Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN ANAK

DENGAN BRONKOPNEUMONIA

DI RUANG NEORISTI

RSUD dr. R. SOEDJATI SOEMODIARDJO PURWODADI

DISUSUN OLEH :
KURNIA SAFITRI
2204037

PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI PROFESI NERS KEPERAWATAN

FAKULTAS SAINS DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS AN NUUR
TA 2023

I. LAPORAN PENDAHULUAN
A. KONSEP DASAR

1. Pengertian
Bronkopneumonia adalah istilah medis yang digunakan untuk
menyatakan peradangan yang terjadi pada dinding bronkiolus dan
jaringan paru di sekitarnya. Bronkopeumonia dapat disebut sebagai
pneumonia lobularis karena peradangan yang terjadi pada parenkim
paru bersifat terlokalisir pada bronkiolus berserta alveolus di
sekitarnya (Muhlisin, 2017).
Bronkopneumonia adalah peradangan umum dari paru-paru,
juga disebut sebagai pneumonia bronkial, atau pneumonia lobular.
Peradangan dimulai dalam tabung bronkial kecil bronkiolus, dan tidak
teratur menyebar ke alveoli peribronchiolar dan saluran alveolar
(PDPI Lampung & Bengkulu, 2017).
2. Anatomi Fisik
Menurut Syaifuddin (2016) secara umum sistem respirasi dibagi
menjadi saluran nafas bagian atas, saluran nafas bagian bawah, dan
paru-paru.

a. Saluran pernapasan bagian atas


Saluran pernapasan bagian atas berfungsi menyaring,
menghangatkan, dan melembapkan udara yang terhirup. Saluran
pernapasan ini terdiri atas sebagai berikut :
Gambar 1.1 Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan Sumber :
(Syaifuddin, 2016)

Gambar 1.2 Anatomi Fisiologi Pernapasan Atas Sumber :


(Syaifuddin, 2016)

1) Hidung
Hidung (nasal) merupakan organ tubuh yang berfungsi
sebagai alat pernapasan (respirasi) dan indra penciuman
(pembau). Bentuk dan struktur hidung menyerupai piramid
atau kerucut dengan alasnya pada prosesus palatinus osis
maksilaris dan pars horizontal osis palatum.
2) Laring (Tenggorokan)
Laring merupakan saluran pernapasan setelah faring
yang terdiri atas bagian dari tulang rawan yang diikat
bersama ligamen dan membran, terdiri atas dua lamina yang
bersambung di garis tengah.
3) Epiglotis
Epiglotis merupakan katup tulang rawan yang bertugas
membantu menutup laring pada saat proses menelan.
b. Saluran pernapasan bagian bawah
Saluran pernapasan bagian bawah berfungsi mengalirkan
udara dan memproduksi surfaktan, saluran ini terdiri atas sebagai
berikut:
1) Trakea
Trakea atau disebut sebagai batang tenggorok, memiliki
panjang kurang lebih sembilan sentimeter yang dimulai dari
laring sampai kira-kira ketinggian vertebra torakalis kelima.
Trakea tersusun atas enam belas sampai dua puluh lingkaran
tidak lengkap berupa cincin, dilapisi selaput lendir yang
terdiri atas epitelium bersilia yang dapat mengeluarkan debu
atau benda asing.
2) Bronkus
Bronkus merupakan bentuk percabangan atau
kelanjutan dari trakea yang terdiri atas dua percabangan
kanan dan kiri. Bagian kanan lebih pendek dan lebar yang
daripada bagian kiri yang memiliki tiga lobus atas, tengah,
dan bawah, sedangkan bronkus kiri lebih panjang dari bagian
kanan yang berjalan dari lobus atas dan bawah.
3) Bronkiolus
Bronkiolus merupakan percabangan setelah bronkus.
c. Paru-paru
Paru merupakan organ utama dalam sistem pernapasan.
Paru terletak dalam rongga toraks setinggi tulang selangka sampai
dengan diafragma. Paru terdiri atas beberapa lobus yang
diselaputi oleh pleura parietalis dan pleura viseralis, serta
dilindungi oleh cairan pleura yang berisi cairan surfaktan. Paru
kanan terdiri dari tiga lobus dan paru kiri dua lobus.
Paru sebagai alat pernapasan terdiri atas dua bagian, yaitu
paru kanan dan kiri. Pada bagian tengah organ ini terdapat organ
jantung beserta pembuluh darah yang berbentuk yang bagian
puncak disebut apeks. Paru memiliki jaringan yang bersifat elastis
berpori, serta berfungsi sebagi tempat pertukaran gas oksigen dan
karbon dioksida yang dinamakan alveolus.

3. Etiologi
Menurut Nurarif & Kusuma (2015) secara umum
bronkopneumonia diakibatkan penurunan mekanisme pertahanan
tubuh terhadap virulensi organisme patogen. Orang normal dan sehat
memiliki mekanisme pertahanan tubuh terhadap organ pernafasan
yang terdiri atas reflek glotis dan batuk, adanya lapisan mukus,
gerakan silia yang menggerakkan kuman keluar dari organ dan sekresi
humoral setempat.
Timbulnya bronkopneumonia disebabkan oleh bakteri virus dan
jamur, antara lain :

a. Bakteri : Streptococcus, Staphylococcus, H. Influenzae,


Klebsiella
b. Virus : Legionella Pneumoniae
c. Jamur : Aspergillus Spesies, Candida Albicans
d. Aspirasi makanan, sekresi orofaringeal atau isi lambung kedalam
paru
e. Terjadi karena kongesti paru yang lama
Bronkopneumonia merupakan infeksi sekunder yang biasanya
disebabkan oleh virus penyebab Bronkopneumonia yang masuk ke
saluran pernafasan sehingga terjadi peradangan bronkus dan alveolus.
Inflamasi bronkus ini ditandai dengan adanya penumpukan sekret,
sehingga terjadi demam, batuk produktif, ronchi positif dan mual.
Bila penyebaran kuman sudah mencapai alveolus maka komplikasi
yang terjadi adalah kolaps alveoli, fibrosis, emfisema dan atelektasis.

