Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Persendian merupakan hubungan antara dua buah tulang atau lebih yang membentuk
sistem gerak pada manusia. Berdasarkan kepada sifat pergerakannya, sendi dibedakan ke dalam
tiga macam, yaitu sendi mati, sendi kaku dan sendi gerak. Sendi gerak adalah sendi yang dapat
digerakkan secara bebas. Sendi gerak dibedakan menjadi sendi peluru, sendi engsel, sendi putar,
sendi geser dan sendi pelana. Sendi engsel memungkinkan gerakan satu bidang seperti pada engsel
pintu atau jendela, misalnya sendi pada siku dan lutut. (Rasjad, 2012)

Sendi lutut merupakan persendian yang paling besar dan paling rumit dalam bagian tubuh
manusia. Fungsi dari sendi lutut adalah untuk mengatur pergerakan dari kaki. Sendi lutut
menopang hampir seluruh massa tubuh manusia sehingga sendi lutut sangat rawan mengalami
cidera, kerusakan hingga penyakit. Lutut merupakan persendian yang besar dalam tubuh, lutut
mudah sekali terserang cedera traumatik. Persendian ini kurang mampu melawan kekuatan medial,
lateral, tekanan, dan rotasi, karena lemahnya otot, dan mudah mendapat luka memar. (imboden J,
dkk, 2013)

Pemeriksaan fisik lutut adalah pemeriksaan awal yang penting dilakukan untuk dapat
membantu menegakkan diagnosis suatu cedera atau kelainan pada sendi lutut sebelum
dilakukannya pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan fisik lutut ini sifatnya mudah dilakukan,
cepat, murah dan tanpa memerlukan banyak peralatan yang diperlukan, Sehingga semua tenaga
kesehatan, maupun semua tingkat fasilitas kesehatan dapat melakukannya. (imboden J, dkk, 2013)

Dengan dapat melakukan pemeriksaan fisik lutut, diharapkan tenaga kesehatan dapat
dengan segera mendiagnosis suatu cedera atau kelainan pada sendi lutut, sehingga dapat
memberikan penangan awal terhadap cedera atau kelainan tersebut, dan dapat mengarahkan ke
pemeriksaan lanjutan spesifik yang memang perlu dilakukan sehingga menangani pasien menjadi
lebih efisien.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi sendi lutut

Secara anatomi sendi lutut adalah sendi penting pada tubuh manusia dengan bentuk sendi
jenis synovial hinge joint dengan gerakan yang terjadi fleksi dan ekstensi. Fungsi dari sendi lutut
itu sendiri adalah mempertahankan tegaknya tubuh, stabilisasi serta meredam tekanan. Karena
struktur dan fungsinya yang kompleks, maka sendi lutut memiliki susunan anatomi dan
biomekanik yang berbeda. Berikut beberapa struktur yang mengisi sendi lutut meliputi : (Moore,
keith, 2013)

a. Tulang

1) Os Femur

Tulang femur merupakan tulang terpanjang dan terbesar dalam tubuh manusia yang
bertugas meneruskan berat tubuh dari tulang coxae ke tibia sewaktu kita berdiri. Bagian proksimal
dari tulang ini terdiri dari caput femoris yang bersendi dengan acetabullum, collum femoris dan
dua trochanter. Ujung distal tulang femur berakhir menjadi dua condylus yaitu epicondylus
medialis dan epicondylus lateralis yang bersendi dengan tibia. Pada tulang femur ini yang
berfungsi dalam persendian lutut adalah epiphysis distalis.

Gambar 2.1 Os. Femur

2
2) Os Patella

Tulang patella merupakan tulang sesamoid terbesar pada tubuh manusia. Tulang ini
berbentuk segitiga pipih yang basisnya menghadapi ke proximal dan apex/puncaknya menghadap
ke distal. Tulang ini mempunyai dua permukaan, yang pertama facies articularis yang menghadap
ke femur dan yang kedua facies anterior yang menghadap ke depan. Fungsinya adalah untuk
membungkus dan melindungi sendi lutut.

Gambar 2.2 Os. Patella

3) Os Tibia

Tulang tibia merupakan tulang besar yang menghubungkan antara femur dengan
pergelangan kaki dan tulang-tulang kaki, serta merupakan tulang penyangga beban. Bagian
proksimal tulang ini bersendi dengan condylus femur dan bagian distal memanjang ke medialis
membentuk malleolus medialis yang bersendi dengan talus.

Gambar 2.3 Os. Tibia

3
b. Sendi

1) Tibiofemoral Joint

Sendi ini jenis sinovial hinge joint (sendi engsel) yang mempunyai dua derajat kebebasan
gerak. Gerak flexi-extensi terjadi pada bidang sagital disekitar axis medio-lateral, dan gerak rotasi
terjadi pada bidang tranversal disekitar axis vertical (longitudinal). Sendi tibiofemoral mempunyai
dua permukaan yang berbeda, dimana permukaan condilus medialis lebih besar dari pada condilus
lateralis, sehingga pada gerakan fleksi dan ekstensi, gerakan pada medialis lebih luas dari pada
lateralis, dimana pada saat ekstensi terjadi gerakan eksternal rotasi. (Moore, Keith, 2013)

ROM pasif gerak fleksi berkisar 130°–140°. Hiperekstensi 5°-10° masih dalam batas
normal. Derajat rotasi terbesar terjadi pada posisi 90° fleksi yaitu sekitar 45° lateral rotasi dan 15°
medial rotasi. Pada keadaan normal, sendi lutut dapat terjadi “screw home mechanism”, yaitu
mekanisme yang menyebabkan lutut menjadi stabil untuk berdiri. Mekanisme ini terjadi secara
otomatis saat ekstensi penuh dan fleksi lutut pada 20̊. Tulang tibia mengalami rotasi internal pada
swing phase, dan rotasi eksternal pada stance phase. Rotasi eksternal terjadi selama ekstensi
maksimal dan menyebabkan pengencangan pada kedua ligament cruciatum, dimana mengunci
lutut. (orthopaedics one, 2012)

2) Patellofemoral Joint

Sendi ini jenis modified plane joint yang menghubungkan tulang femur dan patella. Sendi
ini berfungsi membantu mekanisme kerja dan mengurangi friction quadriceps.

3) Proximal Tibiofibular Joint

Sendi dengan jenis plane sinovial joint yang terbentuk antara caput fibula dengan tibia.
Dilihat dari segi fungsional sendi ini lebih cenderung termasuk ke dalam persendian ankle karena
pergerakan yang terjadi dilutut merupakan pengaruh gerak ankle ke arah cranial dorsal. sendi ini
merupakan hubungan antara os tibia dan os fibula yang berfungsi menahan beban yang diterima
sendi lutut dari beban tubuh.

4
Gambar 2.4 struktur sendi pembentuk lutut

c. Otot

Otot fleksor lutut biasa disebut otot hamstring yang terdiri dari otot biceps femoris, otot
semitendinosus dan otot semimembranosus. (Moore, keith, 2013)

1) M. Biceps Femoris

Otot ini terletak dibagian posterior dan lateral femur, musculus ini mempunyai dua caput,
yaitu caput longum dan caput brevis. Fungsi otot ini untuk fleksi sendi lutut dan lateral rotasi
tungkai bawah yang fleksi. Origo: Tuber ischiadicum lateral linea aspera. Insertio : caput fibula
lateralis dan candylus lateralis tibia. Innervasi: nervus tibialis, nervus peroneus communis, fungsi
: Fleksi knee, ekstensi hip.

2) M. Semitendinosus

Otot ini berasal dari tuberischiadicum dan berjalan ke facies medialis tibia bersama sama
dengan m. gracilis dan m. sartorius untuk bergabung dengan pes anserinus. Otot ini bekerja pada
dua sendi, ekstensi pada sendi panggul dan fleksi pada sendi lutut dan rotasi medial tungkai bawah.
Origo: Pars medialis tuberositas ischiadicum Insertio: Tuberositas tibia. Inervasi: Nervus
Ischiadicus. Fungsi: Fleksi knee, ekstensi hip

3) M. Semimembranosus

Otot ini berasal dari tuberischiadicum. Otot ini bekerja pada dua sendi dan berfungsi
ekstensi sendi panggul dan fleksi sendi lutut dengan rotasi medial pada sendi lutut. Origo:

5
Tuberositas ischiadicum. Insertio: Condylus medialis tibiae. Innervasi: nervus Ischiadicus Fungsi:
Fleksi knee, ekstensi hip.

Gambar 2.5 otot flexor lutut (hamstring)

Otot ekstensor lutut biasa disebut otot quadriceps yang berfungsi untuk gerakan lutut.
Group otot ini terdiri dari 4 otot; yaitu m. rectus femoris, m. vastus medialis, m. vastus intermedius
dan m. vastus lateralis. Dimana keempat otot ini berinsersio pada tuberositas tibia. (Moore, keith,
2013)

1) M. Rectus Femoris

Otot tersebut mempunyai dua tendon yang satu melekat di spina iliaca anterior superior
(SIAS) dan caput reflexum dari pinggir atas lekuk sendi panggul di dalam sulcus supraacetabular
dan terletak di bagian tengah anterior femur. Origo:Spina iliaca anterior inferior. Insertio: Basis
patella. Inervasi : nervus femoris. Fungsi : Fleksi Hip, Abduksi Hip, Ekstensi Knee.

2) M. Vastus Medialis

Otot ini berasal dari linea aspera labium medial. Origo :Pars superior facies medialis
femoralis. Insertio :½ bagian atas os. Patella. Inervasi : nervus Femoralis. Fungsi : Ekstensi Knee.

3) M. Vastus Intermedius

6
Otot ini berasal dari facies anterior dan lateralis corpus ossis femoris. Origo : Pars superior
facies medialis femoris. Insertio : Tuberositas tibia, Ligament patella. Inervasi : nervus femor is.
Fung si : Ekstensi knee

4) M. Vastus Lateralis

Otot ini berasal dari facies lateralis trochantor major, linea intertrochanterica, tuberositas
glutealis dan linea aspera labium lateral. Origo : Throcanter mayor dan separuh bagian atas facies
lateralis linea aspera. Insertio : Lateral os.Patella. Inervasi : nervus Femoralis. Fungsi : Ekstensi
knee.

Gambar 2.6 Otot ekstensor lutut (quadriceps)

d. Ligament

Ligament merupakan jaringan spesifik yang mempunyai sifat ekstensibility dan kekuatan
yang cukup kuat yang berfungsi sebagai pembatas gerakan dan stabilisator pasif sendi. Ligament

7
berdiri sendiri dan merupakan penebalan dari tunica fibrosus. Pada sendi lutut sendiri terdiri dari
beberapa ligament, yaitu: (Moore, keith, 2013)

1) Ligament Cruciuatum

Ligamentum cruciatum anterior, yang berjalan dari depan culimentio intercondyloidea


tibia ke permukaan medial condyler lateralis femur yang berfungsi menahan hiperekstensi dan
menahan bergesernya tibia ke depan.

Ligamentum cruciatum posterior, berjalan dan fades lateralis condylus medialis femoris
menuju ke fossa intercondyloidea tibia, berfungsi menahan bergesernya tibia ke arah belakang.

2) Ligament Colateral

Ligamentum collateral lateral, berjalan dan epicondylus lateralis ke capitulum fibula yang
berfungsi menahan gerakkan varus atau samping luar. Ligamentum collateral medial, berjalan dari
epicondylus medialis ke permukaan medial tibia (epicondylus medialis tibia) berfungsi menahan
gerakan valgus atau samping dalam eksorotasi. Namun secara bersamaan fungsi-fungsi ligament
colateralle menahan bergesemya tibia ke depan pada posisi lutut 90°.

3) Ligament Popliteum Obliqum

Ligament popliteum obliqum, berasal dari condylus lateralis femur menuju ke insertio
musculus semi membranosus melekat pada fascia musculus popliteum.

4) Ligament Tranversum

ligament ransversum genu membentang pada permukaan anterior meniscus medialis dan
lateralis.

e. Meniscus

Diantara os tibia dan os femur terdapat sepasang meniscus yaitu meniscus medial dan
meniscus lateral. Meniscus memiliki beberapa fungsi pada sendi lutut, yaitu:

1) bantalan sendi dan menambah luas permukaan sendi lutut pada permukaan tibia
sehingga memungkinkan gerakan sendi lutut lebih luas atau bebas

8
2) membantu pelumasan dan menutrisi sendi juga sebagai peredam kejut (shock absorber)
antara femur terhadap tibia

3) menambah elastisitas sendi dan menyebar tekanan pada cartilago sehingga menurunkan
tekanan antara dua condylus

4) mempermudah gerakan rotasi

5) meniscus juga mengurangi kerusan selama gerakan serta membantu ligament dan
membantu capsul sendi dalam mencegah hiperekstensi sendi.

Gambar 2.7 ligament sendi lutut

f. Kapsul Sendi

Kapsul sendi berfungsi sebagai stabilisator pasif, mengarahkan gerak sendi mencegah
terjadinya dislokasi ke anterior, posterior, dan inferior serta memproduksi sinovium. Struktur
jaringan kapsul dibentuk oleh jaringan ikat yaitu serabut kolagen yang sejajar bersilangan, elastin
yang berwarna kuning, dan lentur, cell fibroblast yang menghasilkan kolagen dan matriks, serta
matriks dengan komponen utama glikosaminoglikans dan air. Kapsul terdiri dari dua yaitu:

1) Kapsul sinovial

9
Kapsul ini mempunyai jaringan fibrokolagen yang agak lunak berfungsi menghasilkan
cairan sinovial sendi dan sebagai transfomator makanan ke tulang rawan sendi.

2) Kapsul fibrosis

Kapsul ini memiliki jaringan fibrous keras berfungsi memelihara posisi dan stabilitas sendi,
dan memelihara regenerasi kapsul sendi.

g. Bursa

Bursa merupakan kantong yang berisi cairan yang memudahkan terjadinya gesekan dan
gerakan, berdinding tipis dan dibatasi oleh membran synovial. Ada beberapa bursa yang terdapat
pada sendi lutut antara lain: Bursa supra patellaris, Bursa prepatellaris, Bursa infrapatellaris
superficialis, Bursa infrapatellaris profunda, Bursa recessus subpopliteus, Bursa M.
semimembranosus.

Gambar 2.8 Bursa pada sendi lutut

h. Innervasi

Pada regio lutut, tungkai mendapat persyarafan dari nervus ischiadicus yang berasal dari
serabut lumbal ke-4 sampai dengan sacrum ke-3. Ini merupakan serabut yang terbesar di dalam
tubuh yang keluar dan foramen ischiadicus mayor, berjalan terus disepanjang permukaan posterior
paha ke ruang poplitea, lalu syaraf ini membagi dua bagian yang nervus peroneus communis dan

10
nervus tibialis. Nervus peroneus communis pada dataran lateral capitulum fibula akan pecah
menjadi nervus superficialis.

i. Vaskularisasi

Peredaran darah yang akan dibahas kali ini adalah sistem peredaran darah yang menuju ke
tungkai atau sekitar sendi lutut, sebagai berikut:

1) Arteri fermoralis, merupakan lanjutan dari arteri iliaca external yang keluar dan cavum
abdominalis lacuna vasorum lalu berjalan ke lateral dari venanya kemudian ke bawah
menuju kedalam fossa illipectiana kemudian masuk ke canalis addectorius sehingga
arteri poplitea masuk ke fossa poplitea disisi medial femur, lalu arteri femoralis
bercabang menjadi cabang arteri superficial dan cabang profunda.

2) Arteri poplitea yang merupakan lanjutan dari arteri femoralis masuk melalui canalis
addoktorius, masukfossa poplitea pada sisi flexor lutut, bercabang menjadi knees
superior lateralis, knees superior medialis, knees inferior lateralis, knees inferior
medialis.

3) Vena shapena parva berjalan dibelakang maleolus lateralis berlanjut ke Vena poplitea
dan mengalirkan terus ke Vena saphena magna dan bermuara ke dalam Vena femoralis.

J. Synovium

synovial membran, bagian dalam membatasi cavum sendi dan bagian luar
merupakan bagian dari articular cartilage.. Membran ini tipis dan terdiri dari kumpulan
jaringan connective. Membran ini menghasilkan cairan synovial yang terdiri dari serum
darah dan cairan sekresi dari sel synovial. Cairan synovial ini merupakan campuran yang
kompleks dari polisakarida protein, lemak dan sel sel lainnya. Polisakarida ini mengandung
hyaluronic acid yang merupakan penentu kualitas dari cairan synovial dan berfungsi
sebagai pelumas dari permukaan sendi sehingga sendi mudah digerakkan. (Moore, keith,
2013)

11
2.2 Biomekanik sendi lutut

Biomekanik adalah ilmu yang mempelajari gerakan tubuh manusia. Pada bahasan karya
tulis ini penulis hanya membahas komponen kinematis, ditinjau dari gerak secara osteokinematika
dan secara artrokinematika yang terjadi pada sendi lutut.

1) Osteokinematika Sendi Lutut

Lutut termasuk dalam sendi ginglyus (hinge modified) dan mempunyai gerak yang cukup
luas seperti sendi siku, luas gerak fleksinya cukup besar. Osteokinematik yang memungkinkan
terjadi pada sendi lutut adalah gerak flexi dan extensi pada bidang segitiga dengan lingkup gerak
sendi untuk gerak fleksi sebesar ± 140° hingga 150° dengan posisi ekstensi 0° atau 5° dan gerak
putaran keluar 40° hingga 45° dari awal mid posisi.

Fleksi sendi lutut adalah gerakan permukaan posterior ke bawah menjauhi permukaan
posterior tungkai bawah. Putaran ke dalam adalah gerakan yang membawa jari-jari ke arah sisi
dalam tungkai (medial). Putaran keluar adalah gerakan membawa jari-jari ke arah luar (lateral)
tungkai. Untuk putaran (rotasi) dapat terjadi posisi lutut fleksi 90°, R (<90°).

2) Arthrokinematika Sendi Lutut

Pada kedua permukaan sendi lutut pergerakan yang terjadi meliputi gerak sliding dan
rolling, maka disinilah berlaku hukum konkaf-konvek. Hukum ini menyatakan bahwa “jika
permukaan sendi cembung (konvek) bergerak pada permukaan sendi cekung (konkaf) maka
pergerakan sliding dan rolling berlawanan, dan “jika permukaan sendi cekung, maka gerak
slidding dan rolling searah”.

2.3 pemeriksaan fisik lutut

lutut sangat mudah mengalami trauma dan berbagai jenis arthritis. Daerah lutut juga
termasuk daerah dimana terjadi pertumbuhan anggota gerak bawah (daerah yang aktif) dan ini
mungkin sebagai salah satu sebab daerah metafisis dari lutut sering mengalami infeksi
osteomyelitis atau tumor-tumor ganas primer.

12
Untuk dapat menegakkan suatu diagnosis penyakit yang mempengaruhi fungsional dari
lutut, diperlukan beberapa pendekatan ke pasien melalui anamnesis, dan juga pemeriksaan fisik
untuk dapat menjurus ke diagnosis yang lebih spesifik. (Covey, 2014)

A. Anamnesis

Anamnesis sangat penting dalam menegakkan diagnosis sendi lutut, misalnya pada
robekan meniscus. Dalam anamnesis harus ditanyakan kapan terjadinya trauma, hal-hal yang
terjadi sesudahnya serta mekanisme dari trauma.keadaan yang perlu ditanyakan yaitu apakah dapat
berjalan, dapat meluruskan atau menekuk lutut. Beberapa penderita dapat dengan jelas
mengutarakan lututnya menjadi terkunci (locking). Pada kasus osteoarthritis lutut dimana keluhan
utamanya yaitu nyeri lutut, dapat ditanyakan onset timbulnya nyeri, faktor yang
mencetuskan/memperberat nyeri, faktor yang memperingan, apakah disertai kekakuan sendi,
pembengkakan, maupun krepitasi ketika sendi digerakkan. (Rasjad, 2012)

B. Inspeksi

Pemeriksaan inspeksi dilakukan dari depan dan belakang pasien ketika posisi berdiri,
berjalan dan tidur terlentang. Yang perlu dilihat dari inspeksi adalah kontur tulang, kontur jaringan
lunak, warna dan tekstur kulit apakah terdapat eritema, jaringan parut, luka bekas trauma/operasi,
lalu apakah terdapat massa, dislokasi patella maupun atrofi otot. Pada saat posisi berdiri perlu juga
dinilai apakah terdapat genu valgum maupun genu varum. (Rasjad, 2012)

Pemeriksaan gait juga diperlukan untuk dapat mengetahui adanya kelainan pada lutut. Gait
merupakan suatu pola dari siklus gerakan muskuloskeletal yang mengusung tubuh untuk maju ke
depan. Gait yang normal memiliki karakteristik yang halus, simetris dan ergonomis, dengan
masing-masing kaki terdistribusi 50% pada tiap gerakan. Untuk masing-masing kaki, gait memiliki
dua tahap, yaitu tahap sikap (stance phase) dan tahap ayunan (swing phase). Tahap sikap dimulai
dari pijakan kaki sampai diangkatnya ujung kaki, merupakan tahap dimana dialihkannya beban ke
kaki tersebut. Tahap ayunan dimulai dari diangkatnya ujung kaki sampai pijakan kaki, tahap
dimana kaki melayang di udara. Ketika kedua kaki berada dipijakan disebut dengan sikap pijakan
ganda.

13
gait abnormal disebabkan oleh karena nyeri, perubahan struktural (misalnya adanya
perbedaan panjang tungkai, kelainan tonus dan kontraksi otot) ataupun kelemahan. Gait
antalgic adalah sebutan untuk gait yang dilakukan untuk mengurangi rasa sakit. Nyeri di tungkai
bawah biasanya diperburuk dengan menahan beban tubuh ke tungkai tersebut, sehingga tubuh akan
mengurangi atau menggunakan waktu minimal dalam tahap sikap di sisi itu. Hal ini menyebabkan
gait yang sering disebut juga ‘dot-dash‘. (Rasjad, 2012)

Gambar 2.9 Gait Normal


C. Palpasi

Pemeriksaan palpasi lutut yang sedang inflamasi adalah mengamati gejala dan tanda
radang seperti tumor (pembengkakan), rubor (kemerahan), kalor (panas), dolor (sakit). Palpasi
dilakukan pada bagian anatomi lutut yang utama, seperti: Patela, Epikondilus, Batas sendi, Plateau
tibia, Tuberositas tibia, Fibula proksimal. Palpasi juga dilakukan pada jaringan lunak lutut, seperti:
Muskulus kuadrisep, Bursa anserine, Traktus iliotibial, Ligamen patella, Ligamen kolateral, lateral
dan medial. (Rasjad, 2012)
Kista Baker dapat teraba pada fosa poplitea. Seringkali, kista ini dihubungkan dengan
masalah intra-artikular, namun kista ini bersifat jinak. Walaupun begitu, kista ini mesti dibedakan
dan dipastikan adalah bukan aneurisme arteri poplitea.
Pembengkakan yang difus pada lutut dapat diketahui dengan mudah dengan jalan
membandingkan kedua lutut. Pembengkakan pada lutut terutama disebabkan oleh tiga hal yaitu :
1) penebalan tulang

14
Penebalan tulang dapat diketahui dengan palpasi pada daerah yang sakit lalu
dibandingkan dengan yang normal. Penebalan tulang dapat disebabkan oleh infeksi, tumor,
ataupun kista tulang.

2) efusi sendi

Efusi sendi bisa karena penimbunan cairan serosa, pus atau darah. Cairan dalam sendi
diketahui dengan melakukan pemeriksaan yang disebut uji fluktuasi. Pada pemeriksaan ini telapak
tangan diletakkan di atas demur distal di bagian atas dari patella pada daerah bursa suprapatellar,
sementara tangan lainnya diletakkan pada sisi sebaliknya dimana ibu jari dan jari telunjuk pada
pinggir patella. Tekanan dilakukan oleh tangan yang di proksimal bursa suprapatellar sehingga
cairan terdorong kedalam kantung persendian. Efusi yang terjadi dapat dengan mudah dideteksi
karena adanya impuls hidraulik pada jari-jari dan ibu jari yang di distal. Cairan dalam sendi dapat
pula dideteksi dengan cara aspirasi.

Terdapat beberapa teknik pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengetahui adanya
cairan atau efusi didalam sendi lutut, yaitu patellar tap test, dan bulge/wipe/stroke test

a) patellar tap test

Pasien dalam posisi supinasi dengan kaki diekstensikan. Pemeriksa memberikan tekanan
pada sisi proksimal lutut dengan tujuan mengarahkan cairan keluar dari kantung suprapatellar.
Pemeriksa menggunakan tangan satunya untuk menekan recessus medial dan lateral patella.
Dengan menekan kebawah, akan menciptakan pergerakan naik dan turun dan juga akan teraba
‘click’ sebagai tanda patella mengenai femur. Jika patella sudah tersentur terlebih dahulu, maka
hasil negatif, hasil positif jika patella dapat dirasakan bergerak naik turun mengikuti cairan, dan
terjadi rebound pada patella. (Physiopedia, 2018)

15
Gambar 2.10 Patellar tap test

b) Bulge, wipe atau stroke test

pasien dalam posisi supinasi, dengan kaki ekstensi. Pemeriksa menggunakan ujung
tangan melakukan gerakan mengusap sisi medial lutut ke atas untuk memindahkan cairan ke sisi
lateral, lalu dilanjutkan dengan mendorong cairan pada sisi lateral tersebut kea rah bawah. Hasil
positif jika pemeriksa dapat melihat cairan berpindah ke sisi medial lutut.

Gambar 2.11 Bulge, wipe atau stroke test pada sendi lutut

3) penebalan membran synovia

Penebalan membrane sinovia merupakan suatu gambaran arthritis inflamasi kronik.


Penebalan membrane umumnya terjadi di atas patella dan dapat diraba pada palpasi dan biasanya
lutut juga terasa hangat oleh karena proses inflamasi yang ada.

16
D. Mobilisasi aktif
Mobilisasi aktif dilakukan untuk menilai jarak gerakan, kelancaran gerakan, nyeri pada
saat gerakan, adanya krepitasi, atau adanya lateralisasi patella.
Pada posisi berbaring, pasien diminta untuk melakukan ekstensi dan fleksi penuh pada
lututnya. Perhatian ditujukan terhadap adanya kelemahan otot dan fleksibitas sendi. Secara
normal, gerakan fleksi pada sendi lutut sebesar 120-145̊ dan gerakan ekstensi 0̊ dan mungkin dapat
ditemukan hiperekstensi sebesar 10̊. Eksorotasi dilakukan sekitar 40̊, dan Endorotasi dilakukan
sekitar 30̊ (Rossi R, 2011)

E. Mobilisasi pasif
Pada mobilisasi pasif dinilai jarak gerakan, kelancaran gerakan, nyeri pada saat gerakan,
adanya krepitasi, atau adanya lateralisasi patella.
Pada pemeriksaan dalam posisi berbaring, pemeriksa menilai fungsi lutut pasien, dengan
memegang tungkai dan lutut pasien, serta menggerakkannya dengan cara :
 Dengan tangan kiri pemeriksa, pegang lutut pasien yang sakit, misalnya lutut kanan pasien,
sedangkan tangan kanan pemeriksa memegang pergelangan kaki pasien, kemudian difleksikan,
dengan mengangkat keatas lutut pasien
 Selanjutnya, tungkai pasien direntangkan kembali, dengan mengekstensikan penuh keseluruhkan
tungkai dan lutut
Evaluasi dilakukan pada saat titik akhir gerakan, yaitu apakah terdapat:
 Gerakan yang terfiksasi
 Gerakan yang resilien
 Nyeri pada saat gerakan
Pada posisi berbaring juga diperiksa apakah terdapat masalah pinggul. Permasalahan pada
pinggul dapat merefleksikan nyeri pada lutut. Pemeriksa menilai fungsi lutut pasien, dengan
memegang tungkai dan lutut pasien, serta menggerakkannya dengan cara:
 Dengan tangan kiri pemeriksa, pegang lutut pasien yang sakit, misalnya lutut kanan pasien,
sedangkan tangan kanan pemeriksa memegang pergelangan kaki pasien, mengangkat ke atas lutut
pasien membentuk sudut 90̊ terhadap paha yang diluruskan keatas
 Selanjutnya, tungkai bawah pasien digerakkan ke medial, dengan mempertahankan posisi lutut
dan paha tetap membentuk sudut 90̊

17
Pada posisi duduk, pemeriksa menggerakan lutut dan menilai adanya krepitus atau
hentakan patella terhadap femur yang teraba dengan palpasi. Apabila terjadi defisit ekstensi selama
pemeriksaan mobilisasi aktif, dan ekstensi penuh dilakukan pada mobilisasi pasif, maka akan
terdapat suatu ekstensi lag.
Fleksi pasif biasanya melebihi fleksi aktif, dan dapat mencapai hingga 160̊. Demikian juga
halnya dengan rotasi lutut pasif, yang dapat berputar melebihi rotasi lutut aktif. (Rossi R, 2011)

Gambar 2.12 rentang pergerakan sendi lutut

F. Tes Otot Isometrik


Tes otot isometrik bertujuan utama untuk menilai nyeri, bukan kekuatan otot. Namun,
dalam pelaksanaan tes ini juga menilai tonus otot, punktum maksimum nyeri, membedakan hernia
otot dari lipoma, dan adanya avulsi atau ruptur otot. (Rossi R, 2011)
Pemeriksaan ini dilakukan pada posisi duduk, dengan cara:
 Pasien duduk di tepi meja baring, tungkai bawah menggantung, lutut fleksi membentuk sudut 90o
 Kemudian minta pasien untuk mengekstensikan dan mem-fleksikan lutut, sementara tangan
pemeriksa memegang lutut tetap pada posisinya
 Selanjutnya, pasien diminta mengetatkan otot-otot, dan melakukan ekstensi dan fleksi dengan
kekuatan tidak maksimal
 Pada saat tersebut, pemeriksa mencari punktum maksimum nyeri dengan palpasi
Berikut adalah otot-otot yang secara selektif diperiksa:
 Otot bisep femoris, berguna untuk fleksi dan eksorotasi lutut, fleksi pinggul
 Semi membran dan semi tendon, berguna untuk fleksi dan endorotasi lutut, ekstensi pinggul

18
 Sartorius, berguna untuk fleksi lutut, fleksi dan eksorotasi pinggul
 Gastroknemius, berguna untuk fleksi lutut, plantar fleksi kaki

G. Pemeriksaan Neurovaskular
Pemeriksaan neurovaskular dilakukan untuk menilai secara singkat kondisi saraf dan
pembuluh darah ekstremitas. Yang dinilai adalah sensibilitas kulit, refleks, dan kekuatan otot.
Pada trauma berat lutut yang dapat mengakibatkan dislokasi sendi, pemeriksaan
neurovaskular yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan temperatur kulit kaki, waktu pengisian
kapiler, pulsasi perifer dari arteri pedis dorsal dan arteri tibialis posterior. Hal ini bertujuan secara
mendasar untuk mendapatkan informasi status vaskular pada tungkai bawah. Selain daripada itu,
tungkai atas bagian distal diukur diameternya dan dibandingkan pada sisi paha sebelahnya.
Pengukuran dapat dilakukan 15 cm proksimal terhadap garis sendi. (Rossi R, 2011)

H. Tes Meniskus
Tes meniskus dilakukan pada pasien yang mengalami iritasi karena seringnya terjadi
subluksasi. Pada prinsipnya, tes ini mencoba untuk melakukan subluksasi pada meniskus yang
cedera dengan cara kompresi dan rotasi yang dilakukan terhadap lutut yang sakit. Kemudian
dilanjutkan dengan palpasi untuk merasakan terjadinya snap ketika posisinya kembali normal.
(Shiraey, 2012)
Tes ini dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
 Joint line tenderness: apabila terjadi robekan meniskus, maka sendi anterior atau posterior akan
terasa nyeri saat dipalpasi. Apabila nyeri meluas ke arah proksimal atau distal, kemungkinan lokasi
cedera adalah pada ligamen kolateral.
 Resilient extension deficit: pemeriksaan ini sering dihubungkan dengan kejadian ruptur bucket
handle meniscus. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan defisit ekstensi resilien ketika bagian
meniskus yang robek bergeser dan secara mekanik menghalangi gerakan lutut selanjutnya.
Sehingga lutut tidak dapat diekstensikan secara penuh.
 Squatting dan Tender Hyperflexion: pada pemeriksaan ini pasien diminta untuk jongkok, dengan
posisi kaki jinjit, yaitu beban tubuh bertumpu pada kedua ujung kaki, sementara kedua tumit
menopang bokong. Atau, dapat dilakukan secara pasif dengan tujuan agar lutut pada keadaan
hiperfleksi. Dalam keadaan lutut yang hiperfleksi ini, bagian posterior meniskus akan berada

19
dalam situasi kekuatan beban yang berat. Apabila pasien merasakan nyeri saat pemeriksaan, maka
ada kecenderungan lesi terdapat pada tanduk posterior meniskus.
 Tes Appley: tes ini dilakukan pada pasien yang tidak dapat menggerakkan pinggulnya secara
nyaman. Pada tes ini, pasien diminta berbaring secara relaks dengan posisi pronasi. Lutut
difleksikan secara pasif 90o dan berikan kompresi pada tumit. Paha pasien dipegang erat agar tidak
bergerak. Manuver ini akan memberikan gaya rotasi pada lutut. Nyeri yang dirasakan akan
terlokalisir pada sisi lesi meniscus. Sensitivitas dan spesifisitas tes ini masing-masing adalah 38%
dan 41%.

Gambar 2.13 tes appley untuk mengetahui robekan berasal dari meniscus atau ligamen
 Tes Thessaly: tes ini dilakukan untuk memberikan gaya beban pada lutut. Pasien posisi berdiri
pada satu tungkai dengan lutut difleksikan 20o. Untuk keseimbangan, pasien dapat berpegangan
pada pemeriksa. Kemudian, pasien diminta untuk merotasikan lututnya ke arah internal dan
eksternal. Tes dikatakan positif, apabila pasien merasakan nyeri pada lutut, adanya locking pada
lutut, atau catching sensation. (Harrison, 2009)

Gambar 2.14 tes Thessaly

20
 Uji rotasi : dilakukan untuk mengetahui adanya robekan meniscus dan dikenal sebagai uji Mc
Murray. Pada pemeriksaan ini, lutut di ekstensikan kemudian dilakukan eksorotasi maksimal
untuk memeriksa meniscus medial atau dengan endorotasi maksimal untuk memeriksa meniscus
lateral. Penderita berbaring terlentang, tungkai bawah dipegang, lutut difleksikan 90̊ dan dilakukan
eksorotasi maksimal dan kemudian lutut diluruskan sambal mempertahankan eksorotasi. Pada
kerusakan meniscus, maka penderita merasakan nyeri, mungkin dapat diraba adanya krepitasi atau
terdengar suara klik dari tanduk depan/belakang atau bagian dari meniscus yang lompat keluar dari
antara kondilus femur. Pemeriksaan meniscus medial dilakukan dengan endorotasi maksimal dan
mempunyai prinsip serta prosedur pemeriksaan yang sama dengan pemeriksaan eksorotasi
maksimal. (Rasjad, 2012)

Gambar 2.15 Uji rotasi dengan tes Mcmurray

I. Instabilitas Medial
Tes instabilitas medial ditujukan terutama untuk menilai adanya cedera pada ligamen
kolateral medial. Sensitivitas tes ini dilaporkan sekitar 86─96%. Tes ini terdiri dari beberapa
pemeriksaan: (Rasjad, 2012)
 Inspeksi: menilai adanya laserasi, ekimosis, atau edema yang terlokalisir pada daerah sekitar
ligamen kolateral medial apabila terjadi cedera.
 Palpasi: akan teraba bengkak dan terasa sensitif pada pasien jika terdapat kelainan. Cedera ligamen
kolateral medial tidak selalu mengakibatkan efusi besar. Namun, apabila terdapat efusi besar,
ruptur ligamen krusiata atau ruptur meniskus pada daerah yang tervaskularisasi cenderung terjadi.

21
 Tes stres valgus: pada pemeriksaan ini pasien diminta berbaring secara relaks dengan posisi
supinasi. Tes ini dapat menyebabkan perlawanan sekunder dari kapsul posterior dan ligament
krusiata. Untuk mengatasi hal tersebut, lutut yang dikeluhkan diposisikan pada fleksi 30o.
Selanjutnya, pemeriksa memegang sisi lateral lutut pasien untuk menahan dan tangan pemeriksa
yang lain memegang pergelangan kaki pasien untuk menggerakkan. Kemudian, secara
lembut tungkai bawah diabduksikan. Untuk memudahkan, manuver ini dapat dilakukan dengan
menggeser tungkai bawah keluar dari meja baring.
Cara penilaian cedera ligamen kolateral medial adalah berdasarkan tingkatan, yaitu :
 Tingkat I: adanya nyeri tapi lutut stabil dengan ruang sendi dapat terbuka sekitar 0─5 mm
 Tingkat II: adanya nyeri dan hanya ketidakstabilan ringan, sekitar 5─10 mm, namun ujung ligamen
masih intak dan kuat dengan robekan terjadi parsial
 Tingkat III: ruptur ligamen total dengan ruang sendi terbuka >10 mm

J. Instabilitas Lateral
Pemeriksaan instabilitas lateral dilakukan dengan cara:
 Inspeksi: untuk menilai laserasi, ekimosis, atau edema yang terlokalisir di sekitar ligamen kolateral
lateral apabila terjadi cedera
 Palpasi: ligamen kolateral lateral yang intak, dapat teraba sebagai pita yang meregang, berjalan
dari epikondilus femoralis lateral berakhir pada kapitis fibula. Ligamen tersebut dapat lebih jelas
teraba, dengan posisi tungkai sebagai berikut:
 Pasien diminta duduk, tungkai yang normal diluruskan, sedangkan lutut yang sakit difleksikan
 Tempatkan tumit ipsilateral pada lutut kontralateral yang normal
 Pada keadaan ini pinggul akan fleksi dan eksorotasi
 Tes varus thrust: ketika fase stance berlangsung, terjadi deformitas varus yang meningkat, hal ini
menandakan terjadinya hentakan varus. Pada keadaan ini, disfungsi saraf periosteal mesti dinilai.
 Tes stres varus: pasien diminta relaks berbaring, dengan posisi supinasi. Tes ini dapat
menyebabkan perlawanan sekunder dari kapsul posterior dan ligamen krusiata. Untuk mengatasi
hal tersebut, lutut yang dikeluhkan diposisikan pada fleksi 30o. Selanjutnya, pemeriksa memegang
sisi medial lutut pasien untuk menahan, dan tangan pemeriksa yang lain memegang pergelangan
kaki pasien untuk menggerakkan. Kemudian, secara lembut tungkai bawah diaduksikan. Untuk

22
memudahkan, manuver ini dapat dilakukan dengan menggeser tungkai bawah keluar dari meja
baring.
Cara penilaian cedera ligamen kolateral lateral, yaitu:
 Tingkat I: adanya nyeri tapi lutut stabil, mungkin terjadi robekan mikroskopis
 Tingkat II: adanya nyeri dan ketidakstabilan ringan dengan ruang sendi terbuka sekitar 5─10 mm,
namun ujung ligamen masih intak dan kuat, terjadi robekan parsial makroskopik
 Tingkat III: ruptur ligamen total dengan ruang sendi terbuka >10 mm
Ujung ligamen yang teraba tegang dan kuat, menandakan ligamen intak. Sebaliknya, bila teraba
longgar dan lunak, menandakan ligamen robek.

Gambar 2.16 pemeriksaan varus stress dan valgus stress

K. Instabilitas Anterior
Pada cedera akut, seperti benturan, hemartrosis paling umum terjadi. Keadaan ini dapat
membatasi fleksi lutut. Selain itu, serat-serat ligamen krusiata anterior (ACL) yang robek dapat
secara mekanik mencegah ekstensi penuh lutut tersebut. Uji yang dapat digunakan untuk
memeriksa instabilitas anterior adalah: (Rasjad, 2012)
 Tes Lachman: dilakukan dengan pasien berbaring posisi supinasi. Lutut secara pasif difleksikan
30o, pasien diminta untuk relaks. Apabila lutut kiri pasien yang diperiksa, maka tangan kiri
pemeriksa memegang paha distal pasien untuk dipertahankan tetap, dan tangan kanannya secara
lembut memegang betis atas pasien untuk digerakkan kearah anterior. Manuver ini mesti
dibandingkan dengan sisi lutut yang normal. Penilaian tes ini sebagai berikut:
 ACL dikatakan intak, apabila tidak terasa gerakan translasi, dan berhenti dengan baik

23
 Ketidakstabilan 1+, apabila translasi tibia anterior sekitar 0─5 mm
 Ketidakstabilan 2+, apabila translasi tibia anterior sekitar 5─10 mm
 Ketidakstabilan 3+, apabila translasi tibia anterior >10 mm

Gambar 2.17 tes Lachman


 Tes anterior drawer: pasien berbaring dengan posisi supinasi. Pinggul difleksikan 45o, lutut
difleksikan secara pasif dengan sudut 90o, sementara tibia pada rotasi netral. Pasien diminta untuk
relaks, otot-otot bawah paha diperiksa apakah teraba kendur. Selanjutnya, secara lembut tibia
proksimal digerakkan ke arah anterior. Ketidakstabilan posterior, yang berkurang dengan gerakan
anterior ini, dapat menyerupai ketidakseimbangan anterior. Karenanya, tes posterior drawer, dan
tanda gravitasi, atau tanda step tibia mesti dilakukan untuk membedakan kedua hal tersebut diatas.
Manuver ini mesti dibandingkan pada sisi lutut yang normal. Penilaian adanya cedera ACL:
 Intak, apabila tidak ada translasi anterior, dan gerakan berhenti secara baik
 Ketidakstabilan 1+, apabila translasi tibia anterior sekitar 0─5 mm
 Ketidakstabilan 2+, apabila translasi tibia anterior sekitar 5─10 mm
 Ketidakstabilan 3+, apabila translasi tibia anterior >10 mm

Gambar 2.18 tes anterior dan posterior drawer

24
 Tes pivot shift: tes ini mengevaluasi ketidakseimbangan rotasi anterolateral pada lutut, apabila
terjadi defisien ACL. Pasien berbaring secara relaks, dengan posisi supinasi. Tangan pemeriksa
memegang pergelangan kaki pasien, sementara tangan lainnya memegang sisi lateral tungkai
bawah pasien dibawah lutut, kemudian lutut difleksikan. Lakukan secara lembut stress valgus,
dan internal rotational stress pada lutut pasien. Lutut secara perlahan akan terekstensikan. Tes
dikatakan positif, apabila terjadi gerakan kearah anterior dengan bebas, atau terjadi hentakan
pada tibia plateau lateral.

Gambar 2.19 tes pivot shift

L. Instabilitas Posterior
Tes berikut digunakan untuk memeriksa ligamen krusiata posterior (PCL). Pada cedera
akut, seperti benturan, hemartrosis paling umum terjadi. Keadaan ini dapat membatasi fungsi lutut,
termasuk kestabilan gerakan posterior (Rasjad,2012)
 Tes posterior drawer: pasien berbaring posisi supinasi, pinggul difleksikan 45o. Lutut secara pasif
difleksikan 90o, sementara tibia pada posisi rotasi netral. Pasien diminta relaks, kedua tangan
pemeriksa memegang sisi lateral dan medial tungkai bawah pasien tepat di bawah lutut. Kemudian,
secara lembut tibia proksimal digerakkan ke arah posterior. PCL dikatakan intak, apabila tidak
terjadi translasi posterior, dan gerakan tersebut dapat berhenti dengan baik. Tes dikatakan positif
apabila terjadi defisiensi PCL dan tibia bergerak ke posterior terhadap femur.

25
 Tanda gravitasi atau tanda step tibia: pasien berbaring posisi supinasi, pasien diminta relaks,
pinggul dan lutut difleksikan secara pasif 90o. Apabila terdapat defisien PCL, tibia akan subluksasi
kearah posterior terhadap os femur. Hal tersebut terjadi karena manuver tes ini menghasilkan gaya
gravitasi. Manuver ini mesti dibandingkan dengan sisi lutut yang normal sehingga dilakukan pada
kedua lutut secara bersamaan, sementara kedua tangan pemeriksa membantu menopang kedua
kaki dan lutut bawah pasien.
 Tes kuadrisep aktif: tergantung pada posisi lutut, kontraksi isometrik kuadrisep akan memberikan
gaya, seperti tibial anterior shear, tibial posterior shear, dan nol gaya. Posisi lutut di mana tidak
ada gaya tersebut di atas, disebut juga sebagai sudut kuadrisep netral. Pada tes ini, lutut yang
dikeluhkan, diposisikan pada sudut yang sama seperti lutut kontralateral. Kemudian, pasien
diminta untuk mengkontraksikan otot-otot kuadrisepnya. Apabila, terjadi defisien PCL, posisi tibia
akan mengarah lebih ke posterior. Dengan demikian, gaya tibia anterior shear akan terjadi seiring
dengan kontraksi otot-otot kuadrisep tersebut. Akibatnya, lutut akan normalisasi, karena terjadi
translasi anterior.

M. Instabilitas Sudut Posterolateral


Pemeriksaan instabilitas sudut posterolateral dilakukan dengan cara:
Tes dial: pasien berbaring posisi pronasi, pemeriksa memfleksikan lutut pasien sampai 30 ° dan
menempatkan kedua tangan di kaki pasien, menangkupkan tumitnya, lalu lakukan rotasi eksternal
maksimal dan sudut kaki-paha diukur dan dibandingkan dengan sisi yang lain. Lutut kemudian
ditekuk hingga 90 °, dan lagi gaya rotasi eksternal diterapkan dan sudut kaki-paha diukur lagi. Tes
dikatakan positif apabila eksorotasi lebih besar daripada 10̊ ketika dibandingkan dengan sisi
kontralateral. Ketika tes ini positif, maka tes diulang dengan fleksi lutut sebesar 90̊. Eksorotasi
yang meningkat ketika dibandingkan dengan tes pada 30̊, menunjukkan suatu defisien PCL.

Gambar 2.20 tes dial

26
 Tes sudut paha kaki rotasi eksternal: pasien berbaring relaks dengan posisi pronasi, lutut
difleksikan 30̊. Sudut antara axis kaki dan paha dibandingkan terhadap sisi kontralateral. Tes
dikatakan positif apabila eksorotasi lebih besar dari 10̊ ketika dibandingkan dengan sisi
kontralateral. Ketika tes ini positif, maka tes diulang dengan fleksi lutut sebesar 90̊. Eksorotasi
yang meningkat ketika dibandingkan dengan tes pada 30̊ menunjukkan suatu defisiensi PCL.
 Tes rekurvatum rotasi eksternal: pasien berbaring dengan posisi supinasi, kedua lutut
diekstensikan. Pasien diminta relaks, kemudian kedua tungkai secara pasif diangkat, dengan cara
menarik kedua ibu jari kaki ke atas. Tes dikatakan positif terhadap adanya defisien PCL apabila
terjadi hiperekstensi lateral, angulasi varus, dan eksorotasi tibial
 Varus trust gait: apabila deformitas varus meningkat, akan terdapat hentakan varus ketika
berlangsungnya fase stance.
 Tes posterolateral drawer: pasien berbaring relaks dengan posisi supinasi, pinggul difleksikan
45̊ dan lutut 80̊. Tibia dirotasikan eksternal 15̊. Pada posisi ini, lakukan gerakan posterior secara
lembut pada tibia proksimal. Apabila terdapat defisien PCL, tibia plateau lateral berotasi eksternal
terhadap femur, dan tidak berhenti secara baik. Manuver ini mesti dibandingkan dengan sisi
kontralateral.
 Tes reversed pivot shift: pasien berbaring relaks dengan posisi supinasi, lutut difleksikan 90̊.
Tangan pemeriksa yang satu memegang pergelangan kaki pasien, sedangkan tangan lainnya pada
sisi lateral tungkai bawah pasien dibawah lutut. Kemudian, lakukan valgus force, dan gaya rotasi
eksternal pada lutut. Pada defisien PCL, manuver ini menyebabkan subluksasi posterior pada tibia
plateau lateral, lutut secara perlahan terekstensikan. Tes dikatakan positif, apabila terjadi hentakan
kearah anterior dari tibia plateau lateral yang disebabkan oleh reduksi ke posisi netral dari tibia
plateau lateral tersebut. (Rossi, 2011)

N. Instabilitas Patela
Patela meningkatkan kekuatan unit ekstensi lutut. Patela cenderung untuk luksasi ke arah
lateral karena gaya yang dihasilkan oleh tendon patela dan otot kuadrisep. Patela normalnya
menempati posisi tetap pada lekukan tulang yang dibentuk oleh troklea femoral dan retinakulum
medial. Luksasi patella dapat terjadi apabila keadaan posisi tetap tersebut tidak adekuat atau
terdapat gaya ke arah lateral patela. (Rossi, 2011)

27
Patela dikatakan luksasi apabila tidak tampak atau tidak teraba pada posisi normalnya di troklea
femoral, namun posisinya dapat kearah lateral. Ketika tungkai secara pasif diekstensikan, patella
makin tidak tampak atau tidak teraba.
Pada keadaan laserasi retinakulum medial efusi intra-artikular sering terjadi. Sisi medial patella
seringkali terasa sensitif karena laserasi ini. Sedangkan, sisi lateral patela dapat juga terasa sensitif
karena trauma terkena sisi tulang lateral.
Pemeriksaan instabilitas patela meliputi:
 Q Angle: adalah suatu sudut antara garis dari spina iliaka anterior superior ke pusat patella dan
tendon patela pada bagian frontal. Sudut Q yang normal adalah antara 10̊ ─15̊. Pada posisi fleksi,
sudut Q normalnya menurun karena terjadi rotasi internal tibia terhadap femur. Sudut Q meningkat
pada:
 Meningkatnya valgus load axis
 Meningkatnya femoral anteversion
 Meningkatnya posisi lateral dari tuberositas tibia

Gambar 2.21 Q-angle

 Tes apprehension, atau subluksasi patela: pasien berbaring secara relaks pada posisi supinasi, lutut
difleksikan 20̊, kemudian secara lembut gerakkan sisi medial patela kearah lateral. Ketika terjadi
subluksasi patela yang iminen, pasien akan respon dengan spasme otot kuadrisep sebagai suatu
reflek guarding.

28
Gambar 2.22 patellar apprehension test
 Tes sendi patelofemoral: patela meningkatkan kekuatan unit ekstensi lutut. Patela cenderung untuk
luksasi ke arah lateral karena gaya yang dihasilkan oleh tendon patela dan otot kuadrisep. Patela
secara normal menempati posisi tetap pada lekukan tulang yang dibentuk oleh troklea femoral dan
retinakulum medial. Luksasi patella ke arah lateral, dapat menjadikan tulang kartilago
mengalami overload lokal yang membebani sendi patelofemoral. Keadaan tersebut akan dirasakan
nyeri pada pasien. Palpasi tulang kartilago pada sisi medial, atau lateral patella, akan terasa sangat
nyeri pada pasien
 Tes clarke’s atau tes patellofemoral grinding atau tes kompresi patelofemoral: pasien berbaring
secara relaks dengan posisi supinasi, lutut diekstensikan. Pemeriksa meraba patella pada sisi
proksimal dan dipegang secara ketat. Kemudian, pasien diminta untuk mengkontraksikan otot-otot
kuadrisepnya. Tes ini dikatakan positif, apabila kontraksi otot tersebut dirasakan nyeri oleh pasien

Gambar 2.23 clarke’s sign atau patellofemoral grinding test

29
BAB III
RINGKASAN

Secara anatomi sendi lutut adalah sendi penting pada tubuh manusia dengan bentuk sendi
jenis synovial hinge joint dengan gerakan yang terjadi fleksi dan ekstensi. Fungsi dari sendi lutut
itu sendiri adalah mempertahankan tegaknya tubuh, stabilisasi serta meredam tekanan. Karena
struktur dan fungsinya yang kompleks, maka sendi lutut memiliki susunan anatomi dan
biomekanik yang berbeda.

Pemeriksaan fisik lutut adalah pemeriksaan awal yang penting dilakukan untuk dapat
membantu menegakkan diagnosis suatu cedera atau kelainan pada sendi lutut sebelum
dilakukannya pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan fisik lutut ini sifatnya mudah dilakukan,
cepat, murah dan tanpa memerlukan banyak peralatan yang diperlukan, pemeriksaan dimulai dari
anamnesis untuk mengetahui kapan terjadinya trauma, apakah dapat berjalan, dapat meluruskan
atau menekuk lutut. Pada keluhan utama nyeri lutut, dapat ditanyakan onset timbulnya nyeri, faktor
yang mencetuskan/memperberat nyeri, faktor yang memperingan, apakah disertai kekakuan sendi,
pembengkakan, maupun krepitasi ketika sendi digerakkan. Setelah anamnesis, pemeriksaan
selanjutnya adalah Pemeriksaan inspeksi yang untuk menilai kontur tulang, kontur jaringan lunak,
warna dan tekstur kulit apakah terdapat eritema, jaringan parut, luka bekas trauma/operasi, lalu
apakah terdapat massa, dislokasi patella maupun atrofi otot. Pada saat posisi berdiri perlu juga
dinilai apakah terdapat genu valgum maupun genu varum, dan pemeriksaan gait.

Pemeriksaan palpasi pada lutut yang sedang inflamasi adalah mengamati gejala dan tanda
radang seperti tumor (pembengkakan), rubor (kemerahan), kalor (panas), dolor (sakit). Palpasi
juga dapat memeriksa apakah terdapat efusi pada sendi lutut dengan pemeriksaan patellar tap test
dan bulging/stroke test. Pemeriksaan neurovaskuler untuk memeriksa sensibilitas kulit, refleks,
dan kekuatan otot, Pemeriksaan mobilisasi secara aktif maupun pasif dilakukan untuk mengetahi
ROM sendi lutut pada pasien. Pada penyakit/gangguan pada sendi lutut, maka ROM cenderung
terbatas. Untuk memeriksa adakah cedera atau robekan pada ligament dan meniscus, terdapat
beberapa pemeriksaan fisik khusus yang dilakukan yaitu menguji instabilitas daerah medial,
lateral, anterior, posterior, posterolateral dan juga patella.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Rasjad C. (2012). Pengantar ilmu bedah ortopedi : Diagnosis Bedah Ortopedi. Ed. III.
Jakarta: PT. Yarsif Watampone P; hal. 22 – 57.
2. Imboden J, Hellman D, Stone J. (2013). Current Diagnosis & Treatment Rheumatology :
Approach to the Patient with Knee Pain. Ed. III. USA: McGraw-hill; Hal.117-120.
3. Moore, Keith L. (2013). Anatomi Berorientasi Klinis.ed 5. Jakarta : Erlangga. 198-211
4. OrthopaedicsOne Articles. In: OrthopaedicsOne - The Orthopaedic
Knowledge Network. Screw-home mechanism. 2012.
from https://www.orthopaedicsone.com/x/QwTbB.
5. Covey, C. J., & Hawks, M. K. (2014). Nontraumatic knee pain: a diagnostic & treatment
guide. J Fam Pract, 63(12), 720-728
6. Physiopedia contributors, 'Effusion tests of the Knee', Physiopedia, , 8 August 2018,
09:06 UTC, <https://www.physio-
pedia.com/index.php?title=Effusion_tests_of_the_Knee&oldid=195285 > [accessed
16 October 2018]
7. Harrison, B. K., Abell, B. E., & Gibson, T. W. (2009). The Thessaly test for detection of
meniscal tears: validation of a new physical examination technique for primary care
medicine [Abstract]. Clin J Sport Med, 19(1), 9-12. doi:
10.1097/JSM.0b013e31818f1689
8. Rossi, R., Dettoni, F., Bruzzone, M., Cottino, U., D'Elicio, D. G., & Bonasia, D. E.
(2011). Clinical examination of the knee: know your tools for diagnosis of knee injuries.
Sports Medicine, Arthroscopy, Rehabilitation, Therapy & Technology, 3(1), 25. doi:
10.1186/1758-2555-3-25
9. Shiraev, T., Anderson, S., & Hope, N. (2012). Meniscal tear Presentation, diagnosis and
management. Australian Family Physician, 41, 182-187

31

Anda mungkin juga menyukai