Anda di halaman 1dari 57

LAPORAN PENDAHULUAN

PROSES PENUAAN LANSIA PADA SYSTEM NEUROLOGI


DENGAN KASUS STROKE

Oleh :
Eka Supriyatna, S. Kep
NIM. 1930913320017

PROGRAM PROFESI NERS ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2020
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN

PROSES PENUAAN LANSIA PADA SYSTEM NEUROLOGI


DENGAN KASUS STROKE

Oleh :
Eka Supriyatna, S. Kep
NIM. 1930913320017

Banjarbaru, September 2020

Mengetahui,

Pembimbing Akademik

Fatma S.Ruffaida, Ns., MNS


NIPK. 19870215 2019032015
LAPORAN PENDAHULUAN PROSES PENUAAN
PADA SYSTEM NEUROLOGI DENGAN KASUS STROKE

1. PROSES MENUA
1.1. Definisi
Usia lanjut adalah hal yang harus diterima sebagai suatu kenyataan dan
fenomena biologis. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 13
tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia, lanjut usia adalah seseorang yang
telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun keatas. Lanjut Usia Potensial adalah
lanjut usia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan atau kegiatan yang
dapat menghasilkan barang dan/atau Jasa. Lanjut Usia Tidak Potensial adalah
lanjut usia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya bergantung
pada bantuan orang lain.
Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang
berangsur-angsur mengakibatkan perubahan yang kumulatif, merupakan proses
menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan
luar tubuh yang berakhir dengan kematian. Menua (menjadi tua) adalah suatu
proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki
diri/mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya
sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki
kerusakan yang diderita. Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
manusia secara perlahan mengalami kemunduran struktur dan fungsi organ.
Kondisi ini dapat mempengaruhi kemandirian dan kesehatan lanjut usia,
termasuk kehidupan seksualnya. Proses menua merupakan proses yang terus-
menerus/berkelanjutan secara alamiah dan umumnya dialami oleh semua
makhluk hidup. (Nugroho, 2014).
Pengertian lansia (Lanjut Usia) adalah fase menurunnya kemampuan akal
dan fisik, yang di mulai dengan adanya beberapa perubahan dalam hidup.
Sebagai mana diketahui, ketika manusia mencapai usia dewasa, ia mempunyai
kemampuan reproduksi dan melahirkan anak. Ketika kondisi hidup berubah,
seseorang akan kehilangan tugas dan fungsi ini, dan memasuki selanjutnya, yaitu
usia lanjut, kemudian mati. Bagi manusia yang normal, siapa orangnya, tentu
telah siap menerima keadaan baru dalam setiap fase hidupnya dan mencoba
menyesuaikan diri dengan kondisi lingkunganya (Darmojo, 2004 dalam
Psychologymania, 2013). Menurut UU RI no. 13 tahun 1998 tentang
kesejahteraan lanjut usia juga menyebutkan lanjut usia (lansia) adalah seseorang
yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Berdasarkan pengertian tersebut
maka yang dimaksud lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun
ke atas atau lebih.

1.2. Batas Usia


Nugroho, 2014 mengemukakan beberapa pendapat para ahli mengenai
batasan umur, yaitu:
a. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 13 tahun 1998 tentang
kesejahteraan lanjut usia, batasan lanjut usia di Indonesia adalah 60 tahun ke
atas.
b. Menurut organisasi kesehatan dunia, WHO, ada 4 tahap, yakni:
1) Usia pertengahan (middle age) (45-59 tahun)
2) Lanjut usia (elderly) (60-74 tahun)
3) Lanjut usia tua (old) (75-90 tahun)
4) Usia sangat tua (very old) (di atas 90 tahun)
c. Menurut Prof. DR. Ny. Sumiati Ahmad Mohammad (Alm.), Guru Besar
UGM Fakultas Kedokteran, periodisasi biologis perkembangan manusia
dibagi sebagai berikut:
1) Usia 0-1 tahun (masa bayi)
2) Usia 1-6 tahun (masa sekolah)
3) Usia 6-10 tahun (masa sekolah)
4) Usia 10-20 tahun (masa pubertas)
5) Usia 40-65 tahun (masa setengah umur, prasenium)
6) Usia 65 tahun ke atas (masa lanjut usia, senium)
d. Menurut Dra. Ny. Jos Masdani (psikolog dari UI), lanjut usia merupakan
kelanjutan usia dewasa. Kedewasaan dapat dibagi menjadi 4 bagian , yaitu:
1) Fase iuventus, antara usia 25-40 tahun
2) Fase verilitas, antara usia 40-50 tahun
3) Fase praesenium, antara usia 55-60 tahun
4) Fase senium, antara usia 65 tahun hingga tutup usia
e. Menurut Prof. DR. Koesoemanto Setyonegoro, SpKJ, lanjut usia
dikelompokkan sebagai berikut:
1) Usia dewasa muda (elderly adulthood) (usia 18/20-25 tahun)
2) Usia dewasa penuh (middle years) atau maturitas (usia 25-60/65 tahun)
3) Lanjut usia (geriatric age) (usia > 65/70 tahun), terbagi:
- Usia 70-75 tahun (young old)
- Usia 75-80 tahun (old)
- Usia > 80 tahun (very old)
f. Menurut Bee (1996), tahapan masa dewasa adalah sebaagai berikut:
1) Usia 18-25 tahun (masa dewasa muda)
2) Usia 25-40 tahun (masa dewasa awal)
3) Usia 40-65 tahun (masa dewasa tengah)
4) Usia 67-75 tahun (masa dewasa lanjut)
5) Usia >75 tahun (masa dewasa sangat lanjut)
g. Menurut Hurlock (1979), perbedaan lanjut usia terbagi dalam 2 tahap,
yakni:
1) Early old age (usia 60-70 tahun)
2) Advanced old age (usia 70 tahun ke atas)
h. Menurut Burnside (1979), ada 4 tahap lanjut usia, yakni:
1) Young Old (usia 60-69 tahun)
2) Middle age old (usia 70-79 tahun)
3) Old-old (usia 80-89 tahun)
4) Very old-old (usia 90 tahun ke atas)
i. Sumber lain, yaitu:
1) Usia 60-65 tahun (elderly)
2) Usia >65-75 tahun (junior old age)
3) Usia >75-90 tahun (formal old age)
Usia >90-120 tahun (longevity old age)

1.3. Teori Menua


Menurut Nugroho (2014), proses menua bersifat individual, yaitu:
a. Tahap proses menua terjadi pada orang dengan usia berbeda
b. Setiap lanjut usia mempuunyai kebiasaan yang berbeda
c. Tidak ada satu faktorpun yang ditemukan dapat mencegah proses menua
Beberapa teori tentang proses menua, yaitu:
a. Teori biologis
1) Teori genetic
Teori sebab akibat menjelaskan bahwa penuaan terutama di pengaruhi
oleh pembentukan gen dan dampak lingkungan pada pembentukan kode
genetik. Menurut teori genetika adalah suatu proses yang secara tidak
sadar diwariskan yang berjalan dari waktu ke waktu mengubah sel atau
struktur jaringan. Dengan kata lain, perubahan rentang hidup dan
panjang usia ditentukan sebelumnya. (Stanley, 2012)
2) Teori non genetic
a) Teori penurunan system imun tubuh (auto-immune theory)
Penurunan atau perubahan dalam keefektifan sistem imun berperan
dalam penuaan. Tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan
proteinnya sendiri dengan protein asing sehingga sistem imun
menyerang dan menghancurkan jaringannya sendiri pada kecepatan
yang meningkat secara bertahap. Disfungsi sistem imun ini menjadi
faktor dalam perkembangan penyakit kronis seperti kanker, diabetes,
dan penyakit kardiovaskular, serta infeksi. (Nugraha, 2014)
b) Teori kerusakan akibat radikal bebas (free radical theory)
Penurunan atau perubahan dalam keefektifan sistem imun berperan
dalam penuaan. Tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan
proteinnya sendiri dengan protein asing sehingga sistem imun
menyerang dan menghancurkan jaringannya sendiri pada kecepatan
yang meningkat secara bertahap. Disfungsi sistem imun ini menjadi
faktor dalam perkembangan penyakit kronis seperti kanker, diabetes,
dan penyakit kardiovaskular, serta infeksi. (Nugraha, 2014)
3) Teori menua akibat metabolisme
Telah dibuktikan dalam berbagai percobaan hewan, bahwa pengurangan
asupan kalori ternyata bisa menghambat pertumbuhan dan
memperpanjang umur, sedangkan perubahan asupan kalori yang
menyebabkan kegemukan dapat memperpendek umur. (Nugraha, 2014)
4) Teori rantai silang (cross link theory)
Teori ini menjelaskan bahwa menua disebabkan oleh lemak, protein,
karbohidrat, dan asam nukleat (molekul kolagen) bereaksi dengan zat
kimia dan radiasi, mengubah fungsi jaringan yang menyebabkan
perubahan paa membran plasma, yang mengakibatkan terjadinya
jaringan yang kaku, kurang elastis, dan hilangnya fungsi pada proses
menua. (Nugraha, 2014)
5) Teori fisiologis atau teori wear and tear
Teori wear-and- tear (dipakai dan rusak) mengusulkan bahwa
akumulasi sampah metabolik atau zat nutrisi dapat merusak sintensis
DNA, sehingga mendorong malfungsi organ tubuh. Pendukung teori ini
percaya bahwa tubuh akan mengalami kerusakan berdasarkan suatu
jadwal. Sebagai contoh adalah radikal bebas, radikal bebas dengan
cepat dihancurkan oleh sistem enzim pelindung pada kondisi normal.
(Nugraha, 2014 dan Stanley, 2012)
6) Teori neuroendokrin
Teori-teori biologi penuaan, berhubungan dengan hal-hal seperti yang
telah terjadi pada struktur dan perubahan pada tingkat molekul dan sel.
Penuaan terjadi oleh karena adanya suatu perlambatan dalam sekresi
hormone tertentu yang mempunyai suatu dampak pada reaksi yang
diatur oleh system saraf. Hal ini lebih jelas ditunjukkan dalam kelenjar
hipofisis, tiroid, adrenal, dan reproduksi.
Area neurologis yang mengalami gangguan secara universal akibat
penuaan adalah waktu reaksi yang diperlukan untuk menerima,
merespons, dan bereaksi terhadap perintah. Dikenal sebagai
perlambatan tingkah laku, respons ini kadang-kadang diinterpretasikan
sebagai tindakan melawan, ketulian, atau kurangnya pengetahuan.
(Stanley, 2012)
b. Teori psikososiologis
1) Teori kepribadian
Teori kepribadian menyebutkan aspek-aspek pertumbuhan psikologis
tanpa menggambarkan harapan atau tugas spesifik lansia. Teori
kepribadian orang dewasa terdiri dari ekstrovert dan introvert.
Keseimbangan dua hal ini adalah penting bagi kesehatan. (Stanley,
2012)
2) Teori tugas perkembangan
Tugas perkembangan adalah aktifitas dan tantangan yang harus
dipenuhi oleh seseorang pada tahap-tahap spesifik dalam hidupnya
untuk mencapai penuaan yang sukses. (Stanley, 2012)
3) Teori disengagement
Teori disengagment (teori pemutusan hubungan), menggambarkan
proses penarikan diri oleh lansia dari peran masyarakat dan tanggung
jawabnya. Proses penarikan diri ini dapat diprediksi, sistematis, tidak
dapat dihindari, dan penting untuk fungsi yang tepat dari masyarakat
yang sedang tumbuh. Lansia dikatakan bahagia apabila kontak sosial
berkurang dan tanggung jawab telah diambil oleh generasi lebih muda.
(Nugraha, 2014 dan Stanley, 2012)
4) Teori aktifitas
Lawan langsung dari teori disengagement. Teori ini menegaskan bahwa
kelanjutan aktivitas dewasa tengah penting untuk keberhasilan penuaan.
Jalan menuju penuaan yang sukses adalah dengan cara tetap aktif.
Orang tua yang aktif secara sosial lebih cendrung menyesuaikan diri
terhadap penuaan dengan baik. (Nugraha, 2014 dan Stanley, 2012)
5) Teori kontinuitas
Juga dikenal sebagai suatu teori perkembangan, dampak kepribadian
pada kebutuhan untuk tetap aktif atau memisahkan diri agar mencapai
kebahagiaan dan terpenuhinya kebutuhan di usia tua. Teori ini
menentukan pada kemampuan koping individu sebelumnya dan
kepribadian sebagai dasar untuk memprediksi bagaimana seeorang akan
dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan akibat penuaan. (Stanley,
2012)

