Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bell’s palsy adalah kelemahan pada otot wajah dengan tipe Lower Motor

Neuron (LMN) yang disebabkan oleh kelumpuhan saraf fasialis (N.VII)

bersifat idiopatik di luar sistem saraf pusat, tanpa adanya penyakit neurologik

lainnya (1)

Prevalensi Bell’s Palsy di Indonesia, sulit ditentukan. Insidens sindrom ini

sekitar 23 kasus per 100.000 orang setiap tahun. Dalam hal ini didapatkan

frekuensi terjadinya Bell’s Palsy di Indonesia sebesar 19,55%, dari seluruh kasus

neuropati terbanyak yang sering dijumpai terjadi pada usia 20 – 50 tahun dan

angka kejadian meningkat dengan bertambahnya usia setelah 60 tahun. Biasanya

mengenai salah satu sisi saja (unilateral), jarang bilateral dan dapat berulang (2)

Kelumpuan pada nerfus fasialis tidak memiliki penyebab yang jelas, namun

ada yang menyebutkan bahwa penyebab Bell’s Palsy adalah angin yang masuk ke

dalam tengkorak, keadaan ini membuat syaraf di sekitar wajah mengalami sembab

lalu membesar. Pembengkakan syaraf fascialis ini mengakibatkan pasokan darah

ke syaraf tersebut terhenti. Hal itu menyebabkan iskemik pada sel sehingga fungsi

menghantar impuls atau rangsangnya menjadi terganggu. Akibatnya, perintah otak

untuk menggerakkan otot-otot wajah tidak dapat diteruskan (3),(4)

Tetapi ada beberapa teori secara umum dapat diajukan sebagai penyebab bell’s

pallsy yaitu teori iskemik vaskuler, teori infeksi firus, dan teori herediter. Tanda

dan gejala yang dijumpai pada pasien Bell’s Palsy biasanya bila dahi di kerutkan

lipatan dahi hanya tampak pada sisi yang sehat saja, kelopak mata tidak dapat

01
menutupi bola mata dan berputarnya bola mata keatas dapat di saksikan.

Salah satu gejala Bell’s palsy adalah kelopak mata sulit menutup dan saat

penderita berusaha menutup kelopak matanya, matanya terputar ke atas dan

matanya tetap kelihatan. Gejala ini disebut juga fenomena bell. Pada observasi

dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat jika

dibandingkan dengan gerakan bola mata yang sehat (lagoftalmos). Dalam

mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi yang lumpuh tidak mengembung.

Dalam menjungurkan bibir, gerakan bibir tersebut menyimpang ke sisi yang

tidak sehat serta air mata yang keluar secara berlebihan di sisi kelumpuhan dan

pengecapan pada dua per tiga lidah sisi kelumpuhan kurang tajam. (1), (5)

1.2 Tujuan

Umtuk mempelajari penyakit bell’s palsy dari definisi, anatomi saraf fasialis

(n VII), otot-otot wajah, etiofatogenesis, gejala klinis, patofisiologi, diagnosis;

pemeriksaan fisik, pemerisaan penunjang. Diangnosis banding, tatalaksana, -

terapi farmakologi, komplikasi, prognosis.

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Bell’s Palsy

Bell's Palsy (BP) atau prosoplegia adalah suatu kelumpuhan nervus fasialis

tipe lower motor neuron (LMN) akibat paralisis nerus fasial perifer (Nervus VII))

yang bersifat akut, unilateral, dan penyebabnya tidak teridentifikasi (1). Serta

dengan perbaikan fungsi selama 6 bulan (2). (6)

2.2 Anatomi

Nerfus fasialis, atau saraf ke VII dengan dominan utama saraf motoric yang

memberikan persarapan pada otot-otot ekspresi wajah. Selain itu saraf fasial juga

memiliki sarabut parasimpatis ke kelenjar ludah dan air mata dan selaput mukosa

rongga mulut dan hidung. dan juga menghantarkan sensasi eksteroseptif dari

daerah gendang telinga, sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah, dan

sensasi visceral umum dari kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring, dan sensasi

proprioseptif dari otot yang disarafinya. Sarat fasial mengandung empat serat,

diantaranya: (7), (1)

(1) Serabut somato motorik, yang menginerfasi otot-otot wajah (kecuali m.

levator palpebrae (n.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian

posterior dan stapedius di telinga tengah).

