OLEH
KELOMPOK 11
1. ENIK
2. HERIANTO
3. ROSSY SEPTIANA SUDIHARTI
3. Karakteristik Lannsia.
Karakteristik lansia menurut (Kemenkes.RI, 2017) yaitu :
a. Seseorang dikatakan lansia ketika telah mencapai usia 60 tahun keatas.
b. Status pernikahan Berdasarkan Badan Pusat Statistik RI SUPAS 2015,
penduduk lansia ditilik dari status perkawinannya sebagian besar berstatus
kawin (60 %) dan cerai mati (37 %). Adapun perinciannya yaitu lansia
perempuan yang berstatus cerai mati sekitar 56,04 % dari keseluruhan yang
cerai mati, dan lansia laki-laki yang 13 berstatus kawin ada 82,84 %. Hal ini
disebabkan usia harapan hidup perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan
usia harapan hidup laki-laki, sehingga presentase lansia perempuan yang
berstatus cerai mati lebih banyak dan lansia laki-laki yang bercerai umumnya
kawin lagi.
c. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit,
kebutuhan biopsikososial dan spiritual, kondisi adaptif hingga kondisi
maladaptive.
d. Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi
4. Klasifikasi Lansnia.
Menurut Lilik Marifatul (2011) terdapat beberapa versi dalam pembagian
kelompok lansia berdasarkan batasan umur, yaitu sebagai berikut
a. Menurut WHO, lansia dibagi menjadi empat kelompok, yaitu:
1) Usia pertengahan (middle age), yaitu kelompok usia 45-59 tahun.
2) Lansia (edderly), yaitu kelompok usia 60-74 tahun.
3) Lansia tua (old),yaitu kelompok usia 75-90 tahun.
4) Lansia sangat tua (very old),yaitu kelompok usia lebih dari 90 tahun.
2. Etiologi.
Hampir pada setiap aktivitas sehari-hari terjadi penekanan pada sendi,
terutama sendi yang menjadi tumpuan beban tubuh seperti pergelangan kaki, lutut,
dan panggul. Hal tersebut memiliki peranan yang penting dalam terjadinya
OA. Banyak peneliti percaya bahwa perubahan degeneratif merupakan hal
yang mengawali terjadinya OA primer (Carlos J Lozada et al, 2015). Sedangkan
obesitas, trauma, dan penyebab lain merupakan faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya OA sekunder.
Berikut beberapa penyebab dan faktor predisposisi:
a. Umur.
Perubahan fisis dan biokimia yang terjadi sejalan dengan bertambahnya umur
dengan penurunan jumlah kolagen dan kadar air, dan endapannya berbentuk
pigmen yang berwarna kuning.
b. Pengausan (wear and tear).
Pemakaian sendi yang berlebihan secara teoritis dapat merusak rawan sendi
melalui dua mekanisme yaitu pengikisan dan proses degenerasi karena bahan
yang harus dikandungnya.
c. Kegemukan.
Faktor kegemukan akan menambah beban pada sendi penopang berat badan,
sebaliknya nyeri atau cacat yang disebabkan oleh Osteoarthritis mengakibatkan
seseorang menjadi tidak aktif dan dapat menambah kegemukan.
d. Trauma.
Kegiatan fisik yang dapat menyebabkan Osteoarthritis adalah trauma yang
menimbulkan kerusakan pada integritas struktur dan biomekanik sendi tersebut.
e. Keturunan.
Heberden node merupakan salah satu bentuk Osteoarthritis yang biasanya
ditemukan pada pria yang kedua orang tuanya terkena Osteoarthritis, sedangkan
wanita, hanya salah satu dari orang tuanya yang terkena.
f. Akibat penyakit radang sendi lain
Infeksi (Arthritis Rheumatoid; infeksi akut, infeksi kronis) menimbulkan reaksi
peradangan dan pengeluaran enzim perusak matriks rawan sendi oleh membran
sinovial dan sel-sel radang.
g. Joint Mallignment
Pada akromegali karena pengaruh hormon pertumbuhan, maka rawan sendi
akan membal dan menyebabkan sendi menjadi tidak stabil/seimbang sehingga
mempercepat proses degenerasi.
h. Penyakit endokrin.
Pada hipertiroidisme, terjadi produksi air dan garam-garam proteglikan yang
berlebihan pada seluruh jaringan penyokong sehingga merusak sifat fisik rawan
sendi, ligamen, tendo, sinovia, dan kulit.
Pada diabetes melitus, glukosa akan menyebabkan produksi proteaglikan
menurun.
i. Deposit pada rawan sendi.
Hemokromatosis, penyakit Wilson, akronotis, kalsium pirofosfat dapat
mengendapkan hemosiderin, tembaga polimer, asam hemogentisis, kristal
monosodium urat/pirofosfat dalam rawan sendi.
3. Patofisiologi.
Osteoarthritis selama ini dipandang sebagai akibat dari suatu proses
penuaan yang tidak dapat dihindari. Namun, penelitian para pakar terbaru
menyatakan bahwa OA ternyata merupakan penyakit gangguan homeostasis
dari metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur proteoglikan kartilago yang
penyebabnya belum diketahui. Jejas mekanis dan kimiawi diduga merupakan
faktor penting yang merangsang terbentuknya molekul abnormal dan produk
degradasi kartilago di dalam cairan sinovial sendi yang mengakibatkan terjadi
inflamasi sendi, kerusakan kondrosit, dan nyeri. Jejas mekanik dan kimiawi
pada sinovial sendi yang terjadi multifaktorial antara lain karena faktor umur,
humoral, genetik, obesitas, stress mekanik atau penggunaan sendi yang
berlebihan, dan defek anatomik (Maya Yanuarti, 2014).
Kartilago sendi merupakan target utama perubahan degeneratif pada OA.
Kartilago sendi ini secara umum berfungsi untuk membuat gerakan sendi bebas
gesekan karena terendam dalam cairan synovial dan sebagai “shock absorber”,
penahan beban dari tulang. Pada OA, terjadi gangguan homeostasis dari
metabolisme kartilago sehingga terjadi kerusakan struktur proteoglikan
kartilago, erosi tulang rawan, dan penurunan cairan sendi (Maya Yanuarti,
2014). Tulang rawan (kartilago) sendi dibentuk oleh sel kondrosit dan
matriks ekstraseluler, yang terutama terdiri dari air (65%-80%), proteoglikan,
dan jaringan kolagen. Kondrosit berfungsi mensintesis jaringan lunak kolagen tipe
II untuk penguat sendi dan proteoglikan untuk membuat jaringan tersebut
elastis, serta memelihara matriks tulang rawan sehingga fungsi bantalan rawan
sendi tetap terjaga dengan baik. Kartilago tidak memiliki pembuluh darah
sehingga proses perbaikan pada kartilago berbeda dengan jaringan-jaringan
lain. Di kartilago, tahap perbaikannya sangat terbatas mengingat kurangnya
vaskularisasi dan respon inflamasi sebelumnya (Maya Yanuarti, 2014).
Etiopatogenesis Osteoarthritis (OA) dibagi menjadi 3 stage (tahap),
yaitu stage 1, stage 2, dan stage 3. Pada stage 1 terjadi kerusakan proteolitik pada
matrix cartilago. Stage 2 melibatkan fibrilasi dan erosi pada permukaan
kartilago dan pada stage 3 produk-produk yang dihasilkan oleh kerusakan
kartilago menyebabkan suatu respon inflamasi kronis. Setelah melalui tahap-tahap
tersebut, maka akan terjadi progressifitas lebih jauh dimana kejadian tersebut
akan menyebabkan tubuh melakukan kompensasi dengan cara terjadinya
pertumbuhan tulang baru dengan tujuan menstabilkan persendian, namun hal ini
akan merubah struktur persendian. Beberapa kelainan juga biasa dikategorikan
sebagai subsets of primary Osteoarthritis yang terdiri dari primary
generalized Osteoarthritis, erosive Osteoarthritis, dan condromalacia patellae.
Tingkat keparahan Osteoarthritis dapat diklasifikasikan berdasarkan gambaran
radiologi yang didapat. Metode pengklasifikasian yang digunakan secara
universal saat ini adalah Sistem Kellgren-Lawrence yang terdiri dari grade I,
II, III, dan IV (Carlos J Lozada et al, 2015).
5. Penatalaksanaan.
Tujuan penatalaksanaan pada OA untuk mengurangi tanda dan gejala OA,
meningkatkan kualitas hidup, meningkatkan kebebasan dalam pergerakan sendi,
serta memperlambat progresi Osteoarthritis. Spektrum terapi yang diberikan
meliputi fisioterapi, pertolongan ortopedi, farmakoterapi, pembedahan,
rehabilitasi.
a. Terapi konservatif.
Terapi konservatif yang bisa dilakukan meliputi edukasi kepada pasien,
pengaturan gaya hidup, apabila pasien termasuk obesitas harus mengurangi
berat badan, jika memungkinkan tetap berolah raga (pilihan olah raga yang
ringan seperti bersepeda, berenang).
b. Fisioterapi.
Fisioterapi untuk pasien OA termasuk traksi, stretching, akupuntur, transverse
friction (tehnik pemijatan khusus untuk penderita OA), latihan stimulasi otot,
elektroterapi.
c. Pertolongan ortopedi.
Pertolongan ortopedi kadang-kadang penting dilakukan seperti sepatu yang
bagian dalam dan luar didesain khusus pasien OA, ortosis juga digunakan
untuk mengurangi nyeri dan meningkatkan fungsi sendi (Michael et. al, 2010).
d. Farmakoterapi.
Analgesik/anti-inflammatory agents. 17 COX-2 memiliki efek anti inflamasi
spesifik. Keamanan dan kemanjuran dari obat anti inflamasi harus selalu
dievaluasi agar tidak menyebabkan toksisitas. Contoh: Ibuprofen: untuk efek
anti inflamasi dibutuhkan dosis 1200-2400 mg sehari. Naproksen: dosis untuk
terapi penyakit sendi adalah 2x250-375 mg sehari. Bila perlu diberikan 2x500
mg sehari. Glucocorticoids injeksi, glukokortikoid intra artikular dapat
menghilangkan efusi sendi akibat inflamasi. Contoh: Injeksi triamsinolon
asetonid 40mg/ml suspensi hexacetonide 10 mg atau 40 mg. Asam hialuronat,
Kondroitin sulfa-Injeksi steroid seharusnya digunakan pada pasien dengan
diabetes yang telah hiperglikemia. Setelah injeksi kortikosteroid dibandingkan
dengan plasebo, asam hialuronat, lavage (pencucian sendi), injeksi
kortikosteroid dipercaya secara signifikan dapat menurunkan nyeri sekitar 2-3
minggu setelah penyuntikan (Nafrialdi dan Setawati, 2007).
e. Pembedahan.
Artroskopi merupakan prosedur minimal operasi dan menyebabkan rata
infeksi yang rendah (dibawah 0,1%). Pasien dimasukkan ke dalam kelompok 1
debridemen artroskopi, kelompok 2 lavage artroskopi, kelompok 3 merupakan
kelompok plasebo hanya dengan incisi kulit. Setelah 24 bulan melakukan
prosedur tersebut didapatkan hasil yang signifikan pada kelompok 3 dari pada
kelompok 1 dan 2.
1) Khondroplasti: menghilangkan fragmen kartilago. Prosedur ini digunakan
untuk mengurangi gejala osteofit pada kerusakan meniskus.
2) Autologous chondrocyte transplatation (ACT)
3) Autologous osteochondral transplantation (OCT) (Michael et. al, 2010).