1.4. Tipe lansia


Tipe-tipe lansia adalah sebagai berikut :
a. Arif dan bijaksana
Kaya dengan pengalaman, dapat menyesuaikan diri dengan perubahan
zaman serta mempunyai kesibukan dan bersikap ramah, rendah hati,
sederhana, dermawan, memenuhi undangan dan seringkali menjadi panutan
b. Mandiri
Mampu mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru. Selektif dalam
mencari pekerjaan, teman pergaulan, serta memenuhi undangan
c. Tidak puas
Mengalami konflik lahir batin karena proses penuaan. Biasanya akibat dari
kehilangan kecantikan, daya tarik jasmani, kekuasaan, status sosial, teman
yang disayangi
d. Bingung
Kaget dikarenakan kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder,
menyesal, pasif, acuh

1.5. Perubahan pada lanjut usia


Menurut Hurlock (1999), lanjut usia mengalami berbagai perubahan
dalam hidup, yaitu: 
a. Perubahan Fisik 
Sebagian besar perubahan kondisi fisik pada lanjut usia terjadi ke
arah yang memburuk dimana proses dan kecepatannya sangat berbeda untuk
masing-masing individu meskipun usia individu tersebut sama.
Berbagai perubahan terbesar yang terjadi pada masa lanjut usia
adalah sebagai berikut (Hurlock, 1999): 
1) Perubahan penampilan, yaitu perubahan pada daerah kepala (rambut
menipis, mata kelihatan pudar, kulit berkerut dan kering, dan bentuk
mulut berubah akibat hilangnya gigi), daerah tubuh (bahu
membungkuk, perut membesar, pinggul tampak mengendor, garis
pinggang melebar, dan payudara bagi wanita menjadi kendur), dan
daerah persendian (pangkal tangan menjadi kendor dan terasa berat,
kaki menjadi kendor dan pembuluh darah balik menonjol, dan tangan
menjadi kurus kering). 
2) Perubahan bagian dalam tubuh, yaitu perubahan pada sistem syaraf
(berat otak berkurang, bilik-bilik jantung melebar), isi perut (perubahan
posisi jantung, perubahan elastisitas jaringan). 
3) Perubahan pada fungsi fisiologis, yaitu memburuknya pengaturan
organ-organ, menurunnya fungsi pembuluh darah pada kulit, perubahan
pada pencernaan, ketahanan, dan kemampuan bekerja menurun. 
4) Perubahan panca indera, yaitu perubahan pada penglihatan (penurunan
kemampuan mata untuk melihat, menurunnya sensitivitas terhadap
warna), pendengaran (kehilangan kemampuan mendengar nada yang
sangat tinggi), perasa (berhentinya pertumbuhan syaraf perasa),
penciuman (daya penciuman kurang tajam), perabaan (indera perabaan
dikulit semakin kurang peka), dan menurunnya sensitivitas terhadap
rasa sakit. 
b. Perubahan Psikologis 
Lanjut usia mengalami berbagai perubahan secara psikologis, atau
perubahan secara mental atau kejiwaan individu, yaitu:  
1) Perubahan persepsi, kapasitas persepsi individu menurun secara
bertahap, meskipun beberapa perubahan hanya sedikit dan dapat diatasi.
Semakin besarnya kesulitan dalam persepsi bicara pada lanjut usia lebih
disebabkan oleh masalah pada pendengaran daripada karena penurunan
kognitif. Lanjut usia menjadi lebih sulit mengulang percakapan secara
detail bila berada ditempat ramai (Siyelman & Rider, 2003). 
2) Kemampuan motorik, lanjut usia mengalami penurunan kekuatan,
kecepatan dalam bergerak, lebih lambat dalam belajar, cenderung
menjadi canggung, yang menyebabkan sesuatu yang dibawa dan
dipegang tertumpah dan jatuh, melakukan sesuatu dengan tidak hati-
hati dan dikerjakan secara tidak teratur (Hurlock, 1999).  
3) Kecerdasan, lanjut usia memang mengalami penurunan intelektual,
meskipun sedikit, apalagi bila lanjut usia tersebut jarang melakukan
latihan terhadap otak (Santrock, 2002). 
4) Belajar, lanjut usia lebih berhati-hati dalam belajar, memerlukan waktu
yang lebih banyak untuk mengintegrasikan jawaban, kurang mampu
mempelajari hal-hal baru yang tidak mudah diintegrasikan dengan
pengalaman masa lalu, dan hasilnya kurang tepat dibanding individu
yang masih muda (Hurlock, 1999).  
5) Daya ingat, individu lanjut usia cenderung lemah dalam mengingat hal-
hal yang baru dipelajari dan sebaliknya baik terhadap hal-hal yang telah
lama dipelajari (Hurlock, 1999). 
6) Kreativitas, kapasitas atau keinginan yang diperlukan untuk berpikir
kreatif bagi lanjut usia cenderung menurun (Hurlock, 1999).
7) Kepribadian, lanjut usia cenderung lebih puas ketika gaya hidup
pensiun lanjut usia sesuai dengan kepribadian dan kesenangan individu
(Siyelman & Rider, 2003). Lanjut usia juga menjadi cenderung
meningkatkan ketidaksetujuan, mengalami penurunan keterbukaan
terhadap dunia di luar dirinya (Papalia & Old, 2004). 
8) Rasa humor, pendapat umum yang sudah klise tetapi  banyak dipercaya,
bahwa individu lanjut usia kehilangan rasa dan keinginannya terhadap
hal-hal yang lucu (Hurlock, 1999). 
9) Perbendaharaan kata, perbendaharaan kata lanjut usia menurun sangat
kecil karena individu secara konstan menggunakan sebagian besar kata
yang pernah dipelajari sebelumnya (Hurlock, 1999). 
10) Mengenang, kecenderungan untuk mengenang sesuatu yang terjadi di
masa lalu meningkat semakin tajam sejalan dengan bertambahnya usia
(Hurlock, 1999). 
c. Perubahan Sosial 
Banyak individu lanjut usia menghadapi diskriminasi dari lingkungannya.
Individu lanjut usia menjadi tidak dipekerjakan untuk pekerjaan-pekerjaan
yang baru atau dikeluarkan dari pekerjaan lama karena dipandang terlalu
kaku, lemah pikiran, atau karena efektivitas biaya. Lanjut usia ditolak secara
sosial karena dipandang sudah pikun atau membosankan (Santrock, 2002).
Sikap sosial terhadap individu lanjut usia yang tidak menyenangkan,
mendorong individu untuk mengundurkan diri dari kegiatan sosial (Hurlock,
1999).
Individu lanjut usia disingkirkan dari kehidupan keluarga lanjut usia
tersebut oleh anak-anak yang melihat lanjut usia sebagai sosok yang sakit,
jelek dan parasit. Singkatnya, individu lanjut usia dipandang tidak mampu
berpikir jernih, mempelajari sesuatu yang baru, menikmati seks, memberi
kontribusi terhadap komunitas, dan memegang tanggung jawab pekerjaan.
Persepsi tersebut tentu saja tidak berperikemanusiaan, tetapi seringkali
terjadi secara nyata dan menyakitkan (Santrock, 2002)

2. KONSEP STROKE
2.1. Definisi Stroke
Stroke adalah suatu keadaan yang timbul karena terjadi gangguan di
peredaran darah di otak yang menyebabkan terjadinya kematian jaringan otak,
sehingga mengakibatkan seseorang menderita kelumpuhan atau kematian
(fransisca,2012). Stroke adalah gangguan peredaran darah otak yang
menyebabkan defisit neurologis mendadak sebagai akibat iskemia atau hemoragi
sirkulasi saraf otak (Amin, 2015).
Stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progresif
cepat, berupa defisit neurologis fokal dan/atau global, yang berlangsung 24 jam
atau lebih atau langsung menimbulkan kematian, dan semata-mata disebabkan
oleh gangguan peredaran darah otak nontraumatik. Bila gangguan peredaran
darah otak berlangsung sementara, beberapa detik hingga beberapa jam
(kebanyakan 10-20 menit), tapi kurang dari 24 jam, disebut sebagai serangan
iskemia otak sepintas (transient ischaemia attack = TIA) (Mansjoer & dkk,
2007).
Stroke adalah suatu penyakit defisit neurologis akut yang disebabkan oleh
gangguan pembuluh darah otak yang terjadi secara mendadak dan dapat
menimbulkan cacat atau kematian (Munir, 2015). Definisi stroke menurut World
Health Organization adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat
gangguan fungsi otak baik fokal maupun global, dengan gejala-gejala yang
berlangsung selama 24 jam atau lebih, dapat menyebabkan kematian tanpa
adanya penyebab lain selain vaskuler (Munir, 2015).

