Anda di halaman 1dari 23

JURNAL READING

“EPILEPSY IN CHILDREN: FROM DIAGNOSIS TO


TREATMENT WITH FOCUS ON EMERGENCY”
Journal of Clinical Medicine (2019)

Tugas Kepaniteraan Klinik


Departemen Saraf RSUP Persahabatan Jakarta
Periode 9 Desember 2019 – 11 Januari 2020

Pembimbing:
dr. Teuku Reyhan Gamal, Sp.S

Disusun Oleh:
M. Ilham Fadhlir Rahman S.
1820221161

KEPANITERAAN KLINIK SMF SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA
RSUP PERSAHABATAN JAKARTA
2019
PENGESAHAN

Jurnal reading ini diajukan oleh :


Nama : M. Ilham Fadhlir Rahman S.
NRP : 1820221161
Program Studi : Profesi Kedokteran
Judul Jurnal Reading : Epilepsy in Children: From Diagnosis to
Treatment with Focus Emergency

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Pembimbing dan diterima sebagai


bagian persyaratan yang diperlukan untuk ujian kepaniteraan klinik stase Saraf
pada Program Studi Profesi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.

Pembimbing

dr. Teuku Reyhan Gamal, Sp.S

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal ujian : 18 Desember 2019

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan tugas
jurnal reading yang berjudul “Epilepsy in Children: From Diagnosis to Treatment
with Focus Emergency” dengan baik.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr.
Teuku Reyhan Gamal, Sp.S selaku pembimbing penulis di kepaniteraan klinik
SMF Saraf RSUP Persahabatan periode 7 Desember 2019 – 11 Januari 2019 yang
telah meluangkan waktu dan usahanya untuk memberikan masukan, saran, dan
pikiran pada jurnal reading ini.
Penulis mohon maaf apabila masih terdapat kekurangan dan kesalahan dalam
penulisan jurnal reading ini. Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga
jurnal reading ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak. Terima kasih atas
pehatiannya.

Jakarta, 18 Desember 2019

M. Ilham Fadhlir Rahman S.

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
PENGESAHAN.......................................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................iii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iv

ABSTRAK...............................................................................................................1

I. PENDAHULUAN................................................................................................ 2
I.1 Klasifikasi Status Epileptikus.............................................................................5
I.2 Faktor Risiko...................................................................................................... 7
I.3 Mortalitas............................................................................................................7
I.4 Patofisiologi........................................................................................................8

II. DIAGNOSIS....................................................................................................... 9

III. PENGOBATAN STATUS EPILEPTIKUS.................................................... 11


III.1 General Support............................................................................................. 11
III.2 Obat Antikonvulsan di Unit Gawat Darurat.................................................. 12

IV. KETERANGAN PADA KEJANG DAN STATUS EPILEPTIKUS..............13

V. PELATIHAN PADA ORANG TUA................................................................14

VI. KESIMPULAN................................................................................................14

VII. PERBEDAAN EPILEPSI ANAK DENGAN DEWASA..............................14

iv
Epilepsy in Children: From Diagnosis to Treatment with Focus
Emergency
Carmelo Minardi1, Roberta Minacapelli1, Pietro Valastro1, Francesco Vasile1, Sofia Pitino1,
Piero Pavone2, Marinella Astuto1, and Paolo Murabito1
Department of Anesthesiology, AUO Policlinico-Vittoro Emanuele, University of Catania
1

Via S. Sofia, Italy


Department of Pediatrics, AUO Policlinico-Vittoro Emanuele, University of Catania Via S.
2

Sofia, Italy
Journal of Clinical Medicine (2019)

ABSTRAK
Kejang didefinisikan sebagai terjadinya tanda dan gejala yang bersifat
sementara akibat aktivitas neuronal yang abnormal dan berlebihan atau
sinkronisasi aktivitas neuronal di otak dengan karakteristik secara tiba-tiba
dan pengaktifan otot rangka involunter. Diagnosis awal, pengobatan, serta
penunjang medis harus dilakukan untuk mencegah terjadinya status
epileptikus (SE). Onset kejang, terutama pada populasi anak-anak, sangat
terkait dengan berbagai faktor risiko seperti riwayat penyakit epilepsi pada
keluarga, demam, infeksi, komorbiditas neurologis, kelahiran prematur, dan
penyalahgunaan alkohol serta merokok pada ibu hamil. Risiko kematian dini
pada anak-anak tanpa komorbiditas neurologis mirip dengan populasi umum.
Diagnosis umumnya didasarkan pada pengidentifikasian kejang secara terus
menerus ataupun berulang tetapi evaluasi hasil elektroensefalogram (EEG)
dapat berguna jika kondisinya masih suspek SE. Tujuan utama terapi pada SE
adalah untuk menangkal mekanisme patologis yang terjadi pada SE sebelum
sel-sel saraf rusak secara ireversibel. Menurut pedoman dan rekomendasi
internasional terbaru terkait penyakit kejang, alur dan tingkat terapi
farmakologis serta pendekatan diagnostik diusulkan terutama dalam
manajemen penyakit SE pada anak-anak. Langkah pertama harus berfokus
pada pengobatan yang tepat dengan dosis yang adekuat, manajemen jalan
napas, monitoring tanda vital, akses Pediatric Intensive Care Unit (PICU),
dan manajemen kecemasan pada orang tua.
Kata Kunci: Kejang, Status Epileptikus, Anak

1
I. Pendahuluan
Departemen gawat darurat umumnya adalah tempat di mana anak-anak
yang terkena kejang menerima pengobatan pertama dan penunjang medis.
Keterampilan yang tepat pada dokter sangat penting dalam diagnosis awal,
pengobatan, dan komunikasi yang adekuat dengan orang tua pasien.
Kejang didefinisikan sebagai terjadinya tanda dan gejala yang bersifat
sementara akibat aktivitas neuronal yang abnormal dan berlebihan atau
sinkronisasi aktivitas neuronal di otak dengan karakteristik secara tiba-tiba
dan pengaktifan otot rangka involunter. Kata sifat “sementara” dalam definisi
menunjukkan kerangka waktu dengan onset yang jelas dan remisi. Status
epileptikus (SE) adalah suatu kondisi yang dihasilkan dari kegagalan
mekanisme terminasi/penghentian kejang atau dari inisiasi mekanisme kejang
yang abnormal, maupun kejang yang berkepanjangan (dalam jangka waktu 5
menit atau lebih). Kondisi ini dapat menyebabkan konsekuensi jangka
panjang (terutama jika durasi lebih dari 30 menit) termasuk kematian
neuronal, cedera saraf, dan perubahan jaringan saraf. Konsekuensi tersebut
bergantung pada jenis dan durasi kejang. Kejang demam didefinisikan
sebagai kejang yang kritis yang terjadi pada anak-anak dengan rentang usia
antara 1 bulan-6 tahun dengan peningkatan suhu lebih dari 38℃ dan tanpa
dengan gejala penyakit infeksi dari sistem saraf pusat.
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) (2014), definisi
epilepsi secara klinis adalah sebagai penyakit otak yang diikuti dengan
berbagai kondisi seperti berikut:
a. Setidaknya kejang (atau refleks) tanpa disertai pencetus (provokasi) ≥2
dengan interval >24 jam antara kejang pertama dan berikutnya
b. Kejang (atau refleks) tanpa disertai pencetus (provokasi) dan
kemungkinan kejang yang selanjutnya mirip dengan risiko kekambuhan
umum (minimal 60%) setelah dua serangan kejang tanpa disertai
pencetus (provokasi) yang terjadi selama lebih dari 10 tahun
c. Diagnosis dari sindrom epilepsi.

