Anda di halaman 1dari 28

“MAKALAH ASKEP PADA LANSIA DENGAN FRAKTUR”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gerontik


Dosen Pengampu :

Kelompok

(CKR02000)

(CKR02000)

Mawar Widayah (CKR0200018)

(CKR02000)

(CKR02000)

(CKR02000)

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN

Jalan Lingkar Bayuning No.2, Kadugede, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat 45561

Telp. (0232) 87584 Fax. 0232-875123 Email : infostikeskuningan.ac.id


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat
kepada kami semua, sehingga makalah ini dapat dikerjakan dengan baik. Makalah ini
diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah “Keperawatan Keluarga”, tentang “ASKEP
PADA LANSIA DENGAN FRAKTUR”

Dengan segala kerendahan hati, kami ucapkan banyak terimakasih kepada pihak yang
telah membantu kami dalam penyelesaian makalah ini. Kami harap makalah ini bisa
bermanfaat, berguna khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca.

Terlepas dari itu semua, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat ataupun bahasanya. Oleh karena itu, dengan senang hati kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Kuningan , 7 Juli 2023

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seiring bertambahnya usia, lansia mengalami perubahan morfologis pada otot yang
menyebabkan penurunan fungsional otot, yaitu kekuatan dan kontraksi otot. elastisitas
dan fleksibilitas otot, serta kecepatan dan waktu reaksi. Penurunan fungsi serta kekuatan
otot meningkatkan risiko jatuh, dan juga dapat diperburuk oleh faktor dari lingkungan
(pencahayaan yang buruk, lantai yang licin).
Untuk bisa terjadi fraktur pada usia lanjut sering terjadi hanya dengan traumaringan
atau bahkan tanpa ada kekerasan yang nyata. Adanya tekanan berat dari lantaisaat jatuh
hanya merupakan sebagian dari penyebab fraktur tersebut. Pada lansia,stress utama pada
tulang justru datang dari daya yang sangat kuat dari otot yang berinsersi di tulang
tersebut.
Jatuh merupakan seringkali menjadi hal yang ditakuti oleh lansia.Komplikasi dari
jatuh yang paling sering terjadi adalah hip fracture. Fraktur pada pergelangan tangan dan
lengan atas merupakan jenis fraktur yang juga cukup sering terjadi akibat jatuh. Selain
menyebabkan trauma fisik, jatuh juga menyebabkan dampak psikologis seperti syok
setelah jatuh, rasa takut akan jatuh, rasa cemas, hilangnya rasa percaya diri dan
pembatasan dalam aktivitas sehari-hari.
Fraktur yang terjadi pada kolum femur dan intertrokanter femur memiliki frekuensi
yang hampir sama Sembilan dari 10 fraktur tulang pinggul, terjadi pada pasien usia 65
tahun atau lebih, dengan wanita memiliki frekuensi tiga kali lipat lebih sering daripada
pria. Faktor risiko terjadinya fraktur selain usia dan jenis kelamin adalah ras, ganguan
neurologis, malnutrisi, keganasan dan kurangnya aktivitas fisik. Sembilan puluh persen
kasus fraktur tulang pinggul pada populasi lansia terjadi karena jatuh, diperburuk oleh
ganguan berjalan sebelum kejadian, berkurangnya waktu bereaksi dan penglihatan yang
kurang baik.
Fraktur pada intertrokanter femur terjadi sekitar lebih dari 200.000 pasien setiap
tahunnya di Amerika Serikat pada pasien diatas 70 tahun dengan mortalitas 15-30%.
Fraktur tulang pinggul (intertrokanter dan leher femur) meliputi 30% semua pasien rawat
inap di Amerika serikat, dan diperkirakan biaya perawatannya 10 miliar USD per tahun.
Dalam 4 dekade terakhir, jumlah kejadian fraktur tulang pinggul telah meningkat
sebesar 300% di Hong Kong. dan 500% di Singapore.Sedangkan didaratan China.yang
dulunya termasuk "low risk area", hampir 70 juta penduduk usia 50 tahun ke atas
menderita osteoporosis, serta menyebabkan sekitar 687.000 kasus fraktur tulang pinggul
setiap tahunnya. Insiden hip fracture di Indonesia sendiri sekitar 119 dari 100.000
penduduk (pria dan wanita) setiap tahunnya. Sekitar 38.618 kasus fraktur tulang pinggul
yang terjadi pada tahun 2010, lebih dari setengah terjadi pada individu dengan kisaran
nilai T-scores osteopenia.
Osteoporosis adalah suatu kondisi tulang mengalami pengeroposan. Hal ini
meningkatkan risiko fraktur, sehingga mempengaruhi angka harapan hidup dan kualitas
hidup. Hip Fracture merupakan konsekuensi paling berat dan paling sering dari
osteoporosis. Lebih dari 250.000 kasus hip fracture berkaitan crat dengan kejadian
osteoporosis. Kejadian fraktur tulang pinggul meningkat setiap dekade mulai usia 60
tahun sampai 90 tahun baik pada populasi laki-laki maupun perempuan. Kejadian
tertinggi ditemukan pada usia 80 atau lebih.
Berdasarkan survei oleh Gallup yang dilakukan oleh National Osteoporosis pada
tahun 2002, menunjukkan bahwa sekitar 86% dari populasi wanita berumur 45-75 tahun,
tidak waspada terhadap osteoporosis, yang nantinya berdampak langsung terhadap
kecacatan akibat hip fracture. Kegagalan mengidentifikasi pasien yang berisiko,
memberikan edukasi dan menjalankan program pencegahan menyebabkan konsekuensi
yang cukup besar. Oleh karena itu, skrining di pelayanan primer menjadi sangat penting.
1.2 Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan lansia?
2. Apa perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia?
3. Bagaimana asuhan keperawatan fraktur psada lansia
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan lansia
2. Untuk mengetahui perubahan-perubahan pada lansia
3. Untuk mengetahui askep fraktur pada lansia

1.4 Manfaat

Sebagai informasi keperawatan yang dapat diterapkan pada penderita fraktur dan
sebagai sumber informasi dalam intervensi pada penderita fraktur.
BAB II

TINJAUAN TEORI

2. 1 Konsep fraktur dan lansia

A. PENGERTIAN
I. Definisi lansia
Menua adalah proses menghilangnya secara perlahan aktifitas jaringan
untuk memperbaiki atu mengganti diri dan mempertahankan struktur dan
fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas dan
memperbaiki kerusakan yang diderita (Darmojo,2010).

1. Batasan Umur Lansia


Batasan umur menurut organisasi WHO ada 4 tahap lansia meliputi : usia
pertengahan (Middle age) kelompok usia 45-59 tahun, usia lanjut (Elderly)=
antara 60-74 tahun, usia lanjut tua (Old) antara 75-90 tahun, dan usia sangat
tua (Very Old)-diatas 90 tahun. Di indonesia batasan mengenai lansia adalah
60 tahun ke atas, terdapat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998
tentang kesejahtereraan lanjut usia pada Bab 1 pasal 1 ayat 2 Menurut undang-
undang tersebut diatas lanjut adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke
atas, baik pria maupun wanita (Kurhariyadi.2011).
2. Perubahan-perubahan Yang Terjadi Pada Lansia Menurut Nugroho (2000)
Perubahan Fisik dan perubahan psikososil pada lansia adalah:

a) Perubahan Fisik

1. Sel Jumlahnya menjadi sedikit, ukurannya lebih besar, berkurangnya cairan


intra seluler, menurunnya proporsi protein di otak, otot, ginjal, dan hati,
jumlah sel otak menurun, terganggunya mekanisme perbaikan sel.
2. Sistem Persyarafan Respon menjadi lambat dan hubungan antara
persyarafan menurun, berat otak menurun 10-20%, mengecilnya syaraf panca
indra sehingga mengakibatkan berkurangnya respon penglihatan dan
pendengaran. mengecilnya syaraf penciuman dan perasa, lebih sensitive
terhadap suhu, ketahanan tubuh terhadap dingin rendah, kurang sensitive
terhadap sentuhan.
3. Sistem Penglihatan Menurun lapang pandang dan daya akomodasi mata,
lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa) menjadi katarak, pupil timbul
sklerosis, daya membedakan warna menurun.
4. Sistem Pendengaran Hilangnya atau turunnya daya pendengaran, terutama
pada bunyi suara atau nada ara tidak jelas, sulit mengerti kata-kata, 50%
terjadi pada usia diatas umur 65 tahun, membran timpani menjadi atrofi
menyebabkan otosklerosis.
5. Sistem Cardiovaskuler Katup jantung menebal dan menjadi
kaku.Kemampuan jantung menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20
tahun, kehilangan sensitivitas dan elastisitas pembuluh darah: kurang
efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi perubahan posisidari tidur
ke duduk (duduk ke berdiri bisa menyebabkan tekanan darah menurun
menjadi 65mmHg dan tekanan darah meninggi akibat meningkatnya resistensi
dari pembuluh darah perifer, sistole normal 170 mmHg, diastole normal +95
mmHg.
6. Sistem pengaturan temperatur tubuh Pada pengaturan suhu hipotalamus
dianggap bekerja sebagai suatu thermostat yaitu menetapkan suatu suhu
tertentu, kemunduran terjadi beberapa factor yang mempengaruhinya yang
sering ditemukan antara Jain: Temperatur tubuh menurun, keterbatasan reflek
menggigil dan tidak dapat memproduksi panas yang banyak sehingga terjadi
rendahnya aktifitas otot.
7. Sistem Respirasi Paru-paru kehilangan elastisitas, kapasitas residu
meningkat, menarik nafas lebih berat, kapasitas pernafasan maksimum
menurun dan kedalaman nafas turun. Kemampuan batuk menurun
(menurunnya aktifitas silia), O2 arteri menurun menjadi 75 mmHg, CO2 arteri
tidak berganti.
8. Sistem Gastrointestinal. Banyak gigi yang tanggal, sensitifitas indra
pengecap menurun, pelebaran esophagus, rasa lapar menurun, asam lambung
menurun, waktu pengosongan menurun, peristaltik lemah, dan sering timbul
konstipasi, fungsi absorbsi menurun.
9. Sistem urinaria Otot-otot pada vesika urinaria melemah dan kapasitasnya
menurun sampai 200 mg, frekuensi BAK meningkat, pada wanita sering
terjadi atrofi vulva, selaput lendir mongering, elastisitas jaringan menurun dan
disertai penurunan frekuensi seksual intercrouse berefek pada seks sekunder.
10. Sistem Endokrinn Produksi hampir semua hormon menurun (ACTH, TSH,
FSH, LH), penurunan sekresi hormone kelamin misalnya; estrogen,
progesterone, dan testoteron.
11. Sistem Kulit. Kulit menjadi keriput dan mengkerut karena kehilangan
proses keratinisasi dan kehilangan jaringan lemak, berkurangnya elastisitas
akibat penurunan cairan dan vaskularisasi, kuku jari menjadi keras dan rapuh,
kelenjar keringat berkurang jumlah dan fungsinya, perubahan pada bentuk sel
epidermis.
12. System Muskuloskeletal. Tulang kehilangan cairan dan rapuh, kifosis,
penipisan dan pemendekan tulang. persendian membesar dan kaku, tendon
mengkerut dan mengalami sclerosis, atropi serabut otot sehingga gerakan
menjadi lamban, otot mudah kram dan tremor.

b) Perubahan Psikososial

1. Penurunan Kondisi Fisik

Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya


kondisi fisik yang bersifat patologis berganda (multiple pathology ), misalnya tenaga
berkurang, enerji menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang makin
rapuh, dsb. Secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia
mengalami penurunan secara berlipat ganda. Hal ini semua dapat menimbulkan
gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologik maupun sosial, yang selanjutnya dapat
menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain. Dalam kehidupan
lansia agar dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat, maka perlu menyelaraskan
kebutuhan kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik maupun sosial, sehingga mau
tidak mau harus ada usaha untuk mengurangi kegiatan yang bersifat memforsir
fisiknya. Seorang lansia harus mampu mengatur cara hidupnya dengan baik, misalnya
makan, tidur, istirahat dan bekerja secara seimbang.

2. Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual

Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali berhubungan
dengan berbagai gangguan fisik seperti : Gangguan jantung. gangguan metabolisme,
misal diabetes millitus, vaginitis, baru selesai operasi misalnya prostatektomi,
kekurangan gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan sangat
kurang, penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi, golongan steroid,
tranquilizer.

Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain:


a) Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia.
b) Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh
tradisi dan budaya.
c) Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya.
d) Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa
lainnya misalnya cemas, depresi, pikun dsb.

II. Definisi Fraktur


Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang
rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun parsial. Keadaan ini akan
mengganggu fungsi dari organ tulang sebagai penyanggah tubuh dan dapat
menyebabkan terjadinya disabilitas
Berdasarkan Permenkes nomor 79 tahun 2014, geriatri adalah cabang
disiplin ilmu kedokteran yang mempelajari aspek kesehatan dan kedokteran
pada warna Lanjut Usia (60 tahun ke atas) termasuk pelayanan kesehatan
kepada Lanjut Usia dengan mengkaji semua aspek kesehatan berupa promosi,
pencegahan, diagnosis, pengobatan, dan rehabilitasi.

2.2 Epidemiologi Dan Etiologi Pada Lansia

1. Epidemiologi
Fraktur pada kelompok lansia merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia
yang terus bertambah, Sebuah studi melaporkan bahwa pada periode 2004- 2014 di
US didapatkan dua per tiga dari kasus fraktur geriatrik dialami oleh perempuan,
namun insiden pada laki-laki didapatkan meningkat setiap tahunnya; hal ini diduga
karena kebiasaan merokok dan obesitas yang meningkat pada laki- laki.

Fraktur trunkus inferior merupakan fraktur paling umum pada kelompok


lansia (34% pada tahun 2014) yaitu pinggul (hip), panggul (pelvis), vertebra bagian
bawah, dan pergelangan kaki (ankle). Fraktur pada trunkus superior menempati urutan
kedua terbanyak (13% pada tahun 2014) yang dialami oleh kelompok lanjut usia dan
sesuai dengan urutan frekuensi, yaitu fraktur radius distal (fraktur Colles), fraktur
humerus proksimal, dan fraktur siku, yang biasanya terjadi pada kejadian jatuh
dengan lengan yang terentang. Sisanya melibatkan fraktur pada lengan atas dan
pergelangan tangan (wrist) (7% pada keduanya), bahu dan tungkai atas (5%), dan
yang sangat jarang ialah pada wajah dan leher.

Fraktur pinggul sering terjadi pada kelompok lansia, terjadi setiap tahun pada
sekitar 1% laki-laki dan 2% perempuan. Cedera yang terjadi di elevator pada pasien
lansia biasa-nya terjadi karena terpeleset, tersandung, dan jatuh. Dari 15% kasus yang
masuk rumah sakit, 40% diantaranya karena fraktur pinggul.

2. Etiologi

Kelompok lansia berisiko lebih tinggi untuk terjadinya fraktur oleh karena
proses penuaan yang dialami yang menyebabkan penurunan fungsi fisiologik tubuh,
salah satunya ialah penurunan kepadatan dan kualitas tulang, Selain itu, kelompok
lansia memiliki risiko jatuh yang lebih tinggi dibandingkan kelompok usia lainnya,
yang meningkatkan risiko terjadinya fraktur.

Fraktur geriatrik dapat disebabkan oleh mekanisme high impact maupun low
impact. Fraktur high-impact biasanya disebabkan oleh kecelakaan kendaraan
bermotor dan cedera saat berolahraga, namun fraktur low impact yang paling sering
terjadi pada kelompok lansia dan memiliki angka mortalitas paling tinggi. Fraktur low
impact paling sering terjadi disebabkan oleh karena keadaan osteoporosis dengan
mekanisme jatuh. Risiko terjadinya fraktur oleh karena osteoporosis yaitu antara 40-
50% pada perempuan dan 13-22% pada laki-laki. Fraktur oleh karena osteoporosis
paling sering terjadi pada tulang belakang/ vertebra dan panggul. Empat dari lima
kasus fraktur ini terjadi melalui mekanisme terjatuh. Dalam suatu penelitian
didapatkan bahwa terjatuh merupakan mekanisme yang sering menyebabkan fraktur
pada kelompok lansia, paling sering terjadi di dapur dan kamar mandi. Kejadian jatuh
pada kelompok lansia tergantung pada berbagai faktor antara lain adanya gangguan
keseimbangan atau gait yang tidak stabil. Insiden fraktur yang disebabkan oleh
kejadian jatuh sebesar 40% pada lansia.

2.4 Klasifikasi Fraktur


Berikut ini merupakan beberapa klasifikasi fraktur : (Brunner dan Suddart, 2011)
1. Berdasarkan tempat komplit Fraktur (humerus, tibia, clavicula, ulna, radius dan cruris
dst).
2. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur:
a. Fraktur komplit adalah patahan pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya
mengalami pergeseran
b. Fraktur inkomplit adalah patahan hanya terjadi sebagian dari tengah tulang.
3. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :
a. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan
b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
c. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada
tulang yang sama
4. Berdasarkan posisi fragmen :
a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap tetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
b. Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga
disebut lokasi fragmen
5. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
a. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih
utuh) tanpa komplikasi.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan
jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan
lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata
dan ancaman sindroma kompartement

b. Fraktur terbuka (fraktur komplikata /kompleks) merupakan fraktur dengan


luka pada kulit, menbran mukosa sampai kepatahan tulang yang dibagi
menjadi 3 grade:
1) Grade I dengan luka bersih ( 1 cm Panjangnya)
2) Grade II luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif
3) Grade III luka yang sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan
jaringan lunak. Yang ekstensif

2.5 Jenis Patah Tulang


Berikut ini berbagai jenis fraktur atau patah tulang untuk membedakan
kondisinya, di antaranya:

1. Patah avulsi

Patah tulang jenis ini adalah cedera pada tulang di mana tendon atau ligamen
melekat pada tulang. Ketika fraktur avulsi terjadi, tendon atau ligamen menarik
sepotong tulang. Fraktur avulsion dapat terjadi di bagian tubuh mana saja, tetapi lebih
sering terjadi di beberapa lokasi tertentu.

2. Fraktur kominutif

Adalah patah atau serpihan tulang menjadi lebih dari dua bagian. Karena
kekuatan dan energi yang cukup dapat memecah tulang, jenis patah tulang ini terjadi
setelah trauma seperti kecelakaan kendaraan.

3. Fraktur kompresi

Jenis fraktur ini biasanya terjadi pada tulang yang bertonjolan di tulang
belakang. Sebagai contoh, bagian depan tulang belakang bisa rapuh karena
osteoporosis.
4. Fraktur dislokasi

Cedera parah di mana fraktur dan sendi terkilir terjadi secara bersamaan.
Biasanya, potongan tulang yang longgar tetap tersangkut di antara ujung-ujung tulang
yang dislokasi dan mungkin harus diangkat melalui pembedahan sebelum dislokasi
dapat diatasi.

5. Fractur greenstick

Sebagian tulang patah di satu sisi, tetapi tidak pecah sepenuhnya karena sisa
tulang dapat membengkok. Kondisi ini biasanya lebih sering terjadi pada anak-anak,
yang tulangnya lebih lembut dan lebih elastis.

6. Fraktur garis rambut

Fraktur garis rambut atau juga disebut fraktur stres, adalah retakan kecil atau
memar parah di dalam tulang. Jenis fraktur ini paling sering terjadi pada atlet,
terutama atlet olahraga yang mengharuskan lari dan lompat. orang yang menderita
osteoporosis juga dapat mengalami fraktur garis rambut.

7. Fraktur impaksi

Ini mirip dengan fraktur kompresi, namun fraktur ini terjadi di dalam tulang
yang sama. Ini merupakan fraktur tertutup yang terjadi ketika tekanan pada kedua
ujung tulang, menyebabkannya terbelah menjadi dua bagian yang saling tertahan.
Jenis fraktur ini biasanya terjadi pada orang yang mengalami kecelakaan mobil dan
jatuh.

8. Fraktur longitudinal

Jenis fraktur ini biasanya cukup panjang dan retakan sepanjang sumbu tulang.
Karena fraktur ini selalu mengikuti sumbu tulang, dan biasanya merupakan fraktur
yang tidak bergeser. Fraktur dapat dibagi menjadi dua atau lebih garis fraktur.

9. Fraktur oblik

Adalah patah tulang yang relatif umum di mana tulang patah secara diagonal
ke sumbu panjang tulang. Fraktur oblik bervariasi dalam tingkat keparahannya,
tergantung pada tulang apa yang terpengaruh dan seberapa besar patahnya. Fraktur
miring cenderung terjadi pada tulang yang lebih panjang seperti tulang paha atau tibia.

10. Fraktur patologis

Ketika penyakit atau kondisi yang mendasari telah melemahkan tulang,


mengakibatkan fraktur (patah tulang yang disebabkan oleh penyakit atau kondisi dasar
yang melemahkan tulang).

11. Fraktur spiral

Fraktur spiral ini juga dikenal sebagai fraktur torsi, merupakan jenis fraktur
lengkap. Fraktur ini terjadi karena gaya rotasi atau terpelintir.

12. Fraktur stres

Adalah patah kecil pada tulang. Retakan tipis muncul karena tekanan yang
berulang, biasanya disebabkan oleh penggunaan anggota tubuh berlebihan. Sebagian
besar fraktur stres terjadi pada tulang kaki dan kaki bagian bawah, yang menumpu
beban tubuh.

13. Fraktur torus (buckle)

Tulang mengalami deformasi tetapi tidak retak. Lebih sering terjadi pada
anak-anak. Fraktur tulang ini menyakitkan tetapi stabil.

14. Fraktur transversal

Berikutnya adalah jenis spesifik dari fraktur di mana patah berada pada sudut yang
tepat terhadap bidang panjang tulang. Fraktur transversal biasanya terjadi sebagai
akibat dari gaya kuat yang diterapkan tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang.
Fraktur ini juga mungkin akibat dari fraktur stres di mana banyak istirahat
mikroskopis terbentuk di tulang dari stres berulang, seperti berlari.

2.6 Manifestasi Klinik


Manifestasi klinis fraktur menurut (Smeltzer, Bare, 2009) adalah nyeri, hilangnya
fungsi, deformitas, pemendekan ektremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan
perubahan warna yang dijelaskan secara rinci sebagai berikut:
1. Nyeri, terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang
untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang 2. Deformitas, Pada fraktur
panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang
melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melengkapi satu
sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci).

3. Krepitasi Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitasi yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.
Uji krepitasi dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.

4. Pembengkakan dan perubahan warna Pembengkakan dan perubahan warna lokal


pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda
ini biasa terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.

5. Fals Moment Merupakan pergerakan bentuk yang salah dari tulang (bengkok)

2.7 Faktor Resiko Fraktur Pada lansia

Faktor risiko terjadinya fraktur geriatrik ialah usia >75 tahun, jenis kelamin,
status ekonomi rendah, merokok, konsumsi alkohol berlebihan, IMT, riwayat fraktur
sebelumnya, penyakit kormorbid dan medi- kasinya, serta anemia.

Dalam hal jenis kelamin, perempuan lebih berisiko mengalami fraktur


terutama yang dengan paparan estrogen kurang seperti menopause dini dan amenorea
Status sosioekonomi rendah mungkin menyangkut asupan gizi yang buruk. termasuk
kurangnya kadar kalsium serta vitamin K dan D pada pasien lansia. IMT yang tinggi
merupakan faktor risiko pada fraktur ekstremitas inferior sedangkan IMT rendah
merupakan faktor risiko terhadap terjadinya fraktur geriatrik namun bersifat protektif
terhadap fraktur ekstremitas infe- rior. Individu dengan riwayat fraktur non- hip dan
non-vertebral memiliki kemungkinan 41% mengalami fraktur kembali dalam jangka
waktu 5 tahun setelah fraktur pertama.
Penyakit komorbid dan medikasinya dapat berkontribusi dalam terjadinya
frak- tur geriatrik. Diabetes melitus dan hiper- tensi dapat berperan dalam terjadinya
fraktur tulang belakang atau panggul. Terdapat berbagai penelitian yang menunjukkan
bahwa diabetes melitus dapat meningkatkan risiko terjadinya fraktur jenis apapun.
Hipertensi pun berperan dalam penurunan densitas mineral tulang (Bone Mineral
Density, BMD) melalui mekanisme penurunan pasokan darah ke tulang atau dapat
pula disebabkan oleh efek obat antihipertensi yang dikonsumsi pasien. Setiap kondisi
yang membutuhkan penggunaan glukokortikoid kronis, seperti inflame- matory bowel
disease, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), dan artritis rheumatoid dapat
menurunkan BMD, demikian pula dengan penggunaan anti- koagulan oral. Pasien
yang menjalani dialisis juga mengalami peningkatan risiko terjadinya fraktur.
Gangguan gait, keseimbangan, dan postural, serta gangguan penglihatan juga
meningkatkan risiko jatuh dan risiko mengalami fraktur. Anemia merupakan salah
satu faktor risiko terjadinya osteoporosis yang meningkatkan risiko fraktur. Beberapa
mekanisme dampak anemia yaitu dengan menurunkan sintesis kolagen, munculnya
faktor acidosis- induced transcription yang menyebabkan maturasi dari osteoklas dan
meningkatkan penghancuran tulang, serta meningkatkan kadar eritropoietin. Selain
itu, kalium pun berperan penting dalam metabolisme tulang yaitu dalam
keseimbangan asam-basa. Bila terjadi asidosis sistemik, hal ini dapat meninduksi
aktivasi osteoklas

2.8 Patogenesis

Pada lansia terjadi penurunan fisiologik berbagai organ, salah satunya ialah
sistem muskuloskeletal, yaitu penurunan massa otot serta penurunan kepadatan dan
kualitas tulang yang menyebabkan terjadi nya osteoporosis. Pada osteoporosis terjadi
penurunan massa tulang secara keseluruhan akibat ketidakmampuan tubuh dalam
mengatur kandungan mineral dalam tulang disertai rusaknya arsitektur tulang yang
berakibat penurunan kekuatan tulang sehingga berisiko mudah terjadi fraktur.

Proses menua juga mengakibatkan perubahan kontrol postural yang berperan


penting pada mekanisme kejadian jatuh. Perubahan komponen dari kapabilitas
biomekanik meliputi latensi mioelektrik, waktu untuk bereaksi, proprioseptif, lingkup
gerak sendi, dan kekuatan otot. Selain itu, terdapat pula perubahan pada postur tubuh,
gaya berjalan, ayunan postural, sistem sensorik, dan mobilitas fungsional. Usia yang
lanjut dikaitkan dengan input proprioseptif yang berkurang. proses degeneratif pada
vestibuler, refleks posisi yang melambat, dan melemahnya kekuatan otot yang penting
dalam menjaga postur. Kelemahan otot dan ketidakstabilan atau nyeri sendi dapat
menjadi sumber gang- guan postural selama gerakan volunter. Semua perubahan
tersebut dapat berperan untuk terjadinya jatuh yang menjadi penyebab fraktur.

2.9 Penatalaksanaan

Di Amerika terdapat fasilitas kesehatan yang ditujukan khusus untuk pasien


geriatrik yang mengalami fraktur, yaitu Geriatric Fracture Center (GFC). Prinsip
penanganan fraktur geriatrik berdasarkan GFC ialah pasien mendapatkan manfaat dari
stabilisasi pembedahan terhadap fraktur yang dialami; semakin cepat pasien menjalani
operasi, semakin kecil risiko terjadinya penyakit iatrogenik; manajemen bersama
dengan komunikasi yang baik antara tim dapat bermanfaat untuk meng- hindari
komplikasi medis dan fungsional, protokol yang terstandarisasi akan mengurangi
kemungkinan variasi penyakit; dan perencanaan yang menyeluruh sejak pasien datang
berobat pertama kali.

Penanganan fraktur geriatrik perlu dilakukan oleh tim dokter yang terdiri dari
dokter ortopedik dan juga dokter geriatrik. Komunikasi yang baik dan rencana terapi
yang tepat perlu dipersiapkan agar pasien geriatrik dapat ditangani dengan baik dan
dapat mengembalikan kualitas hidup pasien dan mencegah terjadinya disabilitas 18
Penatalaksanaan yang perlu dilakukan pada pasien dengan fraktur dibagi menjadi
beberapa tahap, yaitu penatalaksanaan awal dan penatalaksanaan definitif.

Penatalaksanaan awal bermanfaat untuk menstabilkan keadaan pasien yang


mencakup pertolongan pertama pada pasien dengan fraktur. Survei awal bertujuan
untuk menilai dan memberikan pengobatan sesuai dengan prioritas berdasarkan
trauma yang dialami. Fungsi vital pasien harus dinilai secara tepat dan efisien yang
meliputi airway, breathing, circulation, disability, dun exposure. Penanganan pasien
harus terdiri atas evaluasi awal yang cepat serta resusitasi fungsi vital, penangan
trauma dan identifikasi keadaan yang dapat menyebabkan kematian. Penilaian klinis
dilakukan sebelum menilai fraktur itu sendiri, apakah luka itu luka tembus tulang,
adanya trauma pembuluh darah saraf atau adanya trauma alat-alat dalam yang lain.
Pemberian medikamentosa untuk tatalaksana nyeri ialah parasetamol 500mg hingga
dosis maksimal 3000mg per hari. Bila respon tidak adekuat dapat ditambahkan
dengan kodein 10mg. Langkah selanjutnya ialah dengan menggunakan NSAID seperti
ibuprofen 400mg, 3 kali sehari. Pada keadaan nyeri berat (terutama bila terdapat
osteoporosis), kalsitonin 50-100 IU dapat diberikan subkutan malam hari. Golongan
narkotik hendaknya dihindari karena dapat menyebabkan delirium. Penurunan risiko
infeksi dengan pemberian antibiotik peri-operatif. Untuk mencegah tromboemboli,
pasien perlu mendapat antikoagulan selama masa perioperatif dan dapat diberikan low
molecular weight heparin (LMWH) tanpa pengontrolan aPTT terlebih dahulu.
Sebelum operasi, antikoagulan perlu dihentikan dahulu agar perdarahan luka operasi
terkendali. Setelah operasi. antikoagulan dapat diberikan hingga 2-4 minggu atau bila
pasien sudah dapat mobilisasi.

Sebelum mengambil keputusan untuk melakukan pengobatan definitif, prinsip


pengobatan menggunakan empat (4R), yaitu: recognition, reduction, retention, dan
rehabilitation. Recognition meliputi diagnosis dan penilaian fraktur dengan
anamnesis, pemeriksaan klinik, dan radiologik. Pada awal pengobatan perlu
diperhatikan lokalisasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik yang sesuai untuk
pengobatan, dan komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan.
Reduction fraktur bila perlu, restorasi fragmen fraktur dilakukan untuk mendapatkan
posisi yang dapat diterima. Pada fraktur intra- artikuler diperlukan reduksi anatomis
dan sedapat mungkin mengembalikan fungsi normal dan mencegah komplikasi seperti
kekakuan, deformitas, serta perubahan osteo- artritis di kemudian hari. Retention
meliputi imobilisasi fraktur dan rehabilitation untuk mengembalikan aktifitas
fungsional semaksimal mungkin.

Penatalaksanaan fraktur meliputi reposisi dan imobilisasi fraktur dengan


splint. Status neurologik dan vaskuler di bagian distal harus diperiksa baik sebelum
maupun sesudah reposisi dan imobilisasi. Pasien dengan trauma multipel sebaiknya
dilaku- kan stabilisasi awal fraktur tulang panjang setelah hemodinamis pasien stabil
sedang kan penatalaksanaan definitif fraktur adalah dengan menggunakan gips atau
dilakukan operasi dengan open reduction internal fixation (ORIF) maupun open
reduction and external fixation (OREF).
Reposisi bertujuan untuk mengembalikan fragmen ke posisi anatomi. Teknik
reposisi terdiri dari reposisi tertutup dan terbuka. Reposisi tertutup dapat dilakukan
dengan fiksasi eksterna atau traksi kulit dan skeletal sedangkan reposisi terbuka
dilaku- kan pada pasien yang telah mengalami gagal reposisi tertutup. fragmen
bergeser, mobilisasi dini, fraktur multipel, dan fraktur patologik. Imobilisasi/fiksasi
bertujuan untuk mempertahankan posisi fragmen pasca reposisi sampai terjadi union.
Indikasi dilakukannya fiksasi yaitu pada pemendekan (shortening), fraktur unstable,
serta kerusakan hebat pada kulit dan jaringan sekitar. Terdapat berbagai jenis fiksasi
yang dapat dilakukan dan pemilihan fiksasi yang dapat diberikan harus
dipertimbangkan pada berbagai keadaan.

3.0 Komplikasi Dan Prognosis fraktur pada Lansia

1. Komplikasi
Pasien lansia sering mengalami komplikasi perioperatif seperti deep vein
thromboembolism (DVT), hipoksia, delirium, anemia yang membutuhkan transfusi,
gagal jantung kongestif, gangguan ginjal akut, dan infark miokard.
Komplikasi pasca ope- rasi yang paling umum ialah pneumonia, gangguan ginjal
akut, dan ulkus dekubitus, 2. Prognosis

Risiko komplikasi pasca operasi, nyeri, lama rawat, dan kematian dapat
berkurang bila pasien lansia ditatalaksana operatif dalam kurun waktu tidak lebih dari
24-48 jam, namun akan meningkat pada pasien lanjut usia dengan faktor-faktor risiko
dan komplikasi. Perawatan bedah mengurangi mortalitas dan nyeri kronis serta
meningkatkan kualitas hidup dibandingkan dengan manajemen medis.

Fraktur humerus proksimal dan fraktur geriatrik lainnya dapat menurunkan


kualitas hidup dan kemandirian secara kronis. Pasien yang tidak mengalami perbaikan
range of motion (ROM) dan kekuatan dalam satu tahun akan terus mengalami
kesulitan kronis. Fraktur ini dapat menurunkan kemampuan pasien untuk
menggunakan peralatan adaptif seperti alat bantu jalan, tongkat, atau pegangan;
kebutuhan perawatan kesehatan di rumah dan penilai- an keamanan harus dilakukan
sebelum mengeluarkan pasien dari rumah sakit karena pasien mungkin tidak dapat
mempertahankan independensi dengan cedera ini.10 Secara keseluruhan mortalitas
fraktur pelvis pada kelompok lanjut usia ialah 9. 30% dan hingga 81% pada pasien
lansia dengan fraktur pelvis terbuka.

Fraktur vertebra akut memiliki tingkat kelangsungan hidup tiga tahun 40- 60%
tergantung pada jenis penanganan. Hampir seperempat dari kelompok lanjut usia akan
mengalami fraktur kedua dalam 5 tahun ke depan, dan risiko patah tulang pinggul 17
kali lipat lebih tinggi pada bulan pertama setelah mengalami fraktur low impact.

3.1 Pencegahan

Pencegahan fraktur yang dapat dilakukan ialah pemberian suplementasi


kalsium dan vitamin D, menghindari faktor risiko yang dapat dimodifikasi seperti
merokok dan konsumsi alkohol, penggunaan pelindung pinggul, serta melakukan
skrining dan mengurangi risiko jatuh.

Pemberian suplemen kalsium dapat dilakukan dengan pemberian makanan


mengandung kalsium misalnya susu atau dalam bentuk kalsium sitrat untuk
memenuhi kebutuhan kalsium sekitar 1200 mg per hari. Untuk mencapai dosis harian
yang direkomendasikan 800-1000 IU vitamin D sering dibutuhkan tambahan
multivitamin selain produk kombinasi kalsium dan vitamin D, yang umumnya hanya
mengandung 200 IU per tablet. Pada pasien yang kekurangan vitamin D, perlu
dilakukan pendekatan yang lebih agresif untuk peng- gantian vitamin D. Paparan sinar
ultraviolet dari sinar matahari pada kulit juga dapat menambah asupan vitamin D.

3.2 Stadium Penyembuhan Fraktur


Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur
merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk
tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel
tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:

1. Stadium Satu-Pembentukan Hematoma, Pembuluh darah robek dan terbentuk


hematoma disekitar daerah fraktur Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi
tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium
ini berlangsung 24-48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali.
2. Stadium Dua-Proliferasi Seluler, Pada stadium initerjadi proliferasi dan differensiasi
sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum, endosteum,dan bone marrow
yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke
dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi
proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang
menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam
setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.
3. Stadium Tiga-Pembentukan Kallus, Sel-sel yang berkembang memiliki potensi yang
kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai
membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan
osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang
mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk
kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang
imatur (anyaman tulang) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur
berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.
4. Stadium Empat-Konsolidasi, Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut,
anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan
memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat
dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan
tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan
sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5. Stadium Lima-Remodelling, Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang
padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh
proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih
tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak
dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhimya dibentuk struktur yang
mirip dengan normalnya
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

Kasus

Seorang perempuan berusia 50 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan nyeri tulang
punggung. Hasil pengkajian didapatkan; pasien menopause sejak 3 tahun yang lalu dan
minum obat golongan steroid sejak 1 tahun yang lalu. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
gibbus (+). Hasil X-ray fraktur kompresi CV L III-IV

1. Pengkajian
a. Pengkajian data
1) Identitas pasien/keluarga
2) Keluhan utama
3) Riwayat kesehatan
b. Pengkajian fisik
c. Pengkajian kognitif
d. Pengkajian spiritual
e. Pengkajian fungsi sosial
2. Klasifikasi data
DS :
1) Pasien mengatakan bahwa dirinya merasakan nyeri di bagian punggung.
2) Pasien mengatakan bahwa dirinya sudah menopause sejak 3 tahun yang lalu.
3) Pasien mengatakan bahwa dirinya mengkonsumsi obat steroid sejak 1 tahun
yang lalu.

DO :

1) Saat dilakukan pemeriksaan fisik pada pasien ditemukan gibbus (+)


2) Saat dilakukan pemeriksaan X-ray nampak hasil fraktur kompresi CV L III-IV
3. Interpretasi data

No Analisis data Diagnosa keperawatan


1. Ds : Nyeri akut berhubungan dengan
1) Pasien terputusnya jaringan tulang
mengatakan
bahwa dirinya
merasakan nyeri
di bagian
punggung.
2) Pasien
mengatakan
bahwa dirinya
mengkonsumsi
obat steroid sejak
1 tahun yang lalu.
Do :

2. Ds : Intoleransi aktivitas
Do :
1) Saat dilakukan
pemeriksaan fisik
pada pasien
ditemukan gibbus
(+)

3. Ds : Gangguan mobilitas fisik berhubungan


1) Pasien dengan kerusakan integritas struktur
mengatakan tulang
bahwa dirinya
sudah menopause
sejak 3 tahun
yang lalu.
Do :
1) Saat dilakukan
pemeriksaan X-
ray nampak hasil
fraktur kompresi
CV L III-IV

4. Diagnosa keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang
2) Intoleransi aktivitas
3) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur
tulang

5. Intervensi

No Diagnosa keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi


1. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri
berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 jam Obervasi
terputusnya jaringan tingkat nyeri menurun dengan - Identifikasi lokasi,
tulang kriteria hasil : karakteristik, durasi,
- Keluhan nyeri frekuensi, kualitas,
menurun intensitas nyeri.
- Meringis menurun - - identifikasi skala
- Gelisah menurun nyeri
- Kesulitan tidur - Identifikasi respons
menurun nyeri non verbal
- Frekuensi nadi - Identifikasi faktor yang
membaik memperberat dan
memperingan nyeri
- Identifikasi
pengetahuan dan
keyakinan tentan nyeri
- Identifikasi pengaruh
budaya terhadap respon
nyeri
- Identifikasi pengaruh
nyeri pada kualitas
hidup
- Monitor keberhasilan
terapi komplementer
yang sudah diberikan
- Monitor efek samping
penggunaan analgetik
Terapeutik
- Berikan teknik
nonfarmakologi untung
mengurangi rasa nyeri
(mis, TENS, hipnosis,
akupuntur, terapi
musik, dll)
- Kontrol lingkungan
yang memperberat rasa
nyeri (mis, suhu
ruangan, pencahayaann,
kebisingan)
- Fasilitasi istirahat dan
tidur
- Pertimbangkan jenis
dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
- Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
- Jelaskan strategi
meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
- Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
- Ajarkan terkik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
analgetik jika perlu
2. Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan Manajemen energi
keperawatan selama 3x24 jam Observasi
toleransi aktivitas dapat - Identifikasi gangguan
meningkat dengan kriteria fungsi tubuh yang
hasil: mengakibatkan
- Frekuensi nadi kelelahan
membaik - Monitor kelelahan fisik
- Keluhan lelah dan emosional
menurun - Monitor pola jam tidur
- Tekanan darah - Monitor lokasi dan
membaik ketidaknyamanan
selama melakukan
aktivitas
Terapeutik
- Sediakan lingkungan
nyaman dan rendah
stimulus (mis, cahaya,
suara, kunjungan)
- Lakukan latihan rentan
gerak pasif atau aktif
- Berikan aktivitas
distraksi yang
menenangkan
- Fasilitasi duduk di sisi
tempat tidur, jika tidak
dapat berpindah atau
berjalan
Edukasi
- Anjurkan tirah baring
- Anjurkan melakukan
aktivitas secara
bertahap
- Anjurkan menghubungi
perawat jika tanda dan
gejala kelelahan tidak
berkurang
- Ajarkan strategi koping
untuk mengurangi
kelelahan
Kolaborasi
- Kolaborasi dengan ahli
gizi tantang cara
meningkatkan asupan
makanan
3. Gangguan mobilitas Setelah dilakukan tindakan Dukungan ambulasi
fisik berhubungan keperawatan selama 3x24 jam Observasi
dengan kerusakan mobilitas fisik meningkat - Identifikasi adanya
integritas struktur dengankriteria hasil : nyeri atau keluhan fisik
tulang - Pergerakan lainnya
ekstermitas meningkat - Identifikasi toleransi
- Kekuatan otot fisik melakukan
meningkat mabulasi
- Rentang gerak (ROM) - Monitor kondiri selama
meningkat melakukan ambulasi
- Nyeri menurun Terapeutik
- Kaku sendi menurun - Fasilitasi aktifitas
- Kelemahan fisik ambulasi dengan alat
menurun bantu
- Fasilitasi melakukan
mobilisasi fisik
- Libatkan keluarga
untuk membantu pasien
dalam meningkatkan
ambulasi
Edukasi
- Jelaskan tujuan dan
prosedur ambulasi
- Anjurkan melakukan
ambulasi dini
- Anjurkan ambulasi
sederhana yang harus
dilakukan (mis,
berjalan dari tempat
tidur ke kursi roda)

Anda mungkin juga menyukai