Pembimbing Akademik:
Ns. Luri Mekeama, S.Kep, M.Kep
Ns. Yulia Indah Permatasari, S.Kep, M.Kep
Pembimbing Lapangan
Ns. Ana, S.Kep
Disusun Oleh :
Tania Febria Azizah
G1B222035
3. KARAKTERISTIK LANSIA
Menurut Padila (2013). Lansia memiki karakteristik sebagai berikut:
1. Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai pasal 1 ayat (2) UU No. 13 tantang
kesehatan).
2. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit,
dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif
hingga maladaptif.
3. Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi.
4. TIPE LANSIA
Tipe lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup, lingkungan,
kondisi fisik, mental, sosial dan ekonominya (Padila, 2013). Tipe tersebut
diantaranya :
a. Tipe arif bijaksana
Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan
zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana,
dermawan, memenuhi undangan dan menjadi panutan.
b. Tipe mandiri
Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selekrif dalam
mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.
c. Tipe tidak puas
Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi
pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik dan
banyak menuntut.
d. Tipe pasrah
Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan
melakukan pekerjaan apa saja.
e. Tipe bingung
Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal,
pasif, dan acuh tak acuh.
Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, tipe konstruktif, dependen
(tergantung), tipe defensife (bertahan), tipe militan dan serius,
tipe pemarah/frustasi (kecewa akibat kegagalan dalam melakukan sesuatu), serta
tipe putus asa (benci pada diri sendiri).
5. PROSES PENUAAN
Proses penuaan merupakan proses yang berhubungan dengan umur
seseorang manusia mengalami perubahan sesuai dengan bertambahnya umur
tersebut. Semakin bertambah umur semakin berkurang fungsi-fungsi organ
tubuh. Banyak faktor yang mempengaruhi proses penuaan tersebut, sehingga
munculah teori-teori yang menjelaskan mengenai faktor penyebab proses
penuaan ini. Diantara teori yang terkenal adalah Teori Telomere dan teori
radikal bebas (Sunaryo, 2016 ).
Faktor-faktor yang mempengaruhi penuaan :
Faktor-faktor yang mempengaruhi penuaan dan penyakit yang sering terjadi
pada lansia di antaranya hereditas, atau keturunan genetik, nutrisi atau
makanan, status kesehatan, pengalaman hidup, lingkungan dan stress
(Santoso, 2019).
6. PERUBAHAN-PERUBAHAN YANG TERJADI PADA LANJUT USIA
Perubahan-perubahan yang terjadi pada lanjut usia, antara lain:
1. Perubahan kondisi fisik
Menurut Sunaryo (2016), perubahan- perubahan yang terjadi pada lansia
meliputi perubahn fisik, yang meliputi sel, sistem pernapasan, sistem
persyarafan, sistem pendengaran, penglihatan, sistem kardiovaskuler,
sistem genitor urinaria, sistem endokrin dan metabolic, sistem
pencernaan, sisem musculoskeletal, sistem kulit dan jaringan ikat, sistem
reproduksi dan kegiatan seksual, dan sistem pengaturan tubuh, serta
perubahan mental, dan perubahan psikososial.
2. Perubahan kondisi mental
Pada umumnya lansia mengalami penurunan fungsi kognitif dan
psikomotor. Perubahan-perubahan ini erat sekali kaitannya dengan
perubahan fisik, keadaan kesehatan, tingkat pendidikan atau
pengetahuan, dan situasi lingkungan. Dari segi mental dan emosional
sering muncul perasaan pesimis, timbulnya perasaan tidak aman dan
cemas. Adanya kekacauan mental akut, merasa terancam akan timbulnya
suatu penyakit atau takut ditelantarkan karena tidak berguna lagi. Hal ini
bisa meyebabkan lansia mengalami depresi.
3. Perubahan psikososial
Masalah-masalah serta reaksi individu terhadapnya akan sangat beragam,
tergantung pada kepribadian individu yang bersangkutan. Saat ini orang
yang telah meenjalani kehidupannya dengan bekerja mendadak
diharapkan menyesuaikan dirinya dengan masa pensiun.
4. Perubahan spiritual
Ada beberapa pendapat tentang perdapat tentang perubahan spiritual
pada lansia. Menurut Maslow bahwa agama dan kepercayaan makin
terintegrasi dalam kehidupannya dan keagamaan lansia makin matang.
Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun, antara lain perkembangan
yang dicapai pada tingkat ini sehingga lansia biasa berpikir dan bertindak
dengan memberi contoh cara mencintai dan memberi keadilan. Lansia
terjadi perubahan secara terus-menerus. Apabila proses penyesuaian diri
dengan lingkungannya kurang berhasil, timbullah berbagai masalah.
7. CIRI-CIRI LANSIA
a. Lansia merupakan periode kemunduran.
Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor
psikologis. Motivasi memiliki peran yang penting dalam kemunduran
pada lansia. Misalnya lansia yang memiliki motivasi yang rendah dalam
melakukan kegiatan, maka akan mempercepat proses kemunduran fisik,
akan tetapi ada juga lansia yang memiliki motivasi yang tinggi, maka
kemunduran fisik pada lansia akan lebih lama terjadi.
b. Lansia memiliki status kelompok minoritas.
Kondisi ini sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan
terhadap lansia dan diperkuat oleh pendapat yang kurang baik, misalnya
lansia yang lebih senang mempertahankan pendapatnya maka sikap
sosial di masyarakat menjadi negatif, tetapi ada juga lansia yang
mempunyai tenggang rasa kepada orang lain sehingga sikap sosial
masyarakat menjadi positif.
c. Menua membutuhkan perubahan peran.
Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami
kemunduran dalam segala hal.Perubahan peran pada lansia sebaiknya
dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan atas dasar tekanan dari
lingkungan.Misalnya lansia menduduki jabatan sosial di masyarakat
sebagai Ketua RW, sebaiknya masyarakat tidak memberhentikan lansia
sebagai ketua RW karena usianya.
d. Penyesuaian yang buruk pada lansia.
Perlakuan yang buruk terhadap lansia membuat mereka cenderung
mengembangkan konsep diri yang buruk sehingga dapat memperlihatkan
bentuk perilaku yang buruk.Akibat dari perlakuan yang buruk itu
membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk pula.Contoh : lansia
yang tinggal bersama keluarga sering tidak dilibatkan untuk pengambilan
keputusan karena dianggap pola pikirnya kuno, kondisi inilah yang
menyebabkan lansia menarik diri dari lingkungan, cepat tersinggung dan
bahkan memiliki harga diri yang rendah.
8. PERKEMBANGAN LANSIA
Usia lanjut merupakan usia yang mendekati akhir siklus kehidupan
manusia di dunia. Tahap ini dimulai dari 60 tahun sampai akhir kehidupan.
Lansia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Semua orang
akan mengalami proses menjadi tua (tahap penuaan). Masa tua merupakan
masa hidup manusia yang terakhir, dimana pada masa ini seseorang
mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial sedikit demi sedikit
sehingga tidak dapat melakukan tugasnya sehari-hari lagi (tahap
penurunan).
Penuaan merupakan perubahan kumulatif pada makhluk hidup,
termasuk tubuh, jaringan dan sel, yang mengalami penurunan kapasitas
fungsional.Pada manusia, penuaan dihubungkan dengan perubahan
degeneratif pada kulit, tulang, jantung, pembuluh darah, paru-paru, saraf
dan jaringan tubuh lainnya.
Dengan kemampuan regeneratif yang terbatas, mereka lebih rentan
terhadap berbagai penyakit, sindroma dan kesakitan dibandingkan dengan
orang dewasa lain. Untuk menjelaskan penurunan pada tahap ini, terdapat
berbagai perbedaan teori, namun para ahli pada umumnya sepakat bahwa
proses ini lebih banyak ditemukan pada faktor genetik.
Fisiologi
Kelenjar prostat berfungsi untuk mengahasilkan cairan yang bersifat
basa dan berwarna putih seperti susu. Cairan ini berfungsi untuk menetralkan
sifat asam pada vasa eferentia dan cairan yang terdapat di vagina sehingga
sperma bisa bergerak aktif (Sartono, 2014).
2. Definisi Penyakit
Benign prostatichyperplasia (BPH) adalah kelainan histologis yang
khas ditandai dengan proliferasi sel – sel prostat yang merupakan akumulasi
sel – sel dan pembesaran kelenjar hasil dari proliferasi sel epitel dan stroma
prostat. BPH merupakan bagian dari proses umur yang normal pada laki – laki
secara hormonal yang bergantung pada produksi hormon testosteron dan
dehidrotestosteron (DHT). BPH adalah salah satu penyakit utama yang sering
ditemukan pada laki – laki seiring dengan bertambahnya usia (Setiati dkk,
2015).
