Anda di halaman 1dari 58

LAPORAN PENDAHULUAN

PROSES PENUAAN LANSIA PADA SYSTEM MUSKULOSKELETAL


DENGAN KASUS OSTEOARTRITIS (OA)

Oleh :
Eka Supriyatna, S. Kep
NIM. 1930913320017

PROGRAM PROFESI NERS ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2020
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN

PROSES PENUAAN LANSIA PADA SYSTEM MUSKULOSKELETAL


DENGAN KASUS OSTEOARTRITIS (OA)

Oleh :
Eka Supriyatna, S. Kep
NIM. 1930913320017

Banjarbaru, September 2020

Mengetahui,

Pembimbing Akademik

Fatma S.Ruffaida, Ns., MNS


NIPK. 19870215 2019032015
LAPORAN PENDAHULUAN
PROSES PENUAAN

A. Pengertian Lansia
Lanjut usia adalah sebagian dari proses tumbuh kembang. Manusia tidak
secara tiba-tiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anak-anak, dewasa dan
hingga akhirnya menjadi tua. Hal ini normal, dengan perubahan fisik dan tingkah
laku yang dapat diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat mereka
mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Lanjut usia merupakan
suatu proses alami yang ditentukan oleh tuhan yang maha esa. Semua orang akan
mengalami proses menjadi tua dan masa tua merupakan masa hidup manusia
yang terakhir. Dimasa ini seseorang mengalami kemunduran fisik, mental dan
sosial secara bertahap.(Azizah, 2012)
Menurut undang-undang nomor 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut
usia pada bab 1 pasal 1 ayat 2, yang dimaksud lanjut usia adalah seseorang yang
mencapai usia 60 tahun ke atas.
Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-
angsur mengakibatkan perubahan yang kumulatif, merupakan proses
menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan
luar tubuh yang berakhir dengan kematian. Menua (menjadi tua) adalah suatu
proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki
diri/mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga
tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki
kerusakan yang diderita. Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
manusia secara perlahan mengalami kemunduran struktur dan fungsi organ.
Kondisi ini dapat mempengaruhi kemandirian dan kesehatan lanjut usia,
termasuk kehidupan seksualnya. Proses menua merupakan proses yang terus-
menerus/berkelanjutan secara alamiah dan umumnya dialami oleh semua
makhluk hidup. (Nugroho, 2014).
B. Batasan Lanjut Usia
Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 1999
menggolongkan lanjut usia berdasarkan usia kronologis/biologis menjadi 4
kelompok yaitu usia pertengahan (middle age) antara usia 45-59 tahun, lanjut
usia (elderly) antara usia 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) antara usia 75-90
tahun, dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.
Klasifikasi lanjut usia (Wahjudi Nugroho, 2012) :

 Usia petengahan (middle age) : 45 – 59 tahun


 Usia Lanjut (Elderly) : 60 – 74 tahun
 Lanjut Usia Tua : 75 – 89 tahun
 Usia Sangat Lanjut : > 90 tahun
Menurut Dep. Kes.RI
Departemen kesehatan republik Indonesia membagi lanjut usia menjadi sebagai
berikut:

 Kelompok menjelang usia lanjut (45 – 54 tahun), keadaan ini dikatakan


sebagai masa virilitas.
 Kelompok usia lanjut (55 – 64 tahun) sebagai masa pensiunan.
 Kelompok-kelompok usia lanjut (> 65 tahun) yang
dikatakan sebagai masa senium.

C. Proses Menua
Proses menua merupakan suatu proses yang wajar, bersifat alami dan pasti
akan dialami oleh semua orang yang dikaruniai umur panjang (Nugroho, 2000).
Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat
diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap
perkembangan kronologis tertentu (Stanley and Patricia, 2006).
D. Teori Proses Menua
1. Teori Biologis
a. Teori radikal bebas
Radikal bebas merupakan contoh produk sampah metabolisme yang
dapat menyebabkan kerusakan apabila terjadi akumulasi. Normalnya
radikal bebas akan dihancurkan oleh enzim pelindung, namun beberapa
berhasil lolos dan berakumulasi di dalam organ tubuh. Radikal bebas
yang terdapat di lingkungan seperti kendaraan bermotor, radiasi, sinar
ultraviolet, mengakibatkan perubahan pigmen dan kolagen pada proses
penuaan. Radikal bebas tidak mengandung DNA. Oleh karena itu,
radikal bebas dapat menyebabkan gangguan genetik dan menghasilkan
produk-produk limbah yang menumpuk di dalam inti dan sitoplasma.
Ketika radikal bebas menyerang molekul, akan terjadi kerusakan
membran sel; penuaan diperkirakan karena kerusakan sel akumulatif
yang pada akhirnya mengganggu fungsi. Dukungan untuk teori radikal
bebas ditemukan dalam lipofusin, bahan limbah berpigmen yang kaya
lemak dan protein. Peran lipofusin pada penuaan mungkin
kemampuannya untuk mengganggu transportasi sel dan replikasi DNA.
Lipofusin, yang menyebabkan bintik-bintik penuaan, adalah dengan
produk oksidasi dan oleh karena itu tampaknya terkait dengan radikal
bebas.
b. Teori Genetika
Teori sebab akibat menjelaskan bahwa penuaan terutama
disebabkan oleh pembentukan gen dan dampak lingkungan pada
pembentukan kode genetik. Menurut teori genetika, penuaan adalah
suatu proses yang secara tidak sadar diwariskan yang berjalan dari
waktu ke waktu untuk mengubah sel atau struktur jaringan.
Peningkatan frekuensi kanker dan penyakit autoimun yang
dihubungkan dengan bertambahnya umur menyatakan bahwa mutasi
atau kesalahan terjadi pada tingkat molekular dan selular.
c. Teori cross-link
Teori cross-link dan jaringan ikat menyatakan bahwa molekul
kolagen dan elastin, komponen jaringan ikat, membentuk senyawa yang
lama meningkatkan regiditas sel, cross-linkage diperkirakan akibat
reaksi kimia yang menimbulkan senyawa antara melokul-melokul yang
normalnya terpisah (Ebersole & Hess, 1994 dalam Potter & Perry,
2005).
d. Teori Wear dan Tear
Teori ini mengusulkan bahwa akumulasi sampah metabolik atau zat
nutrisi dapat merusak sintesis DNA, sehingga mendorong malfungsi
molekular dan akhirnya malfungsi organ tubuh.
Pendukung teori ini percaya bahwa tubuh akan mengalami
kerusakan berdasarkan suatu jadwal.
e. Teori Imunologis
Teori imunitas berhubungan langsung dengan proses penuaan.
Selama proses penuaan, sistem imun juga akan mengalami kemunduran
dalam pertahanan terhadap organisme asing yang masuk ke dalam tubuh
sehingga pada lamsia akan sangat mudah mengalami infeksi dan
kanker.perubahan sistem imun ini diakibatkan perubahan pada jaringan
limfoid sehingga tidak adanya keseimbangan dalam sel T intuk
memproduksi antibodi dan kekebalan tubuh menurun. Pada sistem imun
akan terbentuk autoimun tubuh. Perubahan yang terjadi merupakan
pengalihan integritas sistem tubuh untuk melawan sistem imun itu
sendiri.
f. Teori Neuroendokrin
Menurut teori ini, penuaan terjadi oleh karena adanya suatu
perlambatan dalam sekresi hormon tertentu yang mempunyai suatu
dampak pada reaksi yang diatur oleh sistem saraf. Hal ini lebih jelas
ditunjukkan dalam kelenjar hipofisis, tiroid, adrenal, dan reproduksi.
Salah satu area neurologis yang mengalami gangguan secara
universal akibat penuaan adalah waktu reaksi yang diperlukan untuk
menerima, memproses, dan bereaksi terhadap perintah. Dikenal sebagai
perlambatan tingkah laku, respon ini kadang-kadang diinterpretasikan
sebagai tindakan melawan, ketulian, atau kurangnya pengetahuan.
g. Teori Riwayat Lingkungan
Menurut teori ini, faktor-faktor di dalam lingkungan (misalnya
karsinogen dari industri, cahaya matahari, trauma dan infeksi) dapat
membawa perubahan dalam proses penuaan.
Walaupun faktor-faktor ini diketahui dapat mempercepat penuaan,
dampak dari lingkungan lebih merupakan dampak sekunder dan bukan
merupakan faktor utama dalam penuaan.