2.2. Epidemiologi
Menurut American Heart Assosiation (AHA,2015),angka kejadian stroke
pada seseorang dengan usia 60-79 tahun yang menderita stroke pada perempuan
5,2% dan laki-laki sekitar 6,1%, Prevelansi pada usia lanjut semakin meningkat
dan bertambah setiap tahunnya dapat dilihat dari usia seorang 80 tahun keatas
dengan angka kejadian stroke pada laki-laki sebangyak 15,8% dan pada
perempuan sebanyak 14%,Prevalensi angka kematian yang terjadi di Amerika di
sebabkan oleh stroke dengan populasi 100.000 pada perempuan sebanyak 27,9%
dan pada laki-laki sebanyak 25,8%, sedangkan di Negara Asia angka kematian
yang diakibatkan oleh stroke pada perempuan sebanyak 30% dan pada laki-laki
sebanyak 33,5% per 100.000 populasi (AHA, 2015).
Menurut WHO (World Health Organization, 2012) angka kematian akibat
stroke sebesar 51% di seluruh dunia di sebabkan oleh tekanan darah tinggi.
Selainitu, di perkirakan sebesar 16% kematian stroke di sebabkan karena
tingginya kadar glokosa. Di Indonesia sendiri menunjukan bahwa jumlah
penderita stroke terus meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Kasus
tertinggi yang terdiagnosis tenaga kesehatan yaitu pada usia 75 tahun keatas
(43,1) dan terendah pada kelompok usia 15-24 tahun yaitu sebesar 0,2%
(Kemenkes RI, 2017).
Jumlah penderita penyakit stroke di Indonesia tahun 2013 berdasarkan
diagnosis tenaga kesehatan (Nakes) diperkirakan sebanyak 1.236.825 orang
(7,0‰) (Infodatin, 2013).Di Indonesia menurut Riskesdas tahun 2018 prevelensi
stroke meningkat dari awalnya tahun 2013 yang hanya 7% penderita stroke pada
tahun 2018 menjadi 10,9% penduduk Indonesia yang mengalami stroke
(Setiawan,2019).

2.3. Klasifikasi Stroke


Stroke dapat diklasifikasikan menurut patologi dan gejala kliniknya, yaitu:
(Muttaqin, 2008)
a. Stroke Hemoragi,
Merupakan perdarahan serebral dan mungkin perdarahan subarachnoid.
Disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada daerah otak tertentu.
Biasanya kejadiannya saat melakukan aktivitas atau saat aktif, namun bisa
juga terjadi saat istirahat. Kesadaran pasien umumnya menurun. Perdarahan
otak dibagi dua, yaitu:
1)      Perdarahan intraserebral
Pecahnya pembuluh darah (mikroaneurisma) terutama karena hipertensi
mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak, membentuk massa yang
menekan jaringan otak, dan menimbulkan edema otak. Peningkatan TIK yang
terjadi cepat, dapat mengakibatkan kematian mendadak karena herniasi otak.
Perdarahan intraserebral yang disebabkan karena hipertensi sering dijumpai
di daerah putamen, thalamus, pons dan serebelum.
2)      Perdarahan subaraknoid
Pedarahan ini berasal dari pecahnya aneurisma berry atau AVM.
Aneurisma yang pecah ini berasal dari pembuluh darah sirkulasi willisi dan
cabang-cabangnya yang terdapat diluar parenkim otak.Pecahnya arteri dan
keluarnya keruang subaraknoid menyebabkan TIK meningkat mendadak,
meregangnya struktur peka nyeri, dan vasospasme pembuluh darah serebral
yang berakibat disfungsi otak global (sakit kepala, penurunan kesadaran)
maupun fokal (hemiparase, gangguan hemisensorik, dll)
b. Stroke Non Hemoragi
Dapat berupa iskemia atau emboli dan thrombosis serebral, biasanya
terjadi saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau di pagi hari.
Tidak terjadi perdarahan namun terjadi iskemia yang menimbulkan hipoksia
dan selanjutnya dapat timbul edema sekunder. Kesadaran umumnya baik.
Menurut perjalanan penyakit atau stadiumnya, yaitu:
a. TIA (Trans Iskemik Attack) adalah gangguan neurologis setempat yang terjadi
selama beberapa menit sampai beberapa jam saja. Gejala yang timbul akan
hilang dengan spontan dan sempurna dalam waktu kurang dari 24 jam.
b. Stroke involusi: stroke yang terjadi masih terus berkembang dimana gangguan
neurologis terlihat semakin berat dan bertambah buruk. Proses dapat berjalan
24 jam atau beberapa hari.
c. Stroke komplit: dimana gangguan neurologi yang timbul sudah menetap atau
permanen. Sesuai dengan istilahnya stroke komplit dapat diawali oleh
serangan TIA berulang.

2.4. Etiologi Stroke


1). Menurut Junaidi (2011) penyebab dari Stroke adalah :
a. Stroke non Hemorhagic
Stroke non perdarahan(iskemik/infark) disebabkan oleh penyumbatan
pembuluh darah otak (stroke non pendarahan dan infark). Otak dapat berfungsi
dengan baik jika aliran darah yang menuju ke otak lancar dan tidak mengalami
hambatan. Namun jika persedian oksigen dan nutrisi yang dibawa olehsel-sel
darah dan plasma terhalang oleh suatu bekuan darah terjadi thrombosis pada
dinding arteri yang mensuplai otak maka akan terjadi stroke iskemik yang dapat
berakibat kematian jaringan otak yang di suplai.(junaidi 2011 : 18)
b. Stroke Hemorhagic
Menurut (junaidi 2011 : 19) dan (baticaca 2011 : 56) penyebab stroke ikemik
adalah
1) Atheroma
Pada stroke iskemik, penyumbatan bias terjadi disepanjang jalur arteri yang
menuju ke otak.
2) Emboli
Endapan lemak juga bisa terlepas dari dinding arteri dan mengalir di dalam
darah , kemudian menyumbat arteri yang lebih kecil.
3) Infeksi
Stroke juga bisa terjadi bila suatu peradangan atau infeksi menyempitnya
pembuluh darah yang menuju ke otak.
4) Obat-obatan
Obat-obatan pun dapat menyebabkan stroke,seperti,nikotin, kokain,
amfetamin, epinefrin, adrenalin, dan sebagainya dengan jalan mempersempit
diameter pembuluh darah di otak dan menyebabkan stroke.
5) Hipotensi
Penurunan tekanan darah yang tiba-tiba bisa menyebabkan berkurang nya
aliran darah ke otak, yang biasanya menyebabkan seseorang pingsan.
6) Kekurangan suplai oksigen yang menuju ke otak
7) Pecah pembuluh darah di otak karena kerapuhan pembuluh darah otak.
8) Adanya sumbatan bekuan darah di otak

2). Penyebab stroke menurut Arif Muttaqin (2008):


1. Thrombosis Cerebral
Thrombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi
sehingga menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapat menimbulkan oedema
dan kongesti di sekitarnya. Thrombosis biasanya terjadi pada orang tua yang
sedang tidur atau bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas
simpatis dan penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan iskemi
serebral. Tanda dan gejala neurologis memburuk pada 48 jam setelah
trombosis.
Beberapa keadaan di bawah ini dapat menyebabkan thrombosis otak:
a.       Aterosklerosis
Aterosklerosis merupakan suatu proses dimana terdapat suatu penebalan dan
pengerasan arteri besar dan menengah seperti koronaria, basilar, aorta dan
arteri iliaka (Ruhyanudin, 2007). Aterosklerosis adalah mengerasnya
pembuluh darah serta berkurangnya kelenturan atau elastisitas dinding
pembuluh darah. Manifestasi klinis atherosklerosis bermacam-macam.
Kerusakan dapat terjadi melalui mekanisme berikut:
 Lumen arteri menyempit dan mengakibatkan berkurangnya aliran darah.
 Oklusi mendadak pembuluh darah  karena terjadi trombosis
 Merupakan tempat terbentuknya thrombus, kemudian melepaskan kepingan
thrombus (embolus).
 Dinding arteri menjadi lemah dan terjadi aneurisma kemudian robek dan
terjadi perdarahan.
b.      Hyperkoagulasi pada polysitemia
Darah bertambah kental, peningkatan viskositas/ hematokrit meningkat dapat
melambatkan aliran darah serebral.
c.       Arteritis( radang pada arteri )
d.      Emboli
Emboli serebral merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh bekuan
darah, lemak dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari thrombus di
jantung yang terlepas dan menyumbat sistem arteri serebral. Emboli tersebut
berlangsung cepat dan gejala timbul kurang dari 10-30 detik. Beberapa
keadaan dibawah ini dapat menimbulkan emboli:
 Katup-katup jantung yang rusak akibat Rheumatik Heart Desease (RHD).
 Myokard infark
 Fibrilasi. Keadaan aritmia menyebabkan berbagai bentuk pengosongan
ventrikel sehingga darah terbentuk gumpalan kecil dan sewaktu-waktu
kosong sama sekali dengan mengeluarkan embolus-embolus kecil.
 Endokarditis oleh bakteri dan non bakteri, menyebabkan terbentuknya
gumpalan-gumpalan pada endocardium.
2. Hemorhagi
Perdarahan intrakranial atau intraserebral termasuk perdarahan dalam
ruang subarachnoid atau kedalam jaringan otak sendiri. Perdarahan ini dapat
terjadi karena atherosklerosis dan hypertensi. Akibat pecahnya pembuluh
darah otak menyebabkan perembesan darah kedalam parenkim otak yang
dapat mengakibatkan penekanan, pergeseran dan pemisahan jaringan otak
yang berdekatan, sehingga otak akan membengkak, jaringan otak tertekan,
sehingga terjadi infark otak, oedema, dan mungkin herniasi otak.
3. Hipoksia Umum
Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia umum adalah:
a.       Hipertensi yang parah.
b.      Cardiac Pulmonary Arrest
c.       Cardiac output turun akibat aritmia
4.      Hipoksia Setempat
Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia setempat adalah:
a.       Spasme arteri serebral, yang disertai perdarahan subarachnoid.
b.      Vasokontriksi arteri otak disertai sakit kepala migrain.

