Anda di halaman 1dari 29

I.

PENDAHULUAN

Arthritis adalah peradangan dari satu atau lebih sendi. Sebenarnya terdapat
100 macam arthritis dengan penyebab yang berbeda, namun arthritis yang umum
diantaranya adalah osteoarthritis dan reumatoid arthritis. Osteoarthritis adalah
jenis arthritis yang paling banyak ditemukan di Amerika maupun Indonesia dan
penderitanya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Osteoarthritis terjadi
karena pengumpulan dan gesekan pada sendi selama tahunan. Penyakit radang
sendi ini paling sering terjadi pada usia di atas 50 tahun dan perempuan lebih
banyak menderita osteoarthritis daripada laki-laki sedangkan dan obesitas
merupakan salah satu faktor yang dapat mencetuskan penyakit ini. Walaupun
jarang, penyakit ini bisa juga diderita oleh usia yang lebih muda akibat terbentur
benda keras (Anies, 2006; Yatim, 2006).
Reumatoid arthritis adalah penyakit autoimun dan menyerang persendian
secara simetris dan menyebabkan kerusakan sendi. Penyakit ini terjadi pada
sekitar 1% dari jumlah penduduk. Perempuan dua sampai tiga kali lebih sering
terkena RA dibandingkan laki-laki. Biasanya muncul pada usia 25 sampai 50
tahun, namun bisa terjadi pada usia berapapun (Anies, 2006; Yatim, 2006).
Pada RA, penyakit ini menyerang sendi akibat sistem kekebalan tubuh yang
mengenali sel asing secara tidak terkendali. Molekul sel sinyal seperti Tumor
Necrosis Factor (TNF) dan interleukin masuk ke aliran darah, menyebabkan
demam, pembengkakan, dan gejala lainnya tidak terlihat pada osteoarthritis.
Peradangan yang disebabkan oleh RA dapat menyebabkan kerusakan jantung,
paru-paru, dan kerusakan mata (Anies, 2006).
Osteoarthritis dan reumatoid arthritis merupakan radang sendi yang memiliki
beberapa persamaan. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui penyebab,
gejala, perjalanan penyakit sampai penatalaksanaan kedua penyakit ini.
Penatalaksanaan arthritis bervariasi tergantung pada jenisnya. Tujuan utama dari
pengobatan arthritis adalah untuk mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas
hidup pasien (Chang-Miller, 2013).
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Osteoartritis adalah penyakit degeneratif sendi noniflamatorik yang
ditandai dengan degenerasi cartilago articularis, hipertrofi tulang pada tepi-
tepinya, dan perubahan pada membran sinovial, disertai nyeri dan kekakuan
(Dorland, 2011).
Rheumatoid arthritis adalah penyakit sistemik kronik yang terutama
menyerang sendi, ditandai dengan perubahan akibat radang pada membran
sinovial dan struktur artikular, adanya atrofi dan penipisan tulang. Pada
stadium lanjut, terdapat deformitas dan ankilosis (Dorland, 2011).
Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit inflamasi autoimun yang
biasanya melibatkan berbagai sendi di jari, jempol, pergelangan tangan, siku,
bahu, lutut, kaki, dan pergelangan kaki. Penyakit autoimun terjadi karena
tubuh melepaskan enzim yang menyerang jaringan normal sendiri. Pada RA,
enzim ini merusak lapisan-lapisan dari sendi sehingga menyebabkan nyeri,
pembengkakan, kekakuan, malformasi, dan mengurangi fungsi dan gerakan
sendi (Soeroso et all, 2007).

B. Etiologi dan Predisposisi


Berdasarkan perjalanan penyakitnya, osteoartritis dibedakan menjadi dua
yaitu osteoartritis primer dan osteoartritis sekunder. Osteoartritis primer
disebut juga osteoartritis idiopatik yaitu osteoartritis yang kausanya tidak
diketahui dan tidak ada hubungannya dengan penyakit sistemik maupun
proses perubahan lokal pada sendi. Osteoartritis sekunder adalah osteoartritis
yang didasari oleh adanya kelainan endokrin, inflamasi, metabolik,
pertumbuhan, herediter, jejas mikro dan makro serta imobilisasi yang terlalu
lama (Soeroso J et all, 2007).

Berikut ini adalah beberapa faktor resiko yang terkait terjadinya


osteoartritis, yaitu :
1. Usia
Usia merupakan determinan utama pada osteoartritis (Dewi, 2009).
Dari semua faktor resiko untuk timbulnya osteoatritis, faktor tua adalah
yang terkuat (Soeroso J et all, 2007). Osteoartritis lebih sering di derita
usia lanjut, meskipun usia muda juga dapat menderita hal yang sama.
Pada pria yang berusia kurang dari 45 tahun, osteoartritis yang terjadi
terutama terkait dengan riwayat trauma yang dimiliki. berdasarkan bukti-
bukti radiografi. Pada individu yang berusia 45-65 tahun terdapat 30%
kasus osteoartritis, dan pada usia di atas 80 tahun terdapat lebih dari 80%
kasus (Shiddiqui, 2008; Lozada, 2008; Stitik 2008).
2. Jenis Kelamin
Baik pria maupun wanita bisa menderita penyakit ini. perbedaan
utama isidensi antara pria dengan wanita tersebut terkait dengan area yang
dipengaruhi oleh osteoartritis. Pada wanita, sendi yang sering osteoartritis
adalah sendi interphalangeal distal, sendi interphalangeal proksimal,
sendi carpometacarpal pertama, sendi metatarsophalangeal, pinggul
(pada usia 55-64 tahun). Sedangkan pada pria yang berusia 65-74 tahun,
punggul dan lutut lebih sering terkena osteoartritis dari pada wanita
(Stitik, 2006) (Dewi SK, 2009). Secara keseluruhan, di bawah 45 tahun
frekuensi osteoartritis kurang lebih sama pada laki-laki dan wanit, tetapi
di atas 50 tahun (setelah menopause) frekuensi lebih banyak pada wanita
daripada pria. Hal ini menunjukan adanya peran hormonal pada
patogenesis osteoartritis (Soeroso J et all, 2007).
3. Suku bangsa
Prevalensi dan pola sendi yang terkena pada osteoartritis nampaknya
terdapat perbedaan di antara masing-masing suku bangsa. Misalnya
osteoartritis paha lebih jarang di antara orang-orang kulit hitam dan asia
dari pada Kaukasia. Osteoartritis lebih sering di jumpai orang-orang
Amerika asli (Indian) dari pada orang-orang kulit putih. Hal ini mungkin
berkaitan dengan perbedaan cara hidup maupun perbedaan pada frekuensi
kelainan kongenital dan pertumbuhan (Soeroso et all, 2007).
4. Genetik
Faktor herediter juga berperan pada timbulnya osteoartritis misalnya,
pada ibu dari seorang wanita dengan osteoartritis sendi-sendi interfalang
distal (nodus Heberden) terdapat 2 kali lebih sering osteoartritis pada
sendi-sendi tersebut, dan anak-anak perempuannya cenderung
mempunyai 3 kali lebih sering, dari pada ibu dan anak perempuan-
perenpuan dari wanita tanpa osteoartritis tersebut. Adanya mutasi dalam
gen prokolagen II atau gen-gen struktural lain untuk unsur-unsur tulang
rawan sendi seperti kolagen tipe X dan XII, protein pengikat atau
proteoglikan dikatakan berperan dalam timbulnya kecenderungan familial
pada osteoartritis tertentu (terutama osteoartritis banyak sendi) (Soeroso J
et all, 2007).
5. Obesitas dan penyakit metabolik
Berat badan yang berlebihan nyata berkaitan dengan meningkatnya
resiko untuk timbulnya osteoartritis baik pada wanita maupun pada pria.
Kegemukan ternyata tak hanya berkaitan dengan osteoartritis pada sendi
yang menggangu beban, tapi juga dengan osteoartritis sendi lain (tangan
atas sternoklavikula). Oleh karena itu di samping faktor mekanisme yang
berperan (karena meningkatkan beban mekanis), diduga terdapat faktor
lain (metabolik) yang berperan dalam timbulnya kaitan tersebut. Peran
faktor metabolik dan hormonal pada kaitan antara osteoartritis dengan
penyakit jantung koroner, diabetes melitus dan hipertensi. Pasien-pasien
osteoartritis ternyata mempunyai resiko penyakit jantung koroner dan
hipertensi yang lebih tinggi dari pada orang-orang tanpa osteoartritis
(Soeroso J et all, 2007).
6. Riwayat trauma sebelumya
Trauma pada suatu sendi yang terjadi sebelumnya, biasanya
mengakibatkan jejas atau malformasi sendi yang akan meningkatkan
resiko terjadinya osteoartritis. Trauma berpengaruh terhadap kartilago
artikuler, ligament, atau menikus yang menyebabkan biomekanika sendi
menjadi abnormal, dan memicu terjadinya degenerasi premature
(Shiddiqui, 2008).
7. Pekerjaan
Osteoartritis lebih sering terjadi pada mereka yang pekerjaannya
memberikan tekanan pada sendi-sendi tertentu. jenis pekerjaan juga
mempengaruhi sendi mana yang cenderung terkena osteoartritis. Sebagai
comtoh, pada tukang jahit, osteoartritis lebih sering terjadi di daerah lutut,
sedangkan pada buruh bangunan sering terjadi di daerah pinggang (Dewi
SK, 2009).
8. Kelainan pertumbuhan
Kelainan kongenital dan pertumbuhan paha (misalnya penyakit
perthes dan dislokasi kongenital paha) telah dikaitkan dengan timbulnya
osteoartritis paha pada usia muda. Mekanisme ini juga diduga berperan
pada lebih banyaknya osteoartritis paha pada laki-laki dan ras tertentu
(Soeroso J et all, 2007).
9. Faktor-faktor lain
Tingginya kepadatan tulang dikatakan dapat meningkatkan resiko
timbulnya osteoartritis. Hal ini mungkin timbul karena tulang yang lebih
padat (keras) tak membantu mengurangi benturan beban yang di terima
oleh tulang tawan sendi. akibatnya tulang rawan sendi menjadi lebih
mudah sobek. Faktor ini berperan pada lebih tingginya osteoartritis pada
orang gemuk dan pelari (yang umumnya mempunyai tulang yang lebih
padat) dan kaitan negatif antara osteoporosis dan osteoartritis. Merokok
dilaporkan menjadi faktor yang melindungi untuk timbulnya osteoartritis,
meskipun mekanismenya belum jelas (Soeroso et all, 2007).

Sedangkan etiologi dan predisposisi dari rheumatoid arthritis adalah


sebagai berikut :
1. Faktor Genetik
Penyebab penyakit rheumatoid arthritis (RA) belum diketahui secara
pasti. Terdapat interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan
lingkungan. Faktor genetik berperan penting terhadap kejadian RA,
dengan angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%. Hubungan
HLA class II histocompatibility antigen, DRB1-9 beta chain (HLA-
DRB1) dengan kejadian RA telah diketahui dengan baik, walaupun
beberapa lokus non-HLA juga berhubungan dengan RA seperti daerah
18q21 dari gen TNFRSR11A yang mengkode aktivator reseptor nuclear
factor kappa B (NF-B) (Suarjana, 2009).
Gen ini berperan penting dalam resorpsi tulang pada RA. Faktor
genetik juga berperanan penting dalam terapi RA karena aktivitas enzim
seperti methylenetetrahydrofolate reductase dan thiopurine
methyltransferase untuk metabolisme methoraxate dan azathioprine
ditentukan oleh faktor genetik. Pada kembar monozigot mempunyai
angka kesesuaian untuk berkembangnya RA lebih dari 30% dan pada
orang kulit putih dengan RA yang mengekspresikan HLA-DL1 atau
HLA-DR4 mempunyai angka kesesuaian sebesar 80% (Suarjana, 2009).
2. Hormon Seksual
Prevelansi RA lebih besar pada perempuan dibandingkan dengan laki-
laki, sehingga diduga hormon seks berperanan dalam perkembangan
penyakit ini. Pada observasi didapatkan bahwa terjadi perbaikan gejala
RA selama kehamilan. Perbaikan ini diduga karena adanya aloantibodi
dalam sirkulasi maternal yang menyerang HLA-DR sehingga terjadi
hambatan fungsi epitop HLA-DR yang mengakibatkan perbaikan
penyakit. Selain itu, terdapat juga perubahan profil hormon. Placental
corticotropin releasing hormone secara langsung menstimulasi sekresi
dehidroepiandrosteron (DHEA), yang merupakan androgen utama pada
perempuan yang dikeluarkan oleh sel-sel adrenal fetus (Suarjana, 2009).
Androgen bersifat imunosupresi terhadap respon imun selular dan
humoral. DHEA merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen
plasenta. Estrogen dan progesteron menstimulasi respon imun humoral
(Th2) dan menghambat respon imun selular (Th1). Oleh karena pada RA
respon Th1 lebih dominan sehingga estrogen dan progesteron mempunyai
efek yang berlawanan terhadap perkembangan RA. Pemberian
kontrasepsi oral dilaporkan mencegah kemungkinan RA atau
berhubungan dengan penurunan insiden RA yang lebih berat (Suarjana,
2009).
3. Faktor Infeksi
Beberapa virus dan bakteri diduga sebagai agen penyebab. Organisme
diduga menginfeksi sel induksi sel induk semang (host) dan merubah
reaktivitas atau respon sel T sehingga mencetuskan timbulnya penyakit.
Walaupun belum ditemukan agen infeksi yang secara nyata terbukti
sebagai penyakit (Suarjana, 2009).

Agen Mekanisme patogenik


infeksi
Mycoplasma Infeksi sinovial langsung,
superantigen
Parvovirus Infeksi sinovial langsung
B19
Retrovirus Infeksi sinovial langsung
Enteric Kemiripan molekul
bacteria
Mycobacteria Kemiripan molekul
Epstein-Barr Kemiripan molekul
Virus
Bacterial Cell Aktivasi mikrofag
Walls
Tabel 2.1. Agen Infeksi yang Diduga sebagai Penyebab RA (Suarjana,
2009).

4. Protein heat shock (HSP)


HSP adalah protein yang diproduksi oleh sel pada semua spesies
sebagai respon terhadap stress. Protein ini mengandung untaian
(sequence) asam amino homolog. HSP tertentu manusia dan HSP
mikobacterium tuberkulosis mempunyai untain 65% yang homolg.
Hipotesisnya dalah antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pad agen
infeksi dan sel host. Hal ini memfasilitasi reaksi silang limfosit dengan sel
host sehingga mencetuskan reaksi imunologis. Mekanisme ini dikenal
sebagai kemiripan molekul (molecular mimicry) (Suarjana, 2009).

C. Patofisiologi
Patofisiologi kedua penyakit ini sedikit berbeda. Osteoartritis tanpa
disertai peradangan sedangkan rheumatois artritis disertai reaksi peradangan.
Osteoartritis (OA) merupakan gangguan pada sendi yang bersifat kronik,
berjalan progresif lambat, tanpa peradangan, dan ditandai oleh adanya
deteriorasi dan abrasi rawan sendi dan adanya pembentukan tulang baru pada
permukaan persendian. Penyakit ini pernah dianggap sebagai suatu proses
penuaan normal, yaitu ausnya sendi karena bertambahnya usia. Tetapi,
penelitian terbaru dalam bidang biokimia dan bimekanik telah menyanggah
teori tersebut (Price, 2005).
Berdasarkan patofisiologi, penyakit ini ditandai dengan hilangnya
kartilago yang lebih sering terjadi pada area yang menumpu beban berat,
sklerosis tulang subkondral, kista subkondral, peningkatan aliran darah
metaphyseal, dan inflamasi synovial (Brandt, 2003).
Hilangnya kartilago pada kasus OA disebabkan oleh disorganisasi dan
degradasi komponen kartilago. Di mana, faktor mekanis, seperti tumpuan
beban berat, menyebabkan pelepasan enzim (kolagenase dan stromelysin)
menyebabkan pemecahan proteoglikan dan gangguan kolagen tipe II.
Akibatnya, terdapat kehilangan matriks kartilago terutama pada permukaan
medial kartilago (Brashers, 2007).
Faktor kunci mekanisme tersebut diperankan oleh interaksi sel
extracellular matrix (ECM) yang dimediasi oleh integrin. Pada kondisi
normal, integrin mengatur produksi ECM yang berperan dalam mengatur
pertumbuhan dan perkembangan tulang, juga mengatur homeostasis
kartilago. Pada kondisi OA, ekspresi integrin menjadi abnormal,
mengakibatkan perubahan produksi ECM dan memodifikasi sintesis
kondrosit, yang diikuti oleh kondisi ketidakseimbangan penghancuran sitokin
terhadap faktor regulator (Ianonne, 2003).
Beberapa jenis sitokin, seperti interleukin-1, TNF- dan sitokin lainnya
mengaktifkan degradasi enzimatik pada matriks kartilago dengan tidak
diimbangi sintesis faktor penghambat yang adekuat. Selain itu, sitokin
inflamasi (interleukin-1/IL-1, prostaglandin E2/ PGE 2, faktor nekrosis tumor
/ TNF , interleukin-6/ IL-6, oksida nitrat) meningkatkan inflamasi sendi
dan degradasi kartilago, sehingga memperparah hilangnya kartilago pada OA
(Brasher, 2007; Ianonne, 2003).
Pada kondisi normal, hilangnya kartilago akan dikompensasi oleh
pembentukan proteoglikan dan kolagen baru. Kondrosit merupakan sel yang
bertugas membentuk proteoglikan dan kolagen tersebut pada kartilago. Pada
kasus OA, kondrosit menjadi tidak responsif terhadap faktor pertumbuhan,
seperti transforming growth factor- dan insulin-like growth factor, dan tidak
mampu sepenuhnya mengompensasi kehilangan matriks. Sejumlah kecil
kartilago tipe I menggantikan tipe II yang normal, sehingga terjadi perubahan
pada diameter dan orientasi serat kolagen yang mengubah biomekanika pada
kartilago. Ketidakseimbangan sintesis dan degradasi kartilago ditandai abrasi
cekungan dan fisura pada permukaan artikular (Brasher, 2007; Price, 2005).
1. Pada tingkat selanjutnya, perkembangan penyakit OA akan menyebabkan
(Brasher, 2007):
2. Overhidrasi dan pembengkakan kartilago artikular.
3. Degradasi matriks dan overhidrasi mengakibatkan kehilangan kekakuan
dan elasitisitas kompresif pada transmisi yang memberikan tekanan
mekanis besar ke tulang subkondral.
4. Tulang trabekular subkondral rusak dan kehilangan peredaman
benturan hidraulik normalnya, sehingga dapat membentuk krista tulang.
5. Mekanisme perbaikan pada tepi permukaan artikular (interfase tulang-
kartilago) mengakibatkan peningkatan sintesis kartilago dan pembentukan
tulang berlebihan yang dinamakan osteofit.
Beberapa pasien ditemukan memiliki berbagai bentuk kristal kalsium
yang terkonsenstrasi dalam kartilago artikular yang rusak. Patogenesis
deposisi kristal belum jelas, tetapi berhubungan dengan lebih cepatnya
progresi penyakit pada pasien tersebut (Brasher, 2007).
Kelainan-kelainan fisiologis tubuh yang dapat timbul pada kasus OA,
diantaranya (Soeroso, 2009):
1. Nyeri Sendi
2. Hambatan gerakan sendi
3. Kaku pagi
4. Krepitasi
5. Pembesaran sendi (deformitas)
6. Perubahan gaya berjalan
Nyeri OA dipercaya diakibatkan oleh tiga penyebab mayor: nyeri akibat
gerakan dari faktor mekanis, nyeri saat istirahat akibat inflamasi sinovial, dan
nyeri malam hari akibat hipertensi intraoseus (Brasher, 2007).
Rheumatoid arthritis (RA) sedikit berbeda dengan osteoarthritis, RA
adalah suatu penyakit sistemik kronis dengan etiologi yang tidak diketahui.
Karakteristik dari rheumatoid arthritis adalah adanya suatu peradangan sendi
synovial, keterlibatan sendi yang simetris. Tanda khas dari penyakit ini adalah
adanya peradangan sendi synovial yang menyebabkan kerusakan dari tulang
rawan dan erosi tulang, dimana hal ini berakibat pada perubahan integritas
sendi (McInnes, 2007).
Proses inflamasi pada celah sendi synovial dan cairan persendian
menyebabkan gejala nyeri pada sendi dan pembengkakan. Hal ini merupakan
akibat dari pelepasan prostaglandin dan leukotrien dari sel
polymorphonuclear. Penghancuran tulang rawan dan tulang disebabkan oleh
adanya inflammatory proteinases dan prostanoids yang diaktifkan oleh
limfosit dan monosit. Dipercayai bahwa sel T adalah pencetus dalam proses
pathogenesis rheumatoid arthritis. Adanya interaksi antara sel T dan dendritic
sel pada kelenjar limfe akan mengaktifasi lebih jauh sel T dan menyebabkan
peningkatan populasi sel T dan kemudian akan mengaktifkan sel B. Sel T
kemudian bermigrasi menuju jaringan synovial, lebih lanjut lagi peningkatan
sel T dan aktifasi sel B akan menghasilkan antibody seperti rheumatoid
factor dan anticyclic citrullinated peptide (CCP) antibody (McInnes, 2007).

Keterlibatan sel T yang yang Proses skema pembentukan


menstimulasi monosit, makrofag dan interleukin-1 (IL-1) dan tumor
syinovial fibroblas untuk necrosis factor- (TNF-) oleh
memproduksi interleukin-1, monosit, dimana IL-1 bertanggung
interleukin-6 dan TNF-. Juga sel T jawab dalam menstimulasi pelepasan
akan mengaktifkan sel B yang lebih prostaglandin E2(PGE2), sedangkan
lanjut lagi peningkatan sel T dan TNF- merupakan kunci dalam proses
aktifasi sel B akan menghasilkan pengaktifan matriks proteinase.
ntibody seperti rheumatoid factor dan
anticyclic citrullinated peptide (CCP)
antibody.

Gambar 2.1. Patofisiologi Rheumatoid Artritis. (McInnes, 2007).


Aktifasi sel T menstimulasi monosit, makrofag dan syinovial fibroblas
untuk memproduksi interleukin-1, interleukin-6 dan TNF-. Produksi
interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis factor- (TNF-) oleh monosit
merupakan proses sentral dalam peradangan. Dalam kenyataannya, IL-1
bertanggung jawab dalam menstimulasi pelepasan prostaglandin E 2(PGE2),
sedangkan TNF- merupakan kunci dalam proses pengaktifan matriks
proteinase. Jaringan synovial yang terprolifikasi setelah diaktifkan
selanjutnya akan menginvasi struktur tulang rawan dan tulang dan kemudian
bersifat sebagai tumor invasive local. Sitokin seperti IL-6, terinduksi oleh IL-
1 dan TNF- , sedangkan IL -1 sendiri berperan dalam fitur-fitur sistemik
antara lain demam dan nyeri otot (McInnes, 2007).
Pada rheumatoid arthritis terjadi penumpukan dari IL-1 pada permukaan
dinding sendi synovial. Karena potensinya sebagai mediator kerusakan sendi,
IL-1 menjadi bagian dalam terjadinya rheumatoid arthritis. IL-1 adalah
sitokin yang memiliki aktifitasi imunologis dan pro-inflamasi dan memiliki
kemampuan untuk menginduksi dirinya secara otomatis (Srirangan, 2010).
Didapatkan kenyataan bahwa tingkat aktifitas penyakit dalam rheumatoid
arthritis dan kerusakan sendi yang progresif berhubungan dengan kadar IL-1
dalam plasma dan cairan snovial. IL-1 menstimulasi PGE2 dan nitric oxide
dan matrix metalloprotease dimana kemudian mengkibatkan degradasi sendi
(Alfarez, 2009).

D. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Tanda dan gejala yang muncul bila sudah terjadi manifes pada OA dan
RA sebagai berikut :
a) Nyeri
Nyeri merupakan keluhan utama yang menyebabkan orang
mencari pengobatan. Beberapa penyebab langsung nyeri adalah
sinovium, osteofit, kapsul sendi dan ligament periartikular
direnggangkan oleh efusi, spasme otot dan persepsi nyeri individual
(Tulaar, 2006). Nyeri muncul pada saat sendi lutut digerakkan dan
sedikit berkurang setelah istirahat. Apabila penyakitnya bertambah
buruk, maka nyeri dapat timbul meskipun dalam keadaan istirahat.
Nyeri biasanya meningkat pada musim hujan atau musim dingin
(Merdikoputro, 2006).

b) Kekakuan sendi
Kekakuan sendi biasanya muncul pada pagi hari atau setelah
periode inaktif dan hilang setelah 15-30 menit (Isbagio, 2006).
c) Keterbatasan LGS
Keterbatasan LGS diakibatkan adanya nyeri dan muscle spasme.
Keterbatasan LGS biasanya bersifat pola kapsuler, gerak fleksi lebih
terbatas dari pada gerak ekstensi (Purbo, 2005).
d) Krepitasi
Krepitasi adalah bunyi yang mendesas apabila sendi digerakkan,
hal ini disebabkan oleh permukaan sendi yang kasar dan serpihan-
serpihan dari kartilago karena degenerasi (Purbo, 2005).
e) Kelemahan otot dan atrofi otot sekitar sendi lutut
Pasien OA mengalami kelemahan otot akibat tidak aktif, karena
otot dapat kehilangan 30 persen massa dalam seminggu, serta 5 persen
kekuatan dalam sehari apabila istirahat total (Tulaar, 2006).
f) Bengkak
Pembengkakaan kadang-kadang ditemukan pada OA sendi lutut
karena adanya pengumpulan cairan dalam ruang sendi, pada keadaan
lanjut dapat ditemukan deformitas sendi lutut (Isbagio, 1995).
g) Deformitas
OA sendi lutut yang berat akan menyebabkan destruksi kartilago,
tulang dan jaringan. Deformitas varus terjadi bila adanya kerusakan
pada kompartemen medial dan kendornya ligamentum, serta variasi
subluksasi karena perpindahan titik tumpu pada lutut atau diakibatkan
oleh pembatasan adanya osteofit yang besar (Purbo, 2005).
h) Instabilitas sendi lutut
Instabilitas sendi disebabkan oleh berkurangnya kekuatan otot
sekitar sendi lutut mencapai sepertiga dari otot normal dan juga oleh
kendornya ligamen sekitar lutut (Purbo, 2005).
2. Pemeriksaan Fisik
Secara klinis, osteoartritis dibagi dalam 3 tingkatan, yaitu (Purbo, 2005) :
a) Sub Clinical Osteoarthritis
Tidak ditemukan gejala atau tanda klinis. Hanya secara patologis
dapat ditemukan:
1) Pada tulang rawan sendi : peningkatan jumlah air, bulla
atau blister, dan fibrilasi serabut serabut jaringan ikat collagen
2) Pada tulang subchondral : terjadi sclerosis
b) Manifest Osteoarthritis
1) Timbul keluhan nyeri pada saat bergerak dan rasa kaku pada
permulaan gerak
2) Terjadi kerusakan sendi yang lebih luas.
3) Tampak penyempitan ruang sendi dan sclerosis tulang
subchondral
c) Decomposed Osteoarthritis
1) Di sebut juga surgical state
2) Timbul rasa nyeri pada saat istirahat dan keterbatasan lingkup
gerak sendi
3) Terjadi akibat penyakit yang telah menjadi progresif dan seluruh
tulang rawan sendi rusak. Tulang subchondral menjadi sangat
sclerotik, pembentukan osteofit hebat, capsule sendi menjadi
kendor, sehingga tampak deformitas yang jelas
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium berguna untuk menyingkirkan penyakit
sendi lain, karena tidak ada satupun yang spesifik untuk OA. Pemeriksaan
hematologis pada umumnya normal, jumlah lekosit dan laju endap darah
normal, kecuali bila disertai infeksi lain (Harry, 2009).
Pemeriksaan cairan sendi dapat membantu pada kasus-kasus yang
sulit/meragukan atau untuk mengetahui penyebab primernya seperti
okronosis, hemokromatosis, dan Penyakit Wilson. Cairan sendi dapat
diambil dari sendi manapun yang bengkak dan tindakan ini dapat
mengurangi rasa nyeri penderita. Pada OA, cairan sendi akan meningkat
jumlahnya, berwarna kuning transparan, kental, terdapat gumpalan musin,
jumlah lekosit kurang dari 2000/mm 3 dengan proporsi sel normal (25%
PMN). Mungkin ditemukan kristal kalsium pirofosfat dan hidroksi-apatit
sebagai penyebab reaksi peradangan. Dapat juga ditemukan serpihan
tulang rawan pada tingkat lanjut penyakit (Harry, 2009).
Pemeriksaan radiologis membantu diagnosis OA, tetapi adanya
kelainan radiologis tidak selalu berarti bahwa ini sebagai penyebab satu-
satunya keluhan penderita. Juga pada gambaran radiologis yang normal,
tidak selalu berkorelasi dengan manifestasi klinis (Harry, 2009).
Foto rontgen sendi yang terkena dibuat dalam dua bidang disertai foto
sendi kontralateral sebagai perbandingan. Pada umumnya akan tampak
penyempitan celah sendi, karena adanya destruksi rawan sendi. Pada
stadium awal mungkin terlihat pelebaran celah sendi karena adanya efusi
dan pembengkakan rawan sendi. Tampak tulang sklerosis, kista
subkondreal, osteofit, dan pada stadium lanjut akan tampak
subluksasi/deformitas. Criteria radiologis OA adalah sebagai berikut
(Harry, 2009) :
a) Osteofit pada tepi sendi atau tempat melekatnya ligament.
b) Adanya periarticular ossicle terutama pada DIP dan PIP.
c) Penyempitan celah sendi disertai sklerosis jaringan tulang
subkondreal.
d) Adanya kista dengan dinding yang sklerotik pada daerah subkondreal.
e) Perubahan bentuk tulang missal pada kaput femur.
Criteria diagnosis radiologis yaitu (Harry, 2009) :
a) Meragukan : bila ditemukan satu dari 5 kriteria di atas
b) OA minimal : bila ditemukan dua dari criteria di atas
c) OA moderat : bila ditemukan tiga dari criteria di atas
d) OA berat (severe) : bila ditemukan empat dari criteria di atas
Artroskopi tidak praktis untuk mendiagnosis OA, tetapi berguna untuk
menyingkirkan kerusakan meniscus yang disertai sinovitis, atau untuk
menilai perkembangan sendi setelah dilakukan osteotomi tibia. Juga
berguna bila ada gangguan mekanis atau trauma. Pada OA akan tampak
rawan sendi menguning pucat dengan bercak-bercak erosi sampai ke
dalam tulang yang sklerotik.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk penegakan diagnosis
RA antara lain (Harry, 2009) :
a) Faktor rheumatoid (FR)
Dugaan yang paling popular saat ini adalah bahwa faktor
rheumatoid meningkat pada penderita reumatik, seperti halnya dengan
antibody yang merubah autologus IgG. Perubahan tersebut terjadi bila
molekul antibodi IgG yang berada dalam badan mengadakan interaksi
dengan antigen spesifik. Interaksi antigen-antibodi ini akan merubah
konfigurasi molekul IgG, menghasilkan determinan baru, yang
tersembunyi atau yang sebelumnya tidak ada. Oleh sebab itu akan
mengubahnya menjadi suatu autoimunogen. Hipotesis tersebut
didukung oleh hasil percobaan pada binatang dimana imunisasi yang
kronik dan intens dengan bakteri (antigen-antigen dinding sel bakteri)
menyebabkan terbentuknya faktor antigamaglobulin serta faktor
rheumatoid. Demikian juga pada penderita endokarditis bacterial dan
penyakit lain yang mempunyai rangsangan antigen kronik.
Alternative penjelasan lain adalah berupa percobaan campuran
antara limfosit B dan darah tepi yang disemaikan (kultur) akan
membentuk immunoglobulin dan antibody bila dirangsang dengan
Pokeweed mitogen (nama tanaman di Amerika dengan bunga
berwarna merah jambu ke putih-putihan dan akarnya beracun) atau
oleh virus Epstein-Bar (polyclonal B cell activation). Sel limfosit B
penderita rheumatoid akan membentuk faktor reuma yang lebih
banyak daripada pada sel limfosit B subyek normal. Jadi diduga
peninggian konsentrasi faktor reuma dalam serum adalah
pencerminan aktivasi sel B poliklonal dengan pathogenesis yang
masih belum diketahui. Mungkin disebabkan oleh kegagalan dalam
pengaturan antara sel-T dan limfosit B penderita rheumatoid.
Tingkah laku biologis faktor rheumatoid yang pasti masih belum
diketahui. Sifat antiviral dianggap berasal dari faktor ini. Karena
lingkungan/suasana tertentu, maka faktor ini dapat menyebabkan
respons inflamasi dengan mempertinggi timbulnya reaksi fiksasi
komplemen, dengan merubah sifat risiko kimiawi (misalnya ukuran
berat jenis atau daya larut) kompleks imun, atau mengakibatkan faktor
tersebut lebih mudah mengalami fagositosis oleh sel-sel fagosit.
Kekhususan terakhir ini mungkin merupakan hal yang penting dalam
jaringan synovial atau cairan sendi.
b) Uji Standar (Standard tests)
Pada pemeriksaan darah penderita arthritis rheumatoid, yang lazim
ditemukan adalah anemia normositik hipokrom dalam tingkat sedang
disertai dengan rendahnya kadar zat besi serta daya ikat terhadap zat
besi (iron binding capacity) yang normal atau menurun. Bila kadar zat
besi dalam darah yang rendah makan pengobatan dengan zat besi akan
member hasil seperti yang diinginkan. Hitung jenis sel darah biasanya
normal. Eosinofilia dapat dihubungkan dengan adanya faktor alergi
pada penyakit rheumatoid sistemik. Laju endap darah biasanya tinggi
dan dapat dikatakan hampir sejajar dengan aktivitas penyakitnya.
Parameter ini dapat dipakai untuk menilai hasil pengobatan.
Pemeriksaan kadar protein serum biasanya menunjukkan peningkatan
fraksi alfa-2 globulin dan menurunnya kadar albumin serum. Faal
ginjal dan sedimen urin biasanya normal, demikian pula halnya
dengan faal hati. Adanya proteinuria menunjukkan terjadinya
komplikasi amiloidosis.
c) Serologi
Beberapa kelainan serologi dapat dijumpai pada penderita arthritis
rheumatoid, 5-10% menunjukkan hasil positif palsu (false positive)
terhadap sifilis. Uji coba terhadap sel LE dapat positif, dan kurang
lebih 25% serum antibody antinuclear juga positif dengan gambaran
imunofluoresensi nuclear difus. Antibody terhadap double stranded
DNA (karakteristik untuk SLE) jarang ditemukan.
Uji coba terhadap faktor reuma (RF test) positif pada 70%
penderita arthritis rheumatoid dewasa, tetapi pengujian ini tidak
spesifik untuk arthritis rheumatoid, karena juga memberikan hasil
positif pada lues, morbus Hansen, sirosis hati, hepatitis, SLE,
tuberculosis paru dan sarkoidosis.
d) Analisis cairan synovial
Analisis cairan synovial sangat berarti dalam membantu
menegakkan diagnosis arthritis rheumatoid, walaupun tidak khas.
Sifat cairannya berupa eksudat. Meningkatnya kadar elemen protein
dan sel menyebabkan warna cairan synovial berubah menjadi kuning
agak keruh. Normal jernih ke kuning-kuningan.
e) Biopsy synovial
Secara histologis, arthritis rheumatoid tampak sebagai suatu
inflamasi synovial yang hiperplastik dengan sekumpulan sel-sel
abnormal yang karakteristik, tapi tidak patognomonis untuk penyakit
ini. Ditemukan edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear, proliferasi
sel tepi (lining cells), deposit fibrin dan nekrosis pada bagian tengah.
Sediaan dari setiap individu bervariasi sekali, bergantung pada fase
penyakit dan sisi/bagian rongga sendi yang diperiksa.
f) Pemeriksaan Radiologik
Pada arthritis rheumatoid, setiap sendi mungkin saja terserang, tapi
tempat predileksi utamanya yaitu sendi kecil di tangan, pergelangan
tangan, dan kaki, sedangkan yang merupakan perkecualian adalah
interfalangeal distal. Pada mulanya bersifat asimetris, tapi karena sifat
penyakit progresif, maka pada sebagian besar kasus lambat laun akan
menjadi simetris. Vertebra servikal sering terkena, tetapi sendi
sakroiliaka sangat jarang.
4. Gold Standar
Diagnosa rheumatoid arthritis (RA), pada tahap awal, bisa sulit.
Tidak ada tes tunggal yang dapat dengan jelas mengidentifikasi
rheumatoid arthritis. Sebaliknya, dokter mendiagnosis rheumatoid
arthritis berdasarkan faktor-faktor yang sangat terkait dengan penyakit
ini. American College of Rheumatology menggunakan daftar kriteria
Untuk mcnegakkan diagnosis Artritis Reumatoid harus didapati 4 atau
lebih kriteria berikut ini :
a) Kekakuan pagi hari di dalam dan sekitar sendi minimal satu jam.
b) Pembengkakan atau cairan di sekitar tiga atau lebih sendi secara
bersamaan.
c) Setidaknya satu bengkak di daerah pergelangan tangan, tangan,
atau sendi jari.
d) Arthritis melibatkan sendi yang sama di kedua sisi tubuh (arthritis
simetris).
e) Rheumatoid nodul, benjolan pada kulit penderita rheumatoid
arthritis. Nodul ini biasanya di titik-titik tekanan dari tubuh, paling
sering siku.
f) Jumlah faktor rematoid dalam darah abnormal.
g) X-ray tampak perubahan di tangan dan pergelangan tangan khas
dari rheumatoid arthritis, dengan kerusakan tulang di sekitar sendi
yang terlibat.

E. Penatalaksanaan
Pengelolaan OA diklasifikasikan berdasarkan atas distribusinya (sendi
mana yang terkena) dan berat ringannya sendi yang terkena. Pengelolaannya
terdiri dari tiga hal, antara lain (Harry, 2009) :
1. Terapi Non-Farmakologis
a) Edukasi
Maksud dari edukasi adalah agar pasien mengetahui sedikit seluk
beluk tentang penyakitnya, bagaimana menjaga agar penyakitnya
tidak bertambah parah serta persendiannya tetap dapat dipakai.
b) Terapi fisik dan rehabilitasi
Terapi ini untuk melatih pasien agar persendiannya tetap dapat dipakai
dan melatih pasien untuk melindungi sendi yang sakit.
c) Penurunan berat badan
Berat badan yang berlebihan ternyata merupakan factor yang akan
memperberat penyakit OA. Olah karenanya berat badan harus selalu
dijaga agar tidak berlebihan. Apabila berat badan berlebihan, maka
harus diusahakan penurunan berat badan, bila mungkin mendekati
berat badan ideal.

d) Terapi bedah
Terapi ini diberikan apabila terapi farmakologis tidak berhasil
untuk mengurangi rasa sakit dan juga untuk melakukan koreksi
apabila terjadi deformitas sendi yang mengganggu aktivitas sehari-
hari.
Arthodesis atau lebur sendi adalah metode pilihan. Pada fusi
sendi, permukaan arthritis diambil dan tulang di salah satu sisi sendi
dilebur untuk menghilangkan pergerakan dari sendi bermasalah.
Mungkin ada beberapa pergerakan hilang tetapi ablasi nyeri dan
kestabilan secara fungsional meningkatkan sendi yang terkena
penyakit degenerasi sendi parah. (Singhealt, 2013).
2. Terapi farmakologis
a) Analgesic Oral Non Opiat
Pada umumnya pasien telah mencoba untuk mengobati sendiri
penyakitnya, terutama dalam hal mengurangi atau menghilangkan rasa
sakit. Banyak sekali obat-obatan yang dijual bebas yang mampu
mengurangi rasa sakit. Pada umumnya pasien mengetahui hal ini dari
iklan pada media masa, baik cetakan (Koran), radio maupun televisi.
b) Analgesik Topikal
Analgesic topical dengan mudah dapat kita dapatkan dipasaran
dan banyak sekali yang dijual bebas. Pada umumnya pasien telah
mencoba terapi dengan cara ini, sebelum memakai obat-obatan
peroral lainnya.
c) Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)
Apabila dengan cara-cara tersebut diatas tidak berhasil, pada
umumnya pasien mulai datang ke dokter. Dalam hal seperti ini kita
pikirkan untuk pemberian OAINS, oleh karena obat golongan ini
disamping mempunyai efek analgetik juga mempunyai efek anti-
inflamasi. Biasanya pasien OA kebanyakan usia lanjut, maka
pemberian obat obatan jenis ini harus sangat berhati hati. Jadi pilihlah
obat yang efek sampingnya minimal dan dengan cara pemakaian yang
sederhana, disamping itu pengawasan terhadap kemungkinan
timbulnya efek samping selalu harus dilakukan.
d) Chondroprotective Agent
Ini merupakan obat-obatan yang dapat menjaga atau merangsang
perbaikan (repair) tulang rawan sendi pada pasien OA. Penggolongan
obat obat tersebut dalam Slow Acting Anti Osteoarthritis Drugs
(DMAODs). sampai saat ini yang termasuk dalam kelompok obat ini
adalah : tetrasiklin, asam hialuronat, kondroitin sulfat,
glikosaminoglikan, vitamin C, dan superoxide dismutase.
e) Steroid intra-artikuler
Kortikosteroid intra artikuler telah dipakai dan mampu
mengurangi rasa sakit, walaupun hanya dalam waktu singkat.
Sedangkan untuk rheumatoid artritis, terapi yang dapat diberikan kepada
pasien dapat berupa :
1. Non-farmakologis
a) Pendidikan
Pendidikan yang cukup penting bagi pasien, keluarga, dan orang-
orang yang berhubungan dengan penderita. Pendidikan ini harus
diberikan terus-menerus. Pendidikan yang disampaikan meliputi
(Price, 2005) :
1) Pengertian tentang patofisiologi
2) Penyebab penyakit
3) Prognosis penyakit
4) Semua komponen program penatalaksanaan termasuk regimen
obat yang kompleks
5) Sumber-sumber bantuan untuk mengatasi penyakit ini
6) Metode-metode efektif tentang penatalaksanaan yang diberikan
oleh tenaga kesehatan
b) Istirahat
Perencanaan aktivitas mutlak diperlukan bagi pasien rheumatoid
arthritis karena penderita biasanya disertai dengan rasa lelah yang
hebat. Kekakuan dan rasa kurang nyaman biasanya dapat diperingan
dengan beristirahat (Price, 2005).
c) Latihan-latihan spesifik
Latihan spesifik ini dapat berupa (Price, 2005) :
1) Gerakan aktif dan pasif pada semua sendi yang sakit, minimal dua
kali dalam sehari.
2) Kompres panas pada sendi. Tujuan dari kompres panas ini untuk
mengurangi nyeri pada sendi.
3) Mandi parafin dengan suhu yang dapat diatur. Latihan ini paling
baik diatur dan diawasi oleh tenaga kesehatan yang sudah
mendapat latihan khusus, seperti fisioterapi atauterapis kerja.
Latihan latihan ini bertujuan untuk mempertahankan fungsi sendi
(Price, 2005).
d) Alat pembantu dan adaptif
Alat pembantu dan adaptif ini mungkin diperlukan saat melakukan
aktivitas sehari-hari, seperti tongkat untuk membantu berdiri dan
berjalan (Price, 2005)
e) Terapi yang lain
Terapi lain yang dimaksud yaitu : terapi puasa, suplementasi asam
lemak esensial, terapi spa dan latihan, suplementasi minyak ikan (cod
liver oil) sebagai NSAID-sparing agent (Suarjana, 2009).
f) Penatalaksanaan bedah
Tindakan bedah perlu dipertimbangkan bila (Suarjana, 2009) :
1) Terdapat nyeri berat yang berhubungan dengan kerusakan sendi
yang ekstensif
2) Keterbatasan gerak yang bermakna atau keterbatasan fungsi yang
berat
3) Ada ruptur tendon
Sinovektomi, khususnya pada sendi lutut berguna untuk meluruskan
kembali dan memperbaiki tendon. Sendi buatan dapat dilakukan
misalnya pada sendi panggul, lutut, jari-jari tangan. Artrodesis
mungkin perlu dilakukan pada nyeri atau deformitas yang berat
(Rubenstein, 2005).

2. Farmakologis
a) Aspirin dan semua golongan obat-obatan antiinflamasi nonsteroid
(OAINS)
Mekanisme kerja :

Tujuan : terapi awal untuk mengurangi nyeri dan pembengkakan


(Suarjana, 2009).
b) Glukokortikoid
Steroid dengan prednisone dengan dosis kurang 10 mg/hari.
Mekanisme kerja : untuk meredakan gejala dan memperlambat
kerusakan sendi. Pemberian glukokortikoid harus disertai pemberian
kalsium 1500 mg dan vitamin D 400-800 IU/hari (Suarjana, 2009).
c) DMARD (Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs)
Pemberian DMARD harus mempertimbangkan aspek (Suarjana,
2009) :
1) Kepatuhan pasien
2) Beratnya penyakit
3) Pengalaman dokter
4) Adanya penyakit penyerta
Table 2.2. DMARD yang paling banyak digunakan (Suarjana, 2009).
DMARD Mekanisme Dosis Waktu Efek samping
kerja timbulnya
respon
Hidroksiklor- Menghambat 200-400 2-6 bulan Mual, sakit kepala,
okuin sekresi mg p.o. sakit perut,
(Plaquenil), sitokin, enzim per hari myopati, toksisitas
250 mg
klorokuin lisosomal, dan pada retina
p.o. per
fosfat fungsi
hari
makrofag
Methorexate Inhibitor 7,5-25 1-2 bulan Mual, diare,
(MTX) dihidrofolat mg p.o, kelemahan, ulkus
reduktase, IM atau mulut, gangguan
hambat SC per fungsi hati, dll
kemotaksis, minggu
efek anti
inflamasi
sulfasalazin Menhambat 2-3 gr 1-3 bulan Mual, diare,
respon sel B p.o. per leukopeni,
dan hambat hari gangguan fungsi
angiogenesis hati, dll

Azathioprine Mengahambat 50-150 2-3 bulan Mual, leukopeni,


(Imuran) sintesis DNA mg p.o. sepsis, limfoma
per hari

Cyclosporine Menghambat 2,5-5 2-4 bulan Mual, parestesia,


sintesis IL-2 mg/kgB gangguan ginjal,
dan sitokin sel B p.o. hipertensi, sepsis,
T lainnya per hari dll

d) Terapi kombinasi
Kombinasi terbukti memiliki efikasi terapi yang lebih tinggi
daripada terapi tunggal. Beberapa kombinasi yang sudah banyak
diteliti dan memiliki efektivitas yang lebih besar yaitu (Suarjana,
2009) :
1) MTX + hidroksiklorokuin
2) MTX + hidroksiklorokuin + sulfasalazine
3) MTX + sulfasalazine + prednisolon
4) MTX + leflunomide
5) MTX + infiximab
6) MTX + etanercept
7) MTX + adalimumab
8) MTX + anakinra
9) MTX + rituximab
Terapi kombinasi ini memberikan respon yang lebih baik dan
efektif dalam menghambat progresivitas penyakit dan kerusakan
radiografi (Suarjana, 2009).

e) Emas
Natrium auritiomalat diberikan melalui injeksi IM dengan dosis 50
mg/minggu sampai terdapat bukti remisi (biasanya setelah pemberian
500 mg). pasien yang memberikan respons, interval dosis ditingkatkan
secara bertahap setiap bulan. Pengobatan bisa dilanjutkan sampai
mencapai 5 tahun. Diperlukan pemeriksaan darah dan urinalisis rutin.
Leucopenia dan trombositopenia atau proteinuria biasanya bersifat
reversible jika pemberian emas dihentikan (Rubenstein, 2005).

F. Prognosis
1. Prognosis Rematoid Artritis
Secara keseluruhan, prognosis dari rematoid artritis adalah baik.
Beberapa gambaran pada pasien rematoid artritis tampaknya memiliki
makna prognostik. Remisi aktivitas penyakit umumnya terjadi selama
tahun pertama. Perempuan berkulit putih cenderung mengalami sinovitis
persisten dan penyakit erosif yang lebih progresif daripada laki-laki.
Pasien dengan titer tinggi faktor rematoid, protein C reaktif, dan
haptoglobin juga memiliki prognosis yang lebih buruk. Demikian juga
individu dengan nodus subkutis atau bukti radiografik adanya erosi pada
permulaan pemeriksaan. Walaupun aktivitas penyakit yang menetap lebih
dari satu tahun menyiratkan prognosis yang buruk, kecepatan kerusakan
sendi tidaklah konstan, pemburukan tertinggi terjadi selama 6 tahun
pertama dan kemudian menjauh melambat. Dalam 3 tahun penyakit,
hampir 70% pasien akan memperlihatkan bukti radiografik adanya
kerusakan sendi. Sendi-sendi kaki lebih sering terkena dibandingkan
sendi tangan. Walaupun terjadi penurunan kecepatan kerusakan sendi
seiring dengan waktu, fungsionalnya terus memburuk dengan kecepatan
yang konstan (Isselbacher, 2000).
Usia harapan hidup pada pasien Rematoid artritis berkurang sebanyak
3 sampai 7 tahun. Dari 2,5 kali peningkatan angka mortalitas, Rematoid
artritis itu sendiri merupakan penyebab pada 15 sampai 30 persen pasien.
Peningkatan angka mortalitas tampaknya terbatas pada yang mengalami
penyakit sendi berat yang mingkin mengalami infeksi dan perdarahan
saluran cerna. Faktor yang berkaitan dengan kematian dini adalah lama
dan keparahan penyakit, penggunaan kortikosteroid, usia, dan jenis
kelamin laki-laki (Isselbacher, 2000).
2. Prognosis osteoartritis
Secara keseluruhan, prognosis dari penyakit osteoartritis ini adalah
baik. Pasien masih dapat melakukan aktivitas seperti biasanya apabila
pasien dapat dideteksi secara dini dan pasien melakukan pengendalian
faktor-faktor risiko. Namun penderita dapat mengalami kecacatan apabila
terjadi keterlambatan penanganan dan penyakit yang sudah berkembang
lama.

G. Komplikasi
Seperlima orang dengan rheumatoid arthritis terdapat perkembangan
benjolan dari jaringan yang disebut nodul rheumatoid, biasanya di bawah
kulit, terutama pada siku, lengan bawah, tumit, atau jari. Nodul, yang dapat
berkembang secara bertahap atau tiba-tiba muncul, bisa menjadi indikasi
aktivitas penyakit yang lebih parah. Nodul rematik juga dapat terjadi di
daerah lain dari tubuh, seperti paru-paru dan jantung (Zelman, 2012).
Inflamasi RA-terkait pembuluh darah, atau vaskulitis, dapat menyebabkan
perubahan pada kulit dan jaringan di sekitarnya yang dapat muncul sebagai
ulkus. Jenis lain dari ruam atau perubahan kulit berhubungan dengan RA atau
obat dapat dilihat pada pasien. Sangat penting untuk memeriksa dengan
seksama setiap ruam kulit atau luka (Zelman, 2012).
1. Komplikasi mata
Rheumatoid arthritis dapat mempengaruhi mata dalam beberapa cara.
Radang episklera, selaput tipis yang menutupi sklera, atau putih mata,
merupakan komplikasi umum dari RA. Hal ini biasanya ringan, tetapi
mata bisa menjadi merah dan menyakitkan. Skleritis, peradangan bagian
putih mata, lebih serius dan dapat menyebabkan kehilangan penglihatan
(Zelman, 2012).
Memiliki rheumatoid arthritis juga menempatkan pasien pada risiko
sindrom Sjogren, sebuah kondisi di mana sistem kekebalan tubuh
menyerang kelenjar lakrimal, yang memproduksi air mata. Hal ini dapat
menyebabkan mata pasien terasa berpasir dan kering. Jika tidak diobati,
kekeringan bisa menyebabkan infeksi dan jaringan parut pada konjungtiva
(membran yang menutupi mata) dan kornea. Jika pasien Anda memiliki
rheumatoid arthritis, tanyakan kepada pasien Anda tentang kebutuhan
untuk ujian mata secara teratur (Zelman, 2012).
2. Jantung dan Penyakit Pembuluh Darah
Banyak orang dengan rheumatoid arthritis memiliki simpanan cairan
antara pericardium dan jantung itu sendiri (disebut efusi perikardial), tapi
tidak semua akan memiliki gejala klinis dari itu. Perikarditis episodik
(radang selaput yang mengelilingi jantung) biasanya berkembang selama
masa flares, atau periode aktivitas penyakit tinggi (Zelman, 2012).
Perikarditis Persisten dapat menyebabkan penebalan dan penegangan
membran, yang dapat mengganggu kemampuan jantung untuk bekerja
dengan baik. Lesi mirip dengan nodul rematik juga dapat
mengembangkan pada jantung dan mempengaruhi fungsi jantung.
Peradangan dari otot jantung itu sendiri (miokarditis) merupakan
komplikasi yang jarang. Obat yang digunakan untuk pengobatan RA juga
dapat melemahkan jantung dan otot-otot lainnya (Zelman, 2012).
Inflamasi sistemik menempatkan orang-orang dengan RA pada
peningkatan risiko penyakit kardiovaskular. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa orang dengan RA memiliki peningkatan risiko
serangan jantung yang hampir sama dengan untuk orang dengan diabetes
tipe 2. Memiliki RA juga meningkatkan risiko stroke. Peradangan
pembuluh darah, yang disebut vasculitis, adalah komplikasi yang jarang
namun serius dari rheumatoid arthritis. Vaskulitis yang berhubungan
dengan RA, disebut vasculitis arthritis, lebih sering mempengaruhi
pembuluh darah kecil yang memasok kulit, tetapi dapat mempengaruhi
banyak organ tubuh, termasuk mata, jantung, dan saraf (Zelman, 2012).
3. Penyakit Darah dan Pembentukan Sel Darah
Sebagian besar orang dengan RA aktif mengalami pengurangan sel
darah merah yang disebut anemia. Anemia dapat menyebabkan gejala
seperti kelelahan, detak jantung cepat, sesak napas, pusing, kram kaki,
dan insomnia. Peradangan aktif juga dapat menyebabkan tingkat tinggi
platelet darah, sedangkan perlakuan untuk menekan sistem kekebalan
tubuh dapat menyebabkan rendahnya tingkat trombosit darah, suatu
kondisi yang disebut trombositopenia (Zelman, 2012).
Mungkin, tapi jarang komplikasi lain dari RA adalah sindrom Felty,
suatu kondisi di mana limpa diperbesar dan jumlah sel darah putih rendah
pada orang dengan rheumatoid arthritis. Memiliki sindrom Felty dapat
meningkatkan risiko limfoma, kanker kelenjar getah bening.
4. Masalah pada paru
Proses inflamasi yang mempengaruhi selaput jantung sama dapat
mempengaruhi selaput paru-paru, yang menyebabkan pleuritis dan
pengumpulan cairan. Nodul rematik juga dapat terbentuk di paru-paru.
Dalam kebanyakan kasus, nodul tidak berbahaya, tetapi mungkin dapat
menyebabkan masalah seperti kegagalan paru-paru, batuk darah, infeksi,
atau efusi pleura (akumulasi cairan di antara lapisan paru-paru dan rongga
dada). Penyakit paru interstitial dan hipertensi paru juga dapat
berkembang sebagai komplikasi dari RA. Perawatan RA dapat
mempengaruhi paru-paru, juga. Sebagai contoh, salah satu yang paling
umum digunakan pengobatan RA, metotreksat, dapat menyebabkan
masalah paru-paru, ditandai dengan sesak napas, batuk, dan demam.
Gejala cenderung membaik ketika methotrexate dihentikan (Zelman,
2012).
5. Kerentanan terhadap Infeksi
Orang dengan RA lebih rentan terhadap infeksi, yang mungkin
berhubungan dengan penyakit yang mendasari itu sendiri atau obat
penekan kekebalan yang digunakan untuk mengobatinya. Studi
menunjukkan bahwa pengobatan dengan agen biologis, kelas yang relatif
baru dan efektif RA pengobatan, sangat mungkin meningkatkan risiko
infeksi serius pada orang dengan RA (Zelman, 2012).
6. Efek emosional
Hidup hari demi hari dengan rasa sakit dan keterbatasan penyakit
kronis dapat mengambil tol pada emosi Anda serta kesehatan fisik. Satu
studi terbaru menunjukkan bahwa hampir 11% orang dengan RA
memiliki cukup parah gejala depresi parah. Mereka yang dinilai sebagai
lebih terbatas dalam kegiatan normal mereka secara signifikan lebih
mungkin untuk mengalami depresi. Penelitian ini juga menunjukkan
bahwa hanya satu dari lima pasien yang menunjukkan gejala depresi
mendiskusikannya dengan dokter arthritis mereka (Zelman, 2012).
III.KESIMPULAN

1. Arthritis adalah peradangan dari satu atau lebih sendi. Reumatoid arthritis
adalah penyakit autoimun dan menyerang persendian secara simetris dan
menyebabkan kerusakan sendi. Osteoartritis adalah penyakit degeneratif
sendi noniflamatorik yang ditandai dengan degenerasi cartilago articularis,
hipertrofi tulang pada tepi-tepinya, dan perubahan pada membran sinovial,
disertai nyeri dan kekakuan.
2. Patofisiologi kedua penyakit ini sedikit berbeda. Osteoartritis tanpa disertai
peradangan sedangkan rheumatoid artritis disertai reaksi peradangan.
3. Penatalaksanaan untuk kedua penyakit ini hampir sama yaitu non-medika
mentosa dan medika mentosa. Pada non-medika mentosa diawali dengan
edukasi terhadap pasien tentang penyakit, komplikasi dan bagaimana
menangani penyakitnya dan apabila tidak dapat dihindari lagi maka akan
dilakukan pembedahan pada sendi yang bermasalah. Sedangkan untuk
medika mentosa penderita dapat diberikan OAINS, analgesik untuk
meredakan nyeri dan pada rheumatoid arthritis dapat diberikan
glukokortikoid untuk meredam sistem imun.
4. Komplikasi yang dapat terjadi pada kedua penyakit ini cukup bervariasi dari
keterbatasan gerak, deformitas sendi sampai gangguan emosional karena rasa
nyeri yang dirasakan terus menerus sehingga dapat membuat penderita
merasa stress.
5. Prognosis bagi kedua penyakit ini secara keseluruhan adalah baik apabila
dideteksi secara dini dan pasien melakukan pengendalian faktor resiko.

DAFTAR PUSTAKA

Anies. 2006. Waspada Ancaman Penyakit Tidak Menular Solusi Pencegahan


dari Aspek Perilaku dan Lingkungan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Brandt, K.D., Doherty, M, Lohmander, L.S. 2003. Osteoarthritis, Ed. 2. New
York: Oxford University Press Inc.
Brashers, V.L. 2007. Aplikasi Klinis Patofisiologi: Pemeriksaan dan Manajemen,
Ed. 2. Jakarta: EGC.
Dorland, W.A.N. 2011. Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 28. Jakarta: EGC.
Hudaya, P. 2002. Hand Out Rematologi. Politeknik Kesehatan Jurusan
Fisioterapi.
Iannone, F., Lapadula, G. 2003. The Pathophysiology of Osteoarthritis. Division
of Rheumatology, DIMIMP, University of Bari, Bari, Italy.
Isbagio, Harry. 2009. Osteoartritis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
3. Ed 5. Jakarta: Interna Publishing.
Isselbacher, Kurt J., dkk. 2000. Harison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam
Vol. 4 Ed. 13. Jakarta: EGC
McInnes IB, Schett G. 2007. Cytokines in the pathogenesis of rheumatoid
arthritis. Nature Reviews Immunology; 7:429-42.
Price, Sylvia A. dan Wilson, Lorraine M.. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit. Jakarta : EGC.
Rubenstein, David., Wayne, David. et al. 2006. Lecture Notes Kedokteran Klinis.
Jakarta : Erlangga.
Soeroso, J., Isbagio, H., Kalim, H., Broto, R., Pramudiyo, R. 2009. Osteoartritis.
dalam Sudoyo, W., dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 3, Ed. V.
Jakarta: InternaPublishing.
Srirangan S, Choy EH. 2010. The role of Interleukin 6 in the pathophysiology of
rheumatoid arthritis. Ther Adv Musculoskel.
Suarjana IN. 2009. Artritis Reumatoid. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid 3. Ed 5. Jakarta: Interna Publishing.
Yatim, Faisal. 2006. Penyakit Tulang dan Persendian (Arthritis atau Athralgia).
Jakarta: Pustaka Populer Obor.
Zelman, D. 2012. Rheumatoid Arthritis (RA) Complications.
http://www.webmd.com/rheumatoid-arthritis/guide/rheumatoid-arthritis-
complications?page=3. [Di akses pada 02 November 2013]

Anda mungkin juga menyukai