Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK PADA TN.S DENGAN


MASALAH INSOMNIA DI DESA TAMAN ENDAH
KEC. PURBOLINGGO KAB.LAMPNG TIMUR
TAHUN 2022

DISUSUN OLEH :
FARICH JAYA ACHMADI
2022207209035

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU
LAMPUNG
2022
LAPORAN PENDAHULUAN
SYNDROM GERIATRI : INSOMNIA (SULIT TIDUR)

1. Pendahuluan
Menurut Undang-Undang RI nomor 13 tahun 1998, Depkes (2001)
yang dimaksud dengan usia lanjut adalah seorang laki-laki atau
perempuan yang berusia 60 tahun atau lebih, baik yang secara fisik masih
berkemampuan (potensial) maupun karena sesuatu hal tidak lagi mampu
berperan aktif dalam pembangunan (tidak potensial).
1. Batasan Usia Lanjut
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lanjut usia meliputi:
a. Usia pertengahan (middle age), yaitu kelompok usia 45 sampai 59
tahun
b. Usia lanjut (elderly), antara 60-74 tahun
c. Usia tua (old), antara 75-90 tahun
d. Usia sangat tua (very old), usia diatas 90 tahun
2. Proses Menua
Proses menua merupakan proses terus menerus secara alamiah,
yang dimulai sejak lahir dan pada umumnya dialami pada semua
makhluk hidup. Proses menua setiap individu pada organ tubuh juga tidak
sama cepatnya. Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses
berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam
maupun dari luar tubuh (Nugroho, 2008)
Menua ( menjadi tua : aging ) adalah suatu proses menghilangnya
secara pelahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki
diri/mengganti diri dan mempertahankan struktur serta fungsi normalnya
sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan
memperbaiki kerusakan yang diderita (Darmojo, 2000)
Beberapa ahli berpendapat bahwa proses menua merupakan suatu
proses yang meliputi interaksi antara perubahan biologis, psikologis, dan
sosislogis sepanjang hidup. Beberapa teori sosial tentang proses penuaan
antara lain:
a. Teori Interaksi Sosial (Sosial Exchange Theory)
Teori ini mencoba menjelaskan mengapa lanjut usia bertindak pada
suatu situasi tertentu, yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai
masyarakat. Hardywinoto dan Setiabudhi 2005, mengemukakan
bahwa kemampuan lanjut usia untuk terus menjalin interksi sosial
merupakan kunci mempertahankan status sosialnya atas dasar
kemampuannya untuk melakukan tukar menukar.
b. Teori penarikan diri (Disengagement Theory)
Teori ini merupakan teori sosial tentang penuaan yang paling awal.
Kemiskinan lanjut usia dan menurunnya derajat kesehatan
mengakibatkan seorang lanjut usia secara perlahan-lahan menarik diri
dari pergaulan sekitarnya. Selain hal tersebut, dari pihak masyarakat
