Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN PENDAHULUAN

GLAUKOMA PADA LANSIA


STASE KEPERAWATAN GERONTIK

Pembimbing Akademik:
Ns. Luri Mekeama, S.Kep, M.Kep
Ns. Yulia Indah Permatasari, S.Kep, M.Kep

Pembimbing Lapangan
Ns. Ana, S.Kep

Disusun Oleh :
Tania Febria Azizah
G1B222035

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2022
A. KONSEP LANSIA
1. DEFINISI
sMenurut WHO lanjut usia (lansia) adalah kelompok penduduk yang
berumur 60 tahun atau lebih. Pada usia ini ada perubahan-perubahan dan
kemunduran kesehatan yang terjadi, ini dikarenakan semakin bertambahnya
usia maka terjadi perubahan anatomis, fisiologis dan biokimia. Perubahan
dimulai dari tingkat sel, kemudian berlanjut pada tingkat jaringan dan
akhirnya pada tingkat organ yang dapat mempengaruhi homeostasis
(Damayanti S, 2015).
Lansia atau menua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam
kehidupan manusia. Menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya
dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan.
Menjadi tua merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui
tiga tahap kehidupannya, yaitu anak, dewasa dan tua. Tiga tahap ini berbeda
baik secara biologis, maupun psikologis. Memasuki usia tua berarti
mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik, yang ditandai dengan
kulit yang mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran
kurang jelas, penglihatan semakin memburuk, gerakan lambat dan figure
tubuh tidak proporsional (Nasrullah, 2016).
Pada haketnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti
seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu masa kanak-kanak,
masa dewasa dan masa tua. Tiga tahapan ini berbeda baik secara biologis
maupun psikologis. Memasuki masa tua berarti mengalami kemunduran
secara fisik maupun secara psikis. Kemunduran fisik ditandai dengan kulit
yang mengendor, rambut putih, penurunan pendengaran, penglihatan
menurun, gerakan lambat, kelainan berbagai fungsi organ vital, sensitivitas
emosional meningkat (Aspiani, 2014).

2. BATASAN USIA LANJUT


Batasan-batasan umur mencakup batasan umur lansia sebagai berikut:
1. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 pasal 1
ayat 2 berbunyi “Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60
tahun (enam puluh) tahun ke atas”.
2. Menurut World Health Organization (WHO), usia lanjut dibagi menjadi
empat criteria sebagai berikut: usia pertengahan (middle age) ialah 45-59
tahun, lanjut usia (elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) ialah
75-90 tahun, usia sangat tua (very old) ialah diatas 90 tahun.
3. Menurut Dra. Jos Masdani (Psikolog UI) terdapat empat fase, yaitu:
pertama (fase inventus) ialah 25-40 tahun, kedua (fase virilities) ialah 40-
55 tahun, ketiga (fase presenium) ialah 55-65 tahun, keempat (fase
senium) ialah 65 hingga tutup usia.
4. Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro masa lanjut usia (geriatric
age): > 65tahun atau 70 tahun. Masa lanjut usia (getiatric age) itu sendiri
dibagi menjadi batasan umur, yaitu young old (70-75 tahun), old (75-80
tahun), dan very old ( > 80 tahun) (Padila, 2013).

3. KARAKTERISTIK LANSIA
Menurut Padila (2013). Lansia memiki karakteristik sebagai berikut:
1. Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai pasal 1 ayat (2) UU No. 13 tantang
kesehatan).
2. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit,
dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif
hingga maladaptif.
3. Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi.

4. TIPE LANSIA
Tipe lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup, lingkungan,
kondisi fisik, mental, sosial dan ekonominya (Padila, 2013). Tipe tersebut
diantaranya :
a. Tipe arif bijaksana
Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan
zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana,
dermawan, memenuhi undangan dan menjadi panutan.
b. Tipe mandiri
Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selekrif dalam
mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.
c. Tipe tidak puas
Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi
pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik dan
banyak menuntut.
d. Tipe pasrah
Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan
melakukan pekerjaan apa saja.
e. Tipe bingung
Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal,
pasif, dan acuh tak acuh.
Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, tipe konstruktif, dependen
(tergantung), tipe defensife (bertahan), tipe militan dan serius,
tipe pemarah/frustasi (kecewa akibat kegagalan dalam melakukan sesuatu), serta
tipe putus asa (benci pada diri sendiri).

5. PROSES PENUAAN
Proses penuaan merupakan proses yang berhubungan dengan umur
seseorang manusia mengalami perubahan sesuai dengan bertambahnya umur
tersebut. Semakin bertambah umur semakin berkurang fungsi-fungsi organ
tubuh. Banyak faktor yang mempengaruhi proses penuaan tersebut, sehingga
munculah teori-teori yang menjelaskan mengenai faktor penyebab proses
penuaan ini. Diantara teori yang terkenal adalah Teori Telomere dan teori
radikal bebas (Sunaryo, 2016 ).
Faktor-faktor yang mempengaruhi penuaan :
Faktor-faktor yang mempengaruhi penuaan dan penyakit yang sering terjadi
pada lansia di antaranya hereditas, atau keturunan genetik, nutrisi atau
makanan, status kesehatan, pengalaman hidup, lingkungan dan stress
(Santoso, 2019).
6. PERUBAHAN-PERUBAHAN YANG TERJADI PADA LANJUT USIA
Perubahan-perubahan yang terjadi pada lanjut usia, antara lain:
1. Perubahan kondisi fisik
Menurut Sunaryo (2016), perubahan- perubahan yang terjadi pada lansia
meliputi perubahn fisik, yang meliputi sel, sistem pernapasan, sistem
persyarafan, sistem pendengaran, penglihatan, sistem kardiovaskuler,
sistem genitor urinaria, sistem endokrin dan metabolic, sistem
pencernaan, sisem musculoskeletal, sistem kulit dan jaringan ikat, sistem
reproduksi dan kegiatan seksual, dan sistem pengaturan tubuh, serta
perubahan mental, dan perubahan psikososial.
2. Perubahan kondisi mental
Pada umumnya lansia mengalami penurunan fungsi kognitif dan
psikomotor. Perubahan-perubahan ini erat sekali kaitannya dengan
perubahan fisik, keadaan kesehatan, tingkat pendidikan atau
pengetahuan, dan situasi lingkungan. Dari segi mental dan emosional
sering muncul perasaan pesimis, timbulnya perasaan tidak aman dan
cemas. Adanya kekacauan mental akut, merasa terancam akan timbulnya
suatu penyakit atau takut ditelantarkan karena tidak berguna lagi. Hal ini
bisa meyebabkan lansia mengalami depresi.
3. Perubahan psikososial
Masalah-masalah serta reaksi individu terhadapnya akan sangat beragam,
tergantung pada kepribadian individu yang bersangkutan. Saat ini orang
yang telah meenjalani kehidupannya dengan bekerja mendadak
diharapkan menyesuaikan dirinya dengan masa pensiun.
4. Perubahan spiritual
Ada beberapa pendapat tentang perdapat tentang perubahan spiritual
pada lansia. Menurut Maslow bahwa agama dan kepercayaan makin
terintegrasi dalam kehidupannya dan keagamaan lansia makin matang.
Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun, antara lain perkembangan
yang dicapai pada tingkat ini sehingga lansia biasa berpikir dan bertindak
dengan memberi contoh cara mencintai dan memberi keadilan. Lansia
terjadi perubahan secara terus-menerus. Apabila proses penyesuaian diri
dengan lingkungannya kurang berhasil, timbullah berbagai masalah.

