GOUT ARTRITIS
OLEH :
DIAN MA’RIFATUL MAYASAROH
2204019
1. Konsep Lansia
1. Pengertian Usia Lanjut
Usia lanjut adalah kelompok orang yang sedang mengalami suatu proses
perubahan yang bertahap dalam jangka waktu beberapa dekade
(Notoatmojo,2020). Menurut WHO, 2018 dikatakan usia lanjut tergantung dari
konteks kebutuhan yang tidak bisa dipisah-pisahkan, konsep kebutuhan tersebut
dihubungkan seecara biologis sosial dan ekonomi. Lanjut usia atau usia tua
adalah suatu periode dalam tentang hidup seseorang, yaitu suatu periodedi mana
seseorang ’’beranjak jauh’’ dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan, atau
beranjak dari waktu yang penuh bermanfaat (Hurlock, 2019).
Manusia lanjut usia (manula) merupakan populasi penduduk yang berumur tua
dengan kelompok usia 60 tahun atau lebih (Bustan, 2020). Menurut (Fatmah,
2019) lansia merupakan proses alamiah yang terjadi secara berkesinambungan
pada manusia dimana ketika menua seseorang akan mengalami beberapa
perubahan yang pada akhirnya akan mempengaruhi keadaan fungsi dan
kemampuan seluruh tubuh. Istilah manusia usia lanjut belum ada yang
mematenkan sebab setiap orang memiliki penyebutannya masing-masing seperti
manusia lanjut usia (manula), manusia usia lanjut (lansia), usia lanjut (usila), serta
ada yang menyebut golongan lanjut umur (glamur) (Maryam, 2019: 32).
2. Batasan-batasan Lanjut Usia
Usia yang dijadikan patokan untuk lanjut usia berbeda-beda umumnya
berkisar antara 60-65 tahun. Beberapa pendapat para ahli tentang batasan usia
menurut adalah sebagai berikut :
a. Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) adalah empat tahapan yaitu:
1) Usia pertengahan (middle age) usia 45-59 tahun
2) Lanjut usia (elderly) usia 60-74 tahun
3) Lanjut usia tua (old) 75-90 tahun
4) Usia sangat tua (very old) usia > 90 tahun
b. Di indonesia batasan usia lanjut adalah 60 tahun ke atas terdapat dalam UU no
13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia. Menurut UU tersebut diatas
lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas, baik pria
maupun wanita (Padila, 2021).
3. Klasifikasi Lansia
Klasifikasi pada lansia menurut Maryam, dkk (2008) antara lain lansia yaitu
sesorang yang berusia 60 tahun atau lebih, lansia resiko tinggi yaitu seseorang
yang berusia 70 tahun atau lebih/ seseorangyang berusia 60 tahun atau lebih
dengan masalah kesehatan, lansia potensial yaitu lansia yang masih mampu
melaksanakan pekerjaan dan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau
jasa serta lansia tidak potensial yaitu lansia yang tidak berdaya mencari nafkah,
sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.
4. Karakteristik Lansia
Menurut Keliat (2019) dalam Maryam (2018) lansia memiliki
karakteristik sebagai berikut: berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan Pasal 1
ayat (2) UU No. 13 tentang Kesehatan), kebutuhan dan masalah yang bervariasi
dan rentang sehat sampai sakit, dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual,
serta dari kondisi adaptif hingga kondisi maladaptif, lingkungan tempat tinggal
yang bervariasi.
5. Proses Menua
Proses menua merupakan proses fisiologis tubuh pada setiap manusia
(Darmojo, 2019: 635). Proses menua ini ditandai dengan proses menghilangnya
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tubuh tidak mampu
mempertahankan dirinya terhadap infeksi serta tubuh tidak mampu memperbaiki
kerusakan yang diderita (Azizah, 2019).
Penuaan akan mengakibatkan penurunan kondisi anatomis dan sel akibat
menumpuknya metabolit dalam sel. Metabolit bersifat racun terhadap sel sehingga
bentuk dan komposisi pembangun sel akan mengalami perubahan. (Azizah, 2019:
7-8). Seiring dengan meningkatnya usia, sistem kerja pada jantung dan pembuluh
darah pun akan mengalami perubahan dari segi struktur dan fungsinya. Perubahan
pada lansia khususnya sistem kerja pada jantung meliputi perubahan pada
ventrikel kiri dan katup jantung yang mengalami penebalan dan membentuk
tonjolan, jumlah sel pacemaker mengalami penurunan yang mana implikasi
klinisnya akan menimbulkan disritmia pada lansia, kemudian terdapat arteri dan
vena yang menjadi kaku ketika dalam kondisi dilatasi sehigga katup jantung tidak
kompeten yang akibatnya akan menimbulkan implikasi klinis berupa edema pada
ekstremitas (Stanley & Beare, 2018: 179).
Lansia dapat mengalami perubahan struktur pada jantung. Ketebalan dinding
ventrikel cenderung meningkat akibat adanya peningkatan densitas kolagen dan
hilangnya fungsi serat elastis. Sehingga dapat berdampak pada kurangnya
kemampuan jantung untuk berdistensi. Pada permukaan di dalam jantung seperti
pada katup mitral dan katup aorta akan mengalami penebalan dan penonjolan di
sepanjang garis katup. Obstruksi parsial terhadap aliran darah selama denyut
sistole dapat terjadi ketika pangkal aorta mengalami kekakuan sehingga akan
menghalangi pembukaan katup secara sempurna (Stanley & Beare, 2018: 179).
6. Masalah-masalah Pada Lanjut Usia
Secara individu, pengaruh proses menua dapat menimbulkan berbagai masalah
fisik baik secara fisik-biologik, mental maupun sosial ekonomis. Dengan semakin
lanjut usia seseorang, mereka akan mengalami kemunduran terutama di bidang
kemampuan fisik, yang dapat mengakibatkan penurunan pada peranan-peranan
sosialnya. Hal ini mengkibatkan pula timbulnya gangguan di dalam hal
mencukupi kebutuhan hidupnya sehingga dapat meningkatkan ketergantunga yang
memerlukan bantuan orang lain. Lanjut usia tidak saja di tandai dengan
kenunduran fisik, tetapi dapat pula berpengaruh terhadap kondisi mental. Semakin
lanjut seseorang, kesibukan sosialnya akan semakin berkurang hal mana akan
dapat mengakibatkan berkurangnya integrasi dengan lingkungannya. Hal ini dapat
memberikan dampak pada kebahagiaan seseorang (Stanley, 2021).
Pada usia mereka yang telah lanjut, sebagian diri mereka masih mempunyai
kemanpuan untuk bekerja. Permasalahannya yang mungkin timbul adalah
bagaiman memfungsikan tenaga dan kemampunan mereka tersebut di dalam
situasi keterbatasan kesempatan kerja. Masalah – masalah pada lanjut usia di
kategorikan ke dalam empat besar penderitaan lanjut usia yaitu imobilisasi,
ketidakstabilan, gangguan mental, dan inkontinensia. Imobilisasi dapat disebabkan
karena alasan psikologis dan fisik. Alasan psikologis diantaranya apatis, depresi,
dan kebingungan. Setelah faktor psikologis, masalah fisik akan terjadi sehingga
memperburuk kondisi imobilisasi tersebut dan menyebabkan komplikasi sekunder
(Watson, 2020).
Jatuh adalah suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata yang
melihat kejadian, yang mengakibatkan seseorangmendadak terbaring dan terduduk
di lantai atau tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran
atau luka yang akibat jatuh dapat menyebabkan imobilisasi (Reuben, 1996 dalam
Darmojo, 2021).