2
Epilepsi dianggap selesai bagi individu yang memiliki sindrom epilepsi
yang bergantung usia namun sekarang telah melewati usia yang berlaku pada
kejadian sindrom epilepsi tersebut atau mereka yang bebas kejang selama 10
tahun terakhir dengan tanpa konsumsi obat kejang selama 5 tahun terakhir.
Insiden epilepsi bervariasi pada negara industri maupun negara
berkembang. Di negara Barat, kasus baru per tahun diperkirakan mencapai
33,3-82/100.000 yang dibandingkan dengan insiden pada negara berkembang
diperkirakan mencapai 187/100.000. Studi terbaru menunjukkan bahwa
insiden maksimum terjadi pada uisa tahun pertama dengan rata-rata kasus
mencapai 102/100.000 kasus per tahun, seperti insiden pada rentang usia dari
1-12 tahun. Angka insiden epilepsi pada anak-anak dengan rentang usia
11-17 tahun mencapai 21-24/100.000 kasus per tahun. Penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa total insiden epilepsi adalah konstan selama 25 tahun
serta sedikit peningkatan insiden pada laki-laki.
Di Italia, insiden epilepsi mencapai 48,35/100.000 kasus baru per tahun
dan hal ini sebanding dengan data yang tercatat di negara-negara industri
lainnya. Puncak insiden terjadi pada anak-anak berusia lebih muda dari 15
tahun (50,14/100.000 kasus baru per tahun) dan terutama di usai tahun
pertama dengan insiden mencapai 92,8/100.000 kasus baru per tahun. Dalam
hal ini, insiden epilepsi pada anak harus diperhitungkan karena sistem saraf
pusat anak yang belum matang lebih rentan terhadap serangan epilepsi dan
pada waktu yang bersamaan dapat menyebabkan serangang akut pada
refrakter epilepsi. Pada akhirnya, insiden epilepsi lebih tinggi terjadi pada
laki-laki dibandingkan perempuan.
ILAE dari tahun 2015 ke 2017 merevisi konsep, definisi, dan klasifikasi
terhadap kejang, epilepsi, dan status epileptikus. Klasifikasi kejang yang
terbaru dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

3
Tabel 1 Klasifikasi Kejang dalam Versi yang Lebih Luas

Sumber: ILAE (2017)

Selain itu, diagnosis epilepsi telah menjadi proses multilevel yang


dirancang untuk memungkinkan klasifikasi epilepsi berdasarkan lingkungan
klinis yang berbeda yang berarti bahwa tingkat klasifikasi akan mungkin
bergantung pada sumber daya yang tersedia. Setelah menjelaskan penyakit
epilepsi pada pasien, dokter harus membuat diagnosis kerja melalui beberapa
langkah penting seperti menentukan kemungkinan penyebab terhadap kondisi
klinis pasien. Klasifikasi mencakup tiga tingkatan antara lain jenis kejang,
jenis epilepsi, dan sindrom epilepsi (Tabel 2). Bila memungkinkan, diagnosis
pada ketiga tingkatan tersebut harus dicari etiologinya pada individu yang
mengalami epilepsi.

Tabel 2 Klasifikasi Epilepsi

Sumber: ILAE (2017)

4
Pada status epileptikus, penyebab yang paling banyak terjadi pada
anak-anak adalah demam dan infeksi pada sistem saraf pusat. Penyebab
lainnya antara lain hiponatremia, menelan/minum agen racun secara tidak
disengaja, kelainan sistem saraf pusat, gangguan genetik, dan kondisi
metabolik (fenilketonuria, hipokalsemia, hipoglikemia, dan
hipomagnesemia).
Patofisiologi status epileptikus pada anak-anak tergantung pada adanya
kelainan anatomi dan kondisi predisposisi yang sudah ada pada sistem saraf
pusat.
Status epileptikus merupakan suatu kondisi yang dihasilkan dari
kegagalan mekanisme terminasi/penghentian kejang atau dari inisiasi
mekanisme kejang yang abnormal, maupun kejang yang berkepanjangan
(dalam jangka waktu 5 menit atau lebih) (setelah titik waktu t1). Ini
merupakan suatu kondisi yang dapat menyebabkan konsekuensi jangka
panjang (setelah titik waktu t2), seperti kematian neuronal, cedera saraf, dan
perubahan jaringan saraf yang bergantung pada jenis dan durasi kejang.
Definisi status epileptikus sangat konseptual dengan dua dimensi
operasional yang pertama adalah panjangnya durasi kejang dan titik waktu t1
di mana kejang ini harus dikatakan sebagai kejang yang memanjang secara
abnormal. Titik waktu kedua (t2) merupakan waktu atau durasi dari aktivitas
kejang yang sedang berlangsung yang dapat memiliki risiko konsekuensi
jangka panjang.

I.1 Klasifikasi Status Epileptikus


ILAE mengklasifikasikan status epileptikus menjadi empat kategori
antara lain semiologi (tabel 3), etiologi (tabel 4), pola EEG (tabel 5), dan usia
(tabel 6).

5
Tabel 3 Klasifikasi Status Epileptikus Berdasarkan Semiologi

Sumber: ILAE (2017)

Tabel 4 Klasifikasi Status Epileptikus Berdasarkan Etiologi

Sumber: ILAE (2017)

Tabel 5 Klasifikasi Status Epileptikus Berdasarkan Etiologi

Sumber: ILAE (2017)

6
Tabel 6 Klasifikasi Status Epileptikus Berdasarkan Etiologi

Sumber: ILAE (2017)

I.2 Faktor Risiko


Faktor risiko kejang pada anak berkorelasi dengan: riwayat positif kejang
pada keluarga, demam dengan suhu yang tinggi, cacat mental, telat
pengangan NICU atau kelahiran prematur, dan penyalahgunaan alkohol serta
merokok pada ibu hamil yang dapat meningkatkan risiko kejadian kejang.
Sekitar 30% anak-anak yang mengalami kejang pertama kali, kemungkinan
kejadian episode kejang berulang pada anak tersebut akan meningkat.
Adapun faktor risiko terjadinya kejang berulang antara lain usia muda
serta durasi pada kejang pertama, suhu yang rendah saat episode kejang
pertama, riwayat positif kejang demam pada keluarga tingkat pertama, jarak
waktu yang singkat pada peningkatan suhu, dan onset kejang.
Pasien dengan semua faktor risiko tersebut menunjukkan lebih dari 70%
probabilitas dari episode kejang berulang sedangkan pasien yang tidak
memiliki satu pun faktor risiko di atas, maka mereka memiliki probabilitas
episode kejang berulang sekitar kurang dari 20%.

I.3 Mortalitas
Tingkat mortalitas pada orang yang terkena epilepsi adalah 2-4 kali lebih
tinggi dari sisa populasi, dan 5-10 kali lebih tinggi pada anak-anak.

7
Risiko kematian dini pada anak-anak tanpa komorbiditas neurologis
sama dengan risiko kematian yang terjadi pada populasi umum dan banyak
kematian tersebut tidak berhubungan dengan kejang itu sendiri melainkan
akibat kecacatan neurologis yang ada sebelumnya.
Peningkatan risiko ini merupakan konsekuensi dari perubahan
neuro-metabolik yang menjadi lethal, komplikasi sistemik (konsekuensi dari
kecacatan neuron), dan kematian yang berhubungan langsung dengan kejang.
Kelompok ini mencakup kematian mendadak yang tidak terduga akibat
epilepsi yang mewakili penyebab terbesar kematian akibat epilepsi pada
anak-anak. Hal ini jarang terjadi namun risiko kematian meningkat, jika tetap
terjadi epilepsi sampai usia dewasa muda.
Penyebab lain kematian bisa diakibatkan karena berhubungan dengan
kejang (ab-ingestis), penyebab yang alami seperti tumor otak, dan penyebab
yang tidak alami seperti bunuh diri atau kematian akibat kecelakaan.
Angka kematian secara global berkisar antara 2,7 dan 6,9 kematian per
1000 anak setiap tahunnya. Kematian mendadak yang tidak terduga akibat
epilepsi pada anak-anak terjadi sekitar 1,1-2 kasus per 10.000 anak per tahun.

I.4 Patofisiologi
Mekanisme kejang sebenarnya masih belum diketahui secara tepat.
Kemungkinan akibat adanya defisit dari inhibisi neuronal atau kelebihan
rangsangan eksitatorik. Kebanyakan peneliti berpendapat bahwa timbulnya
kejang tergantung pada defisit dalam inhibisi neuron, khususnya defisit γ-
aminobutyric (GABA) yang merupakan neurotransmitter terpenting pada
sistem saraf pusat. Hal ini bergantung pada perubahan fungsi GABA yang
menentukan stimulasi dengan intensitas yang tinggi dan berkepanjangan.
Studi lain, pada hewan percobaan menunjukkan bahwa
N-methyl-D-aspartate (NMDA) dan alpha-amino-3-hdroxy-5-methyl-isoxazo
le-propionic acid yang keduanya merupakan reseptor glutamat (reseptor
eksitatorik yang penting dalam sistem saraf pusat) telibat dalam patofisiologi
dari kejang. Kejang demam terjadi pada anak-anak dini yang memiliki
ambang kejang yang rendah.

8
Anak-anak mudah sering terpapar infeksi seperti ISPA, otitis media, dan
infeksi virus. Suatu uji eksperimental dengan hewan percobaan menunjukkan
bahwa peran sentral dari mediator inflamasi seperti IL-1 dapat menyebabkan
peningkatan stimulasi neuron dan onset pada kejang demam.
Studi sebelumnya pada anak tampak memperkuat hipotesis kejang
demam tetapi klinis dan patologis masih belum diketahui secara pasti. Kejang
demam dapat mewakili adanya proses patologis yang berat seperti meningitis,
ensefalitis, dan abses otak.
Infeksi virus tampaknya terlibat dalam patogenesis kejang. Penelitian
terbaru menunjukkan bahwa HHSV-6 (Human Herpes Simplex Virus-6) dan
Rubivirus dapat ditemukan pada 20% pasien yang terkena kejang demam
pertama. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa Shigella sp. yang
menyebabkan penyakit gastroenteritis berhubungan dengan kejadian kejang
demam.

II. Diagnosis
Kondisi yang paling menantang yang kebetulan dirawat dalam keadaan
darurat adalah status epileptikus. Oleh karena itu, diagnosis dan pengobatan
difokuskan pada keadaan klinis ini.
Manifestasi klinis pada status epileptikus sangat bervariasi. Hal ini
tergantung pada jenis kejang, derajat, dan kondisi keadaan sebelumnya pada
pasien pediatrik. Diagnosis didasarkan pada kejang yang berlangsung terus
menerus ataupun berulang dan mudah untuk dikenali selama manifestasi
klinis.
Setelah berlangsung status epileptikus, meskipun manifestasi motorik
sudah hilang, sulit untuk mengeluarkan sstatus menjadi non-epileptikus.
Evaluasi secara lengkap dapat dilakukan dalam kasus pertama status
epileptikus termasuk komplikasi dan komorbid terutama pada bayi. Sebuah
literatur menjelaskan bahwa dalam usia pediatri, pemeriksaan serologi tidak
dibenarkan karena frekuensi yang rendah dari nilai yang tidak normal. Tes
menjadi tidak normal pada lebih dari 20% pasien yang sedang mengalami
hipoglikemia.

9
Pada pasien status epileptikusyang memiliki suhu tubuh di atas 38,5℃,
pungsi lumbal bisa dipertimbangkan ketika curiga atas penyebab infeksi.
Suhu, leukositosis, dan pleositosis pada cairan serebrospinalis mungkin
ditemukan dalam status epileptikus meskipun jika tidak ada infeksi pada
sistem saraf pusat.
American Association of Pediatrics (AAP) guideline dalam manajemen
medis pada kejang demam anak tidak menyarankan melakukan tes diagnostik
rutin, termasuk pungsi lumbal, kecuali jika dibutuhkan pada kondisi tertentu.
Pungsi lumbal direkomendasikan pada pasien di bawah usia satu tahun
yang mengalami kejang.
American College of Physician Emergency (ACEP) guideline
menunjukkan bahwa pungsi lumbal harus dibutuhkan dalam kasus
immunokompromise, tanda-tanda klinis meningitis, kejang yang menetap,
dan infeksi sistem saraf pusat baru-baru ini.
Pemeriksaan Computerized Tomography (CT) dibutuhkan selama
manifestasi klinis kejang pertama dan dalam kondisi klinis yang bisa
meningkatkan risiko komplikasi.
CT SCAN kepala tanpa penggunaan kontras merupakan pemeriksaan
pertama yang dianjurkan untuk mendiagnosis neoformasi, cedera kepala,
perdarahan otak, dan atau infark serebral. CT SCAN dengan media kontras
bisa diperlukan untuk membantu dalam diagnosis tumor otak atau hematoma
subdural.
Sebuah penelitian telah menunjukkan bahwa pasien anak dengan kejang
demam kompleks dan pemeriksaan klinis normal, serta pasien anak dengan
kejang demam akut tanpa sebab yang jelas jarang memiliki hasil CT SCAN
kepala yang positif sehingga pemeriksaan ini bisa ditunda.
Penggunaan EEG di unit gawat darurat diperlukan untuk menyingkirkan
diagnosis banding. EEG harus dipertimbangkan apabila terdapat suspek
status epileptikus.
Penelitian mengenai penyebab dan pengobatan dari status epileptikus
tetap harus dilanjutkan secara paralel pengetahuan yang baik diperlukan

10
dalam pengobatan yang optimal untuk mencegah kejadia status epileptikus
yang berulang.

III. Pengobatan Status Epileptikus


Tujuan utama pengobatan status epileptikus adalah untuk menghentikan
kejang sebelum sel neuron secara permanen rusak. Status epileptikus sulit
untuk dikontrol saat durasinya meningkat, maka penting dalam memulai
target pengobatan farmakologi sejak awal.
Hal yang paling penting dalam pengobatan farmakologi adalah
implementasi yang cepat dengan protokol yang jelas dan pemberian dosis
yang disesuaikan dengan berat badan pasien. Oleh karena itu, dalam kasus
refrakter status epileptikus, pengobatan harus dilakukan secepat mungkin.
ILAE (2017) menghubungkan pengobatan farmakologi dengan
waktu/durasi kejang. Adapaun tiga poin dijelaskan di bawah ini:
a. T1 merupakan periode di mana pengobatan emergensi pada status
epileptikus musti mulai
b. T2 merupakan periode di mana kejang dapat menyebabkan kematian
pada sel neuron, modifikasi jaringan neuron, dan defisiensi fungsi neuron
c. T3 merupakan karakteristik dari refrakter status epileptikus. Serangan
epileptikus terjadi walaupun setelah pemberian pengobatan. Dalam kasus
ini, rawat inap dan perawatan di PICU direkomendasikan.

Ada juga periode yang disebut T4. Hal ini ditandai oleh super refrakter
status epileptikus yang terus terjadi selama lebih dari 24 jam. Dalam hal ini,
perlu pemberian life support.

III.1 General Support


Pendekatan pertama pada status epileptikus harus befokus pada
manajemen ventilasi dan sirkulasi yang adekuat. Hal ini penting dilakukan
dalam perlindungan pasien dari cedera yang disebabkan oleh gerakan yang
tidak terkendali. Hal ini juga penting untuk menempatkan pasien dalam posisi
lateral untuk mencegah inhalasi dan posisi dari kateter vena perifer.

11
Pemantauan tanda-tanda vital (denyut jantung, tekanan darah, saturasi
oksigen, dan suhu) sangat penting dalam mengevaluasi status epileptikus. Tes
darah cepat harus dilakukan untuk mengetahui keadaan hipoglikemia ataupun
keracunan pada pasien.
Sebagian besar obat yang digunakan menekan jalur pernapasan. Oleh
karena itu, penting dalam mengambil tindakan pencegahan untuk mengenali
dan mengobati efek samping dari obat-obatan tersebut.

III.2 Obat Antikonvulsan di Unit Gawat Darurat


Pedoman dalam pengobatan status epileptikus memberikan dasar untuk
mengelola status epileptikus secara optimal di unit gawat darurat. 80% pasien
dengan kejang yang ringan dapat respon terhadap pengobatan awal, termasuk
pasien yang akan terjadi status epileptikus.
Faktor yang paling adalah dengan menggunakan obat yang efektif pada
dosis yang tepat. Terapi dapat optimal dengan memilih urutan obat yang
benar (dapat dilihat pada tabel 7).

Tabel 7 Terapi Farmakologi

Benzodiazepin dianggap pilihan pertama pada pengobatan awal kejang


dan status epileptikus dalam perawatan darurat pra-rumah sakit. Mereka
meningkatkan inhibitor reseptor GABA dan memiliki onset yang cepat dan
efektif dalam 79% dari pasien status epileptikus.

12
Barbiturat meningkatkan inhibitor reseptor GABA. Fenobarbital adalah
salah satu yang paling umum digunakan namun sulit untuk mengelola karena
paruh waktu obat yang panjang.
Fenobarbital dan fenitoin dianggap merupaka obat kelas dua dalam
mengobati kejang dan status epileptikus dan mereka biasanya diberikan
ketika obat benzodiazepin gagal. Efek samping kedua obat tersebut antara
lain sedasi, depresi pernapasan, dan hipotensi. Maka dari itu, manajemen
jalan napas dan pengobatan kardiovaskular juka dibutuhkan dalam mencegah
efek samping dari pengobatan tersebut.
Fenobarbital adalah obat antiepilepsi yang sering digunakan dalam
kejang pada neonatal, meskipun dengan obat Phenytoin sama efektifnya.
Asam valproat penting diberikan dalam refraktori status epileptikus.
Propofol merupakan agen anestesi dengan aktivitas antikonvulsan yang
digunakan dalam refraktori status epileptikus. Kerugiannya adalah waktu
paruh yang pendek dan metabolisme yang cepat yang dapat membuat kejang
semakin memburuk. Efek samping utama obat ini adalah depresi pernafasan
dan hipotensi karena depresi miokard. Dosis tinggi Propofol pada infus harus
dibatasi dengan waktu yang singkat, umumnya tidak lebih dari 24-48 jam
untuk mencegah terjadinya Propofol infuse syndrome.

IV. Keterangan pada Kejang dan Status Epileptikus pada Pediatri


Pasien pediatri dengan cedera kepala dan nilai Glasgow Coma Scale
(GCS) 3-8 berisiko untuk terjadinya kejang dan dianjurkan untuk mencegah
mereka dengan profilaksis. Sebagian besar kejang pada pasien anak-anak dan
remaja dapat diobati dengan asam valproat oral. Orang dewasa muda yang
tidak tidur banyak dan minum alkohol dapat menunjukkan kejang umum
pada pagi hari. Pada pasien ini, asam valproat adalah obat yang sangat baik
untuk digunakan dalam keadaan darurat.

13
V. Pelatihan pada Orang Tua
Orang tua harus siap untuk melakukan sesuatu jika anak-anaknya sedang
dalam keadaan kejang. Mereka harus menghubungi nomor darurat jika kejang
bertahan selama lebih dari 10 menit dan jika setelah keadaan kejang yang
berlangsung selama lebih dari 30 menit. Selain itu, mereka harus diberitahu
tentang tanda dan gejala dari kejang demam. Orang tua harus memberikan
perhatian khusus kepada anak-anak mereka karena penelitian telah
membuktikan bahwa kejang demam cenderung menjadi berulang dalam satu
keluarga.

VI. Kesimpulan
Kejang dan status epileptikus pada pediatri adalah keadaan darurat yang
memerlukan pengobatan secara dini dan efektif. Setiap orang menyadari
bahwa semua pasien dapat sembuh dengan menggunakan obat antiepilepsi
dengan dosis yang tepat. Penelitian lebih lanjut harus berfokus pada
pengelolaan kejang atau status epileptikus pediatri melalui peningkatan
penggunaan obat yang memperhitungkan manajemen jalan napas merupakan
prioritas pada pasien anak dengan kejang atau status epileptikus. Anak-anak
dengan kejang demam harus dievaluasi melalui pemeriksaan neurologis dan
dilakukan pemantauan pada perkembangan mental. Penyebab demam harus
selalu diselidiki dan diobati, penyebab lain kejang harus dikeluarkan, dan
kecemasan pada orang tua dari anak harus dikontrol.

14
VII. Perbedaan Epilepsi pada Anak dengan Dewasa
VII.1 Gejala
Tabel 8 Gejala Serangan Non-Epileptikus pada Anak

Tabel 9 Sindrom Epilepsi yang Sering Dijumpai

15
16
Epilepsi pada lanjut usia (≥65 tahun) seringkali terlambat terdiagnosis
karena menyerupai gejala penyakit lain. Diagnosis epilepsi seringkali baru
dipikirkan bila disertai bangkitan tonik klonik umum (generalized tonic
clonic seizure), padahal tidak seperti epilepsi pada anak atau usia muda,
bentuk bangkitan ini lebih jarang terjadi pada lanjut usia.
Stroke merupakan 30-50% penyebab epilepsi pada lanjut usia.
Perdarahan intraserebral merupakan penyebab tersering (15%) dan pada
kelompok stroke yang paling jarang adalah lakunan infark (2%).
Pada umumnya sindrom epilepsi pada lanjut usia adalah epilepsi fokal,
dengan dan tanpa bangkitan umum sekunder. Gambaran klinis dapat
menyerupai gejala penyakit pembuluh darah otak (transient ischemic attack),
demensia, atau kelainan jantung.
Pada usia tua, fokus epileptik cenderung lebih sering terjadi pada lobus
frontal dan parietal, berbeda dengan gejala klinis yang berhubungan dengan
epilepsi dengan fokus di lobus temporal pada penderita epilepsi usia yang
lebih muda, sehingga aura dizziness dapat lebih sering muncul dibanding
gejala khas epilepsi lobus temporal. Gejala bangkitan parsial kompleks
seperti gangguan kesadaran, pandangan kosong, atau tampak bingung pada
epilepsi lanjut usia sering disalahartikan sebagai onset gejala demensia atau
penyakit lain. Acute confusional state atau gangguan mental yang fluktuatif
dapat merupakan manifestasi dari iktal, postiktal, ataupun merupakan
manifestasi dari status epileptikus non konvulsius yangs seringkali disangka
sebagai manifestasi dari gangguan psikiatrik.

VII.2 Terapi
Pemilihan obat anti epilepsi (OAE) yang direkomendasikan untuk
epilepsi fokal pada lanjut usia lanjut dapat dilihat pada daftar dibawah. Obat
antiepilepsi spektrum luas perlu dipertimbangkan pada epilepsi umum atau
pada tipe campuran (fokal dan umum).
Rekomendasi epilepsi parsial pada usia lanjut menurut ILAE (2017)
adalah sebagai berikut:
 Level A : Gabapentin, Lamotrigin
 Level B : tidak ada
 Level C : Carbamazepine
 Level D : Topiramat, Asam Valproat
 Level E : lain-lain
 Level F : tidak ada
Pemberian dimulai dari dosis sangat rendah dan peningkatan dosis (titrasi)
dilakukan secara sangat perlahan (start very low and go very slow)
merupakan prosedur yang perlu diperhatikan dalam pemberian OAE pada
lanjut usia. Setengah dosis dewasa yang direkomendasikan sebagai dosis
awal dan awitan seringkali dapat mengontrol kejang.

Anda mungkin juga menyukai