2. Teori Psikososial
a. Teori Kepribadian
Teori kepribadian menyebutkan aspek-aspek pertumbuhan
psikologis tanpa menggambarkan harapan atau tugas spesifik lansia.
Jung mengembangkan suatu teori pengembangan kepribadian orang
dewasa yang memandang kepribadian sebagai ektrovert atau introvert.
Ia berteori bahwa keseimbangan antara kedua hal tersebut adalah
penting bagi kesehatan.
b. Teori Tugas Perkembangan
Tugas perkembangan adalah aktivitas dan tantangan yang harus
dipenuhi oleh seseorang pada tahap-tahap spesifik dalam hidupnya
untuk mencapai penuaan yang sukses.
Erickson menguraikan tugas utama lansia adalah mampu melihat
kehidupan seseorang sebagai kehidupan yang dijalani dengan integritas.
Pada kondisi tidak adanya pencapaian perasaan bahwa ia telah
menikmati kehidupan yang baik, maka lansia tersebut beresiko untuk
disibukkan dengan rasa penyesalan atau putus asa.
c. Teori Disengagement (Penarikan Diri)
Teori ini menggambarkan penarikan diri oleh lansia dari peran
masyarakat dan tanggung jawabnya. Lansia akan dikatakan bahagia
apabila kontak sosial telah berkurang dan tanggungjawab telah diambil
oleh generasi yang lebih muda. Manfaat dari pengurangan kontak sosial
bagi lansia adalah agar dapat menyediakan eaktu untuk mengrefleksi
kembali pencapaian yang telah dialami dan untuk menghadapi harapan
yang belum dicapai.
d. Teori Aktivitas
Teori ini berpendapat apabila seorang lansia menuju penuaan yang
sukses maka ia harus tetap beraktivitas.kesempatan untuk turut berperan
dengan cara yang penuh arti bagi kehidupan seseorang yang penting
bagi dirinya adalah suatu komponen kesejahteraan yang penting bagi
lansia. Penelitian menunjukkan bahwa hilangnya fungsi peran lansia
secara negatif mempengaruhi kepuasan hidup, dan aktivitas mental serta
fisik yang berkesinambungan akan memelihara kesehatan sepanjang
kehidupan.
e. Teori Kontinuitas
Teori kontinuitas mencoba menjelaskan mengenai kemungkinan
kelanjutan dari perilaku yang sering dilakukan klien pada usia dewasa.
Perilaku hidup yang membahayakan kesehatan dapat berlangsung
hingga usia lanjut dan akan semakin menurunkan kualitas hidup.
E. Perubahan Yang Terjadi Pada Lanjut Usia
Menurut buku ajar keperawatan gerontik,aplikasi NANDA, NIC dan NOC.
(Aspiani, 2014), perubahan yang terjadi pada lansia meliputi:
1. Perubahan Fisik
a. Sistem Endokrin
Kelenjar endokrin adalah kelenjar buntu dalam tubuh manusia yang
memproduksi hormone. Hormon pertumbuhan berperan sangat penting
dalam pertumbuhan, pematangan, pemeliharaan, dan metabolisme organ
tubuh yang termasuk hormone kelamin adalah :
1) Estrogen, progesterone, dan testosterone yang memelihara alat
reproduksi dan gairah seks. Hormon ini mengalami penurunan.
2) Kelenjar pancreas, yang memproduksi insulin dan sangat
penting dalam pengaturan gula darah mengalami penurunan.
3) Kelenjar adrenal/ anak ginjal yang memproduksi adrenalin.
Kelenjar yang berkaitan dengan hormon pria/wanita. Salah satu kelenjar endokrin
dalam tubuh yang mengatur agar arus darah ke organ tertentu berjalan dengan baik,
dengan jalan mengatur vasokontriksi pembuluh darah. Kegiatan kelenjar anak ginjal
ini berkurang pada lanjut usia.
4) Hampersemua produksi hormon menurun
5) Fungsi paratiroid dan sekresinya tidak berubah.
6) Hipofisis pertumbuhan hormone ada, tetapi rendah dan hanya ada di
pembuluh darah, berkurangnya reproduksi ACTH, TSH, FSH, dan
LH.
7) Aktivitas tiroid, BMR (Basal metabolic rate) dan daya pertukaran zat
menurun.
8) Produksi oldesteron menurun
9) Sekresi hormone kelamin, misalnya progesterone, ekstrogen, dan
testosterone menurun.
b. Sel
Perubahan yang terjadi pada sel adalah jumlah sel menurun/lebih sedikit,
ukuran sel lebih besar, jumlah cairan tubuh dan cairan intraseluler
berkurang, proporsi protein diotak, otot, ginjal, darah, dan hati menurun ,
jumlah sel otak menurun, mekanisme perbaikan sel terganggu, otak
menjadi atrofi, bertanya kurang 5-10%, lekuan otak akan menjadi lebih
dangkal dan melebar.
c.System persarafan
Menurunnya hubungan persarafan, berat otak menurun 10-20% (sel saraf
otak setiap orang berkurang setiap harinya), respons dan waktu untuk
bereaksi lambat, khususnya terhadap stress, saraf panca-indra mengecil,
penglihatan berkurang, pendengaran menghilang, saraf penciuman dan
perasa mengecil, lebih sensitive terhadap perubahan suhu, dan rendahnya
ketahanan terhadap dingin, kurang sensitive terhadap sentuhan, deficit
memori.
d. Sistem pendengaran
Gangguan pendengaran, hilangnya daya pendengaran pada telinga dalam,
terutama terhadap bunyi suara atau nada yang tinggi, suara yang tidak jelas,
sulit mengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas umur 65 tahun.
Membrane timpani menjadi atrofi menyebabkan otosklerosis, Terjadi
pengumpulan srumen, dapat mengeras karena meningkatnya keratin,
Fungsi pendengaran semakin menurun pada lanjut usia yang mangalami
ketengangan/stress, Titinus (bising yang bersifat mendengung, bisa bernada
tinggi atau rendah, bisa terus menerus atau intermiten), Vertigo (perasaan
tidak stabil yang terasa seperti bergoyang atau berputar)
e.Sistem penglihatan
Sfingter pupil timbul sclerosis dan respon sinar menghilang, kornea lebih
berbentuk sferis (bola), lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa), menjadi
katarak, jelas menyebabkan gangguan penglihatan, meningkatnya ambang,
pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat, susah
melihat dalam gelap, penurunan/hilangnya daya akomodasi, dengan
manisfestasi presbyopis, seseorang sulit melihat dekat yang dpemgaruhi
berkurangnya elastisitas lensa, lapang pandang menurun : luas pandang
berkurang, daya membedakan warna menurun, terutama warna biru atau
hijau pada skala.
f. System kardiovaskuler
Katup jantung menebal dan menjadi kaku, elastisitas dinding aorta
menurun, kemampuan janntung memompa darah menrun 1% setiap tahun
sesudah berumur 20 tahun. hal ini menyebabkan kontraksi dan volume
menurun (frekuensi denyut jantung maksimal =200 – umur), curah jantung
menurun (isi seenit jantung menurun, kehilangan elastisitas pembuluh
darah, efektivitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi berkuang,
perubahan posisi dari tidur ke duduk (duduk ke berdiri) bisa menyebabkan
tekanan darah menurun menjadi 65 mmhg mengakibatkan pusing
mendadak, kinerja jantung lebih rentan terhadap kondisi dehidrasi dan
perdarahan, tekanan darah meninggi akibat resistensi pembuluh dari perifer
meningkat. sistol normal ±170 mmhg, diatole ±95 mmhg
g. Sistem pengaturan Suhu Tubuh
Temperature tubuh menurun (hipotermia) secara fisiologis ±35ºc ini akibat
metabolism yang menurun, pada kondisi ini, lanjut usia akan merasa
kedinginan dan dapat pula mengigil, pucat, dan gelisah, keterbatasan reflex
mengigil dan tidak dapat memprodusi panas yang banyak sehingga terjadi
penurunan aktivitas otot.
h. System pernafasan
Otot pernafasan mengalami kelemahan akibat atrofi, kehilangan kekuatan,
dan menjadi kaku, berat otak menurun 10-20% (sel saraf otak setiap orang
berkurang setiap harinya), respons dan waktu untuk bereaksi lambat,
khususnya terhadap stress, saraf panca indra mengecil, penglihatan
berkurang, pendengaran menghilang, saraf penciuman dan perasa
mengecil, lebih sensitive terhadap perubahan suhu, dan rendahan ketahanan
terhadap dingin, kurang sensitive terhadap sentuhan,deficit memori.
i. System pencernaan
Kehilangan gigi, penyebab utama periodontal disease yang biasa terjadi
setelah umur 30 tahun. penyebab lain meliputi kesehatan gigi dan gizi yang
buruk, indra pengecap menurun, adanya iritasi selaput lender yang kronis,
atrofi indra pengecap (±80%), hilangnya sensitivitas saraf pengecap dlidah,
terutama rasa manis dan asin, hilangnya sensitivitas saraf pengecap
terhadap rasa asin, asam, dan pahit, esophagus melebar, rasa lapar mnurun
(sensitivitas lapar menurun), asam lambung menurun, motilitas dan wktu
pengosongan lambung menurun, perialitik lemah dan biasanya timbul
konstipasi, fungsi absorpsi melemah ( daya absorpsi terganggu terutama
karbohidrat), hati semakin mengecil dan penyimpanan menurun, aliran
darah berkurang.
j. System Reproduksi
Wanita : Vagina mengalami kontraktur dan mngecil, ovarium menciut,
uterus mengalami atrofi, atrofi pada payudara dan vulva, selaput lender
vagina menrun, permukaan menjadi halus, sekresi berkurang, sifatnya
menjadi alkali dan terjadi perubahan warna.
Pria : Testis masih dapat memproduksi spermatozoa, meskipun ada
penurunan secara berangsur-angsur, dorongan seksual menetap sampai usia
70 tahun, asal kondisi kesehatannya baik, yaitu: kehidupan seksual dapat
diupayakan sampai masa lanjut usia, hubungan seksual secara teratur
membantu mempertahankan kemampuan seksual, tidak perlu cemas karna
prosesnya alamiah sebanyak ±75% pria usia 65 tahun mengalami
pembesaran prostat.
k. System Genitourinaria
1) Ginjal : Merupakan alat untuk mengeluarkan sisa metabolsime tubuh,
melalui urine darah yang masuk ke ginjal, disaring oleh satuan (unit)
terkecil dari ginjal yang disebut nefron (tepatnya di glomerulus).
Mengecilnya nefron akibat atrofi, aliran darah keginjal menurun sampai
50% sehingga fungsi tubulus berkurang. Akibatnya, kemampuan
mengonsentrasi urine menurun, berat jenis urine menurun, proteinuria
(biasanya ±1), BUN (blood urea nitrogen) meningkat sampai 21 mg%,
nilai ambang ginjal terhadap glukosa meningkat.
2) Vesika urinaria : Otot menjadi lemah, kapasitasnya menurun sampai 200
ml atau menyebabkan frekuensi buang air seni meningkat. Pada pria
lajut usia, vesika urinaria sulit dikosongkan sehingga mengakibatkan
retensi urine meningkat
3) Pembesaran prostat ±75 % dialami oleh pria usia diatas 65 tahun, atrofi
vulva pada wanita
4) Vagina : Seseorang yang semakin menua, kebutuhan seksualnya masih
ada. Tiadak ada batasan umur tertentu kapan fungsi seksual seseorang
berhenti. Frekuensi hubungan seksual cenderung menurun secara
bertahap setiap tahun, tetapi kapasitas untuk mrnikmatinya berjalan
sampai tua.
l. Sistem integument
Kulit mengerut atau keriput akibat kehilangan jaringan lemak, Permukaan
kulit cinderung kusam, kasar dan bersisik (karena kehilangan proses
keratinasi serta perubahan ukuran dan bentuk sel epidermis), Timbul
bercak pigmentasi akibat proses melanognesis yang tidak merata pada
permukaan kulit sehingga tampak bintik– bintik atau noda cokelat, Terjadi
perubahan pada daerah sekitar mata, tumbuhnya kerut- kerut halus diujung
mata akibat lapisan kulit yang menipis, Respons terhadap trauma menurun,
Mekanisme proteksi kulit menurun Produksi serum menurun, Produksi
vitamin D menurun, Produksi kulit terganggu, Kulit kepala dan rambut
menipis an berwarna kelabu, Rambut dalam hidung dan telinga menebal ,
Berkurangnya elastisitas akibat menurunya cairan dan vaskularisasi,
Pertumbuhan kuku lebih lambat, Kuku jari menjadi keras dan rapuh, Kuku
kaki tumbuh secara berlebihan dan seperti tanduk, Jumlah dan fungsi
kelenjar keringat berkurang.
m. System musculoskeletal
Tulang kehilangan massa (cairan) dan semakin rapuh, gangguan tulang,
yakni mudah mengalami demineralisasi, kekuatan dan stabilitas tulang
menurun, terutama vertebra, pergelangan dan paha, kartilago yang meliputi
permukaan sendi tulang penyangga rusak, kifosis, gerakan pinggang, lutut
dan jari-jari pergelangan terbatas, gangguan gaya berjalan, kekakuan
jaringan penghubung, persendian membesar dan menjadi kaku, tendon
mengeut dan mengalami sclerosis, atrofi serabut otot, serabut otot mengecil
sehingga gerakan menjadi laman, otot kram, dan menjadi tremor(perubahan
pada otot cukup rumit dan dipahami ), aliran darah ke otot berkurang
sejalan dengan proses menua.
n. System imun
Perubahan fungsi system imunologi, kemampuan imunitas tubuh melawan
infeksi menurun, kecepatan respon imun menurun, produksi
imunoglobukin berkurang jumlahnya sehingga vaksinasi dalam tubuh
kurang efektif melawan penyakit, imun kehilangan kemampauan untuk
membedakan benda asing yang masuk kedalam tubuh.