Gangguan mental merupakan yang sering terjadi sehubungan dengan
terjadinya kemerosotan daya ingat. Beberapa kasus ini berhubungan dengan
penyakit – penyakit yang merusak jaringan otak, sehingga kebanyakan masalah
turunnya daya ingat lanjut usia bukanlah sebagai akibat langsung proses penuaan
tetapi karena penyakit. Sebagian besar lanjut usia memerlukan perawatan karena
menderita gangguan mental. Masalah utama yang memfunyai konsekuensi untuk
semua aktivitas sehari – hari. Lanjut usia yang mengalami konfusi tidak akan
mampu untuk makan, tidak mampumengontrol diri, bahkan menunjukkan perilaku
yang agresif sehingga lanjut usia memerlukan perawatan lanjutan untuk mengatasi
ketidakmampuan dan keamanan lingkungan tempat tinggal lanjut usia secara
umum. Bantuan yang di berikan adalah melalui petugas panti dan dukungan
keluarga. Insiden inkontinensia biasanya meningkat pada lanjut usia yang
kehilangan kontrol berkemih dan defekasi. Hal ini berhubungan dengan faktor
akibat penuaan dan faktor nutrisi seperti yang telah di jelaskan diatas adalah efek
dari imobilisasi (Darmojo, 2021).
7. Patofisiologi
Banyak faktor yang berperan dalam mekanisme serangan asam urat. Salah
satunya yang telah diketahui peranannya adalah konsentrasi asam urat dalam
darah. Mekanisme serangan asam urat akut berlangsung melalui beberapa fase
secara berurutan menurut (Ganong W. F McpheeStephen. 2010) :
a. Presipitasi kristal monosodium urat.
Presipitasi kristal monosodium urat dapat terjadi di jaringan bila
konsentrasi dalam plasma > 9 mg/dl. Presipitasi ini terjadi di rawan.
Sonovium, jaringan para-artikuler misalnya bursae, tendon, dan selaputnya.
Kristal urat yang bermuatan negatif akan dibungkus (coate) oleh berbagai
macam protein. Pembungkusan dengan IgG akan merangsang netrofil untuk
berespon terhadap pembentukan kristal.
b. Respon leukosit polimorfonukuler (PMN)
Pembentukan kristal menghasilkan faktor kemotaksis yang
menimbulkan respon leukosit PMN dan selanjutnya akan terjadi fagositosis
kristal oleh leukosit.
c. Fagositosis
Kristal difagositosis oleh leukosit membentuk fagolisosom dan
akhirnya membran vakuala disekeliling kristal bersatu dan membran
leukositik lisosom
d. Kerusakan lisosom
Terjadi kerusakan lisosom, sesudah selaput protein dirusak, terjadi ikatan
hidrogen antara peermukaan kristal membran lisosom. Peristiwa ini
menyebabkan robekan membran dan pelepasan enzim-enzim dan oksidase
radikal ke dalam sitoplasma.
e. Kerusakan sel
Setelah terjadi kerusakan sel, enzim-enzim lisosom dilepaskan kedalam
cairan sinovial yang menyebabkan kenaikan intensitas inflamasi dan
kerusakan jaringan.
8. Teori-teori Proses Menua
Teori-Teori Menua Berdasarkan (Fatmah, 2019: 8-10), (Aspiani, 2017: 34),
dan (Eliopoulus, 2019: 14-20):
a. Teori Penuaan ditinjau dari sudut biologis
Teori ini menjelaskan bahwa perubahan sel dalam tubuh lansia dikaitkan pada
proses penuaan tubuh lansia dari sudut pandang biologis.
1) Teori Genetik
a) Teori genetik dan mutasi (somatic mutative theory)
b) Teori mutasi somatik (error catastrope)
2) Teori Non-genetik
a) Teori penurunan sistem imun (Auto-Immune Theory)
b) Teori Radikal Bebas (Free Radical Theory)
c) Teori Rantai Silang (Cross Link Theory)
c) Teori Fisiologik
d) Teori “imunologi slow virus” (immunology slow virus theory)
3) Teori Sosiologis
Teori perubahan sosial menjelaskan tentang lansia yang mengalami
penurunan dan penarikan diri terhadap sosialisasi dan partisipasi ke dalam
masyarakat.
a) Teori Aktivitas
b) Teori Kontinuitas
4) Teori Psikososial
b. Pemeriksaan fisik
a) Identifikasi tanda dan gejala yang ada peda riwayat keperawatan
b) Nyeri tekan pada sendi yang terkena
c) Nyeri pada saat digerakkan
d) Area sendi bengkak (kulit hangat, tegang, warna keunguan)
e) Denyut jantung berdebar
f) Identifikasi penurunan berat badan
c. Riwayat Psikososial
a) Cemas dan takut untuk melakukan kativitas
b) Tidak berdaya
c) Gangguan aktivitas di tempat kerja
d. Pemeriksaan diagnostik
a) Asam urat
b) Sel darah putih dan Sel darah merah
c) Aspirasi sendi terdapat asam urat
d) Urine
e) Rontgen
e. Pathway
Makanan Penyakit & obat-obatan
alkohol (seafood, kepiting,dll)
GOUT
Mekanisme peradangan
Vasodilatasi kapiler
Oedema jaringan
hipothalamus
Pembentukan tukak pd tulang sendi
Perubahan bentuk tubuh pd tulang & send
Eritema, panas Pressure pd jaringan sendi
Menstimulasi nosiseptor
Kekakuan sendi
Abiyoga, A. (2016). Faktor yang berhubungan dengan kejadian gout pada lansia.
Jurnal Darul Azhar. Volume 2 Nomor 1, Halaman 53-55.
Badan Pusat Statistik Republik Indonesia.(2013). Tentang BPS. Diakses dari
http://www.bps.go.id/menutab.php?tab=1&aboutus=0, tanggal 4 Januari
2018.
Budiono, A. (2016). Hubungan kadar asam urat dengan status gizi. Jurnal
eBiomedik.Volume 4 Nomor 2, Halaman 3.
Dianati, N. A. (2015). Gout dan hiperurisemia. Jurnal Majority. Volume 4 Nomor
3, Halaman 87-88.
Dinkes Kabupaten Bantul. (2016). Profil Kesehatan Usia Lanjut. Diakses dari
http://dinkes.bantulkab.go.id/ dokumen/profil-kesehatan-usia-lanjut.pdf,
tanggal 11 Januari 2018.
Junaidi Iskandar. (2008). Rematik dan AsamUrat. Edisi 4. Jakarta: PT Bhuana
Ilmu Popular.
Lumunon, O. J. (2015). Hubungan status gizi dengan gout arthritis pada lanjut
usia. E-journal Keperawatan. Volume 3 Nomor 3, Halaman 2-3.
Mujahidullah.(2012). Keperawatan Geriatrik. Edisi 1.Yogyakarta: Tunas
Publishing.
Novianti.(2015). Hidup Sehat Tanpa Asam Urat. Edisi 1.Yogyakarta: Buku pintar.
Sandjaya, H. (2014). Buku Sakit Pencegah & Penangkal Asam Urat.Edisi
1.Yogyakarta: Mantra Books.
Setiabudi, H. (2012). Deteksi Dini, Pencegahan, dan Pengobatan Asam Urat. Edisi
2.Yogyakarta: Merdpress.
Setyowati, Sri dan Murwani, Arita. (2008). Asuhan Keperawatan Keluarga
Konsep dan Aplikasi Kasus. Edisi 1. Yogyakarta: Mitra Cendikia.
Sholihah, F. M. (2014). Diagnosis and treatment gout arthritis. Jurnal Majority.
Volume 3 Nomor 7, Halaman 41-43.
Utami, P. (2009). Solusi Sehat Untuk Asam Urat dan Rematik. Edisi 2. Jakarta:
Agro media Pustaka.