7. PERMASALAHAN YANG TERJADI PADA LANSIA


Menurut Sunaryo (2016), berbagai permasalahan yang berkaitan dengan
pencapaian kesejahteraan lanjut usia, antara lain:
1. Permasalahan umum
a. Makin besar jumlah lansia yang berada di bawah garis kemiskinan.
b. Makin melemahnya nilai kekerabatan sehingga anggota keluarga yang
berusia lanjut kurang diperhatikan, dihargai, dan dihormati.
c. Lahirnya kelompok masyarakat industri.
d. Masih rendahnya kuantitas dan kualitas tenaga professional pelayanan
lanjut usia.
e. Belum membudaya dan melembaganya kegiatan pembinaan
kesejahteraan lansia.
2. Permasalahan khusus
a. Berlangsungnya proses menua yang berakibat timbulnya masalah baik
fisik, mental, maupun sosial
b. Berkurangnya integrasi sosial lanjut usia.
c. Rendahnya produktivitas kerja lansia.
d. Banyaknya lansia yang miskin,terlantar, dan cacat.
e. Berubahnya nilai sosial masyarakat yang mengarah pada tatanan
masyarakat individualistic.
f. Adanya dampak negative dari proses pembangunan yang dapat
mengganggu kesehatan fisik lansia.

8. TUGAS PERKEMBANGAN LANSIA


Kesiapan lansia untuk beradaptasi terhadap tugas perkembangan lansia
dipengaruhi oleh proses tumbang pada tahap sebelumnya (Padila, 2013).
Tugas perkembangan lansia sebagai berikut:
1. Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun
2. Mempersiapkan diri untuk pensiun
3. Membentuk hubungan baik dengan orang seusianya
4. Mempersiakan kehidupan baru
5. Melakukam penyesuaian terhadap kehidupan sosial/masyarakat secara
santai
6. Mempersiapkan diri untuk kematiannya dan kemtian pasangan

7. CIRI-CIRI LANSIA
a. Lansia merupakan periode kemunduran.
Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor
psikologis. Motivasi memiliki peran yang penting dalam kemunduran
pada lansia. Misalnya lansia yang memiliki motivasi yang rendah dalam
melakukan kegiatan, maka akan mempercepat proses kemunduran fisik,
akan tetapi ada juga lansia yang memiliki motivasi yang tinggi, maka
kemunduran fisik pada lansia akan lebih lama terjadi.
b. Lansia memiliki status kelompok minoritas.
Kondisi ini sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan
terhadap lansia dan diperkuat oleh pendapat yang kurang baik, misalnya
lansia yang lebih senang mempertahankan pendapatnya maka sikap
sosial di masyarakat menjadi negatif, tetapi ada juga lansia yang
mempunyai tenggang rasa kepada orang lain sehingga sikap sosial
masyarakat menjadi positif.
c. Menua membutuhkan perubahan peran.
Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami
kemunduran dalam segala hal.Perubahan peran pada lansia sebaiknya
dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan atas dasar tekanan dari
lingkungan.Misalnya lansia menduduki jabatan sosial di masyarakat
sebagai Ketua RW, sebaiknya masyarakat tidak memberhentikan lansia
sebagai ketua RW karena usianya.
d. Penyesuaian yang buruk pada lansia.
Perlakuan yang buruk terhadap lansia membuat mereka cenderung
mengembangkan konsep diri yang buruk sehingga dapat memperlihatkan
bentuk perilaku yang buruk.Akibat dari perlakuan yang buruk itu
membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk pula.Contoh : lansia
yang tinggal bersama keluarga sering tidak dilibatkan untuk pengambilan
keputusan karena dianggap pola pikirnya kuno, kondisi inilah yang
menyebabkan lansia menarik diri dari lingkungan, cepat tersinggung dan
bahkan memiliki harga diri yang rendah.

8. PERKEMBANGAN LANSIA
Usia lanjut merupakan usia yang mendekati akhir siklus kehidupan
manusia di dunia. Tahap ini dimulai dari 60 tahun sampai akhir kehidupan.
Lansia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Semua orang
akan mengalami proses menjadi tua (tahap penuaan). Masa tua merupakan
masa hidup manusia yang terakhir, dimana pada masa ini seseorang
mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial sedikit demi sedikit
sehingga tidak dapat melakukan tugasnya sehari-hari lagi (tahap
penurunan).
Penuaan merupakan perubahan kumulatif pada makhluk hidup,
termasuk tubuh, jaringan dan sel, yang mengalami penurunan kapasitas
fungsional.Pada manusia, penuaan dihubungkan dengan perubahan
degeneratif pada kulit, tulang, jantung, pembuluh darah, paru-paru, saraf
dan jaringan tubuh lainnya.
Dengan kemampuan regeneratif yang terbatas, mereka lebih rentan
terhadap berbagai penyakit, sindroma dan kesakitan dibandingkan dengan
orang dewasa lain. Untuk menjelaskan penurunan pada tahap ini, terdapat
berbagai perbedaan teori, namun para ahli pada umumnya sepakat bahwa
proses ini lebih banyak ditemukan pada faktor genetik.