juga mempersiapkan kondisi agar para lanjut usia menarik diri.
Keadaan ini mengakibatkan inetraksi sosial lanjut usia menurun, baik
secara kualitas maupun kuantitas.
Pada lanjut usia sekaligus terjadi kehilangan ganda (triple loss),yaitu :
1) Kehilangan peran (Loss of Roles)
2) Hambatan kontak sosial (Restriction of Contacts and
Relationships).
3) Berkurangnya komitmen (Reduced Commitment to Social Mores
and Values)
Menurut teori ini, seorang lanjut usia dinyatakan mengalami proses
penuaan yang berhasil apabila ia menarik diri dari kegiatan terdahulu
dan dapat memusatkan diri pada persoalan pribadi dan
mempersiapkan diri menghadapi kematiannya.
c. Teori Aktivitas (Activity Theory)
Teori aktivitas dikembangkan oleh Palmore dan Lemon et. al.cit
Hardywinoto 2005 yang menyatakan, bahwa penuaan yang sukses
tergantung dari bagaimana seorang lanjut usia merasakan kepuasan
dalam melakukan aktivitas dan mempertahankan aktivitas tersebut
selama mungkin. Pokok-pokok teori aktivitas adalah :
1) Moral dan kepuasan berkaitan dengan interaksi sosial dan
keterlibatan sepenuhnya dari lanjut usia di masyarakat
2) Kehilangan peran akan menghilangkan kepuasan seorang lanjut
usia
Teori aktivitas dikembangkan oleh Palmore dan Lemon et. al.cit
Herdywinoto 2005 yang menyatakan, bahwa penuaan yang sukses
tergantung dari bagaimana seorang lanjut usia merasakan kepuasan
dalam melakukan aktivitas dan mempertahankan aktivitas tersebut
selama mungkin.
d. Teori Kesinambungan (Continuity Theory)
Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus
kehidupan lanjut usia, dengan demikian pengalaman hidup seseorang
pada suatu saat merupakan gambarnya kelak padasaat ia menjadi
lanjut usia. Dan hal ini dapat terlihat bahwa gaya hidup, perilaku, dan
harapan seseorang ternyata tak berubah,walaupun ia menjadi lanjut
usia. Menurut teori penarikan diri dan teori aktivitas, proses penuaan
merupakan suatu pergerakan dan proses yang searah, akan tetapi pada
teori kesinambungan merupakan pergerakan dan proses banyak arah,
tergantung dari bagaimana penerimaan seseorang terhadap status
kehidupannya.
e. Teori Perkembangan (Development Theory)
Setiabudhi 2005 menguraikan tujuh jenis tugas perkembangan
(Developmental task) selama hidup yang hars dilaksanakan oleh lanjut
usia, yaitu:
1) Penyesuaian terhadap penururnan fisik dan psikis
2) Penyesuaian terhadap pensiun dan penururnan pendapatan
3) Menemukan makna kehidupan
4) Mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan
5) Menemukan kepuasan dalam hidup berkeluarga
6) Penyesuaian diri terhadap kenyataan akan meninggal dunia.
7) Menerima dirinya sbagai seorang lanjut usia