BPH adalah tumor jinak kelenjar prostat, yang menyebabkannya
membesar hingga mencapai 100 g.BPH biasa terjadi dengan berbagai tingkat
pada semua laki – laki berusia lebih dari 70 tahun (Paulsen dan Waschke,
2012).
BPH (Benigna Prostat Hyperplasia) merupakan suatu penyakit dimana
terjadi pembesaran di kelenjar prostat akibat hyperplasia jinak dari sel-sel
yang biasa terjadi pada laki-laki berusia lanjut. kelainan ini ditentukan pada
usia 40 tahun dan frekuensinya makin bertambah sesuai dengan penambahan
usia, sehingga pada usia di atas 80 tahun kira-kira 80% dari laki-laki yang
menderita kelaininan ini (Aprina, Noven, & Sunarsih, 2017).
Secara histopatologis dikarakteristikkan dengan peningkatan jumlah
sel-sel stroma dan epitel prostat diarea periuretra yang merupakan suatu
hiperplasia dan bukan hipertrofi.BPH juga diartikan sebagai pembesaran
prostat yang mengenai uretra dan menyebabkan gejala urtikaria. BPH
merupakan kondisi yang belum diketahui penyebabnya, ditandai dengan
meningkatnya ukuran zona dalam (kelenjar periuretra) dari kelenjar prostat
(Nuari & Dhina, 2017; Budaya & Besut, 2019).
3. Epidemiologi
BPH merupakan suatu penyakit yang sering terjadi pada laki – laki
dengan usia lanjut. Penyakit ini sering menimbulkan ketidakberdayaan namun
jarang menyebabkan kematian.Menurut data dasar WHO, angka kematian BPH
pada negara berkembang di tahun 1988 antara 0,5 – 1,5/100.000, sedangkan di
Amerika lebih jarang (Setiati, 2015).
Menurut Skinder dkk (2016), pada umur 50 tahun ditemukan 50%
laki – laki menderita BPH, sedangkan pada usia 80 tahun 90% ditemukan
kasus BPH, dan prevalensi paling besar ditemukan pada laki – laki dengan usia
70-79 tahun. Diperkirakan 50% laki – laki menunjukkan histopatologi BPH
pada umur 60 tahun, dan jumlahnya meningkat menjadi 90% pada umur 80
tahun (Setiati, 2015).
BPH terjadi pada sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan
meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun. Angka kejadian
BPH di Indonesia yang pasti belum pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran
hospital prevalence di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) sejak
tahun 1994-2013 ditemukan 3.804 kasus dengan rata-rata umur penderita
berusia 66,61 tahun (Mochtar dkk, 2015).
4. Etiologi
Penyebab terjadinya hiperplasia pada prostat masih belum diketahui
secara spesifik. Beberapa studi mengatakan faktor genetik merupakan
predisposisi, karena hampir 50% laki – laki umur 60 tahun yang menjalani
operasi hiperplasia prostat benigna ternyata telah mempunyai kecenderungan
(secara genetik) menderita hipertrofi prostat (Setiati, 2015). Menurut Setiati
(2015), banyaknya testosteron yang bebas dan aktif pada aliran vena prostat
yang ekstrem tinggi akan meningkatkan proiferasi sel prostat. Pada studi ini
hiperplasia dianggap akibat dari malfungsi katup vena spermatika interna
akibat varikokel. Hiperplasia akan meningkat dengan cepat sesuai
pertambahan usia, sekitar 10-15% setiap dekade kehidupan.
Menurut Setiati (2015) terdapat beberapa teori terkait dengan
terjadinya hiperplasia kelenjar prostat, yaitu
1. Teori hormonal: kenaikan dehidrotestosteron (DHT) dalam sel prostat
akan merangsang perutumbuhan sel.
2. Teori sel punca (stem cell): ketidaktepatan aktivitas sel punca
mengakibatkan produksi berlebihan pada sel stroma maupun epitel.
3. Teori berkurangnya kematian sel prostat (apoptosis), hal ini menyebabkan
jumlah sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga
menyebabkan peningkatan massa prostat.
