Anda di halaman 1dari 13

PORTOFOLIO

KEJANG DEMAM

Disusun oleh :
dr. Sonata B. P. Sipahutar

Pendamping :
dr. Nelson Siburian, M.KM
dr. Kristina Sitorus

RSU HKBP BALIGE


INTERNSIP DOKTER INDONESIA
PERIODE 2018-2019
BERITA ACARA PRESENTASI PORTOFOLIO

Pada hari ini tanggal Januari 2019 telah dipresentasikan oleh:

Nama Peserta : dr. Sonata B. P. Sipahutar

Dengan Judul/Topik : Kejang Demam

Nama Pendamping : dr. Nelson Siburian, M. KM

dr. Kristina Sitorus

Lokasi Wahana : RSU HKBP Balige

No Nama Peserta Presentasi Tanda Tangan


.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.

Pendamping

(dr. Nelson Siburian, M.KM) (dr. Kristina Sitorus)


PORTOFOLIO

Nama Peserta : dr. Sonata B. P. Sipahutar


Nama Wahana : RSU HKBP Balige
Topik : Kejang Demam
Tanggal (kasus) :
Nama Pasien : No RM :
Tanggal Presentasi : Nama Pendamping : dr. Nelson Siburian
dr. Kristina Sitorus
Tempat Presentasi : RSU HKBP Balige
Objektif Presentasi : 1. Penegakan diagnosis Kejang Demam
2. Penatalaksanaan Kejang Demam
 Keilmuan  Keterampilan  Penyegaran Tinjauan Pustaka
 Diagnostik  Manajemen  Masalah Istimewa
 Neonates  Bayi  Anak  Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi Ny. CR, Perempuan59tahun, mengeluh nyeri pada perut bagian kanan
atas, menjalar ke pinggang dan belakang. mengatakan kalau nyeri
hilang timbul. Kadang nyeri menjalar ke dada, Os kadang merasa
bernapas agak berat ketika nyeri datang. Os juga mengakui sering
merasa mual, terutama setelah makan
Tujuan  Mengetahui penegakan diagnosis yang tepat pada kasus kejang
demam
 Mengetahui penatalaksanaan pada kasus kejang demam
Bahanbahasan  TinjauanPustaka  Riset  Kasus  Audit
Cara membahas  Diskusi  Presentasidandiskusi  Email  Pos
Data pasien No RM :
Nama klinik : IGD RSUD HKBP Balige Telp :- Terdaftar sejak:

Data utama untuk bahan diskusi :


1. Diagnosis/ Gambaran Klinis: Kejang Demam
nyeri pada perut bagian kanan atas, menjalar ke pinggang dan belakang. Pasien mengatakan
kalau nyeri hilang timbul dan nyeri kadang timbul ketika selesai makan dan mengaku sering
makan makanan yang mengandung lemak

2. Riwayat Pengobatan: -

3.Riwayat kesehatan/ Penyakit: -

Riwayat keluarga/ masyarakat: Riwayat keluhan serupa pada anggota keluarga disangkal

4. Riwayat pekerjaan: -
5. Kondisi lingkungan sosial dan fisik (rumah, lingkungan, pekerjaan)
Pasien tinggal di lingkungan perkampungan
6. Lain-lain:

Daftar Pustaka :
Soetomenggolo, 1999. Kejang demam. Dalam: Soetomenggolo, Ismael, Buku Ajar Neurologi
Anak. Jakarta: Balai Penerbit IDAI, 244-252.
Chung, Sajun M.D., 2014. Febrile Seizure. Korean J Pediatr, 57(9):384-395.
Amalia, K, Fatimah, Bennu, M, 2013. Faktor risiko kejadian kejang demam pada anak balita
diruang perawatan anak rumah sakit umum daerah daya kota Makassar, 1 (6): 1-11
Waruiru, C, Appleton R, 2004. Febrile seizures: An Update. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1720014/ [ Accessed 25 March 2015 ].
Fuadi, Bahtera, T, Wijayahadi, N, 2010. Faktor Resiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak.
Sari Pediatri, 12 (3): 142-149.
Lilihata, Gracia & Handriastuti, Setyo, 2014, ‘Kejang Demam’. Dalam : Chris Tanto, Frans
Liwang, Soma Hanifati, Eka Adip Pradipta, ed.4. Kapita selekta kedokteran, Essential of medicine.
Jakarta: Media Aesculapius, 102-105.
Guyton, AC & Hall, JE, 2006, Textbook of medical physiology, 11th ed. Pennsylvania:
Elsevier Saunders.
Shellhaas Renee, Jerome Engel Jr, Peter Camfield, Carol Camfield, 2014. Febrile seizure.
Available from: http://www.medlink.com/cip.asp?UID=mlt002fc [Accessed 09 May 2015].
Graves, Reese C., Karen Oehler, Leslie E Tingle, 2012. Febrile Seizure: Risks, Evaluation, and
Prognosis. American Academy of Family Physicians, 85 (2): 149-153.
Pusponegoro, H.D., Widodo, D.P., Ismael, S., 2006. Konsensus penatalaksanaan Kejang
demam. Badan Penerbit IDAI: 1-15.

Hasil pembelajaran:

1. Definisi
2. Faktor Resiko
3. Etiologi
4. Klasifikasi
5. Patofisiologi
6. Manifestasi Klinis
7. Penegakkan Diagnosis
8. Penatalaksanaan
1. Subyektif
Os mengeluh nyeri pada perut bagian kanan atas, menjalar ke pinggang dan belakang. Os
mengatakan kalau nyeri hilang timbul. Kadang nyeri menjalar ke dada, Os kadang merasa
bernapas agak berat ketika nyeri datang. Os mengaku terasa dingin dan demam. Os
mengatakan nyeri kadang timbul ketika selesai makan. Os juga mengakui sering merasa
mual, terutama setelah makan, namun tidak muntah.BAK dan BAB lancar tidak ada
kelainan. Urin berwarna kuning jernih, feses warna kuning kecoklatan.

Obyektif
Pemeriksaan fisik
 Keadaan Umum : Sedang
 Kesadaran : GCS E4V5M6
 Vital sign
o Tekanan Darah : 130/80 mmHg
o Nafas : 24 x/menit
o Suhu : 37,9oC (per axiler)
o Nadi : 72x/menit, reguler
 Kepala
Normochepali
 Mata
Konjungtivapucat (-/-), skleraikterik (-/-)
 Hidung
Simetris, napascupinghidung (-/-), secret (-/-), darah (-/-)
 Mulut
Bibir kering (-), beslaq (-)
 Thorax
Pulmo
Inspeksi : Simetris, pengembangan dada kanan = kiri, retraksi (-)
Palpasi :SFkanan = kiri
Perkusi : Sonor/Sonor,
Auskultasi : Vesikuler, wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
 Cor
Inspeksi : Iktuskordistidaktampak
Palpasi : Iktuskordistidakkuatangkat
Perkusi : Batasjantungkesannormal
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, irreguler, bising jantung (-)
 Abdomen
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Soepel, nyeri tekan epigastrium(+), nyeri tekan hipokondrium dextra(+)
heptomegali(-),splenomegai(-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) N
 Ekstremitas
Superior: Akral dingin (-/-); Oedem (-/-)
Inferior: Akraldingin (-/-); Oedem (-/-), Nyeri (-/-)
 Status Urologis
 A/r Flank : Peradangan Balotenment (-), nyeri tekan (-)
 A/r Suprapubik : Blast tidak teraba penuh, nyeri tekan (-)
 A/r Genitalia : massa (-), nyeri berkemih (-)
 Rectal Toucher : Sfingter ani: kontraksi adekuat, Ampulla recti : Mukosa licin,
massa (-), Prostat: konsistensi kenyal, pool atas teraba, sulcus mediana teraba, massa
(-), Sarung tangan: darah (-), feses (-)

PemeriksaanLaboratorium :
Leukosit : 5.59 103/µ
Hemoglobin : 13,5 g/dl
Hematokrit : 40,6%
Trombosit : 263.000 103/µ
Fungsi Hati
SGOT : 35 U/L
SGPT : 29 U/L
Ureum : 19,9 mg/dl
Kreatinin : 0,73 mg/dl
2. Assessment
2.1. Definisi

Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal
lebih dari 38ºC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Anak yang pernah mengalami
kejang tanpa demam, dan bayi yang berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk kejang demam
(Soetomenggolo, 1999).

Pada American Academy of Pediatrics (2008) menggambarkan kejang demam sebagai sebuah
kejang yang terjadi pada anak demam pada usia antara 6 bulan sampai 60 bulan yang tidak mengalami
infeksi intrakranial, gangguan metabolik, atau riwayat kejang demam sebelumnya (Chung, 2014).
Menurut IDAI dalam Amalia dkk (2013) mengemukakan bahwa Kesepakatan Undang –
Undang Kedokteran (UUK) Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) - saraf anak Perdossi,
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh >38ºC yang disebabkan
oleh suatu proses ektrakranial.

2.1.2. Epidemiologi Kejang demam terjadi pada 2 – 5 % anak dan biasanya terjadi pada usia antara 3
bulan – 5 tahun, dengan kejadian terbanyak pada usia 18 bulan. Kira-kira 6-15% terjadi pada usia 4
tahun dan jarang terjadi pada usia lebih dari 6 tahun (Waruiru, 2004). Di Asia prevalensi kejang demam
meningkat dua kali lipat bila dibandingkan di Eropa dan di Amerika. Kejadian kejang demam bekisar
3,4-9,3% pada anak-anak di Jepang, 5-10% pada anak-anak di India, tetapi hanya 2% - 5% pada anak-
anak di Amerika Serikat dan Eropa Barat, dan prevalensi tertinggi 14% di Guam (Chung, 2014).

2.1.3. Faktor Risiko Faktor yang penting pada kejang demam ialah demam, umur, genetik, prenatal dan
perinatal (Soetomenggolo,1999). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Fuadi dkk, 2010 dikatakan
bahwa faktor-faktor yang berperan dalam risiko kejang demam yaitu, faktor demam, usia, dan riwayat
keluarga, dan riwayat prenatal (usia saat ibu hamil), riwayat perinatal (asfiksia, usia kehamilan, dan
bayi berat lahir rendah) (Fuadi dkk, 2010). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Fuadi dkk, 2010
dengan jumlah sampel 164 anak, didapati bahwa anak dengan demam lebih besar dari 39ºC memiliki
risiko 10 kali lebih besar untuk menderita bangkitan kejang demam dibanding dengan anak yang
demam kurang 39ºC. Anak usia kurang dari dua tahun mempunyai risiko 8,9 kali lebih besar dibanding
anak yang lebih dari dua tahun.

2.1.4. Etiologi Beberapa teori dikemukakan mengenai penyebab terjadinya kejang demam, dua
diantaranya adalah karena lepasnya sitokin inflamasi (IL-1-beta), atau hiperventilasi yang
menyebabkan alkalosis dan meningkatnya pH otak sehingga terjadi kejang. Kejang demam juga
diturunkan secara genetic sehingga eksitasi neuron terjadi lebih mudah. Pola penurunan genetic masih
belum jelas, namun beberapa studi menunjukkan keterkaitan dengan kromosom tertentu seperti 19p
dan 8q13- 21, sementara studi lain menunjukkan pola autosomal dominan. Demam yang memicu
kejang berasal dari proses ekstrakranial, paling sering disebabkan karena infeksi saluran nafas akut,
otitis media akut, roseola, infeksi saluran kemih, dan infeksi saluran cerna (Lilihata et al., 2014).
Universitas Sumatera Utara 6

2.1.5. Klasifikasi Secara klinis, kejang demam dibagi menjadi dua, yaitu kejang demam
simpleks/sederhana dan kejang demam kompleks. Keduanya memiliki perbedaan prognosis dan
rekurensi. Tabel 2.1 Karakteristik kejang demam sederhana dan kompleks No Klinis KD sederhana KD
kompleks 1 Durasi < 15 menit ≥15 menit 2 Tipe kejang Umum Umum/fokal 3 Berulang dalam satu
episode (24 jam) 1 kali >1 kali 4 Defisit neurologis - ± 5 Riwayat keluarga kejang demam ± ± 6
Riwayat keluarga kejang tanpa demam ± ± 7 Abnormalitas neurologis sebelumnya - ± (Udin, 2014)
Kejang demam simpleks lebih banyak ditemukan dan memiliki prognosis baik. Kejang demam
kompleks memiliki risiko lebih tinggi terjadinya kejang demam berulang dan epilepsi di kemudian hari
(Lilihata et al., 2014).

2.1.6. Patofisiologi Demam adalah kenaikan suhu tubuh oleh karena adanya kenaikan titik ambang
regulasi panas hipotalamus. Pusat regulasi suhu hipotalamus dapat mengendalikan suhu tubuh dengan
menyeimbangkan sinyal dari reseptor – reseptor neuronal perifer dingin dan panas sehingga suhu tubuh
berada pada suhu normal. Banyak protein, pemecahan produk protein, dan zat-zat tertentu lainnya,
khususnya toksin lipopolisakarida yang dilepaskan dari membrane sel bakteri, danpat menyebabkan
peningkatan set-point hipotalamus. Zat yang menyebabkan kenaikan set-point hipotalamus ini disebut
pirogen. Produksi pirogen endogen Universitas Sumatera Utara 7 oleh sel – sel radang dapat
dirangsang oleh berbagai macam agen seperti agen infeksius, imunologis, atau agen yang berikatan
dengan toksin (pirogen eksogen). Pirogen endogen ini adalah sitokine, misalnya interleukin (IL-1 dan
IL-6), tumor necrosis factor (TNFa dan TNFb), dan interferon-a (INF). Sitokin endogen yang bersifat
pirogen akan menstimulasi metabolisme asam arakhidonat di hipotalamus. Stimulasi ini akan
memproduksi prostaglandin (E2), yang mengatur titik ambang pengaturan suhu. Transmisi neuronal ke
perifer menyebabkan konservasi dan pembentukan panas. Keadaan ini menyebabkan terjadinya
peningkatan suhu 15 tubuh bagian dalam (Guyton, 2006). Perubahan kenaikan temperatur tubuh
berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh
berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh
satu derajat Celsius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat 10%-15%, sehingga dengan adanya
peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen. Pada demam
tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk jaringan otak. Pada keadaan metabolisme di
siklus Creb normal, satu molekul glukosa akan menghasilkan 38 ATP. Sedangkan pada keadaan
hipoksi jaringan metabolisme berjalan anaerob, satu molekul glukosa hanya akan menghasilkan 2 ATP,
sehingga pada keadaan hipoksi akan kekurangan energi dan mengganggu fungsi normal pompa Na+
dan reuptake asam glutamat oleh sel g1ia. Kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya Na+ ke dalam
sel meningkat dan timbunan asam glutamat ekstrasel. Timbunan asam glutamat ekstrasel akan
mengakibatkan peningkatan permeabilitas membran sel terhadap ion Na+ sehingga semakin
meningkatkan ion Na+ masuk ke dalam sel. Ion Na+ ke dalam sel dipermudah pada keadaan demam,
sebab demam akan meningkatkan mobilitas dan benturan ion terhadap membrane sel. Perubahan
konsentrasi ion Na+ intrasel dan ekstrasel tersebut akan mengakibatkan perubahan potensial membran
sel neuron sehingga membran sel dalam keadaan depolarisasi. Disamping itu demam dapat merusak
neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu. Berdasarkan uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa demam tinggi dapat mempengaruhi perubahan konsentrasi ion natrium intraselular
akibat Universitas Sumatera Utara 8 Na+ influx sehingga menimbulkan keadaan depolarisasi,
disamping itu demam tinggi dapat menurunkan kemampuan inhibisi akibat kerusakan neuron
GABAnergik. Setiap kenaikan suhu 0,3°C secara cepat akan menimbulkan discharge di daerah
oksipital, discharge di daerah oksipital dapat dilihat dan hasil rekaman EEG. Kenaikan mendadak suhu
tubuh menyebabkan kenaikan kadar asam glutamat dan menurunkan kadar glutamin tetapi sebaliknya
kenaikan suhu tubuh secara pelan tidak menyebabkan kenaikan kadar asam glutamat. Perubahan
glutamin menjadi asam glutamat dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh. Asam glutamat merupakan
eksitator, sedangkan GABA sebagai inhibitor tidak dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh mendadak
(Fuadi, 2010). Patofisiologi dari kejang demam belum sepenuhnya dipahami. Peran aktivasi sistem
sitokin saat ini masih sedang terus diteliti. Adanya sitokin meningkatkan kecurigaan terhadap kejang
demam yang berhubungan dengan varian tertentu dari gen peradangan terkait, khususnya alel
interleukin, sedangkan yang lain mungkin sebagai pelindung. Pada penelitian meta-analisis yang
dilakukan Wu dkk, menduga bahwa keterkaitan ini cukup kompleks, dengan adanya hubungan peran
alel interleukin dengan kejang demam pada populasi Asia, tetapi tidak berhubungan dengan penelitian
yang dilakukan di Eropa. Ada kemungkinan bahwa peredaran toksin dan produk reaksi imun
memodulasi rangsangan sistem saraf. Suatu penelitian menunjukkan bahwa dalam keadaan terinfeksi
virus RNA, leukosit pada anak yang mengalami kejang demam memproduksi lebih banyak interleukin-
1β dibandingkan dengan kontrol yang sehat, dan interleukin-1β dapat menyebabkan hipertermia yang
memicu kejang pada tikus muda. Sebuah penelitian yang dilakukan pada 41 anak dengan kejang
demam menunjukkan peningkatan 4 kali lipat interleukin-1β, 1,8 kali lipat interleukin-1α, dan
penigkatan 2,8 kali lipat interleukin-10 dibandingkan dengan subyek kontrol demam dan tidak kejang.
Namun, penelitian lain tidak menemukan peran penting interleukin-1β, interleukin-1α, atau interleukin-
1Ra dalam patogenesis kejang demam. 9 Pada suatu penelitian case-control menyatakan bahwa
kekurangan besi dan seng mungkin juga menjadi faktor risiko kejang demam. Penelitian yang
dilakukan pada anak Indian yang berusia 3 bulan sampai 5 tahun menunjukkan kadar seng serum lebih
rendah pada pasien yang kejang dibandingkan pasa pasien demam tanpa kejang (Reesee, 2012). Seng
merupakan modulator penting dalam sintesis GABA. Kedua temuan ini meningkatkan kemungkinan
bahwa penurunan inhibisi dari reseptor GABA pada keadaan demam, mengakibatkan terjadinya kejang
demam. Pada kasus terinfeksi human herpes virus-6 (HHV-6), menyatakan bahwa invasi virus secara
langsung pada otak, ketika pada keadaan demam, menyebabkan bangkitan kejang demam dan virus
tersebut mungkin diaktifkan kembali jika demam pada penyakit berikutnya, dan dapat menyebabkan
kejang demam berulang. Penelitian pada hewan telah menunjukkan peningkatan rangsangan saraf
selama pematangan otak normal, yang mungkin menjelaskan hubungan kerentanan usia anak kejang
demam (Shellhaas, 2014).