9. TEORI PROSES MENUA


a. Teori-Teori Biologi
1) Teori genetik dan mutasi (somatic mutatie theory)
Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk spesies
– spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan
biokimia yang diprogram oleh molekul – molekul / DNA dan setiap
sel pada saatnya akan mengalami mutasi. Sebagai contoh yang khas
adalah mutasi dari sel – sel kelamin (terjadi penurunan kemampuan
fungsional sel)
2) Pemakaian dan rusak
Kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel – sel tubuh lelah (rusak)
3) Reaksi dari kekebalan sendiri (auto immune theory)
Di dalam proses metabolisme tubuh, suatu saat diproduksi suatu zat
khusus. Ada jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap zat
tersebut sehingga jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit.
4) Teori “immunology slow virus” (immunology slow virus theory)
Sistem immune menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan
masuknya virus kedalam tubuh dapat menyebabkan kerusakan organ
tubuh.
5) Teori stres
Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan
tubuh.Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan
lingkungan internal, kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel-sel
tubuh lelah terpakai.
6) Teori radikal bebas
Radikal bebas dapat terbentuk dialam bebas, tidak stabilnya radikal
bebas (kelompok atom) mengakibatkan osksidasi oksigen bahan-
bahan organik seperti karbohidrat dan protein.Radikal bebas ini dapat
menyebabkan sel-sel tidak dapat regenerasi.
7) Teori rantai silang
Sel-sel yang tua atau usang , reaksi kimianya menyebabkan ikatan
yang kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini menyebabkan
kurangnya elastis, kekacauan dan hilangnya fungsi.
8) Teori program
Kemampuan organisme untuk menetapkan jumlah sel yang membelah
setelah sel-sel tersebut mati.
10. PERUBAHAN FISIOLOGI PADA LANJUT USIA
1. Sel
a. Lebih sedikit jumlahnya
b. Lebih besar ukurannya
c. Berkurangnya jumlah cairan tubuh dan berkurangnya cairan
intraseluler
d. Menurunnya proporsi protein di otak,otot,ginjal,darah dan hati.
e. Jumlah sel otak menurun
f. Terganggunya mekanisme perbaikan sel
g. Otak menjadi atrofi beratnya berkurang 5-20%
2. Sistem Kardiovaskuler
Perubahan yang terjadi pada system kardiovaskuler antara lain:
a. Elastisitas dinding aorta menurun
b. Katup jantung menebal dan menjadi kaku
c. Kemampuan jantung memompa darah menurun 1%setiap tahun
sesudah berumur 20 tahun, hal ini menyebabkan menurunnya
kontraksi dan volumenya.
d. Kehilangan elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektivitas
pembuluh darah perifer untuk oksigenasi, perubahan posisi tidur ke
duduk atau duduk ke berdiri bisa menyebabkan tekanan darah
menurun yaitu menjadi 65mmHg yang dapat mengakibatkan pusing
mendadak.
e. Tekanan darah meninggi diakibatkan oleh meningkatnya resistensi
dari pembuluh darah perifer, sistolis normal ± 170mmHg, diastole
normal ± 90 mmHg.
3. Sistem Pernafasan
Perubahan yang terjadi pada system pernafasan antara lain:
a. Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku.
b. Menurunnya aktivitas dari silia.
c. Paru-paru kehilangan elastisitas: kapasitas residu meningkat,
menarik nafas lebih berat, kapasitas pernafasan maksimum menurun
dan kedalam bernafas menurun.
d. Alveoli ukurannya melebar dari biasa dan jumlahnya berkurang.
e. O₂ pada arteri menurun menjadi 75 mmHg.
f. CO₂ pada arteri tidak berganti.
g. Kempuan untuk batuk berkurang
h. Kemampuan pegas, dinding, dada dan kekuatan otot pernapasan
akan menurun seiring dengan pertambahan usia.
4. Sistem Persarafan
Perubahan yang terjadi pada system persyarafan antara lain:
a. Berat otak menurun 10-20% (setiap orang berkurang sel saraf
otaknya dalam setiap harinya)
b. Cepatnya menurun hubungan persarafan.
c. Lambat dalam respon dan waktu untuk bereaksi, khususnya dengan
stess.
d. Mengecilnya saraf panca indra: berkurangnya penglihatan, hilangnya
pendengaran, mengecilnya saraf penciuman dan perasa, lebih
sensitive terhadap perubahan suhu dengan rendahnya ketahanan
terhadap dingin.
e. Kurangnya sensitif terhadap sentuhan.
5. Sistem Gastrointestinal
Perubahan yang terjadi pada system gastrointestinal yaitu :
a. Kehilangan gigi: penyebab utamanya adanya Periodontal Disease
yang bisa terjadi setelah berumur 30 tahun, penyebabnya lain
meliputi kesehatan gigi yang buruk dan gizi buruk.
b. Indra pengecap menurun: adanya iritasi yang kronis dan selaput
lendir, atropi indra pengecap (± 80%), hilangnya sensivitas dari indra
pengecap di lidah terutama rasa manis dan asin, hilangnya sensivitas
dari saraf pengecapan tentang rasa asin,asam dan pahit.
c. Esophagus melebar
d. Lambung: rasa lapar menurun (sensivitas lapar menurun), asam
lambung menurun, waktu mengosongkan menurun.
e. Peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi.
f. Fungsi absorbpsi melemah.
g. Liver (hati): makin mengecil dan menurunnya tempat penyimpanan
berkurangnya aliran darah.
6. Sistem Genitourinaria
Perubahan yang terjadi pada system genitourinaria antara lain:
a. Ginjal
Merupakan alat untuk mengeluarkan sisa metabolisme tubuh
melalui urin darah yang masuk ke ginjal, disaring oleh satuan (unit)
terkecil dari ginjal yang disebut nefron (tepatnya di glomerulus).
Kemudian mengecil dan nefron menjadi atrofi, aliran darah ke ginjal
menurun sampai 50%, fungsi tubulus berkurang akibatnya
kurangnya kemampuan mengkonsentrasi urin, berat jenis urin
menurun proteinuria (biasanya +1) BUN (Blood Urea Nitrogen)
meningkat sampai 21 mg%, nilai ambang ginjal terhadap glukosa
meningkat.
b. Vesika urinaria (kandung kemih)
Otot-otot menjadi lemah, kapasitasnya menurun sampai 200ml
atau menyebabkan frekuensi buang air kecil meningkat, vesika
urinaria susah dikosongkan pada pria lanjut usia sehingga
mengakibatkan meningkatnya retensi urin (Inkontinitas Urin)
c. Pembesaran prostat ± 75% dialami oleh pria usia di atas 65 tahun.
7. Sistem Endokrin
a. Produksi dari hampir semua hormon menurun.
b. Fungsi parathyroid dan sekresinya tidak berubah.
c. Pituitari: pertumbuhan hormone ada tetapi lebih rendah dan hanya
didalam pembuluh darah, berkurangnya produksi dari ACTH,TSH
dan LH.
d. Menurunnya aktivitas tiroid, menurunnya BMR dan menurunnya
pertukaran zat.
e. Menurunnya produksi aldosterone.
f. Menurunnya sekresi hormon kelamin, misalnya: progesterone,
esteron dan testosteron.
B. KONSEP BPH
1. Anatomi Fisiologi
Anatomi
Kelenjar prostat merupakan kelenjar yang tidak berpasangan di bawah
dasar vesika urinaria.Kelenjar prostat berukuran 4 x 3 x 2 cm (20 g) dan
memiliki dasar di superior dan apeks di inferior.Kelenjar tersebut terdiri dari
lobus kanan dan lobus kiri, yang dibatasi oleh sulcus yang kecil dan lobus
medius.Kelenjar prostat mengeluarkan sekresinya ke dalam uretra melalui
saluran tengah uretra (pars prostatica) (Paulsen dan Waschke, 2012).Kelenjar
prostat merupakan kelenjar berbentuk bulat yang mengelilingi saluran uretra.
Ukuran normalnya adalah 2 cm (Sartono, 2014).

Gambar 1. Kelenjar prostat normal dan kelenjar prostat hyperplasia

Fisiologi
Kelenjar prostat berfungsi untuk mengahasilkan cairan yang bersifat
basa dan berwarna putih seperti susu. Cairan ini berfungsi untuk menetralkan
sifat asam pada vasa eferentia dan cairan yang terdapat di vagina sehingga
sperma bisa bergerak aktif (Sartono, 2014).
2. Definisi Penyakit
Benign prostatichyperplasia (BPH) adalah kelainan histologis yang
khas ditandai dengan proliferasi sel – sel prostat yang merupakan akumulasi
sel – sel dan pembesaran kelenjar hasil dari proliferasi sel epitel dan stroma
prostat. BPH merupakan bagian dari proses umur yang normal pada laki – laki
secara hormonal yang bergantung pada produksi hormon testosteron dan
dehidrotestosteron (DHT). BPH adalah salah satu penyakit utama yang sering
ditemukan pada laki – laki seiring dengan bertambahnya usia (Setiati dkk,
2015).
BPH adalah tumor jinak kelenjar prostat, yang menyebabkannya
membesar hingga mencapai 100 g.BPH biasa terjadi dengan berbagai tingkat
pada semua laki – laki berusia lebih dari 70 tahun (Paulsen dan Waschke,
2012).
BPH (Benigna Prostat Hyperplasia) merupakan suatu penyakit dimana
terjadi pembesaran di kelenjar prostat akibat hyperplasia jinak dari sel-sel
yang biasa terjadi pada laki-laki berusia lanjut. kelainan ini ditentukan pada
usia 40 tahun dan frekuensinya makin bertambah sesuai dengan penambahan
usia, sehingga pada usia di atas 80 tahun kira-kira 80% dari laki-laki yang
menderita kelaininan ini (Aprina, Noven, & Sunarsih, 2017).
Secara histopatologis dikarakteristikkan dengan peningkatan jumlah
sel-sel stroma dan epitel prostat diarea periuretra yang merupakan suatu
hiperplasia dan bukan hipertrofi.BPH juga diartikan sebagai pembesaran
prostat yang mengenai uretra dan menyebabkan gejala urtikaria. BPH
merupakan kondisi yang belum diketahui penyebabnya, ditandai dengan
meningkatnya ukuran zona dalam (kelenjar periuretra) dari kelenjar prostat
(Nuari & Dhina, 2017; Budaya & Besut, 2019).