2.5. Faktor Risiko Stroke


Selain hal-hal yang disebutkan diatas, ada faktor-faktor lain yang menyebabkan
stroke (Arum, 2015) diantaranya :
a. Faktor risiko medis

1) Arteriosklerosis (pengerasan pembuluh darah)


2) Adanya riwayat stroke dalam keluarga (factor keturunan)
3) Migraine (sakit kepala sebelah)
b. Faktor risiko pelaku
1) Kebiasaan merokok
2) Mengkonsumsi minuman bersoda dan beralkohol
3) Suka menyantap makanan siap saji
4) Kurangnya aktifitas gerak/olahraga
5) Suasana hati yang tidak nyaman, seperti sering marah tanpa alasan yang
jelas

c. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi


1) Hipertensi (tekanan darah tinggi). Tekanan darah tinggi merupakan
peluang terbesar terjadinya stroke. Hipertensi mengakibatkan adanya
gangguan aliran darah yang mana diameter pembuluh darah akan
mengecil sehingga darah yang mengalir ke otak pun berkurang. Dengan
pengurangan aliran darah ke otak, maka otak kekurangan suplai oksigen
dan glukosa, lamakelamaan jaringan otak akan mati.
2) Penyakit jantung. Penyakit jantung seperti koroner dan infark miokard
(kematian otot jantung) menjadi factor terbesar terjadinya stroke.
Jantung merupakan pusat aliran darah tubuh. Jika pusat pengaturan
mengalami kerusakan, maka aliran darah tubuh pun menjadi terganggu,
termasuk aliran darah menuju otak. Gangguan aliran darah itu dapat
mematikan jaringan otak secara mendadak ataupun bertahap.
3) Diabetes mellitus. Pembuluh darah pada penderita diabetes melitus
umumnya lebih kaku atau tidak lentur. Hal ini terjadi karena adanya
peningkatan atau penurunan kadar glukosa darah secara tiba-tiba
sehingga dapat menyebabkan kematian otak.
4) Hiperkolesterlemia. Hiperkolesterolemia adalah kondisi dimana kadar
kolesterol dalam darah berlebih. LDL yang berlebih akan
mengakibatkan terbentuknya plak pada pembuluh darah. Kondisi seperti
ini lama-kelamaan akan menganggu aliran darah, termasuk aliran darah
ke otak.
5) Obesitas. Obesitas atau overweight (kegemukan) merupakan salah satu
faktor terjadinya stroke. Hal itu terkait dengan tingginya kadar
kolesterol dalam darah. Pada orang dengan obesitas, biasanya kadar
LDL (LowDensity Lipoprotein) lebih tinggi disbanding kadar HDL
(HighDensity Lipoprotein).
6) Merokok. Menurut berbagai penelitian diketahui bahwa orang-orang
yang merokok mempunyai kadar fibrinogen darah yang lebih tinggi
dibanding orang-orang yang tidak merokok. Peningkatan kadar
fibrinogen mempermudah terjadinya penebalan pembuluh darah
sehingga pembuluh darah menjadi sempit dan kaku. Karena pembuluh
darah menjadi sempit dan kaku, maka dapat menyebabkan gangguan
aliran darah.

d. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi


1) Usia. Semakin bertambahnya usia, semakin besar resiko terjadinya
stroke. Hal ini terkait dengan degenerasi (penuaan) yang terjadi secara
alamiah. Pada orang-orang lanjut usia, pembuluh darah lebih kaku
karena banyak penimbunan plak. Penimbunan plak yang berlebih akan
mengakibatkan berkurangnya aliran darah ke tubuh, termasuk otak.
2) Jenis kelamin. Dibanding dengan perempuan, laki-laki cenderung
beresiko lebih besar mengalami stroke. Ini terkait bahwa laki-laki
cenderung merokok, Bahaya terbesar dari rokok adalah merusak lapisan
pembuluh darah pada tubuh. Pada perempuan usia lanjut juga dapat
beresiko besar terkena stroke karena kadar esterogennya yang menurun.
3) Riwayat keluarga. Jika salah satu anggota keluarga menderita stroke,
maka kemungkinan dari keturunan keluarga tersebut dapat mengalami
stroke. Orang dengan riwayat stroke pada keluarga memiliki resiko
lebih besar untuk terkena stroke dibanding dengan orang yang tanpa
riwayat stroke pada keluarganya.
4) Perbedaan ras. Fakta terbaru menunjukkan bahwa stroke pada orang
Afrika-Karibia sekitar dua kali lebih tinggi daripada orang non-Karibia.
Hal ini dimungkinkan karena tekanan darah tinggi dan diabetes lebih
sering terjadi pada orang afrika-karibia dari pada orang non-Afrika
Karibia. Hal ini dipengaruhi juga oleh factor genetic dan faktor
lingkungan.

2.6. Patofisiologi
Faktor pencetus dari Stroke seperti hipertensi,Dm,penyakit jantung dan
beberapa faktor lain seperti merokok, stress, gaya hidup yang tidak baik dan
beberapa faktor seperti obesitas dan kolestrol yang meningkat dalam darah dapat
menyebabkan penimbunan lemak atau kolestrol yang meningkat dalam
darahdikarenakan ada penimbunan tersebut, pembuluh darah menjadi infark dan
iskemik. Dimana infark adalah kematian jaringan dan iskemik adalah
2
kekurangan suplai O .Hal tersebut dapat menyebabkan arterosklerosis dan
pembuluh darah menjadi kaku.Arterosklerosis adalah penyempitan pembuluh
darah yang mengakibatkan pembekuan darah di cerebral dan terjadi lah Stroke
non hemoragik.Pembuluh darah menjadi kaku, menyebabkan pembuluh darah
mudah pecah dan mengakibatkan Stroke hemoragik.
Dampak dari Stroke non hemoragik yaitu suplai darah kejaringan cerebral
non adekuat dan dampak dari Stroke hemoragik terdapat peningkatan tekanan
sistemik.Kedua dampak ini menyebabkan perfusi jaringan cerebral tidak
adekuat.Pasokan Oksigen yang kurang membuat terjadinya vasospasme arteri
serebral dan aneurisma. Vasospasme arteri serebral adalah penyempitan
pembuluh darah arteri cerebral yang kemungkinan akan terjadi gangguan
hemisfer kanan dan kiri dan terjadi pula infark /iskemik di arteri tersebut yang
menimbulkan masalah keperawatan gangguan mobilitas fisik. Aneurisma adalah
pelebaran pembuluh darah yang disebabkan oleh otot dinding di pembuluh darah
yang melemah hal ini membuat di arachnoid (ruang antara permukaan otak dan
lapisan yang menutupi otak) dan terjadi penumpukan darah di otak atau disebut
hematoma kranial karena penumpukan otak terlalu banyak, dan tekanan intra
kranial menyebabkan jaringan otak berpindah/ bergeser yang dinamakan
herniasi serebral.
Pergeseran itu mengakibatkan pasokan oksigen berkurang sehingga terjadi
penurunan kesadaran dan resiko jatuh. Pergeseran itu juga menyebabkan
kerusakan otak yang dapat membuat pola pernapasan tak normal (pernapasan
cheynes stokes) karena pusat pernapasan berespon erlebhan terhadap CO2 yang
mengakibatkan pola napas tidak efektif dan resiko aspirasi (Amin, 2015).
2.7. Pathways

Faktor resiko yang dapat dirubah antara lain hipertensi, penyakit kardiovaskuler
yang menyebabkan embolisme serebral, kolesterol tinggi, obesitas, merokok,
diabetes melitus.
Faktor resiko yang tidak dapat dirubah yaitu: genetik, usia, jenis kelamin,
BBLR, ras/etnis, genetik/hereditas.

Thromboosis, Emboli, Iskemia, Hemoragi Serebral

Stroke Hemoragik Stroke Non Hemoragik

Peningkatan tekanan sistemik Suplai darah ke bagian serebral tidak adekuat

Pembuluh darah menjadi pecah Risiko Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Serebral

Perdarahan Arakhnoid/Ventrikel Vasospasme arteri Perfusi tidak


serebral/saraf serebral efektif

Peningkatan TIK
Iskemik/Infark

Penurunan kesadaran
Defisit Neurologi

Risiko Cedera
Hemisfer Kanan Hemisfer Kiri

Penurunan kapasitas adaptif intrakranial Hemiparese/plegi kiri Hemiparese/plegi kanan

Hambatan Mobilitas Fisik

Kerusakan fungsi N.VII dan N. XII


2.8. Manifestasi Klini
Menurut Junaidi (2011 : 25) dan baticaca (2011 : 60) memaparkan manifestasi
klinis sebagai berikut :
a. Mulut tidak simetris, lidah mencong bila di luruskan.
b. Gangguan menelan, sulit menelan,minum suka keselek.
c. Sulit memikir atau mengucapkan kata-kata yang tepat.
d. Tidak memahami pembicaraan orang lain.
e. Tidak mampu membaca dan menulis serta tidak memahami tulisan.
f. Berjalan menjadi sulit, langkahnya kecil-kecil dan sempoyongan.
g. Kebanyakan tidur atau selalu ingin tidur, mengantuk.
h. Gangguan sensibilitas pada satu anggota badan ( gangguan
hemisensori).
i. Afasia ( tidak lancar atau tidak dapat bicara ).
j. Disartria ( bicara pelo atau cadel ).
k. Ataksia ( tungkai atau anggota badan tidak tepat pada sasaran).
l. Vertigo ( mual dan muntah atau nyeri kepala ).
Tanda dan gejala umum mencakup kebas atau kelemahan pada wajah,
lengan, atau kaki (terutama pada satu sisi tubuh); kebingungan/konfusi atau
perubahan status mental; sulit berbicara atau memahami pembicaraan;
gangguan visual; kehilangan keseimbangn , pening, kesulitan berjalan; atau
sakit kepala berat secara mendadak (Brunner & Suddarth, 2013).
Manifestasi stroke beragam berdasarkan pada arteri serebral yang terkena
dan area otak yang terkena. Wanita yang mengalami stroke lebih cenderung
melaporkan manifestasi nontradisional (khususnya disorientasi, konfusi, atau
kehilangan kesadaran) dari pada pria (LeMone Dll, 2012). Manifestasi selalu
tiba-tiba dalam hal awitan, fokal, dan biasanya satu sisi.
Manifestasi stroke berdasarkan keterlibatan pembuluh serebral:
a. Stroke trombosis
1) Arteri Cerebri Anterior
a) Hemiparesis kontralateral dengan kelumpuhan tungkai lebih menonjol
b) Gangguan mental
c) Gangguan sensibilitas pada tungkai yang lumpuh
d) Ketidakmampuan dalam mengendalikan buang air
e) Bisa terjadi kejang-kejang
2) Arteri Cerebri Media
a) Bila sumbatan di pangkal arteri, terjadi kelumpuhan yang lebih
ringan
b) Bila tidak di pangkal maka lengan lebih menonjol
c) Gangguan saraf perasa pada satu sisi tubuh. Hilangnya kemampuan
dalam berbahasa (aphasia)
3) Arteri Karotis Interna
a) Buta mendadak
b) Ketidakmampuan untuk berbicara atau mengerti bahasa lisan
(disfasia) bila gangguan terletak pada sisi dominan
c) Kelumpuhan pada sisi tubuh yang berlawanan (hemiparesis
kontralateral) dan dapat disertai sindrom Horner pada sisi sumbatan
4) Arteri Cerebri Posterior
a) Koma
b) Hemiparesis kontra lateral
c) Ketidakmampuan membaca (aleksia)
d) Kelumpuhan saraf kranialis ketiga
5) Sistem Vertebrobasiler
a. Kelumpuhan di satu sampai keempat ekstremitas
b. Meningkatnya refleks tendon
c. Gangguan dalam koordinasi gerakan tubuh
d. Gejala-gejala sereblum seperti gemetar pada tangan (tremor),
kepala berputar (vertigo).
e. Ketidakmampuan untuk menelan (disfagia)
f. Gangguan motorik pada lidah, mulut, rahang, dan pita suara sehingga
pasien sulit berbicara (disatria)
g. Kehilangan kesadaran sepintas (sinkop), penurunan kesadaran secara
lengkap (stupor), koma, pusing, gangguan daya ingat, kehilangan
daya ingat terhadap lingkungan (disorientasi)
h. Gangguan penglihatan, seperti penglihatan ganda (diplopia), gerakan
arah bola mata yang tidak dikehendaki (nistagmus), penurunan
kelopak mata (ptosis), kurangnya daya gerak mata, kebutaan setengah
lapang pandang pada belahan kanan atau kiri kedua mata (hemianopia
homonim).
i. Gangguan pendengaran
j. Rasa kaku diwajah, mulut, atau lidah