Kolaps alveoli akan mengakibatkan penyempitan jalan napas,


sesak napas, dan napas ronchi. Fibrosis bisa menyebabkan penurunan
fungsi paru dan penurunan produksi surfaktan sebagai pelumas yang
berpungsi untuk melembabkan rongga fleura. Emfisema
(tertimbunnya cairan atau pus dalam rongga paru) adalah tindak
lanjut dari pembedahan. Atelektasis mengakibatkan peningkatan
frekuensi napas, hipoksemia, acidosis respiratori, pada klien terjadi
sianosis, dispnea dan kelelahan yang akan mengakibatkan terjadinya
gagal napas (PDPI Lampung & Bengkulu, 2017).

4. Patofisologi
Sebagian besar penyebab dari bronkopneumonia ialah
mikroorganisme (jamur, bakteri, virus) awalnya mikroorganisme
masuk melalui percikan ludah (droplet) invasi ini dapat masuk
kesaluran pernafasan atas dan menimbulkan reaksi imonologis dari
tubuh. reaksi ini menyebabkan peradangan, dimana ketika terjadi
peradangan ini tubuh menyesuaikan diri maka timbulah gejala demam
pada penderita.
Reaksi peradangan ini dapat menimbulkan sekret, semakin lama
sekret semakin menumpuk di bronkus maka aliran bronkus menjadi
semakin sempit dan pasien dapat merasa sesak. Tidak hanya
terkumpul dibronkus lama-kelamaan sekret dapat sampai ke alveolus
paru dan mengganggu sistem pertukaran gas di paru.
Tidak hanya menginfeksi saluran nafas, bakteri ini juga dapat
menginfeksi saluran cerna ketika ia terbawa oleh darah. Bakteri ini
dapat membuat flora normal dalam usus menjadi agen patogen
sehingga timbul masalah pencernaan.
Dalam keadaan sehat, pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan
mikroorganisme, keadaan ini disebabkan adanya mekanisme
pertahanan paru. Terdapatnya bakteri didalam paru menunjukkan
adanya gangguan daya tahan tubuh, sehingga mikroorganisme dapat
berkembang biak dan mengakibatkan timbulnya infeksi penyakit.
Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas dan paru dapat
melalui berbagai cara, antara lain inhalasi langsung dari udara,
aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring serta
perluasan langsung dari tempat-tempat lain, penyebaran secara
hematogen (Nurarif & Kusuma, 2015).
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat
melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada
dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme
tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi
empat stadium, yaitu (Bradley, 2011):

a. Stadium I/Hiperemia (4-12 jam pertama atau stadium kongesti).


Pada stadium I, disebut hiperemia karena mengacu pada
respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru
yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah
dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi
akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast
setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-
mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin.
b. Stadium II/Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya)
Pada stadium II, disebut hepatitis merah karena terjadi
sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin
yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena
adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan sehingga warna
paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada
stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga
orang dewasa akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung
sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
c. Stadium III/ Hepatisasi Kelabu (3-8 hari berikutnya)
Pada stadium III/hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-
sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada
saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera
dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di
alveoli mulai di reabsorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi
fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler
darah tidak lagi mengalami kongesti.
d. Stadium IV/Resolusi (7-11 hari berikutnya)
Pada stadium IV/resolusi yang terjadi sewaktu respon imun
dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan
diabsorpsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke
strukturnya semula.

5. Manifestasi Klinis
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran napas
bagian atas selama beberapa hari. Suhu tubuh dapat naik secara
mendadak sampai 37,6-40°C dan kadang disertai kejang karena
demam yang tinggi. Selain itu, anak bisa menjadi sangat gelisah,
pernapasan cepat dan dangkal disertai pernapasan cuping hidung dan
sianosis di sekitar hidung dan mulut. Sedangkan, batuk biasanya tidak
dijumpai pada awal penyakit, seorang anak akan mendapat batuk
setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering
kemudian menjadi produktif.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan :

a. Inspeksi: Pernafasan cuping hidung (+), sianosis sekitar hidung


dan mulut, retraksi sela iga.
b. Palpasi: Stem fremitus yang meningkat pada sisi yang sakit.
c. Perkusi: Sonor memendek sampai beda.
d. Auskultasi: Suara pernapasan mengeras (vesikuler mengeras)
disertai ronki basah gelembung halus sampai sedang.

Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada


luasnya daerah yang terkena. Pada perkusi thoraks sering tidak
dijumpai adanya kelainan. Pada auskultasi mungkin hanya terdengar
ronki basah gelembung halus sampai sedang. Bila sarang
bronkopneumonia menjadi satu (konfluens) mungkin pada perkusi
terdengar suara yang meredup dan suara pernapasan pada auskultasi
terdengar mengeras. Pada stadium resolusi ronki dapat terdengar lagi.
Tanpa pengobatan biasanya proses penyembuhan dapat terjadi antara
2-3 minggu (PDPI Lampung & Bengkulu, 2017).