3. Epidemiologi
BPH merupakan suatu penyakit yang sering terjadi pada laki – laki
dengan usia lanjut. Penyakit ini sering menimbulkan ketidakberdayaan namun
jarang menyebabkan kematian.Menurut data dasar WHO, angka kematian BPH
pada negara berkembang di tahun 1988 antara 0,5 – 1,5/100.000, sedangkan di
Amerika lebih jarang (Setiati, 2015).
Menurut Skinder dkk (2016), pada umur 50 tahun ditemukan 50%
laki – laki menderita BPH, sedangkan pada usia 80 tahun 90% ditemukan
kasus BPH, dan prevalensi paling besar ditemukan pada laki – laki dengan usia
70-79 tahun. Diperkirakan 50% laki – laki menunjukkan histopatologi BPH
pada umur 60 tahun, dan jumlahnya meningkat menjadi 90% pada umur 80
tahun (Setiati, 2015).
BPH terjadi pada sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan
meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun. Angka kejadian
BPH di Indonesia yang pasti belum pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran
hospital prevalence di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) sejak
tahun 1994-2013 ditemukan 3.804 kasus dengan rata-rata umur penderita
berusia 66,61 tahun (Mochtar dkk, 2015).

4. Etiologi
Penyebab terjadinya hiperplasia pada prostat masih belum diketahui
secara spesifik. Beberapa studi mengatakan faktor genetik merupakan
predisposisi, karena hampir 50% laki – laki umur 60 tahun yang menjalani
operasi hiperplasia prostat benigna ternyata telah mempunyai kecenderungan
(secara genetik) menderita hipertrofi prostat (Setiati, 2015). Menurut Setiati
(2015), banyaknya testosteron yang bebas dan aktif pada aliran vena prostat
yang ekstrem tinggi akan meningkatkan proiferasi sel prostat. Pada studi ini
hiperplasia dianggap akibat dari malfungsi katup vena spermatika interna
akibat varikokel. Hiperplasia akan meningkat dengan cepat sesuai
pertambahan usia, sekitar 10-15% setiap dekade kehidupan.
Menurut Setiati (2015) terdapat beberapa teori terkait dengan
terjadinya hiperplasia kelenjar prostat, yaitu
1. Teori hormonal: kenaikan dehidrotestosteron (DHT) dalam sel prostat
akan merangsang perutumbuhan sel.
2. Teori sel punca (stem cell): ketidaktepatan aktivitas sel punca
mengakibatkan produksi berlebihan pada sel stroma maupun epitel.
3. Teori berkurangnya kematian sel prostat (apoptosis), hal ini menyebabkan
jumlah sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga
menyebabkan peningkatan massa prostat.
4. Teori faktor inflamasi dan sindrom metabolik: terdapat bukti bahwa BPH
merupakan suatu immune inflammatory disease.

5. Klasfikasi
Pengklasifikasian BPH dilakukan untuk menentukan terapi. Menurut
Setiati (2015) BPH diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:
1. Derajat I
Hiperplasia prostat yang belum memerlukan tindakan bedah dan dapat
diberikan terapi konservatif, misalnya dengan penghambat adrenoreseptor
alfa seperti alfazosin, prazosin, dan terazosin.
2. Derajat II
BPH dengan indikasi untuk melakukan pembedahan. Biasanya dianjurkan
reseksi endoskopi melalui uretra (transurethral resection of prostat =
TURP). Kadang juga dilakukan terapi konservatif terlebih dahulu.
3. Derajat III
Pada derajat ini, tindakan TURP dilakukan oleh ahli bedah yang cukup
berpengalaman. Namun, apabila prostat sudah cukup besar sehingga
reseksi tidak akan selesai dalam satu jam, sebaiknya dilakukan operasi
terbuka, kemudian prostat dienukleasi dari dalam simpainya.
4. Derajat IV
Pada BPH dengan derajat IV, pasien harus segera dibebaskan dari retensi
urin total dengan memasang kateter atau sistostomi. Setelah itu dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi diagnosis, kemudian dilakukan
terapi definitive dengan TURP atau pembedahan terb.

6. Patofisiologi
Pembesaran prostat merupakan proses hyperplasia, yang akan
menekan aliran urin dalam kandung kemih. Hiperplasia prostat adalah
pembesaran prostat yang mengelilingi dan menekan uretra, sehingga terjadi
obstruksi dan menyebabkan disfungsi kandung kemih, yang pada akhirnya
menimbulkan gejala pada traktus urinarius bagian bawah. Kandung kemih
akan melemah dan kehilangan kemampuan untuk mengeluarkan urisn secara
sempurna, akibatnya terjadi peningkatan residu urin dan retensi urin akut
ataupun kronik (Setiati, 2015).
Obstruksi saluran keluar dari kandung kemih akan menyebabkan
hipertrofi otot detrusor dan penealan kandung kemih akibat peningkatan beban
melawan resistensi jalan keluar. Akibat penebalan dinding kandung kemih,
selain terjadi peningkatan tekanan detrussor, pembentukan trabekula, saccule,
dan divertikel pada kandung kemih (Setiati, 2015).

Patofisiologi menurut sumber lain:


Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40
tahun. Bila perubahan mikoskopik ini berkembag, akan terjadi perubahan
patologi anatomi yang ada pada pria usia 50 tahunan. Perubahan hormonal
menyebabkan hiperplasia jaringan penyangga stromal dan elemen glandular
pada prostat.

Teori-teori tentang terjadinya BPH:


a. Teori Dehidrosteron (DHT)
Aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi dehidrosteron
(DHT) dalam sel prostat menjadi faktor terjadinya penetrasi DHT ke
dalam inti sel yang menyebabkan inskripsi pada RNA sehingga
menyebabkan terjadinya sintesa protein
b. Teori hormon
Pada orang tua bagian tengah kelenjar prostat mengalami hiperplasia
yang disebabkan oleh sekresi androgen yang berkurang, strogen
bertambah relatif atau absolut. Estrogen berperan pada kemunculan
dan perekmbangan hiperplasi prostat.
c. Faktor interaksi stroma dan epitel
Hal ini banyak dipengaruhi oleh Growth factor. Basic fibroblast
growth factor dapat menstimululasi sel stroma dan ditemukan dengan
konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran prostat
jinak. Proses reduksi ini difasilitasi oleh enzim 5-a-reduktase.
d. Teori kebangkitan kembali (reawakening) atau reinduksi dari
kemampuan mesenkim sinus urogenital unruk berploriferasi dan
membentuk jaringan prostat
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga
perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan.
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resitensi urin pada
elher buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot destrusor
menebal dan merenggang sehingga timbul sirkulasi atau divertikel.
Adapun patofisiologi masing-masing gejala yaitu:
• Penurunan kekuatan dan aliran yang disebabkan resistensi uretra
adalah gambaran awal dan menetap dari BPH. Retensi akut
disebabkan oleh edema yang terjadi pada prostat yang membesar.
• Hesitancy (kalau mau miksi harus menunggu lama), terjadi karena
detrusor membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan
resitensi uretra.
• Intermittency (kencing terputus-putus), terjadi karena destrusor
tidak dapat mengatasi resistensi uretra sampai akhir miksi.
Terminal dribbling dan rasa belum puas sehabis miksi terjadi
karena jumlah residu urin yang banyak dalam buli-buli.
• Nocturia miksi pada malam hari dan frekuensi terjadi karena
pengosongan yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval
antar miksi lebih pendek.
• Frekuensi pertama terjadi pada malam hari (nokturia) karena
hambatan normal dari korteks berkurang dan tonus sfingter dan
uretra berkurang selama tidur.
• Urgensi (perasaan ingin miksi sangat mendesak) dan disuria (nyeri
pada saat miksi) jarang terjadi. Jika ada disebabkan oleh
ketidakstabilan destrusor sehingga terjadi kontraksi involunter.
• Inkontinensia bukan gejala yang khas, walalupun dengan
berkembangnya penyakit urin keluar sedikit-sedikit secara berkala
karena setelah buli-buli mencapai complience maksimum, tekanan
dalam buli-buli akan cepat naik melebihi tekanan spingter.
• Hematuri biasanya disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah
submukosa pada prostat yang membesar.
• Lobus yang mengalami hipertropi dapat menyumbat kolum
vesikal atau uretra prostatik, sehingga menyebabkan pengosongan
urin inkomplit atau retensi urin. Akibatnya terjadi dilatasi ureter
(hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap, serta gagal
ginjal.
• Infeksi saluran kemih dapat terjadi akibat statis urin, dimana
sebagian urin tetap berada dalam saluran kemih dan berfungsi
sebagai media untuk organisme infektif.
• Karena selalu terdapat sisa urin dapat terbentuk batu endapan
dalam buli-buli, batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan
menimbulkan sistitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi
pielonefritis.
• Pada waktu miksi pasien harus mengedan sehingga lama kelamaan
dapat menyebabkan hernia dan hemoroid (Nuari & Dhina, 2017).

7. Manifestasi Klinis
Tanda klinis pada BPH biasanya pada pemeriksaan colok dubur akan
terasa halus, lunak dan elastis. Adapun untuk gejala klinis dapat dibagi
menjadi 2 keluhan, yaitu karena gejala obstruksi dan iritasi.Keluhan akibat
obstruksi antara lain seperti penurunan kekuatan dan besarnya aliran urin,
perasaan pengosongan urin dari kandung kemih yang tidak tuntas, perasaan
berkemih ganda, dan keraguan berkemih.Sedangkan gejala akibat iritasi
biasanya terjadi peningkatan frekuensi berkemih dan nokturia.

Tanda dan gejala menurut sumber lain:


a. Gejala Obstruktif
1) Hesitansi, yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai
dengan mengedan yang disebabkan oleh karena otot destruksor
buli-buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan
intravesikel guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika
2) Intermittency, yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang
disebabkan oleh karena ketidakmampuan otot destrussor dalam
mempertahankan tekanan intravesikel sampai berakhir miksi
3) Terminal dribbling, yaitu menetesnya urine pada akhir kencing
4) Pancaran lemah, kelemahan kekuatan dan pancaran destrussor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra
5) Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa
belum puas.
b. Gejala Iritasi
1) Urgensi, yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan
2) Frequensi, yaitu penderita mikis lebih sering dari biasanya dapat
terjadi pada malam hai (nocturia) dan pada siang hari
3) Dysuria, yaitu nyeri pada waktu kencing

8. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Mochtar (2015) pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis
BPH yaitu:
1. Urinalisis
Dapat menentukan adanya hematuria, infeksi ataupun kondisi lain yang
dapat mendukung diagnosis dan komplikasi dari hyperplasia postat.
2. Pemeriksaan Prostat Spesific Antigen (PSA)
Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit dari
BPH; dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti:
(a) pertumbuhan volume prostat lebih cepat,
(b) keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek, dan
(c) lebih mudah terjadi retensi urine akut
3. Uroflowmetry
Uroflowmetry adalah pemeriksaan pancaran urin selama proses berkemih.
Pemeriksaan non-invasif ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi
saluran kemih bagian bawah.Dari uroflowmetry dapat diperoleh informasi
mengenai volume berkemih, laju pancaran maksimum (Qmax), laju
pancaran rata-rata (Qave), waktu yang dibutuhkan untuk mencapai laju
pancaran maksimum, dan lama pancaran.Pemeriksaan ini dipakai untuk
mengevaluasi gejala obstruksi infravesika, baik sebelum maupun setelah
terapi.
4. Pemeriksaan residu urin.
Residu urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa urine di
kandung kemih setelah berkemih.Jumlah residu urine pada pria normal
rata-rata 12 mL. 13 Pemeriksaan residu urine dapat dilakukan dengan cara
USG, bladder scan atau dengan kateter uretra. Pengukuran dengan kateter
ini lebih akurat dibandingkan USG, tetapi tidak nyaman bagi pasien, dapat
menimbulkan cedera uretra, infeksi saluran kemih, hingga bacteremia.
5. Pemeriksaan fungsi ginjal.
Pemeriksaan ini diperlukan untuk menentukan adakah gangguan fungsi
ginjal aibat obstruksi karena hyperplasia porstat.

Pemeriksaan penujang menurut sumber lain:


1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Analisis Urine pemeriksaan mikroskopis urine untuk melihat adanya
lekosit, bakteri dan infeksi
b. Elektrolit, kadar ureum, kreatinin darah untuk fungsi ginjal dan status
metabolic
c. Pemeriksaan PSA (Prostat Spesifik Antigen) dilakukan sebagai dasar
penentuan paknya biopsi atau sebagai deteksi dari keganasan
d. Darah lengkap
e. Leukosit
f. Blooding time
g. Liver fungsi
2. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto polos abdomen
b. Prelograf intravena
c. USG
d. Sistoskopi ( Suharyanto, 2013)

9. Penatalaksanaan Farmakologi dan Non Farmakologi


1.9.1 Penatalaksanaan farmakologi
1. Pemberian penghambat alfa (alfuzosin, doxazosin, tamsulosin, dan
terazosin) untuk menghambat efek pelepasan noradrenalin endogen
pada tonus otot polos sel prostat
2. Pemberian penghambat 5 alfa reduktase yang merupakan enzim untuk
mengubah testosterone menjadi DHT, sehingga diharapkan dapat
mengecilkan kelenjar prostat.
3. Antagonis reseptor muskarinik. Pengobatan dengan menggunakan
obat-obatan antagonis reseptor muskarinik bertujuan untuk
menghambat atau mengurangi stimulasi reseptor muskarinik sehingga
akan mengurangi kontraksi sel otot polos kandung kemih

1.9.2 Penatalaksanaan non farmakologi


1. Terapi konservasi
Terapi konservatif pada BPH dapat berupa watchful waiting yaitu
pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan penyakitnya
tetap diawasi oleh dokter.Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien
BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak
mengganggu aktivitas sehari-hari. Pada watchful waiting ini, pasien diberi
penjelasan mengenai segala sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk
keluhannya, misalnya:
a. jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol
setelah makan malam,
b. kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan
iritasi pada kandung kemih (kopi atau cokelat),
c. batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung
fenilpropanolamin,
d. jangan menahan kencing terlalu lama
e. penanganan konstipasi
2. Pembedahan
Indikasi tindakan pembedahan, yaitu pada BPH yang sudah
menimbulkan komplikasi, seperti:
(1) retensi urine akut;
(2) gagal Trial Without Catheter (TwoC);
(3) infeksi saluran kemih berulang;
(4) hematuria makroskopik berulang;
(5) batu kandung kemih;
(6) penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh obstruksi akibat BPH;
(7) dan perubahan patologis pada kandung kemih dan saluran kemih
bagian atas.
Beberapa bentuk pembedahan antara lain:
a. Invasif minimal seperti TURP (Transurethral Resection of the
Prostate), laser prostatektomi, Transurethral Incision of the Prostate
(TUIP),
b. Operasi terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui
transvesikal (Hryntschack atau Freyer) dan retropubik (Millin).
Pembedahan terbuka dianjurkan pada prostat yang volumenya lebih
dari 80 ml. (Mochtar dkk, 2015).

