Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN

DIABETES MELLITUS

OLEH :

M.S.HIDAYATULKAH
14420202071

CI LAHAN CI INSTITISI

( ) ( )

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2021
BAB 1

KONSEP KEPERAWATAN GERONTIK DAN TEORI MENUA


A. Konsep Keperawatan Gerontik dan Teori Menua
1. Defenisi Lansia
Lanjut usia adalah kelompok usia yang berusia 60 tahun keatas
(hardiwonoto & setiabudi, 1998 ;8) Pada lanjut usia akan terjadi proses
menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti
atau mempertahankan fungsi normalmya secara perlahan lahan sehingga tidak
dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang terjadi .
Oleh karena itu, dalam tubuh akan menumpuk makin banyak distorsi
metabolic dan structural disebut penyakit degenerative yang menyebabkan
lansia akan mengakhiri hidup dengan episode terminal (Kholifah, 2016).
Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.
Menua bukanlah sesuatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur
angsur mengakibatkan perubahan kumulatif, merupakan proses menurunnya
daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh,
seperti didalam undang-undang No 13 tahun 1998 yang isinya menyatakan
bahwa pelaksanaan pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan
masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila dan Undang-undang
dasar 1945, telah menghasilkan kondisi social masyarakat yang makin
membaik dan usia harapan hidup semakin meningkat, sehingga jumlah lanjut
usia makin bertambah. Banyak diantara lanjut usia yang masih produktif dan
mampu berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Upaya peningkatan kesejahteraan social lanjut usia pada
hakikatnya merupakan pelestarian nilai nilai keagamaan dan budaya bangsa
(Kholifah, 2016).
Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam
kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak
hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan
kehidupan. Menjadi tua merupakan suatu proses alamiah yang berarti
seseorang telah melalui 3 tahapan kehidupan, yaitu anak, dewasa dan tua
(Sunaryo, 2016).
2. Batasan Lansia
a. WHO (1999) menjelaskan batasan lansia adalah sebagai berikut :
1) Usia lanjutan (Elderly) antara usia 60-74 tahun
2) Usia tua (old) 75-90 tahun
3) Usia sangat tua (Very old) adalah usia >90 tahun
b. Depkes RI (2005) menjelaskan bahwa batasan lansia dibagi menjadi 3
kategori yaitu :
1) Usia lanjut presenilis yaitu antara usia 45-59 tahun,
2) Usia lanjut yaitu usia 60 tahun ke atas,
3) Usia lanjut beresiko yaitu usia 70 tahun ke atas atau usia 60 tahun ke
atas dengan masalah kesehatan.

3. Ciri-ciri lansia
Ciri-ciri lansia menurut (Sunaryo, 2016) adalah sebagai berikut :
a. Lansia merupakan periode kemunduran.
Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor
psikologis. Motivasi memiliki peran yang penting dalam kemunduran pada
lansia. Misalnya lansia yang memiliki motivasi yang rendah dalam
melakukan kegiatan, maka akan mempercepat proses kemunduran fisik,
akan tetapi ada juga lansia yang memiliki motivasi yang tinggi, maka
kemunduran fisik pada lansia akan lebih lama terjadi.
b. Lansia memiliki status kelompok minoritas.
Kondisi ini sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan
terhadap lansia dan diperkuat oleh pendapat yang kurang baik, misalnya
lansia yang lebih senang mempertahankan pendapatnya maka sikap sosial
di masyarakat menjadi negatif, tetapi ada juga lansia yang mempunyai
tenggang rasa kepada orang lain sehingga sikap sosial masyarakat menjadi
positif.
c. Menua membutuhkan perubahan peran.
Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami
kemunduran dalam segala hal. Perubahan peran pada lansia sebaiknya
dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan atas dasar tekanan dari
lingkungan. Misalnya lansia menduduki jabatan sosial di masyarakat
sebagai Ketua RW, sebaiknya masyarakat tidak memberhentikan lansia
sebagai ketua RW karena usianya.
d. Penyesuaian yang buruk pada lansia.
Perlakuan yang buruk terhadap lansia membuat mereka cenderung
mengembangkan konsep diri yang buruk sehingga dapat memperlihatkan
bentuk perilaku yang buruk. Akibat dari perlakuan yang buruk itu
membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk pula. Contoh : lansia yang
tinggal bersama keluarga sering tidak dilibatkan untuk pengambilan
keputusan karena dianggap pola pikirnya kuno, kondisi inilah yang
menyebabkan lansia menarik diri dari lingkungan, cepat tersinggung dan
bahkan memiliki harga diri yang rendah.

4. Perkembangan lansia
Usia lanjut merupakan usia yang mendekati akhir siklus kehidupan
manusia di dunia. Tahap ini dimulai dari 60 tahun sampai akhir kehidupan.
Lansia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Semua orang akan
mengalami proses menjadi tua (tahap penuaan). Masa tua merupakan masa
hidup manusia yang terakhir, dimana pada masa ini seseorang mengalami
kemunduran fisik, mental dan sosial sedikit demi sedikit sehingga tidak dapat
melakukan tugasnya sehari-hari lagi (tahap penurunan). Penuaan merupakan
perubahan kumulatif pada makhluk hidup, termasuk tubuh, jaringan dan sel,
yang mengalami penurunan kapasitas fungsional. Pada manusia, penuaan
dihubungkan denganperubahan degeneratif pada kulit, tulang, jantung,
pembuluh darah, paru-paru, saraf dan jaringan tubuh lainnya. Dengan
kemampuan regeneratif yang terbatas, mereka lebih rentan terhadap berbagai
penyakit, sindroma dan kesakitan dibandingkan dengan orang dewasa lain.
Untuk menjelaskan penurunan pada tahap ini, terdapat berbagai perbedaan
teori, namun para ahli pada umumnya sepakat bahwa proses ini lebih banyak
ditemukan pada faktor genetic (Kholifah, 2016).
Dalam (Kholifah, 2016) menjelaskan bahwa lansia mengalami perubahan
dalam kehidupannya sehingga menimbulkan beberapa masalah. Permasalahan
tersebut diantaranya yaitu :
a. Masalah fisik
Masalah yang hadapi oleh lansia adalah fisik yang mulai melemah,
sering terjadi radang persendian ketika melakukan aktivitas yang cukup
berat, indra pengelihatan yang mulai kabur, indra pendengaran yang mulai
berkurang serta daya tahan tubuh yang menurun, sehingga seringsakit.
b. Masalah kognitif ( intelektual )
Masalah yang hadapi lansia terkait dengan perkembangan kognitif,
adalah melemahnya daya ingat terhadap sesuatu hal (pikun), dan sulit
untuk bersosialisasi dengan masyarakat di sekitar.
c. Masalah emosional
Masalah yang hadapi terkait dengan perkembangan emosional, adalah
rasa ingin berkumpul dengan keluarga sangat kuat, sehingga tingkat
perhatian lansia kepada keluarga menjadi sangat besar. Selain itu, lansia
sering marah apabila ada sesuatu yang kurang sesuai dengan kehendak
pribadi dan sering stres akibat masalah ekonomi yang kurang terpenuhi.
d. Masalah spiritual
Masalah yang dihadapi terkait dengan perkembangan spiritual, adalah
kesulitan untuk menghafal kitab suci karena daya ingat yang mulai
menurun, merasa kurang tenang ketika mengetahui anggota keluarganya
belum mengerjakan ibadah, dan merasa gelisah ketika menemui
permasalahan hidup yang cukup serius.

