Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1.Konsep Lansia

2.1.1. Pengertian

Lansia atau menua merupakan suatu keadaan yang terjadi didalam

kehidupan manusia. Menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya

dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan.

Menjadi tua merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga

tahap kehidupannya yaitu: anak, dewasa dan tua. Tiga tahap ini berbeda baik

secara biologis, maupun psikologis. Memasuki usia tua berarti mengalami

kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang

mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas,

penglihatan semakin memburuk, gerakan lambat dan figur tubuh yang tidak

proporsional (Nasrullah Dede, 2016).

Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-

lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan

mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi

dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Menua bukanlah suatu penyakit tetapi

merupakan proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan

dari dalam maupun luar tubuh. Walaupun demikian, memang harus diakui bahwa

ada berbagai penyakit yang sering menghinggapi kaum lanjut usia. Sebenarnya,

tidak ada batas yang tegas, pada usia berapa penampilan seseorang mulai

menurun. Pada setiap orang, fungsi fisiologis alat tubuhnya sangat berbeda, baik

dalam hal pencapaian puncak maupun saat menurunnya. Namun umumnya, fungsi
fisiologis tubuh mencapai puncaknya pada umur antara 20-30 tahun. Setelah

mencapai puncak, fungsi alat tubuh akan berada dalam kondisi tetap utuh

beberapa saat kemudian menurun sedikit demi sedikit sesuai bertambahnya umur

(Nugroho Wahjudi, 2000).

2.1.2 Batasan Lansia

Di Indonesia lanjut usia adalah usia 60 tahun keatas. Hal ini dipertegas

dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia

pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 2 (Nugroho, 2016).

Beberapa pendapat para ahli tentang batasan usia adalah sebagai berikut

1. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ada empat tahapan yaitu:


a. Usia pertengahan (middle age) usia 45-59 tahun
b. Lanjut usia (elderly) usia 60-74 tahun
c. Lanjut usia tua (old) usia 75-90 tahun
d. Usia sangat tua (very old) usia > 90 tahun

2. Menurut Kementerian Kesehatan RI (2015) lanjut usia dikelompokan


menjadi usia lanjut(60-69 tahun) dan usia lanjut dengan risiko tinggi (lebih
dari 70 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan)

2.1.3 Klasifikasi Lansia


Menurut Depkes RI (2013) klasifikasi lansia terdiri dari :

1. Pra lansia yaitu seorang yang berusia antara 45-59 tahun

2. Lansia ialah seorang yang berusia 60 tahun atau lebih

3. Lansia risiko tinggi ialah seorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan

masalah kesehatan.

4. Lansia potensial adalah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan

dan kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa

5. Lansia tidak potensial ialah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah
sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.

2.1.4 Perubahan pada lansia

Berbagai perubahan yang terjadi pada lansia mengarah pada penurunan


fungsi tubuh, antara lain :
a. Perubahan pada kulit
Kulit kehilangan kelenturan dan kelembabannya pada masa lansia. Lapisan

epitel menipis dan serat kolagen elastik menyusut dan menjadi kaku.

Kerutan di wajah dan pola refleks leher seumur hidup pada aktivitas otot

dan ekspresi wajah, penarikan gravitasi dan hilangnya elastisitas. Noda

dan lesi juga mungkin muncul pada kulit. Noda halus, coklat berbentuk

tidak beraturan (senile lentigo) awalnya muncul pada punggung tangan

dan pada lengan bawah. Angioma merah coklat yang kecil, bulat

ditemukan pada tubuh. Lesi seborea/ keratosis dapat muncul sebagai lesi

yang tak teratur, bulat atau oval, coklat dan berair.

b. Sistem reproduksi
Perubahan pada struktur dan fungsi sistem reproduksi terjadi sebagai

akibat perubahan hormonal. Menopause pada wanita berkaitan dengan

penurunan respons ovarium terhadap hipofisis dan mengakibatkan

penurunan kadar esterogen dan progesteron. Pada pria, tidak ada

penghentian fertilitas tertentu dikaitkan dengan penuaan. Spermatogenesis

mulai menurun selama dekade keempat tetapi kontinu sampai dekade

kesembilan. Bagaimanapun, perubahan struktur dan fungsi reproduktif

tidak mempengaruhi libido. Kurangnya frekuensi aktivitas seksual dapat

diaklibatkan oleh penyakit, kematian pasangan seksual, penurunan

sosialisasi, atau hilangnya minat seksual.