b. Stroke emboli
1) Defisit hemisfer yang luas (kalau infarknya luas), (Adelina, 2010)
2) Didapat pasien penyebab berikut dan atau faktor resiko:
a) Jantung (atrial fibrilasi, kelainan katub dll)
b) Vaskular (stenosis arteri kritis)
c) Darah (hiperkoagulasi)

c. Stroke perdarahan intraserebral


Kelemahan atau kelumpuhan setengah badan, kesemutan, hilang sensasi
atau mati rasa setengah badan. Selain itu, setengah orang juga mengalami
sulit berbicara atau bicara pelo, merasa bingung, masalah penglihatan, mual,
muntah, kejang, dan kehilangan kesadaran secara umum

d. Stroke subaraknoid
1. Sakit kepala mendadak hebat
2. Defisit saraf kranialis
3. Hemiparise
4. Penurunan kesadaran
Perbedaan Stroke Hemoragik dan Stroke Ischemic
Gejala klinis Stroke hemoragik Stroke Ischemic
PIS PSA
Gejala defisit lokal Berat Ringan Berat/ringan

SIS sebelumnya Amat jarang (-) +/biasa


Permulaan (onset) Menit/jam 1 – 2 menit Pelan (jam/hari)

Nyeri kepala Hebat Sangat hebat Ringan/tak ada

Muntah pada awalnya Sering Sering Tidak kecuali


lesi pada batang
otak
Hipertensi Hampir selalu Biasanya tidak Sering kali
Kesadaran Bisa hilang Bisa hilang Dapat hilang
sebentar
Kaku kuduk Jarang Bisa ada pada Tidak ada
permulaan
Hemiparesis Sering sejak awal Tidak ada Sering dari awal

Deviasi mata Bisa ada Tidak ada Mungkin ada


Gangguan bicara Sering Jarang Sering
Likuor Sering berdarah Selalu berdarah Jernih
Pendarahan subhialoid Tak ada Bisa ada Tak ada

Paresis/gangguan N III (-) Mungkin (+)

(Sumber: Kapita Selekta Kedokteran; Edisi Ketiga; Jilid Dua: oleh


Mansjoer,Suprohaita,Wardani, & Setiowulan, 2007).

2.9. Komplikasi
Menurut (Smeltzer & bare,2010) komplikasi Stroke meliputi hipoksia serebral,
penurunan aliran darah serebral dan embolisme serebral.
a. Hipoksia serebral.
Fungsi otak bergantung pada ketersediaan oksigen yang dikirimkan ke
jaringan.Hipoksia serebral diminimalkan dengan pemberian oksigenasi yang
ade kuat ke otak. Pemberian oksigen berguna untuk mempertahankan
hemoglobin serta hematokrit yang akan membantu dalam mempertahankan
oksigenasi jaringan.

b. Penurunan aliran darah serebral


Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan
integrasi pembuluh darah serebral.Hidrasi adekuat cairan intravena,
memperbaiki aliran darah dan menurunkan viscositas darah.Hipertensi atau
hipotensi perlu di hindari untuk mencegah perubahan pada aliran darah
serebral dan potensi meluasnya area cidera.

c. Embolisme serebral
Terjadi setelah imfak miokard atau vibrilasi atrium. Embolise akan
menurunkan aliran darah ke otak dan selanjutnya akan menurunkan aliran
darah ke serebral. Distritmia dapat menimulkan curah jantung tidak konsisten,
distritmia dapat menyebabkan embolus serebral dan harus segera di perbaiki.

2.10. Pemeriksaan Penunjang


Menurut Lukman, Nurna, (2012) pemeriksaan yang dapat dilakukan pada
lansia Stroke sebagai berikut :
1. Angiografi Serebral
Membantu menentukan penyebab Stroke secara spesifik misalnya
pertahanan atau sumbatan arteri.
2. Scan Tomografi Komputer (CT-Scan)
Mengetahui adanya tekanan normal dan adanya thrombosis, emboli
serebral, dan tekanan normal dan adanya thrombosis, emboli serebral, dan
tekanan intracranial (TIK).Peningkatan TIK dan cairan yang mengandung
darah menunjukan adanya perdarahan subarakhnoid dan perdarahan
intracranial. Kadar protein total meningkat, beberapa kasus thrombosis
disertai proses inflamasi.
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Menunjukan daerah infark, perdarahan, malformasi arteriovena (MAV).
4. Ultrasonografi Doppler (USG doppler)
Mengidentifikasi penyakit arteriovena (masalah sistem arteri karotis atau
aliran darah timbulnya plak dan arteriosklerosis).
5. Elektroensefalogram (EEG)
Mengidentifikasi masalah pada gelombang otak dan memperlihatkan
daerah lesi yang spesifik.
6. Sinar tengkorak
Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pienal daerah yang
berlawanan dari massa yang meluas, klasifikasi karotis interna terdapat
pada thrombosis serebral; klasifikasi parsial dinding aneurisma pada
perdarahan subarachnoid.
7. Pemeriksaan laboratorium rutin
Berupa cek darah, Gula darah, Urine, Cairan serebrospinal, AGD,
Biokimia dara dan elektrolit.

2.11. Penatalaksanaan Medis


1. Stadium hiperakut
Tindakan distadium ini dilakukan di instalasi rawat darurat dan merupakan
tindakan resusitasi.Serebro-kardio-pulmonal bertujuan agar pendarahan di
otak tidak meluas.
Pada stadium ini pasien diberi:
1) Oksigen 2 L/menit dan cairan kristaloid/koloid; hindari cairan dekstrosa
atau salin dalam HO.
2) Dilakukan pemeriksaan CT scan otak, elektrokardiografi, foto torak,
darah perifer lengkap, dan jumlah trombosit, protombin time/INR,
APTT, glukosa darah, kimia darah (termasuk elektrolit).
3) Jika hipoksia, dilakukan analisis gas darah.
4) Tindakan lain di instalasi gawat darurat adalah memberikan dukungan
minta kepada pasien serta memberikan penjelasan pada keluarganya
agar tetap tenang.

2. Stadium akut
1) Stroke iskemik
Terapi umum:
a) Letakkan kepala pasien pada posisi 30;
b) Kepala dan dada pada satu bidang;
c) Ubah posisi tidur setiap 2 jam;
d) Mobilisasi dimulai bertahap bila hemodinamik sudah stabil.
Selanjutnya:
1. Bebaskan jalan nafas, beri oksigen 1-2 L/menit sampai didapatkan
hasil analisis gas darah.
2. Jika perlu dilakukan instubasi.
3. Demam diatasi dengan kompres dan anti piretik, kemudian dicari
penyebabnya; jika kandung kemih penuh dikosongkan (sebaiknya
dengan kateter intermiten).
4. Pemberian nutrisi isotonik, kristaloid/ koloid 1500-2000 ml dan
elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan mengandung glukosa
atau salin isotonik.
5. Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi menelannya baik;
jika didapatkan gangguan menelan atau kesadaran menurun,
dianjurkan melalui selang nasogastrik.
6. Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula
darah sampai 150% dengan insulin drip intravena kontinu selama
2-3 hari pertama.
7. Hipoglikemia (kadar gula darah <60/80 mg% dengan gejala)
diatasi segera dengan dektrosa 40% iv sampai kembali normal
dan harus dicari penyebabnya.
8. Nyeri kepala atau muntah diatasi dengan pemberian obat- abatan
sesuai dengan gejala.
9. Tekanan darah tidak perlu langsung diturunkan kecuali tekanan
sistolik >220 mmHg dan diastolik dan 120 mmHg, mean arterial
blood pressure (MAP) >130 mmHg (pada dua kali pengukuran
dengan selang waktu 30 menit), atau didapatkan infark miokard
akut, gagal jantung kongestif serta gagal ginjal.
10. Jika hipotensi yaitu tekanan darah sistolik <90 mmHg dan
diastolik <70 mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam,
dilanjutkan 500 mL
selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam atau sampai hipotensi
dapat teratasi. Jika hipotensi belum teratasi dapat diberikan
dopamin 2-20 ug/kg/menit sampai tekanan darah diastolik 110
mmHg.
11. Jika kejang diberi diazepam 5-20 mg iv pelan-pelan selama tiga
menit, maksimal 100 mg perhari; dilanjutkan pemberian
antikonvulsan peroral (fenitoin, karbamazepin). Jika kejang
muncul setelah 2 minggu, diberikan anti konvulsan per oral jagka
panjang.
12. Jika didapatkan TIK meningkat di berikan manitol bolus iv 0,25
sampai 1 g/kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai fenomena
rebound atau keadaan umum memburuk, dilanjutkan 0,25 g/kgBB
per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari. Harus dilakukan
pemantauan osmolalitas (<320 mmol); sebagai alternative, dapat
diberikan larutan hipertonik (NaCl 3%)atau furosemid.
13. Terapi khusus: ditujukan untuk reperfusi dengan pemberian
dengan anti platelet seperti aspirin dan anti koagulan atau
diajurkan dengan cairan trombolitik rt-PA (recombinant tissue
plasminogen activator). Dapat juga diberi agen neuroproteksi,
yaitu sitikolin atau pirasetam (jika di dapatkan afasia).
2) Stroke Hemoragik
a. Terapi umum: pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika
folume hematoma >30 ml, pendarahan intraventrikular dengan
hidrosefalus, dan keadaan klinis selalu memburuk. Tekanan darah
harus diturunkan sampai tekanan darah premorbid atau 15-20% bila
tekanan sistolik >180 mmHg, MAP >130 mmHg, dan volume
hematoma bertambah. Bila terdapat gagal jantung, tekanan darah
harus segera diturunkan dengan labetalov iv 10 mg (pemberian
dalam 2 menit) sampai 20 mg; (pemberian dalam 10 menit)
maksimum 300 mg; enalapril iv 0,625-1,25 mg per 6 jam; kaptopril
3 kali 6,25-25 mg peroral. Jika di dapatkan TIK menigkat posisikan
kepala naikan 30, posisi kepala dan dada satu bidang, pemberian
manitol dan hiperventilasi (pCO2 20-35 mmHg).
b. Terapi khusus: neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat
vasodilator tindakan bedah mempertimbangkan usia dan letak
pendarahan yaitu pada pasien yang kondisinya yang memburuk
dengan pendarahan sebelum beriameter >3 cm, hidrosefalus akut
akibat pendarahan intraventrikel atau sebelum, dilakukan VP-
sunting, dan pendarahan lebar lebih 60 ml dengan tanda
peningkatan tekanan intracranial akut dan ancaman berherniasi.
Pada pendarahan subaraknoid, dapat digunakan antagonis kalsium
(nemodipin) atau tindakan bedah (ligasi, embolisasi, ekstirfasi,
maupun gama knife )jika penyebabnya adalah aneurisma atau
malformasi arteri-vena (arteriovenous malformation, AVM).
3. Stadium Subakut
Tindakan medis dapat berupa terapi kognitif, tingkah laku, menelan,
terapi wicara, dan bladder training (termasuk terapi fisik).Mengingat
perjalanan penyakit yang panjang, dibutuhkan penatalaksanaan khusus
intensif pasca stroke dengan tujuan kemandirian pasien, mengerti,
memehami dan melaksanakan progam prefentif primer dan skunder.
Terapi pasien subakut antara lain:
1) Melanjutkan terapi sesuai kondisi akut sebelumnya
2) Penatalasanaan komplikasi
3) Restorasi/rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien) yaitu fisioterapi,
terapi wicara, terapi kognitif, dan terapi okupasi
4) Revensi skunder
5) Edukasi keluarga dan Discharge planning (Nurarif & Kusuma, 2015).