(2) Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus

salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa

faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula

submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.

01
(3) Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di

dua pertiga bagian depan lidah.

(4) Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan

rasa raba) dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh

nervus trigeminus.

Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang

menghantar sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai

saran intermedius atau pars intermedius Wisberg. Sel sensoriknya terletak di

ganglion genikulatum, pada lekukan saraf fasialis di kanal fasialis. Sensasi

pengecapan daru 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui saraf lingual korda

timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum. Serabut yang menghantar sensasi

ekteroseptif mempunyai badan selnya di ganglion genikulatum dan berakhir pada

akar desenden dan inti akar decenden dari saraf trigeminus (N.V). hubungan

sentralnya identik dengan saraf trigeminus. (4)

Gambar: anatomi nervus fasialis


Diakses dari: http://sikkahoder.blogspot.com/2020/02/penyebab-gejala-patofisiologi-diagnosa.html

Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI, dan

keluar di bagian leteral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral

11
pons, di antara nervus V dan nervus VIII. Nervus VII bersama nervus intermedius

dan nervus VIII memasuki meatus akustikus internus. Di sini nervus fasialis

bersatu dengan nervus intermedius dan menjadi satu berkas saraf yang berjalan

dalam kanalis fasialis dan kemudian masuk ke dalam os mastoid. Ia keluar dari

tulang tengkorak melalui foramen stilomastoid, dan bercabang untuk mensarafi

otot- otot wajah. (4)

2.2.1 Nucleus fasialis

Nervus Facialis terdiri dari dua nucleus motoris di batang otak, yang

terdiri dari: (7)

(1) Nucleus Motorik Superior yang bertugas menerima impuls dari gyrus

presentralis kortek serebri kedua belah sisi kanan-kiri dan mengirim

serabut- serabut saraf ke otot-otot mimik di dahi dan orbikularis occuli.

(2) Nucleus Motoris Inferior yang bertugas menerima impuls hanya dari

gyrus presentralis dari sisi yang berlawanan dan mengirim serabut-

serabut saraf ke otot-otot mimik bagian bawah dan platysma.

2.2.2 Perjalanan nervus fasial (7), (1), (4)

Serabut-serabut nervus facialis didalam batang otak berjalan melingkari

nucleus nervus abducens sehingga lesi di daerah ini juga diikuti dengan

kelumpuhan nervus abducens. Setelah keluar dari batang otak, nervus

facialisberjalan bersama nervus intermedius yang bersifat sensoris dan sekretorik.

Selanjutnya berjalan berdekatan dengan nervus oktavus bersama-sama masuk ke

dalam canalis austikus internus dan berjalan ke arah lateral, masuk ke canalis

falopii (pars petrosa). Kemudian nervus facialis masuk ke dalam cavum timpani

setelah membentuk ganglion genikulatum. Di dalam cavum timpani nervus

21
facialis membelok tajam ke arah posterior dan horizontal (pars timpani). Saraf ini

berjalan tepat di atas foramen ovale, kemudian membelok tegak lurus ke bawah

(genu eksternum) di dalam canalis falopii pars mastoidea. Bagian saraf yang

berada didalam canalis falopii pars timpani disebut nervus facialis pars

horizontalis, sedang yang berjalan didalam pars mastoidea disebut nervus facialis

pars vertikalis atau desenden. Saraf ini keluar dari tulang tengkorak melalui

foramen stylomastoideus. Setelah keluar dari foramen stylomastoideus, syaraf ini

bercabang-cabang dan berjalan di antara lobus superfisialis dan profundus

glandula parotis. Setelah keluar dari foramen stylomastoideus, saraf fasialis

membentuk

cabangkecil ke auricular posterior (mempersarafi m. occipitalis dan m. stylohoide

us dan sensasi kutaneus pada kulit dari meatus auditori eksterna) dan ke

anterolateral menuju ke kelenjar parotid. Di kelenjar parotid, saraf fasialis

kemudian bercabang menjadi 5 kelompok (pesanserinus) yaitu temporal,

zygomaticus, buccal, marginal mandibular dan cervical. Kelima kelompok saraf

ini terdapat pada bagian superior dari kelenjar parotid, dan mempersarafi dot- otot

ekspresi wajah, diantaranya m. orbicularis oculi, orbicularis oris, m. buccinator

dan m. Platysma.