6. Pemeriksaan Penunjang
Menurut (Nurarif & Kusuma, 2015) untuk dapat menegakkan
diagnosa keperawatan dapat digunakan cara :

a. Pemeriksaan laboratorium
1) Pemeriksaan darah Pada kasus bronkopneumonia oleh bakteri
akan terjadi leukositosis (meningkatnya jumlah neutrofil)
2) Pemeriksaan sputum Bahan pemeriksaan yang terbaik
diperoleh dari batuk yang spontan dan dalam digunakan
untuk kultur serta tes sensitifitas untuk mendeteksi agen
infeksius.
3) Analisa gas darah untuk mengevaluasi status oksigenasi dan
status asam basa.
4) Kultur darah untuk mendeteksi bakteremia.
5) Sampel darah, sputum dan urine untuk tes imunologi untuk
mendeteksi antigen mikroba
b. Pemeriksaan radiologi
1) Ronthenogram thoraks
Menunujukkan konsolidasi lobar yang seringkali dijumpai
pada infeksi pneumokokal atau klebsiella. Infiltrat multiple
seringkali dijumpai pada infeksi stafilokokus dan haemofilus.
2) Laringoskopi/bronskopi
Untuk menentukan apakah jalan nafas tesumbat oleh
benda padat.

7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada anak dengan
bronkopnemonia adalah sebagai berikut :
a. Non Farmakologi
1) Menjaga kelancaran pernapasan
2) Kebutuhan istirahat klien
Klien ini sering hiperpireksia maka klien perlu cukup
istirahat, semua kebutuhan klien harus ditolong ditempat
tidur.
3) Kebutuhan Nutrisi dan Cairan
Klien dengan bronkopneumonia hampir selalu
mengalami masukan makanan yang kurang karena proses
perjalanan pnyakit yang menyababkan peningkatan secret
pada bronkus yang menimbulkan bau mulut tidak sedap yang
selanjutnya menyebabkan anak mengalami anoreksia. Suhu
tubuh yang tinggi selama beberapa hari dan masukan cairan
yang kurang dapat menyebabkan dehidrasi. Untuk mencegah
dehidrasi dan kekurangan kalori dipasang infus dengan cairan
glukosa 5% dan NaCl 0,9%
4) Mengontrol Suhu Tubuh
Klien dengan bronkopneumonia biasanya mengalami
kenaikan suhu tubuh sangat mendadak sampai 39-40ᵒC dan
kadang disertai kejang karena demam yang sangat tinggi.
External cooling merupakan salah satu tindakan untuk
menurunkan demam.
External cooling dilakukan dengan menggunakan
kompres hangat. Tindakan ini bermanfaat untuk melebarkan
pembuluh darah dan mempercepat pertukaran panas antara
tubuh dengan lingkungan, serta menurunkan suhu tubuh pada
bagian perifer. Intervensi pemberian kompres hangat dalam
menangani demam dapat dilakukan pada beberapa area
permukaan tubuh. Kompres hangat dapat diberikan di daerah
temporal/ frontal (dahi), axilla (ketiak), leher (servikal) dan
inguinal (lipatan paha) (Perry, 2008). Pemberian kompres
hangat pada daerah axilla dapat menurunkan suhu tubuh lebih
besar dibandingkan dengan pemberian kompres hangat di
frontal. Hal ini terjadi karena pada daerah axilla banyak
terdapat pembuluh darah besar dan kelenjar keringat apokrin
(Corwin, 2001).
b. Farmakologi
Pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji
resistensi. Akan tetapi karena hal itu perlu waktu dan klien perlu
terapi secepatnya maka biasanya diberikan antibiotika Prokain
50.000 U/kgBB/hari secara IM, dan Kloramfhenikol 75
mg/kgBB/hari dalam 4 dosis secara IM/IV atau Ampicilin 100
mg/kgBB/hari diagi dalam 4 dosis IV dan Gentamicin 5
mg/kgBB/hari secara IM dalam 2 dosis perhari. Pengobatan ini
diteruskan sampai bebas demam 4-5 hari. Karena sebagian besar
klien jatuh kedalam asidosis metabolik akibat kurang makan dan
hipoksia, maka dapat diberikan koreksi sesuai dengan hasil
analisis gas darah arteri (Nurarif & Kusuma, 2015).
Adapun penatalaksanaan pada klien anak dengan
bronkopneumonia adalah sebagai berikut (Ridha, 2014):
1) Oksigen 2 liter/menit
2) IVFD (Intra Vena Fluid Drip)
3) Jenis cairan yang digunakan adalah 2A-K CL (1-2
mek/kgBB/24 jam atau KCL 6 mek/500 ml).
4) Kebutuhan cairannya adalah:
Tabel 1.1 Kebutuhan cairan anak usia 9 bulan dengan
bronkopneumonia (Ridha, 2014).
KgBB Kebutuhan (ml/kgBB/hari)
3-10 kgBB 3-10 kgBB
11-15 kgBB 11-15 kgBB
>15 kgBB >15 kgBB

5) Kortikosteroid
Pemberian kortison asetat 15 mg/kgBB/hari secara IM
diberikan bila ekspirasi memanjang atau secret banyak sekali.
Berikan dalam 3 kali pemberian.