c. Perubahan Sistem Muskuloskeletal
1) Jaringan penghubung
Kolagen dan elastin yang adalah jaringan ikat mengalami perubahan
kualitatif dan kuantitatif sesuai dengan penuaan yang dialami. Kolagen
merupakan pendukung utama pada kulit, tendon, tulang, kartilago dan
jaringan pengikat yang menjadi batangan cross linking yang tidak teratur.
Hal ini yang menyebabkan lansia mengalami penurunan mobilitas pada
jaringan tubuh. Penurunan fleksibilitas pada lansia menyebabkan nyeri,
penurunan kemampuan meningkatkan kekuatan otot, kesulitan bergerak
dari duduk ke berdiri, jongkok dan berjalan serta hambatan untuk
melakukan kegiatan sehari-hari.
2) Kartilago
Jaringan kartilago persendian melunak dan bergranulasi sehingga
permukaan sendi menjadi rata. Kemampuan kartilago untuk melakukan
regenerasi berkurang hingga lebih cenderung pada degenerasi yang
progresif. Kartilago mengalami kalsifikasi dibeberapa tempat seperti
tulang rusuk dan tiroid. Komponen dasar matriks kartilago (proteoglikan)
berkurang atau hilang secara bertahap. Fungsi kartilago menjadi kurang
efektif baik sebagai peredam kejut maupun permukaan sendi yang
berpelumas. Kartilago pada persendian menjadi rentan untuk terjadi
pergesekan.

3) Tulang
Berkurangnya kepadatan tulang menjadi salah satu bagian dari penuaan
fisiologis. Perubahan terjadi pada trabekula longitudinal yang menjadi
tipis dan trabekula transversal terabsorbsi kembali. Perubahan tersebut
memngakibatkan jumlah tulang spongiosa yang berkurang dan tulang
kompakta menjadi tipis. Penurunan jumlah hormon esterogen
menyebabkan produksi osteoklas tidak terkendali. Jaringan dan ukuran
tulang yang berkurang kepadatannya secara menyeluruh menyebabkan
penurunan kekuatan dan kekakuan tulang.
4) Otot
Efek negatif dari penuaan pada otot adalah penurunan jumlah dan ukuran
serabut otot, peningkatan jaringan penghubung dan jaringan lemak pada
otot.
5) Sendi
Jaringan ikat sekitar sendi yakni tendon, ligament dan fasia mengalami
penurunan elatisitas. Degenerasi, erosi dan kalsifikasi terjadi pada
kartilago dan kapsuls sendi sehingga sendi kehilangan fleksibilitasnya. Hal
ini menyebabkan lansia mengalami penurunan luas gerak sendi.

1.2 Konsep Sendi


2.2.1 Pengertian
Tulang dan kerangka merupakan bagian yang sangat penting di dalam

bidang ortopedi.Banyak sekali penyakit berkaitan dengan kelainan bentuk atau

salah gerak yang disebabkan adanya kelainan kelainan tulang. Tulang tidak hanya

kerangka penguat tubuh,tetapi juga merupakan bagaian susunan sendi, sebagai

pelindung tubuh serta tempat melekatnya origo dan insertio dari otot otot yang

menggerakan tubuh.Tulang terbentuk dari jaringan jaringan mensenkim. Pada

pembentukan tulang zat zat anorganik seperti kalsium, fosfor, dedan CO2 sangat

diperlukan, selain zat zat protein dan lemak.

Komponen utama dari jaringan tulang adalah mineral dan jaringan organik

( kolagen serta proteoglikan). Kalsium dan fosfat membentuk suatu kristal garam

(hidroksiapatit), kemudian ltertimbun pada matriks kolagen dan proteoglikan.

(Zairin, 2012)

Sendi adalah tempat pertemuan dua atau lebih tulang. tulang tulang ini

dipadukan dengan berbagi cara, misalnya dengan kapsul sendi, pita fibrosa,

ligamen, tendon, fasia, atau otot. Sendi persambungan tulang, baik yang
memungkinakan tulang tersebaut dapat bergerak satu sama lain maupun tidak

dapat bergerak satu sama lain.

Pergerakan tidak memungkinkan terjadi jika kelenturan dalam rangka

tulang tidak ada. Kelenturan dimungkinkan oleh adanya persendian. Sendi adalah

suatu ruangan, tempat satu atau dua tulang berada saling berdekatan.