2.12. Rehabilitasi Klien Pasca Stroke


Menurut Smeltzer & Bare (2008), dalam Cahyati(2011), rehabilitasi adalah
suatu proses dinamis, yang berorientasi pada kesehatan yang membantu
individu yang sakit atau cacat untuk mencapai tingkat fungsi fisik, mental,
spiritual, sosial dan ekonomi yang setinggi mungkin. Fase rehabilitasi dapat
dimulai sesegera mungkin pada pasien yang mengalami stroke, namun proses
ini ditekankan selama fase konvalesen dan memerlukan upaya tim koordinasi.
Sasaran utama program rehabilitasi adalah perbaikan mobilitas dan proses fikir,
menghindari nyeri bahu, pencapaian perawatan diri dan beberapa bentuk
komunikasi, mendapatkan kontrol kandung kemih, pemeliharaan integritas
kulit, perbaikan fungsi keluarga dan tidak adanya komplikasi.Salah satu
program rehabilitasi yang dilakukan untuk memperbaiki mobilitas pasien
pasca stroke adalah latihan. Terapi latihan/exercise berupa latihan range of
motion (ROM) merupakan salah satu bentuk latihan yang efektif sebagai
program rehabilitasi pada pasien pasca stroke. Latihan ini dapat dilakukan 4
sampai 5 kali dalam sehari (Smeltzer & Bare, 2008; dalam Cahyati, 2011).
Sedangkan menurut Perry & Poter (2006), dalam Cahyati (2011), latihan
ROM bisa dilakukan minimal 2X/hari. Terapi latihan ini dimaksudkan untuk
meningkatkan kemandirian pasien, mengurangi tingkat ketergantungan pada
keluarga, dan meningkatkan harga diri dan mekanisme koping pasien.
Menurut Purwanti & Maliya(2008), Rehabilitasi meliputi tiga hal, yaitu
rehabilitasi medikal, sosial, dan vokasional.

1. Rehabilitasi medik merupakan upaya mengembalikan kemampuan klien

secara fisik pada keadaan semula sebelum sakit dalam waktu sesingkat

mungkin.

2. Rehabilitasi sosial merupakan upaya bimbingan sosial berupa bantuan

sosial guna memperoleh lapangan kerja.

3. Rehabilitasi vokasional merupakan upaya pembinaan yang bertujuan agar

penderita cacat menjadi tenaga produktif serta dapat melaksanakan

pekerjaannya sesuai dengan kemampuannya.

Menurut Purwanti & Maliya (2008), Tahap Rehabilitasi meliputi:


1. Rehabilitasi stadium akut
Sejak awal tim rehabilitasi medik sudah diikutkan, terutama untuk
mobilisasi. Programnya dijalankan oleh tim, biasanya latihan aktif dimulai
sesudah prosesnya stabil, 24-72 jam sesudah serangan, kecuali perdarahan.
Sejak awal Speech terapi diikut sertakan untuk melatih otot-otot menelan
yang biasanya terganggu pada stadium akut. Psikolog dan Pekerja Sosial
Medik untuk mengevaluasi status psikis dan membantu kesulitan keluarga.
2. Rehabilitasi stadium subakut.
Pada stadium ini kesadaran membaik, penderita mulai menunjukan tanda-
tanda depresi, fungsi bahasa mulai dapat terperinci.Pada penderita stroke
pola kelemahan ototnya menimbulkan hemiplegic posture. Kita berusaha
mencegahnya dengan cara pengaturan posisi, stimulasi sesuai kondisi klien.
3. Rehabilitasi stadium kronik
Pada saat ini terapi kelompok telah ditekankan, dimana terapi ini biasanya
sudah dapat dimulai pada akhir stadium subakut. Keluarga penderita lebih
banyak dilibatkan, pekerja medik sosial, dan psikolog harus lebih aktif.

Menurut Purwanti dan Maliya (2008) dalam Brillianti (2015), program


rehabilitasi segera dijalankan oleh tim, biasanya aktif dimulai sesudah
prosesnya stabil, 24-72 jam sesudah serangan kecuali pada perdarahan.
Tindakan mobilisasi pada perdarahan subarachnoid dimulai 2-3 minggu
sesudah serangan. Latihan gerakan sendi anggota badan secara pasif 4 kali
sehari untuk mencegah kontraktur.
Adapun langkah-langkah mobilisasi dalam rehabilitasi menurut Purwanti
dan Maliya (2008), dalam Brillianti (2015), ini meliputi:

a. Pelaksanaan mobilisasi dini posisi tidur.


1) Berbaring terlentang
Posisi kepala leher dan punggung harus lurus, letakkan bantal dibawah
lengan yang lumpuh secara hati-hati, sehingga bahu terangkat ke atas
dengan lengan agak ditinggikan dan memutar ke arah luar, siku dan
pergelangan tangan agak ditinggikan.Letakkan pula bantal dibawah
paha yang lumpuh dengan posisi agak memutar kearah dalam lutut
agak ditekuk.
Gambar 2.1Latihan Posisi Berbaring Terlentang

2) Miring ke sisi yang sehat


Bahu yang lumpuh harus menghadap ke depan, lengan yang lumpuh
memeluk bantal dengan siku di luruskan. Kaki yang lumpuh
diletakkan di depan, di bawah paha dan tungkai diganjal bantal, lutut
ditekuk

Gambar 2.2Latihan Posisi Miring Kesisi Yang Sehat

3) Miring ke sisi yang lumpuh


Lengan yang lumpuh menghadap ke depan, pastikan bahwa bahu
penderita tidak memutar secara berlebihan. Tungkai agak ditekuk,
tungkai yang sehat menyilang di atas tungkai yang lumpuh dengan
diganjal bantal.
Gambar 2.3Latihan Posisi Miring Kesisi Yang Lumpuh

b. Latihan gerak sendi (range of motion)


Latihan Range of Motion (ROM) adalah kegiatan latihan yang bertujuan
untuk memelihara fleksibilitas dan mobilitas sendi (Tseng, et al, 2007;
dalam Cahyati, 2011). Latihan gerak sendi aktif adalah klien
menggunakan ototnya untuk melakukan gerakan dan intinya tidak ada
ketidaknyamanan. Menggambarkan gerakan sistematik dengan rangkaian
urutan selama atau setiap tahap. Menampilkan setiap latihan 3x dan
rangkaian latihan 2x sehari.
Latihan gerak sendi pasif adalah perawat menggerakkan anggota gerak
dan memerintahkan keikutsertaan klien agar terjadi gerakan penuh
(Purwanti & Maliya, 2008).

1. Latihan gerak sendi pada anggota gerak atas menurut Hoeman


(1996), dalam Purwanti dan Maliya (2008), adalah:
a. Fleksi/ekstensi
Dukung lengan dengan pergelangan tangan dan siku, angkat lengan
lurus melewati kepala klien, istirahatkan lengan terlentang diatas
kepala di tempat tidur.
Gambar 2.4
Latihan Fleksi/ekstensi

b. Abduksi/adduksi
Dukung lengan di pergelangan dengan telapak tangan dan siku dari
tubuhnya klien, geser lengan menjauh menyamping dari badan,
biarkan lengan berputar dan berbalik sehingga mencapai sudut 90ᵒ
dari bahu.

Gambar 2.5
Latihan Abduksi/adduksi
c. Siku fleksi/ekstensi
Dukung siku dan pergelangan tangan, tekuk lengan klien sehingga
lengan menyentuh ke bahu, luruskan lengan ke depan.
Gambar 2.6
Latihan Fleksi/ekstensi Siku
d. Pergelangan Tangan
Dukung pergelangan tangan dan tangan klien dan jari-jari dengan jari
yang lain; tekuk pergelangan tangan ke depan dan menggenggam,
tekuk pergelangan tangan ke belakang dantegakkan jari-jari,
gerakkan pergelangan tangan ke lateral.
e. Jari Fleksi/Ekstensi
Dukung tangan klien dengan memegang telapak tangan, tekuksemua
jari sekali, luruskan semua jari sekali

Gambar 2.7
Latihan Jari Feksi/ekstensi
2. Latihan gerak sendi pada anggota gerak bawah menurut Hoeman
(1996),dalam Purwanti & Maliya (2008), adalah:
a. Pinggul fleksi
Dukung dari bawah lutut dan tumit klien, angkat lutut mengarah
ke dada tekuk pinggul sedapat mungkin, biarkan lutut menekuk
sedikit atau dengan toleransi klien.