II. TUMBUH KEMBANG


A. Definisi
a. Pertumbuhan
Pertumbuhan adalah berkaitan dengan masalah perubahan dalam
besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel atau organ yang bisa
diukur. (Soetjiningsih, 1995).
Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran fisik (anatomi)
dan struktur tubuh dalam arti sebagian atau seluruhnya karena adanya
multiplikasi (bertambah banyak) sel-sel dan juga karena bertambah
besarnya sel. (IDAI, 2002). Pertumbuhan sebagai suatu peningkatan
jumlah dan ukuran. (Whaley and Wong).
b. Perkembangan
Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan
fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur sebagai
hasil dari proses pematangan. (Soetjiningsih, 1995).
Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dan
struktur / fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur,
dapat diperkirakan dan diramalkan sebagai hasil dari proses
diferensiasi sel, jaringan tubuh, organ-organ dan sistemnya yang
terorganisasi. (IDAI, 2002) Perkembangan menitik beratkan pada
perubahan yang terjadi secara bertahap dari tingkat yang paling
rendah ke tingkat yang paling tinggi dan kompleks melalui proses
maturasi dan pembelajaran terhadap perkembangan emosi, social dan
intelektual anak. (Whaley and Wong).
B. Faktor yang Mempengaruhi Tumbuh Kembang
1. Faktor Genetik
Ditandai dengan intensitas dan kecepatan pembelahan, derajat
sensitifitas jaringan terhadap rangsangan, umur pubertas dan
berhentinya pertumbuhan tulang, termasuk faktor genetik antara lain
berbagai faktor bawaan yang normal dan patologik, jenis kelamin dan
suku bangsa.
2. Faktor Lingkugan
Faktor lingkungan pada waktu masih di dalam kandungan (faktor
prenatal). Gisi ibu waktu hamil, faktor mekanis, toksin atau zat kimia,
endokrin, radiasi, infeksi, stress, imunitas dan anoksia embrio. Faktor
lingkungan setelah lahir ( Faktor post natal ). Lingkungan biologis,
meliputi Ras, Jenis kelamin, Umur, Gizi, Perawatan kesehatan,
kepekaan terhadap penyakit, fungsi metabolisme dan hormon.
3. Faktor fisik yaitu cuaca, sanitasi, keadaan rumah dan radiasi.
4. Faktor Psikososial yaitu stimulasi, motivasi belajar, ganjaran /
hukuman yang wajar, kelompok sebaya, stress, sekolah.
5. Faktor keluarga dan istiadat
C. Teori Perkembangan
1. Sigmeun Freud ( Perkembangan Psychosexual )
a. Fase Oral (0-1 tahun)
Pusat aktivitas yang menyenagka di dalam mulutnya, anak
mendapat kepuasaan saat mendapat ASI, kepuasan bertambah
dengan aktifitas mengisap jari dan tangannya atau benda – benda
sekitarnya.
b. Fase Anal (2-3 tahun)
Meliputi retensi dan pengeluaran feces. Pusat kenikmatanya pada
anus saat BAB, waktu yang tepat untuk mengajarkan disiplin dan
bertanggung jawab.
c. Fase Urogenital faliks (3-4 tahun)
Tertarik pada perbedaan antomis laki dan perempuan, ibu menjadi
tokoh sentral bila menghadapi persoalan. Kedekatan ank laki –
laki pada ibunya menimbulkan gairah sexual dan perasaan cinta
yang disebut oedipus compleks.
d. Fase Latet (4-5 tahun sampai masa pubertas)
Masa tenang tetapi anak mengalami perkembangan pesat aspek
motorik dan kognitifnya. Disebut juga fase homosexual alamiah
karena anak – nak mencari teman sesuai jenis kelaminnya, serta
mencari figur (role model) sesuai jenis kelaminnya dari orang
dewasa.
e. Fase Genitalia
Alat reproduksi sudah mulai matang, heteroseksual dan mulai
menjalin hubungan rasa cinta dengan berbeda jenis kelamin.
2. Piaget (Perkembangan Kognitif
Meliputi kemampuan intelegensi, kemampuan berpersepsi dan
kemampuan mengakses informasi, berfikir logika, memecahkan
masalah kompleks menjadi simple dan memahami ide yang abstrak
menjadi konkrit, bagaimana menimbulkan prestasi dengan
kemampuan yang dimiliki anak.
a. Tahap sensori – motor (0-2 tahun)
Perilaku anak banyak melibatkan motorik, belum terjadi kegiatan
mental yang bersifat simbolis (berpikir). Sekitar usia 18 – 24
bulan anak mulai bisa melakukan operations, awal kemampuan
berfikir.
b. Tahap pre operasional (2-7 tahun)
Tahap pra konseptual (2 – 4 tahun) anak melihat dunia hanya
dalam hubungan dengan dirinya, pola pikir egosentris. Pola
berfikir ada dua yaitu : transduktif ; anak mendasarkan
kesimpulannya pada suatu peristiwa tertentu ( ayam bertelur jadi