Beberapa penatalaksanaan untuk BPH adalah:


a. Katerisasi intermiten
b. Dilatasi balon
c. Stenting pada prostat (pada pasien yang tidak siap operasi)
d. Sebagian besar pasien dilakukan pembedahan, seperti (prostatektomi
terbuka dan TURP)
Penatalaksanaan nyeri pasca bedah yang akan dilakukan perawat
untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri pascabedah dilakukan
dengan pendekatan farmakologis dan nonfarmakologis.
Salah satu strategi pendekatan farmakologis adalah:
a. Astaminopen
b. Nonsteroidal anti-inflammatory medications (NSAID)
c. Opiat
Sedangkan nonfarmakologi adalah:
a. Distraksi
b. Imajinasi terbimbing
c. Relaksasi nafas dalam
d. Teknik terapi berdzikir (Himawan & dkk, 2019).

10. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering
dengan semakin beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena
urin tidak mampu melawati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi
saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal.
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejak pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intra abdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapatan
uang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam
vesiko urinaria menjadikan media oertumbuhan mikroorganisme, yang dapat
menyebabkan sistatis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis
(Nuari & Dhina, 2017).
C. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap dari awal proses keperawatan sebagai


dasar untuk pemberian asuhan keperawatan yang aktual. Tujuan
dilakukannya tahap pengkajian adalah mengumpulkan, mengorganisasi,
dan mendokumentasikan data yang menjelaskan respons klien yang
mempengaruhi pola kesehatannya. Suatu pengkajian yang komprehensif
atau menyeluruh, sistematis, dan logis akan mengarah dan mendukung
identifikasi masalah kesehatan klien. Masalah ini menggunakan data
pengkajian sebagai dasar formulasi untuk menegakkan diagnosis
keperawatan (Nuari & Dhina, 2017).
2. Pemeriksaan Fisik
1) Inspeksi :
a) Perhatian khusus pada abdomen ; Defisiensi nutrisi, edema,
pruritus, echymosis menunjukkan renal insufisiensi dari obstruksi
yang lama.
b) Penonjolan pada daerah supra pubik yang mengakibatkan retensi
urine.
c) Perhatikan adanya benjolan/massa atau jaringan parut bekas
pembedahan di suprasimfisis.
2) Palpasi :
a) Pemeriksaan Rectal Toucher (colok dubur) posisi pasien knee
chest.
b) Akan terasa adanya ballotement dan ini akan menimbulkan
perasaan ingin buang air kecil.
c) Palpasi kandung kemih untuk menentukan batas kandung kemih
dan adanya nyeri tekan padaa area suprasimfisis
d) Pemeriksaan tanda-tanda vital
3) Perkusi :
a) Pada daerah supra pubik apakah menghasilkan bunyi pekak yang
menunjukan distensi kandung kemih.
b) Perkusi untuk melihat apakah ada residual urine.
c) Uretra kemungkinan adanya penyebab lain misalnya stenose
meatus, striktur uretra, batu uretra/femoisis
3. Pemeriksaan Eliminasi Urine
1) Pancaran miksi :
Adanya perubahan pada eliminasi urine seperti perubahan pancaran
menandakan gejala obstruksi. Ketidakmampuan eliminasi bisa terjadi
pada klien yang mengalami obstreuksi pada saluran kemih.
2) Drainase kateter :
Melakukan drainase urine, meliputi : kelancaran, warna, jumlah, dan
cloting

Pengkajian menurut sumber lain:


