OLEH
ANISA ULFATIN NADHIROH
2204008
UNIVERSITAS AN NUUR
PURWODADI
2023
A. Konsep Lansia
1. Definisi
Lanjut usia merupakan suatu proses alami yang ditentukan oleh Tuhan Yang
Maha Esa. Semua orang akan mengalami proses menjadi tua dan masa tua merupakan
masa hidup manusia yang terakhir. Dimasa ini seseorang mengalami kemunduran fisik,
mental, dan sosial secara bertahap (Azizah, 2011). Menurut WHO (1998) dikatakan
usia lanjut tergantung dari konteks kebutuhan yang tidak bisa dipisah-pisahkan, konsep
kebutuhan tersebut dihubungkan secara biologis, sosial, ekonomi. Lanjut usia atau usia
tua adalah suatu periode hidup seseorang yaitu suatu periode dimana seseorang
“beranjak jauh” dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan atau beranjak dari
waktu yang penuh bermanfaat (Hurlclock, 2000).
Manusia lanjut usia (manula) merupakan populasi penduduk yang berumur tua
dengan kelompok usia 60 tahun atau lebih (Bustan, 2007). Menurut (Fatmah, 2010)
lansia merupakan proses alamiah yang terjadi secara berkesinambungan pada manusia
dimana ketika menua seseorang akan mengalami beberapa perubahan yang pada
akhirnya akan mempengaruhi keadaan fungsi dan kemampuan seluruh tubuh. Istilah
manusia usia lanjut belum ada yang mematenkan sebab setiap orang memiliki
penyebutannya masing-masing seperti manusia lanjut usia (manula), manusia usia
lanjut (lansia), usia lanjut (usila), serta ada yang menyebut golongan lanjut umur
(glamur) (Maryam, 2008: 32).
2. Batasan-Batasan Lanjut Usia
Usia yang dijadikan patokan untuk lanjut usia berbeda-beda umumnya berkisar
antara 60-65 tahun. Beberapa pendapat para ahli tentang batasan usia adalah sebagai
berikut :
a. Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) adalah empat tahapan yaitu:
1) Usia pertengahan (middle age) usia 45-59 tahun
2) Lanjut usia (elderly) usia 60-74 tahun
3) Lanjut usia tua (old) 75-90 tahun
4) Usia sangat tua (very old) usia > 90 tahun
b. Di indonesia batasan usia lanjut adalah 60 tahun ke atas terdapat dalam UU no 13
tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia. Menurut UU tersebut diatas lanjut
usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas, baik pria maupun
wanita (Padila,2013).
3. Proses Menua
Proses menua merupakan proses fisiologis tubuh pada setiap manusia (Darmojo,
2004: 635). Proses menua ini ditandai dengan proses menghilangnya kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi
normalnya sehingga tubuh tidak mampu mempertahankan dirinya terhadap infeksi serta
tubuh tidak mampu memperbaiki kerusakan yang diderita (Azizah, 2011).
Penuaan akan mengakibatkan penurunan kondisi anatomis dan sel akibat
menumpuknya metabolit dalam sel. Metabolit bersifat racun terhadap sel sehingga
bentuk dan komposisi pembangun sel akan mengalami perubahan. (Azizah, 2011: 7-8).
Seiring dengan meningkatnya usia, sistem kerja pada jantung dan pembuluh darah pun
akan mengalami perubahan dari segi struktur dan fungsinya. Perubahan pada lansia
khususnya sistem kerja pada jantung meliputi perubahan pada ventrikel kiri dan katup
jantung yang mengalami penebalan dan membentuk tonjolan, jumlah sel pacemaker
mengalami penurunan yang mana implikasi klinisnya akan menimbulkan disritmia pada
lansia, kemudian terdapat arteri dan vena yang menjadi kaku ketika dalam kondisi
dilatasi sehigga katup jantung tidak kompeten yang akibatnya akan menimbulkan
implikasi klinis berupa edema pada ekstremitas (Stanley & Beare, 2006: 179).