semua binatang bertelur ) atau karena ciri – ciri objek tertentu
( truk dan mobil sama karena punya roda empat ). Pola penalaran
sinkretik terjadi bila anak mulai selalu mengubah – ubah kriteria
klasifikasinya. Misal mula – mula ia mengelompokkan truk,
sedan dan bus sendiri – sendiri, tapi kemudian mengelompokan
mereka berdasarkan warnanya, lalu berdasarkan besar – kecilnya,
dst.
c. Tahap intuitif (4-7 tahun)
Pola pikir berdasar intuitif, penalaran masih kaku, terpusat pada
bagian bagian terentu dari objek dan semata – mata didasarkan
atas penampakan objek.
d. Tahap operasional konkrit (7-12 tahun)
Konversi menunjukan anak mampu menawar satu objek yang
diubah bagaimanapun bentuknya, bila tidak ditambah atau
dikurangi maka volumenya tetap. Seriasi menunjukan anak
mampu mengklasifikasikan objek menurut berbagai macam
cirinya seperti : tinggi, besar, kecil, warna, bentuk, dst.
e. Tahap operasional – formal (mulai usia 12 tahun)
Anak dapat melakukan representasi simbolis tanpa menghadapi
objek – objek yang ia pikirkan. Pola pikir menjadi lebih fleksibel
melihat persoalan dari berbagai sudut yang berbeda.
3. Erikson (Perkembangan Psikososial)
Proses perkembangan psikososial tergantung pada bagaimana individu
menyelesaikan tugas perkembangannya pada tahap itu, yang paling
penting adalah bagaimana memfokuskan diri individu pada
penyelesaian konflik yang baik itu berlawanan atau tidak dengan tugas
perkembangannya. Perkembangan Psikososial :
a. Trust vs, Misstust
Kebutuhan rasa aman dan ketidakberdayaannya menyebabkan
konflik basic trust dan misstrust, bila anak mendapatkan rasa
amannya maka anak akan mengembangkan kepercayaan diri
terhadap lingkungannya, ibu sangat berperan penting.
b. Autonomy vs shame and doubt ( 2 – 3 tahun)
Organ tubuh lebih matang dan terkoordinasi dengan baik sehingga
terjadi peningkatan keterampilan motorik, anak perlu dukungan,
pujian, pengakuan, perhatian serta dorongan sehingga
menimbulkan kepercayaan terhadap dirinya, sebaliknya celaan
hanya akan membuat anak bertindak dan berfikir ragu – ragu.
Kedua orang tua objek sosial terdekat dengan anak.
c. Initiatif vs Guilty (3 – 6 tahun)
Bila tahap sebelumnya anak mengembangkan rasa percaya diri dan
mandiri, anak akan mengembangkan kemampuan berinisiatif yaitu
perasaan bebas untuk melakukan sesuatu atas kehendak sendiri.
Bila tahap sebelumnya yang dikembangkan adalah sikap ragu-ragu,
maka ia akan selalu merasa bersalah dan tidak berani mengambil
tindakan atas kehendak sendiri.
d. Industry vs inferiority (6 – 11 tahun)
Logika anak sudah mulai tumbuh dan anak sudah mulai sekolah,
tuntutan peran dirinya dan bagi orang lain semakin luas sehingga
konflik anak masa ini adalah rasa mampu dan rendah diri. Bila
lingkungan ekstern lebih banyak menghargainya maka akan
muncul rasa percaya diri tetapi bila sebaliknya, anak akan rendah
diri.
e. Identity vs Role confusion ( mulai 12 tahun)
Anak mulai dihadapkan pada harapan – harapan kelompoknya dan
dorongan yang makin kuat untuk mengenal dirinya sendiri. Ia
mulai berpikir bagaimana masa depannya, anak mulai mencari
identitas dirinya serta perannya, jika ia berhasil melewati tahap ini
maka ia tidak akan bingung menghadapi perannya.
f. Intimacy vs Isolation ( dewasa awal )
Individu sudah mulai mencari pasangan hidup. Kesiapan membina
hubungan dengan orang lain, perasaan kasih sayang dan keintiman,
sedang yang tidak mampu melakukannya akan mempunyai
perasaan terkucil atau tersaing.
g. Generativy vs self absorbtion ( dewasa tengah )
Adanya tuntutan untuk membantu orang lain di luar keluarganya,
pengabdian masyarakat dan manusia pada umumnya. Pengalaman
di masa lalu menyebabkan individu mampu berbuat banyak untuk
kemanusiaan, khususnya generasi mendatang tetapi bila tahap -
tahap silam, ia memperoleh banyak pengalaman negatif maka
mungkin ia terkurung dalam kebutuhan dan persoalannya sendiri.
h. Ego integrity vs Despair ( dewasa lanjut )
Memasuki masa ini, individu akan menengok masa lalu. Kepuasan
akan prestasi, dan tindakan-tindakan dimasa lalu akan
menimbbulkan perasaan puas. Bila ia merasa semuanya belum siap
atau gagal akan timbul kekecewaan yang mendalam.

