Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pertambahan jumlah lansia dibeberapa Negara, salah satunya Indonesia

telah mengubah profil kependudukan baik Nasional maupun dunia. Hasil

sensus penduduk tahun 2013 menunjukan bahwa jumlah penduduk lansia di

Indonesia berjumlah 18,57 juta jiwa, meningkat sekitar 7,93% dari tahun 2000

yang sebanyak 14,44 juta jiwa. Diperkirakan jumlah penduduk lansia di

Indonesia akan terus bertambah sekitar 450.000 jiwa pertahun. Dengan

demikian, pada tahun 2025 jumlah penduduk lansia di Indonesia akan sekitar

34,22 juta jiwa. (Badan Pusat Statistik 2013, http://respiratory D3 PER

1004575 Chpter1.pdf, diperoleh26 Maret 2018)

Perubahan-perubahan akan terjadi pada tubuh manusia sejalan dengan

makin meningkatnya usia. Perubahan tubuh terjadi sejak awal kehidupan

hingga usia lanjut pada semua organ dan jaringan tubuh. Keadaan demikian

itu tampak pula pada semua sistem muskuloskeletal dan jaringan lain yang ada

kaitannya dengan kemungkinana timbulnya beberapa Reumatik. Salah satu

golongan penyakit Reumatik yang sering menyertai usia lanjut yang

menimbulkan gangguan musculoskeletal terutama adalah Artritis reumathoid.

Kejadian penyakit tersebut akan semakin meningkat sejalan dengan

meningkatnya uisa manusia.

1
Arthritis Reumathoid (AR) adalah suatu penyakit sistematik yang bersifat

progresif, yang cenderung menjadi kronis dan menyerang sendi serta jaringan

lunak. Artritis reumathoid adalah suatu penyakit autoimun dimana,

secara simetris persendian (biasanya sendi tangan dan kaki) mengalami

peradangan sehingga menyebabkan terjadinya pembengkakan, nyeri, dan

sering kali menyebabkan kerusakan pada bagian dalam sendi. Karakteristik

Artritis rheumatoid adalah radang cairan sendi (sinovitis inflamatoir) yang

persisten, biasanya menyerang sendi-sendi perifer dengan penyebaran yang

simetris (Junaidi, 2016)

Arteitis Reumathoid merupakan penyakit sendi yang paling sering

menyerang persendian-persendian kecil. Berdasarkan penelitian, 90%

keluhan utamanya adalah di sendi-sendi bagian jari, pergelangan tangan,

bahu, lutut, dan kaki (Turana, 2016). Pasien RA umumnya merasakan nyeri

paling berat terjadi pada pagi hari membaik pada siang hari dan sedikit lebih

berat pada malam hari (Yatim, 2015). Nyeri merupakan sensori subjektif dan

pengalaman emosional yang tidak menyenangkan serta dapat mengubah

gaya hidup dan kesejahteraan psikologi individu (Asmadi, 2015). Sifat nyeri

yang tidak menyenangkan menyebabkan lansia merasa tidak nyaman dan

kemudian harus melawan rasa tidak nyaman tersebut atau menyerah dan

menarik diri dari masyarakat (Potter & Perry, 2013).

Rematik dapat menyerang semua sendi, tetapi yang paling sering diserang

adalah sendi dipergelangan tangan , kuku-kuku jari, lutut dan engkel kaki.

Sendi-sendi yang lain mungkin diserang termasuk sendi ditulang belakang,

pinggul, leher, bahu, dan bahkan sampai ke sambungan antara tulang kecil

2
dibagian telinga dalam. Reumatik juga mempengaruhi organ tubuh bagian

dalam seperti jantung, pembuluh darah, kulit, dan paru-paru. Serangan

Reumatik biasanya simetris yaitu menyerang sendi yang sama di kedua sisi

tubuh (Haryono,dan Sulis, 2013, h. 08)

Menurut penelitian terakhir WHO pada tahun 2013 mencatat angka

kejadian Artritis Reumathoid di Dunia mencapai 49,59% dari penduduk

dunia, dimana 10-30% adalah mereka yang berusia 60 tahun keatas. (WHO,

2013).

Artritis Reumatoid di Idonesia lebih rendah dibandingkan dengan negara

maju seperti Amerika. Diperkirakan jumlah penderita RA di Indonesia

pada tahun 2013 adalah lebih dari 45,59% dari jumlah penduduk (Mansjoer,

2011).

Data dari Riskesdas tahun 2013 menyebutkan bahwa jumlah kasus

penyakit atritis rematoid di Sulawesi Tenggara sebanyak 20,8 %. Sedangkan

dari survai awal yang kami lakukan di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula

Kendari pada tahun 2018 terdapat 33,6% orang yang menderita Artitis

remathoid.

Maka dari teori di atas peneliti tertarik untuk melakukan pengelolaan

kasus asuhan keperawatan yang di tuangkan dalam sebuah karya tulis ilmiyah

yang berjudul “Gambaran asuhan keperawatan gerontik terhadap atritis

rematoid dalam pemenuhan kebutuhan aman dan nyaman di Panti Sosial

Tresna Werdha Minaula Kendari” demi menjawab kebingungan masyarakat di

indonesia khususnya sulawesi tenggara dan lebih khususnya yaitu masyarakat

3
yang ada di sekitar kita yang kebingungan terhadap penyakit atritis rematoid

itu sendiri.

B. Rumusan Masakah

Berdasar latar belakang di atas, perumusan masalah dalam penelitian ini

adalah: “Bagaimana gambaran asuhan keperawatan gerontik pada pasien

Artritis remathoid dalam pemenuhan kebutuhan aman dan nyaman di Panti

Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari”

C. Tujuan Studi Kasus

Melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien Artritis remathoid dalam

pemenuhan kebuthan aman dan nyama.

D. Manfaat Penulisan

1. Bagi Masyarakat

Masyarakat mampu mengelola pasien Artritis remathoid dalam

pemenuhan aman dan nyaman

2. Bagi pengembangan ilmu dan teknologi keperawatan

Menambah keluasan ilmu dan teknologi terapan bidang keperawatan

dalam pemenuhan kebutuhan aman dan nyaman pada pasien Artritis

Reimathoid.

3. Bagi penulis

Menperoleh pengalaman dalam mengaplikasikan hasil riset keperawatan,

khususnya studi kasus tentang pelaksanaan pemenuhan kebutuhan aman

dan nyaman pada pasien Artritis Reumathoid.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Manusia Lanjut Usia

1. Pengertian Lansia

Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur

kehidupan manusia (Budi Anna Keliiat, 1999). Sedangkan menurut pasal 1

ayat (2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang kesehatan di katakan

bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60

tahun.

2. Klasifikasi Lansia

Klasifikasi berikut menurut Depkes RI (2015)

a. Usia kanjut presenilis yaitu abtara usian45-59 tahun

b. Usia lanjut yaitu usia 60 tahun ke atas

c. Usia lanjut beresiko yaitu usia 70 tahun ke atas atau usia 60 tahun ke

atas dengan masalah kesehatan.

3. Karakteristik Lansia

Menurut Budi Anna Keliat (1999). Lansia memiliki karakteristik

sebagai berikut.

a. Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan pasal 1 ayat (2) UU No. 13

tentang Kesehatan).

b. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai

sakit, dari kebutuhan biopsikososial sampe spiritual, serta dari kondisi

5
adaptif hingga kondisi maladaptif.

c. Lingkungan tempat tinggal yang berfariasiProses Penuaan Pada Lansia

4. Perubahan Sistem Muskuloskeletal Pada Lansia

a. Otot

Pada umumnya seseorang yang mulai tua akan berefek pada

menurunnya kemampuan aktivitas. Penurunan kemampuan aktivitas

akan menyebabkan kelemahan serta atrofi dan mengakibatkan

kesuliatan untuk mempertahankan serta menyelesaikan suatu aktivitas

rutin pada individu tersebut. Perubahan pada otot inilah yang menjadi

fokus dalam penurunan keseimbangan berkaitan dengan kondisi

lansia.

Menurut Lumbantobing (2005) perubahan yang jelas pada

sistem otot lansia adalah berkurangnya massa otot. Penurunan massa

otot ini lebih disebabkan oleh atrofi. Otot mengalami atrofi sebagai

akibat dari berkurangnya aktivitas, gangguan metabolik atau denervasi

saraf (Martono, 2004). Perubahan ini akan menyebabkan laju

metabolik basal dan laju konsumsi oksigen maksimal

berkurang (Taslim, 2001). Otot menjadi lebih mudah capek dan

kecepatan kontraksi akan melambat. Selain dijumpai penurunan massa

otot, juga dijumpai berkurangnya rasio otot dengan jaringan lemak.

Akibatnya otot akan berkurang kemampuannya sehingga dapat

mempengaruhi postur.

Permasalahan yang terjadi pada lansia biasa sangat terlihat

pada menurunnya kekuatan grup otot besar. Otot-otot pada batang

6
tubuh (trunk) akan berkurang kemampuannya dalam menjaga tubuh

agar tetap tegak. Respon dari otot-otot postural dalam

mempertahankan postur tubuh juga menurun. Respon otot postural

menjadi kurang sinergis saat bekerja mempertahankan posisi akibat

adanya perubahan posisi, gravitasi, titik tumpu, serta aligmen tubuh.

Pada otot pinggul (gluteal) dan otot-otot pada tungkai seperti grup

otot quadriceps, hamstring, gastrocnemius dan tibialis mengalami

penurunan kemampuan berupa cepat lelah, turunnya kemampuan, dan

adanya atrofi yang berakibat daya topang tubuh akan menurun dan

keseimbangan mudah goyah.

b. Tulang

Pada lansia dijumpai proses kehilangan massa tulang dan

kandungan kalsium tubuh, serta perlambatan remodeling dari tulang.

Massa tulang akan mencapai puncak pada pertengahan usia dua

puluhan (di bawah usia 30 tahun). Penurunan massa tulang lebih

dipercepat pada wanita pasca menopause. Sama halnya dengan sistem

otot, proses penurunan massa tulang ini sebagai disebabkan oleh

faktor usia dan disuse (Wilk, 2009).

Dengan bertambahannya usia, perusakan dan pembentukan tulang

melambat. Hal ini terjadi karena penurunan hormon estrogen pada

wanita, vitamin D, dan beberapa hormon lain. Perubahan postuh

Perubahan postur meningkatkan sejalan dengan pertambahan usia.

Hal itu dapat dihubungkan dengan keseimbangan dan resiko jatuh.

Gangguan keseimbangan lansia disebakan oleh degenerasi progresif

7
mekanoreseptor sendi intervertebra. Degenerasi karena peradangan

atau trauma pada vertebra dapat menggangu afferent feedback ke

saraf pusat yang berguna untuk stabilitas postural. Banyak

perubahan yang terjadi pada vertebra lansia, seperti spondilosis

servikal yang dimana 80% ditemukan pada orang berusia 55 tahun

keatas. Hal itu berpengaruh terhadap penurunan stabilitas dan

fleksibilitas pada postur (Pudjiastuti, 2003).

Perubahan yang paling banyak terjadi pada vertebra lansia

meliputi kepala condong ke depan (kifosis servikal), peningkatan

kurva kifosis torakalis, kurva lumbal mendatar (kifosis lumbalis),

penurunan ketebalan diskus intervertebralis sehingga tinggi badan

menjadi berkurang. Kepala yang condong ke depan seringkali

diartikan tidak normal, tetapi dapat dikatakan normal apabila hal itu

merupakan kompensasi dari perubahan postur yang lain. Kurva

skoliosis dapat timbul pada lansia karena perubahan vertebra,

ketidakseimbangan otot erctor spine dan kebiasaan atau aktivitas

yang salah (Pudjiastuti, 2003).

Pada anggota gerak, variasi perubahan postur yang paling banyak

adalah protraksi bahu dan sedikit fleksi sendi siku, sendi panggul dan

lutut.

B. Konsep Dasar Artritis Reumathoid

1. Definisi

8
Artritis reumathoid merupakan penyakit non-bakterial yang bersifat

sistemik, progresif, senderung kronik dan mengenai sendi serta jaringan

ikat sendi secara simetris.

Tabel 2.1: Sendi yang terlibat pada artritis reumathoid

Sendi yang terlibat Frekwensi keterlibatan (%)

Metacarpophalangeal (MCP) 85

Pergelangan tangan 80

Proximal Interphalangeal (PIP) 75

Lutut 75

Metatarrophalangeal (MTP) 75

Pergelangan kaki 75

Bahu 60

Midfoot (tarsus) 60

Panggul (hip) 50

Siku 50

Acromioclavikular 50

Vertebla servikal 40

Temporomandibular 30

Sternoclavikular 30

Sumber : IPD hal:249

2. Etiologi

9
Penyebab utama kelainan ini tidak di ketahui. Ada beberapa teori yang

di kemukakan mengenai penyebab artritis reumathoid, yaitu:

a. Infeksi Streptokokus hemolitikus dan Streptokokus non-hemolitikus

b. Endokrin

c. Autoimun

d. Metabolic

e. Factor genetic serta factor pemicu lingkungan.

Pada saat ini, artritis reumathoid diduga di sebabkan oleh faktor

autoimun dan infeksi. Autoimuun ini bereaksi terhadap kolagen tipe II;

faktor injeksi mungkin disebabkan oleh virus atau organisme mikroplasma

atau graoup difterioid yang menghasilkan antigen kolagen tipe II dari

tulang rawan sendi penderita. Kelainan yang dapat terjadi pada suatu

artritis reumathoid yaitu:

a. Kelainan pada daerah artikuler

1) Stadium I (stadium sinovitis)

2) Stadium II (stadium destruksi)

3) Stadium III (stadium defotmitas)

b. Kelainan pada jaringan ekstra-artikuler

Perubahan patologis yang dapat terjadi pada jaringan ekstra-artikuler

adalah:

1) Otot: terjadi miopati

2) Nodus subkutan

3) Pembuluh darah perifer: terjadi proliferasi tunika intima, lesi pada

pembuluh darah arterior dan venosa

10
4) Kelenjar kimfe: terjadi pembesaran limfe yang berasal dari aloiran

limfe sendi,hiperplasi folikuler, peningkatan aktivitas system

retikuloendotelial dan proliferasi yang mengakibatkan

splenomegali

5) Saraf: terjadi nekrosis fokal, reaksi epiteloid serta infiltrasi leukosit

6) Visera

3. Manifestasi Klinik

Gejala awal terjadi pada beberapa sendi sehingga dosebutpoli atritis

reumathoid. Persendian yang paling sering terkena adalah sendi tangan,

pergelangan tangan , sendi lutut, sendi siku, pergelangan kaki, sendi bahu

serta sendi panggul dan biasanya bersifat bilateral/simetris. Tetapi kadang

kadang hanya terjadi pada satu sendi disebut artritis reumathoid mono-

artikular.

a. Stadium awal

Malaise, penurunan BB, rasa capek, sedikit demam dan anemia.

Gejala lokal yang berupa pembengkakan, nyeri dan gangguan gerak

pada sendi metakarpofalangeal. Pemeriksaan fisik: tenosinofitas pada

daerah ekstensor pergelangan tangan dan flekstor jari-jari. Pada sendi

besar (misalnya sendi lutut) gejala peradangan lokal berupa

pembengkakan nyeri serta tanda-tanda efusi sendi

b. Stadium lanjut

11
Kerusakan sendi dan deformitas yang bersifat permanen,

selanjutnya timbul/ketidakstabilan sendi akibat rupture tendo/ligament

yang menyebabkan deformitas reumathoid yang khas berupa deviasi

ulnar jari-jari, deviasi radial/volar pergelangan tangan serta valgus

lutut dan kaki. Untuk menegakan diagnosis dipakai kriteria diagnosis

dari ACR dimana untuk mendiagnosis AR di perlukan 4 dari 7

kompnen kriteria tersebut. Kriteria 1-4 tersebut harus minimaal

diderita selama 6 minggu

Tabel 2.2: Kriteria Diagnosis nyang di Pakai untuk Mendiagnosis RA

Kriteria Definisi

Kaku pagi hari Kekakuan pada pagi hari pada

persendian dan sekitarnya

sekurang-kurangnya selama 1

jam sebelum perbaikan

maksimal

Artritis pada 3 daerah Pembengkakan jaringan lunak

persendian atau lebih atau persendian atau lebih

efusi(bukan pertumbuhan

tulang) pada sekurang-

kurangnya pada 3 sendi secara

bersamaan yang di obserfasi

oleh seorang dokter

Artritis simetris Keterlibatan sendi yang sama

(seperti keriteria yang tertera 2

12
pada kedua belah sisi

Nodul reumathoid Nodul subkutan pada

penonjolan tulang tau

permukaan ekstensor atau

daerah jukstra artikuler yang

diobserfasi oleh seorang dokter

Faktor reumathoid srum positif Terdapatnya titerabnormal

faktor reumathoid serum yang

diperiksa dengan cara yang

memberikan hasil positif

kurang dari 5% kelompok

kontrol yang di periksa.

Pemeriksaan hasilnya negatife

tidak menyingkirkan adanya

RA

Perubahan gambaran radiologis Perubahan gambaran radiologis

yang khas bagi artritis

reumathoid pada pemeriksaan

sinar x tangan posterior atau

pergelangan tangan yang harus

menunjukan adanya erosi atau

ddekalsifikasi tulang yang

berlokasi pada sendi

4. Pemeriksaan Penunjang

13
a. Faktor Reumathoid, fiksasi lateks, Reaksi-reaksi aglutinasi

b. Laju endap darah: umumnya meningkat pesat (80-100 mm/h) mungkin

kembali normal sewaktu gejala-gejala meningkat

c. Protein C-reaktif: positif selama masa eksaserbasi

d. Sel darah putih: meningkat pada saat terjadi inflamasi

e. Hemoglobin: umumnya menunjukan anemia sedang

f. Lg (lg M dan lg G): peningkatan besar menunjukan proses autoimun

sebagai penyebab AR

g. Sinar x dari sendi yang sakit: menunjukan pembengkakan pada

jaringan lunak, erosi sendi, dan osteoporosis dari tulang yang

berdekatan (perubahan awal) berkembang menjadi kista tulang,

memperkecil jarak sendi dan sublukasio. Perubahan osteoatristik yang

terjadi secara bersamaan.

h. Scan radionuklida: identifikasi peradangan sinovum

i. Scan radionuklida: identifikasi peradangan sinovial

j. Biopsi membran sinovial: Menunjukan perubahan inflamasi dan

perkembangan panas.

5. Penatalaksanaan

Setelah diagnosis RA dapat di tegakkan, pendekatan pertama yang

harus dilakukan adalah segera berusaha untuk membina hubungan yang

baik antara pasien dengan keluarganya dengan dokter atai tim pengobatan

yang merawatnya.

14
a. Pendidikan pada pasien mengenai penyakitnya dan penatalaksanaanya

yang akan di lakukan sehinga terjalin hubungan baik dan terjamin

ketaatan pasien.

b. OAINS di berikan sejak dini untuk mengatasi nyeri sendi akibat

inflamasi yang ring di jumpai. OANS yang dapat di berikan

1) Aspirin: pasien di bawah 50 tahun dapat dimlai dengan dosis 3-4 x

1gr/hari, kemudian di naikan 0,3-0,6 gr/minggu sampai terjadi

perbaikan atau gejala toksik. Dosis terapi 20-30 mg/dl

2) Ibuprofen, naproksen, piroksikam, diklofenak, dan sebagainya.

c. DMARD (disease-modifyng antirheumatic drugs) di gunakan untuk

melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat artritis

reumathoid. Mula khasiatnya baru terlihat setelah 3-12 bulan

kemudian. Setelah 2-5 tahun, maka efektifitasnya dalam menekan

proses reumathoid akan berkurang. Jenis-jenis yang di gunakan adalah:

1) Klorokuin: paling banyak di gunakan karena harganya terjangkau,

namun efektifitasnya lebih rendah di bandingkan dengan yang lain.

Dosis anjuran klorokuin fosfat 250 mg/hari, hidrosiklorokuin 400

mg/hari

2) Sulfasalazin dalam bentuk tablet bersalut enteric digunakan dalam

dosis 1 x 500 mg/hari, ditingkatkan 500 mg/minggu, sampai

mencapai dosis 4 x 500 m. Setelah remisi tercapai, dosis dapat di

turunkan hingga 1g/hari untuk di pakai dalam waktu 3 bulan tidak

terlihat khasiatnya,obat ini di hentikan dan di ganti dengan yang

lain, atau di kombinasi

15
d. Riwayat penyakit alamiyah

Pada umumnya 25% pasien akan mengalami manufestasi penyakit

yang bersifat monosiklik (hanya mengalami sutu episode RA dan

sealnjutnya akan mengalami remisi sempurna). Pada pihak lain

sebagian besar pasien akan menderita penyakit ini sepanjang hidupnya

dengan hanya diselingi oleh beberapa masa remisi yang singkat (jenis

polisiklik). Sebagian kecil lainya akan menerita RA yang progresif

yang disertai dengan penurunan kapasitas fungsiional yang menetap

pada setiap eksaserbasi. Sampai saat ini belum berhasil di jumapi obat

yang bersfat sebagai disiase controling antirheumathic theraphy(DC-

ART).

e. Rehabilitasi

Rehabilitasi merupakan tindakan untuk mengembalikan tingkat

kemampuan pasi RA dengan tujuan

1) Menguragi rasa nyeri

2) Mencegah terjadinya ketakutan dan keterbatasan gerak sendi

3) Mencegah terjadinya atrofi dan kelemahan otot

4) Mencegah terjadinya deformitas

5) Meningkatkan rasa nyaman dan kepercayaan diri

6) Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantungkepada

orang lain

Rehabilitasi di laksanakan dengan mengistirahatkan sendi yang

terlibat, latihan serta dengan menggunakan modalitas terapi fisis

16
seperti pemanasan, pendinginan, peningkatan ambang rasa nyeri

dengan arus listrik.

6. Masalah yang lazim muncul

a. Nyeri akut b.d perubahan patologis oleh artritis reumathoid

b. Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan integritas struktur tulang,

kekakuan sendi

c. Gangguan citra tubuh b.d perubahan penampilan tubuh, sendi,

bengkok, deformitas

d. Resiko cedera b.d hilangnya kekuatan otot,rasa nyeri

e. Defisit perawatan diri b.d kerusakan itegritas strukturtulang, kekakuan

sendi

f. Defisiensi pengetahuan b.d kurangnya informasi

g. Ansietas b.d kurangnya informasi tentang penyakit, penurunan

produktifitas (status kesehatan dan fungsi peran)

17
PATHWAY ARTRITIS REUMATHOID

7. Discharge Planning

a. Olah raga teratur, istirahat cukup dan ketahui penyebab dan tanda

gejala penyakit

b. Kompres panas dapat mengatasi kekakuan kompres dingin dapat

mebantu meredakan nyeri

c. Hindari makanan yang banyak mengandung purin seperti bir dan

minuman berakohol

d. Mengkonsumsi makanan seperti tahu untuk mengganti daging,

memakan buah beri untuk menurunkan kadar asam urat dan

mengurangi inflamasi. Juga asam lemak tertentu minyak ikan salmon,

minyak zaitun

18
e. Banyak minum air untuk membantu mengencerkan asam urat yang

terdapat dalam darah sehingga tidak tertimbun di sendi.

f. Mengkonsumsi makanan yang berggizi dan mempertahankan BB yang

normal

C. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Penderita Artritis Reumathoid

1. Pengkajian Keperawatan

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam peroses

keperawtan. Untuk itu, di perlukan kecermatan dan ketelitian dalam

mengnangani masalah klien sehingga dapat memberi arah terhadap

tindkan keperawatan.

a. Anamnesis.

Anamnesis di lakukan untuk mengetahui:

1) Identitas meliputi nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahasa

yang di gunakan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan,

asuransi, golongan darah, nomor register, tanggal masuk rumah

sakit, dan giagnosis medis.

Pada umumnya keluhan utama artritis reumatoid adalah nyeri pada

daerah nyeri yang mengalami masalah.Untuk memproleh kajian

yang lengkap tentang nyeri klien, perawat dapat menggunakan

metode PQRST.

a) Provoking Incien: Hal yang menjadi faktor prepitasi nyeri

adalah peradangan

19
b) Quality of Pain: Nyeri yang di rasakan atau di gambarkan klien

bersifat menusuk

c) Region, Radiaton, Relief: Nyeri dapat menjalar atau menyebar,

dan nyeri terjadi di sendi yang mengalami masalah.

d) Severity (Scale) of poin: Nyeri yang di rasakan ada di antara 1-

3 pada rentang sekala pengukuran 0-4.

e) Time: Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah berta,bah

buruk pada malam hari atau siang hari.

2) Riwayat penyakit Sekarang

Pengumpulan data di lakukan sejak keluhan muncul. Pada klien

Atritis Reumatod, stadium awal biasanya di tandai dengan

gangguan keadaan mum berupa malaise, penurunan berat badan,

rasa cape, sedikit panas, dan anemia.Gejala lokal yang terjadi

berupa pembengkakan, nyeri, dang gangguan gerak pada sendi

metakarpofalangeal.Perlu di kaji kapan gangguan sensori

muncul.Gejala awal teradi pada sendi.Persendian yang paling

sering terkena adalah sendi tangan, pergelangan tangan, sendi lutut,

sendi siku, pergelagan kaki, sendi bahu, serta sendi panggul, dan

biasanya bersifat bilateral/simetris.Akan tetapi, kadang Artritis

Reumatoid dapat terjadi hanya pada satu sendi.

3) Riwatan Penyakit Dahulu

Pada pengkaian ini, di temukan kemungkinan penyebab yang

mendukung terjadinya Atritis Reumatoid.Penyakit tertentu seperti

penyakit diabetes menghambat proses penyembuhan artritis

20
reumatoid.Masalah lain yang perlu ditanyakan adalah apakah klien

pernah dirawat dengan masalah yang sama.Sering klien ini

menggunakan obat anti rematik jangka panjang sehinga perlu di

kaji jenis obat yang di guanakan(NSAID, antibiotik, dan

analgesik).

4) Riwatan Penyakit Keluarga

Kaji tentang adakah dari generasi terdahulu yang mengalami

kelihuhan yang sama dengan klien.

5) Riwatan Psikososial

Kaji respons emosi klien terhadap penyakit dan peranya dalam

keluarga dan masyarakat.Klien ini dapat mengalami ketakutan

akan kecacatan karena perubahan bentuk sendi dan pandangan

terhadap dirinya yang salah(gangguan citra diri).Klien ini dapat

juga mengalami penurunan libido sampe tidak dapat melakukan

hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan

kelemahan fisisik serta nteri.Klien Artritis Reumatoid akan merasa

cemas tentang fungsi tubuhnya sehingga perawat perlu mengkaji

mekanisme koping klien.Kebutuhan tidur dan istirahat juga harus

di kaji, selain lingkungan, lama tidur, kebiasaan, kesulitan dan

penggunaan obat tidur.

2. Pemeriksaan Fisik

Setelah melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik sangan berguna untuk

mendukung data anamnesis. Pemeriksaan fisik dilakukan per sistem (B1 –

21
B6) dengan fokus pemeriksaan B6 (Bone) yang dikaitkan dengan keluhan

klien.

a. B1 (Breathing). Klien Atritis Reumathoid tidak menunjukan kelainan

sistem pernafasan pada saat inspeksi. Palpasi toraks menunjukan taktil

fremitus seimbang kanan dan kiri. Pada auskultasi, tidak ada suara

nafas tambahan.

b. B2 (Blood). Tidak ada iktus jantung pada palpasi. Nadimungkin

meningkat, iktus tidak terba. Pada auskultasi, ada suara S1 dan S2

tunggal dan tidak ada murmur.

c. B2 (Brain). Kesadaran biasanya kompos mentis. Pada kasus yang lebih

parah, klien dapat mengeluh pusing dan gelisah.

1) Kepala dan wajah: ada sianosis

2) Mata: skelera biasanya tidak ikterik

3) Leher: biasanya JVP dalam batas normal

4) Telingan: tes bisisk ata waber masih dalam keadaan normal. Tidak

ada lesi atau nyeri tekan

5) Hidung: tidak ada deformitas, tidak ada pernafasan cuping hidung

6) Mulut dan faring: tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi

perdarahan,mukosa mulut tidak pucat.

7) Status mental: penampilan dan tingkah laku klien biasanya tidak

mengalami perubahan

8) Pemeriksaan saraf kranial:

(a) Saraf I. Biasanya pada pasien artritis reumathoid tidak ada

klainan dan fungsi penciuman tidak ada kelainan

22
(b) Saraf II. Tes ketajaman penglihatan normal

(c) Saraf III, IV, V, Biasanya tidak ada gangguan mengangkat

kelopak mata, pupil isokor.

(d) Saraf VII, Persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah

simetris

(e) Saraf VIII, Tidak ditemukan tuli konduktif atau tuli persepsi

(f) Saraf IX, dan X, Kemampuan menelan bauk

(g) Saraf XI, Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoiddeus dan

trapezius

(h) Saraf XII, Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi ddan

tidak ada fasikulasi. Indra pengecap normal

d. B4 (Bladder). Produksi urine biasanya dalam batas normal dan tidak

ada keluhan pada sistem perkemihan

e. B5 (Bowel). Umumnya klien artritis reumathoid tidak mengalami

gangguan eliminasi. Meskipun demikkian, perlu di kaji frekwensi

konsistensi, warna serta bau feses. Frekwensi berkemih, kepekatan

urine, warna, serta bau feses. Frekwensi berkemih, kepekatan urine,

warna bau dan jumlah urine juga harus di kaji. Gangguan

gastrointestinal yang sering dalah mual, nyeri kambung, yang

menyebabkan klien tidak nafsu makan, terutama klien yang

menggunakan obat reumatik dan NSAID. Pristaltik yang menurun

menyebabkan klien jarang defekasi.

23
f. B6 (Bone)

a) Look : Didapatkan adanya pembengkakan yang tidak biasa

(abnormal), deformitas pada daerah sendi kecil tangan,

pergelangan kaki, dan sendi besar lutut, panggul, dan pergelangan

tangan. Adanya degenerasi serabut otot memungkinkan terjadinya

pengecilan, atrofi otot yang di sebabkan oleh tidak di gunakanya

otot akibat inflamasi sendi. Sering di temukan nodul subkutan

multipel.

b) Feel: Nyeri tekan pada sendi yang sakit

c) Move: Ada gangguan mekanis dan fungsional pada sendi dengan

manifestasi nyeri dengan menggerakkan sendi yang sakit. Klien

sering mengalami kelemahan fisik sehingga mengganggu aktifitas

hidup sehari-hari.

3. Pemeriksaan Diagnostik

a. Pemeriksaan radiologi. Pada tahap awal, foto rongen tidak menunjukan

kelainan yang mencolok. Pada tahap lanjut, terlihat rarefaksi korrteks

sendi yang difus dan disertai trabekulasi tulang, obliterasi ruang sendi

yang memberi perubahan degeeratif berupa densitas, iregularitas

permukaan sendi, serta spurring marginal. Selanjutnya bila terjadi

destruksi tulang rawan, akan terlihat peneyempitan ruang sendi dengan

erosi pada beberapa tempat

b. Pemeriksaan laboratorium. Ditemukan peningkatan laju endap darah,

anemia normositik hipokrom, reaksi protein-C possitif dan muko

24
protein meningkat, faktor reumatoid positif 80% (uji Rose-Waaler) dan

faktor antinuklear positif 80%, tetapi kedua uji ini tidak spesifik.

4. Diagnosis Keperawatan

Masalah keperawatan utama klien artritis reumathoid adalah sebagai

berikut:

a) Nyeri akut

b) Hambatan mobilitas fisik

c) Gangguan konsep diri (citra diri)

d) Defisiensi pengetahuan tentang prognosis dan kebutuhan pengobatan

5. Rencana dan Implementasi Keperawatan

Prioritas rencana asuhan keoerawatan meluputi hal-hal sebagai berikut.

a. Nyeri sendi yang behubungan dengan peradangan

1) Tujuan Perawatan:

a) Nyeri berkurang, hilang, atau teratasi

2) Kriteria Hasil:

a) Klien melaporkan penurunan nyeri, menunjukan prilaku relaks,

mempragakan keterampilan reduksi nyeri yang di pelajari

dengan peningkatan keberhasilan. Skala nyeri 0-1 atau teratasi

3) Intervensi

a) Kaji lokasi, intensitas, dan tipe nyeri. Obserfasi kemajuan nyeri

ke daerah yang baru. Kaji nyeri dengan skala 0-4.

Rasional: Nyeri merupakan respons subjektif yang dapat di kaji

secara mandiri.

25
b) Bantu klien dalam mengidentifikasi faktor pencetus.

Rasional: Nyeri merupakan respons subjektif yang dapat di kaji

dengan menggunakan skala nyeri. Klien melaporkan nyeri

biasanya di atas tingkat cedea

c) Jelaskan dan bantu klien terkait dengan tindakan pereda nyeri

nonfarmakologi dan non-invasif.

Rasional: Nyeri dipengaruhi oleh kecemasan dan peradangan

pada sendi

d) Ajarkan relaksasi: teknik mengurangi ketegangan otot rangka

yang dapat mengurangi intensitas nyeri dan tingkatkan

relaksasi masase.

Rasional : Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan

tindakan farmakologi lain menujukan keefektifan dalam

mengurangi nyeri

e) Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.

Rasional: Akan melancarkan peredaran darah sehingga

kebutuhn oksigen pada jaringan terpenuhi dan mengurangi

nyeri

f) Beri kesempatan waktu isrirahat bila terasa nyeri dan beri

posisi yang nyaman (mis., ketika tidur, beri bantal kecil di

punggung klien).

Rasional: Mengalihkan perhatian klie terhadap nyeri ke hal

yang menyenangkan

26
g) Tingkatkan pengetahuan tentang penyebab nyeri dan hubungan

dengan berapa lama nyeri akan berlangsung.

Rasional: Pengetahuan terseebut membantu mengurangi nyeri

dan dapat membantu meningkatkan kebutuhan klien terhadap

rencana terapeutik.

b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan ujung tulang

dan sendi

1) Tujuan perawatan

a) Klien mampu melaksanakan aktifitas fisik sesuai dengan

kemampuanya

2) Kriteria hasil

a) Klien ikut program latihan, tidak mengalami kontraktur sendi,

kekuatan otot bertambah, klien menunjukan peningkatan

mobilitas, dan mempertahankan koordinasi optimal.

3) Intervensi

a) Kaji mobilitas dan observasi adanya peningkatan kerusakan.

Kaji secara teratur fungsi motorik

Rasional: Mengetahui tingkat kemampuan mandiri

b) Atur posisi fisiologis

Rasional: Pengaturan posisi fisiologi dapat membantu

perbaikan sirkulasi oksigenasi lokal dan mengurangi penekanan

lokal jaringan

c) Ajarkan klien melakukan latihan gerak aktif pada ekstermitas

yang tidak sakit.

27
Rasional: Gerakan aktif memberi massa, tonus, dan kekuatan

otot, serta memperbaiki fungsi jantung dan pernafasan.

d) Bantu klien melakukan latihan ROM dan perawatan diri sesuai

toleransi.

Rasional: Untuk mempertahankan fleksibilitas sendi sesuai

kemampuan

e) Pantau kemajuan dan perkembangan kemampuan klien dalam

melakukan aktifitas.

Rasional: Untuk mendeteksi perkembangan klien

c. Gangguan citra diri yang berhubungan dengan gangguan dan

perubahan struktur tubuh

1) Tujuan Perawatan

a) Citra diri klien meningkat

2) Kriteria Hasil

a) Klien mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan

orang terdekat tentang situasi dan perubahan yang terjadi,

mampu menyatakan penerimaan diri, mengakui dan

menggabungkan perubahan ke dalam konsep diri dengan cara

yang akurat.

3) Intervensi

a) Kaji perubahan dan hubunganya dengan ketidakmampuan.

Rasional: Menetukan bantuan individu dalam menyusun

rencana perawatan atau pemilihan intervensinya

28
b) Anjurkan klien mengekspresikan perasaan termaksud sikap

bermusuhan dan marah.

Rasional: Menunjukan penerimaan, membantu klien untuk

mengenal, dan mulai menyesuaikan dengan perasaan tersebut

c) Ingatkan kembali realitas bahwa klien masih dapat

menggunakan sisi yang sakit dan belajar mengontrol sisin yang

sehat.

Rasional: Membantu klien bahwa penerimaan kedua bagian

sebagai keseluruhan tubuh. Menizinkan klien untuk merasakan

adanya harapan dan mulai menerima situasi baru

d) Bantu dan ajarkan perawatan yang baik dan memperbaiki

kebiasaan.

Rasional: Membantu meningkatkan perasaan harga diri dan

mengontrol lebih fari satu area kehidupan

e) Anjurkan orang terdekat mengizinkan klien melakukan

sebanyak mungkin hal untuk dirinya.

Rasional: Menghidupkan kembali perasaanmandiri dan

membantu perkembangan harga diri serta memengaruhu proses

rehabilisasi

f) Dukung perilaku atau usaha, eperti peningkatan minat atau

partisipasi dalam atifitas rehabilitasi

Rasional: Dukungan perawat kepada klien dapat meningkatkan

rasa percaya diri.

29
6. Evaluasi Keperawatan

Hasill asuhan keperawatan yang di harapkan adalah sebagai berikut.

a. Terpenuhinya penurunan dan peningkatan adaptasi nyeri

b. Terpenuhinya dukungan psikologis

c. Tercapainya fungsi sendi dan mencegah terjadi deformitas

d. Tercapainya peningkatan fungsi anggota gerak yang terganggu

e. Terpenuhinya kebutuhan pendidikan dan latihan dalam rehabilitasi.

D. Konsep Kebutuhan Rasa Nyaman (Bebas Nyeri)

1. Pengertian Nyeri

Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan tidak meneyenagkan

bersifat sangat subjektif karena perasaan nyeri beerbeda pada stiap orang

dalam hal sekala atau tingkatanya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat

menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya. Berikut adalah

pendapat beberapa ahli mengenai pengertian nyeri:

a) Mc. Coffery, mendefinisikan nyeri sebagai suatu keadaan yang

memengaruhi seseorang yang keberadaanya di ketahui hanya jika

seseorang tersebut pernah mengalaminya.

b) Wolf Waisfel Feurst, mengatakan nyeri merupsksn suatu perasaan

menderita secara fisik dan mental atau perasaan yang bisa

menimbulkan ketegangan.

c) Arthur C, Curton, mengatakan bahwa nyeri merupakan suatu

mekanisme produksi bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang di

30
rusak, dan menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk

memghilangkan rangsangan nyeri.

d) Serumum, mengartikan nyeri sebagai suatu keadaan yang tidak

menyenagkan akibat terjadinya rangsangan fisik maupun dari serabut

saraf dalam tubuh ke otak dan di ikuti oleh reaksi fisik, fisiologi, dan

emosional.

2. Fisiologi Nyeri

Munculnya nyeri berkaitan erat dengan reseptor dan adanya

rangsangan. Reseptor nyeri yang di maksud adalah noociceptor,

merupakan ujung-ujung saraf sangat bebas yang memiliki sedikit atau

bahkan tidak memiliki myelin yang tersebar pada kulit dan mukosa,

khususnya pada kulit dan mukosa, khususnya pada visera, persendian,

dinding arteri, hati, dan kandung empedu,. Reseptor nyeri dapat

memberikan respons akibat adanya stimulasi atau rangsangan. Stimulasi

tersebut dapat berupa zat kimiawi seperti histami, bradikinin,

prostaglandin, dan macam-macam asam yang di lepas apabila terdapat

kerusakan pada jaringan akibat kekurangan oksigen. Stimulasi yang lain

dapat berupa termal, listrik, atau mekanis.

Selanjutnya, stimulasi yang diterima oleh reseptor tersebut di

transmisikan beruma impuls-impuls nyeri ke sumsung tulang belakang

oleh dua jenis tersebut yang bermielin rapat atau serabut A (delta) atau

serabut lamban (serabut C). Impuls-impuls yang di transmisikan oleh

serabut delata A mempunyai sifat unhibitor yang di transmisikan ke

serabut C, serabut-serabut aferen masuk ke spinal melalui akar dorsal

31
(dorsal root) serta sinaps pada doesal horn. Dorsal horn terdiri atas

beberapa lapisan atau laminase yang salong bertautan. Di antar lapisan dua

da tiga terbentuk subtantia gelatinosa yang merupakan saluran utama

impuls. Kemudian, impuls nyeri menyebrangi sumsum tulang belakang

pada interneuron dan bersambung ke jalur spinal asendens yang paling

utama, yaitu jalur spinochalamic tract (STT) atau jalur spinochalamus dan

spinoreticular tract (SRT) yang membawa informasi tentang sifat dan

lokasi nyeri. Dari proses transmisi tersebut terdapat dua jalur mekanisme

terjadinya nyeri, yaitu jalur opiate dan jalut nonopiate. Jalur opiate di

tandai oleh pertemuan reseptor pada otak yang terdiri atas jalur spinal

desendens dan thalamus yang melalui otak tengah dan medula ke tanduk

dorsal dari sumsung tulang belakang yang berkonduksi dengan nociceptor

impuls supresif. Serontonin merupakan neurotransmiter dalam impuls

supresif. Sistem supresif lebih mengaktifkal stimulasi nociceptor yang di

transmisikan oleh serabut A. Jalur nonopiate merupakan jalur desenden

yang tidak memberikan respons terhadap noloxone yang kurang banyak

diketahui mekasinismenya (Barbara C.Long)

3. Klasifikasi Nyeri

Klasifikasi nyeri secara umum dibagi memjadi dua, nyeri akut dan

nyeri kronis, nyeri akut merupakan nyeri yang timbul secara medadak dan

cepat menghilang, yang tidak melebihi 6 bulan dan di tandai adanya

peningkatan tegangan otot. Nyeri kronis merupakan nyeri yang timbuls

secara berlahan lahan, biasanya berlangsung cukup lama, yaitu lebih dari 6

bulan. Yang termaksud dalam kategori nyeri kronis adalah nyeri terminal,

32
sindrom nyeri kronis, dan nyeri psokosomatis. Ditinjau dari sifat

terjadinya, nyeri dapat di bagi ke dalam beberapa kategori, di antaranya

nyeri tertusuk dan nyeri terbakar.

Tabel 2.3: Perbedaan Nyeri Akut dan Kronis

Karajteristik Nyeri Akut Nyeri Kronis

Pengalaman Satu kejadian Satu situasi, stus

eksistensi

Sumber Sebab eksternal atau Tidak diketahui

penyakit dari dalam atau pengobatan

yang terlalu lama

Serangan Mendadak Bisa mendadak,

berkembang, dan

terselubung

Waktu Sampai 6 bulan Lebih dari 6 bulan

sampai bertahun-

tahun

Pernyataan nyeri Daerah nyeri tidak Daerah nyeri sulit

diketahui dengan pasti dibedakan

intensitasnya,

sehingga sulit

dievaluasi

(perubahan

perasaan)

33
Gejala-gejala klinis Pola rspons yang khas Pola respons yang

dengan gejala yang berfariasi dengan

lebih jelas sedikt gejala

(beradaptasi)

Pola Terbatas Berlangsung trus,

dapat berfariasi

Perjalanan Biasanya berkurang Penderita

setelah beberapa saat meningkat setelah

beberapa saat

Selai klasifikasi nyeri di atas, terdapat jenis nyeri yangbspesifik, di

antaranya nyeri somatis, nyeri viseral, nyeri menjalar (referent pait), nyeri

psikogenik, phantom dari ekstremitas, nyeri neurologis, dan lain-lain

Nyeri somatis dan nyeri viseral ini umumnya bersumber dari kulit dan

jari di bawah kulit (superfisial) pada otot dan tulang. Perbedaana antara

kedua nyeri ini dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.4: Perbedaan Nyeri Somatis dan Nyeri Viseral

Karakteristik Nyeri Somatis Nyeri viseral

Superfisial Dalam

Kualitas Tajam, mensuk, Tajam, tumpul, Tajam,

membakar nyeri trus tumpul, nyeri

terus, kejang

Menjalar Tidak Tidak Ya

Stimulasi Torehan, abrasi Torehan, panas, Distensi,

34
terlalu panas iskemia iskemia,

dan dingin pergeseran spasmus/

tempat iritasi

kimiyawi(tida

k ada torehan)

Reaksi otonom Tidak Ya Ya

Reaksi kontraksi Tidak Ya Ya

Otot

4. Stimulasi Nyeri

Seseorang dapat menoleransi, menahan nyeri (pain tolerance), atau

mengenali jumlah stimulasi nyeri sebelum merasakan nyeri.

Terdapat beberapa stimulasi nyeri, di antaranya:

a. Trauma pada jaringan tubuh, misalnya karena bedah akibat terjadinya

kerusakan jaringan dan iritasi secara langsung pada reseptor.

b. Gangguan pada jaringan tubuh, misalnya karena edema akibat

terjadinya penekanan pada reseptor nyeri.

c. Tumor, dapat juga menekan pada reseptor nyeri.

d. Iskemia pada jaringan, misalnya terjadi blokade pada arteria koronaria

yang menstimulasi reseptor nyeri akibat tertumpuknya asam laktat

e. Spasme otot, dapat menstimulasi mekanik.

35
5. Teori Nyeri

Terdapat beberapa teori tentang terjadinya rangsangan nyeri, di antaranya:

a. Teori Pemisahan (Specificity theory)

Menurut teor ini, rangsangan sakit masuk ke medula spinalis

melalui kornul dorsalis yang bersinaps di daerah posterior, kemudia

naik ke tractus lissur dan menyilang ke garis median ke sisi lainya, dan

berakhir di korteks sensori tempat rangsangan nyeri tersebut di

teruskan.

b. Teori Pola (Pattern Theory)

Rangsangaan nyeri masuk melalui akar ganglion dorsal ke medula

spinalis dan merangsang aktifitas sel T. Hal ini mengakibatkan suatu

respons yang merangsang ke bagian yang lebih tinggi, yaitu korteks

serebri, serta kontraksi menimbulkan persepsi dan otot erkontraksi

sehingga menimbulkan nyeri. Persepsi dipengaruhi oleh modalitas

respons dari reakti sel T.

c. Teori Pengendalian Gerbang ( Gate Control Theory)

Menurut teori ini, nyeri tergantung dari kerja syarafbesar dan kecil

yang keduanya berada pada akar ganglion dorsalis. Rangsangan pada

saraf-saraf besar akan menigkatkan aktivitas substansia ganglion yang

mengakibatkan tertutupnya pintu mekanisme sehingg aktifitas sel T

terhambat dan menyebabkan hantaran rangsangan ikut terhambat.

Rangsangan saraf besar dapat langsung merangsang korteks serebri.

Hasil persepsi ini akan di kembalikan ke dalam medula spinalis

melalui saraf efeen dan reaksinya akan mempengaruhi aktifitas sel T.

36
Ragsangan pada serat kecil akan menghambat aktifitas substansia

gelatinosa dan membuka pintu mekanisme, sehinga merangsang

aktifitas sel T yang selanjutnya akan meghantarkan rangsangan nyeri.

d. Teori Transmisi dan Inhibisi

Adanya stimulasi pada nociceptor memulai transmisi impuls-

impuls saraf, sehigga transmisi impuls nyeri menjadi efektif oleh

neurotransmiter yang spesifik. Kemudian, inhibisi imouls nyeri

menjadi efektif oeh impuls-impuls pada serabut serabut besar yang

memblok impuls-impuls pada serabut lamban dan endogen opiate

sistem supresif.

6. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Nyeri

Pengalaman nyeri pada seseorang dapat di pengaruhi pleh beberapa

hal, di antaranya adalah:

a. Arti Nyeri.

Arti nyeri bagi seseorang memiliki banyak perbedaan dan hampir

sebagian arti nyeri mrupakan arti yang negatif, seperti membahayakan,

merusak, dan lain-lain. Keadaan ini di pengaruhi oleh berbagai faktor,

seperti usia, jenis kelamin, larat belakang busaya, lingkungan, dan

pengalaman.

b. Persepsi Nyeri

Persepsi nyeri merupakan penilaian yang sangat subjektif

tempatnya pada korteks pada fungsi evaluatif kognitif. Persepsi ini di

pengaruhi oleh faktor yang dapat memicu stimulasi nociceptor

37
c. Toleransi Nyeri

Toleransi ini erat hubunganya dengan intensitas nyeri yang dapat

memengaruhi kemampuan sesorang menahan nyeri. Faktor yang dapat

memengaruhi peningkatan toleransi nyeri antara lain alkohol, obat-

obatan, hipnotis, gesekan atau garukan, pengalihan perhatian,

kepercayaan yang kuat, dan sebagainya. Sedangkan faktor yang

menurunkan toleransi antara lain kelelahan, rasa marah, bosan, cemas,

nyeri yang tidak kunjung hilang, sakit, dan lain-lain.

7. Penatalaksanaan Nyeri

Penelitian tentang kompres panas untuk mengurangi nyeri sudah

pernah dilakukan. Handoyo (2008) membuktikan bahwa terdapat

perbedaan intensitas nyeri antara sebelum dan sesudah terapi kompres

panas pada pasien pasca bedah sesar dengan spinal anestesi. Sementara

itu, Wahyuni dan Nurhidayat (2008) juga membuktikan bahwa terdapat

penurunan tingkat nyeri flebitis akibat pemasangan infus intravena

setelah diberikan terapi kompres panas.

Tindakan kompres hangat dapat digunakan untuk mengurangi maupun

meredakan rangsang pada ujung saraf atau memblokir arah berjalanya

impuls nyeri menuju ke otak.Pemberian kompres hangat pada daerah

tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus melalui sumsum tulang

belakang. Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang, system efektor mengeluarkan sinyal yang memulai

berkeringat dan vasodilitasi perifer.Perubahan ukuran pembuluh darah

diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak,

38
dibawah pengaruh hipotalamus bagian anterior sehingga terjadi

vasodilatasi.Vasodilitasiini menyebabkan aliran darah sehngga suplai

oksigen ke jaringan lancar dan metabolisme jaringan meningkat.

Jaringank hususnya yang mengalami radang dan nyeri diharapkan akan

terjadi penurunan nyeri sendi pada jaringan yang meradang (Tamsuri,

2007). Teori gate control mengatakan bahwa stimulasi kutaneus: kompres

hangat dan kompres dingin bahwa cara ini menyebabkan pelepasan

endorfin suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh memblok

transmisi stimulus nyeri, neuromodulator ini menutup menakanisme

pertahanan dengan menghambat pelepasan sustansi P, mengaktifkan

serabut saraf sensori A-beta yang lebih besar dan lebih cepat proses ini

menurunkan transmisi nyeri melalui serabut C dan delta –A berdiameter

kecil, gerbang sinap menutup transmisi nyeri (Potter, 2005).

Menurut Price(1995), kompres hangat sebagai metode yang sangat

efektif untuk mengurangi nyeri atau kejang otot. Panas dapat disalurkan

melaui konduksi (botol air panas).Panas dapat melebarkan pembuluh

darah dan dapat meningkatkan aliran darah.

a. Prosedur tindakan Kompres Hangat

1) Persiapan alat dan bahan menurut (An, 2010) adalah sebagai

berikut:

a) Alat

 Handscoen

 Baskom kecil

 Handuk kecil

39
b) Bahan

 Air secukupnya

c) Cara kerja

Untruk pelaksanaan kompres hangat dapat mengikuti langkah-

langkah sebagai berikut:

 Infrm consent

 Siapkan wadah dan isi dengan air hangat suhu 40-50

secukupnya

 Masukan handuk kecil kedalam air hangat tersebut

kemudian tunggu beberapa saat sebelum handuk diperas

 Peraskan handuk kemudian tempelkan ke daerah sendi

yang terasa nyeri klien

 Pengompresan dilakukan selama 20 menit

 Setelah selesai bereskan semua peralatan yang telah

dipakai.

Sebaiknya kompres hangat hangat dilakukan dua

kali sehari pagi dan sore agar mendapatkan hasil yang

optimal(An,2010).

E. Asuhan Keperawatan dalam Kebutuhan Rasa Nyaman (Nyeri)

1. Pengkajian Keperawatan

Pengkajian pada masalah nyeri (gangguan rasa nyaman) yang

dapat dilakukan adalah adanya riwayat nyeri; keluhan nyeri seperti lokasi

40
nyeri, intensitas nyeri, kualitas dan waktu serangan. Pengkajian dapat

dilakukan dengan cara PQRST :

- P (pemacu), yaitu faktor yang mempengaruhi gawat atau ringannya

nyeri.

- Q (quality) dari nyeri, seperti apakah rasa tajam, tumpul, atau tersayat.

- R (region), yaitu daerah perjalanan nyeri.

- S (severity) adalah keparahan atau intensitas nyeri.

- T (time) adalah lama / waktu serangan atau frekuensi nyeri.

Intensitas nyeri dapat diketahui dengan bertanya kepada pasien melalui

skala nyeri berikut :

SKALA NYERI

Tidak Nyeri Sedikit Nyeri Sedang Parah / Berat

Tidak Nyeri Ringan Sedang Parah Separah-parahnya

0 : Tidak nyeri 0 : Tidak nyeri 0 : Tidak nyeri


1 : Nyeri ringan 1 : Nyeri ringan 1 : Sedikit nyeri
2 : Tidak nyaman 2 : Nyeri sedang 2 : Nyeri sedang
3 : Mengganggu 3 : Nyeri parah 3 : Nyeri parah
4 : Sangat mengganggu 4 : Nyeri sangat parah

2. Diagnosa Keperawatan

Terdapat beberapa diagnosis yang berhubugan dengan masalah nyeri,

diantaranya :

a. Nyeri kronis kronis akibat arthritis

41
b. Gangguan mobilitas akibat nyeri pada ekstremitas

c. Kurangnya perawatan diri akibat ketidakmampuan menggerakkan

tangan yang disebabkan oleh nyeri persendian

d. Cemas akibat ancaman peningkatan nyeri

3. Perencanaan Keperawatan

a. Mengurangi dan membatasi faktor-faktor yang menambah nyeri.

b. Menggunakan berbagai teknik noninvasif untuk memodifikasi nyeri

yang dialami.

c. Menggunakan cara-cara untuk mengurangi nyeri yang optimal, seperti

memberikan analgesik sesuai dengan program yang ditentukan.

4. Pelaksanaan (Tindakan) Keperawatan

a. Mengurangi faktor yang dapat menambah nyeri, misalnya ketidak

percayaan, kesalah pahaman, ketakutan, kelelahan, dan kebosanan.

1) Ketidak percayaan

Pengakuan perawat akan rasa nyeri yang di derita pasien dapat

mengurangi nyeri. Hal ini dapat dilakukan melalui pernyataan

verbal, mendengarkan dengan penuh perhatian mengenai keluhan

nyeri pasien, dan mengatakan kepada pasien bahwa perawat

mengkaji rasa nyeri pasien agar lebih dapat memahami tentang

nyerinya.

2) Kesalah pahaman

Mengurangi kesalahpahaman pasien tentang nyerinya akan

mengurangi nyeri, hal ini dilakukan dengan memberitahu pasien

42
bahwa nyeri yang dialami sangat individual dan hanya pasien yang

tahu secara pasti tentang nyerinya.

3) Ketakutan

Memberikan informasi yang tepat dapat mengurangi ketakutan

pasien dengan mengganjurkan pasien untuk mengepresikan

bagaimana mereka menangani nyeri.

4) Kelelahan

Kelelahan dapat memperberat nyeri. Untuk mengatasinya,

kembangkan pola aktivitas yang dapat memberikan istirahat yang

cukup.

5) Kebosanan

Kebosanan dapat meningkatkan rasa nyeri, untuk mengurangi

nyeri dapat digunakan pengalih perhatian yang bersifat terapeutik.

Beberapa tehnik pengalih perhatian adalah bernafas pelan dan

berirama, memijat secara perlahan, menyanyi berirama, aktif

mendengarkan musik, membayangkan hal-hal yang

menyenangkan, dan sebagainya.

b. Memodifikasi stimulus nyeri dengan menggunakan teknik-teknik

seperti :

Teknik latihan pengalihan :

1) Menonton televisi

2) Berbincang-bincang dengan orang lain

3) Mendengarkan musik

Tehnik relaksasi

43
Menganjurkan pasien untuk menarik nafas dalam dan mengisi

paru-paru dengan udara, menghembuskannya secara perlahan,

melemaskan otot-otot tangan, kaki, perut, dan punggung, serta

mengulangi hal yang sama smabil terus konsentrasi hingga dapat rasa

nyaman, tenang, dan rileks.

Stimulasi kulit :

1) Menggosok dengan halus pada daerah nyeri

2) Menggosok punggung

3) Menggunakan air hangat dan dingin

4) Memijat dengan air mengalir

c. Pemberian obat analgesik, yang dilakukan guna mengganggu atau

memblok stransmisis stimulus agar terjadi perubahan persepsi dengan

cara mengurangi kortikal terhadap nyeri. Jenis analgesiknya adalah

narkotika danbukan narkotika. Jenis narkotika diginakan utuk

menurunkan tekanan darah dan menimbulkan depresi pada fungsi

vital, seperti respirasi. Jenis bukan narkotika yang paling banyak

dikenal di masyarakat adalah aspirin, asetaminofen, dan bahan anti

inflamasi nonsteroid. Golongan aspirin (asetysalicylic acid) diguakan

untuk memblok rangsangan pada sentral dan perifer, kemungkinan

menghambat sintesis protagladin yang memiliki khasiat setelah 15-20

menit dengan efek puncak obat sekitar 1-2 jam. Aspirin juga

menghambat agregrasi trombosit dan antagonis lemah terhadap

vitamin K, sehingga dapat meningkatkan waktu perdarahan dan

protombin bila diberikan dalam dosis yang tinggi. Golongan

44
asetaminofen sama dengan seperti aspirin, akan tetapi tidak

menimbulkan perubahan kadar protombin dan jenis nonsteroid anti

inflamatory drug (NSAID), juga dapat menghambat prostaglandin dan

dosis rendah dapat berfungsi sebagai analgesik. Kelompok obat ini

meliputi ibuprofen, mefenamic acid, fenoprofen, naprofen, zomepirac,

dan lain-lain.

d. Pemberian stimulator listrik yaitu dengan memblok atau mengubah

stimulus nyeri dengan stimulus yang kurang dirasakan.bentuk

stimulator metode stimulus listrik meliputi:

1) Trancutanneus electrical stimulator (TENS), digunakan untuk

mengendalikan stimulus manual daerah nyeri tertentu dengan

menempatkan beberapa elektrode diluar.

2) Percutaneus implanted spinal cord epidural stimulator merupakan

alat stimulator sumsum tulang belakang dan epidural yang di

implan di bawah kulit dengan transistor timah penerima yang

dimasukkan ke dalam kulit pada daerah epidural dan columna

vetebrae.

3) Stimulator columna vertibrae, sebuah stimulator dengan stimulus

alat penerima transistor dicangkok melalui kantong kulit

intraklavikula atau abdomen, yaitu elektroda ditanam melalui

pembedahan pada dorsum sumsum tulang belakang.

5. Evaluasi keperawatan

Evaluasi terhadap masalah nyeri dilakukan dengan menilai kemampuan

dalam merespon rangsangan nyeri, diantaranya hilangnya perasaan nyeri,

45
menurunnya intensitas nyeri, adanya respons fisiologis yang baik, dan

pasien mampu melakukan aktivitas sehari-hari tanpa keluhan nyeri.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

46
A. Rancangan Studi Kasus

Desain penelitian ini adalah deskriptif dengan bentuk studi kasus. Metode

penelitian deskriptif merupakan suatu metode yang memiliki tujuan utama

dengan memberikan gambaran situasi atau fenomena secara jelas dan rinci

tentang apa yang terjadi ( Afiyanti, yati : 2014). Hasil yang diharapkan oleh

peneliti adalah melihat asuhan keperawatan pada pasien dengan kasus Artritis

Reumathoid di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari pada tahun 2018

(Rahmaniar, dwi sarah : 2017)

B. Subyek studi kasus

Subjek dari penelitian studi kasus ini adalah pasien di wisma Sentosa Panti

Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari yang berjumlah satu orang. Dengan

kriteria inklusi :

1. Pasien bersedia menjadi subjek dari penelitian

2. Pasien dengan diagnosa medis Artritis Reumathoid.

3. Pasien dengan kesadaran komposmentis

4. Pasien yang berumur 60 tahun ke atas

Dan dengan kriteria eksklusi :

1. Pasien pulang atau meninggal sebelum 6 hari dari pengambilan data atau 5

hari pengambilan data

2. Pasien pindah ruang rawat atau dirujuk ke Rumah Sakit lain

47
C. Fokus Studi Kasus

1. Kebutuhan aman dan nyaman pada pasien Artrritis Reumathoid

2. Penerapan teknik relaksasi nafas dalam pada pasien nyeri akut

D. Definisi Operasional fokus studi

Definisi operasional studi kasus asuhan keperawatan :

1. Asuhan keperawatan adalah suatu pelayanan esensial yang diberikan oleh

perawat berdasarkan upaya-upaya preventif, promotif, kuratif dan

rehabilitatif, sesuai dengan posisi yang ada pada diri mereka.

2. Pengkajian adalah dasar utama atau langkah awal dari proses keperawatan

yang terdiri dari beberapa tahapan diantaranya pengumpulan data,

pengelompokan data dan menganalisis data.

3. Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang singkat, jelas dan

pasti tentang status atau masalah kesehatan pasien yang perlu

ditanggulangi.

4. Perencanaan adalah pengembangan dari pencatatan rencana keperawatan

dan menentukan pendekatan yang digunakan untuk memecahkan masalah

atau mengurangi masalah klien.

5. Implementasi adalah perwujudan atau pelaksanaan perencanaan

keperawatan oleh perawat dan klien.

6. Evaluasi adalah langkah terakhir dari proses keperawatan yang merupakan

pengukuran keberhasilan dari seluruh tindakan keperawatan dalam

memenuhi kebutuhan klien.

48
7. Klien adalah seorang individu atau salah satu bagian dari masyarakat yang

membutuhkan pelayanan kesehatan, khususnya dalam keadaan sakit.

8. Arti\ritis Reumathoid adalah penyakit inflamasi non-bakterial yang

bersifat sistemik.

9. Nyeri adalah perasaan tidak nyaman yang sangat subjekif yang hanya

orang yang mengalaminya yang dapat menjelaskan dan mengevaluasi

perasaan tersebut.

E. Tempat Dan Waktu studi kasus

Penelitian ini akan dilakukan di Wisma Sentosa Panti Sosial Tresna Werdha

Minaula Kota Kendari pada tahun 2018, selama 6 sift jaga yang akan

dilaksanakan pada waktu yang telah dijadwalkan oleh institusi pendidikan

F. Pengumpulan data

1. Prosedur administrasi pengumpulan data meliputi :

a. Peneliti meminta izin penelitian dari instansi asal peneliti yaitu

Poltekkes Kemenkes Kendari Jurusan Keperawatan

b. Peneliti meminta surat rekomendasi ke lokasi penelitian yaitu Panti

Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari

c. Peneliti meminta izin kepada Direktur Panti Sosial Tresna Werdha

Minaula Kendari

2. Instrumen pengumpulan data

Peneliti melakukan pemilihan sampel penelitian berdasakan pasien

yang dirawat pada waktu jadwal penelitian dengan karakteristik responden

49
yaitu, dikhususkan pada pasien dewasa yang terdiagnosa medis Artritis

Reumathoid dengan tidak mempersyaratkan jenis kelamin, pekerjaan dan

sosial ekonomi. Dan peneliti menggunaka instrumen observasi sebagai

instrumen penelitian ini.

G. Penyajian data

Data yang akan disajikan pada penelitian ini yakni secara tekstural atau narasi,

disertai dengan cuplikan ungkapan verbal dan respon dari subyek studi kasus

yang merupakan data pendukung dari penelitian.

H. Etika Studi Kasus

Penelitian ini telah diajukan kepada tim program karya tulis ilmiah Poltekkes

Kemenkes Kendari jurusan Keperawatan, adapun etika yang harus di taati oleh

peneliti dalam melaksanakan studi kasus yakni :

1. Melakukan pengkajian hingga evaluasi dengan sebenar-benarya yang

berlandaskan teori yang telah dijabarkan pada tinjauan teori

2. Peneliti harus menggunakan komunikasi terapeutik dalam melaksanakan

setiap tindakan keperawatan.

3. Peniliti tetap menjaga privasi subyek peneliti (peneliti)

4. Peneliti harus tetap memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal yang

dapat membahayakan subyek peneliti.

50

Anda mungkin juga menyukai