Lansia dapat mengalami perubahan struktur pada jantung. Ketebalan dinding
ventrikel cenderung meningkat akibat adanya peningkatan densitas kolagen dan
hilangnya fungsi serat elastis. Sehingga dapat berdampak pada kurangnya kemampuan
jantung untuk berdistensi. Pada permukaan di dalam jantung seperti pada katup mitral
dan katup aorta akan mengalami penebalan dan penonjolan di sepanjang garis katup.
Obstruksi parsial terhadap aliran darah selama denyut sistole dapat terjadi ketika
pangkal aorta mengalami kekakuan sehingga akan menghalangi pembukaan katup
secara sempurna (Stanley & Beare, 2006: 179).
Perubahan struktural dapat mempengaruhi konduksi sistem jantung melalui
peningkatan jumlah jaringan fibrosa dan jaringan ikat. Dengan bertambahnya usia,
sistem aorta dan arteri perifer menjadi kaku. Kekakuan ini terjadi akibat meningkatnya
serat kolagen dan hilangnya serat elastis dalam lapisan medial arteri. Proses perubahan
akibat penuaan ini akan menyebabkan terjadinya ateriosklerosis yaitu terjadinya
peningkatan kekakuan dan ketebalan pada katup jantung (Stanley & Beare, 2006: 180).
Proses penuaan ini mampu menjadikan lansia mengalami perubahan fungsional dari
sudut pandang sistem kardiovaskuler. Dimana perubahan utama yang terjadi adalah
menurunnya kemampuan untuk meningkatkan keluaran sebagai respon terhadap
peningkatan kebutuhan tubuh. Seiring bertambahnya usia denyut dan curah jantung pun
mengalami penurunan, hal itu terjadi karena miokardium pada jantung mengalami
penebalan dan sulit untuk diregangkan. Katup-katup yang sulit diregangkan inilah yang
dapat menimbulkan peningkatan waktu pengisian dan peningkatan tekanan diastolik
yang diperlukan untuk mempertahankan preload yang adekuat (Stanley & Beare, 2006:
180).
4. Masalah-Masalah Pada Lansia
Secara individu, pengaruh proses menua dapat menimbulkan berbagai masalah
fisik baik secara fisik-biologik, mental maupun sosial ekonomis. Dengan semakin
lanjut usia seseorang, mereka akan mengalami kemunduran terutama di bidang
kemampuan fisik, yang dapat mengakibatkan penurunan pada peranan-peranan
sosialnya. Hal ini mengkibatkan pula timbulnya gangguan di dalam hal mencukupi
kebutuhan hidupnya sehingga dapat meningkatkan ketergantunga yang memerlukan
bantuan orang lain. Lanjut usia tidak saja di tandai dengan kenunduran fisik, tetapi
dapat pula berpengaruh terhadap kondisi mental. Semakin lanjut seseorang, kesibukan
sosialnya akan semakin berkurang hal mana akan dapat mengakibatkan berkurangnya
integrasi dengan lingkungannya. Hal ini dapat memberikan dampak pada kebahagiaan
seseorang (Stanley, 2007).
Pada usia mereka yang telah lanjut, sebagian diri mereka masih mempunyai
kemanpuan untuk bekerja. Permasalahannya yang mungkin timbul adalah bagaiman
memfungsikan tenaga dan kemampunan mereka tersebut di dalam situasi keterbatasan
kesempatan kerja. Masalah – masalah pada lanjut usia di kategorikan ke dalam empat
besar penderitaan lanjut usia yaitu imobilisasi, ketidakstabilan, gangguan mental, dan
inkontinensia. Imobilisasi dapat disebabkan karena alasan psikologis dan fisik. Alasan
psikologis diantaranya apatis, depresi, dan kebingungan. Setelah faktor psikologis,
masalah fisik akan terjadi sehingga memperburuk kondisi imobilisasi tersebut dan
menyebabkan komplikasi sekunder (Watson, 2003).