Pengkajian
1. Identitas Klien
Identitas klien meliputi nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahasa
yang digunakan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi golongan
darah, nomor registrasi, tanggal dan jam masuk rumah sakit (MRS), dan
diagnosa medis. Dengan fokus meliputi nama, umur, berat badan, jenis
kelamin, alamat rumah, suku bangsa, agama dan orang tua.
2. Riwayat Kesehatan
Keluhan Utama: Klien biasanya datang ke rumah sakit dengan keluhan sulit
kencing bahkan untuk mengeluarkan kencing harus mengejan.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Klien dengan BPH sering mengeluhkan kencing berdarah, terganggunya
aliran urin, sulit buang air kecil, keinginan untuk buang air kecil namun
pancaran urin lemah.
4. Riwayat Penyakit dahulu
Apakah ada riwayat penyakit yang sama dan penyakit lain pada saluran
urogenetalia (seperti cedera,infeksi,hematuria,kencing batu,atau pembedahan
saluran kemih)
5. Riwayat penyakit keluarga
Apakah ada keluarga yang pernah mengalami BPH atau ada keluhan atau
bahkan sakit yang sama.
6. Pola Fungsi Kesehatan
Kaji pola fungsional kesehatan pasien menurut pola Gordon yang berjumlah
11 poin, yaitu:
a. Pola Kesehatan
Menggambarkan pola pemahaman klien dan orang tua tentang kesehatan,
kesejahteraan, dan bagaimana mereka mengatur dan peduli untuk menjaga
kesehatan. Pada klien BPH di rumah sakit akan terjadi perubahan
pemeliharaan kesehatan karena tirah baring selama 24 jam pasca TURP,
adanya keluhan nyeri karena spasme buli-buli memerlukan antispasmodik
sesuai terapi dokter.
b. Pola Metabolik – Nutrisi
Menggambarkan konsumsi relatif terhadap kebutuhan metabolik dan
suplai gizi: meliputi pola konsumsi makanan dan cairan, keadaan kulit,
rambut, kuku dan membran mukosa, suhu tubuh, tinggi dan berat badan.
c. Pola Eliminasi
Menggambarkan pola fungsi ekskresi (usus besar, kandung kemih, dan
kulit), termasuk pola individu sehari - hari, perubahan atau gangguan, dan
metode yang digunakan untuk mengendalikan ekskresi.Pada klien dengan
BPH biasanya terdapat gangguan pada pola eliminasi urin (BAK).
d. Pola Aktivitas – Olahraga
Menggambarkan pola olahraga, aktivitas, pengisian waktu senggang, dan
rekreasi; termasuk aktivitas kehidupan sehari-hari, tipe dan kualitas
olahraga, dan faktor-faktor yang mempengaruhi pola aktivitas (seperti
otot-saraf, respirasi, dan sirkulasi)
e. Pola Tidur - Istirahat
Menggambarkan pola tidur, istirahat, relaksasi dan setiap bantuan untuk
merubah pola tersebut.
f. Pola Persepsi – Kognitif
Menggambaekan pola persepsi-sensori dan pola kognitif ; meliputi
keadekuatan bentuk sensori (penglihatan, pendengaran, perabaan,
pengecapan, dan pembauan), pelaporan mengenai persepsi nyeri, dan
kemampuan fungsi kognitif.
g. Pola Persepsi Diri - Konsep Diri
Menggambarkan bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri;
kemampuan mereka, gambaran diri, dan perasaan.Pasien dapat mengalami
cemas karena kurang pengetahuan tentang perawatan serta komplikasi
BPH pasca TURP.
h. Pola Hubungan Peran
Menggambarkan pola keterikatan peran dengan hubungan; meliputi
persepsi terhadap peran utama dan tanggung jawab dalam situasi
kehidupan saat ini.
i. Pola Reproduksi – Seksualitas
Menggambarkan kepuasan atau ketidakpuasan dalam seksualitas;
termasuk status reproduksi wanita, pada anak-anak bagaimana dia mampu
membedakan jenis kelamin dan mengetahui alat kelaminnya.
j. Pola Koping - Toleransi Stress
Menggambarkan pola koping umum, dan keefektifan ketrampilan koping
dalam mentoleransi stress.
k. Pola Nilai dan Keyakinan
Menggambarkan pola nilai, tujuan atau kepercayaan (termasuk
kepercayaan spiritual) yang mengarahkan pilihan dan keputusan gaya
hidup.
7. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Terkait dengan keadaan klien secara umum terlihat.
b. Tanda-tanda vital
TTV klien biasanya mengalami kenaikan suhu, tekanan darah, nadi dan
frekuensi napas akibat rasa nyeri yang dirasakan pada area kandung
kemih
c. Pemeriksaan Head to toe
1. Kepala dan rambut : meliputi bentuk kepala dan keadaan kulit kepala
2. Rambut: bagaimana keadaan rambut terkait kebersihan, warna dan
persebaran
3. Wajah: bagaimana warna kulit di wajah, dan bagaimana bentuk wajah
4. Mata: meliputi kelengkapan dan kesimetrisan, keadaan dan fungsi
masing – masing bagian mata, apakah ada kelainan atau tidak
5. Hidung: terkait keadaan hidung dan lubang hidung, adakah pergerakan
cuping hidung
6. Telinga: bentuk dan ukuran telinga, ketajaman pendengaran
7. Mulut dan faring: mukosa bibir biasanya terlihat kering karena
kekurangan cairan, periksa juga keadaan lidah, gigi dan gusi
8. Leher: periksa keadaan leher, adakah massa di daerah leher, periksa
adanya pembengkakan kelenjar limfe dan bagaimana suara yang
dikeluarkan anak, apakah ada kelainan atau tidak
9. Pemeriksaan integumen: lihat warna kulit klien, periksa juga
kehangatan, kelembaban, dan turgor kulit
10. Pemeriksaan thoraks/dada: meliputi inspeksi secara umum, bagaimana
pernapasannya, adakah tanda kesulitan bernapas atau tidak
11. Pemeriksaan paru: pemeriksaan meliputi palpasi, perkusi bagaimana
resonansinya dan auskultasi untuk memeriksa adakah suara tambahan
napas atau tidak
12. Pemeriksaan jantung: meliputi palpasi untuk memeriksa adakah
pembengkakan, perkusi untuk menentukan ukuran jantung, dan
auskultasi untuk memeriksa bunyi jantung normal
13. Pemeriksaan abdomen: meliputi inspeksi secara umum terkait
kesimetrisan, auskultasi untuk mendengarkan gerakan peristaltik yang
biasanya meningkat dalam kasus ini, palpasi adanya nyeri tekan,
benjolan dan asites, dan perkusi. Pada BPH biasanya akan terdapat
hasil seperti berikut:
a. Inspeksi :
1) Perhatian khusus pada abdomen; defisiensi nutrisi, edema,
echymosis menunjukkan renal insufisiensi dari obstruksi yang
lama.
2) Penonjolan pada daerah supra pubik yang mengakibatkan retensi
urine.
3) Perhatikan adanya benjolan/massa atau jaringan parut bekas
pembedahan di suprasimfisis.

b. Palpasi :
1) Pemeriksaan Rectal Toucher (colok dubur) posisi pasien knee
chest
2) Akan terasa adanya ballotement dan ini akan menimbulkanpasien
ingin buang air kecil
3) Palpasi kandung kemih untukmenentukan batas kandung kemih
dan adanya nyeri tekan padaa area suprasimfisis

c. Perkusi :
1) Pada daerah supra pubik apakah menghasilkan bunyi pekak yang
menunjukan distensi kandung kemih
2) Perkusi untuk melihat apakah ada residual urine
3) Uretra kemungkinan adanya penyebab lain misalnya stenose
meatus, striktur uretra, batu uretra/femoisis
14. Pemeriksaan kelamin dan daerah sekitarnya: periksa keadaan
genetalia, anus dan perineum. Pada klien dengan BPH, jika dilakukan
pemeriksaan palpasi dengan colok dubur akan terasa membesar dan
keras, terkadang seperti batu dan sering tak teratur.
15. Pemeriksaan muskuloskeletal/ekstremitas (kesimetrisan, kekuatan otot,
edema)
4. Diagnosa Keperawatan dan Rencana Intervensi

Menurut (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016), diagnosa


keperawatan yang dapat dirumuskan pada kasus BPH secara teoritis antara
lain:
1) (D.0040) Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan penurunan
kemampuan menyadari tanda-tanda gangguan kandung kemih
2) (D.0077) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
(spasme kandung kemih)
3) (D.0142) Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan integritas
kulit sebagai efek skunder dari prosedur pembedahan
1 Gangguan eliminasi urin Setelah dilakukan asuhan keperawatan Manajemen Eliminasi Urine
berhubungan dengan diharapkan pengosongan kandung kemih
1. Observasi
penurunan kemampuan lengkap membaik dengan kriteria hasil:
▪ Identifkasi tanda dan gejala retensi
menyadari tanda-tanda 1. Sensasi berkemih meningkat
atau inkontinensia urine
gangguan kandung 2. Desakan berkemih menurun
▪ Identifikasi faktor yang
kemih 3. Distensi kandung kemih menurun
menyebabkan retensi atau
4. Disuris menurun
inkontinensia urine
▪ Monitor eliminasi urine (mis.
frekuensi, konsistensi, aroma,
volume, dan warna)
2. Terapeutik
▪ Catat waktu-waktu dan haluaran
berkemih
▪ Batasi asupan cairan, jika perlu
▪ Ambil sampel urine
tengah (midstream) atau kultur
3. Edukasi
▪ Ajarkan tanda dan gejala infeksi
saluran kemih
▪ Ajarkan mengukur asupan cairan
dan haluaran urine
▪ Anjurkan mengambil specimen
urine midstream
▪ Ajarkan mengenali tanda berkemih
dan waktu yang tepat untuk
berkemih
▪ Ajarkan terapi modalitas penguatan
otot-otot pinggul/berkemihan
▪ Anjurkan minum yang cukup, jika
tidak ada kontraindikasi
▪ Anjurkan mengurangi minum
menjelang tidur
4. Kolaborasi
▪ Kolaborasi pemberian obat
suposituria uretra jika perlu

