan organisme
yang disertai oleh gejala-gejala kesadaran, keprilakuan, dan
proses fisiologis.
b) Kognitif (Kepercayaan)
Keyakinan bahwa sesuatu itu benar atau salah atas
dasar bukti, sugesti otoritas, pengalaman atau intuisi.
Kepercayaan menentukan seseorang dalam mengambil
keputusan dan menentukan sikap terhadap objek, dan
kepercayaan juga terbentuk berdasarkan pengetahuan,
kebutuhan dan kepentingan.
c) Konatif (Kebiasaan)
Kebiasaan merupakan aspek perilaku manusia yang
menetap, berlangsung secara otomatis tanpa direncanakan.
Kebiasaan mungkin merupakan hasil pelaziman yang
berlangsung pada waktu yang sama atau sebagai reaksi
khas yang dilakukan secara berulang-ulang.
b. Faktor Situasional
Faktor kedua yang dapat mempengaruhi perilaku manusia
dalam berinteraksi sosial adalah faktor situasional, meliputi:
1) Aspek objektif dari lingkungan, terdiri dari enam faktor:
a) Faktor ekologis merupakan keadaan alam yang terdiri dari
geografis, iklim dan meteorologis mempengaruhi gaya hidup
dan perilaku manusia. Dimana kondisi alam mempengaruhi
aktivitas manusia, seperti cuaca panas, hujan, mendung dan
lainnya.
b) Faktor desain dan arsitektur mempengaruhi pola interaksi
manusia yang berada di dalamnya. Semakin bagus struktur
bangunan tersebut maka semakin bagus pula pola interaksi
manusia yang berada di dalamnya.
c) Faktor temporal mempengaruhi pola interaksi manusia.
Seseorang yang dalam keadaan lelah akan berbeda dalam
menanggapi aksi yang diberikan ketika dalam keadaan fit,
begitu juga ketika seseorang dalam keadaan sibuk dan
luang ataupun pesan yang disampaikan di pagi hari, siang
hari, sore dan bahkan tengah malam. Masing-masing akan
mendapatkan respon yang berbeda.
d) Suasana perilaku (behavior setting) juga akan menentukan
perilaku manusia, dimana seseorang akan bersikap santun
dalam kegiatan beragama dan ditempat ibadah, namun akan
lebih agresif bila ditempat hiburan atau pasar.
e) Teknologi sebagai media sosial telah mempengaruhi pola
interaksi dalam kehidupan masyarakat.
f) Sosial sebagai sistem peranan dalam masyarakat, struktur
kelompok dan organisasi, karakteristik populasi, adalah
faktor-faktor sosial yang menata perilaku manusia.
g) Lingkungan psikososial merupakan persepsi tentang sejauh
mana lingkungan memuaskan atau mengecewakan, akan
mempengaruhi perilaku dalam lingkungan. Lingkungan
dalam persepsi kita lazim disebut dengan iklim. Dalam
organisasi, iklim psikososial menunjukkan persepsi orang
tentang kebiasaan individual, ketegasan pengawasan,
kemungkinan kemajuan, dan tingkat keakraban.
h) Stimulus yang mendorong memperteguh perilaku: Adanya
stimulus yang menentukan apakah perilaku tersebut layak
dilakukan dalam situasi tertentu atapun kurang layak.

C. Konsep Fungsi Kognitif


1. Pengertian
Fungsi kognitif menurut behavioral neurology, yaitu suatu proses
dimana semua masukan sensoris meliputi rangsang taktil, visual dan
auditorik akan diubah, diolah, disimpan dan digunakan untuk hubungan
interneuron secara sempurna sehingga seseorang mampu melakukan
penalaran terhadap masukan sensoris tersebut (Hamidah, 2011).
Sedangkan menurut Sibarani (2014), fungsi kognitif merupakan
aktivitas mental secara sadar seperti berpikir, belajar, mengingat dan
menggunakan bahasa. Fungsi kognitif juga merupakan kemampuan
atensi, memori, pemecahan masalah, pertimbangan, serta kemampuan
eksekutif (merencanakan, menilai, mengawasi, dan melakukan evaluasi)
(Sibarani, 2014).
2. Anatomi dan fisiologi fungsi kognitif
Sistem saraf yang berperan dalam fungsi kognitif tentunya tidak berjalan
sendiri-sendiri dalam menjalankan fungsinya melainkan merupakan suatu
kesatuan yang di sebut sistem limbik. Sistem limbik sendiri terlibat dalam
pengendalian emosi, perilaku, dorongan serta memori.

Gambar 2.1
Anatomi Fisiologi Fungsi Kognitif

Secara anatomi, seperti yang terlihat pada gambar 2.1, struktur limbik
meliputi gyrus subcallosus, gyrus cinguli, dan gyrus parahippocampalis,
formation hoppicampi, nucleus amygdala, corpus mammillare, dan
nucleus anterior thalami. Adapun yang membentuk jaras-jaras
penghubung dari sistem tersebut meliputi alveus, fimbria, fornix, tractus
mammillothalamicus, dan stria terminalis (Snel RS, 2013).
Adapun struktur dari sistem limbik dengan perannya masing-masing yaitu:
a. Amygdala, terlibat dalam pengaturan emosi dimana hemisfer kanan
predominan terhadap keadaan tidak sadar serta hemisfer kiri
predominan dalam keadaan sadar.
b. Hipokampus, berperan dalam pembentukan memori jangka panjang
dan proses pembelajaran (pemeliharaan kognitif).
c. Girus parahipokampus, berperan dalam pembentuan memori spasial.
d. Girus cinguli, berperan dalam pengaturan atensi sebagai salah satu
domain dari fungsi kognitif.
e. Forniks, berperan dalam pembelajaran dan memori.
f. Hypothalamus, berperan mengatur perubahan memori baru menjadi
memori jangka panjang.
g. Thalamus, sebagai pusat pengaturan fungsi kognitif di otak.
h. Mammillary bodies, berperan dalam pembentukan memori dan
pembelajaran.
i. Girus dentatus, berperan dalam memori baru.
j. Korteks enthorinal, berperan dalam komponen asosiasi.
Sedangkan lobus otak yang mempunyai peran dalam pengaturan fungsi
kognitif meliputi :
a. Lobus frontalis, berperan mengatur motorik, kepribadian, perilaku,
bahasa, memori, orientasi spasial, belajar asosiatif, daya analisa dan
sintesis.
b. Lobus parietalis, berperan dalam fungsi membaca, persepsi, dan
visuospasial. Lobus ini menerima stimuli sensorik dari berbagai
modalitas seperti input visual, auditorik, dan taktil dari area asosiasi
sekunder.
c. Lobus temporalis, berperan dalam mengatur fungsi pendengaran,
penglihatan, emosi, memori, dan kategorisasi benda-benda
(Chamidah, 2013).
3. Domain Fungsi Kognitif
Berdasarkan modul Neurobehavior PERDOSSI tahun 2008, fungsi
kognitif terdiri dari:
a. Atensi
Atensi adalah kemampuan untuk beraksi atau memperhatikan
satu stimulus dengan mampu mengabaikan stimulus lain yang tidak
dibutuhkan. Atensi merupakan hasil hubungan antara batang otak,
aktivitas limbik, dan aktivitas korteks sehingga mampu untuk fokus
pada stimulus spesifik dan mengabaikan stimulus lain yang tidak
relevan. Konsentrasi merupakan kemampuan untuk mempertahankan
atensi dalam periode yang lebih lama. Kemampuan dalam
mempertahankan atensi merupakan dasar sebelum melakukan
pemeriksaan neurobehavior yang lebih kompleks.
Aspek dari atensi sendiri terdiri dari:
1) Atensi selektif: kemampuan untuk menseleksi stimulus.
2) Mempertahankan atensi dan kesiagaan: kemampuan
mempertahankan atensi dalam waktu tertentu.
3) Atensi terbagi: kemampuan untuk bereaksi terhadap berbagai
stimulus dalam satu waktu.
4) Atensi alternative: mampu beralih dari satu situasi ke situasi lain
(Bahrudin M, 2011).
Gangguan atensi dan konsentrasi sendiri berhubungan dengan
kerusakan otak dan akan mempengaruhi fungsi kognitif lain seperti
memori, bahasa, dan fungsi eksekutif.
b. Bahasa
Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas
dasar yang membangun kemampuan fungsi kognitif. Jika terdapat
gangguan bahasa, pemeriksaan kognitif seperti memori verbal dan
fungsi eksekutif akan mengalami kesulitan atau tidak dapat dilakukan.
Berdasarkan gambar 2 menunjukkan bahwa fisiologi dari fungsi
bahasa sendiri berasal dari identifikasi suara menjadi bahasa pada
area pengenalan kata (inferior lobus parietal hemisfer dominan)
selanjutnya terjadi pengenalan berdasarkan pengalaman masa lalu
dan hubungan antar simnol terjadi pada area Wernicke. Saat terjadi
impuls visual, impuls tersebut akan masuk pada pusat visual primer
lobus oksipital kedua hemisfer dan berlanjut pada area asosiasi
visual dimana terjadi pengenalan dan identifikasi simbol bahasa
(dominan kearah identifikasi kata atau non-dominan yang menyilang
ke hemisfer yang dominan melalui korpus kalosum). Setelah melalui
area Wernicke, informasi tersebut akan diteruskan ke area Broca
(area encoding motorik) lalu disalurkan ke area motorik primer
hemisfer, untuk dikonversikan menjadi gerakan motorik (bicara)
(Bahrudin M, 2011).
Saat bersamaan, terjadi komunikasi antara area Broca dengan area
motor suplementer pada medial girus frontal superior lalu masuk
pada area motorik primer yang bertanggung jawab terhadap
kelancaran konversi informasi di area motor primer jadi impuls yang
memproduksi bicara (speech) (Bahrudin, 2011).
Terdapat enam modalitas bahasa yaitu :
1) Bicara spontan
Pada pemeriksaan kelancaran berbicara, dapat dikatakan
berbicara lancar apabila saat diberi pertanyaan langsung
menjawab dengan lancar, spontan, tanpa tertegun untuk mencari
kata yang diinginkan.
2) Pemahaman (komprehensi)
Pemahaman mengacu pada kemampuan untuk memahami
sesuatu perkataan atau perintah, dibuktikan dengan kemampuan
seseorang untuk melakukan perintah tersebut.
3) Pengulangan
Kemampuan seseorang untuk mengulangi suatu
pernyataan atau kalimat yang diucapkan seseorang. Dilakukan
pemeriksaan dengan cara menyuruh seseorang untuk
mengulang, mulai dari kata yang sederhana (satu patah kata)
sampai banyak kata (satu kalimat). Normalnya seseorang akan
mengulang kalimat yang mengandung 19 suku kata. Namun
apabila terjadi gangguan kemampuan pengulangan,
kemungkinan kelainan patologis pada daerah peri-sylvian
(Bahrudin, 2011).
4) Penamaan
Merujuk pada kemampuan seseorang untuk menamai
suatu objek beserta bagian-bagiannya.
5) Membaca
6) Menulis
Gangguan dalam berbahasa sering disebut dengan Afasia
yang dapat disebabkan karena adanya lesi otak fokal maupun
difus. Afasia adalah gangguan berbahasa, baik berupa bahasa
ekspresi (pemilihan kata) atau gangguan dalam bahasa reseptif
(pengertian kata/kalimat) (Bahrudin, 2011).
c. Memori
Memori adalah sebuah status mental yang memungkinkan
seseorang untuk menyimpan informasi yang akan dipanggil kembali
dikemudian hari. Rentang waktu untuk memanggil kembali informasi
tersebut bisa dilakukan dalam waktu singkat (hitungan detik) seperti
pada pengulangan angka, atau dalam waktu yang telah lama
(bertahun-tahun) seperti mengingat kembali pengalaman masa
kanak-kanak.
Struktur memori dapat dibedakan menjadi tiga sistem, yaitu:
sistem ingatan sensori, dimana pada sistem ini akan tercatat
informasi atau stimuli yang masuk melalui salah satu atau kombinasi
dari panca indera, yaitu secara visual melalui mata, pendengaran
melalui telinga, bau melalui hidung, rasa melalui lidah, dan rabaan
melalui kulit. Bila informasi atau stimuli tersebut tidak diperhatikan
maka akan langsung dibuang atau terlupakan, namun bila seseorang
memperhatikan dan menggap stimuli atau informasi tersebut penting
maka informasi tersebut akan ditransfer ke sistem ingatan jangka
pendek. Sistem ingatan jangka pendek dapat menyimpan informasi
atau stimuli selama kurang lebih 30 detik, dan hanya sekitar tujuh
bongkahan informasi yang dapat disimpan dan diperlihara di sistem
memori jangka pendek dalam suatu saat (Bhinnety, 2013).
Setelah berada di sistem memori jangka pendek, informasi
tersebut dapat ditransfer lagi dengan proses pengulangan ke sistem
ingatan jangka panjang untuk disimpan, atau dapat juga informasi
tersebut hilang/terlupakan karena tergantikan oleh tambahan
informasi baru (displacement) (Bhinnety, 2013).
Selanjutnya setelah berada di sistem memori jangka panjang,
informasi tersebut dapat diperoleh kembali melalui strategi tertentu,
atau informasi tersebut terlupakan karena adanya kekurangan dalam
sistem penyimpanannya (Bhinnety, 2013).
Fungsi memori terdiri dari proses penerimaan dan penyandian
informasi, proses penyimpanan serta proses mengingat. Semua hal
yang berpengaruh dalam ketiga proses tersebut akan mempengaruhi
fungsi memori. Fungsi memori dibagi dalam tiga tingkatan tergantung
pada lamanya rentang waktu antara stimulus dan pemanggilan
kembali informasi yang telah tersimpan (recall), yaitu :
1) Memori segera (immediate recall), rentang waktu antara stimulus
dan recall hanya beberapa. Pada memori segera hanya
dibutuhkan pemusatan perhatian agar dapat mengingat stimuli
atau informasi yang diberikan (attention).
2) Memori baru (recent memory) adalah kemampuan seseorang
untuk mengingat kejadian yang baru terjadi, kejadian sehari-hari
(misalnya sarapan pagi, tanggal dan waktu). Memori baru juga
merupakan kemampuan untuk mengingat informasi dalam
rentang waktu yang lebih lama yaitu beberapa menit, jam, bulan
bahkan tahun.
3) Memori lama (remote memory) adalah kemampuan
mengumpulkan fakta atau kejadian yang terjadi bertahun-tahun
bahkan seumur hidup.
4. Faktor yang mempengaruhi fungsi kognitif
a. Usia
Telah banyak penelitian yang menghubungkan faktor usia
dengan penurunan fungsi kognitif. Salah satunya adalah penelitian
yang dilakukan oleh the COGITO study, yang menunjukkan hasil
bahwa pada usia dewasa tua (65-80 tahun) seseorang akan lebih
sulit untuk meningkatkan kemampuan kognisinya dibandingkan
golongan usia dewasa muda (20-31 tahun) (Schmiedek F et al,
2010).
Seseorang dengan usia lanjut juga cenderung mengalami
penurunan aktivitas fisik yang dapat menyebabkan penurunan fungsi
kognitif. Di usia lanjut juga diketahui lebih cepat terjadi penurunan
fungsi dari belahan otak kanan dibandingkan dengan otak kiri,
dimana keadaan tersebut membuat kelompok lanjut usia mengalami
deficit memori atau daya ingat yang tentunya berhubungan dengan
fungsi kognitif (Aini DN et al, 2016).
d. Aktifivitas Fisik
Aktivitas fisik yang dilakukan seseorang bisa saja berpengaruh
terhadap fungsi kognitif. Seperti analisis sistematik review yang
dilakukan oleh Carvalho A dkk, menunjukkan hasil dari 27 penelitiam,
26 diantaranya menunjukkan adanya positif korelasi antara aktivitas
fisik dengan perubahan fungsi kognitif dan 1 penelitian menunjukkan
tidak ada kolerasi yang signifikan (Carvalho A et al, 2014).
Penelitian lain menyatakan tingkat aktivitas fisik yang
dibedakan dalam dua kelompok yaitu aktif dan tidak aktif
menunjukkan hasil bahwa tingkat aktivitas fisik aktif memiliki fungsi
kognitif yang lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang
memiliki tingkat aktivitas tidak aktif. Hal ini menyimpulkan bahwa
tingkat aktivitas yang rutin dan berkepanjangan mempunyai
hubungan terhadap tingginya skor fungsi kognitif. Sebaliknya ketika
seseorang mengalami penurunan aktivitas fisik dan intensitasnya
akan mempercepat terjadinya penurunan fungsi kognitif (Muzamil MS
et al, 2014).
Aktivitas fisik tidak hanya berupa olahraga ataupun melakukan
pekerjaan sehari-hari namun juga meliputi pelatihan otak atau brain
training yang tentunya dapat meningkatkan beberapa domain dari
fungsi kognitif seperti memori, atensi, konsentrasi, dan kemampuan
bahasa (Lilienthal L et al, 2013, Rueda MR et al, 2005, Loosli SV et
al, 2012, Karbach J et al, 2014)
e. Jenis Kelamin
Jenis kelamin memiliki pengaruh terhadap fungsi kognitif,
khususnya pada memori seseorang. Terdapat penelitian yang
menyatakan bahwa ukuran amigdala dan thalamus yang dimiliki oleh
pria lebih besar dibandingkan perempuan sedangkan untuk ukuran
hipokampus, perempuan memiliki ukuran yang lebih besar dibanding
pria. Pada perempuan juga ditemukan jumlah reseptor estrogen di
hipokampus dan androgen di amigdala yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pria. Hal ini menyimpulkan bahwa jenis kelamin
perempuan cenderung memiliki kemampuan memori verbal yang
lebih baik dan pria memiliki kemampuan memori spasial yang lebih
baik. Penelitian lain juga mengungkapkan bahwa perempuan memiliki
resiko lebih tinggi mengalami gangguan fungsi kognitif dikarenanakan
adanya penurunan hormon estrogen saat mengalami menopause
(Rasyid IA et al, 2017, Qotifah I, 2017)
f. Nutrisi
Nutrisi mempunyai pengaruh tersendiri dalam fungsi kognitif.
Karena dengan nutrisi yang cukup dan berimbang, sel-sel otak akan
menjadi lebih baik perkembangannya. Nutrisi seperti protein, lemak,
vitamin, mineral masing-masing mempunyai peran terhadap
peningkatan fungsi kognitif seseorang (Nutrialhealth, 2014).
Seseorang yang sedang menjalani diet tentunya harus
memperhatikan asupan nutrisi yang ia konsumsi setiap hari agar
tidak terjadi penurunan fungsi kognitif dikarenakan sel-sel otak yang
kekurangan nutrisi untuk berkembang.
g. Riwayat Penyakit
Riwayat penyakit yang diderita seseorang tentunya mempunyai
pengaruh terhadap fungsi kognitif. Seperti pada pasien Diabetes
Mellitus tipe 2 (DMT2) memiliki resiko yang lebih tinggi terhadap
gangguan kognitif. Hal ini juga berkaitan dengan adanya penyakit
gangguan vaskular (Umegaki H, 2014). Faktor resiko dari gangguan
vaskular lainnya seperti obesitas, merokok, hipertensi juga
meningkatkan penurunan kognitif (Baumgart M et al, 2015).
Kelompok usia muda (18-30 tahun) dengan adanya gangguan
vaskular juga menjadi salah satu faktof resiko penurunan fungsi
kognitif (Yaffe K et al, 2014).
Adanya kelainan otak atau trauma otak juga menjadi salah satu
penyebab terjadi penurunan fungsi kognitif, baik pada kelompok usia
dewasa muda maupun dewasa tua. Paparan stres jangka panjang
juga diyakini sebagai salah satu penyebab terjadi penurunan fungsi
kognitif dikarenakan stres berhubungan dengan penurunan volume
hipokampus dan region orbito-frontal otak yang juga akan
meningkatkan apoptosis neuron (Nieoullon A, 2011, Bath KG et al,
2013)
h. Riwayat Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang mempunyai pengaruh terhadap