2. Perubahan kognitif
Perubahan kognitif yang terjadi pada lansia, (dalam buku“keperawatan
lanjut usia”,(Azizah, 2012).
a. Memory (daya ingat, ingatan)
Daya ingat adalah kemampuan untuk menerima, menyimpan dan
menghadirkan kembali rangsangan/peristiwa yang pernah dialami
seseorang. Pada lanjut usia, daya ingat merupakan salah satu fungsi
kognitif yang seringkali paling awal mengalami penurunan. Ingatan
jangka panjang (long term memory) kurang mengalami perubahan,
sedangkan ingatan jangka pendek (short term memory) atau seketika 0-10
menit memburuk. Lansia akan kesulitan dalam mengungkapkan kembali
cerita atau kejadian yang tidak begitu menarik perhatiannya dan informasi
baru seperti TV dan film. Keadaan ini sering menimbulkan salah paham
dalam keluarga. Oleh sebab itu dalam proses pelayanan sangat perlu
dibuatkan tanda-tanda atau rambu-rambu baik berupa tulisan, atau gambar
untuk membantu daya ingat mereka. Misalnya dengan tulisan JUM’AT,
TANGGAL 26 JANUARI 2017 dan sebagainya, ditempatkan pada
tempat yang strategis yang mudah terlihat/dibaca.
b. IQ (intellegent quocient)
Lansia tidak mengalami perubahan dengan informasi matematika
(analisa, linier, sekuensial) dan perkataan verbal.Tetapi persepsi dan daya
membayangkan (fantasi) menurun.Walaupun mengalami kontrofersi, tes
intelegensia kurang memperlihatkan adanya penurunan kecerdasan pada
lansia.Hal ini terutama dalam bidang vokabulari (kosakata), keterampilan
praktis, dan pengetahuan umum. Fungsi intelektual yang stabil ini disebut
sebagai crystallized intelligent. Sedangkan fungsi intelektual yang
mengalami kemunduran adalah fluid intelligent seperti mengingat daftar,
memori bentuk geometri, kecepatan menemukan kata, penyelesaian
masalah, kecepatan berespon, dan perhatian cepat teralih.
c. Kemampuan pemahaman
Kemampuan pemahaman atau menangkap pengertian pada lansia
mengalami penurunan.Hal ini dipengaruhi oleh konsentrasi dan fungsi
pendengarannya lansia yang mengalami penurunan. Dalam pelayanan
terhadap lanjut usia agar tidak timbul salah paham sebaiknya dalam
komunikasi dilakukan kontak mata (saling pandang). Dengan kontak
mata, mereka akan dapat membaca bibir lawan bicaranya, sehingga
penurunan pendengarannya dapat diatasi dan dapat lebih mudah
memahami maksud orang lain. Sikap yang hangat dalam komunikasi akan
menimbulkan rasa aman dan diterima, sehingga mereka akan lebih
tenang, lebih senang merasa dihormati.
d. Pemecahan masalah (problem solving)
Pada lanjut usia masalah-masalah yang dipahami tentu semakin
banyak. Banyak hal yang dahulunya dengan mudah dapat dipecahkan
menjadi terhambat karena terjadinya penurunan fungsi indra pada lanjut
usia. Hambatan yang lain dapat berasal dari penurunan daya ingat,
pemahaman dan lain-lain,yang berakibat bahwa pemecahan masalah
menjadi lebih lama. Dalam menyikapi hal ini pendekatan pelayanan
kesehatan jiwa lanjut usia perlu diperhatikan ratio petugas kesehatan dan
pasien lanjut usia.
3. Perubahan spiritual
Agama atau kepercayaan lansia makin berintegrasi dalam
kehidupanya.Lansia makin teratur dalam kehidupan keagamaanya.Hal ini
dapat terlihat dalam berfikir dan bertindak sehari-hari. Spiritualitas pada lansia
bersifat universal, interinsik dan merupakan proses individu yang berkembang
sepanjang rentan kehidupan. Karena aliran siklus kehilangan tersebut. Lansia
yang telah mempelajari cara menghadapi perubahan hidup melalui mekanisme
keimanan akhirnya dihadapkan pada tantangan akhir yaitu kematian. Harapan
memunginkan individu dengan keimananspiritual atau religius untuk bersikap
untuk menghadapi krisis kehilangan dalam hidup sampai kematian.
4. Perubahan psikososial
a. Pensiun
Bila seorang pensiun, ia akan mengalami kehilangan-kehilangan antara
lain: Kehilangan finansial, Kehilangan status ( dulu punya jabatan yang
tinggi dan segala fasilitasnya)
b. Keluarga (emptiness): kesendirian, kehampaan.
c. Teman: ketika lansia lainnya meninggal, maka muncul perasaankapan akan
meninggal. Berada di rumah terus-menerus akan cepat pikun (tidak
berkembang).
d. Abuse: kekerasan berbentuk verbal (dibentak) dan nonverbal (dicubit, tidak
diberi makan).
e. Masalah hukum: berkaitan dengan perlindungan aset dan kekayaan pribadi
yang dikumpulkan sejak masih muda.
f. Pensiun: kalau menjadi PNS akan ada tabungan (dana pensiun).Kalau
tidak, anak dan cucu yang akan memberi uang.
g. Ekonomi: kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang cocokbagi lansia
dan income security.
h. Rekreasi: untuk ketenangan batin. i. Keamanan: jatuh, terpeleset.
i. Transportasi: kebutuhan akan sistem transportasi yang cocok bagi lansia.
j. Politik: kesempatan yang sama untuk terlibat dan memberikanmasukan
dalam sistem politik yang berlaku.
k. Pendidikan: berkaitan dengan pengentasan buta aksara dankesempatan
untuk tetap belajar sesuai dengan hak asasi manusia.
l. Agama: melaksanakan ibadah.
m. Panti jompo: merasa dibuang/ diasingkan.

5. Perubahan mental pada lansia


Dalam pekembangan lansia dan perubahan yang dialaminya akibat proses
penuaan digambarkan oleh hal-hal berikut :
a. Keadaan fisik lemah dan tak berdaya, sehingga harusbergantung pada
orang lain.
b. Status ekonominya sangat terancam, sehingga cukup beralasanuntuk
melakukan berbagai perubahan besar dalam pola hidupnya.
c. Menentukan kondisi hidup yang sesuai dengan perubahanstatus
ekonomi dan kondisi fisik.
d. Mencari teman baru untuk menggantikan suami atau istri yangtelah
meninggal atau pergi jauh dan/ atau cacat.
e. Mengembangkan kegiatan baru untuk mengisi waktu luangyang semakin
bertambah.
f. Belajar untuk memperlakukan anak yang sudah besar sebagaiorang
dewasa.
g. Mulai terlibat dalam kegiatan masyarakat yang secara
khususdirencanakan untuk orang dewasa.
h. Mulai merasakan kebahagiaan dari kegiatan yang
sesuai untuklansia dan memiliki kemauan untuk
mengganti kegiatan lama yang berat dengan yang
lebih cocok.

F. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Penuaan


Faktor-faktor yang mempengaruhi penuaan menurut Miller (1995) dalam Tamher,
S dan noorkasiani (2009) faktor yang mempengaruhi penuaan antara lain:
a. Psikologis
Komponen yang beperan adalah kapasitas penyesuaian diri yang terdiri atas
pembelajaran, memory (daya ingat), perasaan kecerdasan, dan motivasi.
Selain hal-hal tersebut, dari aspek psikologis dikenal isu yang erat
hubungannya dengan lansia yaitu teori mengenai timbulnya depresi, gangguan
kognitif, stress serta koping.
b. Biologis
Sebagaimana layaknya manusia yang tumbuh semakin lama semakin tua dan
proses penuaannya bukan karena evolusi akan tetapi karena proses biologis
dan keausan pada tubuh.
c. Sosial
Lingkungan sosial sangat mempengaruhi proses penuaan karena lingkungan
sosial yang nyaman dan bebas dari penyakit menular akan meningkatkan
derajat kesehatan.

H. Permasalahan Yang Timbul Pada Lansia


a. Permasalah Umum
Keberadaan lansia seringkali dipersepsikan secara negatif, dianggap sebagai
beban keluarga dan masyarakat sekitarnya. Lansia cenderung dipandang
masyarakat tidak lebih dari sekelompok orang yang ketergantungan dan
sakit-sakitan, sehinggga untuk mencegah adanya kesakitan tersebut lansia
membutuhkan pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan dan kesejahteraan
sosial pada segmen lansia tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Hal ini
sesuai dengan definisi Geriatri yaitu: “Health and Social Care of the
Elderly”. Paradigma pelayanan kesehatan yang tidak terpisahkan dengan
pelayanan sosial tersebut merupakan karakteristik lansia. Kondisi tersebut
mengakibatkan lansia harus dapat memanfaatkan pelayanan kesehatan dan
sosial yang ada di sekitarnya.
Secara umum, penyakit yang sering dialami pada lansia menurut National
Old People’s Welfare Council yaitu :
1) Depresi mental
2) Gangguan pendengaran
3) Bronkhitis kronis
4) Gangguan pada tungkai atau sikap berjalan
5) Gangguan pada persendian
6) Anemia
7) Demensia
Besarnya jumlah penduduk lansia dan tingginya prosentase kenaikan lansia
memerlukan upaya peningkatan kualitas pelayanan dan pembinaan
kesehatan bagi lanjut usia. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2000
akan meningkat menjadi 209.535.49. jiwa dan jumlah lansianya
15.262.199., berarti 7.28%. Menurut Kinsilla dan Taeuber ( 1993)
peningkatan penduduk lansia dalam waktu 1990-2000 sebesar 41%  dan
merupakan yang tertinggi didunia.
1) Jumlah lansia miskin makin banyak
2) Nilai perkerabatan melemah, tatanan masyarakat makin individualistik
3) Rendahnya kualitas dan kuantitas tenaga profesional yang melayani
lansia
4) Terbatasnya sarana dan fasilitas pelayanan bagi lansia
5) Adanya dampak pembangunan yang merugikan seperti urbanisasi dan
populasi pada kehidupan dan penghidupan lansia.
b. Permasalahan Khusus
1) Terjadinya perubahan normal pada fisik lansia
Perubahan normal (alami) tidak dihindari cepat dan lambatnya perubahan
dipengaruhi oleh faktor kejiwaan, sosial, ekonomi dan medik. Perubahan
akan terlihat pada jaringan organ tubuh seperti: kulit menjadi kering dan
keriput, rambut beruban dan rontok, penglihatan menurun sebagian dan
menyeluruh, pendengaran juga berkurang, daya penciuman berkurang,
tinggi badan menyusut karena proses ostoporosis yang berakibat badan
bungkuk, tulang keropos masanya berkurang, kekuatan berkurang dan
mudah patah, elastisitas jaringan paru berkurang, nafas menjadi pendek,
terjadi pengurangan fungsi organ di dalam perut, dinding pembuluh darah
menebal dan terjadi peningkatan tekanan darah, otot bekerja tidak efisien,
terjadi penurunan fungsi organ reproduksi terutama ditemukan pada
wanita, otak menyusut dan reaksi menjadi lambat terutama pada pria dan
seksualitas tidak selalu menurun
2) Terjadi perubahan abnormal pada fisik lansia
Perubahan fisik pada lansia dapat diperbaiki dan dapat dihilangkan
melalui nasehat atau tindakan medik. Perubahan yang terjadi misalnya:
katarak, kelainan sendi, kelainan prostat dan inkotenensia

I. Penanggulangan Masalah Terkait Proses Penuaan Alami


Dalam mengatasi masalah-masalah yang terjadi sebagai akibat perunahan yang
dialaminya, ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh lansia sebagai upaya
penyesuaian diri terhadap perubahan-perubahan tersebut. Penanggulangan masalah
terkait dengan proses penuaan adalah sebagai berikut :
1. Penanggulangan masalah akibat perubahan fungsi tubuh.
a. Perawatan diri sehari-hari
b. Senam/latihan pergerakan secara teratur
c. Pemeriksaan kesehatan secara rutin
d. Mengikuti kegiatan yang masih mampu dilakukan
e. Minum obat secara teratur jika sakit
f. Memakan makanan yang bergizi
g. Minum paling sedikit delapan gelas setiap sehari
2. Penanggulangan masalah akibat perubahan psikologis
a. Mengenal masalah yang sedang dihadapi
b. Memiliki keyakinan dalam memandang masalah
c. Menerima proses penuaan
d. Memberi nasehat dan pandangan
e. Beribadah secara teratur
f. Terlibat dalam kegiatan sosial maupun keagamaan
g. Sabar dan tawakal
h. Mempertahankan kehidupan seksualnya
3. Penanggulangan masalah akibat perubahan sosial/masyarakat.
a. Memiliki pandangan/wawasan
b. Saling mengunjungi
c. Melakukan kegiatan rekreasi

J. Patofisiologi Proses Penuaan

Proses
Trauma
Penuaan
Intrinsik
Pemecahan Perubahan Ekstrinsik
kondrosit Komponen sendi
Kolagen Perubahan
Progteogtikasi metabolisme
Proses Jaringan sub sendi
penyakit kondrial
degeneratif
yang panjang
MK: Pengeluaran
Kerusakan enzim lisosom
Penatalaksanaan
lingkungan Kerusakan
Kurang matrik
kemampuan kartilago
mengingat Penebalan Perubahan
Kesalahan tulang sendi fungsi sendi
interpretasi
Penyempitan Deformitas
MK: Kurang rongga sendi sendi
pengetahuan Kontraktur
Penurunan MK: Kerusakan
Kekuatan mobilytas fisik
nyeri
MK: Gangguan Hipertrofi
MK: Kurang Citra tubuh
perawatan diri

Distensi Cairan

MK: Nyeri akut


a. Fase 1
Pada saat mencapai usia 25-35 tahun. Pada masa ini produksi hormon mulai
berkurang (mulai mengalami penurunan produksi).Polusi udara, diet yang tak
sehat dan stres merupakan serangan radikal bebas yang dapat merusak sel-sel
tubuh.Di fase ini mulai terjadi kerusakan sel tapi tidak memberi pengaruh pada
kesehatan.Tubuh pun masih bugar terus.Penurunan ini mencapai 14 % ketika
seseorang berusia 35 tahun.
b. Fase 2
Kedua transisi, yakni pada usia 35-45 tahun. Produksi hormon sudah menurun
sebanyak 25%, sehingga tubuh pun mulai mengalami penuaan.Biasanya pada
masa ini, ditandai dengan lemahnya penglihatan (mata mulai mengalami rabun
dekat) sehingga perlu menggunakan kacamata berlensa plus, rambut mulai
beruban, stamina dan energi tubuh pun berkurang. Bila pada masa ini dan
sebelumnya atau bila pada usia muda, kita melakukan gaya hidup yang tidak
sehat bisa berisiko terkena kanker.
c. Fase 3
Puncaknya pada tahap fase klinikal, yakni pada usia 45 tahun ke atas. Pada
masa ini produksi hormon sudah berkurang hingga akhirnya berhenti sama
sekali.perempuan mengalami masa yang disebut menopause sedangkan kaum
pria mengalami masa andropause. Pada masa ini kulit pun menjadi kering
karena mengalami dehidrasi/kulit menjadi keriput, terutama di bagian samping
dan di bawah mata kita, juga kulit tangan kita yang tidak sekencang dulu, tubuh
juga menjadi cepat lelah.

K. Pendekatan Keperawatan Lansia


a. Pendekatan fisik
Perawatan yang memperhatikan kesehatan obyektif, kebutuhan, kejadian-
kejadian yang dialami klien lanjut usia semasa hidupnya, perubahan fisik pada
organ tubuh, tingkat kesehatan yang masih bisa dicapai dan dikembangkan,
dan penyakit yang dapat dicegah atau ditekan progresivitasnya.
Perawatan fisik secara umum bagi klien lanjut usia dapat dibagi atas dua
bagian, yakni :
1) Klien lanjut usia yang masih aktif, yang keadaan fisiknya masih mampu
bergerak tanpa bantuan orang lain sehingga untuk kebutuhan sehari-hari
masih mampu melakukan sendiri.
2) Klien lanjut usia yang pasif atau tidak dapat bangun, yang keadaan
fisiknya mengalami kelumpuhan atau sakit. perawat harus mengetahui
dasar perawatan klien lanjut usia ini terutama tentang hal-hal yang
berhubungan dengan keberhasilan perorangan untuk mempertahankan
kesehatannya. kebersihan perorangan (personal hygiene) sanga penting
dalam usaha mencegah timbulnya peradangan, mengingat sumber
infeksi dapat timbul bila keberihan kurang mendapat perhatian.
b. Pendekatan psikis
Di sini perawat mempunyai peranan penting untuk mengadakan
pendekatan adukatif pada klien lanjut usia, perawat dapat berperan sebagai
supporter, interpreter terhaadap segala sesuatu yang asing, sebagai penamung
rahasia yang pribadi dan sebagai sahabat yang akrab. Perawat hendaknnya
memiliki kesabaran dan ketelitian dalam memberikan kesempatan dan waktu
yang cukup banyak untuk menerima berbagai bentuk keluhan agar para lanjut
usia merasa puas. Perawat harus selalu memegang prinsip “Triple S”, yaitu
sabar, simpatik, dan service.
Bila perawat ingin mengubah tingkah laku dan pandangan mereka
terhadap kesehatan, perawat bisa melakukannya secara perlahan dan bertahap,
perawat harus dapat mendukung mental mereka kea rah pemuasan pribadi
sehingga seluruh pengalaman yang dilaluinya tidak menambah beban, bila
perlu diusahakan agar dimasa lanjut usia ini mereka dapat merasa pua dan
bahagia.
c. Pendekatan sosial
Mengadakan diskusi, tukar pikiran, dan bercarita merupakan salah satu
upaya perawat dalam pendekatan sosial. Memberi kesempatan untuk
berkumpul bersama dengan sesama klien lanjut usia berarti menciptakan
sosialisasi mereka. Pendekatan sosial ini merupakan suatu pegangan bagi
perawat bahwa orang yang dihadapinya adalah mahluk sosial yang
membutuhkan orang lain. Dalam pelaksanaannya perawat dapat menciptakan
hubungan sosial antara lanjut usia dan lanjut usia maupun lanjut usia dan
perawat sendiri.
Perawat memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada para lajut
usia untuk mengadakan komunikasi dan melakukan rekreasi, misalnya jalan
pagi, menonton film, atau hiburan-hiburan lain.
Para lanjut usia perlu dirangsang untuk mengetahui dunia luar, seperti
menonton tv, mendengar radio, atau membaca majalah dan surat kabar. Dapat
disadari bahwa pendekatan komunikasi dalam perawatan tidak kalah
pentingnya dengan upaya pengobatan medis dalam proses penyembuhan atau
ketenangan para klien lanjut usia. 
d. Pendekatan spiritual
Perawat harus bisa memberikan ketenangan dan kepuasan batin dalam
hubungannya dengan Tuhan atau agama yang di anutnya, terutama bila klien
lanjut usia dalam keadaan sakit atau mendekati kematian.

L. Tujuan Asuhan Keperawatan Lansia


a. Agar lanjut usia dapat melakukan kegiatan sehari–hari secara mandiri
dengan:
1) Peningkatan kesehatan (Health Promotion).
2) Pemeliharaan Pencegahan penyakit
3) kesehatan.
Sehingga memiliki ketenengan hidup dan produktif sampai akhir hidup.
b. Mempertahankan kesehatan serta kemampuan dari mereka yang usianya
telah lanjut dengan jalan perawatan dan pencegahan. 
c. Membantu mempertahankan serta membesarkan daya hidup atau
semangathidup klien lanjut usia (Life Support ).
d. Menolong dan merawat klien lanjut usia yang menderita penyakit /
mengalami  gangguan tertentu (kronis maupun akut).
e. Merangsang para petugas kesehatan (dokter, perawat) untuk dapat mengenal
dan menegakkan diagnosa yang tepat dan dini, bila mereka menjumpai suatu
kelainan tertent.Mencari upaya semaksimal mungkin, agar para klien lanjut
usia yang menderita suatu penyakit / gangguan, masih dapat
mempertahankan kebebasan yang maksimal tanpa perlu suatu pertolongan
(Memelihara kemandirian secara maksimal). 

M. Fokus Asuhan Keperawatan Lansia


a. Peningkatan kesehatan (health promotion)
b. Pencegahan penyakit (preventif)
c. Mengoptimalkan fungsi mental.
d. Mengatasi gangguan kesehatan yang umum

N. Konsep Asuhan Keperawatan


Tujuan :
a. Menentukan kemampuan klien untuk memelihara diri sendiri.
b. Melengkapi dasar – dasar rencana perawatan individu.
c. Membantu menghindarkan bentuk dan penandaan klien.
d. Memberi waktu kepada klien untuk menjawab.
Meliputi aspek :
a. Fisik
Wawancara
1) Pandangan lanjut usia tentang kesehatan.
2) Kegiatan yang mampu di lakukan lanjut usia.
3) Kebiasaan lanjut usia merawat diri sendiri.
4) Kekuatan fisik lanjut usia : otot, sendi, penglihatan, dan pndengaran.
5) Kebiasaan makan, minum, istirahat/tidur, BAB/BAK.
6) Kebiasaan gerak badan / olahraga /senam lanjut usia.
7) Perubahan-perubahan fungsi tubuh yang sangat bermakna dirasakan.
8) Kebiasaan lanjut usia dalam memelihara kesehatan dan kebiasaan dalam
minum obat.
9) Masalah-masalah seksual yang telah di rasakan.
Pemeriksaan fisik
1) Pemeriksanaan di lakukan dengan cara inspeksi, palpilasi, perkusi, dan
auskultasi untuk mengetahui perubahan sistem tubuh.
2) Pendekatan yang di gunakan dalam pemeriksanaan fisik,yaitu :
a) Head to toe
b) Sistem tubuh
b. Psikologis
1) Bagaimana sikapnya terhadap proses penuaan.
2) Apakah dirinya merasa di butuhkan atau tidak.
3) Apakah optimis dalam memandang suatu kehidupan.
4) Bagaimana mengatasi stress yang di alami.
5) Apakah mudah dalam menyesuaikan diri.
6) Apakah lanjut usia sering mengalami kegagalan.
7) Apakah harapan pada saat ini dan akan datang.
8) Perlu di kaji juga mengenai fungsi kognitif: daya ingat, proses pikir,
alam perasaan, orientasi, dan kemampuan dalam penyelesaikan masalah.
e. Sosial ekonomi
1) Darimana sumber keuangan lanjut usia
2) Apa saja kesibukan lanjut usia dalam mengisi waktu luang.
3) Dengan siapa dia tinggal.
4) Kegiatan organisasi apa yang di ikuti lanjut usia.
5) Bagaimana pandangan lanjut usia terhadap lingkungannya.
6) Berapa sering lanjut usia berhubungan dengan orang lain di luar rumah.
7) Siapa saja yang bisa mengunjungi.
8) Seberapa besar ketergantungannya.
9) Apakah dapat menyalurkan hobi atau keinginannya dengan fasilitas
yang ada.
f. Spiritual
1) Apakah secara teratur melakukan ibadah sesuai dengan keyakinan
agamanya.
2) Apakah secara teratur mengikuti atau terlibat aktif dalam kegiatan
keagamaan
3) Bagaimana cara lanjut usia menyelesaikan masalah apakah dengan
berdoa.
4) Apakah lanjut usia terlihat tabah dan tawakal.

M. Pengkajian
Perawat mengkaji perubahan pada perkembanga fisiologis, kognitif dan
perilaku sosial pada lansia
 Pengkajian status fungsional :
Pengkajian status fungsional adalah suatu pengukuran kemampuan
seseorang untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari – hari secara
mandiri.Indeks Katz adalah alat yang secara luas digunakan untuk
menentukan hasil tindakan dan prognosis pada lansia dan penyakit kronis.
Format ini menggambarkan tingkat fungsional klien dan mengukur efek
tindakan yang diharapkan untuk memperbaiki fungsi. Indeks ini
merentang kekuatan pelaksanaan dalam 6 fungsi : mandi, berpakaian,
toileting, berpindah, kontinen dan makan.
 Tingkat Kemandirian Lansia :
A : kemandirian dalam hal makan, kontinen, berpindah, ke kamar
mandi, berpakaian dan mandi
B: kemandirian dalam semua aktivitas hidup sehari – hari, kecuali satu
dari fungsi tambahan
C: kemandirian dalam semua aktivitas hidup sehari – hari, kecuali
mandi dan satu fungsi tambahan
D: kemandirian dalam semua aktivitas hidup sehari – hari, kecuali
mandi, berpakaian dan satu fungsi tambahan
E : kemandirian dalam semua aktivitas hidup sehari – hari, kecuali
mandi, berpakaian, ke kamar kecil dan satu fungsi tambahan
F: kemandirian dalam semua aktivitas hidup sehari – hari, kecuali
mandi, berpakaian, ke kamar kecil
G: Ketergantungan pada keenam fungsi tersebut

N. Perubahan Kognitif
Kebanyakan trauma psikologis dan emosi pada masa lanisa muncul akibat
kesalahan konsep karena lansia mengalami kerusakan kognitif. Akan tetapi
perubahan struktur dan fisiologi yang terjadi pada otak selama penuaan tidak
mempengaruhi kemampuan adaptif & fungsi secara nyata (ebersole &hess, 1994)
Pengkajian status kognitif
 SPMSQ (Short Portable mental status Quetionnaire)
Digunakan untuk mendeteksi adanya dan tingkat kerusakan intelektual terdiri
dari 10 hal yang menilai orientasi, memori dalam hubungan dengan
kemampuan perawatan diri, memori jauh dan kemam[uan matematis.
 MMSE (Mini Mental State Exam)
Menguji aspek kognitif dari fungsi mental, orientasi, registrasi,perhatian dank
kalkulasi, mengingat kembali dan bahasa. Nilai kemungkinan paliong tinggi
adalaha 30, dengan nialu 21 atau kurang biasanya indikasi adanya kerusakan
kognitif yang memerlukan penyelidikan leboh lanjut.
 Inventaris Depresi Bec
Berisi 13 hal yang menggambarkan berbagai gejal dan sikap yang behubungan
dengan depresi. Setiap hal direntang dengan menggunakan skala 4 poin untuk
menandakan intensitas gejala

O. Perubahan Psikososial
Lansia harus beradaptasi pada perubahan psikososial yang terjadi pada penuaan.
Meskipun perubahan tersebut bervariasi, tetapi beberapa perubahan biasa terjadi
pada mayoritas lansia.
 Pengkajian Sosial
Hubungan lansia dengan keluarga memerankan peran sentral pada seluruh
tingkat
kesehatan dan kesejahteraan lansia. Alat skrining singkat yang dapat
digunakan untuk mengkaji fungsi social lansia adalah APGAR Keluarga.
Instrument disesuaikan untuk digunakan pada klien yang mempunyai
hubungan social lebih intim dengan teman-temannya atau dengan keluarga.
Nilai < 3 menandakan disfungsi keluarga sangat tinggi, nilai 4 – 6 disfungsi
keluarga sedang.
A : Adaptation
P : Partnership
G :Growth
A :Affection
R : Resolve
 Keamanan Rumah
Perawat wajib mengobservasi lingkungan rumah lansia untuk menjamin tidak
adanya bahaya yang akan menempatkan lansia pada resiko cidera. Faktor
lingkungan yang harus diperhatikan :
 Penerangan adekuat di tangga, jalan masuk & pada malam hari
 Jalan bersih
 Pengaturan dapur dan kamar mandi tepat
 Alas kaki stabil dan anti slip
 Kain anti licin atau keset
 Pegangan kokoh pada tangga / kamar mani
LAPORAN PENDAHULUAN PADA LANSIA DENGAN
OSTEOARTRITIS

A. Definisi
Osteoarthritis (OA) adalah suatu kelainan pada sendi yang bersifat kronik
dan progresif biasanya didapati pada usia pertengahan hingga usia lanjut ditandai
dengan adanya kerusakan kartilago yang terletak di persendian tulang. Kerusakan
kartilago ini bisa disebabkan oleh stress mekanik atau perubahan biokimia pada
tubuh (American College of Rheumatology, 2015).
Osteoarthritis merupakan salah satu tipe penyakit arthritis yang paling umum
terjadi terutama pada orang-orang dengan usia lanjut. Penyakit ini juga disebut
sebagai penyakit sendi degeneratif yang menyerang kartilago, yaitu suatu
jaringan keras tapi licin yang menyelimuti bagian ujung tulang yang akan
membentuk persendian. Fungsi dari kartilago itu sendiri adalah untuk melindungi
ujung tulang agar tidak saling bergesekan ketika bergerak. Pada osteoarthritis,
kartilago mengalami kerusakan bahkan bisa sampai terkelupas sehingga akan
menyebabkan tulang dibawahnya saling bergesekan, menyebabkan nyeri,
bengkak, dan terjadi kekakuan sendi. Semakin lama hal ini akan menyebabkan
struktur sendi berubah menjadi abnormal hingga dapat muncul pertumbuhan
tulang baru yang dinamakan ostheophytes yang akan semakin memperbesar
gesekan dan memperparah nyeri (National Institute of Arthritis and
Muskuloskeletal and Skin Disease, 2015).
Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit degeneratif pada sendi yang biasa
terjadi pada bagian tangan, pinggang dan lutut. OA yang terus dibiarkan dapat
menyebabkan rasa sakit, kekakuan, pembengkakan, dan dapat menyebabkan
kecacatan (Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2017).
B. Klasifikasi
1. Berdasarkan etiologinya,
osteoarthritis dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu OA primer dan OA sekunder.
Osteoartritis primer disebut juga sebagai osteoarthritis idiopatik dimana
penyebabnya tidak diketahui. Namun demikian OA primer ini sering
dihubungkan dengan proses penuaan atau degenerasi. Osteoarthritis sekunder
terjadi disebabkan oleh suatu penyakit ataupun kondisi tertentu, contohnya
adalah karena trauma, kelainan kongenital dan pertumbuhan, kelainan tulang
dan sendi, dan sebagainya (Maya Yanuarti, 2014).
2. Berdasarkan Letaknya,
Osteoarthritis dapat menyerang sendi mana pun. Akan tetapi sendi yang
paling sering terkena adalah sendi yang teletak pada tangan, lutut, panggul,
dan vertebra.
Osteoarthritis pada tangan diduga memiliki karakteristik hereditas dimana
bisa diturunkan dari keluarga. Wanita lebih beresiko mengalami OA pada
tangan dibandingkan laki-laki. Pada kebanyakan wanita terjadi setelah
menopause.Sendi lutut merupakan sendi yang paling sering mengalami
osteoarthritis. Gejala dari osteoarthritis pada lutut ini adalah kekakuan sendi,
bengkak, dan nyeri yang dapat menyebabkan kesulitan berjalan dan
melakukan aktifitas lain. Osteoarthritis pada lutut dapat menyebabkan
disabilitas.
Osteoarthritis pada sendi panggul juga merupakan kasus tersering setelah
osteoarthritis pada lutut. Gejala yang dirasakan juga hampir sama dengan
osteoarthritis pada lutut, namun bedanya pada kasus ini gejala akan terasa
pada bagian panggul.
Osteoarthritis pada vertebra dapat memunculkan kekakuan dan nyeri pada
bagian leher maupun bagian punggung bawah. Pada beberapa kasus
perubahan struktur tulang yang disebabkan oleh penyakit ini dapat
menyebabkan terjadinya penekanan saraf yang terletak di columna vertebralis.
3. Berdasarkan Derajat
Derajat osteoarthritis dapat diberikan berdasarkan temuan-temuan
radiografis. Kriteria osteoarthritis berdasarkan temuan radiografis dikenal
sebagai kriteria Kellgren dan Lawrence yang membagi osteoarthritis dimulai
dari tingkat ringan hingga berat. Perlu diingatkan bahwa pada awal penyakit,
gambaran radiografis sendi masih terlihat normal. Gambaran radiografi yang
menyokong diagnosis osteoarthritis adalah (Felson, 2008):
a. Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada bagian
yang menanggung beban seperti lutut).
b. Peningkatan densitas tulang subkondral (sklerosis).
c. Kista pada tulang.
d. Osteofit pada pinggir sendi.
e. Perubahan struktur anatomi sendi
Tabel 2. Kriteria Derajat OA Berdasarkan KL

Grade 0: Normal, Tidak tampak adanya tanda-tanda OA pada radiologis.


Grade 1: Ragu-ragu, tanpa osteofit.
Grade 2: Ringan, osteofit yang pasti, tidak terdapat ruang antar sendi.
Grade 3: Sedang, osteofit sedang, terdapat ruang antar sendi yang cukup besar
Grade 4: Berat atau parah, osteofit besar, terdapat ruang antar sendi yang lebar
dengan sklerosis pada tulang subkondral.
C. Etiologi
Berdasarkan etiologi, OA dibagi menjadi 2 yaitu OA primer dan OA
sekunder. OA primer (idiopatik) terjadi karena kelainan genetik, yaitu adanya
degenerasi artikular yang belum jelas penyebabnya (Maharani, 2007). Sedangkan
OA sekunder sering disebabkan oleh trauma dan imobilitas yang terlalu lama,
kelainan endokrin, penyakit metabolik, faktor bawaan, inflamasi, infeksi dan
sebab lainnya (Altman, 1987). Pada OA sekunder, tulang rawan artikular dapat
rusak oleh trauma atau gangguan inflamasi sebelumnya, sehingga dapat menekan
sintesis proteoglikan dengan cara perilisan enzim oleh sel sinovial dan leukosit
yang dapat menyebabkan pengurangan proteoglikan dari matriks, dan
pengurangan cairan sinovial yang diturunkan interleukin-1 (IL-1) (Solomon et
al., 2010).
D. Epidemiologi
Menurut organisasi kesehatan dunia World Health Organization (WHO)
dalam Sabara (2017), prevalensi penderita osteoartritis di dunia pada tahun 2016
mencapai 151,4 juta jiwa dan 27,4 juta jiwa berada di Asia Tenggara. Di
Indonesia, prevalensi osteoarthritis mencapai 5% pada usia <40 tahun, 30% pada
usia 40-60 tahun, dan 65% pada usia >61 tahun. Untuk osteoartritis lutut
prevalensinya cukup tinggi yaitu 15,5% (Sabara, 2017).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Centers for Disease Control
and Prevention (2017), 38% (17 juta) penderita penyakit rematik di Amerika
Serikat mengeluhkan keterbatasan fungsi fisik akibat dari pada penyakitnya.
Sementara, berdasarkan hasil penelitian dari Qing (2015) prevalensi nyeri
rematik di beberapa negara ASEAN adalah, 26.3% Bangladesh, 18.2% India,
23.6-31.3% Indonesia, 16.3% Filipina, dan 14.9% Vietnam. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut, Negara Indonesia mempunyai prevalensi nyeri rematik yang
cukup tinggi dimana keadaan seperti ini dapat menurunkan produktivitas Negara
akibat keterbatasan fungsi fisik penderita yang berdampak terhadap kualitas
hidupnya.
Menurut sumber dari Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI
tahun 2014, memperlihatkan 10 penyakit tersering/terbanyak yang diderita
kelompok lansia pada tahun 2013. Nampak jenis penyakit yang mendominasi
adalah golongan penyakit tidak menular, penyakit kronik dan degeratif, terutama
golongan penyakit kardiovaskular. Dari data 10 penyakit terbanyak pada lansia
tahun 2013 itu, Arthritis/Osteoarthritis menempati rank ke dua setelah hipertensi
dengan prevalensi menurut kelompok umur 55 – 64 tahun (45%), 65 – 74 tahun
(51,9%) dan 75+ tahun (54,8%). Di Indonesia angka osteoartritis masih cukup
tinggi yaitu mencapai 36,5 juta orang dimana prevalensi terbesar terjadi pada
usia lebih dari 75 tahun yaitu sebesar 58,8%. Pada usia 65-74 tahun sebesar 51,9
%, usia 55-64 tahun sebesar 45,0%, dan usia 45-54 tahun sebesar 37,2 %. Angka
kejadian osteoartritis di Indonesia banyak terjadi pada jenis kelamin perempuan
yaitu 27,5% dan jenis kelamin laki-laki yaitu 21,8% (Riskesdas, 2013).

E. Faktor Risiko
1. Faktor Endogenous
a. Usia,
Dengan pertambahan usia akan terjadi penurunan volume kartilago,
kandungan proteoglikan, vaskularisasi kartilago, dan perfusi kartilago.
Perubahan ini dapat menyebabkan perubahan karakteristik yang dapat
ditemukan pada gambaran radiologi, termasuk penipisan pada celah
persendian, dan timbulnya ostheopite. Prevalensi dan beratnya
osteoarthritis semakin meningkat dengan bertambahnya umur.
Osteoarthritis hampir tak pernah pada anak-anak, jarang pada umur
dibawah 40 tahun dan sering pada umur diatas 60 tahun. Perubahan fisik
dan biokimia yang terjadi sejalan dengan bertambahnya umur dengan
penurunan jumlah kolagen dan kadar air, dan endapannya berbentuk
pigmen yang berwarna kuning. (Carlos J Lozada et al, 2015).
b. Jenis Kelamin
Pada usia dibawah 55 tahun, distribusi sendi OA pada laki-laki dan
perempuan sama, pada usia lanjut OA pinggul lebih sering terjadi pada
laki-laki, sedangkan OA sendi antar jari tangan, pangkal jempol, dan lutut
sering terjadi pada perempuan. OA lutut simptomatik lebih sering terjadi
pada perempuan dibanding laki-laki (Buys and Elliott, 2008).
Frekuensi OA lebih banyak pada wanita daripada pria diperkirakan
karena turunnya kadar estrogen yang signifikan setelah menopause.
(Soeroso et al., 2014). Pada kartilago terdapat reseptor estrogen yang
mempengaruhi banyak penyakit inflamasi dengan merubah pergantian
sel, metabolisme, dan pelepasan sitokin. Ini membuktikan bahwa estrogen
berperan dalam osteoarthritis (Depkes, 2006) .
c. Obesitas,
Pasien dengan obesitas seringkali berpeluang untuk terkena OA
lutut dan tangan. Kelebihan berat badan akan menambah beban lebih
tinggi sehingga sendi akan menahan beban lebih besar. Pembebanan lutut
dan panggul dapat menyebabkan kerusakan kartilago, kegagalan ligamen
dan kerusakan struktur tulang lain (Soeroso et al., 2014). Untuk OA lutut
yang parah, resiko akan meningkat menjadi 1,9% pada laki- laki dan
3,2% pada perempuan (Brandt, 2014). Setiap penambahan berat 0,5 kg,
tekanan total pada satu lutut meningkat sebesar 1–1,5 kg dan setiap
penambahan 1 kg pada lutut meningkatkan risiko terjadinya OA sebesar
10%. Bagi pasien dengan obesitas, setiap penurunan berat walau hanya 5
kg akan mengurangi fakor risiko OA di kemudian hari sebesar 50%
(Depkes, 2006).Pada penderita OA, perempuan maupun laki-laki
mengalami peningkatan kepadatan mineral tulang pada beberapa tempat
di tulang kerangka. Pasien obesitas mempunyai densitas tulang yang lebih
tinggi, tetapi juga meningkatkan risiko terjadinya OA (Depkes, 2006).
d. Faktor Genetik
Faktor keturunan mempunyai peran terhadap terjadinya OA. Pada
sendi jari tangan (nodus Heberden) ibu dari wanita yang terkena OA,
akan beresiko 2 kali lebih sering mengalami OA dan anak-anak
perempuannya cenderung 3 kali lebih sering dibandingkan dengan ibu
dan anak–anak perempuan dari wanita tanpa OA (Soeroso et al., 2014).
Sinovitis yang terjadi seringkali dihubungkan dengan adanya mutasi
genetik. Gen tersebut adalah gen prolagen II atau gen–gen struktural lain
untuk unsur tulang rawan sendi seperti kolagen IX dan XII, protein
pengikat atau proteoglikan (Soeroso et al., 2014). Gen tersebut berkaitan
dengan peningkatan pirofosfat intraselular 2 kali lipat, dimana deposit
pirofosfat diyakini dapat menyebabkan sinovitis. Pengaruh faktor genetik
mempunyai kontribusi sekitar 50% terhadap risiko terjadinya OA tangan
dan panggul, dan sebagian kecil OA lutut (Depkes, 2006).
e. Ras
Prevalensi dan pola terkena sendi pada OA berbeda setiap suku
bangsa (Soeroso et al, 2014). OA lutut pada penderita di negara Eropa
dan Amerika tidak berbeda, sedangkan suatu penelitian membuktikan
bahwa ras Afrika–Amerika memiliki risiko menderita OA lutut 2 kali
lebih besar dibandingkan ras Kaukasia. Penduduk Asia juga memiliki
risiko menderita OA lutut lebih tinggi dibandingkan ras Kaukasia. OA
lebih sering ditemukan pada orang Amerika asli daripada orang berkulit
putih. Populasi kulit berwarna lebih banyak terserang OA dibandingkan
kulit putih (Maharani, 2007; Brandt, 2014). Hal ini mungkin berkaitan
dengan cara hidup, maupun perbedaan pada frekuensi kelainan kongenital
dan pertumbuhan (Soeroso et al., 2014)
f. Aktivitas Fisik yang Berat
Pekerjaan berat maupun dengan pemakaian sendi secara terus–
menerus dapat berkaitan dengan peningkatan resiko OA Soeroso et al,
2014). Tetapi, di sisi lain seseorang yang memiliki aktivitas minim sehari-
hari juga berisiko mengalami OA lutut. Ketika seseorang tidak melakukan
gerakan, aliran cairan sendi akan berkurang dan berakibat aliran nutrisi
yang masuk ke sendi juga berkurang. Hal tersebut akan mengakibatkan
proses degeneratif menjadi berlebihan (Maharani, 2007
g. Olahrga dan Cedera Sendi
Cidera sendi dan olahraga dapat menimbulkan terjadi peningkatan
resiko OA yang lebih tinggi. Atlit memiliki resiko 2-3 kali lipat lebih
tinggi terkena OA lutut dan pinggul. Hasil penelitian lain mengevaluasi
risiko OA pada atlet profesional pria yang mengalami cidera pergelangan
kaki, lutut, pinggul akan mengalami OA pada umur >65 tahun. Tetapi
dampak aktivitas fisik pada penyebab dan resiko terkena OA juga
tergantung pada jenis, intensitas dan komponen aktivitas fisik. Trauma
lutut yang akut terjadi karena robekan pada ligamentum krusiatum dan
meniskus merupakan faktor risiko timbulnya OA lutut. Umur pada saat
cedera akan mempengaruhi peningkatan risiko OA. Cedera ligamen pada
manula cenderung menyebabkan OA berkembang lebih cepat dibanding
orang muda dengan cedera yang sama (Soeroso et al, 2014; Depkes,
2006). Pada pasien yang mengalami riwayat cedera pinggul akan
memiliki risiko 2,1 kali lipat OA panggul unilateral dan 1,5 kali lipat
memiliki OA pinggul bilateral (Juhakoski, 2013).

F. Patofisiologi
Penyakit sendi degeneratif merupakan suatu penyakit kronik, tidak
meradang, dan progresif lambat, yang seakan-akan merupakan proses penuaan,
rawan sendi mengalami kemunduran dan degenerasi disertai dengan
pertumbuhan tulang baru pada bagian tepi sendi. Proses degenerasi ini
disebabkan oleh proses pemecahan kondrosit yang merupakan unsur penting
rawan sendi. Pemecahan tersebut diduga diawali oleh stress biomekanik tertentu.
Pengeluaran enzim lisosom menyebabkan dipecahnya polisakarida protein yang
membentuk matriks di sekeliling kondrosit sehingga mengakibatkan kerusakan
tulang rawan. Sendi yang paling sering terkena adalah sendi yang harus
menanggung berat badan, seperti panggul lutut dan kolumna vertebralis. Sendi
interfalanga distal dan proksimasi.
Osteoartritis pada beberapa kejadian akan mengakibatkan terbatasnya
gerakan. Hal ini disebabkan oleh adanya rasa nyeri yang dialami atau diakibatkan
penyempitan ruang sendi atau kurang digunakannya sendi tersebut. Perubahan-
perubahan degeneratif yang mengakibatkan karena peristiwa-peristiwa tertentu
misalnya cedera sendi infeksi sendi deformitas congenital dan penyakit
peradangan sendi lainnya akan menyebabkan trauma pada kartilago yang bersifat
intrinsik dan ekstrinsik sehingga menyebabkan fraktur ada ligamen atau adanya
perubahan metabolisme sendi yang pada akhirnya mengakibatkan tulang rawan
mengalami erosi dan kehancuran, tulang menjadi tebal dan terjadi penyempitan
rongga sendi yang menyebabkan nyeri, kaki kripitasi, deformitas, adanya
hipertropi atau nodulus. (Renny 2014).
G. Pathway

Faktor resiko lain


Genetik Trauma
Umur > 60 tahun jenis kelamin wanita

Proses penuaan Instrinsik/


Bentuk panggul ekstrinsik
Penurunan
hormonal melebar
Proses degeneratif panjang
(estrogen, Peradangan
progesteron) pada sendi yang
Tekanan besar
Penurunan jumlah cairan berlebihan
pada sendi
sinovial pada sendi

Penurunan absorbsi
kalsium

Osteoartritis

Pemecahan kondrosit Perubahan komponen sendi (kolagen,


prostiogtikas, jaringan sub kondrial)
Pengeluaran enzim lisosom
Perubahan fungsi sendi

Kerusakan matrik kartilago Resiko tekanan keras


Deformitas sendi terus menerus

Penebalan tulang sendi


Kesulitan bergerak
Resiko cedera

Penyempitan rongga sendi Hambatan mobilitas fisik


Defisit Perawatan
Diri
Inflamasi sendi Kelemahan berjalan

Pelepasan mediator nyeri Resiko jatuh

Nyeri akut/ kronis


H. Manifestasi Klinis
Gejala utama OA lutut adalah adalah nyeri setelah sendi digunakan dan hilang
setelah istirahat Terutama nyeri saat berlutut, jongkok, bangkit dari duduk, naik
tangga dan mengangkat beban berat. Umumnya muncul dengan perlahan, awalnya
terasa kaku, kemudian akan disertai dengan rasa nyeri yang akan berkurang saat
sedang istirahat. Terjadi hambatan pada gerak sendi, misalnya kaku di pagi hari,
krepitasi, pembesaran sendi dan perubahan gaya berjalan. Pada penyakit yang lebih
berat nyeri dapat timbul hanya sedikit gerakan atau saat istirahat. Gejala lain adalah
kekakuan pada pagi hari yang kurang dari 30 menit (Teruna, 2015).
Menurut tim Handicap International (2013) gejala-gejala OA berbeda-beda pada
setiap orang. Beberapa orang hanya merasakan sakit ringan dan kekakuan, pada
orang lain gejalanya parah dan melumpuhkan.
a. Nyeri, Ini adalah gejala awal dan biasanya diperparah oleh penggunaan sendi
dan berkurang dengan istirahat.
b. Kekakuan sendi sementara setelah masa istirahat (seperti bangun tidur di
pagi hari atau setelah duduk dalam waktu lama). Kekakuan cenderung menghilang
setelah menggunakan persendian selama 5-15 menit.
c. Pembengkakan dan kemerahan pada persendian.
d. Kelemahan otot-otot di sekitar sendi yang terkena, kadang-kadang
menimbulkan perasaan ketidakstabilan sendi.
e. Pengurangan mobilitas dan fleksibilitas sendi.
f. Perasaan atau suara berderak ketika menggerakkan sendi.
g. Kelelahan yang menyertai rasa sakit pada persendian.
h. Kesulitan menggunakan persendian.
i. Bunyi pada setiap persendian (crepitus). Gejala ini tidak menimbulkan rasa
nyeri, hanya rasa tidak nyaman pada setiap persendian (umumnya lutut).
j. Perubahan bentuk tulang hal ini akibat jaringan tulang rawan yang semakin
rusak, tulang mulai berubah bentuk dan meradang, menimbulkan rasa sakit
yang amat sangat.
Khusus pada lutut nyeri muncul oleh karena adanya gerakan lutut, tandanya
seperti sendi terkunci, nyeri saat mau bangkit dari kursi, nyeri saat bangkit
dari duduk di lantai atau saat dari berdiri ke duduk di lantai, kelemahan otot-
otot tungkai.
I. Komplikasi
Menurut Suriani (2013) komplikasi yang di timbulkan oleh Osteoarthritis antra
lain :
a. Gangguan pada waktu berjalan karena adanya pembengkakan akibat
peradangan.
b. Terjadi kekakuan pada sendi lutut karena peradangan yang
berlangsung lama sehingga struktur sendi akan mengalami
pelengketan.
c. Terjadi atrofi otot karena adanya nyeri.
d. Menurunya fungsi otot akan mengurangi stabilitas sendi teritama sendi
penumpu berat badan , sehingga dapat meperburuk keadaan penyakit dan
menimbulkan deformitas.
J. Pemeriksaan Penunjang
Untuk menentukan diagnostik OA selain melalui pemeriksaan fisik juga
diperlukan pemeriksaan penunjang seperti radiologis dan pemeriksaan
laboratorium. Foto polos dapat digunakan untuk membantu penegakan diagnosis
OA walaupun sensivitasnya rendah terutama pada OA tahap awal. USG juga
menjadi pilihan untuk menegakkan diagnosis OA karena selain murah, mudah
diakses serta lebih aman dibanding sinar-X, CT-scan atau MRI (Amoako dan
Pujalte, 2014).
Pemeriksaan radiologi, Setiap sendi yang menyangga berat badan dapat terkena
osteoartritis, seperti panggul, lutut, selain itu bahu, tangan, pergelangan tangan,
dan tulang belakang juga sering terkena. Gambaran radiologi OA sebagai
berikut:
1. Pembentukan osteofit: pertumbuhan tulang baru (semacam taji) yang
terbentuk di tepi sendi.
2. Penyempitan rongga sendi : hilangnya kartilago akan menyebabkan
penyempitan rongga sendi yang tidak sama. Badan yang longgar : badan yang
longgar terjadi akibat terpisahnya kartilago dengan osteofit.
3. Kista subkondral dan sklerosis: peningkatan densitas tulang di sekitar sendi
yang terkena dengan pembentukan kista degeneratif
4. Bagian yang sering terkena
a. OA Lutut :Sering terjadi hilangnya kompartemen femorotibial pada
rongga sendi, Kompartemen bagian medial merupakan penyangga
tubuh yang utama, tekanannya lebih besar sehingga hampir selalu
menunjukkan penyempitan paling dini.
b. Tulang belakang : Terjadi penyempitan rongga diskus, Pembentukan
tulang baru (spuring/pembentukan taji) antara vertebra yang berdekatan
sehingga dapat menyebabkan keterlibatan pada akar syaraf atau kompresi
medula spinalis, Sklerosis dan osteofit pada sendi-sendi apofiseal
invertebrata.
c. Panggul : Penyempitan pada sendi disebabkan karena menyangga berat
badan yang terlalu berat, sehingga disertai pembentukan osteofit femoral
dan asetabular, Sklerosis dan pembentukan kista subkondral, Penggantian
total sendi panggul menunjukkan OA panggul yang sudah berat.
d. Tangan : Biasanya mengenai bagian basal metakarpal pertama, Sendi-
sendi interfalang proksimal ( nodus Bouchard ), Sendi-sendi interfalang
distal ( nodus Heberden ) (Patel, 2007).
K. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan OA bertujuan untuk mencegah atau menahan kerusakan lebih
lanjut pada sendi yang terkena/disabilitas, mengatasi nyeri dan kekakuan sendi
dan mempertahankan mobilitas. Penanganan dapat meliputi:
1. Farmakologi
Berikut nama-nama obat yang umumnya diberikan pada pasien dengan OA
a) Acetaminophen/Ibuprofen/Aspirin
Merupakan obat pertama yang direkomendasikan oleh dokter karena relatif
aman dan efektif untuk mengurangi rasa sakit. Aspirin dan Ibuprofen dapat
membantu dalam mengontrol sinovitis.
b) NSAIDs (nonsteroidal anti inflammatory drugs)
Dapat mengatasi rasa sakit dan peradangan pada sendi. Pada orang tua
biasanya menimbulkan efek samping, misalnya gangguan pada lambung
c) Suplemen sendi/cairan sendi artifisial
Suplemen sendi seperti Glukosamin dan Chondroitin, masing-masing
memiliki fungsi yaitu:
d) Glukosamine adalah bahan pembentukan proteoglycan, bekerja dengan
merangsang pertumbuhan tulang rawan, serta menghambat perusakan tulang
rawan.
e) Chondroitin Sulfat berguna untuk merangsang pertumbuhan tulang rawan dan
menghambat perusakan tulang rawan.Cairan sendi ini dapat juga membantu
meredakan nyeri dan diberikan sementara dengan jangka waktu 6 bulan.
(Kowalak, Welsh&Mayer, 2012; Price&Wilson, 2013; Paramitha, 2011)

2. NonFarmakologi
a) Klien dianjurkan untuk menjaga BB yang ideal untuk mengurangi tekanan
atau beban pada sendi dengan olahraga yang teratur, diet.
b) Klien perlu menjaga keseimbangan antara istirahat, bekerja dan berolahraga
c) Klien dapat menggunakan alat bantu berupa kruk, korset, tongkat penipang,
walker ataupun traksi untuk menstabilkan sendi dan mengurangi tekanan pada
sendi.

d) Fisioterapi
Fisioterapi berperan penting pada penatalaksanaan osteoartritis, yang meliputi
pemakaian panas dan dingin dan program latihan yang tepat. Program latihan
bertujuan untuk memperbaiki gerak sendi dan memperkuat otot yang biasanya
atrofi pada sekitar sendi osteoartritis. Latihan isometrik lebih baik daripada
isotonik karena mengurangi tegangan pada sendi. Atrofi rawan sendi dan
tulang yang timbul pada tungkai yang lumpuh timbul karena berkurangnya
beban ke sendi oleh karena kontraksi otot. Oleh karena otot-otot periartikular
memegang peran penting terhadap perlindungan rawan senadi dari beban,
maka penguatan otot-otot tersebut adalah penting.

e) Terapi panas atau dingin


Terapi panas digunakan untuk mengurangi rasa sakit, membuat otot-otot
sekitar sendi menjadi rileks dan melancarkan peredaran darah. Terapi panas
dapat diperoleh dari kompres dengan air hangat / panas, sinar IR (infra merah)
dan alat-alat terapi lainnya. Terapi dingin digunakan untuk mengurangi
bengkak pada sendi dan mengurangi rasa sakit. Terapi dingin biasanya dipakai
saat kondisi masih akut. Dapat diperoleh dengan kompres dengan air dingin.

f) Dukungan psikososial
Dukungan psikososial diperlukan pasien osteoartritis oleh karena sifat
penyakitnya yang menahun dan ketidakmampuan yang ditimbulkannya.
Disatu pihak pasien ingin menyembunyikan ketidakmampuannya, dipihak lain
dia ingin orang lain turut memikirkan penyakitnya. Pasien osteoartritis sering
kali keberatan untuk memakai alat-alat pembantu karena faktor-faktor
psikologis. (Kowalak, Welsh&Mayer, 2012; Price&Wilson, 2013; Paramitha,
2011)
g) Pemberian Ekstrak Jahe
Selain itu Teknik non farmakologis dengan pemberian ekstrak jahe juga
dapat mengurangi nyeri pada osteoarthritis. Jahe memiliki sifat pedas, panas
dan aromatic dari oleoresin seperti zingaron, gingerol dan shogaol. Teknik
komplementer dengan pemberian boreh jahe juga mampu mengurangi nyeri
yang diderita penderita osteoarthritis. Jahe memiliki sifat pedas, pahit dan
aromatic dari oleoresin seperti zingaron, gingerol dan shogaol. Gingerol dan
shogaol memiliki berat molekul yang menunjukan potensi yang baik untuk
penetrasi kulit. Boreh jahe yang dibalurkan pada sendi yang nyeri akan
mengakibatkan stratum korneum pada kulit menjadi lebih permeabel,
sehingga mampu meningkatkan pembukaan ruang intraseluler dan tejadinya
ekspansi. Permeabilitas yang terjadi mengakibatkan gingerol dan shogaol
melewati kulit, masuk ke sirkulasi sistemik dan memberikan efek terapi anti-
inflamasi.(Ningsih, N., 2013).
Sejalan dengan penjelasan diatas, menurut hasil penelitian dari
Farizal,et.al (2016) disebutkan bahwa rerata skala nyeri osteoarthritis sebelum
diberi kompres jahe lebih tinggi disbanding rerata skala nyeri osteoarthritis
sesudah diberi kompres jahe, dan ada perbedaan skala nyeri osteoarthritis
pada lanjut usia yang signifikan antara sebelum dan sesudah diberi kompres
jahe.Hal ini didukung oleh teori dari Swarbrick & Boylan (2002) bahwa
tanaman jahe bermanfaat untuk mengurangi nyeri osteoarthritis karena jahe
memiliki sifat pedas, pahit dan aromatic dari oleoresin seperti zingaron,
gingerol dan shogaol. Kandungan air dan minyak tidak menguap pada jahe
berfungsi sebagai penetrasi yang dapat meningkatkan permeabilitas, oleoresin
menembus kulit tanpa menyebabkan iritasi atau kerusakan hingga ke sirkulasi
perifer (Farizal,et.al,2016).
L. Pencegahan
OA dapat dicegah dengan beberapa hal berikut:

1) Menjaga berat badan


2) Olahraga yang tidak banyak menggunakan persendian
3) Aktifitas olahraga sesuai kebutuhan
4) Jaga keseimbangan antara olahraga, bekerja dan istirahat
5) Menghindari perlukaan pada persendian.
6) Minum suplemen sendi
7) Mengkonsumsi makanan sehat
8) Memilih alas kaki yang tepat dan nyaman
9) Lakukan relaksasi dengan berbagai teknik
10) Hindari gerakan yang meregangkan sendi jari tangan.
11) Jika ada deformitas pada lutut, misalnya kaki berbentuk O, jangan dibiarkan.
Hal tersebut akan menyebabkan tekanan yang tidak merata pada semua
permukaan tulang.(Kowalak, Welsh&Mayer, 2012)