4. Teori faktor inflamasi dan sindrom metabolik: terdapat bukti bahwa BPH
merupakan suatu immune inflammatory disease.
5. Klasfikasi
Pengklasifikasian BPH dilakukan untuk menentukan terapi. Menurut
Setiati (2015) BPH diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:
1. Derajat I
Hiperplasia prostat yang belum memerlukan tindakan bedah dan dapat
diberikan terapi konservatif, misalnya dengan penghambat adrenoreseptor
alfa seperti alfazosin, prazosin, dan terazosin.
2. Derajat II
BPH dengan indikasi untuk melakukan pembedahan. Biasanya dianjurkan
reseksi endoskopi melalui uretra (transurethral resection of prostat =
TURP). Kadang juga dilakukan terapi konservatif terlebih dahulu.
3. Derajat III
Pada derajat ini, tindakan TURP dilakukan oleh ahli bedah yang cukup
berpengalaman. Namun, apabila prostat sudah cukup besar sehingga
reseksi tidak akan selesai dalam satu jam, sebaiknya dilakukan operasi
terbuka, kemudian prostat dienukleasi dari dalam simpainya.
4. Derajat IV
Pada BPH dengan derajat IV, pasien harus segera dibebaskan dari retensi
urin total dengan memasang kateter atau sistostomi. Setelah itu dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi diagnosis, kemudian dilakukan
terapi definitive dengan TURP atau pembedahan terb.
6. Patofisiologi
Pembesaran prostat merupakan proses hyperplasia, yang akan
menekan aliran urin dalam kandung kemih. Hiperplasia prostat adalah
pembesaran prostat yang mengelilingi dan menekan uretra, sehingga terjadi
obstruksi dan menyebabkan disfungsi kandung kemih, yang pada akhirnya
menimbulkan gejala pada traktus urinarius bagian bawah. Kandung kemih
akan melemah dan kehilangan kemampuan untuk mengeluarkan urisn secara
sempurna, akibatnya terjadi peningkatan residu urin dan retensi urin akut
ataupun kronik (Setiati, 2015).
Obstruksi saluran keluar dari kandung kemih akan menyebabkan
hipertrofi otot detrusor dan penealan kandung kemih akibat peningkatan beban
melawan resistensi jalan keluar. Akibat penebalan dinding kandung kemih,
selain terjadi peningkatan tekanan detrussor, pembentukan trabekula, saccule,
dan divertikel pada kandung kemih (Setiati, 2015).
7. Manifestasi Klinis
Tanda klinis pada BPH biasanya pada pemeriksaan colok dubur akan
terasa halus, lunak dan elastis. Adapun untuk gejala klinis dapat dibagi
menjadi 2 keluhan, yaitu karena gejala obstruksi dan iritasi.Keluhan akibat
obstruksi antara lain seperti penurunan kekuatan dan besarnya aliran urin,
perasaan pengosongan urin dari kandung kemih yang tidak tuntas, perasaan
berkemih ganda, dan keraguan berkemih.Sedangkan gejala akibat iritasi
biasanya terjadi peningkatan frekuensi berkemih dan nokturia.
8. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Mochtar (2015) pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis
BPH yaitu:
1. Urinalisis
Dapat menentukan adanya hematuria, infeksi ataupun kondisi lain yang
dapat mendukung diagnosis dan komplikasi dari hyperplasia postat.
2. Pemeriksaan Prostat Spesific Antigen (PSA)
Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit dari
BPH; dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti:
(a) pertumbuhan volume prostat lebih cepat,
(b) keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek, dan
(c) lebih mudah terjadi retensi urine akut
3. Uroflowmetry
Uroflowmetry adalah pemeriksaan pancaran urin selama proses berkemih.
Pemeriksaan non-invasif ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi
saluran kemih bagian bawah.Dari uroflowmetry dapat diperoleh informasi
mengenai volume berkemih, laju pancaran maksimum (Qmax), laju
pancaran rata-rata (Qave), waktu yang dibutuhkan untuk mencapai laju
pancaran maksimum, dan lama pancaran.Pemeriksaan ini dipakai untuk
mengevaluasi gejala obstruksi infravesika, baik sebelum maupun setelah
terapi.