fungsi kognitif dikarenakan selama menjalani proses pendidikan,
tentunya seseorang mempelajari hal baru yang menyebabkan
terbentuknya ingatan baru yang masuk pada hipokampus dan
menyebabkan tersimpannya informasi atau pembelajaran baru
tersebut sebagai memori jangka panjang yang akhirnya akan
permanen disimpan oleh otak (Rasyid IA, 2017).
5. Pengukuran Fungsi Kognitif
Menurut Folstein (dalam Mubarak, 2016) pengukuran pada fungsi kognitif
dapat dilakukan dengan menggunakan tes Mini Mental State Examination
(MMSE). Setiap satu pertanyaan yang dijawab benar diberi skor 1 dan
jika salah diberi skor 0. Dari jumlah skor yang diperoleh maka dapat dinilai
dengan kriteria :
a. 24 – 30 = Normal
b. 17 – 23 = Gangguan kognitif sedang
c. 0 – 16 = Gangguan kognitif berat
D. Hubungan fungsi kognitif dengan kemampuan interaksi sosial
Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi kognitif, antara lain jenis
kelamin, umur, status perkawinan dan pendidikan. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Yuniati & Riza (2014), bahwa faktor-faktor yang
berhubungan dengan keluhan subyektif gangguan kognitif pada lansia antara
lain adalah faktor umur, faktor kesulitan merawat diri, faktor perasaan sedih,
rendah diri dan tertekan, faktor kesulitan melaksanakan fungsi sosial, faktor
pendidikan, faktor status perkawinan dan faktor konsumsi buah dan sayur.
Seseorang yang berpartisipasi secara aktif dalam berinteraksi sosial
dengan baik seperti kontak mata dan mempunyai keterikatan emosional
dengan teman dekat atau ikut serta dalam memberikan respon terhadap suatu
situasi yang santai akan mempunyai fungsi kognitif yang baik. Sedangkan
seseorang yang tidak mau berinteraksi sosial dengan baik dan tidak mampu
beradaptasi dengan perubahan sosial akan menimbulkan reaksi stres dimulai
dengan meningkatnya produksi glukocorticoid dan ini berpengaruh terhadap
hipotalamus dan secara perlahan akan mempengaruhi fungsi kognitifnya
(Hesti, dkk, 2013).
Pada lansia yang mengalami interaksi sosial kurang disebabkan karena
adanya beberapa faktor yang mengganggu mereka, seperti jarangnya
berkomunikasi, sedikit berbaur dengan yang lain dan suka menarik diri. Hal ini
sesuai dengan teori psikososial menurut Tamher & Noorkasiani (2009), yang
menyatakan bahwa individu atau masyarakat mengalami keadaan menarik
diri. Memasuki usia tua, individu mulai menarik diri dari masyarakat, sehingga
memungkinkan individu untuk menyimpan lebih banyak aktivitasaktivitas yang
berfokus pada dirinya dalam memenuhi kestabilan pada stadium ini.
Perubahan psikis lansia yang dapat menyebabkan kemunduran dalam
berinteraksi sosial adalah lansia yang mengalami perasaan rendah diri,
bersalah atau merasa tidak berguna lagi, apalagi apabila lansia sudah
ditinggal pasangan hidupnya. Kondisi kondisi seperti ini membuat lansia
menutup diri dengan orang muda atau sebayanya, sehingga sudah tidak
berminat untuk kontak sosial dan menghabiskan waktu untuk tidur (Pieter &
Lubis, 2010).
E. Kerangka Teori

Lansia
Faktor-faktor yang mempengaruhi
interaksi sosial
1. Afektif
2. Kognitif Interaksi Sosial
3. Konaktif

Memori segera
Memori baru
Memori lama
Bicara spontan
Pemahaman
Pengulangan
Penanaman
Membaca
Menulis

Sumber :
Schmiedek F et al (2010), Aini DN et al (2016), Mubarak (2016)

Keterangan:

= Diteliti

- - - - - - - - - - = Tidak Diteliti

Anda mungkin juga menyukai