Anda di halaman 1dari 36

REFERAT

DISLOKASI SENDI BAHU

DAFTAR ISI

1
DAFTAR ISI............................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................3
I.1 Latar Belakang................................................................................................3
I.2 Tujuan.............................................................................................................4
I.3 Manfaat...........................................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................5
II.1 Anatomi Regio Deltoidea..............................................................................5
II.2 Artikulasi (Persendian)..................................................................................9
II.2.1 Klasifikasi Sendi..................................................................................10
II.2.2 Stuktur dan Fungsi Sendi.....................................................................14
II.3 Sendi Glenohumeral (Sendi Bahu)..............................................................19
II.3.1 Ligamentum.........................................................................................20
II.3.2 Musculus dan Tendon...........................................................................21
II.3.3 Bursae...................................................................................................22
II.3.4 Vaskularisasi.........................................................................................22
II.3.5 Inervasi.................................................................................................23
II.3.6 Biomekanika Sendi Glenohumeral.......................................................23
II.4 Dislokasi Bahu............................................................................................25
II.4.1 Epidemiologi........................................................................................26
II.4.2 Etiologi Dislokasi.................................................................................26
II.4.3 Faktor Risiko........................................................................................26
II.4.4 Mekanisme Cedera...............................................................................27
II.4.5 Klasifikasi.............................................................................................27
II.4.6 Manifestasi Klinis................................................................................30
II.4.7 Diagnosis..............................................................................................30
II.4.8 Penatalaksanaan...................................................................................31
II.4.9 Komplikasi...........................................................................................33
II.4.10 Prognosis............................................................................................33
BAB III KESIMPULAN........................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................35

2
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Dislokasi adalah suatu keadaan di mana permukaan sendi terpisah secara
keseluruhan. Dislokasi dapat mengenai komponen tulang saja atau keseluruhan
komponen tulang yang bergeser atau terlepas dari tempat yang seharusnya
(Solomon et al, 2014). Dislokasi dapat terjadi pada seluruh sendi tubuh. Dislokasi
sendi bahu merupakan dislokasi yang paling umum terjadi, yaitu sekitar 50 %
kasus dari keseluruhan kasus dislokasi sendi (Li et al, 2016). Dislokasi sendi bahu
dapat pada bagian anterior atau posterior namun yang paling sering terjadi
dislokasi adalah pada bagian anterior (Solomon et al, 2014). Dislokasi sendi bahu
atau sendi glenohumeral terjadi ketika caput humerus terpisah dari cavitas
glenoidalis (Court-Brown dan Robinson, 2006). Banyaknya kejadian dislokasi
sendi bahu terjadi karena sendi bahu mempunyai range of motion yang luas, yaitu
memungkinkan brachium bergerak memutar tiga axis. Gerak brachium pada sendi
ini adalah flexi, extensi, abduksi, adduksi, rotasi medial, rotasi lateral, dan
sirkumduksi. Selain itu, cavitas glenoidalis yang membentuk sendi bahu dengan
caput humeri berbentuk koma dan dangkal, serta adanya kelonggaran ligamen
sehingga sendi bahu menjadi sendi yang paling sering terjadi dislokasi (Drake et
al, 2014; Solomon et al, 2014).
Menurut Zacchilli dan Owens (2010), insidensi dislokasi sendi bahu
berdasarkan beberapa penelitian adalah 11,2–23,9 per 100.000 orang per tahun
pada populasi umum. Insidensi dislokasi sendi bahu di Amerika Serikat, yaitu
23,9 per 100.000 orang per tahun dengan 71,8 % terjadi pada laki-laki. Insidensi
penderita dislokasi sendi bahu pada laki-laki berdasarkan usia, yaitu 47.8 %
terjadi pada usia 20–29 tahun, 46,8 % terjadi pada usia 15–29 tahun. Kejadian
dislokasi tidak dipengaruhi oleh suatu ras. Penyebab dislokasi sendi bahu, yaitu
jatuh (58,8%) baik di rumah (47.7 %) mau pun di tempat rekreasi (34,5%), dan
saat olahraga (48,3%).

3
Dislokasi sendi bahu terjadi pada cedera akut di mana lengan dipaksa dalam
gerakan abduksi, rotasi eksternal dan ekstensi. Dislokasi sendi bahu ditandai
dengan nyeri yang parah, pasien menggendong lengan yang sakit dengan tangan
yang lainnya dan tidak mengizinkan untuk pemeriksaan, garis lateral bahu rata
dan tonjolan kecil dapat dilihat dan dirasakan tepat di bawah klavikula, sendi bahu
tidak dapat digerakan, dan pasien tidak dapat memegang bahu yang berlawanan
(Solomon et al, 2014; Court-Brown dan Robinson, 2006). Oleh karena dislokasi
sendi bahu merupakan dislokasi sendi yang paling sering terjadi, referat ini dibuat
agar gejala dan tanda klinis dislokasi sendi bahu dapat diketahui secara dini
sehingga diagnosis dapat ditegakkan dan tatalaksana dapat diberikan.

I.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan referat ini adalah untuk mengetahui tentang dislokasi
sendi bahu mulai dari definisi, etiologi, diagnosis, penatalaksaan, komplikasi
sampai dengan prognosis.

I.3 Manfaat
Referat ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah ilmu
pengetahuan dan wawasan tentang dislokasi sendi bahu.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi Regio Deltoidea

Gambar 1. Gelang Bahu (Pectoral Girdle)


Sumber: Tortora dan Derrickson, 2009

Regio deltodia terdiri dua gelang bahu (pectoral girdle) dan ujung proximal
humerus. Tubuh manusia terdiri dari dua gelang bahu, yang berfungsi melekatkan
ekstremitas superior ke skeleton aksial. Setiap gelang bahu terdiri dari tulang
klavikula dan skapula. Klavikula berada di anterior yang berartikulasi dengan
manubrium sterni di sendi sternoklavikula. Skapula berartikulasi dengan klavikula
di sendi akromioklavikularis dan dengan humeris di sendi glenohumeral. Gelang
bahu tidak berartikulasi dengan tulang belakang sehingga posisi gelang bahu
distabilisasikan oleh sekelompok otot besar yang memanjang dari kolumna
vertebra dan costae ke scapula (Drake et al, 2014 dan Tortora dan Derrickson,
2009).