(Asikin, 2016)

2.2.2 Etiologi
Salah satu penyakit yang sering dialami lansia adalah penyakit yang

berhubungan dengan nyeri sendi. Gangguan pada sendi berakibat

dislokasi(kesleo). Penyakit pada sendi disebabkan oleh inflamasi yakni;

a). Rheumatoid Arhtritis


Kondisi ini terjadi di seluruh dunia dan hingga usia 65 tahun, 3 kali lebih

sering diderita oleh wanita dibanding pria. Teoretiks menjelaskan bahwa

mekanisme pencetus, mungkin virus, menyebabkan sistem imun menjadi

terlalu aktif. Presdisposisi genetik terhadap gangguan tampak turut berperan

beberapa anggota dari satu keluarga dapat mengalami gangguan ini. Inflamasi

kronik akan mengubah ketebalan membran sinovial. Kapsula sendi akan

membangkak, membran sinovial akan mengalami inflamasi, dan kartilagoakan

menghilang. Terjadi pertumbuhan lapisan sinovial secara berlebihan. Ketika

kartilago dan tulang terkikis, sendi akan terasa nyeri karen atulang akan

bergesekkan dengan tulang. Jika sendi mengalami Klsifikasi, Pergerakan tidak

akan mungkin dilakukan.

b). Spondilitis Ankilosis


Spondilitis ankilosis, disebut juga artritis reumatoid spinalis, terutama

mempengaruhi aspek sendi dan ligamen penstabil pada kolumna spinalis.

Kondisi ini sebagaian besar menyerang pria dan sering kali dimulai pada

masa remaja atau dewasa muda. Gejala awal yang paling umum terjadi adalah

nyeri dan kekakuan pinggul dan punggung bawah. Kontraktur pinggul dan

fleksi leher dan punggung dapat terjadi.

c). Gout
Tubuh memproduksi zat yang disebut purin selama metabolisme. Jika tubuh

tidak mampu memetabolisme zat ini, asam urat akan berakumulasi di dalam

aliran darah dan membentuk deposit kristal di dalam sendi. Kondisi artritik

ini disebut gout atau hiperurisemia, biasanya menyerang ibu jari kaki, telapak

kaki, pergelangan kaki atau lutut, tetapi kondisi ini dapat terjadi di sendi

mana pun. Artritis gout lebih sering dialami oleh pria. Alkhol, alergi,

pembedahan cedera, infeksi, makanan berlemak atau nitrogenik, diet dengan

berpuasa, stress emosi, atau perubahan dalam lingkungan seseorang dapat

memicu serangan gout.( Roshdal,2017)

2.2.3 Anatomi Fisiologi

a. Anatomi Sendi
Gambar 2.1 Sendi Diarthrosis (synovial)

Gambar 2.2 Empat jenis sendi synovial: nonaxial, uniaxial, biaxial, dan
triaxial

Gambar 2.3 Tiga jenis sendi synarthrodial: sutura, cartilaginous, dan


ligamentous
b. Fisiologi

2.2.4 Patofisiologi

Pemahaman mengenai anatomi normal dan fisiologis persendian

diartrodial atau sinovial merupakan kunci untuk memahami patofisiologi penyakit

nyeri sendi. Fungsi persendian sinovial adalah gerakan. Setiap sendi sinovial

memiliki kisaran gerak tertentu kendati masing-masing orang tidak mempunyai

kisaran gerak yang sama pada sendi-sendi yang dapat digerakkan. Pada sendi

sinovial yang normal. Kartilago artikuler membungkus ujung tulang pada sendi

dan menghasilkan permukaan yang licin serta ulet untuk gerakan. Membran

sinovial melapisi dinding dalam kapsula fibrosa dan mensekresikan cairan

kedalam ruang antara-tulang.

Cairan sinovial ini berfungsi sebagai peredam kejut (shock absorber) dan

pelumas yang memungkinkan sendi untuk bergerak secara bebas dalam arah yang

tepat. Sendi merupakan bagian tubuh yang sering terkena inflamasi dan

degenerasi yang terlihat pada penyakit nyeri sendi.Meskipun memiliki keaneka

ragaman mulai dari kelainan yang terbatas pada satu sendi hingga kelainan multi

sistem yang sistemik, semua penyakit reumatik meliputi inflamasi dan degenerasi

dalam derajat tertentu yang biasa terjadi sekaligus. Inflamasi akan terlihat pada

persendian yang mengalami pembengkakan. Pada penyakit reumatik inflamatori,

inflamasi merupakan proses primer dan degenerasi yang merupakan proses

sekunder yang timbul akibat pembentukan pannus (proliferasi jaringan sinovial).