M. ASUHAN KEPERAWATAN PADA OSTEOARTRITIS


1. Pengkajian
a) Identitas pasien
1) Meliputi nama, umur usia. (Usia merupakan faktor resiko terbesar
terjadinya OA (Markenson, 2004). OA hampir tidak pernah terjadi pada
anak-anak dan jarang terjadi dibawah 40 tahun dan sering terjadi diatas
usia 40 sampai 60 tahun (Soeroso, 2007). Pada penuaan terjadi perubahan
morfologi dan fungsi kondrosit. Perubahan ini menyebabkan degradasi
kartilago immature yang cepat saat dirangsang oleh interleukin-1 (IL-1)
(Thobias & Sharif, 2003)).
2) Jenis kelamin (Osteoarthritis lebih banyak terjadi pada wanita, hal ini
menunjukkan adanya peran hormonal (Soeroso et al., 2007). Insiden
kejadian OA pada wanita meningkat tajam bersamaan dengan menopouse
(Jordan, 2006). Pada saat menopouse terjadi penurunan sekresi estrogen
(Jones, 2002). Reseptor estrogen dapat mengenali permukaan osteoblas
dan osteoklas dan pada penelitian in vitro didapatkan hasil bahwa hormon
seks wanita mampu memodifikasi kondrosit pada kondisi kultur
(American Academy of Orthopedic, 2004).
3) Alamat, agama/kepercayaan, pendidikan, suku/bangsa (Osteoarthritis dua
kali lebih sering dijumpai pada orang kulit hitam dari pada orang kulit
putih (Kasjmir, 2003). Hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan cara
hidup maupun perbedaan pada frekuensi kelainan kongenital dan
pertumbuhan (Soeroso et al., 2007).
4) Pekerjaan
b) Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering ditemukan pada klien dengan penyakit
muskoloskeletal seperti osteoarhritis adalah klien mengeluh nyeri pada
persendian yang terkena, adanya keterbatasan gerak yang menyebabkan
keterbatasan mobilitas.
c) Riwayat Kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat kesehatan saat ini berupa uraian mengenai penyakit yang di
derita oleh klien dari mulai timbulnya keluhan yang dirasakan sampai
klien dibawa ke rumah sakit, dan apakah pernah memeriksakan diri ke
tempat lain selain rumah sakit umum serta pengobatan apa yang pernah
diberikan dan bagaimana perubahannya dan data yang didapatkan saat
pengkajian.
b. Riwayat Kesehatan Dahulu
Riwayat kesehatanyang lalu seperti riwayat penyakit muskoloskeletal
sebelumnya, riwayat pekerjaan pada pekerja yang berhubungan dengan
adanya riwayat penyakit muskoloskeletal, penggunaan obat-obatan,
riwayat mengkonsumsi alkohol dan merokok.
c. Riwayat Penyakit Keluarga
Yang perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang menderita penyakit
yang sama karena faktor genetik/keturunan.
d) Riwayat psikososial 
 Faktor-faktor stress akut/kronis (misalnya finansial pekerjaan,
ketidakmampuan, faktor-faktor hubungan.
 Keputusasaan dan ketidakberdayaan (situasi ketidakmampuan).
 Ancaman pada konsep diri, gambaran tubuh, identitas pribadi,
misalnya ketergantungan pada orang lain.
e) Pemeriksaan Fisik
Pada osteoartritis pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan dilakukan
pada pasien yang pertama adalah pengukuran berat badan dan tinggi badan
kemudian pemeriksaan tanda-tanda vital seperti pengukuran suhu, denyut
nadi, pernafasan, dan tekanan darah sehingga didapatkan hasilnya tekanan
darah 130/80 mmHg, denyut nadi 88kali/menit, pernafasan 20kali/menit, dan
suhu 36,40 C.
Selain itu pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan pemeriksaan fisik
otot dan sendi dengan cara inspeksi, palpasi dan pergerakan pada sendi bahu,
siku, pergelangan tangan dan tangan (dengan tambahan tes sensoris jari untuk
menguji integritas dari n. ulnaris pada palmar dan dorsal manus: digiti IV
bagian medial dan digiti V, n.radialis pada dorsum manus: digiti I, II, III,
Ivbagian lateral, dan n.medianus pada palmar: digiti I, II, III, IV bagian
lateral), coxae (dengan tambahan tes thomas pada keadaan tidur terlentang),
lutut, dan pergelangan kaki dan kaki. Pada pemeriksaan fisik pasien
osteoartritis didapatkan ; Inspeksi : Terdapat asimetrisitas, pembesaran sendi
yang mengalami peradangan, dilihat ada tidaknya kemerahan di area sendi
tersebut. Adanya nodus Herbeden. Palpasi : Didapatkan nyeri tekan dan
dirasakan panas. Ditemukan juga adanya krepitasi, dimana terdengar suara
gemeretak “kretek-kretek” seperti suara krupuk yang diremukkan.
f) Pemeriksaan Reviews Of System (ROS)
1) Sistem Pernafasan
Dapat ditemukan peningkatan frekuensi nafas atau masih dalam batas
normal.
2) Sistem Sirkulasi
Kaji adanya penyakit jantung, frekuensi nadi apical, sirkulasi perifer,
warna dan kehangatan.
3) Sistem Persarafan
Kaji adanya hilangnya gerakan, spasme otot, terlihat kelemahan fungsi.
Pergerakan mata,dilatasi pupil.
4) Sistem Perkemihan
Perubahan pola berkemih seperti inkontinensia urin, disuria, distensi
kandung kemih, warna dan bau urin, dan kebersihannya.
5) Sistem Pencernaan
Konstipasi, konsiten feses, frekuensi eliminasi, auskultasi bising usus,
anoreksia, adanya distensi abdomen, nyeri tekan abdomen.
6) Sistem Muskoloskeletal
Kaji adanya nyeri berat tiba-tiba/mungkin terlokalisasi pada area jaringan,
dapat berkurang pada imobilisasi, kekuatan otot, kontraktur, atrofi otot,
laserasi kulit dan perubahan warna.
g) Pola Fungsi Kesehatan
Yang perlu dikaji adalah aktivitas apa saja yang bisa dilakukan sehubungan
dengan adanya nyeri pada persendian, ketidakmampuan mobilisasi.
1. Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat : Menggambarkan
persepsi, pemeliharaan dan penanganan kesehatan.
2. Pola Nutrisi : Menggambarkan masukan nutrisi, balance cairan, dan
elektrolit, nafsu makan, pola makan, diit, kesulitan menelan, mual/muntah
dan makanan kesukaan.
3. Pola Eliminasi : Menjelaskan pola fungsi eksresi, kandung kemih, defekasi,
ada tidaknya masalah defekasi, masalah nutrisi dan penggunaan kateter.
4. Pola Tidur dan Istirahat : Menggambarkan pola tidur, istirahat dan persepsi
terhadap energi, jumlah jam tidur pada siang dan malam, masalah tidur,
dan insomnia.
5. Pola Aktivitas : Menggambarkan pola latihan, aktivitas, fungsi pernafasan
dan sirkulasi, riwayat penyakit jantung, frekuensi, irama.
6. Pola Hubungan dan Peran : Menggambarkan dan mengetahui hubungan
dan peran klien terhadap anggota keluarga dan masyarakat tempat tinggal,
pekerjaan, tidak punya rumah, dan masalah keuangan.
7. Pola Sensori Kognitif : Menjelaskan persepsi sensori dan kognitif. Pola
persepsi sensori meliputi pengkajian penglihatan, pendengaran, perasaan
dan pembau.
8. Pola Persepsi dan Konsep Diri Menggambarkan sikap tentang diri sendiri
dan persepsi terhadap kemampuan konsep diri. Konsep diri
menggambarkan gambaran diri, harga diri, peran, identitas diri, manusia
sebagai sistem terbuka dan makhluk bio-psiko-sosio-kultural-spiritual,
kecemasan, ketakutan dan dampak terhadap sakit.
9. Pola Seksual dan Reproduksi : Menggambarkan kepuasan/masalah
terhadap seksualitas
10. Pola Mekanisme Penanggulangan Stress dan Koping. Menggambarkan
kemampuan untuk menangani stress.
11. Pola Tata Nilai dan Kepercayaan Menggambarkan dan menjelaskan pola,
nilai keyakinan termasuk spiritual.
2. Diagnosa Keperawatan
a) Nyeri akut/ kronis berhubungan dengan agen cedera biologis
b) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan deformitas skeletal, nyeri,
penurunan, kekuatan otot.
c) Defisit Perawatan Diri b.d kelemahan
d) Resiko jatuh dengan faktor resiko usia diatas 65 tahun, hambatan mobilitas
fisik, fisiologis artritis
e) Resiko cedera dengan faktor resiko perubahan mobilitas
3. Perencanaan dan Implementasi (Bulechek et al, 2016, Herdman et al, 2014;
Moorhead et al, 2016)
Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi
Nyeri akut/ kronis Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri
berhubungan dengan agen keperawatan selama 1x60 1. Kaji terkait keluhan
cedera biologis menit diharapkan nyeri nyeri
dapat terkontrol, dengan 2. Anjurkan menghindari
kriteria hasil: gerakan yang menyentak
Kontrol nyeri tiba-tiba.
1. Menunjukkan nyeri 3. Ajarkan teknik non
hilang/ terkontrol farmakologi (relaksasi,
2. Terlihat rileks, dapat distraksi, relaksasi
tidur/beristirahat dan progresif) atau masase
berpartisipasi dalam yang lembut
aktivitas sesuai 4. Berikan kompres hangat
kemampuan maupun jika dibutuhkan
menggunakan teknik 5. Kolaborasi pemberian
non farmakologi untuk analgetik yang tepat
mengurangi nyeri
3. Mengikuti program
farmakologis yang
diresepkan
Hambatan mobilitas fisik Setelah dilakukan tindakan Terapi Latihan
berhubungan dengan keperawatan selama 1x6 1. Evaluasi/ lanjutkan
deformitas skeletal, nyeri, jam diharapkan mobilitas pemantauan tingkat
penurunan, kekuatan otot. fisik baik dengan kriteria inflamasi/ rasa sakit pada
hasil: sendi
Tingkat mobilitas 2. Pertahankan istirahat
1. Mempertahankan fungsi tirah baring/ duduk jika
posisi dengan tidak diperlukan jadwal
hadirnya/ pembatasan aktivitas untuk
kontraktur. memberikan periode
2. Mempertahankan istirahat yang terus
ataupun meningkatkan menerus dan tidur
kekuatan dan fungsi malam hari yang tidak
dari dan/ atau terganggu.
kompensasi bagian 3. Bantu dengan rentang
tubuh gerak aktif/pasif,
3. Mendemonstrasikan demikiqan juga latihan
tehnik/ perilaku yang resistif dan isometris jika
memungkinkan memungkinkan
melakukan aktivitas 4. Ubah posisi dengan
sering dengan jumlah
personel cukup.
5. Demonstrasikan/ bantu
tehnik pemindahan dan
penggunaan bantuan
mobilitas
6. Kolaborasi: konsul
dengan fisoterapi.

Defisit Perawatan Diri b.d Setelah dilakukan tindakan NIC : Self Care (1801)
Kelemahan keperawatan 1x pertemuan - Observasi kemampuan
diharapkan masalah defisit klien untuk mandi,
perawatan diri teratas berpakaian dan makan.
dengan kriteria hasil : - Bantu klien dalam
1. Dapat melakukan ADL posisi duduk, yakinkan
2. Klien terhindar dari bau kepala dan bahu tegak
badan dan mulut selama makan dan 1
jam setelah makan
- Hindari kelelahan
sebelum makan, mandi
dan berpakaian
- Dorong klien untuk
tetap makan sedikit tapi
sering
NIC : Bantuan
perawatan diri (1802)

- Tentukan kemampuan
dan tingkat kekurangan
dalam melakukan
perawatan diri.
- Beri motivasi kepada
klien untuk tetap
melakukan aktivitas
sesuai kemampuan.
- Berikan bantuan
perawatan diri sesuai
kebutuhan.
- Berikan umpan balik
positif untuk setiap
usaha yang
dilakukannya.
- Kolaborasi dengan ahli
fisioterapi
Resiko jatuh dengan faktor Setelah dilakukan tindakan Pencegahan jatuh
resiko usia diatas 65 tahun, keperawatan selama 1x 1. Identifikasi gangguan
hambatan mobilitas fisik, pertemuan diharapkan tidak kognitif dan gangguan
fisiologis artritis terjadi jatuh dengan kriteria fisik yang dapat
hasil: meningkatkan potensial
Resiko jatuh: jatuh.
3. Menggunakan 2. Identifikasi karakteristik
pelindung untuk lingkungan yang dapat
mencegah jatuh meningkatkan potensial
4. Menghindari lantai yang jatuh seperti lantai yang
tidak rata dan licin licin dan jalanan tangga
5. Menggunakan alas kaki tanpa pengaman dan
yang baik untuk ruangan yang gelap.
mencegah jatuh 3. Monitor langkah,
keseimbangan, dan level
kelelahan dengan
ambulasi/pergerakan.
4. Instruksikan untuk
meminta bantuan
keluarga pada saat akan
berpindah/berjala
5. Gunakan alat-alat
pelindung jatuh seperti
sepatu yang alasnya
tidak licin dan tongkat.
6. Hindari permukaan
lantai yang tidak rata
pada saat
berpindah/berjalan
7. Berikan penerangan
yang adekuat terutama
dimalam hari untuk
meningkatkan
ketajaman penglihatan.
Resiko cedera dengan Setelah dilakukan tindakan Manajemen lingkungan)
faktor resiko perubahan selama 1 x pertemuan 1. Sediakan Iingkungan
mobilitas diharapkan tidak terjadi yang aman untuk pasien
cedera pada klien dengan 2. Identifikasi kebutuhan
kriteria hasil: keamanan pasien, sesuai
Kontrol resiko dengan kondisi fisik dan
1. Klien terbebas dari fungsi kognitif pasien
cedera dan riwayat penyakit
2. Klien mampu terdahulu pasien
menjelaskan 3. Menghindarkan
cara/metode untuk lingkungan yang
mencegah injury/cedera berbahaya (misalnya
3. Klien mampu memindahkan
menjelaskan faktor perabotan)
resiko dari 4. Memasang side rail
lingkungan/perilaku tempat tidur
personal 5. Menyediakan tempat
4. Mampu memodifikasi tidur yang nyaman dan
gaya hidup untuk bersih
mencegah injury 6. Menempatkan saklar
5. Menggunakan fasilitas lampu ditempat yang
kesehatan yang ada mudah dijangkau
6. Mampu mengenali pasien.
perubahan status 7. Membatasi pengunjung
kesehatan 8. Menganjurkan keluarga
untuk menemani pasien.
9. Mengontrol lingkungan
dari kebisingan
10. Memindahkan barang-
barang yang dapat
membahayakan
11. Berikan penjelasan
pada pasien dan
keluarga atau
pengunjung adanya
perubahan status
kesehatan dan penyebab
penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
Aspriani, Reny Yuli, 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gerontik, Jilid 1,Jakarta:
Cv Trans Info Media
Bulecheck,G. N & Doctherman, J. M. (2008). Nursing Intervensions Classification
(NIC), Fifth Edition. St. Louis : Mosby – Year Book
Farizal,Jon.et.al. 2016. Kompres Jahe Merah Berpengaruh terhadap Penurunan Skala
Nyeri Osteoartritis pada Lanjut Usia di Wilayah Kerja Puskesmas Kampung
Delima. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kesehatan. Bengkulu : Poltekes
Kemenkes Bengkulu.
Herdman, T. H. (2018). Diagnosa Keperawatan: Defenisi dan Klasifikasi 2018
– 2020 (NANDA). Jakarta : EGC ( terjemahan Budi Anna Keliat,dkk,2018)
Herdman, T. Heater dan Shigemi Kamitsuru. 2018. Nanda International Inc.
Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC.
Kowalak, J. P, Welsh, W. & Mayer, B. (2012). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC
Kellgren, JH., Lawrence, JS., 1957. Radiogical assessment of osteoarthritis. Annals
of the rheumatic diseases. Ann rheum Diss. Vol 4. P. 494 – 502
Nugroho, Wahjudi. 2014. Keperawatan Gerontik dan Geriatik Edisi 3. Jakarta: EGC.
Nurjannah, Intansari. 2016. ISDA Intan’s Screening Diagnoses Assesment Versi
Bahasa Indonesia (2016). Yogyakarta: Mocomedia.
Nurjannah, Intisari. 2015. Nursing Interventions Classification (NIC) Pengukuran
Outcomes Kesehatan Edisi Keenam Edisi Bahasa Indonesia. Indonesia:
Elsevier.
Nurjannah, Intisari. 2015. Nursing Outcomes Classification (NOC) Pengukuran
Outcomes Kesehatan Edisi Kelima Edisi Bahasa Indonesia. Indonesia:
Elsevier.
Lukman dan Ningsih,N. 2013. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan
Sistem Muskuloskeletal, Jakarta : Salemba Medika.
Riskesdas., 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian Dan
Pengembangan Kesehatan. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Soeroso, Juwono., Isbagio, Harry., Kalim, Handono., Broto, Rawan., Pramudyo,
Riyadi., 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Ke-6 Jakarta: Internal
Publishing, Hal. 3197-3209
Yanuarty,M. 2014. Hubungan antara Faktor Risiko Osteoartritis Lutut Dengan Nyeri,
Disabilitas dan Berat RingannyaOsteoartritis.Jurnal Medika Muda.
Semarang : Fakultas Kedokteraan Universitas Diponegoro.

Anda mungkin juga menyukai