f. Teori Stratifikasi Usia (Age Stratification Theory)


Menurut Stanley & Beare (2006) penuaan adalah normal, dengan
perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan yang terjadi
pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap
perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan suatu fenomena
yang kompleks dan multidimensional yang dapat diobservasi di dalam
satus sel dan berkembang sampai pada keseluruhan sistem. Walaupun
hal itu terjadi pada tingkat kecepatan yang berbeda, di dalam
parameter yang cukup sempit, proses tersebut tidak tertandingi.
Kelanjutusiaan (aging) adalah proses alamiah yang dimulai sejak
terjadi pembuahan pada masa janin. Seseorang dilahirkan dan
menjalani siklus kehidupan manusia yakni sebagai bayi, anak, remaja,
dewasa muda, usia menengah, masa lanjut usia sampai orang tersebut
meninggal secara normal ataupun karena suatu penyakit.

3. Masalah Kesehatan Yang Mungkin Muncul Pada Lanjut Usia


Masalah kesehatan utama yang sering terjadi pada lansia perlu
dikenal dan dimengerti oleh siapa saja yang banyak berhubungan dengan
perawatan lansia agar dapat memberikan perawatan untuk mencapai
derajat kesehatan yang seoptimal mungkin. Masalah kesehatan yang
sering muncul pada lansia :
a. Immobility (Kurang Bergerak)
Kurang bergerak disebabkan oleh adanya gangguan pada sistem
muskoloskeletal seperti terjadinya : Tulang kehilangan density
(cairan) dan makin rapuh, Kifosis, Persendian membesar dan menjadi
kaku, Pada otot terjadi atrofi serabut otot (sehingga seseorang
bergerak lamban, otot keram dan menjadi tremor). Pada kurang gerak
bisa juga disebabkan karena penyakit jantung dan pembuluh darah
(Biasanya terjadi tekanan darah tinggi).
b. Instability (Berdiri dan Berjalan Tidak Stabil atau Mudah jatuh)
Lansia mudah terjatuh karena terjadinya penurunan fungsi-fungsi
tubuh dan kemampuan fisik juga mental hidupnya. Akibatnya
aktivitas hidupnya akan ikut terpengaruh, sehingga akan mengurangi
kesigapan seseorang.
Penyebab terjatuh pada lansia antara lain :
1) Faktor intrinsik (faktor dari dalam tubuh lanjut usia sendiri).
2) Faktor ekstrinsik (faktor dari luar atau lingkungan).
Akibat dari terjatuh dapat menyebabkan cidera pada lansia
sehingga menimbulkan rasa sakit. Lansia yang pernah terjatuh akan
merasa takut untuk terjatuh lagi sehingga lansia tersebut menjadi takut
untuk berjalan dan membatasi pergerakannya.
c. Inkontinensia
Beser atau yang sering dikenal dengan ”Ngompol” karena saat BAK
atau keluarnya air seni tanpa disadari akibat terjadi masalah kesehatan
atau sosial. Untuk mengatasi masalah ini biasanya lansia akan
mengurangi minum dengan harapan untuk mengurangi jumlah dan
frekuensi berkemih. Akibatnya lansia dapat terjadi kekurangan cairan
tubuh dan berkurangnya kemampuan kandung kemih yang justru akan
memperberat keluhan beser pada lansia.
d. Intellectual Impairment (Gangguan Intelektual)
Gangguan yang berhubungan dengan kemapuan berfikir atau ingatan
yang mempengaruhi terganggunya aktivitas sehari-hari. Kejadian ini
terjadi dengan capat mulai usia 60-85 tahun atau lebih.
e. Infeksi
Pada lansia telah terjadi penurunan fungsi tubuh. Daya tahan tubuh
juga menurun karena kekurangan gizi. Adanya penyakit yang
bermacam-macam. Selain itu juga dari faktor lingkungan juga bisa
terpengaruh terhadap infeksi yang terjadi pada lansia.
f. Gangguan Pancaindera (Impairment of Vision and Hearing, Taste,
Smell, Communication, Convalescence, Skin Integrity)
Akibat proses menua sehingga semua kemampuan pancaindera
berkurangfungsinya. Juga terjadi gangguan pada otak, saraf dan otot-
otot. Sehingga pada lansia terjadi penurunan penglihatan, pendengaran
dan komunikasi (berbicara).
g. Impaction (Konstipasi atau Gangguan BAB)