Inflamasi merupakan akibat dari respon imun.

Sebaliknya pada penyakit nyeri sendi degeneratif dapat terjadi proses

inflamasi yang sekunder.pembengkakan ini biasanya lebih ringan serta


menggambarkan suatu proses reaktif, dan lebih besar kemungkinannya untuk

terlihat pada penyakit yang lanjut. Pembengkakan dapat berhubungan dengan

pelepasan proteoglikan tulang rawan yang bebas dari karilago artikuler yang

mengalami degenerasi kendati faktor-faktor imunologi dapat pula terlibat

(Brunner & Sudarth, 2002).

2.2.4 Klasifikasi sendi


1. Jenis sendi menurut Permukaannya :
a. Sendi Pelana
Sendi ini permukaannya hampir datar yang memungkinkan tulang saling

bergeser. misalnya sendi pelana, art.Strenoklavikular dan art.

Akromioklavikular, persendian yang terdapat pada bahu.

b. Sendi engsel
Mirip engsel pintu sehingga memungkinkan gerakan fleksi dan ekstensi. Suatu

permukaan bundar diterima oleh yang lain sehingga gerakan hanya dalam satu

bidang dan dua arah. misalnya, sendi siku dan sendi lutut

c. Sendi kondiloid
Permukaan sendi berbentuk konveks yang nyata dan bersendi dengan

permukaam yang konkaf seperti sendi engesel tapi bergerak dengan dua bidang

dan empat arah ( Fleksi, ekstensi, abdukasi, dan addukaasi) disertai sedikit

gerakan rotasi misalnya Metakarpofalangeal dan interfalangeal

d. Sendi elipsoid
Permukaan sendi berbentuk konveks elips dengan permukaan sendi konveks

elips, pergerakan ( flekso, ekstensi, abduksi, dan addukasi) dapat dilakukan

tetapi rotasi tidak mungkin Misalnya sendi ibu jari

e. Sendi peluru
Kepala sendi berbentuk bola, apada salah satu tulang cocok dengan lekuk

sendi yang berbentuk seperti soket. Bongkol sendi tepat masuknya pada

mangkok sendi. Gerakan dapat diberikan ke seluruh arah dengan pergerakan

yang sangat bebas Misalnya sendi bahu dan sendi panggul

f. Sendi pasak
Pada sendi ini terdapat pasak dikelilingi cincin ligamentum bertulang. Hanya

satu gerakan yang dapat dilakukan yaitu rotasi misalnya atlas. Bentuk cincin

berputar di atas prosesus odontoid dan gerakan radius di sekitar ulna. Pronasi

dan supinasi disebut juga sendi berporos atau sendi putar .

g. Sendi pelanan (sendi timbal balik)


Berbentuk pelanan kuda, dapat melakukan gerakan ( fleksi, ekstensi, abduksi

dan rotasi) yang dapat memberi banyak kebebasan untuk bergerak

Misalnya ibu jari dapat berhdapan dengan jari yang lain karpometakarpal ibu

jari.

2. Pembagian sendi menurut pergerakannya

a. Sendi fibrus (sinartrosis), sendi yang tidak bergerak sama sekali

1) Sutura : Persambungan tulang bergerigi, tepi tulang dihubungkan oleh

jaringan ikat yang tipis di antara tulang tengkorak

2) Skindilosis: Suatu lempeng tulang yang terjepit dalam celah tulang yang

lain. Misalnya persambungan antara os maksilaris, kedua os palatum, dan

os etmoidalis dengan os femuris.

3) Komposis : Tulang yang satu bentuk kerucut, masuk ke dalam lekuk yangs

esuai dengan betuk dari tulang yang lain. Misalnya antara gigi dan alveoli

dari os maksilaris dan os mandibularis


4) Skindrosis: Tempat jaringan penghubung sendi, terdiri dari tulang rawan.

