Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN

RISIKO JATUH

Oleh:

Nama : Ika Nur Rahmawati


NIM : 21202036

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS dr. SOEBANDI 
2021/2022
I. Konsep Lansia

A. Definisi Lansia
Lansia adalah suatu keadaan yang selalu terjadi pada kehidupan manusia.
Menua adalah proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu
tertentu tetapi dimulai sejak ada permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan
hal yang alamiah yang berarti seseorang sudah melalui tiga tahapan yaitu: anak,
dewasa, dan tua. Tiga tahap ini berbeda baik secara biologis maupun psikologis.
Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran misalnya kemunduran fisik
yang ditandai kulit mengendur, rambut memutih, gigi ompong, pendengaran
menurun, penglihatan memburuk, mengalami gerakan melambat, dan figur tubuh
yang tidak proporsional (Nugroho, 2016).

Dalam Buku Ajar Geriatri, Prof. Dr. R. Boedhi Darmojo dan Dr. H. Hadi
Martono (1994) mengatakan bahwa menua atau menjadi tua adalah suatu proses
menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau
mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga
tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan
yang diderita. Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa manusia secara
perlahan mengalami kemunduran struktur dan fungsi organ. Kondisi ini dapat
mempengaruhi kemandirian dan kesehatan lanjut usia, termasuk kehidupan
seksualnya (Nugroho, 2016).

Menurut WHO dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang


Kesejahteraan Lanjut Usia pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 2 menyebutkan bahwa umur
60 tahun adalah usia permulaan tua. Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi
merupakan proses yang berangsur-angsur mengakibatkan perubahan yang
kumulatif, merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi
rangsangan dari dalan dan luar tubuh yang berakhir dengan kematian (Nugroho,
2016).
B. Batasan-batasan Usia Lanjut
a. Batasan umur lansia menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) dalam
Padila (2013):
1) Usia Pertengahan (middle age) usia 45 sampai 59 tahun
2) Lanjut usia (elderly) usia 60 sampai 74 tahun
3) Lanjut usia tua (old) usia 75 sampai 90 tahun
4) Usia sangat tua (very old) usia diatas 90 tahun

b. Menurut Bee (1996) dalam Padila (2013):


1) Masa dewasa muda (usia 18 sampai 25 tahun)
2) Masa dewasa awal (usia 26 sampai 40 tahun)
3) Masa dewasa tengah (usia 41 sampai 65 tahun)
4) Masa dewasa lanjut (usia 66 sampai 75 tahun)
5) Masa dewasa sangat lanjut (usia diatas 75 tahun)
c. Menurut Setyonegoro, dalam Padila (2013):
1) Usia dewasa muda (elderly adulthood) usia 18/20 sampai 25 tahun
2) Usia dewasa penuh (meddle years) atau maturitas usia 25 sampai 60/65
tahun
3) Lanjut usia (geriatric age) usia diatas 65/70 tahun, terbagi atas:
4) Young old (usia 70 sampai 75 tahun)
5) Old (usia 75 sampai 80 tahun)
6) Very old (usia diatas 80 tahun)
Di Indonesia, batasan mengenai lanjut usia adalah 60 tahun keatas, dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia pada
Bab 1 Pasal 1 Ayat 2. Menurut Undang-Undang tersebut diatas lanjut usia adalah
seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas baik pria maupun wanita (Padila,
2013).
C. Teori Proses Lansia
Sampai saat ini, banyak definisi dan teori yang menjelaskan tentang proses
lansiayang tidak seragam. Proses lansia bersifat individual dimana proses menua
pada setiap orang terjadi dengan usia yang berbeda, setiap lanjut usia mempunyai
kebiasaan atau life style yang berbeda, dan tidak ada satu faktor pun yang
ditemukan dapat mencegah proses menua. Adakalanya seseorang belum tergolong
tua (masih muda) tetapi telah menunjukkan kekurangan yang mencolok. Adapula
orang yang tergolong lanjut usia penampilannya masih sehat, bugar, badan tegap,
akan tetapi meskipun demikian harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang
sering dialami oleh lanjut usia. Misalnya hipertensi, diabetes mellitus, rematik,
asam urat, dimensia sinilis, dan sakit ginjal (Padila, 2013).

Teori-teori tentang penuaan sudah banyak ang dikemukakan, namun tidak


semuanya bisa diterima.Teori-teori itu dapat digolongkan dalam dua kelompok,
yaitu yang termasuk kelompok teori biologis dan teori psikososial (Padila, 2013).