5. Mitos-mitos penuaan
Menurut Miller, 1995 dalam (Sunaryo, 2016) ada beberapa mitos
tentang penuaan. Pertama mitos kedamaian dan ketenangan. Orang usia lanjut
seharusnya dapat santai menikmati hasil kerja dan jeripayahnya pada usia
muda serta dewasanya. Badai dan berbagai guncangan kehidupan seakan
sudah dilewatinya. Namun, dalam kenyataan ternyata terjadi hal hal yang
sebaliknya, seperti lansia penuh dengan stress karena kemiskinan dan
berbagai keluhan serta penderitaan karena penyakit. Kedua mitos
konservatisme dan kemunduran pandangan. Lansia pada umumnya
konservatif, tidak kreatif, menolak inovasi, berorientasi ke masa silam,
ketinggalan zaman, merindukan masa lalu, kembali ke masa anak anak, susah
berubah, keras kepala, dan bawel. Akan tetapi dalam kenyataan tidak semua
lansia bersifat dan berprilaku demikian. Sebahian tetap tegar berpandangan ke
depan dan inovatif serta kreatif. Ketiga, mitos berpenyakitan. Lansia
dipandang sebagai masa degenerative biologis yang disertai oleh berbagai
penderita akibat berbagai proses penyakit. Dalam kenyataannya, memang
proses menua disertai dengan menurunnya daya tahan tubuh serta
metabolisme sehingga rawan terhadap penyakit. Akan tetapi sekarang banyak
penyakit yang dapat di kontrol dan di obati. Keempat mitos senantiasa lansia
dipandang sebagai masa dimensial (pikun), yang disebabkan oleh kerusakan
bagian tertentu dari otak. Alan tetapi dalam kenyataannya tidak semua lanjut
usia yang mengalami proses penuaan disertai kerusakan pada otak. Mereka
masih tetap sehat segar dan banyak cara untuk menyesuaikan diri terhadap
perubahan daya ingat. Kelima mitos ketidakproduktifan. Lansia dipandang
sebagai usia yang tidak produktif, padahal masih banyak lansia yang memiliki
kematangan dan produktifitas mental dan materiall yang tinggi.