Faktor fisik yang menyebabkan imobilisasi mencakup fraktur ekstremitas, nyeri
pada pergerakan artrithis, paralis dan penyakit serebrovaskular, penyakit kardiovaskular
yang menimbulkan kelelahan yang ekstrim selama latihan, sehingga terjadi
ketidakseimbangan. Selain itu penyakit seperti parkinson dengan gejala tomor dan
ketidakmampuan untuk berjalan merupakan penyebab imobilisasi. Masalah yang nyata
dari ketidakstabilan adalah jatuh karena kejadian ini sering dialami oleh lanjut usia
dimana wanita yang jatuh, dua kali lebih sering dibanding pria (Watson, 2003).
Jatuh adalah suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata yang
melihat kejadian, yang mengakibatkan seseorangmendadak terbaring dan terduduk di
lantai atau tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka
yang akibat jatuh dapat menyebabkan imobilisasi (Reuben, 1996 dalam Darmojo,
2000).
Gangguan mental merupakan yang sering terjadi sehubungan dengan terjadinya
kemerosotan daya ingat. Beberapa kasus ini berhubungan dengan penyakit – penyakit
yang merusak jaringan otak, sehingga kebanyakan masalah turunnya daya ingat lanjut
usia bukanlah sebagai akibat langsung proses penuaan tetapi karena penyakit. Sebagian
besar lanjut usia memerlukan perawatan karena menderita gangguan mental. Konfusi
(kebingungan) adalah masalah utama yang memfunyai konsekuensi untuk semua
aktivitas sehari – hari. Lanjut usia yang mengalami konfusi tidak akan mampu untuk
makan, tidak mampumengontrol diri, bahkan menunjukkan perilaku yang agresif
sehingga lanjut usia memerlukan perawatan lanjutan untuk mengatasi ketidakmampuan
dan keamanan lingkungan tempat tinggal lanjut usia secara umum. Bantuan yang di
berikan adalah melalui petugas panti dan dukungan keluarga. Insiden inkontinensia
biasanya meningkat pada lanjut usia yang kehilangan kontrol berkemih dan defekasi.
Hal ini berhubungan dengan faktor akibat penuaan dan faktor nutrisi seperti yang telah
di jelaskan diatas adalah efek dari imobilisasi (Darmojo, 2000).
Inkontinensia lebih banyak diderita oleh perempuan dari pada laki-laki. Wanita
yang melahirkan anak dengan otot dasar panggul yang lemas, menjadi penyebab
inkontinensia. Pada laki-laki, penyebab umumnya adalah pembesaran kelenjar prostat
dan diperlukan prosedur bedah untuk menangani kondisi tersebut (Watson, 2003).
a. Perubahan fisik
1) Sistem indra
Sistem pendengaran (Prebiakusis) yaitu gangguan pada pendengaran oleh
karena hilangnya kemampuan atau daya pendengaran pada telingan dalam,
terutama terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang tidak
jelas, sulit dimengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas 60 tahun.
2) Sistem integumen
Pada lansia kulit mengalami atropi, kendur, tidak elastis kering dan
berkerut. Kulit akan kekurangan cairan sehingga menjadi tipis dan berbercak.
Kekeringan kulit disebabkan atropi glandula sebasea dan glandula sudoritera,
timbul pigmen berwarna coklat pada kulit dikenal dengan liver spot.
3) Sistem muskuloskeletal
Perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia antara lain sebagai berikut :
Jaringan penghubung (kolagen dan elastin). Kolagen sebagai pendukung utama
kulit, tendon, tulang, kartilago dan jaringan pengikat mengalami perubahan
menjadi bentangan yang tidak teratur.
4) Kartilago
Jaringan kartilago pada persendian lunak dan mengalami granulasi dan
akhirnya permukaan sendi menjadi rata, kemudian kemampuan kartilago untuk
regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung kearah progesif,
konsekuensinya kartilago pada persendian menjadi rentan terhadap gesekan.
5) Tulang
Berkurangnya kepadatan tualng setelah di observasi adalah bagian dari
penuaan fisiologi akan mengakibatkan osteoporosis lebih lanjut mengakibatkan
nyeri, deformitas dan fraktur.
6) Otot
Perubahan struktur otot pada penuaan sangat bervariasi, penurunan jumlah
dan ukuran serabut otot, peningkatan jaringan penghubung dan jaringan lemak
pada otot mengakibatkan efek negatif.