Misalnya antara epifise dengan diafase pada orang dewasa antara kedua

osssa pubika.

b. Amfiartrosis

Suatu sendi pergerakan nya sedikit sekali kqarena komponen sendi tidak

cukup dan permukaan dilapisi oleh bahan yang memungkinkan sendi

sednikit. Misalnya sendi antara manubrium sterni dan korpus sterni serta

sendi antara tulang vertebrae.

c. Diartrosis (sendi sinovial)

Sendi dengan pergerakan bebas. Permukaan sendi diliputi oleh lapisan

tipis rawan hialin dipisahkan rongga sendi. Susunan ini memungkinkan

sendi bergerak bebas. Rongga sendi dibatasi oleh membran sinovial yang

berjalan dari tepi permukaan sendi ke permukaan sendi yang lain.

Kebanyakan ligamentum terleta diluar kapsula sndi dan pada lutut. Bebrapa

ligamentum yang penting trletak dalam kapsula. Alat alat khusus yang mliputi

sendi :

a) Labium artikulare (bibir sendi)

b) Disci dan mesei artikularis:alat untuk menjaga dan mengurangi

liskongruensi di antara ujung-ujung yang bersendi

c) Bursa mukosa di sekitar sendi yang berhubungan dengan ronggga sendi

untuk memudahkan gerakan sendi.

d) Ligamentum: Alat dari simpai sedni tetapi kemudian terpisah dari sampai

sendi
3. Persendian menurut tempatnya

a. Sendi anggota gerak atas

1) Sendi pergelangan bahu

a) Art. Sternoklavikular : Hubungan antara gelang bahu dan

batang badan, antara pars sternalis klavikula dan manubrium

streni rawan iga I, sebelah atas berhubungan dengan

klavikula dan sebelah bawah dengan strenum.

b) Art. Akromioklavikular sendi ini merupakan hubungan antara

ekstremitas akrominalis dan klavikula.

c) Art. Humeri merupakan sendi peeluru karena kaput humeri

merupakan sebuah bola yang melekat pada bagian dalam

bidang skapula dengan kaput humeri.

2) Sendi siku (artikulasio kubiti) merupakan artikulosiokimposita.

Pada sumbu ini bertemu humerus, ula, dan radius. Sedangkan

menurut faalnya sendi ini merupakan suatu sendi engsel dengan

tiga bagian (art. Humeroulnaris, art. Humeroradialis, art.

Radioulnaris proksimal)
3.2 Konsep Nyeri
3.2.1 Pengertian
Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan tidak menyenangkan bersifat

sangat subjektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang dalam hal skala

atau tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau

mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya. Munculnya nyeri berkaitan erat dengan

reseptor dan adanya rangsangan. Reseptor nyeri yang dimaksud adalah nociceptor

merupakan ujung-ujung saraf sangat bebas yang memiliki sedikit atau bahkan

tidak memiliki myelin yang tersebar pada kulit dan mukosa khususnya pada

visera, persendian, dinding arteri, hati dan kandung empedu. Reseptor nyeri dapat

memberikan respons akibat adanya stimulasi atau rangsangan. Stimulasi tersebut

dapat berupa zat kimiawi seperti histamine, bradikinin, prostaglandin dan macam-

macam asam yang dilepas apabila terdapat kerusakan pada jaringan akibat

kekurangan oksigenasi. Stimulasi yang lain dapat berupa termal, listrik, atau

mekanis (Resmi, 2018).

Nyeri merupakan perasaan tidak nyaman, baik ringan maupun berat yang

hanya dapat dirasakan oleh individu tersebut tanpa dapat dirasakan oleh orang

lain, mencakup pola pikir, aktivitas seseorang secara langsung, dan perubahan

hidup seseorang. Nyeri merupakan tanda dan gejala penting yang dapat

menunjukkan telah terjadinya gangguan fisiologis (Priyoto, 2015).

2.3.2 Penyebab Nyeri

Individu yang merasa nyeri akan mencari obat meredakan ke tidak

nyamanan. Menentukan penyebab nyeri adalah kunci utama, sehingga terpi yang

efektif dapat dimulai dengan segera. Penyebab nyeri beragam, dan kadang kala
pasti penyebab nyeri mungkin sulit atau tidak mungkin ditentukan. Tanpa

memperhatikan penyebab, asuhan keperawatan diarahkan pada upaya meredakan

nyeri dan memberikan kenyamanan melalui pemberian obat.