Konstipasi yang terjadi pada lansia disebabkan karena pergerakan
fisik pada lansia yang kurang mengkonsumsi makana berserat, kurang
minum juga akibat pemberian obat-obat tertentu.
Pada kasus konstipasi yaitu feces menjadi keras dan sulit dikeluarkan
maka akan tertahan diusus sehingga dapat terjadi sumbatan diusus
yang menyebabkan rasa sakit diperut.
h. Isolasi (Depresi)
Dapat terjadi akibat perubahan status sosial, bertambahnya penyakit
dan berkurangnya kemampuan untuk mengurus dirinya secara mandiri
serta akibat perubahan-perubahan fisik maupun peran sosial.
Gejala-gejala depresi yang sering muncul dianggap sebagai bagian
dari proses menua. Adapun gejala-gejala seperti dibawah ini antara
lain :
1) Gangguan emosional : perasaan sedih, sering menangis, merasa
kesepian, gangguan tidur, pikiran dan gerakan lamban, cepat lelah
dan menurunnya aktivitas, tidak adanya selera makan yang
mengakibatkan berat badan menurun, daya ingat berkurang, sulit
untuk memusatkan perhatian, kurangnya minat, hilangnya
kesenagnan yang biasanya dinikmati, menyusahkan orang lain,
merasa rendah diri, harga diri dan kepercayaan diri berkurang,
merasa bersalah dan tidak berguna, tidak ingin hidup lagi bahkan
mau bunuh diri.
2) Gangguan fisik : sakit kepala, jantung berdebar-debar, nyeri
pinggang, gangguan pencernaan.
i. Kurang Gizi
Disebabkan oleh perubahan lingkungan yaitu ketidaktahuan lansia
dalam memilih jenis makana yang bergizi, isolasi sosial karena lansia
mengalami penurunan aktivitas karena penurunan fungsi pancaindera.
Sedangkan penyebab lainnya yaitu kondisi kesehatan : sehingga lansia
hanya akan mengalami konsumsi jenis makanan tertentu, adanya
penyakit fisik, mental, gangguan tidur dan obat-obatan.
j. Impecunity (Tidak Punya Uang)
Hal ini berhubungan dengan pekerjaan. Semakin seseorang bertambah
tua maka aktivitasnya akan berkurang yang menjadikan lansia
berhenti dari pekerjaannya. Secara otomatis pendapatannya akan
berkurang. Lansia dapat menikmati masa tua dengan bahagia apabila :
1) Mempunyai pendapatan yang paling tidak dapat memenuhi
kebutuhan sehari-hari.
2) Tempat yang layak untuk tinggal.
3) Masih mempunyai peran setidaknya didalam keluarganya.
k. Latrogenesis (Menderita Penyakit Akibat Obat-obatan)
Banyak kejadian lansia mempunyai berbagai macam penyakit atau
yang biasa disebut komplikasi, sehingga membutuhkan juga obat yang
banyak untuk tiap penyakitnya. Lansia sering kali menggunakan obat
dalam jangka waktu yang lama tanpa pengawasan dari dokter
sehingga akan muncul penyakit baru dari akibat penggunaan obat-
obatan tersebut.
l. Insomnia
Hampir semua lansia mempunyai gangguan tidur yakni sulit untuk
mulai masuk dalam proses tidur, tidurnya tidak nyenyak dan mudah
terbangun, sering bermimpi, bangun terlalu awal (dini hari). Apabila
sudah terbangun maka akan sulit untuk tidur kembali.
m. Immune Deficiency (Daya Tahan Tubuh yang Menurun)
Salah satu penyebab daya tahan tubuh pada lansia menurun terjadi akibat
terganggunya fungsi organ tubuh. Namun tidak semua proses menua
mengakibatkan penurunan daya tahan tubuh. Hal ini juga dapat terjadi
akibat penyakit yang diderita lansia, penyakit yang sudah akut,
penggunaan obat-obat tertentu dan status gizi yang buruk.
A. Pengertian
Insomnia atau disebut dengan gangguan tidur adalah kondisi yang jika
tidak diobati, secara umum akan menyebabkan gangguan tidur malam yang
mengakibatkan munculnya salah satu dari ketiga masalah tersebut: insomnia,
gerakan sensasi abnormal di kala tidur atau ketika di tengah malam atau merasa
mengantuk yang berlebihan di siang hari (Potter dan Perry, 2005). Gangguan
pola tidur adalah gangguan kualitas dan kuantitas waktu tidur akibat faktor
ekternal (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016).
B. Data
1. Pengkajian

