Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Lansia


2.1.1 Pengertian Lansia
Menurut World Health Organization (WHO), lansia adalah seseorang yang telah
memasuki usia 60 tahun ke atas. Lansia merupakan kelompok umur pada manusia yang
telah memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya. Kelompok yang dikategorikan lansia
ini akan terjadi suatu proses yang disebut aging process atau proses penuaan. Lansia
merupakan salah satu kelompok atau populasi dengan risiko yang semakin meningkat
jumlahnya. Populasi dengan risiko merupakan sekelompok orang yang masalah
kesehatannya memiliki kemungkinan akan berkembang lebih buruk karena adanya faktor-
faktor risiko yang mempengaruhinya (Mendes et al, 2018).
Undang-Undang No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia menyatakan
bahwa lansia merupakan seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas. Secara biologis
penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus
menerus, yang ditandai dengan menurunnya daya tahan tubuh atau semakin rentannya
terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal tersebut disebabkan
terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ (Puteri,
2015).
2.1.2 Batasan Usia Lansia
Batasan lansia menurut WHO (2016) meliputi usia pertengahan (middle age) antara
44-59 tahun, usia lanjut (elderly) antara 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) antara 75-90
tahun, dan usia sangat tua (very old) > 90 tahun.
2.1.3 Klasifikasi Lansia
Menurut Depkes RI (2013) klasifikasi lansia terdiri dari :
1. Pra lansia yaitu seorang yang berusia antara 45-59 tahun.
2. Lansia ialah seorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
3. Lansia risiko tinggi ialah seorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah
kesehatan.
4. Lansia potensial adalah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan kegiatan
yang dapat menghasilkan barang atau jasa.
5. Lansia tidak potensial ialah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga
hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.
2.1.4 Karakteristik Lansia
Menurut Pusat Data dan Informasi, Kementerian Kesehatan RI (2016), karakteristik
lansia dapat dilihat berdasarkan kelompok berikut ini :
1. Jenis kelamin
Lansia lebih didominasi oleh jenis kelamin perempuan. Artinya, ini menunjukan bahwa
harapan hidup yang paling tinggi adalah perempuan.
2. Status perkawinan
Penduduk lansia ditilik dari status perkawinannya sebagian besar berstatus kawin 60%
dan cerai mati 37%.
3. Living arrangement
Angka beban tanggungan adalah angka yang menunjukan perbandingan banyaknya
orang tidak produktif (umur < 15 tahun dan > 65 tahun) dengan orang berusia produktif
(umur 15-64 tahun). Angka tersebut menjadi cermin besarnya beban ekonomi yang
harus ditanggung penduduk usia produktif untuk membiayai penduduk usia
nonproduktif.
4. Kondisi kesehatan
Angka kesakitan merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur
derajat kesehatan penduduk. Angka kesakitan bisa menjadi indikator kesehatan negatif.
Artinya, semakin rendah angka kesakitan menunjukan derajat kesehatan penduduk
yang semakin baik.
2.1.5 Proses Menua
Menua atau proses menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam
kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai
dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua
merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya,
yaitu anak, dewasa dan tua. Tiga tahap ini berbeda, baik secara biologis maupun psikologis.
Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang
ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran
kurang jelas, penglihatan semakin memburuk, gerakan lambat dan postur tubuh yang tidak
proporsional (Nugroho, 2012).
2.1.6 Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia
Menurut Nugroho (2012), perubahan yang terjadi pada lansia diantaranya adalah :
1. Perubahan pada sistem gastrointestinal
Proses penuaan memberikan pengaruh pada setiap bagian dalam saluran gastrointestinal
(GI) yaitu perubahan pada rongga mulut, esophagus, lambung, usus halus, usus besar
dan rektum, pankreas dan hati.
2. Perubahan pada sistem muskuloskeletal
a. Jaringan penghubung (kolagen dan elastin)
Kolagen sebagai protein pendukung utama pada kulit, tendon, kartilago dan
jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi tidak teratur dan penurunan
hubungan pada jaringan kolagen, merupakan salah satu alasan penurunan mobilitas
pada jaringan tubuh. Sel kolagen mencapai pucak mekaniknya karena penuaan,
kekakuan dari kolagen mulai menurun. Kolagen dan elastin yang merupakan
jaringan ikat pada jaringan penghubung mengalami perubahan kualitas dan
kuantitasnya.
Perubahan pada kolagen ini merupakan penyebab turunnya fleksibilitas pada
lansia sehingga menimbulkan dampak berupa nyeri, penurunan kemampuan untuk
meningkatkan kekuatan otot, kesulitan bergerak dari duduk ke berdiri, jongkok dan
berjalan dan hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Upaya fisioterapi
untuk mengurangi dampak tersebut adalah memberikan latihan untuk menjaga
mobilitas.
b. Kartilago
Jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan mengalami granulasi
akhirnya permukaan sendi menjadi rata. Selanjutnya kemampuan kartilago untuk
regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung kearah progresif.
Proteoglikan yang merupakan komponen dasar matrik kartilago, berkurang atau
hilang secara bertahap sehingga jaringan fibril pada kolagen kehilangan
kekuatannya dan akhirnya kartilago cenderung mengalami fibrilasi. Kartilago
mengalami klasifikasi di beberapa tempat seperti pada tulang rusuk dan tiroid.
Fungsi kartilago menjadi tidak efektif tidak hanya sebagian peredam kejut, tetapi
sebagai permukaan sendi yang berpelumas. Konsekuensinya kartilago pada
persendian menjadi rentan terhadap gesekan.
Perubahan tersebut sering terjadi pada sendi besar penumpu berat badan. Akibat
perubahan itu sendi mudah mengalami peradangan, kekakuan, nyeri, keterbatasan
gerak dan terganggunya aktivitas sehari-hari.
c. Sistem skeletal
Manusia mengalami penuaan dan jumlah masa otot tubuh mengalami
penurunan. Berikut adalah perubahan yang terjadi pada sistem skeletal akibat proses
menua:
1) Penurunan tinggi badan secara progresif.
2) Penurunan produksi tulang kortikal dan trabekular yang berfungsi sebagai
perlindungan terhadap beban gerakan rotasi dan lengkungan. Implikasi dari hal
ini adalah peningkatan terjadinya risiko fraktur.
d. Sistem muskular
Perubahan yang terjadi pada sistem muskular akibat proses menua yaitu waktu
untuk kontraksi dan relaksasi muskular memanjang. Implikasi dari hal ini adalah
perlambatan waktu untuk bereaksi, pergerakan yang kurang aktif. Perubahan
kolumna vertebralis, akilosis atau kekakuan ligamen dan sendi, penyusutan dan
sklerosis tendon dan otot, dan perubahan.
e. Sendi
Perubahan yang terjadi pada sendi akibat proses menua yaitu pecahnya
komponen kapsul sendi dan kolagen. Implikasi dari hal ini adalah nyeri, inflamasi,
penurunan mobilitas sendi, deformitas, kekakuan ligament dan sendi. Implikasi dari
hal ini adalah peningkatan risiko cedera.
3. Perubahan pada sistem persarafan
Sistem neurologis, terutama otak adalah suatu faktor utama dalam penuaan.
Neuron menjadi semakin komplek dan tumbuh, tetapi neuron tersebut tidak dapat
mengalami regenerasi. Perubahan struktural yang paling terlihat terjadi pada otak itu
sendiri. Perubahan ukuran otak yang dipengaruhi oleh atrofi girus dan dilatasi sulkus
dan ventrikel otak. Korteks serebral adalah daerah otak yang paling besar dipengaruhi
oleh kehilangan neuron. Penurunan aliran darah serebral dan penggunaan oksigen dapat
pula terjadi dengan penuaan.
4. Perubahan pada sistem endokrin
Perubahan pada sistem endokrin akibat penuaan antara lain produksi dari semua
hormon menurun, fungsi paratiroid dan sekresinya tidak berubah, terjadinya pituitari
yaitu pertumbuhan hormon ada tetapi lebih rendah dan hanya didalam pembuluh darah.
Menurunnya aktivitas tiroid, menurunnya BMR (Basal Metabolic Rate) dan
menurunnya daya pertukaran zat. Menurunnya produksi aklosteron dan menurunnya
sekresi hormon kelamin, misalnya progesteron, estrogen dan testosteron.
2.1.7 Penyakit Yang Sering Dijumpai Pada Lansia
Menurut Nugroho (2008), penyakit yang sering dijumpai pada lansia yaitu:
1. Penyakit Sistem Pernafasan
Fungsi paru-paru mengalami kemunduran dengan datangnya usia tua yang
disebabkan elastisitas jaringan paru dan dinding dada semakin berkurang. Dalam usia
yang lebih lanjut, kekuatan kontraksi otot pernafasan dapat berkurang sehingga sulit
bernafas. Fungsi paru menentukan konsumsi oksigen seseorang, yakni jumlah oksigen
yang diikat oleh darah dalam paru untuk digunakan tubuh. Jadi, konsumsi oksigen
sangat erat hubungannya dengan arus darah ke paru-paru. Dengan demikian mudah
dimengerti bahwa konsumsi oksigen akan menurun pada usia lanjut. Infeksi yang
sering diderita lanjut usia adalah pneumonia bahkan mempunyai angka kematian cukup
tinggi. Secara patofisiologis, lanjut usia tanpa penyakit saja sudah mengalami
penurunan fungsi paru, apalagi menderita Tuberkulosis/TB Paru maka akan jelas
memperburuk keadaan.
2. Penyakit Sistem Kardiovaskuler
Pada orang lanjut usia, umumnya besar jantung akan sedikit mengecil. Yang
paling banyak mengalami penurunan adalah rongga bilik kiri, akibat semakin
berkurangnya aktivitas. Yang juga mengalami penurunan adalah besarnya sel-sel otot
jantung hingga menyebabkan menurunnya kekuatan otot jantung. Tekanan darah akan
naik secara bertahap. Perubahan yang jauh lebih bermakna dalam kehidupan lanjut usia
adalah terjadi pada pembuluh darah. Proses yang disebut sebagai Arterisklerosis atau
pengapuran dinding pembuluh darah dapat terjadi dimana-mana. Proses pengapuran ini
akan berlanjut menjadi proses yang menghambat aliran darah yang pada suatu saat
dapat menutup pembuluh darah. Pada tahap awal gangguan dari dinding pembuluh
darah yang menyebabkan elastisitasnya berkurang memacu jantung bekerja lebih keras,
karena terjadi hipertensi. Bila terjadi sumbatan maka jaringan yang dialiri zat asam oleh
pembuluh darah ini akan rusak/mati, terjadi infark. Bila terjadi di otak akan terjadi
stroke, bila terjadi di jantung dapat menyebabkan infark jantung atau infark miokard.
3. Penyakit Sistem Pencernaan
Produksi saliva menurun sehingga mempengaruhi proses perubahan kompleks
karbohidrat menjadi disakarida. Fungsi ludah sebagai pelican makanan berkurang
sehingga proses menelan lebih sukar. Keluhan seperti, kembung, perasaan tidak enak di
perut dan sebagainya, seringkali disebabkan makanan yang kurang bisa dicerna akibat
berkurangnya toleransi terhadap makanan terutama yang mengandung lemak. Penyakit
dan gangguan pada lambung yaitu gastritis atau proses inflamasi pada lapisan mukosa
dan submukosa lambung, insidensi gastritis meningkat dengan lanjutnya proses menua.
Ulkus peptikum yang bisa terjadi di esophagus, lambung dan duodenum walaupun
kadar asam lambung pada lanjut usia sudah menurun, insidensi ulkus di lambung masih
lebih banyak di banding ulkus duodenum.
4. Penyakit Sistem Urogenital
Peradangan pada sistem urogenital terutama dijumpai di wanita lanjut usia berupa
peradangan kandung kemih sampai peradangan sisa akibat sisa air seni pada vesika
urinaria. Keadaan ini disebabkan berkurangnya tonus kandung kemih dan adanya tumor
yang menyumbat saluran kemih. Pada pria berusia 50 tahun, sisa air seni dalam
kandung kemih dapat disebabkan pembesaran kelenjar prostat (hipertrofi prostat).
5. Penyakit Gangguan Endokrin (Metabolik)
Penyakit metabolik yang banyak yang terjadi pada lanjut usia terutama
disebabkan menurunnya produksi hormon antara lain terlihat pada wanita mendekati 50
tahun yang ditandai dimulainya menstruasi yang tidak teratur sampai berhenti sama
sekali/menopause. Penyakit metabolik yang banyak dijumpai ialah diabetes mellitus
atau kencing manis dan onsteoporosis (berkurangnya zat kapur dan bahan-bahan
mineral sehingga tulang lebih mudah rapuh dan menipis).
6. Penyakit Persendian dan Tulang
Penyakit pada sendi ini adalah akibat degenerasi atau kerusakan pada permukaan
sendi-sendi tulang yang banyak dijumpai pada lansia. Hampir 8% orang berusia 50
tahun keatas mempunyai keluhan pada sendi-sendi, misalnya: linu-linu, pegal dan
kadang terasa seperti nyeri. Biasanya yang terkena ialah persendian pada jari-jari,
tulang punggung, sendi-sendi penahan berat tubuh (lutut dan punggung). Biasanya
nyeri akut pada persendian itu disebabkan oleh gout, hal ini disebabkan gangguan
metabolisme asam urat dalam tubuh.
2.2 Konsep Pengetahuan
2.2.1 Pengertian Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2012), pengetahuan (knowledge) adalah hasil tau dari
manusia yang sekedar menjawab pertanyaan “What”. Pengetahuan merupakan hasil dari
tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Penginderaan, penciuman, rasa dan raba. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain
yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior).
Pengetahuan merupakan hasil yang didapatkan dari rasa keingintahuan seseorang
melalui proses sensoris menggunakan panca indera terutama mata dan telinga terhadap
objek tertentu. Pengetahuan memiliki peran yang penting dalam terbentuknya perilaku
terbuka dan open behavior (Donsu, 2017).
Dengan bertambahnya umur seseorang dapat berpengaruh pada pertambahan
pengetahuan yang diperoleh, akan tetapi pada umur-umur tertentu kemampuan penerimaan
atau mengingat suatu pengetahuan akan berkurang (Agoes, 2013). Sedangkan menurut
Slameto (2012) menyebutkan bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang maka
semakin membutuhkan pusat-pusat pelayanan kesehatan sebagai tempat berobat bagi
dirinya dan keluarganya.
2.2.2 Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2014), pengetahuan seseorang terhadap suatu objek
mempunyai intensitas atau tingkatan yang berbeda-beda. Secara garis besarnya dibagi
dalam 6 tingkatan, yaitu:
1. Tahu (Know)
Tahu merupakan tingkatan yang paling bawah. Tahu diartikan sebagai mengingat
kembali (recall) segala sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang telah dipelajari
atau rangsangan yang telah diterima. Untuk mengukur seseorang tahu tentang apa yang
telah dipelajarinya dapat diukur dengan cara, seseorang dapat menyebutkan,
menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.
2. Memahami (Comprehension)
Memahami adalah tingkatan dimana orang tersebut bukan hanya sekedar tahu terhadap
objek, tetapi harus dapat menjelaskan dan menginterpretasikan secara benar tentang
objek yang diketahuinya. Seseorang yang telah memahami objek atau apa yang telah
dipelajarinya harus dapat menjelaskan, menyimpulkan dan menginterpretasikan objek
tersebut.
3. Aplikasi (Application)
Aplikasi adalah tingkatan dimana orang telah memahami materi yang telah dipelajari
dapat menerapkan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui pada situasi atau
kondisi yang sebenarnya. Aplikasi juga dapat diartikan sebagai aplikasi atau
penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau
situasi yang lain.
4. Analisis (Analysis)
Analisis merupakan suatu kemampuan menjelaskan yang dimiliki seseorang dalam
menjelaskan materi atau objek tertentu ke dalam kelompok-kelompok yang terdapat
dalam suatu masalah dan masih berkaitan satu sama lain. Seseorang yang sudah pada
tahap ini mampu membedakan, memisahkan, menggambarkan (membuat bagan) dan
mengelompokkan objek tersebut.
5. Sintesis (Synthesis)
Pada tingkatan pengetahuan ini seseorang dapat merangkum semua komponen
pengetahuan yang dimilikinya menjadi suatu bentuk keseluruhan yang baru. Pada tahap
ini kemampuan yang harus dimiliki seseorang yaitu menyusun, merencanakan,
mengkategorikan, mendesain dan menciptakan.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi merupakan tingkatan pengetahuan dimana seseorang mampu untuk melakukan
penilaian terhadap objek atau materi tertentu. Hal-hal yang dapat dilakukan seseorang
pada tahap ini antara lain merencanakan, memperoleh dan menyediakan informasi.
2.2.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut Astutik (2013) adapun beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan
seseorang yaitu:
1. Usia
Usia mempengaruhi daya tangkap dan pola fikir seseorang, semakin bertambahnya usia
maka semakin berkembang pula daya tangkap dan pola fikir seseorang. Setelah
melewati usia madya (40-60 tahun), daya tangkap dan pola fikir seseorang akan
menurun.
2. Pendidikan
Tingkat pendidikan dapat menentukan tingkat kemampuan seseorang dalam memahami
dan menyerap pengetahuan yang telah di peroleh. Umumnya, pendidikan
mempengaruhi suatu proses pembelajaran, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang
maka semakin baik tingkat pengetahuannya.
3. Pengalaman
Pengalaman adalah suatu proses dalam memperoleh kebenaran pengetahuan dengan
cara mengulang kembali pengetahuan yang telah diperoleh dalam memecahkan
masalah yang dihadapi saat masa lalu dan dapat digunakan dalam upaya memperoleh
pengetahuan.
4. Informasi
Jika seseorang memiliki tingkat pendidikan yang rendah, namun mendapatkan
informasi yang baik dari berbagai media seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dan
lain-lain, maka hal tersebut dapat meningkatkan pengetahuan seseorang.
5. Sosial budaya dan ekonomi
Tradisi atau kebiasaan yang sering dilakukan oleh masyarakat dapat meningkatkan
pengetahuannya, selain itu, status ekonomi juga dapat mempengaruhi pengetahuan
dengan tersedianya suatu fasilitas yang dibutuhkan oleh seseorang.
6. Lingkungan
Lingkungan sangat berpengaruh dalam proses penyerapan pengetahuan yang berada
dalam suatu lingkungan. Hal ini terjadi karena adanya interaksi yang akan direspon
sebagai pengetahuan oleh setiap individu.
2.2.4 Pengukuran Pengetahuan
Pengetahuan dapat diukur dengan cara melakukan tes wawancara serta angket
kuesioner, dimana tes tersebut berisikan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan
materi yang ingin diukur dari subyek penelitian (Notoatmodjo, 2010). Pengukuran tingkat
pengetahuan bertujuan untuk mengetahui status pengetahuan seseorang dan dirangkum
dalam tabel distribusi frekuensi.
Pengukuran tingkat pengetahuan seseorang dapat dikategorikan sebagai berikut :
1. Tingkat pengetahuan dikatakan baik jika responden mampu menjawab pernyataan pada
kuesioner dengan benar sebesar ≥ 75% dari seluruh pernyataan dalam kuesioner.
2. Tingkat pengetahuan dikatakan cukup jika reponden mampu menjawab pernyataan
pada kuesioner dengan benar sebesar 56-74% dari seluruh pernyataan dalam kuesioner.
3. Tingkat pengetahuan dikatakan kurang jika responden mampu menjawab pernyataan
pada kuesioner dengan benar sebesar < 55% dari seluruh pernyataan dalam kuesioner
(Budiman, 2013).
2.3 Dukungan Keluarga
2.3.1 Pengertian Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga menurut Friedman (2013) adalah sikap, tindakan penerimaan
keluarga terhadap anggota keluarganya berupa dukungan informasional, dukungan
penilaian, dukungan instrumental dan dukungan emosional.
Dukungan keluarga adalah bantuan yang dapat diberikan kepada anggota keluarga
lain berupa barang, jasa, informasi dan nasehat yang mampu membuat penerima dukungan
akan merasa disayang, dihargai dan tenteram. Dukungan ini merupakan sikap, tindakan dan
penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit. Anggota keluarga memandang bahwa
orang yang bersifat mendukung akan selalu siap memberi pertolongan dan bantuan yang
diperlukan. Dukungan keluarga yang diterima salah satu anggota keluarga dari anggota
keluarga yang lainnya dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi yang terdapat dalam
sebuah keluarga. Bentuk dukungan keluarga terhadap anggota keluarga adalah secara moral
atau material. Adanya dukungan keluarga akan berdampak pada peningkatan rasa percaya
diri pada penderita dalam menghadapi proses pengobatan penyakitnya (Misgiyanto &
Susilawati, 2014).
2.3.2 Bentuk Dukungan Keluarga
Bentuk-bentuk dukungan keluarga pada lansia hipertensi (Perdana, 2017) yaitu:
1. Dukungan Emosional
Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat serta pemulihan dan
membantu penguasaan terhadap emosi. Dukungan emosional yang diberikan keluarga
pada lansia meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk kasih sayang dan
perhatian seperti merawat lansia dengan penuh kasih sayang, mendampingi dan
menemani lansia saat menjalani perawatan, memperhatikan lansia selama sakit dan
mendengarkan keluhan-keluhan yang dirasakan oleh lansia.
2. Dukungan Informasional
Keluarga berfungsi sebagai pemberi informasi, dimana keluarga menjelaskan tentang
pemberian saran dan informasi yang dapat digunakan untuk mengungkapkan suatu
masalah. Dukungan informasional yang diberikan dapat diwujudkan dalam bentuk
memberikan informasi tentang hasil pemeriksaan lansia, menjelaskan terkait hal-hal
yang harus dihindari lansia selama masih mengalami hipertensi, mengingatkan lansia
untuk meminum obat, olahraga ringan, istirahat dan makan makanan yang perlu
dikonsumsi saat mengalami hipertensi.
3. Dukungan Instrumental
Keluarga merupakan sumber pertolongan praktis dan konkrit, diantaranya adalah dalam
hal kebutuhan keuangan, makan, minum dan istirahat. Dukungan instrumental yang
diberikan keluarga kepada lansia hipertensi seperti menyediakan waktu dan fasilitas
bagi lansia untuk keperluan pengobatan, menyediakan makanan yang khusus bagi
lansia yang mengalami hipertensi, membayar biaya perawatan lansia, serta membantu
lansia dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti makan, mandi, berpakaian dan
membantu lansia beranjak dari tempat tidur apabila lansia tidak mampu melakukannya
secara mandiri.
4. Dukungan Penghargaan
Keluarga yang bertindak membimbing dan menengahi pemecahan masalah, seperti
sumber dan validator identitas anggota keluarga diantaranya memberikan dukungan dan
penghargaan. Bentuk dukungan yang dapat diberikan seperti memberikan dukungan
dan semangat terhadap lansia, memberikan pujian terhadap lansia, melibatkan lansia
dalam pengambilan keputusan dan memberikan respon positif terhadap pendapat atau
perasaan lansia.
2.3.3 Fungsi Dukungan Keluarga
Menurut Friedman dalam Andarmoyo (2012), fungsi keluarga sebagai berikut:
1. Fungsi Afektif
Gambaran diri anggota keluarga, perasaan memiliki dan dimiliki dalam keluarga,
dukungan keluarga terhadap anggota keluarga lain, saling menghargai dan kehangatan
di dalam keluarga.
2. Fungsi Sosialisasi
Interaksi atau hubungan dalam keluarga, bagaimana keluarga belajar disiplin, norma,
budaya dan perilaku.
3. Fungsi Kesehatan
Sejauh mana keluarga menyediakan pangan, perlindungan dan merawat anggota yang
sakit, sejauh mana pengetahuan tentang masalah kesehatan, kemampuan keluarga untuk
melakukan 5 tugas kesehatan dalam keluarga serta kemauan keluarga untuk mengatasi
masalah kesehatan yang sedang dihadapi.
4. Fungsi Ekonomi
Keluarga memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan. Keluarga memanfaatkan
sumber yang ada di masyarakat dalam upaya peningkatan status kesehatan keluarga.
Hal yang menjadi pendukung keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang sehat,
fasilitas-fasilitas yang dimiliki keluarga untuk menunjang kesehatan. Fasilitas
mencakup fasilitas fisik, fasilitas psikologis atau dukungan dari masyarakat setempat.
2.3.4 Manfaat Dukungan Keluarga
Dukungan sosial keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa
kehidupan, sifat dan jenis dukungan sosial berbeda-beda dalam berbagai tahap-tahap siklus
kehidupan. Namun demikian, dalam semua tahap siklus kehidupan, dukungan sosial
keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal.
Sebagai akibatnya, hal ini meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga (Andarmoyo,
2012).
Friedman (1998) dalam Andarmoyo (2012) menyimpulkan bahwa baik efek-efek
penyangga (dukungan social menahan efek-efek negatif dari stress terhadap kesehatan) dan
efek-efek utama (dukungan sosial secara langsung mempengaruhi akibat-akibat dari
kesehatan) pun ditemukan. Sesungguhnya efek-efek penyangga dan utama dari dukungan
social terhadap kesehatan dan kesejahteraan boleh jadi berfungsi bersamaan. Secara lebih
spesifik, keberadaan dukungan sosial yang adekuat terbukti berhubungan dengan
menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit dan dikalangan kaum tua, fungsi
kognitif, fisik dan kesehatan emosi.
2.3.5 Faktor Yang Mempengaruhi Dukungan Keluarga
Menurut Suparyanto (2012) faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga adalah:
1. Faktor Internal
a. Tahap Perkembangan
Artinya dukungan dapat ditentukan oleh faktor usia dalam hal ini adalah
pertumbuhan dan perkembangan, dengan setiap rentang usia (bayi-lansia) memiliki
pemahaman dan respon terhadap perubahan kesehatan yang berbeda-beda.
b. Faktor Emosi
Faktor emosional juga mempengaruhi keyakinan terhadap adanya dukungan dan
cara melaksanakannya. Seseorang yang mengalami respons stress dalam setiap
perubahan hidupnya cenderung berespon terhadap berbagai tanda sakit, mungkin
dilakukan dengan cara mengkhawatirkan bahwa penyakit tersebut dapat
mengancam kehidupannya. Seseorang yang secara umum terlihat sangat tenang
mungkin mempunyai respon emosional yang kecil selama ia sakit. Seorang individu
yang tidak mampu melakukan koping secara emosional terhadap ancaman penyakit
mungkin akan menyangkal adanya penyakit pada dirinya dan tidak mau menjalani
pengobatan.
c. Spiritual
Aspek spiritual dapat terlihat dari bagaimana seseorang menjalani kehidupannya,
mencakup nilai dan keyakinan yang dilaksanakan, hubungan dengan keluarga atau
teman dan kemampuan mencari harapan dan arti dalam hidup.
2. Faktor Eksternal
a. Praktik Dalam Keluarga
Cara bagaimana keluarga memberikan dukungan biasanya mempengaruhi penderita
dalam melaksanakan kesehatannya. Misalnya : pasien hipertensi juga kemungkinan
besar akan melakukan tindakan pencegahan jika keluarganya melakukan hal yang
sama.
b. Pendidikan Dan Tingkat Pengetahuan
Keyakinan seseorang terhadap adanya dukungan terbentuk oleh variabel intelektual
yang terdiri dari pengetahuan, latar belakang pendidikan, dan pengalaman masa
lalu. Kemampuan kognitif akan membentuk cara berfikir seseorang termasuk
kemampuan untuk memahami faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit dan
menggunakan pengetahuan tentang kesehatan untuk menjaga kesehatan dirinya.
c. Faktor Sosial Ekonomi
Faktor sosial dan psikososial dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit dan
mempengaruhi cara seseorang mendefinisikan dan bereaksi terhadap penyakitnya.
Variabel psikososial mencakup: stabilitas perkawinan, gaya hidup dan lingkungan
kerja. Seseorang biasanya akan mencari dukungan dan persetujuan dari kelompok
sosialnya, hal ini akan mempengaruhi keyakinan kesehatan dan cara
pelaksanaannya. Semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang biasanya ia akan lebih
cepat tanggap terhadap gejala penyakit yang dirasakannya. Sehingga ia akan segera
mencari pertolongan ketika merasa ada gangguan pada kesehatannya.
d. Latar Belakang Budaya
Latar belakang budaya mempengaruhi keyakinan, nilai dan kebiasaan individu,
dalam memberikan dukungan termasuk cara pelaksanaan kesehatan pribadi.
2.4 Keaktifan Kontrol
2.4.1 Definisi Keaktifan Kontrol
Keaktifan adalah suatu kesibukan yang dilakukan oleh seseorang untuk
memperoleh sesuatu (Dian Suseno, 2012). Keaktifan lansia merupakan suatu bentuk
keterlibatan individu dalam suatu kegiatan. Keaktifan lansia mempunyai arti sama dengan
aktivitas banyak sedikitnya orang yang menyatakan diri ataupun seseorang yang memiliki
kegiatan yang membuat seseorang tersebut sibuk. Selain itu aktif juga merupakan suatu
kegiatan atau kesibukan yang sedang dijalani (Elis Agustina, 2017).
Keaktifan kontrol adalah perilaku seseorang dimana orang yang mengalami sakit
akan patuh untuk melakukan perawatan kesehatan. Menurut Sackett (1976) dalam Niven
(2008), kepatuhan pasien adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang
diberikan oleh professional kesehatan (Slamet B, 2007), mendefinisikan kepatuhan
(ketaatan) sebagai tingkat penderita melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang
disarankan oleh dokter atau orang lain.
Jadi keaktifan kontrol pada lansia dengan hipertensi adalah suatu perilaku yang
positif terutama terkait dengan motivasi untuk sembuh. Keaktifan kontrol dapat menjadi
suatu tolak ukur sejauh mana perkembangan dan keberhasilan seseorang dalam
menjalankan proses pengobatan yang harus dihadapi. Kontrol pada pasien hipertensi
merupakan hal yang penting untuk diperhatikan mengingat hipertensi merupakan penyakit
yang tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikendalikan.
2.4.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Keaktifan Kontrol Pada Lansia
Faktor-faktor yang mempengaruhi keaktifan lansia dalam melakukan kontrol atau
kunjungan, antara lain:
1. Pengetahuan lansia
Menurut Siti Rahmah (2018) pengetahuan merupakan hasil “tahu”, dan ini terjadi
setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan
terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba, sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata
dan telinga. Dengan banyaknya pengetahuan apalagi mengenai kesehatan, maka
seharusnya setiap penderita dapat mengetahui penyebab, cara mengobati dan
melindungi diri dari penyakit tersebut.
Pengetahuan merupakan salah satu faktor penentu dalam kaitannya dengan
perilaku seseorang. Melalui riset dapat disimpulkan bahwa dengan semakin baik
pengetahuan penderita mengenai penyakit hipertensi, maka kemungkinannya untuk
aktif melakukan kontrol ke fasilitas kesehatan juga akan semakin tinggi (Siti Rahmah,
2018).
Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Mappagerang yang
membuktikan bahwa adanya hubungan bermakna antara pengetahuan dengan kontrol
diet rendah garam di Puskesmas Anggareja Kabupaten Enrekang tahun 2018. Salah
satu upaya untuk dapat meningkatkan pengetahuan penderita, diantaranya adalah
dengan giat melakukan promosi kesehatan secara rutin dan langsung terjun ke
masyarakat sehingga kesadaran penderita untuk melakukan kontrol semakin baik.
Pengetahuan yang rendah tentang manfaat kontrol pada lansia dapat menjadi kendala
bagi lansia dalam keaktifan untuk kontrol. Pengetahuan yang salah tentang tujuan dan
manfaat kontrol dapat menimbulkan salah persepsi yang akhirnya kunjungan lansia
untuk kontrol rendah.
2. Dukungan keluarga
Salah satu upaya untuk menciptakan sikap penderita patuh dalam pengobatan
adalah adanya dukungan keluarga. Hal ini karena keluarga sebagai individu terdekat
dari penderita. Tidak hanya memberikan dukungan dalam bentuk lisan, namun keluarga
juga harus mampu memberikan dukungan dalam bentuk sikap. Misalnya keluarga
membantu penderita untuk mencapai suatu pelayanan kesehatan (Siti Rahmah, 2018).
Sulistio Rini (2017) dukungan keluarga merupakan bantuan atau dukungan yang
positif yang diberikan oleh orang-orang tertentu terhadap individu dalam kehidupannya
serta dalam lingkungan sosial tertentu sehingga individu yang menerima merasa
diperhatikan, dihargai, dihormati dan dicintai. Individu yang menerima dukungan akan
lebih percaya diri dalam menghadapi kehidupan sehari-hari. Semakin keluarga
mendukung lansia maka keaktifan lansia akan semakin meningkat.
Dukungan keluarga menurut Arnia (2017) mengatakan bahwa dukungan keluarga
tidak bermakna secara statis karena sifat dan sikap lansia mengalami penurunan seperti
saat lansia masih dewasa sehingga dukungan dan kontrol keluarga serta orang terdekat
sangat berpengaruh pada aktivitas keseharian lansia. Keluarga kadang tidak
menghiraukan atau melupakan jadwal kunjungan lansia, sedangkan lansia sendiri butuh
diingatkan berhubungan dengan faktor ingatan yang sudah menurun oleh karena proses
degenerative, sehingga terjadi rentang yang sangat berjauhan antara lansia yang
memiliki dukungan keluarga yang baik dan lansia dengan dukungan keluarga kurang.
Menurut Novian (2013), dukungan keluarga yang baik dapat memberikan
motivasi bagi penderita hipertensi untuk selalu melakukan aktifitas kontrol kepada
petugas kesehatan di puskesmas. Setiap anggota keluarga baik ayah, ibu, anak maupun
saudara, serta anggota keluarga terdekat lainnya harus mampu memberikan
dukungan/dorongan ke arah yang positif, sehingga para penderita hipertensi dapat
menjalankan proses pengobatan dengan lebih bersemangat karena merasa didukung dan
dihargai secara penuh.
3. Motivasi
Menurut Sulistianingsih (2016), menyatakan bahwa semakin tinggi motivasi yang
dimiliki seseorang maka akan menimbulkan semangat yang lebih tinggi. Seseorang
akan berhasil dalam mencapai tujuannya kalau di dalam diri sendiri ada dorongan atau
motivasi.
Motivasi adalah suatu dorongan yang timbul oleh adanya rangsangan-rangsangan
dari dalam maupun dari luar sehingga seseorang berkeinginan untuk mengadakan
perubahan tingkah laku atau aktivitas tertentu yang lebih baik dari sebelumnya (Uno,
2019).
4. Kondisi Fisik Lansia
Menurut Hidawati (2016), menyatakan bahwa usia lansia adalah usia yang rawan
dengan penyakit mulai dari penyakit penglihatan, pendengaran, pernafasan, jantung,
pencernaan, pergerakan, persyarafan dan saluran perkemihan. Hal ini menunjukkan
sudah menurunnya system organ dalam tubuh lansia sehingga menjadi keterbatasan
lansia dalam beraktifitas.
Lansia memiliki dua fakta sosial dan biologi. Secara fakta sosial, lansia
merupakan suatu proses penarikan diri seseorang dari berbagai status dalam suatu
struktur. Sedangkan secara biologi/fisik, pertambahan usia dapat berarti semakin
melemah nyaman usia secara fisik dan kesehatan lansia (Danu, 2017).
Bertambahnya umur lansia akan semakin meningkatkan ketergantungannya
kepada kaum yang lebih muda. Hal ini disebabkan secara alami lansia mengalami
perubahan fisik, mental, ekonomi dan psikososial, sehingga menyebabkan lansia
memerlukan pelayanan kesehatan seperti kegiatan pembinaan kesehatan lansia (Dwi
dkk, 2016).
2.5 Konsep Hipertensi
2.5.1 Pengertian Hipertensi
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan tekanan
darah diatas normal yang meningkatkan peningkatan angka kesakitan (morbiditas) dan
angka kematian/mortalitas. Tekanan darah 140/90 mmHg didasarkan pada dua fase dalam
setiap denyut jantung yaitu fase sistolik 140 menunjukan fase darah yang sedang di pompa
oleh jantung dan fase diastolik 90 menunjukan fase darah yang kembali ke jantung
(Triyanto, 2014).
Menurut Kemenkes (2013), hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan
tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90
mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup
istirahat/tenang. Pada populasi lansia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160
mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg (Smeltzer & Bare, 2013).
Hipertensi pada lanjut usia sebagian besar merupakan hipertensi sistolik terisolasi
(HST), dan pada umumnya merupakan hipertensi primer. Adanya hipertensi, baik HST
maupun kombinasi sistolik dan diastolik merupakan faktor risiko morbiditas dan mortalitas
untuk orang lanjut usia (Pranama, Okatiranti, & Ningrum, 2016).
2.5.2 Klasifikasi Hipertensi
Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa (Triyanto, 2014)

Kategori Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah Diastolik


Normal Dibawah 130 mmHg Dibawah 85 mmHg
Normal - Tinggi 130 - 139 mmHg 85 - 89 mmHg
Stadium 1 (hipertensi ringan) 140 - 159 mmHg 90 - 99 mmHg
Stadium 2 (hipertensi sedang) 160 - 179 mmHg 100 - 109 mmHg
Stadium 3 (hipertensi berat) 180 - 209 mmHg 110 - 119 mmHg
Stadium 4 (hipertensi maligna) 210 mmHg atau lebih 120 mmHg atau lebih
2.5.3 Etiologi Hipertensi
Ada beberapa faktor yang menyebabkan hipertensi pada lansia seperti umur,
riwayat keluarga, obesitas, merokok, konsumsi alkohol, kurang olahraga, banyak
mengonsumsi garam dan stress yang dialami oleh lansia (Wahyuningsih & Astuti, 2013).
2.5.4 Manifestasi Klinis Hipertensi Pada Lansia
Kebanyakan penderita hipertensi pada lansia tidak memiliki gejala (asimtomatik).
Gejala yang biasanya dijumpai pada hipertensi yaitu pusing, palpitasi (jantung berdebar-
debar) atau sakit kepala. Sakit kepala pada pagi hari terutama didaerah oksipital merupakan
karakteristik dari hipertensi stadium II. Kerusakan target organ seperti stroke, penyakit
jantung kongestif, atau gagal ginjal mungkin merupakan tanda awal hipertensi (Sihombing
dkk, 2016).
2.5.5 Faktor-faktor Risiko Hipertensi
Adapun faktor risiko hipertensi menurut Triyanto (2014) antara lain:
1. Faktor Genetik
Pada 70-80 kasus hipertensi esensial, didapatkan riwayat hipertensi keluarga. Apabila
riwayat hipertensi didapatkan pada kedua orangtua maka dugaan hipertensi esensial
lebih besar. Hipertensi juga banyak dijumpai pada penderita kembar monozigot (satu
telur), apabila salah satunya menderita hipertensi. Riwayat keluarga juga merupakan
masalah yang memicu terjadinya masalah hipertensi cenderung merupakan penyakit
keturunan. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan
rendahnya rasio antara potasium terhadap sodium intraseluler dan rendahnya rasio
antara potasium terhadap sodium individu dengan orangtua dengan hipertensi
mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari pada orang yang
tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi (Triyanto, 2014).
2. Faktor Usia
Faktor usia sangat berpengaruh terhadap hipertensi karena dengan bertambahnya umur
maka semakin tinggi mendapat risiko hipertensi. Ini sering disebabkan oleh perubahan
alamiah didalam tubuh yang mempengaruhi jantung, pembuluh darah fan hormon.
Hipertensi pada yang berusia kurang dari 35 tahun akan menaikkan insiden penyakit
arteri koroner dan kematian prematur.
3. Jenis Kelamin
Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita. Namun wanita
terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause. Wanita yang belum
mengalami menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan dalam
meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL yang
tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis.
Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas wanita pada
usia premenopause (Triyanto, 2014).
4. Stres
Stres berpengaruh terhadap timbulnya hipertensi esensial. Hubungan antara stress
dengan hipertensi, diduga melalui aktivasi saraf simpatis. Saraf simpatis adalah saraf
yang bekerja pada saat kita beraktivitas. Apabila stress berkepanjangan, dapat
meningkatkan tekanan darah tinggi. Tekanan darah tinggi sering intermiten pada awal
perjalanan penyakit. Bahkan pada kasus yang sudah ditegakkan diagnosisnya, sangat
berfluktuasi sebagai akibat dari respon terhadap stress emosional dan aktivitas fisik
(Triyanto, 2014).
5. Obesitas (Kegemukan)
Kegemukan merupakan ciri khas dari populasi hipertensi dan dibuktikan bahwa faktor
ini mempunyai kaitan erat dengan terjadinya hipertensi di kemudian hari. Terbukti
bahwa daya pompa jantung dan sirkulasi volume penderita obesitas dengan hipertensi
lebih tinggi daripada penderita hipertensi dengan berat badan normal (Triyanto, 2014).
6. Asupan Garam
Garam merupakan faktor penting dalam patogenesis hipertensi. Garam menyebabkan
penumpukan cairan didalam tubuh, karena menarik cairan luar sehingga tidak keluar,
sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Pada manusia, tingkat
konsumsi garam sebanyak 3 gram atau kurang ditemukan tekanan darah rata-rata
rendah, sedangkan asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan darahnya rata-rata lebih
tinggi. Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium didalam
cairan akstraselular meningkat. Untuk menormalkannya cairan intraseluler ditarik ke
luar, sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume cairan
ekstraseluler tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah, sehingga berdampak
kepada timbulnya hipertensi (Triyanto, 2014).
7. Kebiasaan Merokok
Zat-zat beracun, seperti nikotin dan karbon yang dihisap melalui rokok akan masuk
kedalam aliran darah dan merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri,
mengakibatkan proses aterosklerosis dan hipertensi. Nikotin didalam tembakau yang
menjadi penyebab meningkatnya tekanan darah segera setelah isapan pertama. Hanya
dalam beberapa detik nikotin sudah mencapai otak. Otak bereaksi terhadap nikotin
dengan memberi sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepas epinefrin (adrenalin).
Hormon yang kuat ini akan menyempitkan pembuluh darah dan memaksa jantung
untuk bekerja lebih keras karena tekanan yang lebih tinggi (Triyanto, 2014).
2.5.6 Komplikasi Hipertensi
Komplikasi hipertensi menurut (Triyanto, 2014) sebagai berikut :
1. Stroke
Stroke dapat timbul akibat perdarahan tekanan tinggi di otak, atau akibat embolus yang
terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke sendiri
merupakan kematian jaringan otak yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dan
oksigen ke otak. Biasanya kasus ini terjadinya secara mendadak dan menyebabkan
kerusakan otak dalam beberapa menit.
2. Infark Miokard
Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang arterosklerosis tidak dapat
menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk thrombus yang
menghambat aliran darah melalui pembuluh darah tersebut. Hipertensi kronik dan
hipertensi ventrikel, maka kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat
terpenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark.
3. Gagal Ginjal
Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada
kapiler-kapiler ginjal, glomerulus. Dengan rusaknya glomerulus, darah akan mengalir
ke unit-unit fungsional ginjal, nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi
hipoksis dan kematian.
4. Gagal Jantung
Tekanan darah yang terlalu tinggi memaksa otot jantung bekerja lebih berat untuk
memompa darah dan menyebabkan pembesaran otot jantung kiri sehingga jantung
mengalami gagal fungsi. Pembesaran pada otot jantung kiri disebabkan kerja keras
jantung untuk memompa darah. Ketidakmampuan jantung dalam memompa darah yang
kembalinya ke jantung dengan cepat mengakibatkan cairan terkumpul di paru, kaki dan
jaringan lain sering disebut edema.
2.5.7 Pencegahan Hipertensi
Pencegahan agar terhindar dari komplikasi fatal hipertensi menurut Triyanto (2014)
dengan cara sebagai berikut :
1. Mengurangi konsumsi garam
Pembatasan konsumsi garam sangat dianjurkan, maksimal 2 garam dapur untuk diet
setiap hari.
2. Olahraga teratur
Menurut penelitian, olahraga secara teratur dapat menyerap atau menghilangkan
endapan kolesterol dan pembuluh nadi. Olahraga yang dimaksud adalah latihan
menggerakan semua sendi dan otot tubuh (latihan isotonik atau dinamik), seperti gerak
jalan, berenang, naik sepeda. Tidak dianjurkan melakukan olahraga yang menegangkan
seperti tinju, gulat atau angkat besi, karena latihan yang berat bahkan dapat
menimbulkan hipertensi (Triyanto, 2014).
3. Makan banyak buah dan sayuran segar
Buah dan sayuran segar mengandung banyak vitamin dan mineral. Buah yang banyak
mengandung mineral kalium dapat membantu menurunkan tekanan darah.
4. Tidak merokok dan minum alkohol
5. Latihan relaksasi atau meditasi
Relaksasi atau meditasi berguma untuk mengurangi stress atau ketegangan jiwa.
Relaksasi dilaksanakan dengan mengencangkan dan mengendorkan otot tubuh sambil
membayangkan sesuatu yang damai, indah dan menyenangkan. Relaksasi dapat pula
dilakukan dengan mendengarkan music, atau bernyanyi (Triyanto, 2014).
2.5.8 Penatalaksanaan Hipertensi Pada Lansia
Sebagian besar pasien lansia yang didiagnosis hipertensi pada akhirnya menjalani terapi
menggunakan obat anti hipertensi. Pengobatan hipertensi secara farmakologi pada usia
lanjut sedikit berbeda dengan usia muda, hal ini dikarenakan adanya perubahan-perubahan
fisiologis akibat proses menua. Perubahan fisiologis yang terjadi pada lansia menyebabkan
konsentrasi obat menjadi lebih besar, waktu eliminasi obat menjadi lebih panjang, terjadi
penurunan fungsi dan respon dari organ, adanya berbagai penyakit penyerta lainnya
(Sihombing dkk, 2016).
Adapun penatalaksanaan non farmakologik dan farmakologik pada lansia yaitu:
1. Penatalaksanaan non farmakologik
Modifikasi gaya hidup selalu diajarkan sebagaimana penanganan hipertensi pada
umumnya, bahkan pada sebagian pasien hipertensi ringan dapat dilakukan tanpa obat.
Tindakan penghentian merokok, pengendalian berat badan, mengurangi stress mental,
pembatasan konsumsi garam dan alkohol, serta meningkatkan aktivitas fisik dapat
menurunkan tekanan darah pada lansia (Sihombing dkk, 2016).
Dukungan keluarga juga berperan dalam pengendalian hipertensi pada lansia,
dimana dukungan social keluarga dapat meningkatkan motivasi lansia untuk menjaga
perilaku hidup sehat dalam mengendalikan hipertensi (Herlina dkk, 2013).
2. Penatalaksanaan farmakologik
Prinsip pengobatan hipertensi pada lansia selalu dimulai dengan dosis rendah dan
dinaikkan bertahap sampai mencapai target. Berbagai kelas obat telah terbukti
menurunkan tekanan darah pada lansia, baik secara tunggal maupun yang lebih sering
dalm bentuk kombinasi. Diuretik, penyekat beta (blocker), Calcium Channel Blocker
(CCB), Angiotensin Converting Enzyme-Inhibitor (ACE-Inhibitor), Angiostensin
Reseptor Blocker (ARB), dan yang terakhir adalah golongan Direct Renin Inhibitor
(DRI) semua telah terbukti dapat menurunkan tekanan darah dan mengurangi tingkat
morbiditas dan mortalitas pada pasien hipertensi.
2.6 Kerangka Teori

Lansia merupakan seseorang yang mencapai


usia 60 tahun ke atas (Puteri, 2013)

Batasan usia lansia Klasifikasi lansia


1. Pra lansia
1. Usia pertengahan (middle age) = 44 sampai 59 thn 2. Lansia
2. Usia lanjut (elderly) = 60-74 tahun 3. Lansia risiko tinggi
3. Lanjut usia tua (old) = 75-90 tahun 4. Lansia potensial
4. Usia sangat tua (very old) > 90 tahun (WHO, 2016) 5. Lansia tidak potensial

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah Dukungan keluarga


Pengetahuan peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari
140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih Dukungan keluarga
Pengetahuan merupakan adalah sikap, tindakan
dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan
hasil dari tahu, dan ini penerimaan keluarga
selang waktu lima menit dalam keadaan cukup
terjadi setelah orang terhadap anggota
istirahat / tenang (Kemenkes, 2013)
melakukan penginderaan keluarganya berupa
terhadap suatu objek dukungan informasional,
tertentu. Penginderaan, Komplikasi dukungan penilaian,
penciuman, rasa dan raba dukungan instrumental
(Notoatmodjo, 2012). Stroke, Infark miokard, Gagal ginjal, Gagal dan dukungan emosional
jantung (Triyanto, 2014). (Friedman, 2013).

Tingkat pengetahuan Penatalaksanaan Bentuk dukungan


keluarga
1. Tahu (Know) 1. Penatalaksanaan non farmakologik
2. Memahami 2. Penatalaksanaan farmakologik 1. Dukungan emosional
(Comprehension) 2. Dukungan
3. Aplikasi informasional
Keaktifan kontrol pada lansia dengan hipertensi
(Application) 3. Dukungan
adalah suatu perilaku yang positif terutama
4. Analisis (Analysis) instrumental
terkait dengan motivasi untuk sembuh.
5. Sintesis (Synthesis) Keaktifan adalah suatu kesibukan yang 4. Dukungan
6. Evaluasi (Evaluation) dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh penghargaan
(Notoatmodjo,2014). sesuatu (Dian Suseno, 2012). (Perdana, 2017).

Gambar 2.1 Kerangka Teori Hubungan Tingkat Pengetahuan Dan Dukungan


Keluarga Dengan Keaktifan Kontrol Pada Lansia Dengan Hipertensi
Di Puskesmas Pasir Panjang Kota Kupang.
2.7 Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah suatu uraian dan visualisasi tentang hubungan atau kaitan antara
konsep-konsep atau variabel-variabel yang akan diamati atau diukur melalui penelitian yang
akan dilakukan (Notoatmodjo, 2012).

Faktor-faktor yang mempengaruhi Faktor-faktor yang mempengaruhi


pengetahuan : dukungan keluarga :

1. Usia 1. Faktor internal


2. Pendidikan - Tahap perkembangan
3. Pengalaman - Faktor emosi
4. Informasi - Spiritual
5. Sosial budaya dan ekonomi 2. Faktor eksternal
6. Lingkungan - Praktik dalam keluarga
- Pendidikan dan tingkat pengetahuan
- Faktor sosial ekonomi
- Latar belakang budaya

Pengetahuan lansia tentang Dukungan keluarga pada


hipertensi lansia

Keaktifan kontrol lansia


penderita hipertensi

Keterangan :
: Diteliti
: Tidak diteliti
: Berpengaruh

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Dukungan


Keluarga Dengan Keaktifan Kontrol Pada Lansia Dengan Hipertensi Di
Puskesmas Pasir Panjang Kota Kupang.
2.8 Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan penelitian
(Nursalam, 2016). Dari kerangka konsep diatas, hipotesis dalam penelitian ini adalah:
“Semakin baik tingkat pengetahuan lansia tentang hipertensi dan dukungan keluarga kepada
lansia, maka semakin baik pula keaktifan kontrol pada lansia penderita hipertensi”.
DAFTAR PUSTAKA

1. Agoes. 2013, Hubungan Tingkat Pengetahuan tentang Faktor Resiko Hipertensi dengan
Kejadian Hipertensi. (Diakses Januari 2016).
2. Agustina Elis. (2017). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Keaktifan Lansia Dalam
Mengikuti Kegiatan Posyandu Lansia. Skripsi. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Insan
Cendekia Medika Jombang.
3. Andarmoyo, S. 2012. Keperawatan Keluarga Konsep Teori, Proses dan Praktik Keperawatan.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
4. Arnia, (2017). Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Keaktifan Lansia Dalam
Mengikuti Kegiatan Posyandu Di Puskesmas Samata.
5. Astutik, (2013). Data dan Riset Kesehatan Daerah Dasar: (Riskesdas).
6. Budiman dan Riyanto, (2013). Kapita Selekta Kuesioner : Pengetahuan dan Sikap dalam
Penelitian Kesehatan, Penerbit Salemba Medika, Jakarta, pp. 11-22.
7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Buletin jendela data dan informasi
kesehatan. Diakses pada tanggal 13 Januari 2016 dari
http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/buletin/buletin-lansia.pdf.
8. Dewi, R.P. 2013. Penyakit Penyakit Mematikan. Yogyakarta : Nuha Medika.
9. Donsu, J. D. T. 2017. Psikologi Keperawatan. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
10. Friedman, M. M. (2013). Buku Ajar Keperawatan Keluarga : Riset, Teori, dan Praktik.
Jakarta: EGC.
11. Junaedi, Edi. 2013. Hipertensi kandas Berkat Herbal, Jakarta: Imprint Argo Media Pustaka.
12. Junianto, Danu (2017). Hubungan Keaktifan Dengan Status Kesehatan Lansia Di Posyandu
Lansia Anggrek 02 Wilayah Kerja Puskesmas Sumberbaru Jember.
13. Kemenkes. (2013). Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di Indonesia. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Diakses pada tanggal 28 Agustus 2018 dari
www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/buletin/buletin-lansia.pd
14. Kemenkes RI. 2016. Situasi Lanjut Usia (Lansia) di Indonesia. Infodatin Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. ISSN 2442-7659.
15. Kontjoro, S. Z. (2012). Dukungan Sosial Pada Lansia. Diakses pada tanggal 22 Juli 2016.
16. Listyana Wijayanti, (2017). Skripsi Hubungan Pengetahuan Keluarga Tentang Hipertensi
Dengan Dukungan Keluarga Dalam Proses Penyembuhan Hipertensi Pada Lansia Di
Puskesmas Banjarejo Kota Madiun. Diakses pada 2017.
17. Mahfudz B.P.S. (2015). Hubungan Tingkat Pengetahuan Dan Dukungan Keluarga Dengan
Keaktifan Kontrol Pada Penderita Hipertensi Di Wilayah Puskesmas Gatak Kabupaten
Sukoharjo.
18. Mappagerang, R., Alimin, M., & Anita, A. (2018). Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Pada
Penderita Hipertensi Dengan Kontrol Diet Rendah Garam. JIKP Jurnal Ilmiah Kesehatan
PENCERAH, 7(1), 37-44
19. Misgiyanto & Susilawati, D. (2014). Hubungan Antara Dukungan Keluarga dengan Tingkat
Kecemasan Penderita Kanker Serviks Paliatif, Semarang: Universitas Diponegoro.
20. Nikma K.D, (2016). Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Motivasi Lansia Dalam
Pengontrolan Hipertensi Di Posyandu Mawar Merah Wilayah Kerja Puskesmas Juanda
Kelurahan Air Hitam.
21. Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, pp. 127.
22. Notoatmodjo, S. (2012). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
23. Notoatmodjo, S. (2012). Pengantar pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan.
Yogyakarta: Adi Offset.
24. Notoatmodjo, S. (2014). Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
25. Novian, Arista, (2013). Kepatuhan diit pasien hipertensi. KEMAS: Jurnal Kesehatan
Masyarakat, 9 (1), 100-105.
26. Nugroho. (2012). Keperawatan gerontik & geriatrik, edisi 3. Jakarta : EGC.
27. Padila. (2013). Buku ajar keperawatan gerontik. Yogyakarta : Nuha Medika.
28. Perdana, M. A. (2017). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Diit Hipertensi
Pada Lansia Di Dusun Depok Ambarketawang Gamping Sleman Yogyakarta. Diakses pada
tanggal 10 Oktober 2018 dari http://digilib.unisayogya.ac.id/2961/1/NASKAH
%20PUBLIKASI%20FIX%20PDF.pdf
29. Puteri, A. E. (2015). Hubungan Lamanya Hipertensi dengan Gangguan Kognitif pada Lansia
di Posyandu Lansia Wilayah Puskesmas Padang Bulan Tahun 2015. Diakses pada tanggal 2
September 2018 dari http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/56130
30. Pramana, M. A. (2016). Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Kejadian Hipertensi di Panti
Sosial Tresna Werdha Senjarawi Bandung. Jurnal Ilmu Keperawatan, 116-128. Diakses pada
11 Oktober 2018 dari https://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/indeks.php/jk/article/download/
863/709
31. Sihombing, B., Aprilia, D., Purba, A., & Sinurat, F. (2016). Penatalaksanaan Hipertensi Pada
Usia Lanjut. 1-35. Di akses pada tanggal 30 Agustus 2018 dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/63271/018%20.pdf?sequence=1
32. Siti Rahmah, 2018. Hubungan Pengetahuan, Sikap Dan Dukungan Keluarga Dengan
Keaktifan Kontrol Penderita Hipertensi Di Puskesmas Durian Gantang Kabupaten Hulu
Sungai Tengah.
33. Slameto, 2012. Belajar Dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya, Rikene Cipta, Jakarta.
34. Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC.
35. Sulistianingsih, (2016). Hubungan Motivasi Dengan Frekuensi Kunjungan Ke Posyandu
Laraslestari II Pada Lansia Di Dusun Karang Tengah Sleman Yogyakarta.
36. Sulistio Rini, (2017). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Keaktifan Lansia Dalam
Mengikuti Posyandu Lansia Di Dusun Kronggahan Gamping Kabupaten Sleman.
37. Suparyanto. (2012). Konsep Dukungan Keluarga. http://konsep-dukungan-
keluarga.blogspot.com. (diunduh pada tanggal 08 Oktober 2012.
38. Suseno, Dian (2012). Faktor Yang Mempengaruhi Keaktifan Lansia Dalam Mengikuti
Kegiatan Posyandu Lansia Di Desa Kauman Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten.
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah, Surakarta.
http://eprints.ums.ac.id/20530/
39. Triyanto. E, (2014). Pelayanan Keperawatan Bagi Penderita Hipertensi Secara Terpadu,
Yogyakarta : Ruko Jambusari
40. Wahyuningsih, & Astuti, E. (2013). Faktor yang Mempengaruhi Hipertensi Pada Usia
Lanjut. Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia, 71-75.
41. WHO 2011. World Health Organization. World Health Statistic. Geneva : WHO. Retrieved
December 5, 2015.
42. Yeni, dkk. 2016. Dukungan Keluarga Mempengaruhi Kepatuhan Pasien Hipertensi. Jurnal
Keperawatan Indonesia, Volume 19 N0.3, November 2016, hal 137-144.

Anda mungkin juga menyukai