a. Teori Biologis:
Teori yang merupakan teori biologis adalah sebagai berikut:
1) Teori Jam Genetik
Menurut Hay Ick (1965) dalam Padila (2013), secara genetik sudah
terprogram bahwa material di dalam inti sel dikatakan bagaikan memiliki
jam genetis terkait dengan frekuensi mitosis. Teori ini didasarkan pada
kenyataan bahwa spesies-spesies tertentu memiliki harapan hidup (life
span) yang tertentu pula.Manusia yang memiliki rentang kehidupan
maksimal sekitar 110 tahun, sel-selnya diperkirakan hanya mampu
membelah sekitar 50 kali, sesudah itu mengalami deteriorasi.
2) Teori Radikal Bebas
Radikal bebas merusak membrane sel yang menyebabkan kerusakan dan
kemunduran secara fisik (Padila, 2013).
3) Teori immunologi
Di dalam proses metabolisme tubuh, suatu saat diproduksi suatu zat
khusus. Ada jaringan tubuh tertentu yang tidak dapat tahan terhadap zat
tersebut sehingga jaringan tubuh menjadi lemah.Sistem imun menjadi
kurang efektif dalam mempertahankan diri, regulasi dan responsibilitas
(Padila, 2013).
4) Teori cross-linkage (rantai silang)
Kolagen yang merupakan unsur penusun tulang diantara susunan
molecular, lama kelamaan akan meningkat kekakuannya (tidak elastis).
Hal ini disebabkan oleh karena sel-sel yang sudah tua dan reaksi
kimianya menyebabkan jaringan yang sangat kuat (Padila, 2013).
b. Teori Psikososial
1) Teori Integritas Ego
Teori perkembangan ini mengidentifikasi tugas-tugas yang harus dicapai
dalam tiap tahap perkembangan.Tugas perkembangan terakhir
merefleksikan kehidupan seseorang dan pencapaiannya.Hasil akhir dari
penyelesaian konflik antara integritas ego dan keputusasaan adalah
kebebasan (Padila, 2013).
2) Teori Stabilitas Personal
Kepribadian seseorang terbentuk pada masa kanak-kanak dan tetap
bertahan secara stabil. Perubahan yang radikal pada usia tua bisa jadi
mengindikasikan penyakit otak (Padila, 2013).
c. Teori Sosiokultural
1) Teori Pembebasan
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang
berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya, atau
menarik diri dari pergaulan sekitarnya. Hal ini mengakibatkan interaksi
sosial lanjut usia menurun, sehingga sering terjadi kehilangan ganda
meliputi kehilangan peran, hambatan kontak sosial, dan berkurangna
komitmen (Padila, 2013).
2) Teori Aktifitas
Teori ini menyatakan bahwa penuaan yang sukses tergantung dari
bagaimana seorang usia lanjut merasakan kepuasan dalam beraktifitas dan
mempertahankan aktififtas tersebut selama mungkin. Adapun kualitas
aktifitas tersebut lebih penting dibandingkan kuantitas aktifitas yang
dilakukan (Padila, 2013).
D. Faktor Yang Mempengaruhi Penuaan
Efendi (2009), faktor-faktor yang mempengaruhi ketuaan adalah:
a. Herediter atau keturunan genetic
Setiap orang mempunyai ciri dan kemampuan yang diturunkan oleh
percampuran sifat kedua orangtuanya. Faktor genetik juga
mempengaruhi proses penuaan seseorang.
b. Nutrisi atau makanan
Setiap seseorang mempunyai kebiasaan makan tertentu yang
berkembang sejak masa mudanya, proses penuaan juga dipengaruhi
oleh nutrisi yang di konsumsi seseorang sejak kecil hingga ia
menjelang lansia. Semakin baikkebiasaan makan seseorang berarti
semakin baik pula tercukupinya kebutuhan nutrisi orang tersebut dan
hal ini akan membantu memperlambat proses penuaan.
c. Status kesehatan/ penyakit
Status kesehatan seseorang juga berpengaruh pada proses penuaan,
orang yang mempunyai riwayat kesehatan yang kurang baik
mempunyai resiko mengalami proses penuaan yang lebih cepat dan
beresiko mengalami penyakit-penyakit degenerative pada masa tuanya,
missal hipertensi,diabetes, dan penyakit jantung.
d. Pengalaman hidup/gaya hidup
Setiap orang mempunyai gaya hidup tertentu yang dibentukdan
dilakukan sepanjang masa hidupnya. Gaya hidup yang kurang baik
pada masa muda akan berakibat buruk pada masa tuanya. Missal, gaya
hidup merokok, akan beresiko menderita penyakit jantung dan paru-
paru pada masa tuanya.
e. Lingkungan
Setiap orang dipeengaruhi oleh lingkungan hidupnya orang yang hidup
di kota besar kemungkinan besar terpajan oleh polusi dibandingkan
orang yang hidup di desa, di daerah pegunungan.
f. Stress
Setiap orang mempunyai kemampuan untuk mengatasi masalah dan
mengendalikan emosinya. Tingkat stress yang tinggi berpengaruh pada
masa tua seseorang.
E. Perubahan Sistem Tubuh Lansia
Menurut Effendi (2009), perubahan sistem tubuh lansia dan penjelasannya
antara lain:

a) Sel
Pada lansia jumlah selnya akan lebih sedikit dan ukurannya akan lebih
besar. Cairan tubuh dan cairan intraseluler akan berkurang. Proporsi
protein di otak, otot ginjal darah dan hati juga ikut berkurang. Jumlah
sel otak akan menurun, mekanisme perbaikan sel akan terganggu dan
otak menjadi atrofi.
b) Sistem persyarafan
Rata-rata berkurang neocortical sebesar 1 per detik, hubungan
persyarafan cepat menurun, lambat dalam merespon baik dari gerakan
maupun jarak waktu, khususnya dengan stress, mengecilnya saraf
pancaindra, serta menjadi kurang sensitif terhadap sentuhan.
c) Sistem pendengaran
Gangguan pada pendengaran (prebiakusis), membran timpani
mengalami atrofi, terjadi pengumpulan dan pergeseran serum karena
peningkatan keratin, pendengaran menurun pada lanjut usia yang
mengalami ketegangan jiwa atau stress.
d) Sistem penglihatan
Sclerosis pada sfingter pupil dan hilangnya respon terhadap sinar,
kornea lebih berbentuk seperti bola (sferis), lensa lebih suram (keruh)
dapat menyebabkan katarak, meningkatnya ambang pengamatan sinar
dan daya adaptasi terhadap kegagalan menjadi lebih lambat dan sulit
untuk melihat dalam keadaan gelap, hilangnya daya akomodasi,
menurunnya lapang pandang dan menurunnya daya untuk membedakan
antara warna biru dengan hijau pada skala pemeriksaan.
e) Sistem kardiovaskuler
Elastisitas dinding aorta menurun, katup jantung menebal dan menjadi
kaku, kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap
tahunsesudah berumur 20 tahun, hal ini menyebabkan menurunnya
kontraksi dan volumenya. Kehilangan elastisitas pembulu darah,
kurangnya efektifitas pembulu darah perifer untuk oksigenasi, sering
terjadi postural hipotensi, tekanan darah meningkat diakibatkan oleh
meningkatnya resistensi dari pembulu darah perifer.