6. Tipologi manusia lanjut usia


Terdapat bermacam-macam tipologi manusia lanjut usia, ada tipe
mandiri, tipe tidak pus, tipe pasrah, dan tipe bingung. Pertama, pada lansia
tipe mandiri mereka mengganti kegiatan kegiatan yang hilang dengan
kegiatan baru, selektif dalam mencari pekerjaan, teman pergaulan, serta
memenuhi undangan. Kedua lansia tipe tidak puas cenderung memiliki
konflik lahir batin, menentang proses penuaan yang mneyebabkan hilangnya
kecantikan, daya tarik jasmani, kekuasaan, status, teman yang di sayangi,
pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, menuntut, sulit dilayani, dan
pengkritik. Ketiga lansia tipe pasrah cenderung menerima dan menunggu
nasib baik, mempunyai konsep habis gelap terbitlah terang, mengikuti
kegiatan beribadah, ringan kaki, pekerjaan apa saja yang dilakukan. Keempat
lansia tipe bingung cenderung kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan
diri, merasa minder, menyesal, pasif, acuh tak acuh (Sunaryo, 2016).
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Konsep Medis
1. Defenisi
Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit yang bersifat menahun,
berhubungan dengan suatu sistem dalam tubuh, dan disebabkan oleh berbagai
faktor, yang ditandai dengan adanya jumlah kadar gula (glukosa) darah yang
berlebihan (hiperglikemia) dan jumlah kadar lemak (lipid) yang berlebihan
(hiperlipidemia), akibat kurangnya sekresi insulin, atau ketidak efektifan kerja
insulin yang telah disekresi oleh pankreas (Livana et al., 2018). Menurut
Soegondo dalam (Hidayat, 2017), menyatakan bahwa diabetes mellitus
merupakan penyakit yang berjangka panjang maka bila diabaikan komplikasi
penyakit diabetes mellitus dapat menyerang seluruh anggota tubuh yang di
akibatkan dari kadar gula darah yang tidak terkontrol pada pengidap diabetes,
tindakan pengendalian diabetes untuk mencegah terjadinya komplikasi
sangatlah diperlukan khususnya menjaga tingkat gula darah sedekat mungkin
dengan normal.
2. Klasifikasi
Menurut American Diabetes Association (ADA) dalam (Apiati &
Sugiarti, 2016), DM bisa diklasifikasikan secara etiologi menjadi DM Tipe 1,
DM Tipe 2, Diabetes Dalam Kehamilan, dan Diabetes Tipe Lain.
a. DM Tipe 1 terjadi karena kerusakan sel beta pankreas (reaksi autoimun),
bila kerusakan sel beta telah mencapai 80-90% maka gejala DM mulai
muncul. Perusakan sel beta ini lebih cepat terjadi pada anak-anak
dibandingkan dewasa. Sebagian besar penderita DM Tipe 1 mempunyai
antibodi yang menunjukkan adanya proses autoimun, dan sebagian kecil
tidak terjadi proses autoimun. Sebagian besar (75%) kasus terjadi sebelum
usia 30 tahun, tetapi usia tidak termasuk kriteria untuk klasifikasi.
b. DM tipe 2 merupakan suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai
oleh keadaan hiperglikemi akibat kelainan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas, gangguan kerja insulin/resistensi insulin atau kombinasi
keduanya. Kasus DM tipe 2 terbanyak umumnya mempunyai latar belakang
kelainan berupa resistensi insulin.
c. DM dan kehamilan (Gestational Diabetes Melitus - GDM) adalah
kehamilan normal yang disertai dengan peningkatan insulin resistance (ibu
hamil gagal mempertahankan euglycemia). Faktor risiko GDM diantaranya
riwayat keluarga DM, kegemukan, dan glikosuria. GDM ini meningkatkan
morbiditas neonatus, misalnya hipoglikemia, ikterus, polisitemia, dan
makrosomia. Hal ini terjadi karena bayi dari ibu GDM mensekresi insulin
lebih besar sehingga merangsang pertumbuhan bayi dan makrosomia.
3. Etiologi
Dalam (Nurarif & Kusuma, 2015), etiologi DM terbagi menjadi 2 yaitu :
sebagai berikut :
a. DM tipe I
Diabetes yang tergantung insulin ditandai dengan penghancuran sel-sel beta
pancreas yang disebabkan oleh :
1) Faktor genetic penderita tidak mewarisi diabetes tipe itu sendiri, tetapi
mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetic kearah
terjadinya diabetes tipe I.
2) Faktor imunologi (autoimun)
3) Faktor lingkungan :virus atau toksin tertentu dapat memicu proses
autoimun yang menimbulkan estruksi si beta.
b. DM tipe II
Disebabkan oleh kegagalan relative sel beta dan resistensi insulin. Faktor
resiko yang berhubungan dengan proses terjadinya diabetes tipe II : usia,
obesitas, riwayat dan keluarga. Menurut (Etika & Monalisa, 2016),
menyatakan bahwa jika dalam keluarga orang tersebut ada yang memiliki
penyakit diabetes mellitus maka orang tersebut beresiko 4 kali lipat lebih
besar untuk menderita diabetes mellitus.
4. Patofisiologi
a. DM tipe 1
Terdapat ketidak mampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel
pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Glukosa yang berasal dari
makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam
darah dan menimbulkan hiperglikemia postprandial (sesudah makan). Jika
konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap
kembali semua glukosa yang tersaring keluar akibatnya glukosa tersebut
diekskresikan dalam urin (glukosuria). Ekskresi ini akan disertai oleh
pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan, keadaan ini dinamakan
diuresis osmotik. Pasien mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria)
dan rasa haus (polidipsi).
b. DM tipe 2
Patofisiologi DM tipe 2 ditandai dengan adanya resistensi insulin perifer,
gangguan hepatic glucosa production (HGP) dan penurunan fungsi sel ß,
yang akhirnya akan menuju kerusakan total sel ß. Mula-mula timbul
resistensi insulin kemudian disusul oleh peningkatan sekresi insulin, untuk
mengatasi kekurangan resistensi insulin agar kadar glukosa darah tetap
normal. Pada tahap ini, kemungkinan individu tersebut akan mengalami
gangguan toleransi glukosa (tahap pradiabetes) tetapi belum memenuhi
kriteria penderita diabetes melitus. Selanjutnya sel beta tidak sanggup lagi
mengkompensasi resistensi insulin hingga kadar glukosa darah meningkat
dan fungsi sel beta pankreas semakin menurun saat itulah diagnosa diabetes
ditegakkan. Penurunan fungsi sel beta berlangsung secara progresif sampai
akhirnya sama sekali tidak mampu lagi mengekresi insulin. Peningkatan
produksi glukosa hati, penurunan pemakaian glukosa dan lemak oleh otot
berperan atas terjadinya hiperglikemia kronik saat puasa dan setelah makan.
Perubahan proses toleransi glukosa, mulai dari kondisi normal, toleransi
glukosa terganggu dan DM tipe 2 dapat dilihat sebagai keadaan yang
berkesinambungan (Puspa et al., 2017).
5. Pathway/Penyimpangan KDM

- Factor genetic Kerusakan Sel beta


Ketidak seimbangan
- Inveksi virus produksi insulin Gula dalam darah
tidak dibawa masuk
- Pengrrusakan dalam set
imunologi

Batas melebihi Anabolisme protein


Glukosuria Hiperglikemia
ambang ginjal menurun

Kerusakan pada
Vikositas darah antibodi
Dieresis osmotik Syok hiperglikemia
ginjal

Kekebalan tubuh
Poliuri-Retensi menurun
Aliran darah lambat Koma diabetik
urine

Kehilangan Neuropati sensori


Iskemik jaringan Resiko infeksi
elekterolit dalam sel perifer

Perfusi Perifer Klien tidak merasa


Dehidrasi Nekrosis luka
Tidak Efektif sakit

Kehilangan kalori Gangrene Gangguan integritas


Resiko syok
kulit/jaringan

Merangsang Sel kekurangan Protein dan lemak


BB menurun
hipotalamus bahan untuk dibakar
metabolisme

Pusat lapar dan haus Pemecahan protein keletihan


Katabolisme lemak

Poli dipsia
polipagia Asam lema Keton ureum

Defisit Nutrisi Keteasidosis


6. Manifestasi Klinis
Gejala yang dikeluhkan oleh penderita diabetes mellitus adalah polidipsia,
poliuria, polifagia, penurunan berat badan, dan kesemutan. Keluhan lain adalah
lemah, kesemutan pada jari tangan dan kaki, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi
pada pria, pruritus vulvae pada pasien wanita, serta luka yang sukar sembuh
(Kurniawaty & Lestari, 2016).