A. Identitas
Identitas pada klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa, agama,
pekerjaan, pendidikan, diagnose medis, alasan dirawat, keluhan utama, kapan
keluhan dimulai, dan lokasi keluhan.
B. Riwayat Perawatan
Riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat kesehatan
keluarga, keadaan lingkungan, dan riwayat kesehatan lainnya.
C. Observasi dan Pemeriksaan Fisik
Meliputi keadaan umum, Pengukuran Tanda-Tanda Vital (TTV), Pemeriksaan
fisik tentang system kardiovaskuler, system pernafasan, sistem pencernaan,
system perkemihan, sistem endokrin, sistem musculoskeletal, dan sistem
reproduksi.
D. Pola Fungsi Kesehatan
Persepsi terhadap kesehatan dan penyakit, kebiasaan sehari-hari, nutrisi
metabolism, pola tidur dan istirahat, kognitif-perseptual, persepsi-konsep diri,
aktivitas dan kebersihan diri, koping-toleransi stress, nilai-pola keyakinan.
E. Data penujang
Hasil pemeriksaan laboraturium, dan pemeriksaan lainnya

2. Pemeriksaan fisik

a. Integumen :
 Lemak subkutan menyusut
 Kulit kering dan tipis, rentang terhadap trauma dan iritasi, serta lambat
sembuh
b. Mata :
 Areus senilis, penurunan visus
c. Telinga :
 Pendengaran berkurang yang selanjutnya dapat berakibat gangguan bicara.
d. Kardiopulmonar :
 Curah jantung berkurang serta elastisitas jantung dan pembuluh darah
berkurang, terdengar bunyi jantung IV (S4) dan bising sistolik, kapasitas vital
paru, volume ekspirasi, serta elastisitas paru-paru berkurang.
e. Muskuloskeletal :
 Massa tulang berkurang, lebih jelas pada wanita, jumlah dan ukuran otot
berkurang.
 Massa tubuh banyak yang tergantikan oleh jaringan lemak yang disertai
pula oleh kehilangan cairan.
f. Gastrointestinal :
 Mobilitas dan absorpsi saluran cerna berkurang, daya pengecap, serta
produksi saliva menurun.
g. Neurologikal :
 Rasa raba juga berkurang, langkah menyempit dan pada pria agak
melebar. Selain itu, terdapat potensi perubahan pada status mental.

3. Pemeriksaan Fisik Umum

a. Kesadaran : klien dapat menunjukkan tingkat kesadaran baik (tidak ada


kelainan atau gangguan kesadaran).
b. Pengkajian status gizi :Terjadi malnutrisi

4. Pengkajian Fisik Khusus

a. Pengkajian sistem perkemihan : Inkontinensia


b. Pengkajian sistem pernapasan : Perubahan pada saluran pernapasan atas,
diameter dinding dan dinding dada kaku.
c. Pengkajian sistem kulit/integumen : Pertumbuhan epidermis melambat (kulit
kering, epidermis menipis), berkurangnya vaskularisasi, juga melanosit dan
kelenjar-kelenjar pada kulit.
d. Pengkajian pola tidur : susah tidur pulas, sering terbangun, serta kualitas tidur
yang rendah, lama ditempat tidur serta jumlah total waktu tidur per hari yang
berkurang.
e. Pengkajian status fungsional :
- Tentang mandi = Dikatakan mandiri (independen) bila dalam melakukan
aktivitas klien hanya memerlukan bantuan untuk menggosok atau
membersihkan sebagian tertentu dari anggota badannya, Dikatakan dependen
bila klien memerlukan bantuan untuk lebih dari satu bagian badannya.
- Berpakaian = Independen bila tak mampu mengambil sendiri pakaian dalam
lemari atau laci.
- Ke toilet = Independen bila lansia tak mampu ke toilet sendiri, beranjak dari
kloset, merapikan pakaian sendiri. Dependen bila memang memerlukan bed
pan atau pispot.
- Transferring = Independen bila mampu naik turun sendiri dari tempat tidur atau
kursi roda. Dependen bila selalu memerlukan bantuan untuk kegiatan tersebut
diatas atau tak mampu melakukan satu atau lebih aktivitas transferring.
- Kontinensia = Independen bila mampu buang hajat sendiri (urinari dan
defekasi). Dependen bila pada salah satu atau keduanya miksi atau sefekasi
memerlukan enema atau kateter.
- Makan = Independen bila mampu menyuap makanan sendiri, mengambil dari
piring.
f. Pengkajian aspek spiritual =
- Perasaan individu tentang kehidupan keagamaannya
- Melakukan kewajiban-kewajiban agar berkontemplasi tentang kehidupan
menurut agama dan kepercayaannya