Gambar 2.8 Latihan Pinggul Fleksi


b. Pinggul fleksi/kekuatan
Dukung dari bawah lutut dan tumit klien, mengangkat kaki klien
diluruskan setinggi mungkin, pegang sampai hitungan kelima

Gambar 2.9
Latihan Pinggul Fleksi Kekuatan

c. Lutut Fleksi/ekstensi
Dukung kaki bila perlu tumit dan belakang lutut, tekuk setinggi
90 derajat dan luruskan lutut.
Gambar2.1
Latihan Lutut Fleksi/ekstensi
d. Jari kaki Fleksi/ekstensi
Dukung telapak kaki klien, tekuk semua jari menurun dan dorong
semua jari ke belakang

Gambar 2.11 Latihan Jari Fleksi/Ekstensi


e. Tumit inverse/eversi
Dukung kaki klien di tempat tidur dengan satu tangan dan
pegang telapak kaki dengan tangan yang lain, putar telapak
kaki keluar, putar telapak kaki ke dalam

3. Latihan duduk
Menurut Harsono (1996), dalam Purwanti dan Maliya (2008),
latihan dimulai dengan meninggikan letak kepala secara bertahap
untuk kemudian dicapai posisi setengah duduk dan pada akhirnya
posisi duduk. Latihan duduk secara aktif sering kali memerlukan alat
bantu, misalnya trapeze untuk pegangan penderita.
Sedang menurut Kandel, dkk (1995), dalam Purwanti dan Maliya
(2008), bangun duduk dilakukan dengan bantuan perawat yang
memegang kuat siku sisi yang lumpuh pada tempat tidur, dengan tangan
yang lain berjabatan tangan dengan tangan penderita yang sehat. Siku
penderita yang sakit harus berada langsung di bawah bahu, bukan di
belakang bahu.Latihan ini diulang-ulang sampai penderita merasakan
gerakannya. Penyanggaan berat di siku yang menyebar ke atas sendi
bahu sisi yang mampu merupakan bagian yang penting dalam
rehabilitas penderita stroke menuju penyembuhan total.

Gambar 2.12Latihan Duduk

3. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN\


3.1. Pengkajian Keperawatan
Menurut Maryam (2012), pengkajian merupakan tahap awal dasar utama
proses keperawatan. Tahap pengkajian pada lansia pasca stroke dikembangkan
sesuai dengan keberadaan lansia. Format pengkajian yang dikembangkan
minimal terdiri atas: data dasar (identitas, usia, alamat, agama, suku bangsa,
pendidikan, pekerjaan, identitas penanggung jawab, catatan masuk, riwayat
pekerjaan, serta genogram); riwayat kesehatan pasien; pemeriksaan fisik;
pengkajian pola kognitif-perceptual; lingkungan; fasilitas penunjang kesehatan
yang ada; data psikososialspiritualkultural; data penunjang, terapi medis, analisa
data, serta prioritas diagnosa keperawatan. Data subjektif meliputi :

a. Identitas klien :
1) Nama (agar data dapat diketahui siapa pemiliknya dan agar tidak tertukar
dengan pasien lain)
2) Umur (mengkaji usia dihubungkan dengan penurunan aktivitas fisik pada
usia lanjut).
3) Alamat (ditanyakan karena mungkin memiliki nama yang sama dengan
alamat yang berbeda).
4) Agama (untuk mengetahui keyakinan pasien yang berhubungan dengan
spiritual).
5) Suku bangsa (berpengaruh pada adat istiadat atau kebiasaan sehari-hari).
6) Pendidikan (berpengaruh dalam berkomunikasi dengan pasien,
menyesuaikan tingkat pendidikan pasien dalam berkomunikasi untuk dapat
memahami dan mempermudah dalam memberikan informasi kepada
pasien).
7) Pekerjaan pasien (guna mengetahui dan mengukur tingkat sosial
ekonominya, karena ini mempengaruhi dalam gizi psien tersebut).
8) Identitas penanggung jawab (ditanyakan suatu saat oleh dokter atau
perawat sebagai penanggung jawab dari keluarga pasien).
9) Catatan masuk (tanggal masuk, tanggal pengkajian, ruang rawat, nomor
rekam medik dan diagnosa medis).
10) Riwayat pekerjaan (guna untuk mengetahui tingkat ekonomi pasien).
11) Genogram (guna untuk mengetahui apakah dalam rumah atau keluarga
pasien ada yang memiliki riwayat penyakit yang sama pada anggota yang
lain).

b. Riwayat kesehatan
Menjelaskan tentang kondisi kesehatan 1 tahun yang lalu, 5 tahun yang
lalu dan keluhan yang masih dirasakan hingga saat ini. Riwayat penggunaan
dan pemakaian obat, siapa yang memberikan resep obat dan kelengkapan
status imunisasi lansia serta makanan dan minuman apa yang harus dihindari
dan dikonsumsi agar Stroke tidak bertambah parah.

c. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik terdiri dari keadaan umum, tingat kesadaran, GCS,
pemeriksaan tanda-tanda vital dan pemeriksaan dan pemeriksaan fisik head to
toe.
1) Kesadaran
Pada pasien stroke mengalami tingkat kesadaran somnolen, apatis, sopor,
soporo coma, hingga coma dengan GCS < 12 pada awal terserang stroke.
Sedangkan pada saat pemulihan memiliki tingkat kesadaran letargi dan
composmetis dengan GCS 13-15
2) Tanda-tanda Vital
a) Tekanan darah
Pasien dengan stroke hemoragik memiliki riwayat tekanan darah tinggi
dengan tekanan systole > 140 dan diastole > 80
b) Nadi
Biasanya nadi normal
c) Pernafasan
Pasien stroke hemoragik mengalami gangguan pada bersihan jalan
napas
d) Suhu
Tidak sering ditemukan masalah pada suhu pasien dengan stroke
hemoragik
3) Rambut
Biasanya tidak ditemukan masalah
4) Wajah
Tidak simetris, wajah pucat. Pada pemeriksaan Nervus V (Trigeminal) :
pasien bisa menyebutkan lokasi usapan dan pada pasien koma, ketika
diusap kornea mata dengan kapas halus, klien akan menutup kelopak mata.
Sedangkan pada Nervus VII (facialis) : alis mata simetris, dapat
mengangkat alis, mengernyitkan dahi, mengernyitkan hidung,
menggembungkan pipi, saat pasien menggembungkan pipi tidak simetris
kiri dan kanan tergantung lokasi lemah dan saat diminta mengunyah pasien
kesulitan untuk mengunyah.

5) Mata
Konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, pupil isokor, kelopak mata
tidak edema. Pada pemeriksaan nervus II (optikus) : biasanya luas pandang
baik 90°, visus 6/6. Pada nervus III (okulomotoris) : diameter pupil
2mm/2mm, pupil kadang isokor dan anisokor, palpebra dan reflek kedip
dapat dinilai jika pasien bisa membuka mata . Nervus IV (troklearis) :
pasien dapat mengikuti arah tangan perawat ke atas dan bawah. Nervus VI
(abdusen) : pasien dapat mengikuti arah tangan perawat ke kiri dan kanan
6) Hidung
Simetris kiri dan kanan, terpasang oksigen, tidak ada pernapasan cuping
hidung. Pada pemeriksan nervus I (olfaktorius) : kadang ada yang bisa
menyebutkan bau yang diberikan perawat namun ada juga yang tidak, dan
biasanya ketajaman penciuman antara kiri dan kanan berbeda dan pada
nervus VIII (akustikus) : pada pasien yang tidak lemah anggota gerak atas,
dapat melakukan keseimbangan gerak tangan-hidung

7) Mulut dan gigi


Pada pasien apatis, sopor, soporos coma hingga coma akan mengalami
masalah bau mulut, gigi kotor, mukosa bibir kering. Pada pemeriksaan
nervus VII (facialis) : lidah dapat mendorong pipi kiri dan kanan, bibir
simetris, dan dapat menyebutkan rasa manis dan asin. Pada nervus IX
(glossofaringeal) : ovule yang terangkat tidak simetris, mencong kearah
bagian tubuh yang lemah dan pasien dapat merasakan rasa asam dan pahit.
Pada nervus XII (hipoglasus) : pasien dapat menjulurkan lidah dan dapat
dipencongkan ke kiri dan kanan namun artikulasi kurang jelas saat bicara
8) Telinga
Daun telinga kiri dan kanan sejajar. Pada pemeriksaan nervus VIII
(akustikus) : pasien kurang bisa mendengarkan gesekan jari dari perawat
tergantung dimana lokasi kelemahan dan pasien hanya dapat mendengar
jika suara keras dan dengan artikulasi yang jelas

9) Leher
Pada pemeriksaan nervus X (vagus) : pasien stroke hemoragik mengalami
gangguan menelan. Pada pemeriksaan kaku kuduk(+)

10) Thorak
a) Paru-paru
Inspeksi : simetris kiri dan kanan
Palpasi : fremitus sama antara kiri dan kanan
Perkusi : bunyi normal (sonor)
Auskultasi: suara normal (vesikuler)
b) Jantung
Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : iktus cordis teraba
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi:suara vesikuler
11) Abdomen
Inspeksi : simetris, tidak ada asites
Palpasi : tidak ada pembesaran hepar
Perkusi : terdapat suara tympani
Auskultasi: biasanya bising usus pasien tidak terdengar. Pada
pemeriksaan reflek dinding perut, pada saat perut pasien digores pasien
tidak merasakan apa-apa.

12) Ekstremitas
a) Atas
Biasanya terpasang infuse bagian dextra / sinistra. CRT biasanya
normal yaitu < 2 detik. Pada pemeriksaan nervus XI (aksesorius) :
pasien stroke hemoragik tidak dapat melawan tahanan pada bahu yang
diberikan perawat. Pada pemeriksaan reflek, saat siku diketuk tidak ada
respon apa-apa dari siku, tidak fleksi maupun ekstensi. Sedangkan pada
pemeriksaan reflek hoffman jari tidak mengembang ketika diberi reflek
(reflek Hoffman tromer (+)).

b) Bawah
Pada pemeriksaan reflek, Pada saat dilakukan reflek patella
biasanya femur tidak bereaksi saat di ketukkan (reflek patella (+).
Tabel 2.1
Nilai kekuatan otot
Respon Nilai
Tidak dapat sedikitpun kontraksi 0
otot, lumpuh total
Terdapat sedikit kontraksi otot, 1
namun tidak didapatkan gerakan
pada persendian yang harus
digerakkan oleh otot tersebut
Didapatkan gerakan , tapi gerakan 2
tidak mampu melawan gaya berat
(gravitasi)
Dapat mengadakan gerakan melawan 3
gaya berat
Disamping dapat melawan gaya berat 4
ia dapat pula mengatasi sedikit
tahanan yang diberikan
Tidak ada kelumpuhan (normal) 5
Black&Hawks, (2014)
d. Pola kebiasaan sehari-hari
1) Pola kebiasaan
Pada pasien pria, adanya kebiasaan merokok dan penggunaan minuman
beralkhohol
2) Pola makan
Terjadi gangguan nutrisi karena adanya gangguan menelan pada pasien
stroke hemoragik sehingga menyebabkan penurunan berat badan.

3) Pola tidur dan istirahat


Pasien mengalami kesukaran untuk istirahat karena adanya kejang otot/
nyeri otot

4) Pola aktivitas dan latihan


Pasien tidak dapat beraktifitas karena mengalami kelemahan, kehlangan
sensori , hemiplegi atau kelumpuhan
5) Pola eliminasi
Terjadi inkontinensia urin dan pada pola defekasi biasanya terjadi
konstipasi akibat penurunan peristaltik usus
6) Pola hubungan dan peran
Adanya perubahan hubungan dan peran karena pasien mengalami
kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara
7) Pola persepsi dan konsep diri
Pasien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, dan
tidak kooperatif
3.2. Diagnosa Keperawatan
1. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial
2. Risiko ketidakefektifan Perfusi jaringan serebral berhubungan dengan aliran
darah ke otak terhambat
3. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan sirkulasi ke
otak
4. Hambatan mobilitas fisik  berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler
5. Resiko cedera berhubungan dengan penurunan kesadaran
1. Resiko cedera berhubungan dengan penurunan kesadaran
RENCANA KEPERAWATAN

No Diagnosis Keperawatan Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)


1. Penurunan kapasitas adaktif Setelah dilakukan tindakan keperawatan NIC :
intracranial b.d cedera otak selama 3 x 24 jam, diharapkan masalah Status Neurologi: Monitor TIK (2590)
penurunan kapasitas adaftif intracranial dapat 1. Lakukan pemantauan terhadap tekanan perfusi
teratasi dengan kriteria hasil : serebral
2. Lakukan pencatatan terkait respon klien
NOC :
terhadap stimulasi
Status Sirkulasi (0401 : 3. Pantau dan observasi respon neurologi terhadap
1. Diharapkan tekanan sistol dan diastole aktivitas dan tekanan intracranial
klien dalam rentang normal 4. Pantau intake dan output cairan klien
2. Diharapkan tidak terjadi peningkatan 5. Posisikan pasien pada head up 30 deraja
tekanan intracranial (tidak lebih dari 15
mmHg) dan tidak ada tanda-tanda NIC :
peningkatan Peningkatan Perfusi Serebral (2550)

Status Neurologi : Sensori Kranial/ Fungsi 1. Maksimalkan pergerakan kepala


Motorik (0913) 2. Kolaborasi pemberian terapi farmakologi
(manitol, antihipertensi, calcium channel
1. Kesadaran klien mengalami peningkatan blocker dan antifibrinolitik)
atau memburuk 3. Monitor efek samping pemberian terapi
2. Tidak terjadi gerakan involunter 4. Pantau tanda-tanda perarahan
5. Konsultasi dengan dokter penentuan parameter
hemodinamik dan cara mempertahankan
parameter hemodinamik agar dalam rentang
normal
2. Risiko ketidakefektifan Perfusi Setelah dilakukan tindakan keperawatan NIC :
jaringan serebral  b.d aliran darah selama 3 x 24 jam, diharapkan suplai aliran
Intrakranial Pressure (ICP) Monitoring
ke otak terhambat. darah keotak lancar dengan kriteria hasil:
(Monitor tekanan intrakranial)
NOC :
1. Berikan informasi kepada keluarga
Circulation status 2. Set alarm
3. Monitor tekanan perfusi serebral
Tissue Prefusion : cerebral
4. Catat respon pasien terhadap stimuli
Kriteria Hasil : 5. Monitor tekanan intrakranial pasien dan
respon neurology terhadap aktivitas
 Mendemonstrasikan status sirkulasi yang 6. Monitor jumlah drainage cairan serebrospinal
ditandai dengan : 7. Monitor intake dan output cairan
 Tekanan systole dandiastole dalam rentang 8. Restrain pasien jika perlu
yang diharapkan 9. Monitor suhu dan angka WBC
 Tidak ada ortostatik hipertensi  10. Kolaborasi pemberian antibiotik
 Tidak ada tanda tanda peningkatan tekanan 11. Posisikan pasien pada posisi semifowler
intrakranial (tidak lebih dari 15 mmHg) 12. Minimalkan stimuli dari lingkungan
 Mendemonstrasikan kemampuan kognitif Terapi oksigen
yang ditandai dengan: berkomunikasi
1. Bersihkan jalan nafas dari secret
dengan jelas dan sesuai dengan
2. Pertahankan jalan nafas tetap efektif
kemampuan
3. Berikan oksigen sesuai intruksi
 Menunjukkan perhatian, konsentrasi dan
4. Monitor aliran oksigen, kanul oksigen dan
orientasi
sistem humidifier
  Memproses informasi
5. Beri penjelasan kepada klien tentang
 Membuat keputusan dengan benar
pentingnya pemberian oksigen
 menunjukkan fungsi sensori motori cranial 6. Observasi tanda-tanda hipo-ventilasi
yang utuh : tingkat kesadaran mambaik, 7. Monitor respon klien terhadap pemberian
tidak ada gerakan gerakan involunter oksigen
8. Anjurkan klien untuk tetap memakai oksigen
selama aktifitas dan tidur
3 Hambatan komunikasi verbal b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Libatkan keluarga untuk membantu
penurunan sirkulasi ke otak selama  3 x 24 jam, diharapkan klien mampu memahami/ memahamkan informasi dari / ke
untuk berkomunikasi lagi dengan kriteria klien
hasil: 2. Dengarkan setiap ucapan klien dengan penuh
perhatian
 Dapat menjawab pertanyaan yang diajukan
3. Gunakan kata-kata sederhana dan pendek
perawat
dalam komunikasi dengan klien
 Dapat mengerti dan memahami pesan- 4. Dorong klien untuk mengulang kata-kata
pesan melalui gambar 5. Berikan arahan / perintah yang sederhana
 Dapat mengekspresikan perasaannya secara setiap interaksi dengan klien
verbal maupun nonverbal 6. Programkan speech-language teraphy
7. Lakukan speech-language teraphy setiap
interaksi dengan klien
4 Hambatan mobilitas fisik b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan NIC :
kerusakan neurovaskuler selama 3x24 jam, diharapkan klien dapat
Exercise therapy : ambulation
melakukan pergerakan fisik dengan kriteria
hasil : 1. Monitoring vital sign sebelm/sesudah latihan
dan lihat respon pasien saat latihan
 Joint Movement : Active
2. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang
 Mobility Level
rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan
 Self care : ADLs 3. Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat
 Transfer performance berjalan dan cegah terhadap cedera
Kriteria Hasil : 4. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain
 Klien meningkat dalam aktivitas fisik tentang teknik ambulasi
 Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas 5. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
 Memverbalisasikan perasaan dalam 6. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan
meningkatkan kekuatan dan kemampuan ADLs secara mandiri sesuai kemampuan
berpindah 7. Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi
 Memperagakan penggunaan alat Bantu dan bantu penuhi kebutuhan ADLs ps.
untuk mobilisasi (walker) 8. Berikan alat Bantu jika klien memerlukan.
9. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan
berikan bantuan jika diperlukan
5 Risiko cedera berhubungan NOC : Risk Control NIC : Environment Management (Manajemen
dengan penurunan tingkat lingkungan)
Setelah dilakukan tindakan perawatan selama
kesadaran
3 x 24 jam, diharapkan tidak terjadi trauma 1. Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien
pada pasien dengan kriteria hasil: 2. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien,
sesuai dengan kondisi fisik dan fungsi
Kriteria Hasil :
kognitif  pasien dan riwayat penyakit
 Klien terbebas dari cedera terdahulu pasien
 Klien mampu menjelaskan cara/metode 3. Menghindarkan lingkungan yang berbahaya
untukmencegah injury/cedera (misalnya memindahkan perabotan)
 Klien mampu menjelaskan factor resiko 4. Memasang side rail tempat tidur
dari lingkungan/perilaku personal 5. Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan
 Mampu memodifikasi gaya hidup bersih
untukmencegah injury 6. Menempatkan saklar lampu ditempat yang
mudah dijangkau pasien.
 Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada
7. Membatasi pengunjung
 Mampu mengenali perubahan status
8. Memberikan penerangan yang cukup
kesehatan
9. Menganjurkan keluarga untuk menemani
pasien.
10. Mengontrol lingkungan dari kebisingan
11. Memindahkan barang-barang yang dapat
membahayakan
12. Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga
atau pengunjung adanya perubahan status
kesehatan dan penyebab penyakit.
DAFTAR PUSTAKA

American Hearth Association (AHA), 2015. Life is Why : Guidelines For


Cardiopulmonary & Emergency Cardio Care.
Amin, N dan Hardhi Kusuma (2015). Nanda Nic-Noc Jilid 3. Jogjakarta: Mediaction.
Arum,2015. STROKE, Kenali, Cegah dan Obati. Yogyakarta : Notebook.
Batticaca,F.B.2011. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sirem
Pernafasan. Jakarta : Salemba Medika.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Riset
kesehatan dasar. Jakarta : Bakti Husada; 2013.
Black,J dan Hawks,J.2014. Keperawatan Medikal Bedah : Manajemen Klinis Untuk
Hasil yang Diharapkan. Dialihbahasakan oleh Nampira R.Jakarta : Salemba
Emban Patria.
Cahyati, Y. (2011). Tesis Fakultas Ilmu Keperawatan Progam Magister Keperawatan
Peminatan Keperawatan Medikal Bedah Depok. Perbandingan Latihan ROM
Unilateral dan Latihan ROM Bilateral Terhadap Kekuatan Otot Pasien
Hemiparase Akibat Stroke Iskemik Di RSUD Kota Tasikmalaya dan RSUD
Kab. Ciamis , 31-35.
Kementrian Kesehatan RI. 2013. Situasi kesehatan jantung 2013. Info datin pusat
data dan informasi kementrian dan kesehatan Indonesia.
http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/i
nfodatin-jantung.pdf.
Junaidi, Iskandar ., 2011. Stroke Waspadai Ancamannya. Yogyarkarta : ANDI.
Lukman dan Nurma Ningsih (2012). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan
Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid  Kedua. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI.
Maryam, R. S., & dkk. (2012). Mengenal Usia Lanjut Dan Perawatannya.Jakarta:
Salemba Medika.
Munir, B. 2015. Neurologi Dasar. Jakarta : CV Sagung Seto.
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Nugroho, W , 2014, Keperawatan Gerontik dan Geriatrik Edisi 3, Jakarta : EGC
Purwanti, O. S., & Maliya, A. (2008). Rehabilitasi pasien Pasca Stroke. Berita
Ilmu Keperawatan ISSN 1979-2697, Vol. 1 No.1: 43-46.
Setiawan,agus.2019. Asuhan Keperawatan Lansia Dengan Pasca Stroke di Panti
Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda. Karya Tulis Ilmiah. Samarinda
: Politeknik Kesehatan Kemenkes Kaltim.
Smeltzer dan Bare (2010). Textbook Of Medical-Surgical Nursing Volume 1.
Philadelphia : Lippin Cott.
Shinta,S. 2011. 14 Penyakit Paling Sering Menyerang dan Sangat Mematikan.
Jogjakarta : Flashbooks.
Tarwoto,2013. Keperawatan : Gangguan Sistem Persyarafan. Edisi II.Jakarta :
Sagung Seto.
World Health Organization (2011) Global status report non-communicable diseases
2010. Geneva World Health Organization.

Anda mungkin juga menyukai