4. Kohlberg (Perkembangan Moral)


a. Pra-konvensional Mulanya ditandai dengan besarnya pengaruh
wawasan kepatuhan dan hukuman terhadap prilaku anak.
Penilaian terhadap prilaku didasarkan atas akibat sikap yang
ditimbulkan oleh perilaku. Dalam tahap selanjutnya anak mulai
menyesuaikan diri dengan harapan – harapan lingkungan untuk
memperoleh hadiah, yaitu senyum, pujian atau benda.
b. Konvensional Anak terpaksa menyesuaikan diri dengan harapan
lingkungan atau ketertiban sosial agar disebut anak baik atau anak
manis.
c. Purna Konvensional
Anak mulai mengambil keputusan baik dan buruk secara mandiri.
Prinsip pribadi mempunyai peranan penting. Penyesuaian diri
terhadap segala aturan di sekitarnya lebih didasarkan atas
penghargaannya serta rasa hormatnya terhadap orang lain.
5. Hurolck (Perkembangan Emosi)
Menurut Hurlock, masa bayi mempunyai emosi yang berupa
kegairahan umum, sebelum bayi bicara ia sudah mengembangkan
emosi heran, malu, gembira, marah dan takut. Perkembangan emosi
sangat dipengaruhi oleh faktor kematangan dan belajar. Pengalaman
emosional sangat tergantung dari seberapa jauh individu dapat
mengerti rangsangan yang diterimanya. Otak yang matang dan
pengalaman belajar memberikan sumbangan yang besar terhadap
perkembangan emosi, selanjutnya perkembngan emosi dipengaruhi
oleh harapan orang tua dan lingkungan.
III. KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas Pasien
2. Umur
Pneumonia sering terjadi pada bayi dan anak. Kasus terbanyak terjadi
pada anak berusia di bawah 3 tahun.
3. Keluhan utama
Saat dikaji biasanya penderita bronkopneumonia mengeluh sesak
nafas.
B. Riwayat Kesehatan
1. Riwayat penyakit sekarang
Pada penderita bronkopneumonia biasanya merasakan sulit untuk
bernafas, dan disertai dengan batuk berdahak, terlihat otot bantu
pernafasan, adanya suara nafas tambahan, penderita biasanya juga
lemah dan tidak nafsu makan, kadang disertai diare.
2. Riwayat penyakit dahulu
Anak sering menderita penyakit saluran pernafasan bagian atas,
memiliki riwayat penyakit campak atau pertussis serta memiliki faktor
pemicu bronkopneumonia misalnya riwayat terpapar asap rokok, debu
atau polusi dalam jangka panjang.
C. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Bagaimana keadaan klien, apakah letih, lemah atau sakit berat.
b. Tanda vital
Bagaimana suhu, nadi, pernafasan dan tekanan darah klien
c. Kepala
Bagaimana kebersihan kulit kepala, rambut serta bentuk kepala,
apakah ada kelainan atau lesi pada kepala
d. Wajah
Bagaimana bentuk wajah, kulit wajah pucat/tidak
e. Mata
Bagaimana bentuk mata, keadaan konjungtiva anemis/tidak, sclera
ikterik/ tidak, keadaan pupil, palpebra dan apakah ada gangguan
dalam penglihatan
f. Hidung
Bentuk hidung, keadaan bersih/tidak, ada/tidak sekret pada hidung
serta cairan yang keluar, ada sinus/ tidak dan apakah ada gangguan
dalam penciuman.
g. Mulut
Bentuk mulut, membran membran mukosa kering/ lembab, lidah
kotor/ tidak, apakah ada kemerahan/ tidak pada lidah, apakah ada
gangguan dalam menelan, apakah ada kesulitan dalam berbicara.
h. Leher
Apakah terjadi pembengkakan kelenjar tyroid, apakah ditemukan
distensi vena jugularis.
i. Thoraks
Bagaimana bentuk dada, simetris/tidak, kaji pola pernafasan, apakah
ada wheezing, apakah ada gangguan dalam pernafasan.
Pemeriksaan Fisik Difokuskan Pada Pengkajian Sistem Pernafasan
1) Inspeksi
Perlu diperhatikannya adanya sianosis, dispneu, pernafasan
cuping hidung, distensi abdomen, batuk semula non produktif
menjadi produktif, serta nyeri dada pada saat menarik nafas
Batasan takipnea pada anak 2 bulan-12 bulan adalah 50
kali/menit atau lebih, sementara untuk anak berusia 12 bulan-5
tahun adalah 40 kali/menit atau lebih. Perlu diperhatikan adanya
tarikan dinding dada ke dalam pada fase inspirasi. Pada
pneumonia berat, tarikan dinding dada ke dalam akan tampak
jelas.
2) Palpasi
Fremitus biasanya terdengar lemah pada bagian yang terdapat
cairan atau secret, getaran hanya teraba pada sisi yang tidak
terdapat secret.

3) Perkusi
Normalnya perkusi pada paru adalah sonor, namun untuk kasus
bronkopneumonia biasanya saat diperkusi terdengar bunyi
redup.
4) Auskultasi
Auskultasi sederhana dapat dilakukan dengan cara mendekatkan
telinga ke hidung atau mulut bayi. Pada anak pneumonia akan
terdengar stridor, ronkhi atau wheezing. Sementara dengan
stetoskop, akan terdengar suara nafas akan berkurang, ronkhi
halus pada posisi yang sakit, dan ronkhi basah pada masa
resolusi. Pernafasan bronkial, egotomi, bronkoponi,
kadangkadang terdengar bising gesek pleura.
j. Abdomen
Bagaimana bentuk abdomen, turgor kulit kering/ tidak, apakah
terdapat nyeri tekan pada abdomen, apakah perut terasa kembung,
lakukan pemeriksaan bising usus, apakah terjadi peningkatan bising
usus/tidak.
k. Genitalia
Bagaimana bentuk alat kelamin, distribusi rambut kelamin ,warna
rambut kelamin. Pada laki-laki lihat keadaan penis, apakah ada
kelainan/tidak. Pada wanita lihat keadaan labia minora, biasanya
labia minora tertutup oleh labia mayora.
l. Integumen
Kaji warna kulit, integritas kulit utuh/tidak, turgor kulit kering/ tidak,
apakah ada nyeri tekan pada kulit, apakah kulit teraba panas.
m. Ekstremitas atas
Adakah terjadi tremor atau tidak, kelemahan fisik, nyeri otot serta
kelainan bentuk. (Nursing Student, 2015).