f) Sistem pengaturan suhu tubuh


Suhu tubuh menurun (hipotermia) secara fisiologis ±35ºC, hal ini
diakibatkan oleh metabolisme yang menurun, keterbatasan reflex
menggigil dan tidak dapat memproduksi panas yang banyak, sehingga
terjadi rendahnya aktivitas otot.
g) Sistem pernapasan
Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku,
menurunya aktivitas dari silia, paru-paru kehilangan elektisitas sehingga
kapasitas residu meningkat, menarik napas lebih barat, kapasitas
pernapasan maksimum menurun dan kedalaman bernapas menurun
ukuran alveoli melebar dan normal dan jumlah berkurang, oksigen pada
arteri menurun menjadi 75mmHg, kemampuan untuk batuk berkurang
dan penurunan otot pernapasan.
h) Sistem Gastrointestinal
Kehilangan gigi, indra pengecapan mengalami penurunan,esophagus
melebar, sensitivitas akan rasa lapar menurun, produksi asam lambung
dan waktu pengosongan lambung menurun, peristaltic lemah dan
biasanya timbul konstipasi, fungsi absorbs menurun, hati (liver)
semakin mengecil dan menurunya tempat penyimpanan, serta
berkurangnya suplai aliran darah.
i) Perubahan psikososial
Perubahan psikososial terjadi terutama setelah seseorang mengalami
pension. Berikut ini adalah hal-hal yang akan terjadi pada masa
pensiun.
1) Kehilangan sumber finansial atau pemasukan (income) berkurang
2) Kehilangan status karena dulu mempunyai jabatan posisi yang
cukup tinggi, lengkap dan segala fasilitasnya.
3) Kehilangan teman atau relasi
4) Kehilangan pekerjaan atau kegiatan
5) Merasakan atau kesadaran kematian (sense of awareness of
mortality)
j) Sistem endokrin
Menurunnya produksi ACTH,TSH,FSH, dan LH, atifitas tiroid, basal
metabolic rate (BMR), daya pertukaran gas, produksi aldosterone, serta
sekresi hormone kelamin seperti progesterone, dan testosteron.
k) Sistem integumen
Kulit menjadi keriput akibat kehilangan lemak, permukaan kulit kasar
dan bersisik, menurunya respon terhadap trauma, mekanisme proteksi
kulit menurun, kulit kepala dan rambut menipis serta berwarna kelabu,
rambut dalam hidung dan telinga menebal, berkurangnya elastisitas
akibat menurunya cairan dan vaskularisasi, pertumbuhan kuku lebih
lambat, kuku jari menjadi keras dan rapuh, kuku kaki tumbuh secara
berlebihan seperti tanduk, kelenjar keringat berkurang jumlahnya dan
fungsinya, kuku menjadi pudar dan kurang bercahaya.
l) Sistem musculoskeletal
Faktor-faktor yang mempengaruhi mental adalah perubahan fisik,
kesehatan umum, ingat pendidikan, keturunan (hereditas), lingkungan,
tingkat kecerdasan (intellegence question-IQ), dan kenangan (memory).

m) Sistem Genitourinaria
Ginjal mengecil gdan nefron menjadi atrofi, aliran darah ke ginjal
menurun hingga 50%, fungsi tubulus berkurang (berakibat pada
penurunan kemampuan ginjal untuk mengonsentrasikan urine, berat
jenis urine menurun, proteinuria biasanya +1), blood urea nitrogen
(BUN) meningkat hingga 21mg%, nilai ambang ginjal terhadap glukosa
meningkat. Otot-otot kandung kemih (vesica urinaria)melemah,
kapasitasnya menurun hingga 200ml dan menyebabkan frekuensi buang
air kecil meningkat, kandung kemih sulit dikosongan sehingga
meningkatkan retensi urine. Pria dengan usia 65 tahun ke atas sebagaian
besar mengalami pembesaran prostat hingga ±75% dari besar
normalnya.
II. Konsep Risiko Jatuh
A. Definisi Jatuh
Jatuh adalah kejadian yang tidak disadari oleh seseorang yang
terduduk di tempat yang lebih rendah tanpa disebabkan oleh hilangnya
kesadaran, stroke, atau kekuatan yang berlebih (Boedhi- Darmojo, 2011).
Jatuh pada lansia sebagian besar disebabkan oleh perubahan terkait usia
dan kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan. Sebaliknya,
penurunan pada orang yang berusia lebih dari 75 tahun biasanya
dikaitkan dengan faktor terkait penyakit dan obat (Miller, 2012).
Penyebab dari jatuh adalah masalah dalam diri lansia sendiri dan didukung
dengan keadaan lingkungan rumah yang berbahaya (Darmojo, 2011).
Jatuh adalah kondisi medis serius yang mempengaruhi kesehatan lansia.
Jatuh merupakan salah satu sindrom geriatri yang paling umum yang
mengancam kemandirian lansia (Kamel, Abdulmajeed & Ismail, 2013).