4. Pemeriksaan residu urin.
Residu urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa urine di
kandung kemih setelah berkemih.Jumlah residu urine pada pria normal
rata-rata 12 mL. 13 Pemeriksaan residu urine dapat dilakukan dengan cara
USG, bladder scan atau dengan kateter uretra. Pengukuran dengan kateter
ini lebih akurat dibandingkan USG, tetapi tidak nyaman bagi pasien, dapat
menimbulkan cedera uretra, infeksi saluran kemih, hingga bacteremia.
5. Pemeriksaan fungsi ginjal.
Pemeriksaan ini diperlukan untuk menentukan adakah gangguan fungsi
ginjal aibat obstruksi karena hyperplasia porstat.
10. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering
dengan semakin beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena
urin tidak mampu melawati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi
saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal.
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejak pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intra abdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapatan
uang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam
vesiko urinaria menjadikan media oertumbuhan mikroorganisme, yang dapat
menyebabkan sistatis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis
(Nuari & Dhina, 2017).
C. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
b. Palpasi :
1) Pemeriksaan Rectal Toucher (colok dubur) posisi pasien knee
chest
2) Akan terasa adanya ballotement dan ini akan menimbulkanpasien
ingin buang air kecil
3) Palpasi kandung kemih untukmenentukan batas kandung kemih
dan adanya nyeri tekan padaa area suprasimfisis
c. Perkusi :
1) Pada daerah supra pubik apakah menghasilkan bunyi pekak yang
menunjukan distensi kandung kemih
2) Perkusi untuk melihat apakah ada residual urine
3) Uretra kemungkinan adanya penyebab lain misalnya stenose
meatus, striktur uretra, batu uretra/femoisis
14. Pemeriksaan kelamin dan daerah sekitarnya: periksa keadaan
genetalia, anus dan perineum. Pada klien dengan BPH, jika dilakukan
pemeriksaan palpasi dengan colok dubur akan terasa membesar dan
keras, terkadang seperti batu dan sering tak teratur.
15. Pemeriksaan muskuloskeletal/ekstremitas (kesimetrisan, kekuatan otot,
edema)
4. Diagnosa Keperawatan dan Rencana Intervensi
2 Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan intervensi keperawatan Dukungan Nyeri Akut : Pemberian Analgesik
dengan agen pencedera diharapkan tingkat nyeri menurun dan Observasi
fisiologis (spasme kontrol nyeri meningkat dengan kriteria • Identifikasi karakteristik nyeri (mis.
kandung kemih) hasil : pencetus, pereda, kualitas, lokasi,
1. Tidak mengeluh nyeri intensitas, frekuensi, durasi)
2. Tidak meringis • Identifikasi riwayat alergi obat
3. Tidak bersikap protektif • Identifikasi kesesuaian jenis analgesik
4. Tidak gelisah (mis. narkotika, nonnarkotika, atau
5. Kesulitan tidur menurun NSAID) dengan tingkat keparahan nyeri
6. Frekuensi nadi membaik • Monitor tanda-tanda vital sebelum dan
7. Melaporkan nyeri terkontrol sesudah pemberian analgesic
8. Kemampuan mengenali onset nyeri • Monitor efektifitas analgesic
meningkat
9. Kemampuan mengenali penyebab nyeri Terapeutik
meningkat • Diskusikan jenis analgesik yang disukai
10. Kemampuan menggunakan teknik untuk mencapai analgesia optimal, jika
nonfarmakologis meningkat perlu
• Pertimbangkan penggunaan infus kontinu,
atau bolus oploid untuk mempertahankan
kadar dalam serum
• Tetapkan target efektifitas analgesik untuk
mengoptimalkan respons pasien
• Dokumentasikan respons terhadap efek
analgesik dan efek yang tidak diinginkan
Edukasi
• Jelaskan efek terapi dan efek samping
obat
Kolaborasi
• Kolaborasi pemberian dosis dan jenis
analgesik, sesuai indikasi
Dukungan Nyeri Akut : Manajemen Nyeri
Observasi
• Identifikasi lokasi, karakteristik durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
• Identifikasi skala nyeri
• Identifikasi respons nyeri non verbal
• Identifikasi faktor yang memperberat dan