2.2.3 Cabang nevus fasialis

Dalam perjalanan nervus facialis memberikan cabang: (8), (9)

 Dari ganglion genikulatum mengirimkan serabut saraf melalui

ganglion sfenopalatinum sebagai saraf petrosus superfisialis mayor

yang akan menuju glandula lakrimalis.

31
 Cabang lain dari ganglion genikulatum adalah saraf petrosus

superficialis minor yang melalui ganglion otikum membawa serabut

sekreto-motorik ke kelenjar parotis

Dari nervus facialis pars vertikalis, memberikan cabang-cabang: (1)

 Saraf stapedius yang mensarafi m. stapedius. Kelumpuhan saraf ini

menyebabkan hiperakusis.

 Saraf korda timpani yang menuju ⅔ lidah bagian depan dan berfungsi

sensorik untuk perasaan lidah (rasa asam, asin dan manis).

Selain itu saraf korda timpani juga mempunyai serabut yang bersifat sekreto-

motorik yang menuju ke kelenjar liur submaksilaris dan sublingualis

2.4 Otot-otot wajah

Otot-otot pada masing-masing dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Gambar: otot wajah dan mulut


Sumber: https://www.secangkirterapi.com/2017/10/daftar-otot-wajah-lengkap-dan-fungsinya.html

41
Gambar: persarafan falialis (10)
Sumber: https://dorkydoctor.wordpress.com/2015/05/02/mengenal-bells-palsy/

2.5 Epidemiologi Bell’s palsy

Prevalensi Bell’s Palsy dibeberapa negara cukup tinggi, di Inggris dan

Amerika berturut-turut 22,4 dan 22,8 penderita per 100.000 penduduk per tahun.

Di Belanda 1 penderita per 5000 orang dewasa dan 1 penderita per 20.000

anak per tahun. Bell’s Palsy dapat menyerang pria dan wanita pada setiap usia

dengan tingkat persentase morbiditas yang sama. (4)

2.6 Ethiologietiopatogenesis

Beberapa teori telah diduga sebagai penyebab dari Bell’s palsy, antara lain:

(4),(9)

1. iskemik vaskular

Beberapa mekanisme termasuk iskemia primer atau inflamasi saraf

fasialis, menyebabkan edema dan penjepitan saraf fasialis selama

perjalanannya didalam kanal tulang temporal dan menghasilkan

kompresi dan kerusakan langsung atau iskemia sekunder terhadap

saraf.

51
2. imunologi

3. infeksi dan

Mekanisme lainnya adalah infeksi virus, yang secara langsung

merusak fungsi saraf melalui mekanisme inflamasi, yang kemungkinan

terjadi pada seluruh perjalanan saraf dan bukan oleh kompresi pada

kanal tulang.

4. herediter telah diduga menjadi penyebab.

Adanya peran genetik juga telah dikemukakan sebagai penyebab Bell’s

palsy, terutama kasus Bell’s palsy yang rekuren ipsilateral atau

kontralateral. Kebanyakan kasus yang dijumpai adalah autosomal

dominant inheritance. Sejumlah penelitian telah berusaha rnemberikan

temuan objektif tentang dasar genetik dari BeII’s palsy, dan

kebanyakan terpusat pada sistem Human leucocyte antigen (HLA),

yang memiliki hubungan objektif yang kuat dengan berbagai penyakit

autoimun.

2.7 Gejala Klinis Bell’s Palsy (3), (7)

pada paresis nervus fasialis UMN (karena lesi dikorteks atau kapsula interna)

otot wajah bagian bawah saja yang jelas paretik, sedangkan otot wajah atas

tidak jelas lumpuh. Sebaliknya, pada kelumpuhan nervus fasialis LMN

(karena lesi infranuklearis), baik otot wajah atas maupun bawah, kedua-

duanya jelas lumpuh.

Gejala yang timbul pada cedera N. Fasialis bergantung pada lokasi lesi

berdasarkan anatominya.