7) Sendi
Pada lansia, jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligament dan fasia
mengalami penurunan elastisitas.
1) Sistem kardivaskuler
Massa jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertropi dan
kemampuan peregangan jantung berkurang karena perubahan pada jaringan ikat
dan penumpukan lipofusin dan klasifikasi Sa Nude dan jaringan konduksi
berubah menjadi jaringan ikat.
2) Sistem respirasi
Pada penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru, kapasitas total paru
tetap, udara yang mengalir ke paru berkurang. Perubahan pada otot, kartilago
dan sendi torak mengakibatkan gerakan pernapasan terganggu dan kemampuan
peregangan toraks berkurang.
3) Sistem pencernaan dan metabolism
Perubahan yang terjadi pada sistem pencernaan, seperti penurunan
produksi sebagai kemunduran fungsi yang nyata antara lain seperti kehilangan
gigi, indra pengecap menurun, rasa lapar menurun (sensifitas lapar menurun),
hati (liver) semakin mengecil dan berkurangnya aliran darah.
4) Sistem perkemihan
Pada sistem perkemihan terjadi perubahan yang signifikan.Banyak fungsi
yang mengalami kemunduran, contohnya laju filtrasi, ekskresi, dan reabsorpsi
oleh ginjal.
5) Sistem persyarafan
Sistem susunan saraf mengalami perubahan anatomi dan atropi yang
progresif pada serabut saraf lansia.Lansia mengalami penurunan koordinasi dan
kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.
6) Sistem reproduksi
Perubahan sistem reproduksi lansia ditandai dengan menciutnya ovarium
dan uterus.Terjadi atropi payudara.Pada laki-laki testis masih dapat
memproduksi spermatozoa, meskipun adanya penurunan secara berangsur-
angsur.
7) Perubahan kognitif
a) Daya ingat (memory).
b) IQ (intelligent quocient).
c) Kemampuan belajar (learning).
d) Kemampuan pemahaman (comprehension).
e) Pemecahan masalah (problem solving).
f) Pengambilan keputusan (decision making).
g) Pengambilan kebijakan (wisdom).
h) Pengambilan kinerja (performance).
i) Motivasi (motivation).
A. Konsep Dasar Hipertensi
1. Definisi Hipertensi
Hipertensi didefenisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya
140 mmHg atau tekanan diastoliknya sedikitnya 90 mmHg. Istilah tradisional tentang
hipertensi “ringan” dan “sedang” gagal menjelaskan pengaruh utama tekanan darah
tinggi pada penyakit kardiovaskular (Anderson, 2006).
Klasifikasi tekanan darah menurut JNC 7 (2003) dapat dilihat pada tabel berikut:
a. Stroke
Tekanan darah yang terlalu tingi dapat nenyebabkan pecahnya pembuluh
darah di otak,setruk itu sendiri merupakan kematian jaringan otak yang terjadi
karena berkurangnyaalirandarah dan oksigen ke otak,biasanya kasus ini terjadi
secara mendadak dan menyebabkan kerusakan otak dalam beberapa
menit(complete stroke).
b. Gagal jantung
Tekanan darah yang terlalu tinggi memaksa otot jantung bekerja lebih berat
untuk memompa darah dan menyebabkan pembesaran otot jantung kiri sehingga
jantung mengalami gagal fungsi.pembesaran pada otot jantung kiri disebabkan
kerja keras jantung untuk memompa darah .
c. Gagal ginjal
Tinggi tekanan darah membuat pembuluh darah dalam ginjal tertekan dan
akhirnya menyebabkan pembuluh darah rusak.akibatnya fungsi ginjal menurun
hingga mengalami gagal ginjalada 2 jenis kelainan gagal ginjal akibathipertensi
yaitu nefrosklerosis benigna dan nefrosklerosismaligna.
a) Hemoglobin / hematocrit
Untuk mengkaji hubungan dari sel – sel terhadap volume cairan ( viskositas ) dan
dapat mengindikasikan factor – factor resiko seperti hiperkoagulabilitas, anemia.
BUN: memberikan informasi tentang perfusi ginjal
b) Glukosa
Hiperglikemi (diabetes mellitus adalah pencetus hipertensi ) dapat diakibatkan
oleh peningkatan katekolamin (meningkatkan hipertensi).
c) Kalsium serum
Peningkatan kadar kalsium serum dapat menyebabkan hipertensi
d) Kolesterol dan trigliserid serum
Peningkatan kadar dapat mengindikasikan pencetus untuk / adanya
pembentukan plak ateromatosa (efek kardiovaskuler)
e) Pemeriksaan tiroid
Hipertiroidisme dapat menimbulkan vasokonstriksi dan hipertensi
f) Urinalisa
Darah, protein, glukosa mengisyaratkan disfungsi ginjal dan atau adanya
diabetes.
g) Asam urat
Hiperurisemia telah menjadi implikasi faktor resiko hipertensi
Steroid urin
h) Foto dada
Menunjukkan obstruksi kalsifikasi pada area katub, perbesaran jantung.
i) CT scan
Untuk mengkaji tumor serebral, ensefalopat.
j) EKG
Dapat menunjukkan pembesaran jantung, pola regangan, gangguan konduksi,
peninggian gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi.
7. Penataklaksanaan
a. Penatalaksanaan Hipertensi dengan Non Farmakologis
Penatalaksanaan non farmakologis merupakan pengobatan tanpa obat –
obatan yang diterapkan pada hipertensi. Dengan cara ini, perubahan tekanan darah
diupayakan melalui pencegahan dengan menjalani perilaku hidup sehat (Junaedi,
2010) seperti:
1) Menurunkan berat badan sampai batas ideal
2) Mengubah pola makan dan makan makanan seimbang
3) Mengurangi pemakaian garam
4) Mengurangi / tidak minum –minuman beralkohol
5) Olahraga yang tidak terlalu berat
6) Berhenti merokok
b. Penatalaksanaan Hipertensi dengan Farmakologis
Jenis – jenis obat anti hipertensi menurut Brunner (2007) yaitu :
1) Diuretic
Kerja utama :
a) Penurunan volume darah, aliran darah, ginjal dan curah jantung.
b) Menghambat reabsorbsi natrium dan air dalam ginjal.
c) Bekerja mengeluarkan cairan tubuh sehingga volume cairan
ditubuhberkurang yang mengakibatkan daya pompa jantung menjadi
ringan
2) Inhibitor Adrenergik
Kerja utama :
a) Memperlambat denyut
b) Menurunkan tekanan darah dengan menurunkan curah jantung
c) Menghasilkan kecepatan jantung yang lebih lambat
d) Menghasilkan tekanan darah yang lebih rendah dan menurunkan tekanan
darah saat berdiri juga saat telentang.
3) Vasodilator
Kerja utama : Menurunkan tekanan perifer namun secara berlawanan
meningkatkan curah jantung dan menurunkan tekanan sistolik dan
diastolic.
4) Penghambat Enzim Pengubah Angiotensin
Kerja utama :
a) Menghambat konversi angiotensin I menjadi angiotensin II.
b) Menurunkan tahanan perifer total
5) Antagonis Kalsium
Kerja utama :
a) Menghambat pemasukan ion kalsium ke dalam sel
b) Menurunkan afterload jantung
c) Memperlambat kecepatan hantaran impuls jantung
d) Menurunkan kerja jantung dan konsumsi energi, meningkatkan pengiriman
oksigen ke jantung.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas Diri
b. Untuk mengetahui identitas lansia, yang biasanya meliputi, nama, umur,
jenis kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, pendidikan terakhir, aktifitas
keluarga, perkerjaan sebelumnya, alamat sebelumnya, tanggal pengkajian, riwayat
penyakit, genogram, dan status kesehatan saat ini.
c. Riwayat keluarga
d. Menggambarkan silsilah keluarga dengan tiga generasi.
e. Riwayat pekerjaan
f. Menjelaskan tentang pekerjaan lansia sebelum mengalami serangan
Stroke dan menjelaskan pekerjaan saat ini
g. Riwayat lingkungan hidup
h. Menggambarkan lingkungan hidup lansia seperti tipe rumah, jumlah
kamar, jumlah orang yang tinggal dalam satu rumah.
