100%(1)100% menganggap dokumen ini bermanfaat (1 suara)
38 tayangan41 halaman
Dokumen tersebut membahas tentang neuropati peroneal yang merupakan gangguan saraf tepi yang menyerang saraf peroneal. Saraf ini mudah terkena cedera karena anatominya yang berjalan dangkal di tungkai. Gejala klinisnya bervariasi tergantung lokasi cedera saraf tersebut, mulai dari gangguan motorik dan sensorik di kaki hingga jari kaki."
Dokumen tersebut membahas tentang neuropati peroneal yang merupakan gangguan saraf tepi yang menyerang saraf peroneal. Saraf ini mudah terkena cedera karena anatominya yang berjalan dangkal di tungkai. Gejala klinisnya bervariasi tergantung lokasi cedera saraf tersebut, mulai dari gangguan motorik dan sensorik di kaki hingga jari kaki."
Dokumen tersebut membahas tentang neuropati peroneal yang merupakan gangguan saraf tepi yang menyerang saraf peroneal. Saraf ini mudah terkena cedera karena anatominya yang berjalan dangkal di tungkai. Gejala klinisnya bervariasi tergantung lokasi cedera saraf tersebut, mulai dari gangguan motorik dan sensorik di kaki hingga jari kaki."
BAGIAN NEUROLOGI RSUD KOTA MATARAM PENDAHULUAN Neuropati adalah suatu keadaan yang berhubungan dengan gangguan fungsi dan struktur dari saraf tepi. Etiologi: trauma, radang gangguan metabolik, kelainan struktur sekitar saraf dan lain- lain sebab (Walton, 1977). Saraf tepi mudah terkena cedera mekanik: ◦ ukuran serabut saraf yang panjang. ◦ lokasi perjalanannya di superfisial. Neuropati kompresi khas ditandai oleh terkenanya 1 saraf tepi pada tempat dimana secara anatomi paling mudah terkena tekanan. Faktor-faktor yang memperberat perkembangan neuropati kompresi : ◦ Penyempitan jalan saraf (anatomi), ◦ kebiasaan atau trauma berulang (berhubungan dengan pekerjaan), ◦ keadaan yang rentan terhadap cedera tekanan. ANATOMI N. Peroneus communis dibentuk oleh gabungan 4 divisi posterior bagian atas pleksus sakral yaitu dari L4—5 dan S1-2. Pada paha, saraf ini merupakan komponen N.sciatic sampai bagian atas daerah popliteal, dimana N.Peroneus communis mulai berjalan sendiri. ANATOMI Cabang pertama ◦ bersifat saraf sensoris, ◦ meliputi cabang-cabang artikular superior dan inferior ke sendi lutut dan N.Cutaneous suralis lateralis, ◦ keduanya bergabung dengan N.Cutaneous suralis medial (cabang N.Tibial) membentuk N. Suralis. ◦ N. Suralis mensarafi kulit tungkai bawah bagian dorsal, malleolus eksterna dan sisi lateral kaki serta jari ke-5. Tiga cabang terakhir dari N. Peroneal communis: ◦ N. Recurrent articular, ◦ N.Peroneus superficial ◦ N.Peroneus profunda. N.Recurrent articular bersama N. Recurrent tibialis anterior mensarafi: ◦ tibiofibular, ◦ sendi lutut, ◦ M.Tibialis anterior. N.Peroneal superficial turun sepanjang septum intermuskular dan mensarafi: ◦ otot-otot peroneus longus dan brevis, ◦ cabang cutaneous tungkai bawah bagian depan dan ujung cabang cutaneous yang menuju ke dorsum kaki, ◦ sebagian ibu jari kaki dan jari kaki ke-2 sampai ke-5 terus naik sampai ke phalange ke-2. N.peroneus profundus: turun ke bagian anterior tungkai bawah. Cabang-cabang muskularnya mensarafi otot-otot tibialis anterior, extensor digitorum longus, extensor hallucis longus dan peroneus tertius. Filamen articularnya mensarafi tibiofibular inferior dan sendi pergelangan kaki. Cabang terminal menuju ke kulit 2 jari kaki pertama, M.extensor digitorum brevis dan sendi sendi kecil jari kaki. N.Peroneus communis mudah terkena cedera, karena secara anatomi berjalan melingkari collum fibula dekat periosteum yang hanya ditutupi oleh kulit dan jaringan subcutaneous. Saraf ini berjalan ke distal melewati suatu terowongan (tunnel) yang berpangkal pada M. Peroneus longus dan suatu archus fibrosus yang dibentuk terutama oleh aponeurosis soleus sehingga secara anatomis membuatnya rentan terhadap stretch injury. N.Peroneus superficial dan profunda cenderung ke atas tepi jaringan fibrous selama plantar flexi dan inversi kaki. ETIOLOGI Mononeuropati N.peroneal communis ataupun percabangannya sangat jarang disebabkan oleh suatu entrapment. Penyebab paling sering adalah kompresi dari luar seperti saat/selama jongkok atau duduk bersilang kaki, trauma, diabetes dan lepra. Peroneal nerve palsy paling sering diakibatkan oleh duduk bersilang kaki yang menyebabkan saraf peroneal terjepit antara caput fibula dan condylus femur externa serta patella pada tungkai yang berlawanan. Lebih sering terjadi pada: ◦ penurunan berat badan yang ekstrem ◦ masa konvalesen dari suatu penyakit atau tindakan operasi. Hilangnya lemak (fat) yang berlebihan akan mengurangi proteksi terhadap saraf tersebut. Penurunan berat badan memungkinkan pasien merasa enak (comfortable) duduk bersilang kaki. Kebiasaan duduk bersilang kaki dapat menimbulkan dimple sign yang terdiri dari daerah pressure atropi berbentuk oval yang mengenai jaringan sampai ke saraf peroneal di caput fibula. Beberapa pekerjaan dalam posisi berjongkok atau bersujud (bertani, penambang) meningkatkan tekanan pada saraf terhadap collum fibula terjadi occupational peroneal palsy. Peroneal nerve palsy juga dapat terjadi setelah keseleo atau terkilir pada pergelangan kaki. Mekanisme lain: ◦ trauma langsung, ◦ dislokasi lutut, ◦ fraktur tibia dan fibula, ◦ myxedema pretibial, ◦ intoksikasi ergot, ◦ malposisi diatas meja operasi. Lokasi lesi paling sering ditemukan pada collum fibula, tempat dimana saraf itu bercabang menjadi N. Peroneus superficial dan profunda. Pada daerah ini n. peroneus paling mudah mengalami kompresi atau stretching. Patolofisiologi kompresi saraf tepi N.Peroneus tersusun oleh serabut- serabut fasikel dan dipisahkan oleh jaringan ikat, ruang interfasikular dan jaringan ikat yang elastis. Keadaan ini memberikan bantalan sebagai proteksi terhadap tekanan. Serabut-serabut saraf superfisial agaknya melindungi serabut-serabut saraf yang letaknya lebih dalam. Erb (1876), Denny-Brown dan kawan- kawan(1944) dan Sunderland (1945) dalam penelitiannya mengatakan bahwa saraf-saraf yang mempersarafi otot lebih rentan dari pada saraf kulit terhadap efek kompresi. Perbedaan ini mungkin karena sifat biokimiawi dan komposisi serabut yang terdapat diantara otot dan saraf kulit (Brody, 1966). Serabut-serabut tebal yang bermyelin kurang tahan terhadap tekanan daripada serabut yang tipis. (Gasser & Erlanger, 1929), Lehman dan Pretschner (1966) mengatakan bahwa serabut bermyelin lebih mudah rusak dari pada serabut saraf yang tidak bermyelin. Menurut Ochoa & Mair (1969) 75% serabut saraf kulit tidak bermyelin. Sifatdan tingkat kerusakan saraf dipengaruhi oleh: ◦ Perbedaan komposisi dan kerentanan terhadap tekanan. ◦ Besar dan lamanya kompresi. Efek tekanan pada sel Schwann Sel Schwann serabut saraf bermyelin sangat rentan terhadap tekanan. Pada stadium dini tourniquet paralise, nodes of Renvier pada pinggir serabut saraf yang tertekan mengalami obliterasi karena invaginasi paranodal myelin. Perubahan ini memanjang dari 200-300 Um pada setiap sisi nodal, sedangkan serabut segmen internodal lainnya tidak memperlihatkan perubahan. Pada stadium lanjut, seluruh internodal myelin sheath menipis atau hilang. Sekali efek kompresi hilang, terdapat perbaikan pada segmen demyelinasi. Jika terjadi remyelinasi terjadi pembentukan internodal yang panjangnya bervariasi. Jika terjadi demyelinasi ulang, maka remyelinasinya disertai dengan perubahan hipertropi yang diakibatkan oleh penyusunan kembali sel Schwann yang konsentris. Efek tekanan pada akson Kapeller dan Mayor (1969), meskipun myelin sheath terutama terpengaruh oleh kompresi saraf namun kerusakan akson juga dapat terjadi dan cukup berat terjadi degenerasi wallerian pada bagian distal tempat injury. Pembesaran akson serta akumulasi organel dan enzim biasanya ditemukan di dalam akson yang terjadi di sebelah proksimal dari konstriksi saraf dan mempengaruhi akson baik yang bermyelin ataupun tidak bermyelin. Akumulasi enzym dapat diakibatkan oleh sintesa lokal atau relokasi di dalam akson yang rusak. Signifikansi dari pembesaran akson ini tetap tidak jelas. Meningkatnya kerentanan saraf terhadap cedera tekanan Sekali saraf tepi rusak oleh penyakit maka saraf tersebut menjadi lebih sensitif terhadap efek tekanan. pasien dengan malnutrisi, alkoholisme, diabetes, gagal ginjal, atau Guillain-Barre Syndrome sering terjadi komplikasi pressure neuropathy. biasanya tampak pada saraf yang lazim berpeluang terkena tekanan. Penyebab meningkatnya kerentanan tetap tidak diketahui. Disamping itu faktor genetik juga berperan sebagai predisposisi timbulnya pressure neuropati. GEJALA KLINIS A. MENURUT LEVEL LESI. 1. Lesi pada kaput fibula Lokasi mayoritas terjadinya lesi saraf peroneus (terletak superfisial dan rentan terhadap cedera). Cabang profunda lebih sering terkena. Jika kedua cabang terkena (superfisial dan profunda): timbul parese/paralise jari kaki, dorso fleksi kaki dan jari kaki, bagian lateral distal tungkai bawah. Jika hanya cabang profunda yang terkena, timbul deep peroneal nerve syndrome. 2. Anterior tibial (deep peroneal) nerve syndrome A. Saraf ini bisa terkena cedera pada kaput fibula atau lebih distal Timbul gejala parese/paralise jari kaki dan dorsofleksi kaki Gangguan sensoris terbatas pada kulit di sela jari- jari antara jari kaki 1 dan 2 B. Saraf ini dapat juga tertekan pada pergelangan kaki Menyebabkan anterior tarsal tunnel syndrome yang menimbulkan gejala parese dan atropi pada M.extensor digitorum brevis. Gangguan sensoris bisa terdapat atau tidak pada kulit di sela jari-jari antara kaki 1 dan 2 3. Superficial peroneal nerve syndrome Lesi bisa pada kaput fibula atau lebih distal Timbul parese dan atropi pada M. Peronei dan gangguan eversi kaki Gangguan sensoris pada kulit bagian lateral distal tungkai bawah dan dorsum kaki, Fungsi sensoris kulit di sela jari-jari kaki 1 dan 2 masih baik. B. MENURUT PENYEBABNYA. 1. Anterior tibial sindrom Sering pada Volkmann’s ischemic contracture Gejala: Nyeri lokal dan tenderness pada M. tibialis anterior, mendadak. Daerah pre tibial tampak tegang dan erythematous tetapi tungkai terasa dingin. Paralise otot-otot bagian anterior berkembang dengan cepat, terutama M. Tibialis anterior. Kelemahan M. extensor digitorum brevis. Gangguan sensoris terbatas pada daerah N. peroneal profunda. Mekanisme: Edema lokal otot sebagai reaksi dari trauma lokal dan secara sekunder meningkatkan tekanan pada compartement dan oklusi pembuluh darah lokal. Oklusi akut oleh emboli/thrombus pada A. Tibialis anterior atau induk percabangannya yang menimbulkan iskhemik nekrosis sesuai dengan distribusinya. 2. Penyakit Oklusi arteriosklerotik Disebut juga iskhemik neuritis Gejala: Klaudikasio Rest pain, gejala nyeri pada extremitas bawah berhubungan dengan gangguan pembuluh darah tepi. Rasa nyeri bersifat difus seperti rasa panas, terbakar, geli dan tertusuk, gejala ini terutama waktu malam hari. Gangguan motoris Gangguan reflek Atropi otot 3. Penyakit lepra Defisit neurologis berkembang progresif sesuai perjalanan penyakitnya Gangguan sensoris intrakutan berkembang ke telapak kaki, tungkai dan paha Daerah sparing dapat terdeteksi antara jari- jari kaki, fossa poplitea dan setengah proksimal medial paha Segmen superfisial N.Peroneal yang berjalan lateral mengelilingi kaput fibula terinfiltrasi dan membesar Foot drop gejala kedua yang tersering Bila mengenai N.Tibialis posterior 1/3 distal tungkai, timbul paralisis otot-otot intrinsik pada permukaan volar kaki, hilangnya sensibilitas telapak kaki 3. Penyakit lepra Stretch reflex masih baik. Gejala khas untuk membedakan lepra dari polineuropati lainnya. Serabut otonom rusak bersama-sama serabut-serabut motoris dan sensoris. Keringat hilang di daerah yang kurang sensitif. Extremitas menjadi dingin dan agak hitam. Tidak didapatkan hipotensi postural, nocturnal diare, krisis abdominal, gangguan kandung kemih dan impotensi yang biasa terjadi pada neuropati dan radikulopati 4. Diabetes Biasanya pada usia pertengahan dan tua Kelemahan dan atropi otot-otot proksimal extremitas bawah yang asimetris Sering disertai nyeri pada otot-otot paha. Nyeri terasa paling berat pada malam hari Reflek patella menurun/hilang Gangguan sensoris sering tidak begitu menyolok Terutama mengenai otot-otot iliopsoas, quadrisep dan adduktor. Bila kelompok otot anterolateral pada tungkai bawah terkena bersamaan menimbulkan anterior compartement syndrome PEMERIKSAAN PENUNJANG Elektromiografi (EMG) Yang terpenting: perubahan amplitudo Adanya blok konduksi dan kegagalan konduksi saraf Menurunnya kecepatan hantaran saraf Meningkatnya distal latency Memperlihatkan tanda-tanda denervasi DIAGNOSIS Diagnosa neuropati peroneus ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Differential diagnosis: Radikulopati L5 Post operasi pinggul High sciatic mononeuropathy yang mengenai serabut peroneus kommunis Terapi: Konservatif, menghindari faktor kompresi Operasi Physical therapy TERIMA KASIH…