B. Faktor-faktor Risiko Jatuh


Menurut Ashar (2016) menyatakan ada 2 faktor yang menyebabkan lansia
jatuh yaitu :
1. Faktor Intrinsik
Faktor yang berasal dari dalam tubuh lansia, seperti faktor usia, fungsi
kognitif dan riwayat penyakit.
a. Usia
Bertambahnya usia dapat meningkatkan risiko jatuh, karena dengan
bertambahnya usia akan mengalami penurunan massa dan kekuatan
tulang yang menimbulkan kerapuhan pada tulang, lansia yang
memiliki usia lebih dari 75 tahun lebih sering mengalami jatuh
(Miller, 2012).
b. Perubahan Fungsi Kognitif
Perubahan psikososial berhubungan dengan perubahan kognitif dan
efektif. Kemampuan konitif pada lansia dipengaruhi oleh
lingkungan seperti tingkat pendidikan, faktor personal, status
kesehatan seperti depresi (Mauk, 2010).
c. Riwayat Jatuh
Riwayat penyakit kronis pada lansia yang diderita selama bertahun-
tahun seperti penyakit stroke, hipertensi, hilangnya fungsi
penglihatan, dizziness, dan syncope biasanya menyebabkan lansia
lebih mudah jatuh (Darmojo, 2011). Gangguan jantung merupakan
salah satu contoh riwayat penyakit pada lansia, karena gangguan
jantung menyebabkan kehilangan oksigen ke jantung yang
mengakibatkan aliran darah ke jantung berkurang. Gangguan
jantung pada lansia dapat menyebabkan lansia mengalami nyeri
pada daerah prekordinal dan sesak nafas, sehingga membuat lansia
merasa cepat lelah dan akan menyebabkan lansia mengalami
syncope. Hipertensi dan aritmia juga sering ditemukan pada lansia
(Mustakim, 2015).
2. Faktor Ekstrinsik
a. Faktor yang didapat dari lingkungan sekitar lansia seperti
pencahayaan yang kurang, karpet yang licin, peganggan yang mulai
rapuh, lantai yang licin, dan alat bantu yang tidak kuat. Adapun
ruangan yang sering menyebabkan lansia jatuh, yaitu kamar mandi,
tangga, dan tempat tidur (Miller, 2005 dalam Ashar, 2016).
b. Alat bantu jalan
Penggunaan alat bantu berjalan seperti walker, togkat, kursi roda,
kruk dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan jatuh karena
mempengaruhi fungsi keseimbangan tubuh (Centers For Disaster
Control and Prevention, CDC 2014 dalam Ashar 2016).
c. Lingkungan
Lingkungan merupakan keadaan atau kondisi baik bersifat
mendukung atau bahaya yang dapat mempengaruhi jatuh pada
lansia (Prabuseso, 2006 dalam Ashar, 2016). Lingkungan yang
sering dihubungkan dengan jatuh pada lansia, seperti alat-alat atau
perlengkapan rumah tangga yang berserakan atau tergeletak di
bawah, tempat tidur yang tinggi, kamar mandi yang licin, tangga
yang tidak ada pegangannya, lantai licin atau menurun, keset
yang tebal atau menekuk pinggirnya, dan penerangan yang tidak
baik redup atau menyilaukan (Mustakim, 2015). Menurut
Probosuseno (2007) dalam Hutomo (2015), faktor yang
dihubungkan dengan kejadian jatuh pada lansia adalah lingkungan,
seperti alat-alat atau perlengkapan rumah tangga yang sudah tua,
tidak stabil, atau tergeletak di bawah tempat tidur, WC atau toilet
yang rendah atau jongkok, tempat berpegangan yang tidak kuat
atau tidak mudah dipegang, penerangan yang kurang, tangga
tanpa pagar, serta tempat tidur yang terlalu rendah
C. Komplikasi Jatuh
Jatuh dapat mengakibatkan komplikasi dari yang paling ringan yaitu
berupa memar dan keseleo sampai dengan patah tulang bahkan kematian. Oleh
karena itu harus dicegah agar jatuh tidak berulang-ulang dengan cara identifikasi
faktor risiko, penilaian keseimbangan dan gaya berjalan, serta mengatur atau
mengatasi faktor situasional (Stanley & Beare, 2012).
D. Pencegahan Risiko Jatuh
Miller (2012) menyatakan jatuh merupakan masalah yang dikarenakan
banyak penyebab dan faktor risiko, sehingga menimbulkan komplikasi yang
membutuhkan suatu pencegahan. Pencegahan yang dilakukan antara lain :
1. Mengindentifikasi orang-orang yang risiko jatuh.
2. Melakukan tindakan pencegahan yang konsisten.
3. Memberikan pendidikan ke semua staf profesional dan nonprofessional
yang sering bertemu dengan orang yang risiko jatuh.
4. Memberikan pendidikan ke semua staf professional dan nonprofessional
untuk meningkatkan kesadaran staf untuk mencegah risiko jatuh.
Cara untuk mencegah risiko jatuh menurut (Rhosma, 2014) yaitu:
a. Program latihan
Beberapa penelitian menyebutkan dengan latihan dapat menurunkan risiko
jatuh. Latihan dapat membantu memperbaiki keseimbangan tubuh,
kelemahan otot, gaya berjalan. Latihan biasanya dilakukan 2-3 kali dalam
satu minggu dan selama latihan dilakukan 1 jam.
b. Modifikasi linkungan
Modifikasi lingkungan adalah salah satu cara untuk mencegah jatuh pada
lansia. Tujuannya agar lansia tidak terganggu dalam mobilitasnya atau
kegiatan sehari- harinya. Selain itu, kognitif yang baik pada lansia
membantu lansia dalam menentukan lingkungan yang baik dan aman
untuk dirinya sendiri. Terganggunya kognitif pada lansia membuat lansia
memerlukan bantuan dalam melakukan modifikasi lingkungan seperti
pencahayaan, lantai yang tidak licin.
III. Konsep Asuhan Keperawatan Risiko Jatuh

A. Pengkajian
Dokumentasi pengkajian keperawatan merupakan catatan
tentang hasil pengkajian yang dilaksanakan untuk mengumpulkan
informasi dari pasien, membuat data dasar tentang pasien, dan membuat
catatan tentang respon kesehatan pasien. Pengkajian yang komprehensif
atau menyeluruh, sistemaatis yang logis akan mengarah dan mendukung
pada identifikasi masalah-masalah pasien. Masalah-maslah ini dengan
menggunakan data pengkajian sebagai dasar formulasi yang dinyatakan
sebagai diagnosa keperawatan. Tujuan dari pengkajian adalah untuk
mengumpulkan, mengorganisir, dan mencatat data yang menjelaskan
respon manusia yang mempengaruhi pola-pola kesehatan pasien, serta
hasil dokumentasi pengkajian akan menjadi dasar penulisan rencana
asuhan keperawatan (Dinarti, 2017).
1. Anamnesis

Unsur-unsur yang harus diperhatikan dalam anamnesis sebagai


berikut:
1) Identitas
a) Identitas Lansia
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, Pendidikan,
alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal masuk
panti, nomor register, dan diagnose medis

b) Identitas Penanggung Jawab


Meliputi Nama, Alamat, Hubungan dengan Lansia, No
Telepon.
2) Riwayat Kesehatan
a. Status Kesehatan Saat Ini
Meliputi:
a) Sumber kecelakaan: penyebab dari sumber
masalah.
b) Gambaran yang mendalam bagai mana risiko
jatuh itu dapat terjadi: pasien dapat
menceritakan bagai mana dapat mengalami
jatuh tersebut.
c) Faktor yang mungkin berpengaruh seperti
alkohol, dan obat- obatan.
d) Keadaan fisik disekitar, seperti lantai yang
licin dan kurangnya pencahayaan.
e) Peristiwa yang terjadi saat belum terjatuh
sampai terjadinya jatuh.
f) Beberapa keadaan lain yang memperberat
berjalan.
b. Masalah Kesehatan Kronis
Penyakit kronis merupakan penyakit yang
berkepanjangan dan jarang sembuh sempurna.
Walau tidak semua penyakit kronis
mengancam jiwa, tetapi akan menjadi beban
ekonomi bagi individu, keluarga, komunitas
secara keseluruhan. Penyakit kronis akan
menyebabkan masalah medis, sosial dan
psikologis yang akan membatasi aktifitas dari
lansia sehingga akan menyebabkan penurunan
quality of life (QOL) lansia.
c. Riwayat penyakit dahulu
Penting untuk menentukan apakah pasien
mempunyai penyakit yang dapat merubah
kemampuan gaya berjalan yang menyebabkan
risiko jatuh pada lansia, apakah lansia tersebut
memiliki riwayat jatuh atau kecelakaan.
Riwayat jatuh Anamesis ini meliputi:
a) Seputar jatuh: mencari penyebab jatuh
misalnya terpeleset, tersandung, berjalan,
perubahan posisi badan, waktu mau berdiri
dari jongkok, sedang makan, sedang buang
air kecil atau besar, sedang batuk atau
bersin.
b) Gejala yang menyertai: nyeri dada,
berdebar-debar, nyeri kepala tiba-tiba,
vertigo, pingsan, lemas, sesak nafas.

c) Kondisi komorbid yang releven: pernah


stroke, penyakit jantung, sering kejang,
rematik, depresi, defisit sensorik.
d) Riview penggunaan obat-obatan yaitu:
antihipertensi, diuretic, autonomic bloker,
antidepresan, hipnotik, anxiolitik, analgetik,
psikotropik.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Meliputi penyakit yang pernah diderita keluarga
lansia.
e. Riwayat psikososial dan spiritual
Peranan pasien dalam keluarga, status emosi
meningkat, interaksi meningkat, interaksi sosial
terganggu, adanya rasa cemas yang berlebihan,
hubungan tetangga yang tidak harmonis, status
dalam berkerja. Dan apakah klien rajin
melakukan ibadah sehari-hari.
3) Aktivitas dan istirahat
Gejala: nyeri sendi karena gerakan, nyeri tekan, memburuk
dengan stres pada sendi, kekakuan pada pagi hari, biasanya
terjadi bilateral dan simetris.limitasi fungsional yang
berpengaruh pada gaya hidup, waktu senggang, pekerjaan,
keletihan.
4) Keamanan (spesifikasi pada lansia dirumah)
Gangguan keamanan berupa jatuh dirumah pada lansia
memiliki insiden yang cukup tinggi, banyak diatara lansia
tersebut yang akhirnya cedera berat bahkan meninggal.
Bahaya yang menyebabkan jatuh cenderung mudah dilihat
tetapi sulit untuk diperbaiki, oleh karena itu diperlukan
pengkajian yang spesifik tentang keadaan rumah dan
lingkungan sekitar yang terstruktur.
5) Pemeriksaan fisik
a. Status mental
a) Kesadaran
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran
dan respon seseorang terhadap rangsangan dari
lingkungan, tingkat kesadaran dibedakan menjadi:
composmctis, apatis delirium, samnolen, stupor,
dan coma.

b) Glas coma scale


Skala yang digunakan untuk menilai kesadaran
pasien. respon yang perlu diperhatikan mancapai
tiga hal yaitu reaksi membuka mata, bicara dan
motorik. Hasil pemeriksaaan GCS disajikan dalam
bentuk simbul E, V, M dan selanjutnya nilai GCS
tersebut dijumlahkan.

b. Tanda tanda vital


Batas suhu normal suhu saat ini irama dan
frekuensi jantung, abdomen, tekanan darah,
pernafasan.
c. Pemeriksaan fisik fokus
Pemeriksaan fokus pada lanjut usia yang
memilikiri Risiko untuk Jatuh meliputi
pemeriksaan mata, pemeriksaan telinga dan
pemeriksaan ektermitas. Semakin bertambahnya
usia maka akan semakin tinggi penurunan pada
fungsi pendengaran dan penglihatan sehingga
menyebabkan jatuh. Pemeriksaan dengan
menggunakan Indek Katz, Indek Barthel dan
Pengkajian Keseimbangan Untuk Lansia.
d. Integritas ego
Gejala : faktor-faktor stres akut dan kronis : misal
finansial, pekerjaan, ketidak mampuan, faktor-
faktor hubungan, keputusan dan ketidak
berdayaan (situasi ketidakmampuan) ancaman
pada konsep diri, citra tubuh, identitas pribadi
(misalnya tergantungan pada orang lain).
d. Makana dan cairan
Gejala : ketidak mampuan untuk menghasilkan
atau mengkonsumsi makanan dan cairan adekuat
: mual, anoreksia, kesulitan untuk mengunyah.
Tanda : penurunan berat badan, kekeringan pada
memberan mukosa.
e. Hygiene
Gejala : berbagai kesulitan untuk melaksanakan
aktivitas perawatan pribadi, ketergantungan
dengan orang lain, tidak dapat melakukan ADL
secara mandiri.
f. Neurosensory
Gejala : kebas, semutan, pada tangan dan kaki,
hilangnya sensasi pada jari tangan. Tanda:
pembengkakan sendi simetris.
g. Nyeri atau kenyamanan
Gejala : fase akut dari nyeri (mungkin tidak
disertai oleh pembengkakan jaringan lunak pada
sendi).
h. Keamanan
Gejala : kulit mengkilat, tegang, nodul sukutan,
lesi kulit, ulkus kaki. Kesulitan dalam menangani
tugas atau pemeliharaan rumah tangga.
i. Interaksi sosial
Gejala : kerusakan interaksi sosial dengan
keluarga dan orang lain, perubahan peran, isolasi.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis Keperawatan merupakan suatau penilaian klinis
mengenai respon klien terhadap masalah kesehatan atau proses
kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun
potensial. Diagnosis Keperawatan tersebut bertujuan untuk
mengidentifikasi respon klien individu, keluarga dan komunitas
terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan. Standar
Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) adalah tolok ukur yang
dipergunakan sebagai pedoman penegakan diagnosis keperawatan
dalam rangka memberikan asuhan keperawatan yang aman, efektif
dan etis (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017). Dengan mengacu
pada SDKI maka peneliti menetapkan diagnosa keperawatan yaitu
Risiko Jatuh berhubungan dengan kekuatan otot menurun.

C. Intervensi Keperawatan
Intervensi Keperawatan adalah segala treatmen yang
dikerjakan oleh perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan
penilaian klinis untuk mencapai luaran (autocome) yang
diharapkan. Tindakan keperawatan adalah perilaku atau aktivitas
spesifik yang dikerjakan oleh perawat untuk mengimplementasikan
intervensi keperawatan. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI) merupakan tolok ukur yang dipergunakan sebagai panduan
dalam penyusunan intervensi keperawatan dalam rangka
memberikan asuhan keperawatan yang aman, efektif dan etis (Tim
Pokja SIKI DPP PPNI, 2018).
2.1 Tabel Intervensi Keperawatan

Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi keperawatan


Keperawatan

Diagnosa : Risiko Luaran Utama : Intervensi utama :


Jatuh berhubungan Tingkatan Jatuh pencegahan jatuh
dengan kekuatan (L.14138). (I.14540).
otot menurun Ekspektasi : Pencegahan jatuh
(D.0143). Menurun a) Observasi
Definisi: Kriteria Hasil : 1. Identifikasi faktor
Beresiko 1. Jatuh dari tempat risiko jatuh (misal
mengalami tidur menurun. usia > 65 tahun,
kerusakan fisik dan 2. Jatuh saat berdiri penurunan tingkat
gangguan menurun. kesadaran, defisit
kesehatan akibat 3. Jatuh saat duduk kognitif, hipotensi
terjatuh. menurun. ortostatik, gangguan
Faktor resiko: 4. Jatuh saat keseimbangan,
1. Usia ≥ 60 tahun berjalan gangguan
(pada dewasa) menurun. penglihatan,
atau ≤ 2 tahun 5. Jatuh saat naik neuropati).
(pada anak). tangga menurun. 2. Identifikasi risiko
2. Riwayat jatuh. 6. Jatuh saat jatuh setidaknya
3. Anggota gerak dikamar mandi sekali setiap shift
bawah menurun. atau sesuai dengan
prostetis 7. Jatuh saat kebijakan institusi.
(buatan). membungkuk 3. Identifikasi faktor
4. Penggunaan menurun. lingkungan yang
alat bantu meningkatkan risiko
berjalan. jatuh (misal: lantai
5. Penurunan licin, penerangan
tingkat kurang).
kesadaran. 4. Hitung risiko jatuh
6. Perubahan dengan
fungsi kognitif. menggunakan skala
7. Lingkungan (misal: Fall Morse
tidak aman Scale, Humpty
(misal licin, Dumpty Scale), jika
gelap, perlu.
lingkungan 5. Monitor
asing). kemampuan
8. Kekuatan berpindah dari
otot menurun. tempat tidur ke
9. Gangguan kursi roda dan
pendengaran. sebaliknya.
10.Gangguan b) Terapeutik
keseimbangan. 1. Orientasikan
11.Gangguan ruangan pada
penglihatan
(misal
glaukoma, pasien dan
katarak, ablasio keluarga.
retina, neuritis 2. Pastikan roda
optikus). tempat tidur dan
12. Neuropati kursi roda
13. Efek agen selalu dalam
farmakologis. kondisi
Kondisi Klinis terkunci.
Terkait : 3. Pasang handrail
1. Osteoporosis temapt tidur.
2. Kejang 4. Atur tempat tidur
3. Penyakit mekanis pada
serebrovaskuler posisi terendah.
4. Katarak 5. Tempatkan pasien
5. Glaukoma beresiko tinggi
6. Demensia jatuh dekat
7. Hipotensi dengan pantauan
8. Amputasi perawat dan nurse
9. Intoksikasi station.
10. preeklamasi 6. Gunakan alat bantu
berjalan (misal
Kursi roda,
Walker).
7. Dekatkan bel
pemanggil dalam
jangkauan pasien.
c) edukasi
1. Anjurkan
memanggil
perawat jika
membutuhkan
bantuan untuk
berpindah.
2. Anjurkan
menggunakan alas
kaki yang tidak
licin.
3. Anjurkan
berkonsentrasi
untuk menjaga
keseimbangan
tubuh.
4. Anjurkan
melebarkan jarak
kedua kaki untuk
meningkatkan
keseimbangan saat
berdiri.
5. Ajarkan cara
menggunakan bel
pemanggil untuk
memanggil
perawat.

Sumber: (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017) (Tim Pokja SIKI DPP PPNI,
2018) (Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2019)

D. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan
yang dilakukan oleh perawat untuk membantu pasien dari masalah
status kesehatan yang dihadapi status kesehatan yang baik yang
menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan. Proses pelaksanaan
implementasi harus berpusat kepada kebutuhan klien, faktor-faktor
lain yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan, strategi
implementasi keperawatan, dan kegiatan komunikasi (Dinarti,
2017). implementasi merupakan langkah keempat dari proses
keperawatan yang telah direncanakan oleh perawat untuk
dikerjakan dalam rangka membantu klien untuk mencegah,
mengurangi, dan menghilangi dampak atau respon yang
ditimbulkan oleh masalah keperawatan dan kesehatan (Zaidin Ali,
2014).
Implementasi dari Asuhan Keperawatan Lanjut Usia
dengan Masalah Keperawatan Risiko Jatuh di UPT PSTW
Magetan adalah :
1. Mengidentifikasi faktor risiko jatuh (misal usia > 65 tahun,
penurunan tingkat kesadaran, defisit kognitif, hipotensi
ortostatik, gangguan keseimbangan, gangguan penglihatan,
neuropati).
2. Mengidentifikasi faktor lingkungan yang meningkatkan
resiko jatuh (misal: lantai licin, penerangan kurang).
3. Menghitung risiko jatuh dengan menggunakan skala (misal:
Fall Morse Scale, Humpty Dumpty Scale), jika perlu.

1. Memonitor kemampuan berpindah dari tempat tidur ke kursi roda


dan sebaliknya.
2. Menggunakan alat bantu berjalan (misal Kursi roda, Walker).
3. Menganjurkan menggunakan alas kaki yang tidak licin.
4. Menganjurkan berkonsentrasi untuk menjaga keseimbangan tubuh.
5. Menganjurkan melebarkan jarak kedua kaki untuk
meningkatkan keseimbangan saat berdiri.
6. Berkolaborasi dengan pendamping ruangan tindakan apa saja yang
akan di lakukan.

E. Evaluasi Keperawatan
Dokumentasi pada tahap evaluasi adalah membandingkan
secara sistematik dan terencana tentang kesehatan klien dengan
tujuan yang telah ditetapkan dengan kenyataan yang ada pada
klien, dilakukan dengan cara bersinambungan dengan melibatkan
klien dan tenaga kesehatan lainnya. Evaluasi keperawatan
merupakan tahap akhir dari rangkaian proses keperawatan yang
berguna apakah tujuan dari tindakan keperawatan yang telah
dilakukan tercapai atau perlu pendekatan lain (Dinarti, 2017).

Evaluasi disusun dengan menggunakan SOAP: (Suprajitno dalam


Wardani, 2013).
S : ungkapan perasaan atau keluhan yang dikeluhkan secara subjektif
oleh keluarga setelah diberikan implementasi keperawatan.
O : keadaan objektif yang dapat diidentifikasi oleh perawat
menggunakan pengamatan yang objektif.
A : analisis perawat setelah mengetahui respon subjektif dan objektif.
P : perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis.

Peneliti mengharapkan setelah dilakukannya tindakan Asuhan


Keperawatan Lanjut Usia dengan Masalah Keperawatan Risiko Jatuh
di UPT PSTW Magetan adalah Risiko Jatuh yang tinggi terjadi pada
lansia diharapkan dapat menurun. Dengan kriteria hasil jatuh dari
tempat tidur menurun, jatuh saat berdiri menurun, jatuh saat ingin
duduk menurun, jatuh saat berjalan menurun, jatuh saat akan naik
tangga menurun, dan jatuh saat berada dikamar mandi menurun.
DAFTAR PUSTAKA

Afiyanti & Rachmawati, 2014. Etika Penelitian. http://ejournal.


stikesmuhgombong.ac.id/index.php/JIKK/article/downloadSuppFile/302/
26. 2014.
Agustin Junior Nanda Deniro, dkk. 2017. Hubungan antara Usia dan Aktivitas
Sehari-Hari dengan Risiko Jatuh Pasien Instalasi Rawat Jalan Geriatri.
Jurnal Penyakit Dalam Indonesia. 4 (4)
Allender, J.A., Rector, C., & Warner, K.D. (2014). Community dan public health
nursing promoting the public’s health (8th Ed.). Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins
Ashar, P. H. (2016). Gambaran Persepsi Faktor Risiko Jatuh Pada Lansia di
Panti Werdha Budi Mulia 4 Margaguna : Jakarta Selatan.
Azizah & Lilik Ma’rifatul, 2011. Keperawatan Lanjut Usia. Edisi 1.
Yogyakarta: Graha Ilmu
Baroroh, D. B., & Irafayani, N. (2015). Peran Keluarga Sebagai Care Giver
Terhadap Pengelolaan Aktivitas Pada Lansia Dengan Pendekatan NIC
Dan NOC. Jurnal Keperawatan, 3(2), 141–151
BBPK Jakarta. 2017. Asuhan Keperawatan Pada Lansia Dengan Gangguan
Keseimbangan dan Resiko Jatuh. http://bbpkjakarta.bppsdmk.
kemkes.go.id/artikel/detail/49-Asuhan-Keperawatan-Pada-Lansia
Boedhi, Darmojo, R. (2011). Buku Ajar Geriatic (IlmuKesehatanLanjutUsia)
edisike – 4.Jakarta :BalaiPenerbit FKUI
Cahyono, 2011. Pencegahan Jatuh Pada lansia. https://nursing-
academy.blogspot.com/2011/09/pencegahan-jatuh-pada-lansia.html.
Darmojo RB., (2011). Teori proses menua. dalam: Martono HH, Pranarka K,
pengarang. Buku ajar boedhi-darmojo geratri. edisi ke-4. Jakarta: Balai
penerbit fakultas kedokteran universitas indonesia;. hal. 3-12. Dengan-
Gangguan-Keseimbangan-dan-Resiko-Jatuh.
Dewi, Sofia Rhosma. (2014). Keefektifan Balance Training Dalam
Meningkatkan Fungsi Keseimbangan Lansia : Meta Analisis, The
Indonesian Journal Of Health Science, Vol. 4, No. 2.
Dinarti, Yuli M. 2017. Bahan Ajar Keperawatan Dokumen Keperawatan.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta Selatan:
Dokumentasi Keperawatan
Hutomo. (2015). Hubungan Penataan Lingkungan Rumah terhadap Risiko Jatuh
pada Lansia di Desa Karangwuni Wates Kulon Progo.
Inayah Ainul, 2016. Evaluasi Keperawatan. Diakses pada 26 September 2020,
Pukul 22.35 WIB
Kamel, M. H., Abdulmajeed, A. A., & Ismail, S. E.-S. (2013). Risk factors of
falls among elderly living in Urban Suez - Egypt. Pan African Medical
Journal, 2, 1–7. https://doi.org/10.11604/pamj.2013.14.26.1609
Kementrian Kesehatan RI. (2013). Gambaran kesehatan lanjut usia di
Indonesia. Diakses pada 25 Oktober 2020, dari http://www.depkes.
go.id/download.php?file=download/pusdatin/buletin/buletin-lansia.pdf.
Kholifah Siti N. 2016. Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan Gerontik. Jakarta
Selatan: Pusdik SDM Kesehatan
Kiik Stefanus Mendes, dkk. 2018. Peningkatan Kualitas Hidup Lanjut Usia
(Lansia) Di Kota Depok Dengan Latihan Keseimbangan. Jurnal
Keperawatan Indonesia. 21 (2): hal 109-116
Komariah, S. 2015. Peran Perawat Dalam Menurunkan Insiden Keselamatan
Pasien Jatuh. http://manajemen rumahsakit.net/files/siti%20komariah
%20_peran%KEP%20dalam%20IKP.pdf.
Mauk, K.L. Gerontological nursing competencies for care (2nd ed). Sudbury:
Janes and Barlett Publisher. 2010.
Miller, C.A. (2012). Nursing for wellness in older adult: Theory and practice
(6th Ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Munawwarman, M., Nindya P. (2015). Pemberian Latihan Pada Lansia Dapat
Meningkatkan Keseimbangan Dan Mengurangi Risiko Jatuh Lansia.
Jurnal Fisioterapi, 15 (1), 38-44
Mustakim. (2015). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Jatuh pada
Lansia di Balai Pelayanan Sosial Lanjut Usia Dewanata : Cilacap
Nasrullah, Dede. 2016. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta Timur: Buku
Kesehatan
Nogroho, W. (2012). Keperawatan Gerontik & Geriatrik, edisi ke-3. Penerbit
Buku Kedokteran. Jakarta: EGC
Ramlis Ravika. 2018. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Resiko Jatuh
Pada Lansia di Bpplu Kota Bengkulu Tahun 2017. Jurnal Of Nursing and
Public Health. 6 (1): hal 63-67
Stanhope, M., & Lancaster, J. (2016). Public health nursing population centered
health care in the community (9th Ed.). Missouri: Elsevier.
Stanley, M., & Beare, P. G. (2012). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta:
EGC.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia,
Definisi dan Indikator diagnostik. Jakarta: DPP PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia,
Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta: DPP PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia,
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta: DPP PPNI
WHO. 2015. Mental health and older adults. Diakses pada tanggal 14
November 2020 dari http://www.who.int /mediacentre/facts
heets/fs381/en/.

Widyastuti, S. 2019. Asuhan Keperawatan Pemenuhan Aktivitas Pada


Lansia Dengan Gangguan Mobilitas Fisik Pada Pasien Reumatoid
Atritis Di Panti UPTD PSLU Tresna Werdha Natar Lampung
Selatan. Skripsi. Tidak diterbitkan. Lampung Selatan : Jurusan
Keperawatan Politeknik Kesehatan Tanjungkarang

Anda mungkin juga menyukai