5
Gambar 2. Klavikula Kanan
Sumber: Tortora dan Derrickson, 2009

Klavikula merupakan tulang berbentuk S yang terletak secara horizontal di


bagian thoraks anterior di atas rusuk pertama. Bentuk S dari tulang klavikula
karena bagian medial klavikula berbentuk cembung anterior dan bagian lateral
klavikula berbentuk cekung anterior. Ujung medial klavikula membentuk sendi
sternoklavikula dengan manubrium sterni, sedangkan ujung lateral klavikula yang
lebar dan datar disebut ujung akromial, membentuk sendi akromioklavikular
dengan tulang akromion skapula. Permukaan inferior bagian lateral klavikula
terdapat tuberkel konoid yang merupakan tempat melekatnya ligamen konoid di
mana ligamen tersebut berperan dalam melekatkan klavikula dan skapula. Pada
permukaan inferior bagian medial klavikula terdapat impression untuk ligamen
costoclavikular, yaitu ligamen yang menghubungkan klavikula dengan costae
pertama (Tortora dan Derrickson, 2009).

6
Gambar 3. Skapula Kanan
Sumber: Martini et al, 2012

Skapula adalah tulang yang besar, pipih, dan berbentuk segitiga dengan tiga
angulus (lateralis, superior, dan inferior), tiga margo (superior, lateralis, dan
medialis), dua fascies (costalis dan posterior), dan tiga processus (acromion,
spina, dan processus coracoideus). Angulus lateralis ditandai dengan cavitas
glenoidalis yang berbentuk seperti koma, dangkal, yang bersendi dengan caput
humeri untuk membentuk sendi glenohumeral. Sebuah bentuk segitia kasar
(tuberculum infraglenoidale), berada inferior dari cavitas glenoidalis, adalah
tempat perlekatan caput longum musculus triceps brachii. Tuberculum
supraglenoidale, berada di superior dari cavitas glenoidalis, adalah tempat
perlekatan caput longum musculus biceps brachii. Pada bagian posterior scapula
suatu spina scapulae membagi scapula menjadi fossa supraspinata yang kecil dan
fossa infraspinata yang lebih besar di inferior. Acromion merupakan proyeksi
anterolateral spina, melengkung di atas sendi glenohumeral dan bersendi, melalui
fascies ovalis kecil pada ujung distalnya, dengan klavikula (Drake et al, 2014).
Fascies cotalis skapula dicirikan dengan adanya fossa subscapularis yang dangkal
dan cekung di sebagian besar permukaannya. Margo lateral skapula kuat dan tebal
untuk melekatnya muscular, sedangkan margo medialis dan superior bentuknya

7
tipis dan tajan. Margo superior ditandai dengan ujung lateralnya oleh processus
coracoideus dan incisura suprascapularis. Processus coracoideus merupakan
tempat melekatnya tendon dari musculus (pectoralis minor, coracobrachialis, dan
biceps brachii) dan tempat melekatnya ligamen (coracoacromial, conoid, dan
trapezoid) (Drake et al, 2014; Tortora dan Derrickson, 2009).

Gambar 4. Humerus Kanan


Sumber: Martini et al, 2012

Ujung proximal humerus terdiri atas caput, collum anatomicum, tuberculum


majus dan tuberculum minus, collum chirurgicum, dan separuh bagian superior
corpus humeri (Drake et al, 2014)
Caput humeri berbentuk seperti bola, mengarah ke medial dan agak superior
untuk besendi dengan cavitas glenoidalis scapula yang lebih kecil. Collum

8
anatomicum sangat pendek dan dibentuk oleh penyempitan dangkal tepat distal
dari caput. Struktur ini disebelah lateral berada di antara caput dan tuberculum
majus serta tuberculum minus, sedangkan di sebelah medial berada di antara caput
dan corpus (Drake et al, 2014).
Tuberculum manus dan tuberculum minus adalah penanda yang menonjol
pada ujung proximal humerus dan merupakan tempat perlekatan keempat
musculus manset rotator/rotator cuff sendi glenohumeral. Tuberculum majus
berada di lateral. Permukaa superior dan posteriornya ditandai oleh tiga fascies
halusyang besar untuk perlekatan tendo musculus, yaitu fascies superior untuk
perlekatan musculus supraspinatus, fascies medius untuk perlekatan musculus
infraspinatus dan fascies inferior untuk perlekatan musculus teres minor.
Tuberculum minus berada di anterior dan merupakan tempat perlekatan musculus
subsclapularis (Drake et al, 2014).
Ada tiga sendi pada region deltodidea, yaitu sendi sternoclavikularis, sendi
acromioclavikularis, dan sendi glenohumeral. Sendi sternoclavikularis dan sendi
acromioclavikularis menghubungkan kedua tulang gelang bahu satu sama lain dan
pada trunchus. Kombinasi gerakan pada kedua sendi ini memungkinkan skapula
ditempatkan dalam berbagai posisi terhadap dinding cavitas thoracis, yang secara
substansial dapat meningkatkan jangkauan ekstremitas superior. Sendi
glenohumeral (sendi bahu) adalah persendian antara humerus lengan atas dan
skapula (Drake et al, 2014).

II.2 Artikulasi (Persendian)


Artikulasi atau persendian merupakan hubungan antardua tulang atau lebih
yang bertemu sehingga memungkinkan gerakan pada tulang. Pertemuan antardua
tulang tersebut dapat berkontak langsung atau dipisahkan oleh jaringan fibrosa,
kartilago, atau cairan. Setiap sendi mempunyai range of motion (rentang gerak)
tertentu, pergerakan tersebut dipertahankan normal oleh berbagai permukaan
tulang, tulang rawan, tendon, ligamen, dan otot-otot. Fungsi dan range of motion
suatu sendi bergantung pada anatomisnya. Beberapa sendi saling terkait dan
sepenuhnya tidak terdapat gerakan, sedangkan beberapa sendi lain memungkinkan
gerakan ringan atau gerakan ekstensif (Martini et al, 2012).

9
II.2.1 Klasifikasi Sendi
Klasifikasi persendian berdasarkan range of motion, yaitu sinartrosis,
amfiartrosis, dan diartrosis. Penyebab perbedaan rentang gerak dari ketiga sendi
tersebut adalah perbedaan struktur anatomi penyusunnya (Martini et al, 2012).
a. Sinartrosis
Merupakan sendi yang tidak dapat digerakan sama sekali. Pada
sendi sinartrosis, tepi tulang cukup berdekatan dan bahkan saling terkait
(Martini et al, 2012).
1) Sutura
Sutura merupakan sendi sinartrosis yang ditemukan hanya di antara
tulang tengkorak. Tepi tulang saling bertautan dan terikat bersama di
sutura oleh jaringan ikat. Jaringan ikat tersebut disebut ligamen
sutural atau membran sutural.
2) Gomfosis
Gomfosis merupakan bentuk khusus dari sendi sinartrosis fibrosa
yang mengikat setiap gigi ke soket tulang di sekitarnya.
3) Sinkondrosis
Jaringan penghubung yang terdiri dari tulang rawan, terdapat di
tulang yang sedang tumbuh, yaitu antara epifisis dan diafisis.
4) Sinostosis
Sinostosis merupakan sendi yang benar-benar kaku dan tidak
terpisahkan yang terbentuk dari dua tulang yang terpisah benar-benar
bersatu sehingga batas di antara tulang tersebut menghilang.
b. Amfiartrosis
Amfiartrosis merupakan sendi yang memungkinkan sedikit
pergerakan. Sendi ini disusun oleh tulang yang dihubungkan oleh serat
kolagen atau tulang rawan. Pada sindesmosis, suatu ligamen
menghubungkan dan membatasi pergerakan tulang yang berartikulasi.
Contohnya artikulasi distal antara tibia dan fibula, membrane interoseus
antara radius dan ulna. Pada simfisis merupakan sendi yang disusun oleh
suatu bantalan kartilago fibrosa, contohnya antartulang vertebral yang