61
Cedera pada segmen vertical mastoid terlihat hilangnya fungsi pengecapan

pada 2/3 anterior.

Pada cederah segmen horizonal (N. fasialis segmen telingga tenggah) akan

menyebabkan hilangnya refleks strapedius, sehingga terjadi hiperakusis

(hipersensitivitas terhadap bunyi yang keras) dan hilangnya pengecapan ipsila-

teral.

Jika ditinjau dari letak lesinya, tidak semua gejala dan tanda tersebut muncul.

Terdapat lima letak lesi yang dapat memberikan petunjuk munculnya gejala

dan tanda Bell’s palsy yaitu

bila lesi setinggi Meatus Akustikus Internus menyebabkan kelemahan

seluruh otot wajah ipsilateral, gangguan pendengaran berupa tuli dan gangguan

keseimbangan.

Pada lesi yang terletak setinggi Ganglion Genikulatum akan terjadi kelemahan

seluruh otot wajah ipsilateral serta gangguan pengecapan, lakrimasi dan salivasi.

71
Sementara itu lesi setinggi Nervus Stapedius menyebabkan kelemahan seluruh

otot wajah ipsilateral, gangguan pengecapan dan salivasi serta hiperakusis.

Selanjutnya pada lesi setinggi Kanalis Fasialis (diatas persimpangan dengan

korda timpani tetapi dibawah ganglion genikulatum) akan terjadi kelemahan

seluruh otot wajah ipsilateral, gangguan pengecapan dan salivasi.

Yang terakhir, lesi yang terletak setinggi foramen stylomastoid akan

menyebabkan kelemahan seluruh otot wajah ipsilateral.

 paralisis akut motoric otot wajah pada bagian atas dan bawah unilateral-

periode 48 jam

 Kelumpuhan pada separuh wajah, seperti halnya pada sebagian mulut

sebelah sisi, alis mata dan kelopak mata sebelah sisi.

 Rasa tebal atau kaku pada separuh wajah tanpa defisit sensoris yang

obyektif

 Beberapa mengeluhkan nyeri yang ringan-moderat pada sudut rahang

 Produksi air mata yang menurun

 Hiperakusis

 Gangguan pengecapan.

81
2.8 Patofisiologi Bell’s Palsy

Terdapat lima teori1 yang kemungkinan menyebabkan terjadinya Bell’s palsy,

yaitu iskemik vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi. Teori virus lebih

banyak dibahas sebagai etiologi penyakit ini. Burgess et al1 mengidentifikasi

genom virus herpes simpleks (HSV) di ganglion genikulatum seorang pria usia

lanjut yang meninggal enam minggu setelah mengalami Bell’s palsy. (8)

Gambar: korterks nerfus fasialis.


Sumber: synopsis organ system neurologi pendekatan dengan system terpadu dab disertai kumpulan
kasus klinik (8)

Menggunakan teknik reaksi rantai polimerase untuk mengamplifikasi sekuens

genom virus, dikenal sebagai HSV tipe 1 di dalam cairan endoneural sekeliling

saraf ketujuh pada 11 sampel dari 14 kasus Bell’s palsy yang dilakukan

dekompresi pembedahan pada kasus yang berat. Murakami et al1 menginokulasi

HSV dalam telinga dan lidah tikus yang menyebabkan paralisis pada wajah tikus

tersebut. Antigen virus tersebut kemudian ditemukan pada saraf fasialis dan

ganglion genikulatum. Dengan adanya temuan ini, istilah paralisis fasialis herpes

simpleks atau herpetika dapat diadopsi. (2)

91
2.9 Diagnosis (7)

Diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan fisik serta jika

perlu dilakukan pemeriksaan penunjang.

2.9.1 Anamnesis

Gejala awal:

• Kelumpuhan muskulus fasialis

• Tidak mampu menutup mata

• Nyeri tajam pada telinga dan mastoid (60%)

• Perubahan pengecapan (57%)

• Hiperakusis (30%)

• Kesemutan pada dagu dan mulut

• Epiphora

• Nyeri ocular

• Penglihatan kabur

Onset Bells’ palsy mendadak, dan gejala mencapai puncaknya kurang dari 48

jam. Kebanyakan pasien mencatat paresis terjadi pada pagi hari. Kebanyakan 3.

Pemeriksaan Fisi

2.9.2 Pemeriksaan Fisik (3), (7)

Pemeriksaan yang teliti pada kepala, telinga, mata, hidung dan mulut harus

dilakukan pada semua pasien dengan paralisis fasial.

1. Kelemahan atau paralisis yang melibatkan saraf fasial (N VII) melibatkan

kelemahan wajah satu sisi (atas dan bawah). Pada lesi UMN (lesi supra

02
nuclear di atas nukleus pons), 1/3 wajah bagian atas tidak mengalami

kelumpuhan. Muskulus orbikularis, frontalis dan korrugator diinervasi

bilateral pada level batang otak. Inspeksi awal pasien memperlihatkan 117

lipatan datar pada dahi dan lipatan nasolabial pada sisi kelumpuhan.

2. Saat pasien diminta untuk tersenyum, akan terjadi distorsi dan lateralisasi

pada sisi berlawanan dengan kelumpuhan.

3. Pada saat pasien diminta untuk mengangkat alis, sisi dahi terlihat datar.

4. Pasien juga dapat melaporkan peningkatan salivasi pada sisi yang lumpuh.

Jika paralisis melibatkan hanya wajah bagian bawah, penyebab sentral harus

dipikirkan (supranuklear). Jika pasien mengeluh kelumpuhan kontra lateral atau

diplopia berkaitan dengan kelumpuhan fasial kontralateral supranuklear, stroke

atau lesi intra serebral harus sangat dicurigai. Jika paralisis fasial onsetnya

gradual, kelumpuhan pada sisi kontralateral, atau ada riwayat trauma dan infeksi,

penyebab lain dari paralisis fasial harus sangat dipertimbangkan. Progresifitas

paresis masih mungkin, namun biasanya tidak memburuk pada hari ke 7 sampai

10. Progresifitas antara hari ke 7-10 dicurigai diagnosis yang berbeda. Pasien

dengan kelumpuhan fasial bilateral harus dievaluasi sebagai Sindroma Guillain-

Barre, penyakit Lyme, dan meningitis.

Manifestasi Okular Komplikasi okular awal:

• Lagophthalmos (ketidakmampuan untuk menutup mata total)

• Corneal exposure

• Retraksi kelopak mata atas

• Penurunan sekresi air mata

• Hilangnya lipatan nasolabial

• Erosi kornea, infeksi dan ulserasi (jarang)

12
Manifestasi okular lanjut:

• Ringan: kontraktur pada otot fasial, melibatkan fisura palpebral.

• Regenerasi aberan saraf fasialis dengan sinkinesis motorik.

• Sinkinesis otonom (air mata buaya-tetes air mata saat mengunyah).

• Dua pertiga pasien mengeluh masalah air mata. Hal ini terjadi karena

penurunan fungsi orbicularis okuli dalam mentransport air mata.

Nyeri auricular posterior Hiperakusis pada telinga ipsilateral paralisis, sebagai

akibat kelumpuhan sekunder otot stapedius.

Gangguan pengecapan

Walaupun hanya sepertiga pasien melaporkan gangguan pengecapan, sekitar

80% pasien menunjukkan penurunan rasa pengecapan. Kemungkinan pasien gagal

mengenal penurunan rasa, karena sisi lidah yang lain tidak mengalami 118

gangguan. Penyembuhan awal pengecapan mengindikasikan penyembuhan

komplit

2.9.3 Kriteria Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan

neurologis (saraf kranialis, motorik, sensorik, serebelum). Bells’ palsy adalah

diagnosis eksklusi.

Gambaran klinis penyakit yang dapat membantu membedakan dengan

penyebab lain dari paralisis fasialis:

a. Onset yang mendadak dari paralisis fasial unilateral

b. Tidak adanya gejala dan tanda pada susunan saraf pusat, telinga, dan

penyakit cerebellopontin angle.

Jika terdapat kelumpuhan pada saraf kranial yang lain, kelumpuhan motorik

22
dan gangguan sensorik, maka penyakit neurologis lain harus dipikirkan (misalnya:

stroke, GBS, meningitis basilaris, tumor Cerebello Pontine Angle).

Untuk menilai derajat paresis netvus fasialis digunakan klasifikasi Sistem

grading yang dikembangkan oleh House and Brackmann

dengan skala I sampai VI.

a. Grade I adalah fungsi fasial normal.

b. Grade II disfungsi ringan. Karakteristiknya adalah sebagai berikut:

1. Kelemahan ringan saat diinspeksi mendetil.

2. Sinkinesis ringan dapat terjadi.

3. Simetris normal saat istirahat.

4. Gerakan dahi sedikit sampai baik.

5. Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan sedikit usaha.

6. Sedikit asimetri mulut dapat ditemukan.

c. Grade III adalah disfungsi moderat, dengan karekteristik:

1. Asimetri kedua sisi terlihat jelas, kelemahan minimal.

2. Adanya sinkinesis, kontraktur atau spasme hemifasial dapat ditemukan

3. Simetris normal saat istirahat.

4. Gerakan dahi sedikit sampai moderat.

5. Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan usaha.

6. Sedikit lemah gerakan mulut dengan usaha maksimal.

d. Grade IV adalah disfungsi moderat sampai berat, dengan tandanya sebagai

berikut:

1. Kelemahan dan asimetri jelas terlihat.

2. Simetris normal saat istirahat.

3. Tidak terdapat gerakan dahi.

32
4. Mata tidak menutup sempurna.

5. Asimetris mulut dilakukan dengan usaha maksimal.

e. Grade V adalah disfungsi berat. Karakteristiknya adalah sebagai berikut:

1. Hanya sedikit gerakan yang dapat dilakukan.

2. Asimetris juga terdapat pada saat istirahat.

3. Tidak terdapat gerakan pada dahi.

4. Mata menutup tidak sempurna.

5. Gerakan mulut hanya sedikit.

f. Grade VI adalah paralisis total. Kondisinya yaitu:

1. Asimetris luas.

2. Tidak ada gerakan.

2.9.4 Pemeriksaan penunjang

Bell’s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang

perlu dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf

kranialis. Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat

dilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem

saraf pusat (SSP). Pada pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai

neoplasma di tulang temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi

sklerosis multipel. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan

penyengatan kontras saraf fasialis. (1)

Elektro Neuro-Miografi (ENMG) adalah prosedur untuk melakukan

pengecekkan kesehatan otot dan pengecekkan saraf yang mengendalikan otot,

biasa sering disebut EMG (Elektromiografi). Pemeriksaan Elektro Neuro-

Miografi (ENMG) dilakukan menggunakan alat yang

42
disebut electroneuromyograph lalu rekaman yang dihasilkan disebut dengan

Elektroneuromiogram.

Teknik ini mendeteksi potensial aksi dari sel saraf dan otot dengan

menggunakan elektroda yang ditempel di atas jaringan otot. Elektro Neuro-

Miografi (ENMG) dilakukan ketika pasien mengalami penjepitan saraf tepi seperti

pada B ell’s palsy atau carpal tunnel syndrome dan kelemahan otot yang dicurigai

bukan karena gangguan pada otak. Pemeriksaan ini dapat membantu untuk

membedakan antara masalah-masalah yang berasal dari otot itu sendiri atau dari

gangguan syaraf.

Otot memiliki sinyal elektrik yang bergerak saat otot bekerja. Sinyal ini tak

ada ketika otot diam. Dengan pemeriksaan Elektro Neuro-Miografi (ENMG),

dokter dapat mengamati sinyal kelistrikan otot tersebut untuk menegakkan

diagnosis atas keluhan pasien.

52
2.10 Diagnosis Banding

Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi sentral

dan perifer.

1. Kelainan sentral

a. dapat merupakan stroke bila disertai kelemahan anggota gerak sisi

yang sama dan ditemukan proses patologis di hemisfer serebri

kontralateral;

b. kelainan tumor apabila onset gradual dan disertai perubahan mental

status atau riwayat kanker di bagian tubuh lainnya;

c. sklerosis multipel bila disertai kelainan neurologis lain seperti

hemiparesis atau neuritis optika; dan trauma bila terdapat fraktur os

temporalis pars petrosus, basis kranii, atau terdapat riwayat trauma

sebelumnya.

2. Kelainan perifer

otitis media supuratif dan mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam

kavum timpani dan foto mastoid menunjukkan suatu gambaran infeksi;

herpes zoster otikus bila ditemukan adanya tuli perseptif, tampak vesikel

yang terasa amat nyeri di pinna dan/atau pemeriksaan darah menunjukkan

kenaikan titer antibodi virus varicella-zoster; sindroma Guillain-Barre saat

ditemukan adanya paresis bilateral dan akut; kelainan miastenia gravis jika

terdapat tanda patognomonik berupa gangguan gerak mata kompleks dan

kelemahan otot orbikularis okuli bilateral; tumor serebello-pontin (tersering)

62
apabila disertai kelainan nervus kranialis V dan VIII; tumor kelenjar parotis

bila ditemukan massa di wajah (angulus mandibula); dan sarcoidosis saat

ditemukan tanda-tanda febris, perembesan kelenjar limfe hilus, uveitis,

parotitis, eritema nodosa, dan kadang hiperkalsemia.

2.11 Pentalaksanaan

Peran dokter umum sebagai lini terdepan pelayanan primer berupa identifikasi

dini dan merujuk ke spesialis saraf (jika tersedia) apabila terdapat kelainan lain

pada pemeriksaan neurologis yang mengarah pada penyakit yang menjadi

diagnosis banding Bell’s palsy. Jika tidak tersedia, dokter umum dapat

menentukan terapi selanjutnya setelah menyingkirkan diagnosis banding lain.

Terapi yang diberikan dokter umum dapat berupa kombinasi fakmakologis dan

nonfarmakologis atau fisioterapi seperti dijelaskan di bawah ini:

1. Terapi Farmakologis

Beberapa rekomendasi yang dapat dianjurkan untuk pengobatan

farmakologi diantaranya adalah terapi steroid, terapi antiviral dan terapi

kombinasi. Selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Terapi steroid: dari beberapa literatur telah memberikan bukti

bahwa steroid dapat meningkatkan kesembuhan pada waktu 3

bulan dan 6 bulan. Terapi prednisolone menjadi pengobatan

berbasis bukuti sampai sekarang. Dosis steroid yang dapat

direkomendasikan adalah:
Prednisolone 1 mg/kg atau 60 mg/hari selama 6 hari, harus

diikuti dengan tapering off, selama 10 hari.

72
b. Terapi antiviral: dari beberap studi meragukan bukti

kesembuhan, tetapi terapi antiviral dapat digunakan dalam kondisi

tertentu terutama dicurigai penyebabnya virus. Terapi yang

direkomendasikan adalah:
Asiklovir dengan dosis 400 mg oral 5x sehari selama 10

hari. Tetapi dicurigai virus varicela maka rekomendasi

dosis dapat dinaikan – 800 mg oral 5x sehari.

c. Terapi kombinasi: pemberian terapi kombinasi sampai sekarang

tidak menguntungkan disbanding terapi strerooid saja.

d. Pembedahan: jika pasien tidak menunjukan respon pada

farmakoterapi maka dapat dipertimbangkan dekompresi nervus

fasilis dan degenerasi pada akson,

2. Terapi Non Farmakologi

Dapat dilihat dari perjalanan penyakit bell’s palsy dengan pronoksis

kesembuhan yang baik. Ini sebuah kontraversi sehingga sangat perlu

untuk Tindakan pengobatan. Terapi yang disarankan adalah:

 Fisioterapi

Tindakan yang dapat direkomendasikan adalah

1. Terapi panas superfisial

2. Elektroterapi dengan arus listrik

3. Rehabilitasi fasial meliputi edukasi, pelatihan neuro-muskular,

masase, meditasirelaksasi, program pelatihan di rumah.

Terdapat empat kategori terapi yang dirancang sesuai dengan

82
keparahan penyakit, yaitu kategori inisiasi, fasilitasi, kontrol

gerakan, dan relaksasi.

2.10 Komplikasi

Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell’s palsy, adalah:

 Iritasi dan ulserasi kornea, karena pada pasien bell’s palsy mengalami

kesulitan menutup mata di bagian yang mengalami lesi, maka harus ada

pemberian lubrikasi dengan air mata artifisial

 Kelemahan permanen pada bagian kelopak mata yang lesi

 Asimetris wajah dan kontraktur muskuler perlu dilakukan penanganan

pembedahan kosmetik

 regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan

pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan

sensasi atau sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal), dan

2.11 Prognosis

Secara keseluruhan prognosis Bell’s palsy baik, waktu penyembuhan

bervariasi antara beberapa minggu sampai 12 bulan. Pada umumnya Sekitar 80-

90% pasien dengan Bell’s palsy sembuh total dalam 6 minggu, dan sekitar 30%

akan mengalami degenerasi aksonal yang akan mendasari terjadinya kelemahan

menetap.

Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit (risiko

sekuele berat), riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post-aurikular,

gangguan pengecapan, refleks stapedius, wanita hamil dengan Bell’s palsy, bukti

92
denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat), dan kasus dengan

penyengatan kontras yang jelas.

Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah paralisis parsial

inkomplit pada fase akut (penyembuhan total), pemberian terapi secara dini,

penyembuhan awal atau perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu perta

sangat baik.

03
BAB III

KESIMPULAN

Bell’s Palsy merupakan sindrom klinis gangguan saraf fasialis yang bersifat

perifer. Keterlibatan virus Herpes Simplex tipe 1 banyak dilaporkan sebagai

penyebab kerusakan saraf tersebut, meski penggunaan preparat antivirus masih

menjadi perdebatan dalam tata laksana.

Gejala klinis berupa: gangguan kelumpuhan pada separuh wajah seperti halnya

separuh mulut, alis dan kelopak mata susah digerakkan ke atas pada sisi yang

sakit, terasa nyeri pada rahang dari ringan-moderate, terkadang adanya ganggu

hiperakusis, dan gangguan pengecapan.

Terapi steroid untuk bell’s palsy sampai sekarang menjadi obat pilihan

berbasis bukti, prednisolone menjadi pilihan utama selain digunakan obat

antiviran walaupun secara bukti masih diragukan, namun pada kondisi tertentu,

yang mengarah pada infeksi virus dapat digunakan terapi kombinasi.

01
DAFTAR PUSTAKA

1. purnomo, hari, et al. buku ajar Neurologi. malang : sangung seto, 2017.

2. Bell's vallsy. Annsilva. s.l. : jurnal ilmia keseatan, 2010.

3. gejala dan penyebab bell's palsy. Sutis. 2010.

4. Karakteristik pasien Bell's pallsy di rumah sakit umum pusat DR. Waidin

sudirousodo pada tahun 201. Habdulla, Hilman. 2016, unhas, pp. 24-31.

5. Corticosteroid and antiviral therapy for Bell’s: a network metha-analisis.

Numthavaj, Pawin, et al. bangkok : BMC Neurologi, 2011.

6. Corticosteroids for Bell’s palsy (idiopathic facial paralysis)(review). Madhok

VB, Gagyor I, Daly F, Somasundara D, Sullivan M, Gammie F, Sullivan F.

inggris : by John Wiley & Sons, Ltd, 2016, Vol. 7.

7. lumbantobing. neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental. jakarta : FKUI,

2013.

8. K, Tao L dan kendall. Sinopsis organ system neurologi pendekatan dengan

sistem terpadu dan disertai kumpulan kasus klinik. tangeran selatan : karisma

publishing group, 2014.

9. Randomized Controlled Trials of Antiepileptic Drugs for the Treatment of Post-

stroke Seizures: a Systematic Review with Network Meta-analysis. . Brigo, S.

Lattanzi, J. Zelano, N.L. Bragazzi, V. Belcastro, R. Nardone, E. Trinka.

University of Verona, Italy : s.n., 2018.

10. Corticosteroids for Bell’s palsy (idiopathic facial paralysis). Madhok VB,

Gagyor I, Daly F, Somasundara D, Sullivan M, Gammie F, Sullivan. 2016 :

Published by John Wiley & Sons, Ltd.


11. Corticosteroid and antiviral therapy for Bell’s palsy: A network meta-

analysis. Pawin Numthavaj, Ammarin Thakkinstian, Charungthai

Dejthevaporn, John Attia3. Bangkok:Thailand : BMC Neurology 2, 2011.

Anda mungkin juga menyukai