2 Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan intervensi keperawatan Dukungan Nyeri Akut : Pemberian Analgesik
dengan agen pencedera diharapkan tingkat nyeri menurun dan Observasi
fisiologis (spasme kontrol nyeri meningkat dengan kriteria • Identifikasi karakteristik nyeri (mis.
kandung kemih) hasil : pencetus, pereda, kualitas, lokasi,
1. Tidak mengeluh nyeri intensitas, frekuensi, durasi)
2. Tidak meringis • Identifikasi riwayat alergi obat
3. Tidak bersikap protektif • Identifikasi kesesuaian jenis analgesik
4. Tidak gelisah (mis. narkotika, nonnarkotika, atau
5. Kesulitan tidur menurun NSAID) dengan tingkat keparahan nyeri
6. Frekuensi nadi membaik • Monitor tanda-tanda vital sebelum dan
7. Melaporkan nyeri terkontrol sesudah pemberian analgesic
8. Kemampuan mengenali onset nyeri • Monitor efektifitas analgesic
meningkat
9. Kemampuan mengenali penyebab nyeri Terapeutik
meningkat • Diskusikan jenis analgesik yang disukai
10. Kemampuan menggunakan teknik untuk mencapai analgesia optimal, jika
nonfarmakologis meningkat perlu
• Pertimbangkan penggunaan infus kontinu,
atau bolus oploid untuk mempertahankan
kadar dalam serum
• Tetapkan target efektifitas analgesik untuk
mengoptimalkan respons pasien
• Dokumentasikan respons terhadap efek
analgesik dan efek yang tidak diinginkan

Edukasi
• Jelaskan efek terapi dan efek samping
obat

Kolaborasi
• Kolaborasi pemberian dosis dan jenis
analgesik, sesuai indikasi
Dukungan Nyeri Akut : Manajemen Nyeri
Observasi
• Identifikasi lokasi, karakteristik durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
• Identifikasi skala nyeri
• Identifikasi respons nyeri non verbal
• Identifikasi faktor yang memperberat dan
memperingan nyeri
• Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
tentang nyeri Identifikasi pengaruh
budaya terhadap respon nyeri
• Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas
hidup
• Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah diberikan
• Monitor efek samping penggunaan
analgetik
Terapeutik
• Berikan teknik nonfarmakologi untuk
mengurangi rasa nyeri (mis. TENS,
hipnosis, akupresur, terapi musik,
biofeedback, terapi pijat, aromaterapi,
teknik imajinasi terbimbing, kompres
hangat dingin, terapi bermain
• Kontrol lingkungan yang memperberat
rasa nyeri (mis. suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
• Fasilitasi istirahat dan tidur
Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi
• Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
nyeri
• Jelaskan strategi meredakan nyeri
• Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
• Anjurkan menggunakan analgetik secara
tepat
• Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi
• Kolaborasi pemberian analgetik, jika
perlu
3 Resiko infeksi Setelah dilakukan asuhan keperawatan, Kontrol Infeksi
berhubungan dengan diharapkan derajat infeksi menurun dengan Definisi : Meminimalkan mendapatkan infeksi

kerusakan integritas kulit kriteria hasil: dan trasmisi agen infeksi

sebagai efek skunder 1. Demam menurun


Intervensi :
dari prosedur 2. Kemerahan menurun
1. Bersikan lingkungan secara tepat setelah
pembedahan 3. Nyeri menurun
digunakan oleh klien
4. Bengkak menurun
2. Ganti peralatan klien setiap selesai
5. Kadar sel darah putih membaik
tindakan
3. Batasi jumlah pengunjung
4. Ajarkan cuci tangan untuk menjaga
kesehatan individu
5. Anjurkan klien untuk cuci tangan dengan
tepat
6. Gunakan sabun antimikrobial untuk cuci
tangan
7. Anjurkan pengunjung untuk mencuci
tangan sebelum dan setelah
meninggalkan ruangan klien
8. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
dengan klien
9. Lakukan universal precautions
10. Gunakan sarung tangan steril
11. Lakukan perawatan aseptic pada semua
jalur IV
12. Lakukan teknik perawatan luka yang tepat
13. Tingkatkan asupan nutrisi
14. Anjurkan asupan cairan
15. Anjurkan istirahat
16. Berikan terapi antibiotik
17. Ajarkan klien dan keluarga tentang
tanda-tanda dan gejala dari infeksi.
18. Ajarkan klien dan anggota keluarga
bagaimana mencegah infeksi

Proteksi infeksi
Definisi : Meminimalkan mendapatkan infeksi
dan trasmisi agen infeksi

Intervensi :
1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai
pasien lain
2. Pertahankan teknik isolasi
3. Batasi pengunjung bila perlu
4. Instruksikan pada pengunjung untuk
mencuci tangan saat berkunjung dan
setelah berkunjung meninggalkan pasien
5. Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci
tangan
6. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah
tindakan kperawtan
7. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat
pelindung
8. Pertahankan lingkungan aseptik selama
pemasangan alat
9. Ganti letak IV perifer dan line central
dan dressing sesuai dengan petunjuk
umum
10. Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung
11. Tingktkan intake nutrisi
12. Berikan terapi antibiotik bila perlu
DAFTAR PUSTAKA

Aprina, Noven, I. Y., & Sunarsih. (2017). Relaksasi Progresif Terhadap Intensitas
Nyeri Post Operasi BPH (Benigna Prostat Hyperplasia). Jurnal Kesehatan,
Vol. 8 No. 2. E-ISSN: 2548 5695. P-ISSN: 2086 7751.
Aspiani R.Y. 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gerontik Jilid 2. Jakarta:
TIM.
Budaya, T. N., & Besut, D. (2019). A To Z BPH (BENIGN PROSTATIC
HYPERPLASIA). Malang: UB PRESS.
Himawan, R., & Dkk. (2019). Pengaruh Terapi Dzikir Terhadap Tingkat Nyeri
Pada Pasien Post Operasi Benigna Prostat Hyperplasia Di Rsud Ra. Kartini
Jepara. Jurnal Ilmu Keperawatan Dan Kebidanan, Vol. 10 No.1. Hal: 229-
235.
Mochtar, C.A., Umbas, R., Soebadi, D.M., Dkk.2015. Panduan Penatalaksanaan
Klinis Pembesaran Prostat Jinak (Benign Prostatic Hyerplasia/BPH).
Jakarta: Ikatan Ahli Urologi Indonesia.
Nasrullah. 2016. Buku Ajar Keperawatan Gerontik Dengan Pendekatan Asuhan
Keperawatan NANDA NIC Dan NOC Jilid 1. Jakarta: TIM
Nuari, N. A., & Dhina, W. (2017). Gangguan Pada Sistem Perkemihan &
Penatalaksanaan Keperawatan. Yogyakarta: DEEPUBLISH.
Padila. 2013. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Yogyakarta : Nuha Medika
Paulsen, F. Dan Waschke, J. 2012.Sobotta Atlas Anatomi Manusia Organ –
Organ Dalam.Jili 2. Jakarta: EGC.
PPNI. 2016. Standart Diagnosa Keperawatan Indonesia. Jakarta: Tim Polja
PPNI. Aprina, Noven, I. Y., & Sunarsih. (2017). Relaksasi Progresif
Terhadap Intensitas Nyeri Post Operasi BPH (Benigna Prostat
Hyperplasia). Jurnal Kesehatan, Vol. 8 No. 2. E-ISSN: 2548 5695. P-
ISSN: 2086 7751.
Sunaryo, Dkk. 2016. Asuhan Keperawatan Gerontik. CV Andi Offset.
Yogyakarta.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Definisi Dan Indikator Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Interveni Keperawatan Indonesia.
Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia:
Definisi Dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai