Anda di halaman 1dari 17

HUBUNGAN KEKUATAN OTOT TERHADAP KEMANDIRIAN

DALAM MELAKUKAN ADL (ACTIVITY OF DAILY LIVING) PADA


LANSIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KARANG INTAN 2

Proposal Penelitian
Diajukan guna memenuhi sebagian syarat
Untuk memperoleh derajat Sarjana Keperawatan
Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat

Diajukan Oleh
Rismayanti
1910913220037

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN
BANJARBARU

APRIL, 2022
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Lanjut Usia (Lansia)

2.1.1 Pengertian Lansia


Undang Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan lanjut usia
(lansia) mendefinisikan penduduk lanjut usia (lansia) sebagai mereka yang
telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas. Lansia adalah kelompok
penduduk yang berumur 60 tahun atau lebih. Seseorang dikatakan lansia
yang apabila berusia 60 tahun atau lebih, karena faktor terbentuk tidak dapat
memenuhi kebutuhan dasarnya baik secara jasmani, rohani maupun sosial
(WHO, 2015).

Lansia adalah proses alamiah yang tidak dapat dihindari, semakin bertambah
usia fungsi tubuh mengalami kemunduran sehingga lansia lebih mudah
terganggu kesehatannya baik keadaan fisik maupun kesehatan jiwa (Maryam
et al., 2008). Lansia merupakan proses penuaan alami yang ditandai dengan
menurunnya kemampuan fisik akibat perubahan fungsi organ dan sistem
tubuh (Aulia dan Panghiyangani, 2021). Lansia merupakan kelompok umur
pada manusia yang memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya.
Kelompok yang dikatakan lansia ini akan terjadi suatu proses yang disebut
Aging Proceas atau proses penuaan (Nugroho, 2008)

2.1.2 Klasifikasi Lansia


Klasifikasi lansia menurut WHO (2012):
a. Usia pertengahan (middle age) antara usia 45 sampai 59 tahun,
b. Lanjut usia (elderly) antara usia 60 sampai 74 tahun,
c. Lanjut usia tua (old) antara usia 75 sampai 90 tahun, dan
d. Usia sangat tua (very old) di atas usia 90 tahun.
Klasifikasi lansia menurut Maryam (2008):
a. Pralansia (Prasenilis) yaitu, seseorang yang berusia antara 45-59 tahun,
b. Lansia yaitu, seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih,
c. Lansia resiko tinggi yaitu, seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih
atau seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah
kesehatan,
d. Lansia potensial yaitu, lansia yang masih mampu melakukan aktivitas,
dan
e. Lansia tidak potensial yaitu, lansia yang tidak berdaya mencari nafkah
sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.

2.1.3 Konsep Proses Penuaan


Menjadi tua merupakan suatu keadaan yang tidak dapat dihindari sebagai
salah satu tahapan perkembangan yang harus dilewati dalam rentang
kehidupan seorang manusia. Pada usia lanjut, banyak terjadi penurunan
kodisi fisik atau biologis, kondisi psikologis, serta perubahan kondisi sosial.
Bentuk kemunduran fisik yang dialami lansia ditandai dengan kulit yang mulai
keriput, indra penglihatan dan pendengaran berkurang, gigi ompong dan
keropos, mudah lelah, gerakan lambat, dan sebagainya. Selain itu, terjadi
juga kemunduran kognitif seperti mudah lupa, kemunduran orientasi terhadap
tempat, ruang dan waktu (Maryam et al., 2008).

Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan


kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap
infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses penuaan adalah
siklus kehidupan yang ditandai dengan tahap-tahap menurunnya berbagai
fungsi organ tubuh ini disebabkan seiring meningkatnya usia sehingga terjadi
perubahan dalm struktur dan fungsi sel, jaringan serta sistem organ.
Perubahan-perubahan tersebut umumnya mengarah pada kemunduran fisik
dan psikis sehingga akan berpengaruh pada Activity of Daily Living (ADL)
(Constantinides, 1994).

Penuaan berkaitan dengan menurunnya kekuatan otot rangka secara


progresif yang berpengaruh kepada tingkat kemandirian dan morbidita yang
lebih besar. Kerusakan atau hilangnya integritas fisiologis ini adalah faktor
risiko utama untuk patologi manusia termasuk diabetes, kanker, gangguan
kardiovaskular, dan penyakit neurodegeneratif (Lopez-otin et al., 2013).
Seiring penuaan, serat otot akan mengecil dan massa otot akan berkurang.
Seiring berkurangnya massa otot, kekuatan otot juga berkurang (International
Osteoporosis Foundation, 2006).

2.2 Konsep Kekuatan Otot


2.2.1 Pengertian Kekuatan
Kekuatan adalah tenaga kontrasksi otot yang dicapai dalam sekali usaha
maksimal. Usaha maksimal ini dilakukan oleh otot atau sekelompok otot
untuk mengatasi suatu beban atau tahanan. Kekuatan merupakan unsur
yang sangat penting dalam aktivitas olahraga karena kekuatan merupakan
daya penggerak sekaligus pencegah cedera. Kekuatan memainkan peran
penting dalam komponen-komponen kemampuan fisik yang lain misalnya
power, kelincahan, dan kecepatan (Ismaryati, 2008).
2.2.2 Pengertian Kekuatan Otot
Kekuatan otot adalah jumlah kekuatan maksimum yang dapat dilakuka atau
dihasilkan suatu otot terhadap suatu bentuk perlawanan. Kekuatan otot
merupakan penentu penting penuaan yang sehat Penuaan dapat berakibat
pada kerusakan fungsi tubuh, keterbatasan mobilitas, memperberat biaya
perawatan dan menyebabkan efek negatif pada kesejahteraan dan kualitas
hidup (Lee et al., 2018).

Kekuatan otot adalah kemampuan otot atau kelompok otot untuk


menghasilkan tegangan dan tenaga selama usaha maksimal yang dilakukan
secara dinamis maupun secara statis. Kekuatan otot dihasilkan oleh
kontraksi otot yang maksimal (Abdurachman et al., 2017). Kekuatan otot
adalah kemampuan otot atau kelompok otot untuk melakukan kerja dengan
menahan beban yang diangkatnya. Otot yang kuat membuat kerja otot
sehari-hari efisien serta membuat bentuk tubuh menjadi lebih baik. Otot-otot
yang tidak terlatih karena suatu sebab seperti kecelakaan menjadi lemah
karena serat-seratnya mengecil (atrofi) dan jika dibiarkan dapat berakhir
menjadi kelumpuhan otot (ACSM, 2006). Semakin sering latihan dilakukan
maka persentase peningkatan kekuatan otot akan semakin besar
(Cahyaningrum dan Musyabiroh, 2021).

Kekuatan muskuler mulai merosot sekitar usia 40 tahun, dengan kemunduran


yang dipercepat setelah usia 60 tahun. Penurunan penggunaan sistem
muskuler adalah penyebab utama untuk kehilangan kekuatan otot. Seiring
penuaan, serat otot akan mengecil, dan massa otot berkurang. Seiring
berkurangnya massa otot, kekuatan otot juga berkurang (Krismiati et al.,
2019). Penurunan kekuatan otot merupakan salah satu perubahan yang
nyata dari proses penuaan. Menurunnya kekuatan otot disebabkan oleh
banyak faktor. Faktor penyebab yang utama yaitu penurunan massa otot,
penurunan kekuatan otot ini dimulai pada umur 40 tahun dan prosesnya akan
semakin cepat pada usia setelah usia 75 tahun (Cahyaningrum dan
Musyabiroh, 2021).
2.2.3 Faktor Pengaruh Kekuatan Otot
Beberapa hal yang memengaruhi kekuatan otot menurut (Setiawan &
Setiaowati, 2014) antara lain:
1) Rangsangan saraf
2) Besar rangsangan saraf
3) Besar recruitment
4) Peregangan dan jenis tipe atau tipe jaringan otot itu sendiri
5) Tipe kontraksi otot
6) Tipe serabut otot
7) Simpanan energi dan suplai darah
8) Kecepatan kontraksi
9) Ukuran diameter otot
10) Motivasi
11) Status gizi.

Usia seseorang dapat memengaruhi kekuatan otot karena adanya perubahan


sistem musculoskeletal. Pada lansia terjadi pengecilan serabut otot yang
menyebabkan kram, pergerakan lamban, tremor, tendon mengerut, dan
kekakuan sendi (Aspiani, 2014). Perubahan anatomis dan usia dapat
menyebabkan atrofi serabut otot sehingga untuk meningkatkan kekuatan otot
perlu membutuhkan waktu. Semakin jarang lansia menggunakan
persendiannya semakin cepat kehilangan kekuatan otot (Stanley & Beare,
2006).

Massa otot lansia mengalami atropi dan fleksibilitasnya mempengaruhi


aktifitas. Aktifitas gerak otot menyebabkan kekuatan otot menurun
(Ambartana, 2010). Seiring berkurangnya massa otot, kekuatan otot juga
berkurang, sejalan dengan proses penuaan (Potter & Perry, 2009).
Kemampuan otot berkaitan erat dengan sistem persarafan dan otot. Sistem
saraf dan otot melakukan kontraksi sehingga menyabakan serat otot yang
teraktifasi, semakin sering dilakukan maka kekuatan otot juga terjaga. Otot-
otot volunter akan kehilangan tonus dan kekuatannya jika tidak digunakan
(Suratun, 2008).

2.2.4 Pembagian Kekuatan Otot


Menurut Noor (2016), kekuatan otot terbagi kedalam 3 kelompok yaitu:
1) Statis Strength atau Kekuatan Statis
Merupakan kemampuan untuk menggunakan tenaga secara maksimal
dalam waktu singkat untuk melawan objek atau benda yang tidak dapat
dipindahkan.
2) Dynamic Strength atau Kekuatan Dinamis
Merupakan gerakan menahan beban secara berulang atau berkelanjutan
dalam intensitas kerja sub maksimal, contohnya seperti push up.
3) Explosive Strength atau Kekuatan Ledakan
Merupakan kemampuan menggunakan energi maksimal dalam suatu
ledakan, contohnya seperti lompat jauh.

2.2.5 Pengukuran Kekuatan Otot


Pengukuran kekuatan otot adalah suatu pengukuran untuk mengevaluasi
kontraktilitas termasuk didalamnya otot dan tendon dan kemampuannya
dalam menghasilkan suatu usaha. Pemeriksaan otot diberikan kepada
individu yang dicurigai atau aktual mengalami gangguan pada otot baik
kekuatan maupun daya tahannya. Identifikasi dini dari gangguan otot ini
dapat dijadikan dasar intervensi yang tepat untuk latihan penguatan otot
(Torpey, 2010). Penilaian Kekuatan Otot mempunyai skala ukur yang
umumnya dipakai untuk memeriksa penderita yang mengalami kelumpuhan
selain mendiagnosa status kelumpuhan juga dipakai untuk melihat apakah
ada kemajuan yang diperoleh selama menjalani perawatan atau sebaliknya
apakah terjadi perburukan pada penderita. (Suratun, dkk, 2008).

Pengukuran kekuatan otot dapat dilakukan dengan menggunakan pengujian


otot secara manual yang disebut dengan MMT (Manual Muscle Testing).
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan otot
mengkontraksikan kelompok otot secara volunter. (Pudjiastuti dan Utomo,
2003). MMT merupakan salah satu bentuk pemeriksaan kekuatan otot yang
paling sering digunakan. Hal tersebut karena penatalaksanaan, intepretasi
hasil serta validitas dan reliabilitasnya telah teruji. Namun demikian tetap
saja, manual muscle testing tidak mampu untuk mengukur otot secara
individual melainkan grup/kelompok otot. (Bambang, 2012).

Untuk pengkajian kekuatan otot, klien berada dalam posisi stabil. Klien
melakukan manuver yang memperlihatkan kekuatan kelompok otot utama
(tabel 1). Bandingkan kesimetrisan pasangan otot berdasarkan skala 0
sampai 5 (tabel 2). Perhatikan tiap kelompok otot. Minta klien untuk
memfleksikan otot yang diperiksa dan mencoba melawan saat diberikan
dorongan berlawanan terhadap fleksi tersebut. Jangan biarkan klien
menggerakkan sendi. Tingkatkan tekanan secara bertahap terhadap
kelompok otot (misalnya: ekstensi siku). Minta klien menahan tekanan yang
diberikan dengan mencoba bergerak melawan tahanan (misalnya: fleksi
siku). Klien terus melawan sampai diminta berhenti (Potter & Perry, 2010)

Cara mengukur kekuatan otot dengan menggunakan MMT Saat mengukur


kekuatan otot, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu (Pudjiastuti &
Utomo, 2003; Torpey, 2010):
1. Posisikan klien sedemikian rupa sehingga otot mudah berkontraksi
sesuai dengan kekuatannya. Posisi yang dipilih harus memungkinkan
kontraksi otot dan gerakan mudah diobservasi.
2. Bagian tubuh yang akan diperiksa harus terbebas dari pakaian yang
menghambat.
3. Usahakan klien dapat berkonsentrasi saat dilakukan pengukuran.
4. Berikan penjelasan dan contoh gerakan yang harus dilakukan.
5. Bagian otot yang akan diukur ditempatkan pada posisi antigravitasi. Jika
otot terlalu lemah, maka sebaiknya responden ditempatkan pada posisi
terlentang.
6. Bagian proksimal area yang akan diukur harus dalam keadaan stabil
untuk menghindari kompensasi dari otot yang lain selama pengukuran.
7. Selama terjadi kontraksi gerakan yang terjadi diobservasi baik palpasi
pada tendon atau perut otot.
8. Tahanan diperlukan untuk melawan otot selama pengukuran
9. Lakukan secara hati-hati, bertahap dan tidak tiba-tiba.
10. Catat hasil pengukuran pada lembar observasi.

Tabel. 1 Manuver untuk mengkaji kekuatan otot

Kelompok Otot Manuver


Leher Letakkan tangan pada rahang atas klien,
(sternokleidomastoideus minta klien menolehkan kepala ke lateral
) melawan tahanan.
Bahu (trapezius) Letakkan tangan di garis tengah bahu klien,
berikan tekanan kuat, minta klien untuk
menaikkan bahu melawan tahanan.
Siku (Bisep) Tarik lengan bawah ke bawah saat klien
mencoba memfleksikan lengan.
Siku (Trisep) Saat anda memfleksikan lengan klien,
berikan tekanan pada lengan bawah, minta
klien meluruskan lengan.
Pinggang (Kuadrisep) Saat klien duduk, berikan tekanan ke bawah
pada paha. Minta klien menaikkan kaki dari
meja.
Pinggang Klien duduk, sementara pemeriksa
(Gastroknemius) memegang tulang kering kaki yang fleksi.
Minta klien meluruskan kaki melawan
tahanan.
Sumber: Potter & Perry (2010)

Tingkat Skala Fungsi (%) Pengkajian Level Otot


5 Normal 100 Normal, kekuatan penuh /
ROM aktif secara penuh,
mampu menahan gravitasi
dan tahanan
4 Baik 75 ROM penuh, mampu
menahan gravitasi tetapi
lemah bila diberi tahanan
3 Cukup 50 ROM penuh, otot secara
aktif hanya mampu melawan
gravitasi
2 Kurang 25 Otot mampu melawan
gravitasi tapi dengan
bantuan (ROM pasif)

1 Buruk 10 Kontraksi otot terlihat dan


terpalpasi
0 Nol 0 Tidak terdeteksi kontraksi
otot dan pergerakan
Derstine, J. B. Dan Hargrove, S. D. (2001). Comprehensive
Rehabilitation Nursing. USA: W.B. Saunders Company

Menurut wang dan cymet (2005) tes kekuatan otot untuk ekstremitas atas
dapat diperkirakan dengan memerintahkan pasien yang sadar melakukan
beberapa
gerakan, gerakannya antara lain:
a. M. Deltoideus
Yaitu gerakan abduksi bahu pada pasien dan diberi tekanan yang
berlawanan gerakan tersebut, kemudian pasien disuruh melawannya.
b. M. Biseps
Yaitu gerakan fleksi siku 90 pada pasien dan diberi tekanan yang
berlawanan dengan fleksi siku, kemudian pasien disuruh melawannya.
c. M. Triseps
Yaitu gerakan ekstensi siku dari posisi 90 pada pasien dan diberi tekanan
yang berlawanan dengan ekstensi siku, kemudian pasien disuruh
melawannya.
d. M. Carpi radialis longus dan M. Carpi ulnaris
Yaitu gerakan ekstensi pergelangan tangan pada pasien dan diberi
tekanan yang berlawanan dengan ekstensi pergelangan tangan,
kemudian pasien disuruh melawannya.
e. M. First dorsal interroseus dan M. Abductor digiti quinti
Yaitu gerakan abduksi jari: dengan tangan pronasi, abduksikan jari-jari.
Lalu diberikan tekanan berupa penyatuan (adduksi) jari-jari, kemudian
pasien disuruh untuk melawannya.
f. M. Opponens pollicis
Yaitu gerakan ujung jempol menyentuh ujung jari-jari yang diberi tekanan.
2.3 Kemandirian ADL (Activity of Daily Living)
2.3.1 Pengertian Kemandirian
Kemandirian berasal dari kata mandiri, dalam KBBI online mandiri berarti
“dalam keadaan dapat berdiri sendiri; tidak bergantung pada orang lain”.
Sedangkan kemandirian dalam KBBI online adalah “hal atau keadaan dapat
berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain”.

Menurut (Rohadi et al., 2016) kemandirian merupakan sikap individu yang


diperoleh secara komulatif selama perkembangan dimana individu akan terus
belajar bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi di lingkungan
sekitarnya sehingga individu mampu berpikir dan bertindak sendiri. Menurut
teori Ediawati dalam (Rohadi et al., 2016), kemandirian adalah saat bebas
dalam bertindak yang terlihat dari beberapa hal yaitu, tidak tergantung pada
responden lain, tidak terpengaruh oleh responden lain serta bebas mengatur
diri atau aktivitas responden itu sendiri baik individu maupun kelompok dari
berbagai kesehatan atau penyakit.

2.3.2 Pengertian ADL (Activity of Daily Living)


ADL (Activity of Daily Living) adalah suatu kemampuan seseorang untuk
melakukan kegiatan sehari-harinya secara mandiri. Penentu kemandirian
fungsional dapat mengidentifikasi kemampuan keterbatasan klien sehingga
memudahkan pemilihan intervensi yang tepat (Maryam, 2008). ADL
didefinisikan sebagai kemandirian seseorang dalam melakukan aktivitas dan
fungsi-fungsi kehidupan sehari-hari yang dilakukan oleh manusia secara rutin
dan universal (Ediawati, 2013).

Untuk menilai ADL digunakan berbagai skala seperti Katz Index, Barthel
yang dimodifikasi dan Functional Activities Questioner (FAQ) (Ediawati,
2013). Sedangkan pengertian ADL dilihat dari kegiatan-kegiatan yang
dilakukan lansia, ADL merupakan aktivitas yang lebih kompleks namun
mendasar bagi situasi kehidupan lansia dalam bersosialisasi.Termasuk di sini
kegiatan belanja, masak, pekerjaan rumah tangga, mencuci, telepon,
menggunakan sarana transportasi, mampu menggunakan obat secara benar,
serta manajemen keuangan (Tamher dan Noorkasiani, 2011).
2.3.3 Faktor Pengaruh Kemandirian pada Lansia
a) Usia
Usia merupakan faktor pertama yang dapat memengaruhi tingkat
kemandirian lansia. Usia yang semakin bertambah menyulitkan lansia
melakukan kegiatan sehari-harinya. Pada lansia, semakin bertambah
usia semakin menurun tingkat aktivitasnya (Aria dan Nurlaily, 2019).
b) Imobilitas
Imobilitas adalah ketidakmampuan lansia bergerak aktif yang diakibatkan
oleh penyakit yang dideritanya seperti stroke (Aria dan Nurlaily, 2019).
c) Pendidikan
Pendidikan menjadi salah satu unsur penting untuk meningkatkan
kemampuan masyarakat dalam mencapai taraf hidup yang baik.
Pendidikan yang tinggi dapat menghasilkan sosial-ekonomi serta
kemandirian yang semakin baik (Komnas Lansia, 2010).
d) Tempat Tinggal
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Aria dan Nurlaily, 2019)
dengan judul Kemandirian Lanjut Usia dalam Aktifitas Sehari-hari Di
Wilayah Kerja Puskesmas Nusa Indah Bengkulu menyatakan bahwa
lansia yang tinggal bersama pasangannya saja lebih mandiri dibanding
yang tinggal bersama anaknya (keluarga kecil).
e) Faktor kesehatan, fungsi motorik, fungsi kognitif dan status
perkembangan yang baik dapat membantu lansia dalam memenuhi
kebutuhan atau aktivitas sehari-harinya tanpa perlu bantuan orang lain
(Aria dan Nurlaily, 2019).
f) Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga yang diberikan terhadap lansia tentunya dapat
memberikan dampak besar terhadap lansia dalam pemenuhan
kebutuhan hidupnya sehari-hari, dalam penelitian yang dilakukan oleh
(Felpina Jati Danguwole, 2017). Dukungan keluarga dapat membantu
individu untuk mengatasi masalahnya secara efektif. Dukungan keluarga
juga dapat meningkatkan kesehatan fisik dan mental pada lansia.
Dukungan keluarga berhubungan dengan pengurangan gejala penyakit
dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri akan perawatan
kesehatan (Setyaningrum, 2019).
2.3.4 Pengukuran Kemandirian ADL pada Lansia
Menurut Maryam (2008) dengan menggunakan indeks kemandirian Katz
untuk ADL yang berdasarkan pada evaluasi fungsi mandiri atau bergantung
dari klien dalam hal makan, mandi, toileting, kontinen (BAB/BAK), berpindah
ke kamar mandi dan berpakaian. Penilaian dalam melakukan activity of daily
living sebagai berikut:
1) Mandi
Mandiri (1) : bantuan hanya pada satu bagian mandi (seperti punggung
atau ektremitas yang tidak mampu) atau mandi sendiri sepenuhnya;
Bergantung (0): bantuan mandi lebih dari satu bagian tubuh, bantuan
masuk dan keluar dari bak mandi, serta tidak mandi sendiri.
2) Berpakaian
Mandiri (1): mengambil baju dari lemari, memakai pakaian, melepaskan
pakaian, mengancing/mengikat pakaian; Bergantung (0): tidak dapat
memakai baju sendiri atau hanya sebagian.
3) Toileting
Mandiri (1): masuk dan keluar dari kamar kecil kemudian membersihkan
genitalia sendiri; Bergantung (0): menerima bantuan untuk masuk ke
kamar kecil dan menggunakan pispot.
4) Berpindah
Mandiri (1): berpindah dari tempat tidur, bangkit darikursi sendiri;
Bergantung (0): bantuan dalam naik atau turun dari tempat tidur atau
kursi, tidak melakukan sesuatu atau perpindahan.
5) Kontinen
Mandiri (1): BAB dan BAK seluruhnya dikontrol sendiri.; Bergantung
(0): inkontinesia persial atau total yaitu menggunakan kateter dan
pispot, enema dan pembalut/pampers.
6) Makanan
Mandiri (1): mengambil makanan dari piring dan menyuapinya sendiri;
Bergantung (0): bantuan dalam hal mengambil makanan dari piring dan
menyuapinya, tidak makan sama sekali dan makan parenteral atau
melalui Naso Gastrointestinal Tube (NGT).
Adapun penilaian hasil dari pelaksanaan ADL seperti tercantum dalam tabel
berikut.
Tabel 2 Kriteria Penilaian ADL

No Penilaian Kriteria
6 Mandiri Total Mandiri dalam mandi, berpakaian, pergi ke toilet,
berpindah, kontinen dan makan.
5 Tergantung Mandiri dari semua fungsi di atas, kecuali salah
satu dari fungsi di atas.
4 Tergantung Mandiri pada semua fungsi di atas, kecuali
ringan mandi dan satu fungsi lainnya.
3 Tergantung Mandiri pada semua fungsi di atas, kecuali
sedang mandi,
berpakaian, dan satu fungsi lainnya.
2 Tergantung Mandiri pada semua fungsi di atas, kecuali
berat mandi,
berpakaian, pergi ke toilet, dan satu fungsi
lainnya
1 Tergantung Mandiri pada semua fungsi di atas, kecuali
paling berat mandi,
berpakaian, berpindah tempat, pergi ke toilet dan
satu fungsi lainnya.
0 Tergantung Tergantung pada 6 fungsi di atas.
total

2.4 Hubungan Kekuatan Otot terhadap Kemandirian ADL

Pada lansia yang memiliki banyak penurunan pada fisiologis tubuh, terutama yang
berpengaruh pada pengontrol keseimbangan seperti penurunan kekuatan otot, dan
perubahan postur tubuh. Ketika otot-otot yang berperan dalam keseimbangan
tubuh bekerjasama untuk membentuk kekuatan yang bertujuan mempertahankan
posisi badan sesuai alignment tubuh yang simetri terganggu, maka fungsi tubuh
untuk mempertahankan keseimbangan menjadi tidak stabil, hal tersebut dapat
mengakibatkan terganggunya kontrol keseimbangan menjadi kurang baik bagi
lansia sehingga mengganggu kemandirian lansia dalam melakukan aktivitas
sehari-hari (Munawwarah & Nindya, 2015).
2.5 Kerangka Teori
Adapun kerangka teori pada penelitian ini sebagai berikut:

Seiring penuaan, serat otot akan mengecil, Dampak Penuaan:


dan massa otot berkurang. Seiring Permasalahan kesehatan
berkurangnya massa otot, kekuatan otot juga yang muncul sebagai akibat
berkurang. Kekuatan muskuler mulai merosot dari penurunan fungsi
sekitar usia 40 tahun, dengan kemunduran meliputi gangguan pada
yang dipercepat setelah usia 60 tahun. Sekitar pendengaran, gangguan
10-15% kekuatan otot dapat hilang setiap pada penglihatan, gangguan
minggu jika otot beristirahat sepenuhnya, dan pada persendian dan tulang,
sebanyak 5,5% dapat hilang setiap hari pada gangguan pada defekasi,
kondisi istirahat dan imobilitas sepenuhnya dan penurunan tingkat
kemandirian (Rohaedi,
(Cahyaningrum, 2021)
2016).

Kekuatan Otot Kemandirian ADL

Kekuatan otot dipengaruhi oleh (Setiawan Faktor yang Kemandirian


& Setiaowati, 2014): memengaruhi ADL dalam ADL
1. Rangsangan saraf (Hardywinoto, 2015): (Padila, 2013):
2. Besar recruitment 1. Umur dan status 1. Mandi
3. Peregangan dan jenis tipe atau tipe perkembangan 2. Berpakaian
jaringan otot itu sendiri 2. Kesehatan fisiologis 3. Toileting
4. Tipe kontraksi otot 3. Fungsi kognitif 4. Berpindah
5. Tipe serabut otot 4. Fungsi psikososial 5. Kontinensia
6. Simpanan energi dan suplai darah 5. Tingkat Stress 6. Makan
7. Kecepatan kontraksi 6. Ritme Biologi
8. Ukuran diameter otot 7. Status mental
9. Motivasi orang yang bersangkutan, 8. Pelayanan kesehatan
dan status gizi seseorang .

DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, Dion Krismashogi, Irmawan Farindra, E. R. 2017. Indahnya Seirama
Kinesiologi Dalam Anatomi. Malang, Indonesia.

ACSM (American College of Sport Medicine). 2006. ACSM’s guidelines for exercise
testing and pescription. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Aria, R., & Nurlaily, N. 2019. Kemandirian Lanjut Usia dalam Aktifitas Sehari-Hari di
Wilayah Kerja Puskesmas Nusa Indah Bengkulu. Jurnal Vokasi Keperawatan
(JVK), 2(1), 25-33.

Aulia, A., Cahyawati, W. A. S. N., & Panghiyangani, R. (2021). Literature Review:


Perbandingan Kekuatan Otot Pasien DM Tipe 2 dan Non-DM pada Lansia.
Homeostasis, 4(2), 495-504.

Constantinides P. 1994. in general pathobiology, chap. 3. Apleton & Lange:


Connecticut.

International Osteoporosis Foundation And National Osteoporosis Foundation. 2006. A


Randomize Controlled Trial. San Paulo.

Ismaryati. 2009. Tes dan Pengukuran Olahraga. Surakarta: UNS Pres.

Krismiati, Murti, Putriyanti, Berlina, Iswanti Ningsi, E. 2019. Peningkatan kualitas hidup
lansia melalui penerapan pola hidup sehat di dusun Gondang dan dusun
Donoasih Donokerto Turi Sleman. Jurnal Pengabdian Masyarakat Karya
Husada, 1(2), 68–76.

Lee MR, Jung SM, Bang H, Kim HS Kim YB. 2018. Association between muscle
strength and tipe 2 diabetes mellitus in adults in Korea: Data from the Korea
national health and nutrition examination survey (KNHANES) VI. Med (United
States).

López-otín C, Blasco MA, Partridge L, Serrano M, Kroemer G. The Hallmarks of Aging


Longevity. Cell. 2013;153(6):1194–217.

Maryam, R. Siti, dk. (2008). Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta:
Salemba Medika.

Nugroho, W. (2008). Keperawatan Gerontik dan Geriatri. Jakarta: EGC.

Undang–undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia pada Bab 1
Pasal 1 Ayat (2).

Stanley, M., & Beare, G. P. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik (Edisi 2). EGC.

Potter, P., & Perry, A. G. 2009. Fundamental Keperawatan. Buku 1 edisi ke-7 (Adrina
Ferderika & Marina Albar, Penerjemah). Salemba Medika.
Rohadi, S., Putri, S. T., & Karimah, A. D. 2016. Tingkat Kemandirian Lansia Dalam
Activities Daily. Pendidikan Keperawatan Indonesia, 2(1), 17.

Setyaningrum, Y., Mardiana, S. S., & Dewi, I. M. 2019. HUBUNGAN DUKUNGAN


KELUARGA DENGAN TINGKAT PEMENUHAN AKTIFITAS SEHARI-HARI
PADA LANSIA DI DESA GEMPOLDENOK DEMAK. The 9th University
Research Colloqium (Urecol), 9(1).

Sugaono, H., & Tecchio, J. K. 2020. Exercises training program: It’s Effect on Muscle
strength and Activity of daily living among elderly people. Nursing and Midwifery,
1(01), 19-23.

WHO. 2012. Global Health and Aging. Geneva: World Health Organization.

Derstine, J. B. Dan Hargrove, S. D. 2001. Comprehensive Rehabilitation Nursing. USA:


W.B. Saunders Company

Anda mungkin juga menyukai