10
berdekatan (melalui diskus intervertebralis) dan antara dua tulang
simfisis pubis (Martini et al, 2012).
c. Diartrosis
Sendi diartrosis atau sinovial adalah sendi yang memungkinkan
berbagai macam pergerakan karena memiliki range on motion yang luas.
Dalam kondisi normal, permukaan tulang dalam sendi sinovial ditutupi
oleh artikular kartilago dan karenanya antartulang tidak saling
terhubung. kartilago bertindak sebagai peredam kejut dan juga
membantu mengurangi gesekan. Artikular kartilago menyerupai
kartilago hialin, namun artikular kartilago tidak mempunyai
perikondrium dan matriks mengandung lebih banyak cairan daripada
kartilago hialin. Sendi sinovial biasanya ditemukan di ujung tulang
panjang, seperti anggota tubuh bagian atas dan bawah (Martini et al,
2012).

Gambar 5. Struktur Sendi Sinovial


Sumber: Martini et al, 2012

Struktur sendi sinovial memiliki karakteristik dasar yang sama,


yaitu (1) kapsul sendi, (2) artikular kartilago, (3) rongga sendi yang diisi
carian sinovial, (4) membran sinovial yang melapisi kapsul sendi, (5)

11
struktur aksesori, (6) saraf sensorik dan pembuluh darah yang memasok
eksterior dan interior sendi (Martini et al, 2012).
1) Cairan sinovial
Sendi sinovial dikelilingi kapsul sendi atau kapsul artikular,
terdiri dari lapisan tebal jaringan ikat yang padat dan teratur. Suatu
membran sinovial melapisi rongga sendi tetapi berakhir pada tepi
artikular kartilago. Membran sinovial berperan dalam menghasilkan
cairan sinovial yang mengisi rongga sendi. Cairan sinovial berfungsi
sebagai berikut (Martini et al, 2012).
(a) Memberikan pelumasan
Cairan sinovial membentuk lapisan tipis cairan sinovial yang
menutupi bagian dalam permukaan kapsul sendi dan permukaan
yang terbuka dari artikular kartilago memberikan pelumasan dan
mengurangi gesekan. Cairan sinovial terdiri dari hyaluronat dan
lubrikan.
(b) Memelihara kondrosit
Jumlah total cairan sinovial dalam suatu sendi adalah normalnya
kurang dari 3 mL, bahkan pada persendian besar seperti lutut.
Volume yang relatif sedikit ini harus bersirkulasi untuk
memberikan nutrisi dan membuang zat sisa kondrosit artikular
kartilago. Sirkulasi cairan digerakan oleh gerakan sendi, yang
menyebabkan siklus kompresi dan ekspansi di artikular kartilago
yang bergantian. Pada kompresi, cairan sinovial dipaksa keluar
dari artikular kartiolago, dan pada ekspansi cairan sinovial ditarik
kembali. Aliran sinovial keluar dari dan ke dalam artikular
kartilago membantu dalam menghilangkan zat sisda dan
menyediakan nutrisi untuk kondrosit.
(c) Peredam
Bantal cairan sinovial melindungi sendi dari kompresi. Misalnya
terkompresi pada pinggul, lutut, dan pergelangan kaki saat
berjalan, atau sangat terkompresi saat jogging atau berlari.
Ketika tekanan tiba-tiba meningkat, cairan sinovial menyerap

12
goncangan dan mendistribusikannya secara merata ke seluruh
permukaan sendi.
2) Struktur aksesoris
Terdapat beberapa struktur aksesoris dari sendi sinovial, yaitu
bantalan tulang rawan atau lemak, ligamen, tendon, dan bursae
(Martini et al, 2012).
(a) Diskus/meniskus artikularis
Merupakan bantalan tulang rawan fibrosa yang membagi rongga
sinovial, saluran cairan sinovial, dan memungkinkan variasi
dalam bentuk permukaan artikular, atau membatasi gerakan di
sendi.
(b) Bantalan lemak
Bantalan lemak sering ditemukan di sekitar periferal sendi, yaitu
terletak di antara membran sinovial dan kapsula fibrosa atau
tulang. Bantalan lemak memberikan perlindungan untuk artikular
kartilago. Bantalan lemak mengisi kavitas sendi ketika tulang
bergerak dan rongga sendi berubah bentuk.
(c) Ligamen
Kapsul sendi yang mengelilingi seluruh sendi bersifat kontinu
dengan periostea tulang yang menyusun sendi. Ligamen
aksesorius berperan dalam menyokong, menguatkan, dan
memperkuat sendi sinovial. Ligamen instrinsik atau ligamen
kapsular adalah penebalam kapsul sendi. Ligamen ekstrinsik
terpisah dari kapsul sendi. Ligament ini dapat terletak di luar atau
di dalam kapsul sendi, dan disebut ligamen ekstrakapsular dan
intraskapular.
(d) Tendon
Meskipun biasanya bukan bagian dari artikulasi, tendon biasanya
melewati atau terdapat di sekitar sendi. Tonus otot normal
menjaga tendon tegang sehingga menyebabkan range of motion
terbatas. Pada beberapa sendi, tendon merupakan bagian integral

13
dari kapsul sendi, dan memperkuat kapsul sendi secara
signifikan.
(e) Bursae
Bursae merupakan kantung kecil yang terdiri dari kantong
fibrosa tertutup berisi cairan sinovial dan dilapisi oleh membran
sinovial. Bursae dapat bersambung ke kavitas sendi, atau terpisah
sepenuhnya. Bursae berperan untuk mengurangi gesekan dan
sebagai peredam goncangan. Bursae ditemukan di sekitar
sebagian besar sendi sinovial, seperti sendi bahu.
(f) Selubung tendon sinovial
Selubung tendon sinovial adalah bursa tubular yang mengelilingi
tendon. Bursae juga dapat muncul di bawah kulit yang menutupi
tulang atau dalam jaringan ikat lainnya yang terkena gesekan
atau tekanan.
3) Kekuatan dan Mobilitas
Sendi tidak bisa mempunyai mobilitas tinggi dan sangat kuat.
Semakin besar rentang gerak semakin lemah sendi tersebut.
Ssinartrosis merupakan sendi terkuat karena sendi yang tidak dapat
digerakan sama sekali, sedangkan diartrosis merupakan sendi yang
rentan rusak oleh gerakan di luar rentang gerak normal. Beberapa
faktor yang membatasi mobilitas dan mengurangi kemungkinan
cedera (Martini et al, 2012).
(a) Keberadaan ligament aksesori dan serat kolagen kapsul sendi.
(b) Bentuk permukaan artikulasi yang mencegah gerakan ke arah
tertentu.
(c) Keberadaan tulang lain, prosesus tulang, otot rangka, atau
bantalan lemak sekitar sendi.
(d) Ketegangan pada tendon yang melekat pada tulang sendi.

II.2.2 Stuktur dan Fungsi Sendi


Gerakan manusia dapat dipahami melalui hubungan antara struktur dan
fungsi setiap sendi. Sendi sinovial dapat diklasifikasikan menurut anatomis dan
fisiologis yang dapat menunjukkan gerakan manusia (Martini et al, 2012).

14
a. Jenis Gerakan
1) Gerak Linear (Meluncur)
Dalam meluncur, dua permukaan yang saling berlawanan
meluncur melewati satu sama lain. Meluncur terjadi anatara
artikulasi tulang carpal dan tulang tarsal, dan antara tulang klavikula
dan sternum. Gerakan dapat terjadi di hamper semua arah, tetapi
jumlah gerakannya sedikit, dan rotasi biasanya dicegah oleh kapsul
sendi dan ligamen terkait (Martini et al, 2012).
2) Gerak Angular
Contoh gerakan angular meliputi abduksi, adduksi, fleksi, dan
ekstensi. Deskripsi setiap gerakan didasarkan pada posisi anatomis
(Martini et al, 2012).

Gambar 6. Gerakan Angular


Sumber: Martini et al, 2012

(a) Abduksi adalah perpindahan dari sumbu longitudinal dari tubuh


di bidang frontal. Misalnya mengayunkan anggota tubuh bagian
atas menjauhi sisi anggota badan, memindahkannya kembali
merupakan adduksi. Abduksi dan adduksi selalu mengacu pada
pergerakan kerangka appendicular.
(b) Fleksi merupakan gerakan bidang anteriposterior yang berperan
memperkecil sudut antara elemen artikulasi. Ekstensi terjadi

15
pada bidang yang sama, tetapi memperluas sudut antara
artikulasi. Hiperekstensi merupakan gerakan ekstensi anggota
tubuh yang melampaui batas normal. Hiperekstensi biasanya
dicegah dengan ligamen, prosessus tulang, atau jaringan lunak di
sekitarnya. Fleksi di bahu atau pinggul mengayunkan anggota
tubuh ke depan, sedangkan ekstensi memindahkannya ke
belakang. Fleksi di pergelangan tangan menggerakan telapak
tangan ke depan, dan ekstensi memindahkannya kembali.
(c) Sirkumduksi merupakan gerakan khusus. Contohnya, saat
menggerakan tangan melingkar seperti membuat suatu garis
lingkar.
3) Gerak Rotasi

Gambar 7. Gerak Rotasi


Sumber: Martini et al, 2012

16
Gerak rotasi berdasarkan ekstremitas, jika aspek anterior dari
ekstremitas berputar ke dalam, menuju permukaan perut tubuh,
maka disebut rotasi internal atau rotasi medial. Jika berputar ke
dalam disebut rotasi eksternal atau rotasi lateral. Contohnya
artikulasi antara jari-jari dan ulna yang memungkinkan rotasi distal
ujung jari-jari dari posisi anatomi di permukaan anterior ulna. Hal
tersebut menyebabkan pergelangan tangan dan tangan dari palm-
facing-front ke palm-facing-back atau disebut pronasi dan supinasi
(Martini et al, 2012).
4) Gerak Spesial

Gambar 8. Gerak Spesial


Sumber: Martini et al, 2012
(a) Eversi dan inversi
(b) Dorsofleksi dan plantar fleksi
(c) Lateral fleksi
(d) Protraksi dan retraksi
(e) Oposisi dan reposisi
(f) Elevasi dan depresi
b. Klasifikasi Struktural Sendi Sinovial

17
Gambar 9. Klasifikasi Sendi Sinovial
Sumber: Martini et al, 2012
Sendi sinovial adalah sendi diartrosis yang mempunyai rentang
gerak luas karena itu sendi sinovial diklasifikasikan menurut jenis dan
rentang gerak masing-masing sendi. Struktur setiap sendi menentukan
rentang gerak sendi (Martini et al, 2012).
1) Sendi planar (Gliding joint)
Permukaan artikular yang relatif datar meluncur satu sama lain,
tetapi jumlah gerakannya sangat sedikit. Ligamen biasanya
mencegah atau membatasi rotasi. Sendi plana dapat ditemukan di
distal klavikula, antara tulang karpal, antara tulang tarsal, dan antara
aspek artikular vertebra yang berdekatan. Sendi plana memiliki
sumbu gerak nonaksial, yang berarti hanya terdapat pergerakan geser
kecil atau multiaksial, yang berarti bahwa terdapat pergerakan
meluncur ke segala arah.
2) Sendi engsel (Hinge joint)
Sendi engsel memungkinkan gerakan sudut dalam satu bidang,
seperti pembukaan dan penutupan pintu. Sendi engsel merupakan
sendi monoaksial, contohnya sendi siku.
3) Sendi putar (Pivot joint)

18
Sendi putar merupakan sendi monoaksial yang hanya mengizinkan
pergerakan rotasi. Contoh sendi putar adalah antara tulang atlas dan
aksis yang memungkinkan kepala berputar ke sisi lain.
4) Sendi condylar (Ellipsoidal joint)
Kepala sendi cekung berbentuk ellips dengan sumbu panjang dan
sumbu pendek. Sendi condylar menghubungkan jari tangan dan kaki
dengan tulang metacarpal dan metatarsal.
5) Sendi pelana
Sendi pelana merupakan sendi yang kompleks. Sendi pelana
mempunyai rentang gerak yang luas, memungkinkan gerakan sudut
yang luas tanpa rotasi. Sendi pelana termasuk dalam sendi biaksial.
Contohnya sendi pada ibu jari.

6) Sendi peluru (Ball and socket joint)


Sendi yang mempunyai rentang gerak yang luas. Kepala sendi
berbentuk bola yang bersandar pada cekungan ruang di tulang lain.
Semua kombinasi gerakan, termasuk rotasi, dapat dilakukan di sendi
ini karena sendi ini termasuk dalam sendi triaksial. Contoh sendi
bahu dan sendi pinggul.

II.3 Sendi Glenohumeral (Sendi Bahu)

19
Gambar 10. Sendi Glenohumeral
Sumber: Tortora dan Derrickson, 2009

Sendi glenohumeral adalah sendi synovialis jenis ball and socket antara
caput humeri dan cavitas glenoidalis scapulae. Sendi ini adalah sendi multiaxial
dengan jangkauan gerak yang luas namun membahayakan stabilitas skeletal.
Permukaan sendi glenohumeral terdiri atas caput humeri yang besar dan bulat
serta cavitas glenoidalis scapulae yang kecil (Drake et al, 2014).
Cavitas glenoidalis diperdalam dan diperluas ke arah tepi oleh kerah
melingkar jaringan fibrocartilage (labrum glenoidalis), yang melekat pada tepi
fossa. Labrum glenoidalis merupakan tempat melekatnya ligament glenohumeral
dan caput longum musculus biceps brachii (Martini et al, 2012).
Membran synovialis melekat pada tepi permukaan sendi dan melapisi
membrana fibrosum capsula articularis. Membrana synovialis kendor di inferior.
Daerah berlebih membrane synovialis dan membrane fibrosum yang terkait ini
mengakomodasi abduksi lengan atas (Drake et al, 2014).

20
II.3.1 Ligamentum
Ligamentum utama yang terlibat dalam menstabilkan sendi glenohumeral
adalah sebagai berikut (Martini et al, 2012).

Gambar 11. Ligamentum sendi Glenohumeral


Sumber: Martini et al, 2012

a. Ligmentum glenohumeral
Ligament ini longgar namun berpartisipasi dalam menstabilkan sendi
ketika humerus mendekati atau melampaui rentang gerak normal.
b. Ligamentum coracohumeral
Ligamentum coracohumeral berukuran besar berasal dari dasar processus
coracoid dan insersi caput humerus. Ligamentum ini memperkuat bagian
superior kapsul artikular dan membantu menopang berat ekstremitas atas.
c. Ligamentum coracoacromial
Ligamentum coracoarcromial membentangi celah antara processus
coracoideus dan acromion, berada di superior dari kapsul. Ligament ini
membantu dalam menyokong permukaan kapsul superior.
d. Ligamentum acromioclavicular
Ligamentum acromioklavikular kuat dan mengika acromion ke klavikula,
dengan demikian membatasi gerakan kalvikular pada ujung acromial.
Dislokasi pada sebagian atau seluruh sendi ini merupakan cedera yang

21
relatif umum terjadi. Cedera dapat diakibatkan oleh pukulan pada
permukaan bahu superior. Acromion tertekan secara paksa, namun
klavikula tertahan otot yang kuat.
e. Ligamentum coracoclavikular
Ligamentum coracoclavikular mengikat dengan processus coracoid dan
membantu membatasi gerakan relatif antara klavikula dan skapula.
f. Ligamentum transversum humeri
Ligamentum transversum humeri meluas antara tuberculum majus dan
tuberculum minus humeri dan menahan tendon dari caput longus musculus
biceps brachii di lekukan intertubercular tulang humerus.

II.3.2 Musculus dan Tendon

Gambar 12. Musculus dan Tendon Sendi Glenogumeralia


Sumber: Drake et al, 2014
Otot yang menggerakkan humerus berperan lebih banyak dalam
menstabilkan sendi glenohumeral daripada ligament dan serat kapsular. Tendines
musculi rotator cuff (musculus supraspinatus, musculus infraspinatus, musculurs
teres minor, musculur subscapularis) menyatu dengan capsula articularis dan
membentuk kerah musculotendionosum yang mengelilingi sisi posterior, superior,
dan anterior sendi glenohumeral. Musculi ini menstabilkan dan menjaga caput
humeri di dalam cavitas glenoidalis scapulae tanpa mempengaruhi fleksibilitas
lengan atas dan range of motion. Tendo musculus caput longus biceps brachii

22
melintas di superior melalui sendi dan membatasi gerak ke atas caput humeri pada
cavitas glenoidalis (Martini et al, 2012; Drake et al, 2014).

II.3.3 Bursae
Bursae di sendi bahu berperan dalam mengurangi gesekan saat otot dan
tendon melewati kapsul sendi. Sendi bahu memiliki sejumlah bursae, yaitu bursae
subakromial dan subcoracoid. Bursae tersebut berperan dalam mencegah kontak
antara acromion dan processus coracoid dengan kapsul. Bursae deltoid dan bursa
subscapular terletak di antara otot-otot besar dan diding kapsuler (Martini et al,
2012).

II.3.4 Vaskularisasi

Gambar 13. Anastomosis Arteriae di Sekitar Sendi Glenohumeral


Sumber: Drake et al, 2012
Vaskularisasi sendi glenohumeral terutama melalui cabang-cabang arteria
circumflexia anterior humeri dan arteria circumflexia posterior humeri serta ateri
suprascapularis (Drake et al, 2012).

II.3.5 Inervasi

23
Gambar 14. Pleksus Brachiallis
Sumber: www.anaeli.com.tr/2018/05/07/brakial-pleksus-yaralanmalari/

Inervasi sendi glenohumeral oleh cabang dari fasciulus posterior plexus


brachiallis, dan dari nervus suprascapularis, nervus axillaris, dan nervus pectoralis
lateralis (Drake et al, 2012).

II.3.6 Biomekanika Sendi Glenohumeral


Sendi bahu, melalui hubungan konstituennya, memungkinkan sejumlah
besar rentang gerak. Gerakan pada sendi bahu memiliki 3 derajat kebebasan gerak
dalam 3 bidang gerak dan 3 sumbu utama, yaitu fleksi/ekstensi pada bidang
sagital, abduksi/adduksi pada bidang koronal, dan rotasi internal/eksternal pada
bidang transversal (Bentley, 2014).
Tendon rotator cuff penting dalam biomekanika sendi glenohumeral.
Tendon tersebut menekan caput humeri ke cavitas glenoidalis pada semua posisi
bahu. Rotator cuff dapat berotasi secara internal (subscapularis), abduksi
(supraspinatus), atau rotasi eksternal (infraspinatus dan teres minor) terhadap
proximal humerus dan hal ini dapat menjadi dasar pemeriksaan klinis integritas
sendi glenohumeral (Bentley, 2014).

24
Gambar 15. Rotasi Internal Sendi Glenohumeral
Sumber: Bentley, 2014

Pengukuran gerakan sendi glenohumeral dari posisi 0°, yaitu posisi lengan
dan telapak tangan menghadap paha. Posisi ini untuk menilai fleksi, ekstensi,
abduksi, dan rotasi eksternal, posisi ini tidak dapat untuk rotasi internal dan
adduksi. Oleh karena itu, rotasi internal diukur sebagai tingkat tulang belakang
tertinggi yang bisa dicapai ibu jari ipsilateral (individu normal dapat mencapai T8-
T6). Teknik yang sama juga dapat dilakukan untuk menilai adduksi, yaitu pertama
melakukan fleksi sendi glenohumeral, lalu menyilangi dada (Bentley, 2014).

Gambar 16. Abduksi sendi Glenohumeral


Sumber: Bentley, 2014
Gerakan sendi glenohumeral merupakan gabungan dengan scapulothoracic.
Skapula berputar untuk mengarahkan glenoid superior dalam gerakan abduksi dan
fleksi. Peran klavikula dalam gerakan sendi glenohumeral kurang dapat dipahami.
Bahu dapat berfungsi dengan baik atau bahkan normal dengan klavikula
inkompeten. Secara intuitif, klavikula bertindak sebagai penyangga scapula
dengan batang tubuh. Beberapa penelitian menyatakan, gerakan bahu tidak ada
rentang normal. Contohnya pada rotasi eksternal gerakan dapat bervariasi, yaitu
gerakan dapat mencapai 40° hingga 100°. Fleksi sendi glenohumeral dapat

25
mencapai 160° tapi pada beberapa individu fleksi dapat terjadi sampai 180°
(Bentley, 2014).
Sendi glenohumeral merupakan sendi yang paling sering terjadi dislokasi.
Sebagai sendi ball-and-socket ditandai dengan kedangkalan cavitas glenoida dan
karenanya terutama jaringan lunak dan otot bertanggung jawab untuk menjaga
stabilitas sendi (Bentley, 2014). Labrum glenoid memperdalam cavitas glenoid
sehingga diperlukan kekuatan besar untuk menggeser caput humerus. Namun jika
kekuatan tersebut diluar arah gerakan, maka dislokasi dapat terjadi (Bentley,
2014).

II.4 Dislokasi Bahu


Dislokasi adalah suatu keadaan di mana permukaan sendi terpisah secara
keseluruhan. Dislokasi dapat mengenai komponen tulang saja atau keseluruhan
komponen tulang yang bergeser atau terlepas dari tempat yang seharusnya
(Solomon et al, 2014). Dislokasi sendi bahu atau sendi glenohumeral terjadi
ketika caput humerus terpisah dari cavitas glenoidalis (Court-Brown dan
Robinson, 2006).
Banyaknya kejadian dislokasi sendi bahu terjadi karena sendi bahu
mempunyai range of motion yang luas, yaitu memungkinkan brachium bergerak
memutar tiga axis. Gerak brachium pada sendi ini adalah flexi, extensi, abduksi,
adduksi, rotasi medial, rotasi lateral, dan sirkumduksi. Selain itu, cavitas
glenoidalis yang membentuk sendi bahu dengan caput humeri berbentuk koma
dan dangkal, serta adanya kelonggaran ligamen sehingga sendi bahu menjadi
sendi yang paling sering terjadi dislokasi. Dislokasi sendi bahu terjadi pada cedera
akut di mana lengan dipaksa dalam gerakan abduksi, rotasi eksternal dan ekstensi
(Drake et al, 2014; Solomon et al, 2014).

II.4.1 Epidemiologi
Dislokasi sendi bahu merupakan dislokasi yang paling umum terjadi, yaitu
sekitar 50 % kasus dari keseluruhan kasus dislokasi sendi (Li et al, 2016).
Dislokasi sendi bahu dapat pada bagian anterior atau posterior namun yang paling
sering terjadi dislokasi adalah pada bagian anterior (Solomon et al, 2014).
Menurut Zacchilli dan Owens (2010), insidensi dislokasi sendi bahu berdasarkan

26
beberapa penelitian adalah 11,2–23,9 per 100.000 orang per tahun pada populasi
umum. Insidensi dislokasi sendi bahu di Amerika Serikat, yaitu 23,9 per 100.000
orang per tahun dengan 71,8 % terjadi pada laki-laki. Insidensi penderita dislokasi
sendi bahu pada laki-laki berdasarkan usia, yaitu 47.8 % terjadi pada usia 20–29
tahun, 46,8 % terjadi pada usia 15–29 tahun. Kejadian dislokasi tidak dipengaruhi
oleh suatu ras. Penyebab dislokasi sendi bahu, yaitu jatuh (58,8%) baik di rumah
(47.7 %) mau pun di tempat rekreasi (34,5%), dan saat olahraga (48,3%).

II.4.2 Etiologi Dislokasi


Etiologi dislokasi dapat disebabkan karena trauma, nontrauma atau
volunteer. Dislokasi dapat terjadi uni-directional, anterior-posterior atau inferior,
dan multi-directional. Pada dislokasi anterior biasanya disebabkan oleh trauma,
yaitu jatuh dengan tangan yang terulur. Di beberapa daerah, prevalensi tinggi
dislokasi bahu disebabkan oleh cedera olahraga, contohnya sepak bola dan rugby
(Bentley, 2014).

II.4.3 Faktor Risiko


Faktor risiko yang terpenting adalah usia. Pasien dengan usia yang lebih
muda cenderung memiliki tingkat kekambuhan yang lebih tinggi untuk dislokasi
anteroinferior daripada pasien yang lebih tua. Usia muda cenderung mengalami
dislokasi dalam keadaan yang sebelumnya sehat akibat trauma energi tinggi pada
sendi bahu yang menyebabkan kerusakan capsuloligamentous pada sendi bahu.
Pada usia tua, dislokasi sendi bahu cenderung disebabkan oleh perubahan
degeneratif sendi sehingga dengan energi rendah pun sudah dapat terjadi dislokasi
(Bentley, 2014).

II.4.4 Mekanisme Cedera


Dislokasi sendi bahu terjadi pada cedera akut di mana lengan dipaksa dalam
gerakan abduksi, rotasi eksternal dan ekstensi. Caput humerus didorong kedepan
dan menimbulkan avulasi kapsul sendi dan kartilago beserta periosteum labrum
glenoidalis anterior (Solomon, 2014; Rasjad, 2007).
Dislokasi sendi bahu biasanya disebabkan oleh jatuh pada bagian lengan
sehingga menyebabkan humerus terdorong kedepan dan merobek kapsul atau
menyebabkan avulsi tepi glenoid. Episode pertama dislokasi biasanya disebabkan

27
oleh peristiwa traumatis yang berkesan tetapi dislokasi berikutnya dapat
disebabkan hanya karena trauma dengan energi rendah. Hal tersebut disebabkan
oleh labrum dan kapsul yang sering terlepas dari lingkar anterior glenoid (Rasjad,
2007).

II.4.5 Klasifikasi
Dislokasi sendi bahu diklasifikasikan berdasarkan arah (anterior, posterior,
inferior, multidirectional), onset (akut, rekuren, kronis), volunteer atau
involunteer, penyebab (trauma atau nontrauma) (Court-Brown dan Robinson,
2006).
Klasifikasi dislokasi sendi bahu berdasarkan arah sebagai berikut (Court-
Brown dan Robinson, 2006; Salter, 2008).
1. Dislokasi sendi bahu anterior

Gambar 17. Dislokasi Sendi Bahu Anterior


Sumber: Salter, 2008

Paling sering terjadi (95-97%) pada usia muda akibat cedera akut
dengan energi besar. Cedera akut yang terjadi disebabkan karena lengan
dipaksa berabduksi, berotasi eksternal dan ekstensi sendi bahu. Dislokasi
sendi bahu anterior merupakan kondisi di mana keluarnya caput humeri
dari cavitas artikular sendi bahu yang dangkal.
Pada pemeriksaan fisik, bahu tampat sangat persegi karena
perpindahan anterior dan medial caput humeri ke subcoracoid.
Pemeriksaan radiografi: capur humeri kehilangan kontak dengan cavitas
glenoid dan terletak di subcoracoid.
2. Dislokasi sendi bahu anterior berulang

28
Gambar 18. Mekanisme Lesi Sekuel
Sumber: Court-Brown dan Robinson, 2006

Karena stabilitas bahu sangat tergantung pada integritas kapsul sendi


dan karena kapsul dan labrum anterior hampir selalu avulsi dari cavitas
glenoid dan leher skapula pada saat dislokasi awal bahu, tidak
mengherankan bahwa, pada beberapa individu, terutama atlet, dislokasi
dapat terjadi lebih sering dan lebih banyak dengan trauma ringan.
Lesi Hill-Sachs memungkinkan kepala humerus yang diputar secara
eksternal untuk menyelinap ke tepi anterior rongga glenoid dengan mudah.
Dapat dipahami, lesi Hill-Sachs ini tidak dapat dideteksi secara radiografi
dalam proyeksi anteroposterior tetapi mudah terlihat dalam proyeksi
khusus dengan humerus diputar secara internal 60°.

3. Dislokasi sendi bahu posterior

29
Gambar 19. Dislokasi Sendi Bahu Posterior
Sumber: Salter, 2008

Dislokasi yang jarang terjadi (2-4%). Meskipun jauh lebih jarang


daripada dislokasi anterior, dislokasi posterior dapat terjadi berupa jatuh di
bagian depan bahu atau di tangan dengan adduksi bahu dan rotasi secara
internal. Mungkin juga selama kejang epilepsi dan keracunan alkohol.
Secara klinis, lengan pasien tampak terkunci dalam posisi adduksi
dan rotasi internal. Secara radiografis, dislokasi posterior tidak mudah
dideteksi dalam proyeksi anteroposterior karena caput humerus hanya
bergeser kearah posterior dan tidak kearah medial. Proyeksi superoinferior
(aksila) khusus dengan bahu diabduksi diperlukan untuk memastikan
bahwa caput humerus sebenarnya terletak di posterior.
4. Dislokasi sendi bahu posterior berulang dan habitual
Ketika bahu yang sebelumnya dislokasi posterior mengalami
dislokasi akibat cedera lain, dislokasi kedua dan selanjutnya disebut
sebagai dislokasi berulang. Perbaikan bedah jaringan lunak posterior
diindikasikan. Namun, ketika pasien dapat melepaskan bahu ke belakang
sesuka hati dan juga menguranginya, kondisinya merupakan salah satu

30
dislokasi habitual, dan biasanya dikaitkan dengan kelemahan ligamen
kongenital umum. Jika bahu terlepas tanpa sadar setiap kali bahu pasien
fleksi dan adduksi, perbaikan bedah dapat dibenarkan.
5. Dislokasi sendi bahu inferior (< 0,5%)
Dislokasi yang paling jarang terjadi.

Klasifikasi dislokasi sendi bahu berdasarkan onset adalah sebagai berikut


(Court-Brown dan Robinson, 2006).
1. Dislokasi akut didiagnosis pada 2 minggu pertama setelah terjadinya
cedera.
2. Dislokasi kronis didiagnosis setelah 2 minggu terjadinya cedera.

II.4.6 Manifestasi Klinis


Dislokasi sendi bahu ditandai dengan nyeri yang parah, pasien
menggendong lengan yang sakit dengan tangan yang lainnya dan tidak
mengizinkan untuk pemeriksaan, garis lateral bahu rata dan tonjolan kecil dapat
dilihat dan dirasakan tepat di bawah klavikula, sendi bahu tidak dapat digerakan,
dan pasien tidak dapat memegang bahu yang berlawanan (Solomon et al, 2014;
Court-Brown dan Robinson, 2006).

II.4.7 Diagnosis
Diagnosis dislokasi sendi bahu ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis memberikan informasi mengenai
riwayat trauma dan mekanisme terjadinya trauma, sehingga dapat membantu
menegakkan diagnosis dan penyulit yang mungkin telah ada atau akan muncul
kemudian (Rasjad, 2007).
Pemeriksaan fisik dislokasi sendi bahu anterior dapat ditemukan nyeri,
tonjolan pada bagian depan bahu, posisi lengan abduksi dan eksorotasi, tepi bahu
tampak menyudut, nyeri tekan, dan adanya gangguan gerak sendi bahu. Tanda
khas pada dislokasi sendi bahu anterior adalah sumbuh humerus yang tidak
menunjuk ke bahu dan kontur bahu berubah karena daerah dibawah akromion
kosong pada palpasi. Sendi keluar dan tidak mampu menggerakkan lengan, serta
lengan ditopang oleh tangan sebelah merupakan tanda dislokasi bahu, selain itu

31
lengan yang cedera tampak lebih panjang dari lengan normal, bahu terfiksasi
sehingga mengalami abduksi dan rotasi eksternal (Rasjad, 2007).
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah rontgen bahu
anteroposterior dan lateral. Rontgen bagian AP pada dislokasi bahu anterior akan
memperlihatkan bayangan yang tumpang tindih antara caput humerus dan fossa
glenoid, caput biasanya terletak di bawah dan medial terhadap cavitas glenoid.
Rontgen bagian lateral akan memperlihatkan caput humerus keluar cavitas glenoid
(Solomon et al, 2014)

II.4.8 Penatalaksanaan
Pentalaksanaan kasus dislokasi bahu anterior dilakukan secara konservatif
dan operatif. Terapi cedera secara konservatif dipilih jika dislokasi sendi bahu
tidak disertai cedera lain seperti fraktur caput humeri, cedera neuromuscular, dan
robekan arteri aksilatis. Terapi konservatif berupa reposisi tertutup dengan
beberapa metode, yaitu metode stimson, metode milch, dan metode Hippocrates
(Rasjadm, 2007; Solomon, 2014).
1. Metode stimson

Gambar 20. Metode Stimson


Sumber: Solomon, 2014

Metode ini mudah dilakukan dan tidak memerlukan anestesi.


Penderita diminta tidur tengkurap dengan lengan yang dislokasi dibiarkan
menggantung kebawah dengan memberikan beban (4.5–7 kg) tergantung

32
dari kekuatan otot yang diikatkan pada pergelangan tangan. Reduksi
dilakukan kurang lebih 20-25 menit.
2. Metode Hippocrates

Gambar 21. Metode Hipprocrates


Sumber: Netter
Metode ini dilakukan jika metode stimson tidak memberikan hasil
dalam waktu 15 menit. Reposisi dilakukan dalam keadaan anestesi umum.
Lengan pasien ditarik kearah distal punggung dengan sedikit abduksi,
sementara kaki penolong berada diketiak pasien untuk mengungkit caput
humerus kearah lateral dan posterior. Setelah reposisi, bahu dipertahankan
dalam posisi endorotasi dengan penyangga ke dada selama paling seikit 3
minggu.
3. Metode Milch
Pasien dalam posisi supine, kemudian ekstremitas atas di posisikan
abduksi dan rotasi eksternal, kemudian caput humerus di tekan ke
tempatnya semula dengan bantuan ibu jari.

Indikasi Open reduction pada dislokasi sendi bahu adalah sebagai berikut
(Crenshaw, 1992).
1. Bila gagal dicapai reposisi anatomis yang dikehendaki
2. Bila hasil reposisi tidak stabil. Biasanya bila ada fraktur-dislokasi.
3. Terjadi cedera saraf setelah tindakan reposisi tertutup.
4. Adanya cedera vascular sebelum reposisi dan masih tetap terjadi setelah
reposisi.

33
5. Kasus lama (negletec case).

II.4.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada dislokasi anterior adalah dislokasi
berulang, lesi pleksus brachii dan nervus aksilaris, serta interposisi caput longum
biceps brachii dan robekan arteri aksilaris (Solomon, 2014).

II.4.10 Prognosis
Prognosis baik jika tidak terdapat komplikasi.

34
BAB III

KESIMPULAN

Dislokasi sendi bahu terjadi ketika caput humerus terpisah dari cavitas
glenoidalis (Court-Brown dan Robinson, 2006). Dislokasi sendi bahu merupakan
dislokasi yang paling umum terjadi, yaitu sekitar 50 % kasus dari keseluruhan
kasus dislokasi sendi, dan dislokasi sendi bahu anterior merupakan dislokasi sendi
bahu paling sering terjadi (Li et al, 2016; Solomon et al, 2014).
Penyebab banyaknya kejadian dislokasi sendi bahu terjadi karena sendi
bahu mempunyai range of motion yang luas, yaitu memungkinkan brachium
bergerak memutar tiga axis, yaitu gerak flexi, extensi, abduksi, adduksi, rotasi
medial, rotasi lateral, dan sirkumduksi. Selain itu, cavitas glenoidalis yang
membentuk sendi bahu dengan caput humeri berbentuk koma dan dangkal, serta
adanya kelonggaran ligamen sehingga sendi bahu menjadi sendi yang paling
sering terjadi dislokasi (Drake et al, 2014; Solomon et al, 2014).
Dislokasi sendi bahu terjadi pada cedera akut di mana lengan dipaksa dalam
gerakan abduksi, rotasi eksternal dan ekstensi. Dislokasi sendi bahu ditandai
dengan nyeri yang parah, pasien menggendong lengan yang sakit dengan tangan
yang lainnya dan tidak mengizinkan untuk pemeriksaan, garis lateral bahu rata
dan tonjolan kecil dapat dilihat dan dirasakan tepat di bawah klavikula, sendi bahu
tidak dapat digerakan, dan pasien tidak dapat memegang bahu yang berlawanan
(Solomon et al, 2014; Court-Brown dan Robinson, 2006).
Pentalaksanaan kasus dislokasi bahu anterior dilakukan secara konservatif
dan operatif. Terapi cedera secara konservatif dipilih jika dislokasi sendi bahu
tidak disertai cedera lain seperti fraktur caput humeri, cedera neuromuscular, dan
robekan arteri aksilatis. Terapi konservatif berupa reposisi tertutup dengan
beberapa metode, yaitu metode stimson, metode milch, dan metode Hippocrates
(Rasjadm, 2007; Solomon, 2014).
Diagnosis dislokasi sendi bahu ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
adalah rontgen bahu anteroposterior dan lateral (Rasjad, 2007).

35
DAFTAR PUSTAKA

Bentley, George. 2014. European Surgical Orthopaedics and Traumatology.


London: Springer

Crenshaw, A. H. 1992. Campbell’s Operative Orthopaedics 8th Edition. St Louis:


CV Mosby.

Court-Brown, C. M dan Robinson, C. M. 2006. Injuries of the Glenohumeral


Joint. Handbook of Fractures 3rd Edition. New York: McGRAW-HILL.

Drake, R. L., Vogl, A. W., dan Mitchell, A. W. 2014. Dasar-Dasar Anatomi Gray.
Singapore: Elsevier.

Li, X., Cusano, A dan Eichinger, J. 2016. Dislocation of the Upper Extremity:
Diagnosis and Management. American Academy of Orthopaedic Surgeon.

Rasjad, C. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: Yarsif Watampone.

Solomon, L., Warwick, D., Nayagam, S. 2014. Apley and Solomon’s Concise
System of Orthopaedics and Trauma 4th Edition. Boca Raton: CRC Press.

Tortora, G. J dan Derrickson, B. 2009. Principle of Anatomy and Physiology 12 th


Edition. Hoboken: John Wiley & Sons, Inc.

Zachilli, M. A dan Owens, B. D. 2010. Epidemiology of Shoulder Dislocations


Presenting to Emergency Departements in the United States. The Journal of
Bone and Joint Surgery, 92:542-9

36

Anda mungkin juga menyukai