Beberapa faktor dapat memulai respon nyeri. Penyebab fisik mencakup

stress mekanis dan trauma ,insisi bedah atau pertumbuhan tumor. Tubuh berespon

dengan nyeri dan ketidaknyamanan terhadap kelebihan tekanan, panas dan dingin

dan zat kimia tertentu yang dilepaskan ketika jaringan mengalami kerusakan atau

kehancuran. Kekurangan oksigen pada jaringan juga menyebabkan nyeri dan

ketidaknyamanan. Saat ketidaknyamanan meningkatkan, respon alami tubuh

adalah mengencangkan otot lebih lanjut, yang menekan adanya masalah.

Keletihan, kekuatan terhadap sesuatu yang tidak diketahui, dan kurangnya

pengetahuan tentang penatalaksanaan nyeri dapat menyebabkan pengencangan

otot lebih lanjut (Rosdhal, 2017)

Skema 2.2 Proses nyeri

Terjadi cedera atau serangan lain

yang menyebabkan nyeri

Ketakutan, stress, konflik,

ambang batas nyeri

yang rendah

Nyeri Ketegangan otot

Kurangnya pengetahuan

Memicu munculnya nyeri

Yang lebih hebat.


Keletihan membuatnya sulit

untuk mengatasi nyeri

Sumber : Rosdhal, 2017

2.3.3 Transmisi Nyeri

Istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan transmisis nyeri normal dan

interprestasinya adalah nosisepsi. Nosisepsi memiliki 4 fase :

a) Transduksi : Sistem saraf mengubah stimulus nyeri dalam ujung saraf


menjadi implus
b) Transmisi : Implus berjalan dari tempat awalnya ke otak

c) Persepsi : Otak mengenali, mendefinisikan, dan berespons terhadap


nyeri
d) Modulasi : Tubuh mengaktivasi respons inhibator yang diper terhadap
efek nyeri (Rosdhal, 2017)

2.3.4 Jenis nyeri

Diantara kategori ini adalah nyeri akut, nyeri ahli, nyeri kanker, dan nyeri

kronis :

a. Nyeri akut biasanya merupakan sensasi yang terjadi secara mendadak,

paling sering terjadi sebagai respons terhadap beberapa jenis trauma

Penyebab umum nyeri akut adalah taruma akibat kecelakaan , infeksi,

dan pembedahan.

b. Nyeri ahli adalah nyeri berasal dari satu bagian tubuh, tetapi

dipersepsikan di bagian tubuh lain,Nyeri alih paling sering berasal

dari dalam visera(organ internal )

c. Nyeri kanker adalah hasil beberapa jenis keganasan .Sering kali, nyeri
kanker sangat hebat dan dapat hdianggap intractable(tidak dapat

diatasi)dan kronis

d. Nyeri kronis (juga disebut nyeri neuropatik) didefiniskan sebagai

ketidaknyamanan yang berlangsung dalam periode waktu lama (6

bulan atau lebih )dan dapat terjadi seumur hidup klien.Efek nyeri

kronis dapat mengganggu gaya hidup dan tampilan seseorang

,terutama jika penyebab nyeri tidak diketahui. (Rosdhal, 2017)

2.3.5 Faktor yang mempengaruhi persepsi nyeri :

Pengalaman nyeri pada seseorang dapat dipengaruhi oleh bebrapa

hal,diantaranya sebagai berikut :

a. Arti nyeri bagi seseorang memiliki banyak perbedaan dan hampir

sebagian arti nyeri merupakan arti yang negatif seperti: membahayakan,

merusak dan lain-lain. Keadaan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor

seperti: usia, jenis kelamin, latar belakang sosial budaya, lingkungan,

dan pengalaman.

b. Persepsi nyeri merupakan penilaian yang sangat subjektif tempatnya

pada korteks (pada fungsi evaluatif kognitif). Persepsi ini dipengaruhi

oleh faktor yang dapat memicu stimulasi nociceptor.

c. Toleransi nyeri, ini erat hubungannya dengan intensitas nyeri yang

dapat memengaruhi kemampuan seseorang menahan nyeri. Faktor yang

dapat memengaruhi peningkatan toleransi nyeri antara lain alkohol,

obat-obatan, hipnotis, gesekan atau garukan, pengalihan perhatian,

kepercayaan yang kuat, dan sebagainya. Sementara itu, faktor yang


menurunkan toleransi antara lain: kelelahan, rasa marah, bosan, cemas,

nyeri yang tidak kunjung hilang dan lain-lain.