C. Klasifikasi Insomnia
Insomnia terbagi menjadi beberapa bagian, menurut Nugroho,2012 jenis
insomnia diataranya yakni:
1. Insomnia Primer
Insomnia primer tidak terjadi secara eksklusif selama ada gangguan
mental lainnya. Tidak disebabkan oleh faktor fisiologis langsung
kondisi medis umum. Ditandai dengan keluhan sulit untuk memulai
tidur. Keadaan ini berlangsung paling sedikit selama 1 bulan.
Seseorang dengan insomnia primer sering mengeluh sulit masuk tidur
dan terbangun berkali-kali. Bentuk keluhannya bervariasi dari waktu
ke waktu.
2. Insomnia Kronik
Insomnia kronis biasanya disebut juga insomnia psikofisiologis
persisten. Insomnia ini dapat disebabkan oleh kecemasan, dapat juga
terjadi akibat kebiasaan perilaku maladaptive di tempat tidur. Adanya
kecemasan yang berlebihan karena tidak bisa tidur menyebabkan
seseorang berusaha keras untuk tidur tapi ia semakin tidak bisa tidur.
Ketika berusaha untuk tidur terjadi peningkatan ketegangan motorik
dan keluhan somatik lain sehingga menyebabkan tidak bisa tidur.

3. Insomnia Idiopatik
Insomnia idiopatik merupakan insomnia yang telah terjadi sejak dini.
Terkadang insomnia ini sudah terjadi sejak lahir dan dapat berlanjut
selama hidup. Penyebabnya pun tidak jelas, ada dugaan disebabkan
oleh ketidakseimbangan neurokimia otak di formasioretikularis batang
otak atau disfungsi forebrain. Lansia yang tinggal sendiri atau ada rasa
takut pada malam hari dapat menyebabkan kesulitan tidur. Insomnia
kronis dapat menyebabkan penurunan mood (risiko depresi dan
ansietas), menurunkan motivasi, energy dan konsentrasi serta
menimbulkan rasa malas. Kualitas hidup berkurang menyebabkan
lansia tersebut lebih sering menggunakan fasilitas kesehatan.

D. Etiologi dan Patofisiologi Insiomnia


Tidur merupakan suatu ritme biologis yang bekerja 24 jam yang bertujuan
untuk mengembalikan stamina untuk kembali beraktivitas.Tidur dan terbangun
diatur oleh batang otak, thalamus, hypothalamus dan beberapa neurohormon
dan neurotransmitter juga dihubungkan dengan tidur. Hasil yang diproduksi
oleh mekanisme 6 serebral dalam batang otak yaitu serotonin. Serotonin ini
merupakan neurotransmitter yang berperan sangat penting dalam menginduksi
rasa kantuk, juga sebagai medula kerja otak(Guyton & Hall, 2008).
Dalam tubuh serotonin diubah menjadi melatonin yang merupakan
hormone katekolamin yang diproduksi secara alami oleh tubuh.Adanya lesi
pada pusat pengatur tidur di hypothalamus juga dapat mengakibatkan keadaan
siaga tidur. Katekolamin yang dilepaskan akan menghasilkan hormone
norepineprin yang akan merangsang otak untuk melakukan peningkatan
aktivitas. Stress juga merupakan salah satu factor pemicu, dimana dalam
keadaan stress atau cemas, kadar hormone katekolamin akan meningkat dalam
darah yang akan merangsang sistem saraf simpatetik sehingga seseorang akan
terus terjaga (Perry, dalamIswari & Wahyuni,2012).
E. Komplikasi Insomnia
Akibat dari insomnia dapat mempengaruhi fungsi otak yang tepat. Otak
menggunakan tidur sebagai proses aktif dimana pada saat seseorang tidur otak
akan melatih semua sel saraf dengan melewatkan sinyal aktivitas listrik melalui
semua sel saraf. Ketika sel saraf otak tidak mendapatkan jumlah tidur yang
cukup maka kerja fungsi otak dalam hal menyimpan atau mengambil informasi
dan kemampuan untuk mengelola aktivitas sehari-hari.