2.1.7. Manifestasi Klinis

Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya berkembang bila suhu tubuh
(dalam) mencapai 39°C atau lebih. Kejang khas yang menyeluruh, tonik-klonik beberapa detik sampai
10 menit, diikuti dengan periode mengantuk singkat pasca-kejang. Kejang demam kompleks menetap
lebih lama dari 15 menit, adanya kejang berulang pada 24 jam, atau kejang fokal/parsial selama periode
mengantuk atau tertidur pasca-iktal (Nelson, 2000).

2.1.8. Penegakan Diagnosis

Anamnesis dan pemeriksaan fisik harus diarahkan untuk mencari fokus infeksi penyebab demam, tipe
kejang, serta pengobatan yang telah diberikan sebelumnya. Tanyakan riwayat trauma, riwayat
perkembangan dan fungsi Universitas Sumatera Utara 10 neurologis, serta riwayat kejang demam
maupun kejang tanpa demam pada keluarga. Pada kejang demam ditemukan perkembangan neurologis
yang normal. Tidak ditemukan tanda-tanda meningitis maupun ensefalitis (misalnya kaku kuduk atau
penurunan kesadaran). Anak-anak harus segera dievaluasi setelah kejang awal. Kebanyakan pasien
kejang demam datang untuk perawatan medis setelah kejang berhenti dan kembali dalam keadaan sadar
penuh. Tanyakan pada orang tua mengenai imunisasi, penggunaan antibiotic, durasi kejang, lamanya
fase pasca-iktal, dan gejala fokal lainnya. Pemeriksaan laboratorium seperti darah perifer lengkap tidak
diperlukan pada pasien dengan kejang demam, karena jarang ditemui gangguan elektrolit atau infeksi
bakteri berat. Dalam suatu penelitian retrospektif yang dilakukan pada 379 anak dengan kejang demam,
hanya delapan orang yang ditemukan bakterimia. Pemeriksaan pungsi lumbal kini menjadi pilihan
untuk anak usia 6-12 bulan yang belum pernah atau belum lengkap diimunisasi Haemophilus influenza
tipe b dan S. pneumonia. Pungsi lumbal juga direkomendasikan untuk dilakukan pada semua anak yang
berusia dibawah 12 bulan dan boleh dipertimbangkan untuk anak usia 12-18 bulan. Pungsi lumbal tidak
rutin dilakukan pada anak usia >18 bulan, hanya dilakukan bila tanda meningitis positif atau infeksi
intracranial. Elektroensefalografi (EEG) tidak rutin dilakukan, namun dianjurkan pada anak dengan
kejang demam usia >6 tahun, ataupun ada gambaran kejang fokal. Pemeriksaan seperti X-ray, CT-
Scan, atau MRI setelah kejang demam sederhana atau kompleks tidak dianjurkan. Tidak didapatkan
manfaat untuk membantu nilai diagnosis atau prognosis. Pemeriksaan EEG dan neuroimaging hanya
diindikasikan bila ada kelainan neurologis fokal, kelainan saraf cranial yang menetap, atau papiledem
(Reese,2012).
2.1.9. Penatalaksanaan

Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang sudah berhenti.
Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang Universitas Sumatera Utara 11 paling cepat untuk
menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena
adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit,
dengan dosis maksimal 20 mg. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah
adalah diazepam rektal (level II-2, level II-3, rekomendasi B). Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75
mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk
berat badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia3 tahun
atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun (lihat bagan penatalaksanaan kejang demam). Bila
setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan dosis
yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap
kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis
0,3-0,5 mg/kg. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal
10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti
dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin kejang
belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat intensif. Bila kejang telah berhenti,
pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang demam sederhana atau
kompleks dan faktor risikonya (Pusponegoro et al., 2006).
13 Indikasi pemberian obat rumat

Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri sebagai berikut (salah satu):
1. Kejang lama > 15 menit 2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus. 3. Kejang fokal 4.
Pengobatan rumat dipertimbangkan bila: • Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam. • Kejang
demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan. • kejang demam > 4 kali per tahun

2.1.10. Prognosis Menurut konsensus penatalaksanaan kejang demam tahun 2006, prognosis dari
kejang demam adalah sebagai berikut: 1. Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental
dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara
retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya
terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal. 2. Kemungkinan
mengalami kematian Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan.

3. Kemungkinan berulangnya kejang demam Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian
kasus. Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah : 1. Riwayat kejang demam dalam keluarga 2.
Usia kurang dari 12 bulan 3. Temperatur yang rendah saat kejang 4. Cepatnya kejang setelah demam
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80%, sedangkan bila
tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10%-15%.
Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama. 4. Faktor risiko terjadinya
epilepsi Faktor risiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Faktor risiko menjadi epilepsi
adalah : 1. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama. 2.
Kejang demam kompleks 3. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung Masing-masing
faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4%-6%, kombinasi dari faktor risiko
tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10%-49% (Level II-2). Kemungkinan menjadi
epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada kejang demam

Penatalaksanaan

Anda mungkin juga menyukai