i. Riwayat rekreasi
j. Menjelaskan tentang penggunaan waktu luang lansia
k. Sumber / system pendukung
l. Meliputi perawat, dokter, apoteker dan tenaga kesehatan lainnya.
m. Deskripsi harian khusus kebiasaan ritual sebelum tidur Menjelaskan tentang
kegiatan yang dilakukan lansia sebelum tidur.
n. Status kesehatan saat ini
Menjelaskan tentang kondisi kesehatan 1 tahun yang lalu, 5 tahun yang
lalu dan keluhan yang masih dirasakan hingga saat ini. Riwayat penggunaan dan
pemakaian obat, siapa yang memberikan resep obat dan kelengkapan status
imunisasi lansia serta makanan dan minuman apa yang harus dihindari dan
dikonsumsi agar Stroke tidak bertambah parah.
o. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik adalah suatu proses memeriksa tubuh dan fungsinya
dari ujung kepala sampai ujung kaki (head to toe) untuk menemukan adanya tanda-
tanda dari suatu penyakit. Pemeriksaan fisik biasanya menggunakan teknik seperti
inpeksi (melihat), auskultasi (mendengar), palpasi (meraba), dan perkusi
(mengetuk). Pada pemeriksaan kepala dan leher meliputibentuk kepala, kulit
kepala, tulang kepala, jenis rambut, warna rambut, pola penebaran rambut,
kelainan, struktur wajah, warna kulit. Kemudian pemeriksaan pada mata meliputi
kelengkapan dan kesimetrisan, kelopak mata/palpebral, kornea mata, konjungtiva
dan sclera, pupil dan iris, ketajaman penglihatan/visus, tekanan bola mata dan
kelainan yang ada pada mata. Kemudian pada hidung meliputi cuping hidung,
lubang hidung, tulang hidung dan septum nasi. Pada telinga meliputi bentuk telinga,
ukuran telinga, ketegangan telinga, lubang telinga, ketajaman pendengaran
menggunakan test weber, rinne dan swabach. Pada mulut dan faring meliputi
keadaan bibir, keadaan gusi dan gigi, keadaan lidah, palatum atau langit-langit dan
orofaring. Kemudian pada leher meliputi posisi trachea, tiroid, suara, kelenjar
lympe, vena jugularis dan denyut nadi karotis. Pemeriksaan payudara dan ketiak
meliputi ukuran dan bentuk payudara, warna payudara dan aerola, axilla dan
clavicular serta kelainan-kelainan lainnya pada ketiak dan payudara. Pemeriksaan
thoraks/dada/tulang belakang meliputi inspeksi (bentuk thoraks dan penggunaan
otot bantu pernafasan), palpasi (vocal premitus), perkusi dada dan auskultasi (suara
nafas, suara ucapan dan suara nafas tambahan). Pemeriksaan jantung meliputi
inspeksi dan palpasi jantung, perkusi batas jantung (basic jantung, pinggang
jantung, apeks jantung).Auskultasi pada jantung (bunyi jantung 1, bunyi jantung 2,
bunyi jantung tambahan, bising/murmur dan frekuensi bunyi jantung). Pemeriksaan
abdomen saat inspeksi meliputi bentuk abdomen, benjolan/massa, dan bayangan
pembu;uh darah. Saat auskultasi adalah mendengarkan bising atau peristaltic usus.
Saat palpasi meliputi nyeri tekan, benjolan/massa, pembesaran hepar, lien dan titik
Mc. Burney. Saat perkusi meliputi suara abdomen dan pemeriksaan asites abdomen.
Pemeriksaan kelamin dan sekitarnya pada anus dan perineum meliputi pubis,
meatus uretra dan kelainan lainnya. Sedangkan pada anus dan perineum meliputi
lubang anus, kelainan pada anus dan keadaan perineum. Pemeriksaan
muskuluskeletal meliputi kesimetrisan otot, emeriksaan oedema, kekuatan otot dan
kelainan punggung dan ekstremitas serta kuku. Pemeriksaan integuman meliputi
kebersihan, kehangatan, tekstur, warna, turgor, kelembapan dan kelainan pada
kulit/lesi.Pemeriksaan neurologis meliputi tingkat kesarana atau tingkat kesadaran
atau GCS, dan tanda rangsangan otak atau meningeal sign. Kemudian pemeriksaan
syaraf otak (N1-NXII), fungsi motoric, fungsi sensorik, dan reflex baik fisiologis
maupun patologis.
C. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul menurut Standar Diagnosa Keperawatan
Indonesia (SDKI) 2016-2017 yaitu:
1. Intoleransi aktivitas (D.0056)
Definisi : ketidakcukupan energi untuk melakukan aktivitas sehari-hari
2. Nyeri Akut b/d (sakit kepala) berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler
serebral (D.0077)
Definisi : pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan
berintensitas ringan hingga berat yang berlangsng kurang dari 3 bulan.
D. Intervensi Keperawatan
1. Toleransi Aktivitas (L.05047)
Definisi : respon fisiologis terhadap aktivitas yang membutuhkan tenaga.
Ekspektasi : meningkat
Kriteria hasil :
1. Intoleransi aktivitas (D.0056)
Tujuan :
Tidak terjadi intoleransi aktifitas setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3
x 7 jam
Kriteria hasil :
a. Meningkatkan energi untuk melakukan aktifitas sehari – harI
b. Menunjukkan penurunan gejala – gejala intoleransi aktifitas
Intervensi :
a. Berikan dorongan untuk aktifitas / perawatan diri bertahap jika dapat
ditoleransi.
b. Berikan bantuan sesuai kebutuhan
c. Instruksikan pasien tentang penghematan energy
d. Kaji respon pasien terhadap aktifitas
e. Monitor adanya diaforesis, pusing
f. Observasi TTV
g. Berikan jarak waktu pengobatan dan prosedur untuk memungkinkan waktu
h. istirahat yang tidak terganggu, berikan waktu istirahat sepanjang siang atau
sore
2. Nyeri (sakit kepala) berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler serebral
(D.0077)
Tujuan :
Nyeri atau sakit kepala hilang atau berkurang setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 7 jam
Kriteria hasil :
a. Pasien mengungkapkan tidak adanya sakit kepala
b. Pasien tampak nyaman
c. TTV dalam batas normal
Intervensi :
a. Pertahankan tirah baring, lingkungan yang tenang, sedikit penerangan
b. Minimalkan gangguan lingkungan dan rangsangan
c. Bantu pasien dalam ambulasi sesuai kebutuhan
d. Hindari merokok atau menggunkan penggunaan nikotin
e. Beri tindakan nonfarmakologi untuk menghilangkan sakit kepala seperti
kompres dingin pada dahi, pijat punggung dan leher, posisi nyaman, tehnik
relaksasi, bimbingan imajinasi dan distraksi
f. Hilangkan / minimalkan vasokonstriksi yang dapat meningkatkan sakit kepala
misalnya mengejan saat BAB, batuk panjang, membungkuk
Kolaborasi :
a. Pemberian obat sesuai indikasi : analgesik, antiansietas (lorazepam, ativan,
diazepam, valium )
DAFTAR PUSTAKA
Mubarak, W, I, Santoso, B, A, Rosikin, K & Patonah, S. (2006). Buku Ajar Ilmu Keperawatan
Komunitas 2 Teori & Aplikasi Dalam Praktik Dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan
Komunitas, Gerontik dan Keluarga.Jogjakarta : Sagung Seto.
Setiadi. (2008). Konsep & proses Keperawatan Keluarga. Jogjakarta : Graha Ilmu.
Sulistyo, A. (2012). Keperawatan Keluarga Konsep Teori dan Praktik Keperawatan. Jogjakarta :
Graha Ilmu.
Suprajitno. (2007). Asuhan Keperawatan Keluarga Aplikasi Dalam Praktik. Jakarta : EGC.
Sylvia A, Price & Lorraine M, Wilson. (2008). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 6. Volume 1. Jakarta : EGC
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Edisi 1.
Jakarta : DPP PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Edisi 1.
Jakarta : DPP PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Edisi 1.
Jakarta : DPP PPNI