F. Penatalaksanaan Insomnia
Insomnia memiliki pengaruh yang buruk bagi kesehatan lansia sehingga
masalah tersebut harus diatasi. Adapun intervensi yang dapat digunakan untuk
mengatasi insomnia pada lansia yaitu dengan terapi farmakologis dan
nonfarmakologis :
1. Terapi farmakologis
Tujuan dari terapi farmakologis yaitu untuk menghilangkan keluhan
penderita insomnia sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pada lanjut
usia (Galimi, 2010). Ada lima prinsip dalam farmakologi, yaitu
menggunakan dosis rendah tetapi efektif, dosis yang diberikan bersifat
intermitten (3-4 kali dalam seminggu), pengobatan jangka pendek (3-4
minggu), penghentian terapi tidak menimbulkan kekambuhan pada gejala
insomnia, memiliki efek sedasi yang rendah sehingga tidak mengganggu
aktivitas sehari-hari. Terapi farmakologi yang paling efektif untuk
insomnia yaitu dengan Benzodiazepine atau nonBenzodiazepine
(Galimi,2010). Non-Benzodiazepine memiliki efek pada reseptor GABA
dan berkaitan secara selektif pada reseptor Benzodiazepine subtife di otak.
Obat ini efektif pada lansia karena dapat diberikan dalam dosis yang
rendah. Obat golongan ini memiliki efek hipotoni otot, gangguan perilaku,
kekambuhan insomnia jika dibandingkan dengan golongan BZDs obat
golongan non-Benzodiazepine yang aman untuk lansia adalah Zeleplon,
Zolpidem, Eszopiclone dan Ramelton. Obat Zeleplon, zolpidem dan
eszopiclone dapat berfungsi untuk mengurangi sleep latency sedangkan
ramelton digunakan pada klien yang mengalami kesulitan untuk mengawali
tidur (Galimi, 2010).
2. Terapi nonfarmakologis
Intervensi keperawatan yang bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas
tidur dan mengurangi gangguan tidur adalah dengan terapi
nonfarmakologis, yaitu dengan memberikan terapi massage punggung
Terapi massage punggung dapat meningkatkan rasa rileks sehingga
meningkatkan keinginan tidur. Massage dapat diartikan sebagai pijat yang
telah disempurnakan dengan ilmu-ilmu tentang tubuh manusia atau
gerakan-gerakan tangan mekanis terhadap tubuh manusia dengan
mempergunakan bermacam-macam bentuk pegangan atau teknik.

G. Diagnosa Keperawatan
- Gangguan pola tidur b.d kurang kontrol tidur
- Nyeri Akut
- Gangguan rasa nyaman

Diagnosa Intervensi Keperawatan


No
Keperawatan (SLKI) (SIKI)
1. Gangguan pola Setelah dilakukan intervensi pola Dukungan tidur:
tidur b.d kurang tidur menurun dengan indikator 1. Identifikasi pola
kontrol tidur sebagai berikut: aktivitas dan tidur
1. Keluhan mengenai kesulitan 2. Identifikasi factor
tidur bisa dikontrol pengganggu tidur
2. Tidak ada masalah dengan pola, 3. Tetapkan jadwal rutin
kualitas dan rutinitas ridur tidur
3. Klien terlihat segar setelah 4. Anjurkan menepati
bangun tidur kebiasaan tidur
4. Klien dapat mengidentifikasi 5. Anjurkan menghindari
tindakan yang dapat makanan/minu man
meningkatkan tidur. yang mengganggu
(L.05045 SLKI 2019) tidur
DAFTAR PUSTAKA

Ariani, April, Tutu. (2012) Sistem Neurobehaviour. Jakarta: Salemba Medika

Dewanto, George. (2009) Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana

Penyakit Saraf . Jakarta: EGC

Kemenkes, (2018). Riset Kesehatan Dasar, Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Kementrian RI Tahun 2018

Kementrian Kesehatan RI. INFODATIN Pusat Data dan Informasi Kementrian

Kesehatan RI 2014

Mottaqin, Arif. (2011) Asuhan Keperwatan Klien Dengan Gangguan Sistem

Syaraf. Jakarta: Salemba Medika

Smeltzer, Suzanne C. , Brenda G. Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal

Bedah. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai