Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

ARTRITIS RHEUMATOID

Disusun Oleh :
Nissa Wildan, S.Kep
NPM: 1914901110061

PROGRAM PROFESI NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN

TAHUN 2020
A. KONSEP TEORI LANSIA
1. Definisi
Menurut Undang-Undang RI nomor 13 tahun 1998, Depkes (2001) yang
dimaksud dengan usia lanjut adalah seorang laki-laki atau perempuan
yang berusia 60 tahun atau lebih, baik yang secara fisik masih
berkemampuan (potensial) maupun karena sesuatu hal tidak lagi mampu
berperan aktif dalam pembangunan (tidak potensial).

2. Batasan Usia Lanjut


Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lanjut usia meliputi:
Usia pertengahan (middle age), yaitu kelompok usia 45 sampai 59 tahun
1) Usia lanjut (elderly), antara 60-74 tahun
2) Usia tua (old), antara 75-90 tahun
3) Usia sangat tua (very old), usia diatas 90 tahun.

3. Proses Menua
Proses menua merupakan proses terus menerus secara alamiah, yang
dimulai sejak lahir dan pada umumnya dialami pada semua makhluk
hidup. Proses menua setiap individu pada organ tubuh juga tidak sama
cepatnya. Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses
berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam
maupun dari luar tubuh (Nugroho,2008).

Menua ( menjadi tua : aging ) adalah suatu proses menghilangnya secara


pelahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti
diri dan mempertahankan struktur serta fungsi normalnya sehingga tidak
dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki
kerusakan yang diderita (Darmojo,2006).

Beberapa ahli berpendapat bahwa proses menua merupakan suatu proses


yang meliputi interaksi antara perubahan biologis, psikologis, dan
sosislogis sepanjang hidup.
Beberapa teori sosial tentang proses penuaan antara lain:
a) Teori Interaksi Sosial (Sosial Exchange Theory)
Simmons cit Hardywinoto dan Setiabudhi 2005, mengemukakan
bahwa kemampuan lanjut usia untuk terus menjalin interksi sosial
merupakan kunci mempertahankan status sosialnya atas dasar
kemampuannya untuk melakukan tukar menukar.
b) Teori penarikan diri (Disengagement Theory)
Kemiskinan lanjut usia dan menurunnya derajat kesehatan
mengakibatkan seorang lanjut usia secara perlahan-lahan menarik diri
dari pergaulan sekitarnya. Keadaan ini mengakibatkan inetraksi sosial
lanjut usia menurun, baik secara kualitas amupun kuantitas.
Pada lanjut usia sekaligus terjadi kehilangan ganda (triple loss),yaitu :
1) Kehilangan peran (Loss of Roles)
2) Hambatan kontak sosial (Restriction of Contacts and
Relationships).
3) Berkurangnya komitmen (Reduced Commitment to Social Mores
and Values)

Pokok-pokok Disengagement Theory adalah :


1) Pada pria, kehilangan peran hidup utama terjadi pada masa
pensiun. Pada wanita terjadi pada masa peran dalam keluarga
berkurang, misalnya saat anak menginjak dewasa dan
meninggalkan rumah untuk belajar dan menikah.
2) Lanjut usia dan masyarakat menarik manfaat dari hal ini, karena
lanjut usia dapat merasakan bahwa tekanan sosial berkurang
sedangkan kaum muda memperoleh kerja yang lebih luas.
3) Tiga aspek utama dalam teori ini adalah :
a. Proses menarik diri terjadi sepanjang hidup
b. Proses tak dapat dihindari
c. Hal ini diterima lanjut usia dan masyarakat

c) Teori Aktivitas (Activity Theory)


Teori aktivitas dikembangkan oleh Palmore dan Lemon et. al.cit
Hardywinoto 2005 yang menyatakan, bahwa penuaan yang sukses
tergantung dari bagaimana seorang lanjut usia merasakan kepuasan
dalam melakukan aktivitas dan mempertahankan aktivitas tersebut
selama mungkin. Pokok-pokok teori aktivitas adalah :
1) Moral dan kepuasan berkaitan dengan interaksi sosial dan
keterlibatan sepenuhnya dari lanjut usia di masyarakat
2) Kehilangan peran akan menghilangkan kepuasan seorang lanjut
usia. Penerapan teori aktivitas ini dalam penyusunan kebijakan
terhadap lanjut usia sangat positif, karena memungkinkan para
lanjut usia berintegrasi spenuhnya di masyarakat.

d) Teori Kesinambungan (Continuity Theory)


Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus
kehidupan lanjut usia, dengan demikian pengalaman hidup seseorang
pada suatu saat merupakan gambarnya kelak pada saat ia menjadi
lanjut usia. Dan hal ini dapat terlihat bahwa gaya hidup, perilaku, dan
harapan seseorang ternyata tak berubah,walaupun ia menjadi lanjut
usia. Pokok-pokok dari Continuity Theory :
1) Lanjut usia tak disarankan untuk melepaskan peran atau harus aktif
dalam proses penuaan, akan tetapi didasarkan pada pengalamannya
di masa lalu, dipilih peran apa yang harus dipertahankan atau
dihilangkan.
2) Peran lanjut usia yang hilang tak perlu diganti.
3) Lanjut usia dimungkinkan untuk memilih berbagai macam cara
adaptasi.

e) Teori Perkembangan (Development Theory)


Havighurst dan Duvall (Hardywinoto dan Setiabudhi, 2005)
menguraikan tujuh jenis tugas perkembangan (Developmental task)
selama hidup yang harus dilaksanakan oleh lanjut usia, yaitu:
1) Penyesuaian terhadap penururnan fisik dan psikis
2) Penyesuaian terhadap pensiun dan penururnan pendapatan
3) Menemukan makna kehidupan
4) Mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan
5) Menemukan kepuasan dalam hidup berkeluarga.
6) Penyesuaian diri terhadap kenyataan akan meninggal dunia.
7) Menerima dirinya sbagai seorang lanjut usia
8) Teori Stratifikasi Usia (Age Stratification Theory)
Proses menjadi tua ini disebabkan oleh faktor biologik yang terdiri
dari 3 fase yakni:
1) Fase regresif progresif : proses dimana tubuh mengalami
perkembangan yang sangat cepat, mulai dari bayi hingga dewasa
stabil.
2) Fase stabil : fase dimana tubuh tidak mengalami perubahan cepat,
biasanya terjadi pada masa dewasa awal.
3) Fase regresif : mekanisme pada fase ini lebih kearah kemunduran
yang dimulai dalam sel, komponen kecil dari tubuh manusia
(Depkes, 2000).

4. Masalah Kesehatan Yang Mungkin Muncul Pada Lanjut Usia


Masalah kesehatan utama yang sering terjadi pada lansia perlu dikenal dan
dimengerti oleh siapa saja yang banyak berhubungan dengan perawatan
lansia agar dapat memberikan perawatan untuk mencapai derajat
kesehatan yang seoptimal mungkin. Masalah kesehatan yang sering
muncul pada lansia:
a) Immobility (Kurang Bergerak)
b) Instability (Berdiri dan Berjalan Tidak Stabil atau Mudah jatuh)
c) Incontinence (ngompol)
d) Intellectual Impairment (Gangguan Intelektual)
e) Infeksi
f) Gangguan Pancaindera (Impairment of Vision and Hearing, Taste,
Smell, Communication, Convalescence, Skin Integrity)
g) Impaction (Konstipasi atau Gangguan BAB)
h) Isolation (Depresi)
i) Inanition (Kurang Gizi)
j) Impecunity (Tidak Punya Uang)
k) Iatrogenesis (Menderita Penyakit Akibat Obat-obatan)
l) Insomnia (Gangguan Tidur)
m) Immune Deficiency (Daya Tahan Tubuh yang Menurun)
n) Impotence (Impotensi)
B. KONSEP ARTRITIS RHEUMATOID
1. Definisi / Pengertian
Arthritis rheumatoid adalah sebuah penyakit kronis, sistemik, inflamasi yang
menyebabkan kerusakan sendi dan perubahan bentuk dan mengakibatkan
kelumpuhan.

Artritis Reumatoid adalah peradangan pada persendian, baik yang terjadi


secara mendadak (akut) atau menahun (kronis). Artritis ini dapat menyerang
satu sendi atau beberapa sendi sekaligus. Penyakit ini biasanya disertai dengan
pembengkakan dan rasa nyeri pada sendi yang terkena. Bila penyakitnya
kronis, kadang hanya timbul rasa nyeri saja.

2. Etiologi
Penyebab utama penyakit reumatik masih belum diketahui secara pasti.
Biasanya merupakan kombinasi dari faktor genetik, lingkungan, hormonal dan
faktor sistem reproduksi. Namun faktor pencetus terbesar adalah faktor infeksi
seperti bakteri, mikroplasma dan virus (Lemone & Burke, 2001). Ada
beberapa teori yang dikemukakan sebagai penyebab artritis reumatoid, yaitu :
a) Infeksi Streptokkus hemolitikus dan Streptococcus non-hemolitikus.
b) Endokrin
c) Autoimmun
d) Metabolik
e) Faktor genetik serta pemicu lingkungan

Pada saat ini artritis reumatoid diduga disebabkan oleh faktor autoimun dan
infeksi. Autoimun ini bereaksi terhadap kolagen tipe II, faktor infeksi
mungkin disebabkan karena virus dan organisme mikroplasma atau grup
difterioid yang menghasilkan antigen tipe II kolagen dari tulang rawan sendi
penderita.

3. Tanda Dan Gejala


Penderita penyakit rematik kebanyakan datang ke dokter sudah dalam
kondisi parah. Ada yang sudah tidak bisa jalan, sendi-sendi tangannya
cacat, atau depresi berat. Penanda yang lebih spesifik untuk penyakit ini
dilakukan lewat tes anti CPP atau Anti-cylic citrullinated antibody. Tes ini
relatif batu dan merupakan penanda yang dapat mendeteksi munculnya
rematik secara lebih dini. Karena hasil tes ini bisa memprediksi munculnya
rematik lima tahun kedepan. Deteksi dini sangat penting bagi diagnosis
rematik. Pasalnya dengan penanganan dini pula maka berbagai kerusakan
sendi dapat dicegah.
Adapun Gejala Rematik antara lain:
a) Kekakuan pada dan seputar sendi yang berlangsung sekitar 3 0-60 menit
di pagi hari.
b) Bengkak pada 3 atau lebih sendi pada saat yang bersamaan.
c) Bengkak dan nyeri umumnya terjadi pada sendi-sendi tangan.
d) Bengkak dan nyeri umumnya terjadi dengan pola yang simetris (nyeri
pada sendi yang sama di kedua sisi tubuh) dan umumnya menyerang
sendi pergelangan tangan (Corwin, 2001)

4. Patofisiologi
Pemahaman mengenai anatomi normal dan fisiologis persendian diartrodial
atau sinovial merupakan kunci untuk memahami patofisiologi penyakit
rheumatik. Fungsi persendian sinovial adalah gerakan. Setiap sendi sinovial
memiliki kisaran gerak tertentu kendati masing-masing orang tidak
mempunyai kisaran gerak yang sama pada sendi-sendi yang dapat digerakkan.

Pada sendi sinovial yang normal. Kartilago artikuler membungkus ujung


tulang pada sendi dan menghasilkan permukaan yang licin serta ulet untu
gerakan. Membran sinovial melapisi dinding dalam kapsula fibrosa dan
mensekresikan cairan kedalam ruang antara-tulang. Cairan sinovial ini
berfungsi sebagai peredam kejut (shock absorber) dan pelumas yang
memungkinkan sendi untuk bergerak secara bebas dalam arah yang tepat.

Sendi merupakan bagian tubuh yang sering terkena inflamasi dan degenerasi
yang terlihat pada penyakit rheumatik. Meskipun memiliki keaneka ragaman
mulai dari kelainan yang terbatas pada satu sendi hingga kelainan multi sistem
yang sistemik, semua penyakit reumatik meliputi inflamasi dan degenerasi
dalam derajat tertentu yang biasa terjadi sekaligus. Inflamasi akan terlihat
pada persendian sebagai sinovitis. Pada penyakit reumatik inflamatori,
inflamasi merupakan proses primer dan degenerasi yang merupakan proses
sekunder yang timbul akibat pembentukan pannus (proliferasi jaringan
sinovial). Inflamasi merupakan akibat dari respon imun.

Sebaliknya pada penyakit reumatik degeneratif dapat terjadi proses inflamasi


yang sekunder. Sinovitis ini biasanya lebih ringan serta menggambarkan suatu
proses reaktif, dan lebih besar kemungkinannya untuk terlihat pada penyakit
yang lanjut. Sinovitis dapat berhubungan dengan pelepasan proteoglikan
tulang rawan yang bebas dari karilago artikuler yang mengalami degenerasi
kendati faktor-faktor imunologi dapat pula terlibat (Brunner&Suddarth,
2002).

5. Pathway Artritis Reumatoid

Inflamasi non-bakterial disebabkan oleh


infeksi, endokrin, autoimun, metabolic, dan
faktor genetik, serta faktor lingkungan

Artritis Reumatoid

Sinovitis Tenosinovilis Kelainan pada tulang Kelainan pada


Gambaran khas
aringan ekstra-
nodul subcutan
artikular

Hiperemia dan Invasi kolagen Erosi tulang &


pembengkakan kerusakan pada
tulang rawan
Miopati sistemik Kelenjar
saraf
limfe Inflamasi
keluar
Nekrosis dan
Instabilitas dan Atrofi otot ekstra
kerusakan Ruptur tendon
deformitas splenomegali artikular
dalam ruang secara parsial
sendi
sendi atau total

Gangguan Neuropati
Hambatan mekanis dan Anemia perifer
mobilitas fisik fungsional Osteoporosis
Nyeri pada sendi generalisata

Gambara Perubahan bentuk


khas nodul tubuh pada tulang Kelemahan Perikarditis,
subkutan dan sendi fisik miokarditis, dan
radang katup
jantung
Ansietas Kebutuhan Gangguan
Defisit Kegagalan
informasi konsep diri, Resiko fungsi
perawatan diri
citra diri trauma jantung
6. Penatalaksanaan
Sendi yang meradang di istirahatkan selama eksaserbasi, periode-periode istirahat
setiap hari, kompres panas dan dingin bergantian, aspirin, obat anti-inflamasi
nonsteroid lainnya, atau steroid sistemik, pembedahan untuk mengeluarkan membran
sinovium atau untuk memperbaiki deformitas (Corwin, 2001).

7. Pemeriksaan Penunjang
Tidak banyak berperan dalam diagnosis artritis reumatoid, namun dapat menyokong
bila terdapat keraguan atau untuk melihat prognosis pasien. Pada pemeriksaan
laboratorium terdapat:
a) Tes faktor reuma biasanya positif pada lebih dari 75% pasien artritis reumatoid
terutama bila masih aktif. Sisanya dapat dijumpai pada pasien lepra, tuberkulosis
paru, sirosis hepatis, hepatitis infeksiosa, lues, endokarditis bakterialis, penyakit
kolagen, dan sarkoidosis.
b) Protein C-reaktif biasanya positif
c) LED meningkat
d) Leukosit normal atau meningkat sedikit
e) Anemia normositik hipokrom akibat adanya inflamsi yang kronik
f) Trombosit meningkat
g) Kadar albumin serum turun dan globulin naik
Pada pemeriksaan rontgen, semua sendi dapat terkena, tapi yang tersering adalah
sendi metatarsofalang dan biasanya simetris. Sendi sakroiliaka juga sering terkena.
Pada awalnya terjadi pembengkakan jaringan lunak dan demineralisasi juksta
artikular. Kemudian terjadi penyempitan ruang sendi dan erosi.

8. Komplikasi
Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptik
yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat antiinflamsi non steroid
(OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit (disease modifying antirheumatoid
drugs, DMARD) yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada
artritis reumatoid.
Komplikasi saraf yang terjadi tidak memberikan gambaran jelas, sehingga sukar
dibedakan antara akibat lesi artikular dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan
dengan mielopati akibat ketidakstabilan vertebra servikal dan neuropati iskemik
akibat vaskulitis.

9. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan artitis reumatoid,
adalah :
1) Nyeri akut/kronis berhubungan dengan desrtuksi sendi akibat akumulasi cairan
sinovial dan proses peradangan ditandai dengan: keluhan nyeri, kekakuan dalam
pergerakan, aktivitas terganggu.
Tujuan: Nyeri berkurang dan klien mampu mengontrol rasa nyerinya, dengan
kriteria hasil :
a) Klien mengatakan rasa nyeri berkurang
b) Klien mampu berrelaksasi dan melakukan aktivitas yang dapat ditolerir
c) Klien terlihat/dapat tenang dan mampu beristirahat dengan maksimal
Rencana tindakan:
a) Observasi sifat, intensitas, lokasi dan durasi tingkat nyeri
b) Beri obat non steroi anti inflamasi (analgeisk), antipiretik sesqui program
observasi catat adanya toksisitas dari obat, seperti mual muntah
c) Anjurkan klien istirahat dengan adekuat dan imobilisasikan persendian yang
sakit dengan alas yang khusus.
d) Beri kompres hangat untuk mengurangi kekakuan dan nyeri pada persendian

2) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kekakuan, deformitas fungsi sendi


ditandai dengan: pergerakan lambat, ROM menurun, koordinasi terganggu,
kekuatan otot menurun dan adanya rasa nyeri.
Tujuan: Klien mampu mempertahankan posisi, gerakan sendi yang optimal serta
deformitas minimal, dengan kriteria hasil :
a) Klien mengatakan nyeri berkurang saat melakukan aktivitas/pergerakan
b) Klien dapat meningkatkan aktivitas secara bertahap
Rencana tindakan:
a) Observasi kesimetrisan sendi, bentuk dan tanda-tanda inflamasi
b) Kaji kemampuan klien dalam melakukan ROM aktif maupun pasif, kolaborasi
dengan fisioterapi untuk rehabilitasi
c) Observasi kekakuan pada pagi hari serta beberapa lama
d) Bantu klien saat melakukan aktivitas seperti duduk, berjalan/memindah benda

3) Defisit perawatan diri berhubungan dengan deformitas sendi, rasa nyeri,


penurunan kekuatan sendi ditandai dengan: pergerakan yang kaku, nyeri, lelah.
Tujuan: Klien dapat memperlihatkan kemampuan untuk memenuhi ADL dan
menunjukkan penurunan tingkat ketergantungan, dengan kriteria hasil :
a) Rasa nyeri minimal
b) Klien mampu memenuhi kebutuhan ADL
Rencana tindakan:
a) Tentukan tingkat ketergantungan klien dengan menggunakan skala
ketergantungan
b) Pertahankan mobilitas kontrol nyeri dan program latihan
c) Ajarkan klien posisi duduk dan berdiri sesuai dengan body alignment
d) Ingatkan kepada keluarga untuk memberi kesempatan pada kilen untuk
memenuhi ADL-nya secara mandiri sesuai dengan kemampuan klien dan
cegah terjadi cedera jatuh.
DAFTAR PUSTAKA

Annonimous, (2014), Artritis, diakses dari http://republika_online.com


Corwin, J.E. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Darmojo R.B. 2006. Buku Ajar Geriatri. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 1999
Farmakologi dan terapi. Edisi IV: FKUI. 1995. Jakarta
Hardywinoto dan Setiabudhi, T. 2005. Panduan Gerontologi. Jakarta. PT. Gramedia
Pustaka Utama
Jurnalistik International of Cardiovasculer Medicine,Surgery and pathology: 1997
Marcia Stanhope dan Ruth N. Knollmueler. 1997. Keperawatan Komunitas dan
kesehatan rumah ,pengkajian intervensi dan penyuluhan:buku kedokteran EGC.
Jakarta
Nugroho, Wahyudi. 2008. Keperawatan Gerontik & Geriatrik. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Nasrul Effendi editor Yasmin Asih. 1998. Dasar Keperawatan Kesehatan Komunitas
edisi II: buku kedokteran EGC. Jakarta
Banjarmasin, 05 Desember 2020

Ners Muda

(Nissa Wildan, S.Kep)

Mengetahui,

Preceptor Akademik Preceptor Klinik

(M. Syafwani, Ns., M.Kep.Sp.Jiwa) ( Marlina, S.Kep.,Ns)

Anda mungkin juga menyukai