D. Pathway
Reaiko
Ketidakseimbangan
elektrolit

Sumber : Doenes (2000); Nurarif & Kusuma (2015); PPNI (2017)

E. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan
respons manusia (status kesehatan atau risiko perubahan pola) dari
individu atau kelompok, dimana perawat secara akuntabilitas dapat
mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga
status kesehatan menurunkan, membatasi, mencegah, dan merubah.
Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinis mengenai seseorang,
keluarga, atau masyarakat sebagai akibat dari masalah kesehatan atau
proses kehidupan yang aktual atau potensial. Diagnosa keperawatan
merupakan dasar dalam penyusunan rencana tindakan asuhan
keperawatan, sangat perlu untuk didokumentasikan dengan baik (Yustiana
& Ghofur, 2016)
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan spasme jalan
nafas (D.0001)
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane
alveolus-kapiler (D.0003)
3. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (D.0130)
4. Defisit nutrisi berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolism
(D.0019)
5. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen (D.0056)
6. Resiko ketidakseimbangan elektrolit dibuktikan dengan diare (D.0037)
F. Intervensi Keperawatan
Menurut PPNI (2018) Intervensi keperawatan adalah segala treatment
yang dikerjakan oleh perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan
penilaian klinis untuk mencapai luaran (outcome) yang diharapkan (PPNI,
2019). Adapun intervensi yang sesuai dengan penyakit bronkopneumonia
adalah sebagai berikut :
1. Diagnosa : Bersihan jalan nafas tidak efektif (D.0001)
a. Tujuan : Setelah dilakukan intervensi, maka diharapkan bersihan
jalan napas (L.01001) meningkat. Dengan kriteria hasil :
1) Batuk efektif
2) Produksi sputum menurun
3) Mengi menurun
4) Wheezing menurun
5) Dispnea menurun
6) Ortopnea menurun
7) Gelisah menurun
8) Frekuensi napas membaik
9) Pola napas membaik
b. Intervensi Keperawatan :
Observasi
1) Identifikasi kemampuan batuk
2) Monitor adanya retensi sputum
3) Monitor tanda dan gejala infeksi saluran napas
4) Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
5) Auskultasi bunyi napas

Terapeutik :

1) Atur posisi semi fowler atau fowler


2) Berikan minum hangat
3) Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
4) Berikan oksigen, jika perlu

Edukasi :

1) Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif


2) Ajarkan teknik batuk efektif
3) Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah tarik napas
dalam yang ke-3

Kolaborasi :

1) Kolaborasi pemberian bronkodilator, mukolitik atau


ekspektoran, jika perlu
2. Diagnosa : Gangguan pertukaran gas (D.0003)
a. Setelah dilakukan intervensi, maka diharapkan pertukaran gas
(L.01003) meningkat. Dengan kriteria hasil :
1) Dispnea menurun
2) Bunyi napas tambahan menurun
3) Napas cuping hidung menurun
4) PCO2 membaik
5) PO2 membaik
6) Takikardi membaik
7) Ph arteri membaik
b. Intervensi Keperawatan :
Observasi :
1) Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas
2) Monitor pola napas (seperti bradipnea, takipnea,
hiperventilasi, kussmaul, cheyne-stokes, biot, ataksik)
3) Monitor adanya sumbatan jalan napas
4) Auskultasi bunyi napas
5) Monitor saturasi oksigen
6) Monitor nilai AGD
7) Monitor hasil x-ray thoraks
8) Monitor kecepatan aliran oksigen
9) Monitor integritas mukosa hidung akibat pemasangan oksigen
Terapeutik :
1) Tetap berikan oksigen saat pasien ditransportasi
Kolaborasi :
1) Kolaborasi penentuan dosis oksigen
2) Kolaborasi penggunaan oksigen saat aktivitas dan/atau tidur
3. Diagnosa : Hipertermia (D.0130)
a. Tujuan : Setelah dilakukan intervensi keperawatan, maka
termoregulasi (L.14134) membaik dengan kriteria hasil :
1) Menggigil menurun
2) Kulit merah menurun
3) Kejang menurun
4) Pucat menurun
5) Takikardi menurun
6) Takipnea menurun
7) Bradikardi menurun
8) Hipoksia menurun
9) Suhu tubuh membaik
10) Suhu kulit membaik
11) Tekanan darah membaik
b. Intervensi Keperawatan :
Observasi :
1) Identifikasi penyebab hipertermia
2) Monitor tanda-tanda vital
3) Monitor suhu tubuh anak tiap dua jam, jika perlu
4) Monitor intake dan output cairan
5) Monitor warna dan suhu kulit
6) Monitor komplikasi akibat hipertermia

Terapeutik :
1) Sediakan lingkungan yang dingin
2) Longgarkan atau lepaskan pakaian
3) Basahi dan kipasi permukaan tubuh
4) Tingkatkan asupan cairan dan nutrisi yang adekuat
5) Berikan cairan oral
6) Ganti linen setiap hari jika mengalami keringat berlebih
7) Lakukan pendinginan eksternal (mis. kompres dingin pada
dahi, leher, dada, abdomen, aksila
Edukasi :
1) Anjurkan tirah baring
2) Anjurkan memperbanyak minum
Kolaborasi :
1) Kolaborasi pemberian antipiretik, jika perlu
2) Kolaborasi pemberisn antibiotik, jika perlu
4. Diagnosa : Defisit nutrisi (D.0019)
a. Tujuan : Setelah dilakukan intervensi, maka diharapkan status
nutrisi (L.03030)membaik. Dengan kriteria hasil:
1) Porsi makanan yang dihabiskan meningkat
2) Diare menurun
3) Berat badan membaik
4) Indeks Massa Tubuh (IMT) membaik
5) Nafsu makan membaik
b. Intervensi Keperawatan :
Observasi :
1) Identifikasi status nutrisi
2) Monitor asupan makanan
3) Monitor berat badan
Terapeutik :
1) Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
2) Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
3) Berikan suplemen makanan, jika perlu
4) Hentikan pemberian makan melalui selang nasogastrik jika
asupan oral dapat ditoleransi
5) Berikan makanan sesuai keinginan, jika memungkinkan
Edukasi :
1) Anjurkan orang tua atau keluarga membantu memberi makan
kepada pasien
Kolaborasi :
1) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori
dan jenis nutrient yang dibutuhkan, jika perlu
2) Kolaborasi pemberian antiemetil sebelum makan, jika perlu
5. Diagnosa : Intoleransi aktifitas (D.0056)
a. Tujuan : Setelah dilakukan intervensi, maka diharapkan toleransi
aktivitas (L.05047) meningkat. Dengan kriteria hasil :
1) Frekuensi nadi meningkat
2) Keluhan lelah menurun
3) Dispnea saat aktivitas menurun
4) Dispnea setelah aktivitas menurun
5) Perasaan lemah menurun
b. Intervensi Keperawtan :
Observasi :
1) Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan
aktivitas
2) Monitor saturasi oksigen
3) Monitor tekanan darah, nadi dan pernapasan
setelah melakukan aktivitas
Terapeutik :
1) Libatkan keluarga dalam aktivitas
2) Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus
3) Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat berpindah
atau berjalan
Edukasi :
1) Anjurkan tirah baring
2) Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
3) Anjurkan terlibat dalam aktivitas kelompok atau terapi, jika
sesuai
6. Diagnosa : Resiko ketidakseimbangan elektrolit (D.0037)
a. Tujuan : Setelah dilakukan intervensi, maka diharapkan
keseimbangan elektrolit (L.03021) meningkat. Dengan kriteria
hasil:
1) Serum natrium membaik
2) Serum kalium membaik
3) Serum klorida membaik
b. Intervensi Keperawatan :
Observasi :
1) Identifikasi penyebab diare (mis. inflamasi gastrointestinal)
2) Monitor mual, muntah, dan diare
3) Monitor status hidrasi
Terapeutik :
1) Catat intake-output dan hitung balance cairan 24 jam
2) Berikan asupan cairan oral (mis. larutan garam gula, oralit)
3) Berikan cairan intravena, jika perlu
Edukasi :
1) Anjurkan makanan porsi kecil dan sering secara bertahap
Kolaborasi :
1) Kolaborasi pemberian obat antimotilitas (mis. loperamide,
difenoksilat)
G. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status
kesehatan yang dihadapi kestatus kesehatan yang baik yang
menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan. Ukuran implementasi
keperawatan yang diberikan kepada klien terkait dengan dukungan,
pengobatan, tindakan untuk memperbaiki kondisi, pendidikan untuk
klienkeluarga, atau tindakan untuk mencegah masalah kesehatan yang
muncul dikemudian hari (Yustiana & Ghofur, 2016).
H. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir dari rangkaian proses
keperawatan yang berguna apakah tujuan dari tindakan keperawatan yang
telah dilakukan tercapai atau perlu pendekatan lain. Evaluasi keperawatan
mengukur keberhasilan dari rencana dan pelaksanaan tindakan
keperawatan yang dilakukan dalam memenuhi kebutuhan klien. Penilaian
adalah tahap yang menentukan apakah tujuan tercapai. Evaluasi selalu
berkaitan dengan tujuan yaitu pada komponen kognitif, afektif,
psikomotor, perubahan fungsi dan tanda gejala yang spesifik (Yustiana &
Ghofur, 2016).
DAFTAR PUSTAKA

Alexander & Anggraeni (2017) ‘Tatalaksana Terkini Bronkopneumonia pada


Anak

di Rumah Sakit Abdul Moeloek’, Jurnal Kedokteran.

Bradley J.S., B. . (2011) ‘The Management of Community-Acquired Pneumonia


in Infants and Children Older than 3 Months of Age’, Clinical Practice
Guidelines by the Pediatric Infections Diseases Society and the Infections
Disease Society of America.

Fida & Maya (2012) Pengantar Ilmu Kesehatan Anak. Jogjakarta: D-Medika.

Kemenkes RI (2015) Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Kementerian


Kesehatan RI.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2018) Health Statistics. Jakarta.

Mulyani, P. (2018) ‘Penerapan Teknik Nafas Dalam Pada Anak Balita Dengan
Bronkopneumonia Di RSUD Wonosari Kabupaten Gunungkidul’, pp. 1–
71.

Nunung Herlina, Sitti Shoimatul A, Swanti Pandiangan, F. S. (2018) ‘Hubungan


kepatuhan SPO pemasangan infus dengan kejadian plebitis Di RSUD A.
Wahab Sjahranie Samarinda Tahun 2015’, 6(1).

Nurarif & Kusuma (2015) APLIKASI Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: MediaAction.

Nursalam (2013) Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Jakarta: Salemba Medika.
PDPI Lampung & Bengkulu (2017) Penyakit Bronkopneumonia. Available
at: http://klikpdpi.com/index.php?mod=article&sel=7896.
PDPI Lampung & Bengkulu (2017) Penyakit Bronkopneumonia. Available at:
http://klikpdpi.com/index.php?mod=article&sel=7896

PPNI (2017) Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator


Diagnostik. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI (2018) Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan


Keperawatan. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI (2019) Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Jakarta: DPP PPNI.

Yustiana Olfah & Abdul Ghofur (2016) Dokumentasi Keperawatan. Jakarta:


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Anda mungkin juga menyukai