memperingan nyeri
• Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
tentang nyeri Identifikasi pengaruh
budaya terhadap respon nyeri
• Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas
hidup
• Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah diberikan
• Monitor efek samping penggunaan
analgetik
Terapeutik
• Berikan teknik nonfarmakologi untuk
mengurangi rasa nyeri (mis. TENS,
hipnosis, akupresur, terapi musik,
biofeedback, terapi pijat, aromaterapi,
teknik imajinasi terbimbing, kompres
hangat dingin, terapi bermain
• Kontrol lingkungan yang memperberat
rasa nyeri (mis. suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
• Fasilitasi istirahat dan tidur
Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi
• Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
nyeri
• Jelaskan strategi meredakan nyeri
• Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
• Anjurkan menggunakan analgetik secara
tepat
• Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
• Kolaborasi pemberian analgetik, jika
perlu
3 Resiko infeksi Setelah dilakukan asuhan keperawatan, Kontrol Infeksi
berhubungan dengan diharapkan derajat infeksi menurun dengan Definisi : Meminimalkan mendapatkan infeksi
Proteksi infeksi
Definisi : Meminimalkan mendapatkan infeksi
dan trasmisi agen infeksi
Intervensi :
1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai
pasien lain
2. Pertahankan teknik isolasi
3. Batasi pengunjung bila perlu
4. Instruksikan pada pengunjung untuk
mencuci tangan saat berkunjung dan
setelah berkunjung meninggalkan pasien
5. Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci
tangan
6. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah
tindakan kperawtan
7. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat
pelindung
8. Pertahankan lingkungan aseptik selama
pemasangan alat
9. Ganti letak IV perifer dan line central
dan dressing sesuai dengan petunjuk
umum
10. Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung
11. Tingktkan intake nutrisi
12. Berikan terapi antibiotik bila perlu
DAFTAR PUSTAKA
Aprina, Noven, I. Y., & Sunarsih. (2017). Relaksasi Progresif Terhadap Intensitas
Nyeri Post Operasi BPH (Benigna Prostat Hyperplasia). Jurnal Kesehatan,
Vol. 8 No. 2. E-ISSN: 2548 5695. P-ISSN: 2086 7751.
Aspiani R.Y. 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gerontik Jilid 2. Jakarta:
TIM.
Budaya, T. N., & Besut, D. (2019). A To Z BPH (BENIGN PROSTATIC
HYPERPLASIA). Malang: UB PRESS.
Himawan, R., & Dkk. (2019). Pengaruh Terapi Dzikir Terhadap Tingkat Nyeri
Pada Pasien Post Operasi Benigna Prostat Hyperplasia Di Rsud Ra. Kartini
Jepara. Jurnal Ilmu Keperawatan Dan Kebidanan, Vol. 10 No.1. Hal: 229-
235.
Mochtar, C.A., Umbas, R., Soebadi, D.M., Dkk.2015. Panduan Penatalaksanaan
Klinis Pembesaran Prostat Jinak (Benign Prostatic Hyerplasia/BPH).
Jakarta: Ikatan Ahli Urologi Indonesia.
Nasrullah. 2016. Buku Ajar Keperawatan Gerontik Dengan Pendekatan Asuhan
Keperawatan NANDA NIC Dan NOC Jilid 1. Jakarta: TIM
Nuari, N. A., & Dhina, W. (2017). Gangguan Pada Sistem Perkemihan &
Penatalaksanaan Keperawatan. Yogyakarta: DEEPUBLISH.
Padila. 2013. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Yogyakarta : Nuha Medika
Paulsen, F. Dan Waschke, J. 2012.Sobotta Atlas Anatomi Manusia Organ –
Organ Dalam.Jili 2. Jakarta: EGC.
PPNI. 2016. Standart Diagnosa Keperawatan Indonesia. Jakarta: Tim Polja
PPNI. Aprina, Noven, I. Y., & Sunarsih. (2017). Relaksasi Progresif
Terhadap Intensitas Nyeri Post Operasi BPH (Benigna Prostat
Hyperplasia). Jurnal Kesehatan, Vol. 8 No. 2. E-ISSN: 2548 5695. P-
ISSN: 2086 7751.
Sunaryo, Dkk. 2016. Asuhan Keperawatan Gerontik. CV Andi Offset.
Yogyakarta.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Definisi Dan Indikator Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Interveni Keperawatan Indonesia.
Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia:
Definisi Dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.