7. Komplikasi
Dalam (Musyafirah et al, 2016), menyatakan diabetes dapat
memengaruhi berbagai organ sistem dalam tubuh dalam jangka waktu tertentu
yang disebut komplikasi. Komplikasi dari diabetes dapat diklasifikasikan
sebagai mikrovaskuler dan makrovaskuler. Komplikasi mikrovaskuler termasuk
kerusakan sistem saraf (neuropati), kerusakan sistem ginjal (nefropati) dan
kerusakan mata (retinopati). Sedangkan, komplikasi makrovaskular termasuk
penyakit jantung, stroke, dan penyakit pembuluh darah perifer.
a. Komplikasi mikrovaskuler
1) Kaki diabetic
Faktor terjadinya komplikasi kronik (kaki diabetik) pada pasien
DM yaitu, riwayat penyakit DM yang sudah lama didiagnosa hal ini
disebabkan seseorang yang sudah lama didiagnosa diabetes mellitus
memiliki resiko lebih tinggi terjadinya ulkus peptikum yang diakibatkan
oleh kadar gula yang tidak terkontrol. Dan penggunaan alas kaki hal ini
disebabkan kaki pasien diabetes mellitus sangat rentan terhadap
terjadinya luka, hal ini disebabkan adanya neuropati diabetic dimana
pasien diabetes mengalami penurunan pada indra perasanya (Purwanti
& Maghfirah, 2016). Menurut Dimitriadou & Lavdaniti (Hartono,
2019), menyatakan bahwa untuk mencegah terjadinya kaki diabetik ini
yaitu dengan cara melakukan perawatan kaki terutama bagi mereka
yang mengalami mati rasa, kesemutan di kaki, perubahan bentuk kaki,
serta luka pada kaki. Perawatan kaki dapat dikalukan dengan cara
memeriksa kaki setiap hari, mencuci kaki setiap hari, menjaga kaki agar
tetap lembut dan halus, memotok kuku dan lain-lain.
2) Retinopati
Retinopati adalah terganggunya retina mata sehingga terjadi
kebutaan secara parsial maupun permanen. Apabila retina terganggu,
maka otak tidak dapat memproses gambar yang dilihat oleh mata.
Retinopati sulit dideteksi karena gejalanya berjalan lambat. Keluhan
yang timbul akibat kerusakan mata adalah sebagai berikut: pada
penglihatan mata terlihat bayang jaring laba-laba, bayangan ke abu-
abuan, pandangan kabur, tidak dapat membaca karena pandangan kabur,
di tengah lapangan pandang terdapat titik gelap atau kosong, pada
penglihatan seperti ada selaput merah, mata terasa nyeri, lingkaran terang
mengelilingi obyek yang dilihat, terdapat perubahan garis vertikal
yangterlihat, dan kebutaan (Lathifah, 2017).
3) Nefropati
Nefropati diabetik merupakan komplikasi yang terjadi pada
penderita DM pada ginjal yang memiliki risiko akhir yaitu sebagai gagal
ginjal. Menurut (Utami & Fuad, 2018), nefropati diabetic sebagai
penyebab utama gagal ginjal terminal, delapan dari 10 penderita diabetes
meninggal akibat kejadian Diabetes mellitus adalah gangguan fungsi
ginjal dengan angka kejadian yang tinggi sebesar 20-40% yang dapat
menghambat pembentukan eritropoietin sebagai pembentuk Hb dan
menyebabkan anemia. Nefropati diabetik ditandai dengan adanya
albuminuria (mikro/ makroalbuminuria). Diabetes yang menyerang
pembuluh darah kecil ginjal berakibat pada efi siensi ginjal sehingga
penyaringan darah terganggu. Keadaan normal ginjal tidak dapat
ditembus oleh protein, namun jika sel ginjal mengalami kerusakan maka
pembuluh darah dapat dilewati oleh protein dan masuk ke saluran urin.
Keluhan yang timbul pada penderita komplikasi nefropati adalah
pembengkakan pada kaki, sendi kaki, dan tangan, sesak nafas, hipertensi,
bingung atau sukar berkonsentrasi, nafsu makan menurun, kulit menjadi
kering, dan gatal, capek
4) Neuropati
Menurut Kariadi dalam (Lathifah, 2017), neuropati adalah
komplikasi yang terdapat pada syaraf. Neuropati ini mengacu pada
sekolompok penyakit yang menyerang saraf perifer, ototnom, dan spinal.
Kadar gula darah yang tinggi mengakibatkan serat saraf hancur sehingga
sinyal ke otak dan dari otak tidak terkirim dengan benar, akibat dari tidak
terkirimnya sinyal tersebut maka hilangnya indera perasa, meningkatnya
rasa nyeri di bagian yang terganggu. (Anugerah et al, 2019) menyatakan
bahwa ketika pasien mengalami komplikasi neuropati maka syaraf-syaraf
telah mengalami kerusakan sehingga kaki pasien menjadi baal (tidak
merasakan sensasi) dan tidak merasakan adanya tekanan, injuri/trauma,
atau infeksi. Keluhan yang paling sering dirasakan adalah kesemutan.
b. Komplikasi makrovaskuler
1) Penyakit jantung
Penyakit jantung salah satunya Penyakit Jantung Koroner atau
PJK terjadi akibat penyempitan atau penyumbatan di dinding nadi
koroner karena adanya endapan lemak dan kolesterol sehingga
mengakibatkan suplai darah ke jantung menjadi terganggu. Diabetes
merupakan salah satu faktor risiko penting terjadinya penyakit jantung
koroner. Diabetes mellitusyang tidak dikelola dengan baik
mengakibatkan komplikasi yang bersifat kronik salah satunya yaitu
komplikasi makroangiopati. Makroangiopati diabetik mempunyai
gambaran histopatologi berupa aterosklerosis yang pada akhirnya
menyebabkan penyumbatan vaskuler. Bila mengenai arteri koronaria
dan aorta, maka dapat menyebabkan penyakit jantung koroner Penderita
diabetes mellitus memiliki kadar glukosa yang tinggi sehingga dapat
meningkatkan viskositas darah. Meningkatnya viskositas darah ini dapat
menyebabkan kerja jantung lebih berkerja keras. Selain itu tingginya
glukosa akan diiringi pula meningkatnya kadar lemak yang menempel
di dinding pembuluh darah (Utami & Azam, 2019)
2) Hipertensi
Hipertensi merupakan penyakit yang ditandai dengan
peningkatan tekanan darah diastolik lebih atau sama dengan 90 mmHg
atau tekanan darah sistolik lebih atau sama dengan 140 mmHg.
Hipertensi menjadi faktor risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler dan
menjadi masalah kesehatan dunia. Hipertensi pada DM meningkatkan
mortalitas serta berperan dalam mekanisme terjadinya penyakit jantung
koroner, gangguan pembuluh darah perifer, gangguan pembuluh darah
serebral dan terjadinya gagal ginjal. Kelainan pada mata akibat DM yang
berupa retinopati diabetik juga dipengaruhi oleh hipertensi. Menurut
Fukui dalam (Puspa et al., 2017), menyatakan bahwa ketika seseorang
terlebih dahulu mengalami diabetes maka hazard ratio (95% CI) untuk
terjadi hipertensi pada tahun ke 5 adalah sebesar 2,359.
8. Pemeriksaan Penunjang
(Nurarif & Kusuma, 2015), dalam bukunya ada beberapa pemeriksaan
diagnostic yang dapat dilakukan pada pasien yang mengidap penyakit DM.
a. Tes laboratorium DM
Jenis tes pada pasien DM dapat berupa tes saring. Tesdiagnostik, tes
pemantauan terapi dan tes untuk mendeteksi komplikasi
b. Tes saring
Tes-tes saring pada DM adalah :
1) GDP, GDS
2) Tes glukosa urine :
 Tes konvensional (metode reduksi/benedict)
 Tes carik celup (metode glucose oxide/hexokinase
c. Tes diagnostik
Tes-tes diagnostik pada DM adalah GDP, GDS, GD2PP (Glukosa Darah 2
jam Post Prandial), Glukosa jam ke-2 TTGO
d. Tes monitoring terapi DM adalah :
3) GDP : plasma vena, darah kapiler
4) GD2PP :plasma vena
5) A1c : darah vena, darah kapiler
e. Tes untuk mendeteksi komplikasi
6) Mikroalbuminura : urine
7) Ureum, kreatinin, asam urat
8) Kolestrol total : plasma vena (puasa)
9) Kolestrol LDL : plasma vena (puasa)
10) Kolestrol HDL : plasma vena (puasa)
11) Trigleserida : plasma vena (puasa)
9. Penatalaksanaan
a. Terapi farmakologi
Terapi obat dalam (Padila, 2012) sebagai berikut :
1) Terapi insulin
Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM Tipe 1.
Pada DM Tipe I, sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak,
sehingga tidak lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai penggantinya,
maka penderita DM Tipe I harus mendapat insulin eksogen untuk
membantu agar metabolisme karbohidrat di dalam tubuhnya dapat
berjalan normal. Walaupun sebagian besar penderita DM Tipe 2 tidak
memerlukan terapi insulin, namun hampir 30% ternyata memerlukan
terapi insulin disamping terapi hipoglikemik oral.
2) Terapi obat hipoglikemik oral
Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu
penanganan pasien DM Tipe II. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang
tepat sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes. Bergantung pada
tingkat keparahan penyakit dan kondisi pasien, farmakoterapi
hipoglikemik oral dapat dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat
atau kombinasi dari dua jenis obat. Pemilihan dan penentuan rejimen
hipoglikemik yang digunakan harus mempertimbangkan tingkat
keparahan diabetes (tingkat glikemia) serta kondisi kesehatan pasien
secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang ada.
3) Terapi kombinasi
b. Terapi nonfarmakologi
Menurut (Medika, 2017), Terapi non-obat sebenarnya sama dengan
langkah pencegah. Inti dari terapi ini adalah menjaga agar terhindar dari
segala penyakit, teruma penyakit degeneratif. Terapi non-obat ini terdiri dari
pemberian pengetahuan tentang diabetes, olaragah secara teratur,
menerapkan pola makan yang tepat, dan menerapkan gaya hidup yang sehat.
Keseluruhannya harus diterapkan demi mencapai hasil maksimal.
1) Lebih Mengenal Diabetes
Adalah istilah “tak kenal maka tak sayang”.Kalau kita terhindar atau
hidup nyaman dengan diabetes tentu kita harus mengenalnya. Semakin
banyak hal tentang diabetes, semakin banyak cara yang kita tahu untuk
mengendalikan penyakit ini. Pengetahuan berperan penting dalam
menurunkan populasi penderita diabetes.Tujuan dari pemberian
pengetahuan ini adalah agar penderita diabetes dapat mengerti
bagaimana penyaikitnya bisa menyerang dirinya, penderita diabetes mau
berusaha disiplin untuk mengontrol dan mengelola penyakitnya secara
mandiri, serta agar terbentuknya perillaku hidup sehat.
2) Penatalaksanaan diabetes dengan pemberian konseling
Pengetahuan tentang diabetes dapat di peroleh dari dokter ketika
melakukan cek kesehatan, melalui penyuluhan atau seminar terkait
diabetes, dan melalui buku-buku umum/populer seperti yang anda
lakukan saat ini. Pemberian pengetahuan ini sebaiknya mencakup apa itu
diabetes melitus, apa itu hipoglikemia, apa saja gejalanya, komplikasi
yang timbul, pentingnya pemantauan dan pengendalian diabetes melitus,
bagaimana penangananya baik secara mandiri maupun oleh tenaga
kesehatan, perawatan kaki pada penderita diabetes, serta perubahan
perilaku yang perlu dilakukan.
Pemberian pengetahuan ini diharapkan dapat merubah perilaku
ke arah kepada perilaku mendukung gaya hidup sehat sehingga derajat
kesehatan akan meningkat. Proses perubahan perilaku tidak cukup hanya
dengan memberikan pengetahuan, tetapi membutuhkan perencanaan,
pemantauan, dan evaluasi dari keluarga, masyarakat, dan tenaga
kesehatan.
3) Olahraga yang teratur
Olahraga adalah serangkaian gerak raga yang teratur dan terencana
untuk memelihara hidup, meningkatkan kualitas hidup dan mencapai
tingkat kemampuan jasmani yang sesuai dengan tujuan . Olahraga tidak
hanya dapat dilakukan oleh orang yang sehat, akan tetapi sangat
bermanfaat apabila dilakukan oleh orang dengan penyakit metabolik
seperti penyakit DM. Menurut Perkeni dalam(Sinaga, 2016) bahwa
melakukan olahraga secara teratur dapat memperbaiki kendali glukosa
darah, mempertahankan atau menurunkan berat badan, serta dapat
meningkatkan kadar kolesterol HDL. Selain itu, Olahraga juga berfungsi
untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki kendali glukosa darah. Olahraga sangat bermanfaat dalam
memperbaiki kepekaan insulin serta pengendalian gula darah. Namun,
pengendalian gula darah tidak akan berhasil dengan olahraga saja.
Karena itu, upaya ini mesti dipadu dengan pengaturan diet secara akurat.
Pekanya insulin dan terkendalinya gula darah akan berdampak pada
perlambatan atau penundaan komplikasi DM.
4) Pola makan yang tepat
Salah satu faktor utama penyebab terjadinya diabetes adalah pola
makan yang salah.Makan dalam porsi yang besar, terlalu banyak ngemil,
melewati sarapan, dan makan larut malam.Pola makan tersebut
menyebabkan berat badan lebih dan gula darah menjadi
naik.Kenyataannya, sebagian besar penderita diabetes memeang
memiliki tubuh yang cendrung gemuk.Oleh karena itu, kesalahan-
kesalahan dalam pola makan harus segera di ubah.
Penentuan pola makan yang cocok untuk semua penderita diabetes
sebenarnya belum bisa di tentukan karna harus di sesuaikan dengan
kebiasaan makan individu masing-masing.Penderita diabetes dianjurkan
menerapkan terapi diabetes dengan syarat:
a) Makanlah pada jadwal teratur
b) Jumlah asupan kalori disesuaikan dengan berat badan, jenis kelamin,
usia, aktifitas fisik, serta kelainan metabolik yang dialami
c) Makanlah menu yang beragam, misalnya dalam sehari harus ada
makanan sumber protein, karbohidrat, sayuran, dan buah
d) Batasi konsumsi gula pasir, makanan manis, dan gorengan
e) Hindari makan biskuit, cake, serta makanan lain dan minum
berkalori tinggi sebagai cemilan pada waktu makan
f) Minum air dalam jumlah banyak dan hindari minuman berkalori
seperti soft drink apabila haus
g) Konsumsi protein, vitamin, mineral yang cukup
h) Tambahkan porsi sayur dan buah dua kali lipat di banding biasanya.
Selain penatalaksanaan diatas terapi nonfarmakologi pada penderita
diabetes mellitus juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan
tanaman herbal seperti :
1) Ubi jalar ungu
Ubi jalar ungu (Ipomoea batatas poiret) merupakan
sumber karbohidrat yang baik dan juga berperan sebagai sumber
serat pangan dan sumber beta karoten. Mengandung karbohidrat,
protein, lemak, kalsium, fosfor, besi, vitamin A, vitamin C,
vitamin B1 dan pigmen antosianin yang lebih tinggi dibanding
varietas lain. Karbohidrat yang terkandung pada ubi jalar ungu
termasuk dalam Low Glycamix Index sehingga bila dikonsumsi
tidak akan menaikkan glukosa darah secara drastis. Ubi jalar
unggu mengandung antosianin adalah glikosida yang larut dalam
air dari polihidroksil dan polymethoxyl turunan dari 2-
phenylbenzopyrylium atau flavylium garam. Antosianin suatu
jenis plavonoid yang memiliki efek antioksidan, anti-inflamasi,
anti-virus, anti-proliferasi, anti-mutagenik, anti-mikroba, anti-
karsinogenik, perlindungan dari kerusakan jantung dan alergi,
perbaikan mikrosirkulasi, perifer kapiler pencegahan kerapuhan
dan pencegahan diabetes (Anjani, Oktarlina, & Morfi, 2018).
Pemberian ekstrak ubi jalar ungu dapat melindungi sel dari
pengaruh buruk radikal bebas. Zat antosianin yang terkandung
dalam ubi jalar ungu (Ipomoea batatas poiret) dapat dijadikan
pilihan terapi diet non-farmakologi karena kandungannya dapat
mengontrol kadar glukosa darah sehingga dapat mencegah
terjadinya resisten insulin pada pendertita DM.
2) Pare
Pare adalah sejenis tumbuhan yang merambat dengan
buah berbentuk panjang dan runcing pada ujungnya serta
permukaan yang bergerigi. Pare memiliki rasa yang tidak terlalu
pahit dan banyak dibudidayakan dan paling disukai, buahnya
panjang dengan ukuran 30-50cm, diameter buah 3-7cm, berat
ratarata 200-500 gr/buah. Sedangkan pare ayam memiliki rasa
yang pahit, berbentuk lonjong kecil dan berwarna hijau dengan
bintil-bintil agak halus dengan panjang 15– 20cm. Pare
merupakan tanaman yang kaya akan manfaat, diantaranya pare
dapat berfungsi sebagai antikanker dan menurunkan kadar gula
darah (hypopglycemic effect). Ekstrak pare dapat berperan
sebagai antioksidan dengan ditemukannya kandungan flavonoid,
tanin, saponin, steroid, dan terpenoid. (Rahmasari & Wahyuni,
2019).
Menurut Rita dalam (Rahmasari & Wahyuni, 2019),
kandungan yang ada di dalam pare menjadikan sayuran ini
sangat baik untuk tujuan pengobatan diabetes. Manfaat buah pare
bagi penderita DM adalah sebagai berikut :
 Mengontrol gula darah, konsumsi buah pare dapat
mengontrol kadar gula darah dalam tubuh. Hal ini
disebabkan karena adanya kandungan serat dalam pare. Saat
serat masuk ke dalam tubuh, serat hanya akan melewati
saluran pencernaan saja. Sehingga akan membuat makanan
berserat cenderung tidak akan menaikkan kadar gula darah.
 Insulin alami penurun gula darah, di dalam buah pare juga
terdapat kandungan phyto nutrient, yaitu salah satu jenis
tanaman insulin yang sangat dikenal bisa menurunkan kadar
gula darah. Selain itu juga terdapat agen hipoglikemik atau
charatin yang akan membantu meningkatkan penyerapan
glukosa serta glikogen sintesis yang ada dalam sel hati.
Sehingga dengan senyawa tersebut lah pare dianggap bisa
menurunkan kadar gula dalam darah khususnya untuk
diabetes tipe-2.
 Membantu melakukan diet alami untuk diabetes, jika sedang
melakukan diet dan mengatur asupan makanan ke dalam
tubuh untuk mengatur kadar gula darah, maka dapat
memanfaatkan buah pare sebagai salah satu menu yang dapat
mengobati penyakit diabetes. Hal ini karena adanya
kandungan polipeptida yang strukturnya sama dan mirip
dengan hormone insulin yang akan bekerja menurunkan
kadar gula darah dalam tubuh.
Penelitian oleh (Yudha et al., 2018), yang dilakukan
pada tikus jantan putih menunjukan bahwa partisi air buah
pare (Momordicia charantia) dengan dosis 50 mg/kg bb
efektif menurunkan kadar glukosa darah tikus putih jantan
(Rattus norvegicus).
3) Rebusan daun gersen
Kersen dengan nama latin Muntingia calabura, digunakan
oleh anak - anak untuk bermain atau di makan karena rasanya
manis, daun dan buahnya memiliki kandungan senyawa yang
berkhasiat sebagai obat. Tanaman ini banyak digunakan sebagai
tanaman peneduh, dan s norvegicus). juga mempunyai manfaat
kesehatan yang sangat bermanfaat. Buahnya juga dapat
digunakan untuk menyembuhkan penyakit seperti hipertensi,
asam urat dan diabetes mellitus (Jumain, et al., 2019).
Kersen (Muntingia calabura), adalah tanaman yang
mengandung berbagai senyawa flavonoid, tanin dan chalcone.
Hasil riset menyatakan, daun kersen mengandung berbagai
macam jenis senyawa flavonoid yang berpotensi untuk dijadikan
berbagai macam jenis obat, seperti antidiabetik, anti-inflamasi,
antikanker dan antipiretik. Senyawa flavonoid, menurut
penelitian memiliki efek hipoglikemik dengan beberapa
mekanisme, yaitu dengan menghambat absorpsi glukosa,
merangsang pelepasan dan sensitasi dari insulin, dan
meningkatkan ambilan glukosa oleh jaringan perifer, dan
berperan dalam pengaturan enzim-enzim dalam metabolisme
karbohidrat. Penelitian lain juga menyebutkan, bahwa subkelas
flavonoid, senyawa flavonol, memiliki potensi menghambat
enzim alfaamilase yang berperan dalam pemecahan karbohidrat.
Flavonol, juga memiliki potensi menginhibisi kerja Glucose
Transporter-2 (GLUT-2) sebagai transporter glukosa pada organ
gastrointestinal (Damara & Sukohar, 2018).
Penelitian oleh (Zahroh & Musriana, 2016), menyatakan
bahwa ada pengaruh pemberian rebusan daun kersen terhadap
penurunan kadar gula darah. Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh (Norma & Hadrayanti, 2019), menyatakan
terdapat pengaruh yang signifikan rebusan Daun kersen
(Muntingia calabura L) terhadap penurunan kadar gula darah
sewaktu pada klien diabetes mellitus tipe II.
9. Pencegahan
(Wahyuni et al., 2019), menyatakan bahwa dengan pengendalian metabolisme
yang baik, menjaga agar kadar gula darah berada dalam katagori normal maka
komplikasi akibat diabetes dapat dicegah/ditunda. Pengendalian dapat
dilakukan dengan CERDIK, yaitu :
a. Cek kondisi kesehatan secara berkala
b. Enyahkan asap rokok
c. Rajin aktifitas fisik
d. Diet sehat dengan kalori seimbang
e. Istirahat yang cukup
f. Kendalikan Stress.
A. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas pasien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, Suku/bangsa, agama,
dan status perkawinan.
b. Keluhan utama
Cemas, lemah, anoreksia, mual, muntah, nyeri abdomen, nafas pasin mungki
n berbau aseton pernapasan kussmaul, poliuri, polidipsi, penglihatan yang
kabur, kelemahan dan sakit kepala
c. Riwayat penyakit sekarang
Berisi tentang kapan terjadinya penyakit, penyebab terjadinya penyakit serta
upaya yang telah dilakukan oleh penderita untuk mengatasinya.
2. Riwayat penyakit masa lalu
Ada riwayat penyakit DM atau penyakit-penyakit lain yang ada kaitannya
dengan defisiensi insulin misalnya penyakit pangkreas. Adanya riwayat penyakit
jantung, obesitas, maupun arteroklerosis, tindakan medis yang pernah di dapat
maupun obat-obatan yang biasa digunakan oleh penderita.
3. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Meliputi keadaan penderita mungkin tampak lemah atau pucat. Tingkat
kesadaran apakah sadar, koma, disorientasi.
b. Pemeriksaan kulit
Kulit kering, adanya ulkus di kulit, luka yang tidak kunjung sembuh.
Adanya akral dingin, capillarry refill kurang dari 3 detik, adanya pitting
edema.
c. Pemeriksaan kepala
Raut wajah : pengkajian kontak mata saat diajak berkomunikasi, fokus atau
tidak fokus. Mata : simetris mata, refleks pupil terhadap cahaya, terdapat
gangguan penglihatan apabila sudah mengalami retinopati diabetik. Telinga
fungsi pendengaran mungkin menurun. Hidung : adanya sekret, pernapasan
cuping hidung, ketajaman saraf penghidu menurun. Mulut : mukosa bibir
kering.
d. Pemeriksaan leher
Pemeriksaan pada tekanan vena jugularis.
e. Pemeriksaan sistem persyarafan
Pemeriksaan pada 12 sistem persyarafan, pada penderita diabetes biasanya
mengalami gangguan persyarafan diakibatkan oleh neuropati diabetik.
f. Pemeriksaan dada
Denyut jantung cepat atau lambat, adanya bunyi jantung tambahan apabila
diawali dari penyakit jantung.
g. Pemeriksaan abdomen
Adanya nyeri tekan pada bagian pankreas, distensi abdomen, suara bising
usus yang meningkat.
h. Pemeriksaan ekstrimitas
Adanya luka pada kaki atau kaki diabetik. Observasi luas luka, kedalaman
luka, perdarahan. Kaji kekuatan otot.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Defisit Nutrisi.
b. Resiko syok.
c. Gangguan Integritas kulit/jaringan.
d. Resiko infeksi.
e. Perfusi Perifer tidak efektif.
3. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi Rasional


1. Defisit Nutrisi. Status Nutrisi. Manajemen Nutrisi
Kriteria Hasil : 1. Identifikasi status nutrisi. 1. Mengetahui status nutrisi
1. Porsi makan yang yang diberikan.
dihabiskan Meningkat. 2. Identifikasi alergi dan intoleransi 2. Mengidentifikasi alergi dan
2. Nyeri abdomen Menurun. aktivitas. mengetahui aktivitas yang
3. Frekuensi makan Membaik. diberikan.
3. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk 3. Dapat meningkatkan
menentukan jumlah kalori dan jenis kebutuhan kalori yang akan
nutrient yang dibutuhkan, jika perlu diberikan.
2. Resiko syok. Tingkat Syok. Pencegahan Syok
Kriteria Hasil : 1. Monitor status kardiopulonal 1. Dapat mengetahui status
1. Kekuatan Nadi Meningkat. (Frekuensi dan kekuatan nadi, kardiopulonal.
2. Tingakat kesadaran frekuensi napas, TD, MAP). 2. Megetahui cairan yang masuk
Meningkat. 2. Monitor status cairan (masukan dan dan keluar.
3. Saturasi Oksigen haluaran, turgor kulit, CRT). 3. Untuk meningkatkan
Meningkat. 3. Berikan oksigen untuk pertahanan saturasi oksigen.
4. Frekuensi napas Membaik. mempertahankan saturasi oksigen 4. Dengan pemasangan kateter
>94%. dapat mengetahui nilai
4. Pasang kateter urin untuk menilai produksi urin.
produksi urin, jika perlu.
5. Kolaborasi pemberian IV, jika perlu. 5. Untuk memberikan nutrisi
melalui IV.

3. Gangguan Integritas kulit dan Jaringan. Perawatan Integritas Kulit.


Integritas Kriteria Hasil : 1. Identifikasi penyebab gangguan 1. Mengetahui gangguan pada
kulit/jaringan. 5. Kerusakan jaringan integritas kulit. kulit.
Meningkat. 2. Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah 2. Untuk mencegah terjadinya
6. Nyeri Menurun. baring. decubitus.
7. Suhu Kulit Membaik. 3. Anjurkan meningkatkan asupan 3. Dapat meningkatkan status
nutrisi. nutrisi.
4. Resiko infeksi. Tingkat Infeksi. Pengaturan Posisi
Kriteria Hasil : 1. Monitor status oksigenasi sebelum 1. Mengetahui posisi pemberian
4. Demam Menurun. dan sesudah mengubah posisi. oksigen yang benar.
5. Nyeri Menurun. 2. Atur posisi untuk mengurangi sesak. 2. Dapat mencegah terjadinya
sesak.
3. Motivasi melakukan ROM aktif atau 3. Untuk dapat melatih otot agar
pasif. tetap aktif.
5. Perfusi perifer Perfusi Perifer. Perawatan Sirkulasi.
tidak efektif. Kriteria Hasil : 1. Periksa sirkulasi perifer. 1. Mengetahui sirkulasi perifer.
1. Denyut nadi perifer 2. Identifikasi factor resiko gangguan 2. Mengidentifikasi terjadinya
Meningkat. sirkulasi. factor resiko.
2. Kelemahan Otot Menurun. 3. Hindari pemasangan infus atau 3. Untuk mencegah terjadinya
3. Turgor kulit Membaik. pengambilan darah diarea lebam.
keterbatasan perfusi.
DAFTAR PUSTAKA

Anjani, E. P., Oktarlina, R. Z., & Morfi, C. W. (2018). Zat Antosianin pada Ubi Jalar
Ungu terhadap Diabetes Melitus. Majority, 7(2), 257–262.

Anugerah et al. (2019). PREVALENSI KOMPLIKASI DIABETES MELITUS


BERDASARKAN KARAKTERISTIK PASIEN DIABETES MELITUS. 8(1), 22–28.

Apiati, F., & Sugiarti, M. (2016). HUBUNGAN TINGKAT PENATALAKSANAAN


PENGENDALIAN DIABETIK DENGAN KADAR HbA1c PADA PENDERITA
DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI RSUD dr . H . ABDUL MOELOEK HbA1c
LEVELS IN PATIENTS TYPE 2 DIABETES MELLITUS IN HOSPITAL RSUD
dr . H . ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG. Jurnal Analis Kesehatan,
5(1).

Damara, A., & Sukohar, A. (2018). Efektivitas Infusa Daun Kersen (Muntingia
calabura Linn) Sebagai Antidiabetik. 5(46), 534–539.

Etika, A. N., & Monalisa, V. (2016). RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA DENGAN


KEJADIAN DIABETES MELLITUS. Jurnal Care, 4(1), 51–57.

Hartono, D. (2019). Pengaruh Foot Care Education Terhadap Tingkat Pengetahuan Dan
Perilaku Perawatan Kaki Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe II. Jurnal Aiptinakes,
15.

Hidayat, R. (2017). PENGARUH SENAM TERHADAP KADAR GULA DARAH


PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI RSUD PURI HUSADA
TEMBILAHAN TAHUN 2016. Jurnal Ners Universitas Pahlawan Tuanku
Tambusai, 1(1).

Jumain, Asmawati, Farid, & Riskah. (2019). Efek Sari Buah Kersen (Muntingia
calabura L.) Terhadap Penurunan Kadar Gula Darah Mencit Jantan. XV(2), 156–
162.

Kurniawaty, E., & Lestari, E. E. (2016). Uji Efektivitas Daun Belimbing Wuluh
( Averrhoa bilimbi L .) sebagai Pengobatan Diabetes Melitus The Effectiveness
Test for Extract Wuluh Starfruite Leaf ( Averrhoa bilimbiL .) as Diabetes Mellitus
Treatment. Majority, 2–6.

Lathifah, N. L. (2017). HUBUNGAN DURASI PENYAKIT DAN KADAR GULA


DARAH DENGAN KELUHAN SUBYEKTIF PENDERITA DIABETES
MELITUS. Jurnal Berkala Epidemiologi, 5(2), 231–239.
https://doi.org/10.20473/jbe.v5i2.2017.231-239

Livana, Sari, I. P., & Hermanto. (2018). Gambaran Tingkat Persepsi Pasien Diabetes
Mellitus di Kabupaten Kendal. Jurnal Kesehatan Poltekkes Ternate, 11(2), 48–57.

Medika, T. B. (2017). Berdamai dengan Diabetes. Jakarta: Bumi Medika.

Musyafirah et al. (2016). FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN


KOMPLIKASI DM PADA PENDERITA DM DI RS IBNU SINA.

Norma, & Hadrayanti, N. (2019). Pengaruh Rebusan Daun Kersen Terhadap Penurunan
Gula Darah Sewaktu Pada Klien Diabetes Mellitus Tipe II Di Wilayah Kerja
Puskesmas Klasaman Kota Sorong Tahun 2018. JURNAL ILMIAH PRAKTISI
KESEHATAN MASYARAKAT SULAWESI TENGGARA, 3(2), 6–10.

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis & NANDA NIC-NIOC. Yogyakarta: MediAction.

Padila. (2012). Buku Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika.

Purwanti, L. E., & Maghfirah, S. (2016). FAKTOR RISIKO KOMPLIKASI KRONIS


(KAKI DIABETIK) DALAM DIABETES MELLITUS TIPE 2. THE
INDONESIAN JOURNAL OF HEALTH SCIENCE, 7(1), 26–39.

Puspa, G., Marek, S., & Adi, M. S. (2017). FAKTOR-FAKTOR YANG


BERPENGARUH TERHADAP TERJADINYA HIPERTENSI PADA PENDERITA
DIABETES MELITUS TIPE II (Studi di Wilayah Puskesmas Kabupaten Pati).
XIII(1), 47–59.

Anda mungkin juga menyukai