d. Reaksi terhadap nyeri merupakan bentuk respons seseorang terhadap

nyeri, seperti ketakutan, gelisah, cemas, menangis, dan menjerit. Semua

ini merupakan bentuk respons nyeri yang dapat dipengaruhi oleh

beberapa faktor seperti arti nyeri, tingkat persepsi nyeri, pengalaman

masa lalu, nilai budaya, harapan sosial, kesehatan fisik dan mental, rasa

takut, cemas, usia dan lain-lain. (Resmi, 2018)

2.3.6 Pengukuran Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan

oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri bersifat sangat subjektif dan nyeri

dalam intensitas yang sama dirasakan berbeda oleh dua orang yang berbeda.

Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah

menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri, namun

pengukuran dengan pendekatan objektif juga tidak dapat memberikan gambaran

pasti tentang nyeri itu sendiri.

Gambar 2.2 Skala Nyeri

0 : Tidak ada rasa sakit. Merasa normal.


1 : Nyeri hampir tidak terasa (sangat ringan) seperti gigitan nyamuk.

2 : Tidak menyenangkan (nyeri ringan) seperti dicubit.

3 : Bisa ditoleransi (nyeri sangat terasa) seperti ditonjok bagian

wajah atau disuntik.

4 : Menyedihkan (kuat, nyeri yang dalam) seperti sakit gigi dan nyeri

disengat tawon.

5 : Sangat menyedihkan (kuat, dalam, nyeri yang menusuk) seperti

terkilir, keseleo.

6 : Intens (kuat, dalam, nyeri yang menusuk begitu kuat sehingga

tampaknya mempengaruhi salah satu dari panca indra menyebabkan

tidak fokus dan komunikasi terganggu.

7 : Sangat intens (kuat, dalam, nyeri yang menusuk begitu kuat) dan

merasakan rasa nyeri yang sangat mendominasi indra sipenderita

yang menyebabkan tidak bisa berkomunikasi dengan baik dan tidak

mampu melakukan perawatan sendiri.

8 : Benar-benar mengerikan (nyeri yang begitu kuat) sehingga

menyebabkan sipenderita tidak dapat berfikir jernih, dan sering

mengalami perubahan kepribadian yang parah jika nyeri datang dan

berlangsung lama.

9 : Menyiksa tak tertahankan (nyeri yang begitu kuat) sehingga

sipenderita tidak bisa mentoleransinya dan ingin segera

menghilangkan nyerinya bagaimanapun caranya tanpa peduli

dengan efek samping atau resikonya.


10 : Sakit yang tidak terbayangkan tidak dapat diungkapkan (nyeri

begitu kuat, tidak sadarkan diri) biasanya pada skala ini penderita

tidak lagi merasakan nyeri karena sudah tidak sadarkan diri akibat

rasa nyeri yang sangat luar biasa seperti pada kasus kecelakaan

parah, multifraktur (Resmi, 2018)

2.3.7 Manajemen Nyeri

a. Manajemen Non Farmakologi

Manajemen nyeri nonfarmakologi merupakan tindakan menurunkan

respon nyeri tanpa menggunakan agen farmakologi. Memodifikasi

stimulus nyeri dengan menggunakan teknik-teknik seperti:

1. Teknik latihan pengalihan

Yaitu menonton televisi, berbincang-bincang dengan orang lain,

mendengarkan musik.

2. Teknik relaksasi

Menganjurkan pasien untuk menarik nafas dalam dan mengisi

paru-paru dengan udara, menghembuskannya secara perlahan,

melemaskan otot-otot tangan, kaki, perut, dan punggung serta

mengulangi hal yang sama sambal terus berkonsentrasi hingga

didapat rasa nyaman, tenang, dan rileks.

3. Stimulasi kulit
Yaitu menggosok dengan halus pada daerah nyeri, menggosok

punggung menggunakan air hangat dan dingin, memijat dengan air

mengalir.

Manajemen nyeri nonfarmakologi merupakan tindakan

menurunkan respon nyeri tanpa menggunakan agen farmakologi.

Memodifikasi stimulus nyeri dengan menggunakan teknik-teknik

seperti:

4. Teknik latihan pengalihan

Yaitu menonton televisi, berbincang-bincang dengan orang lain,

mendengarkan musik.

5. Teknik relaksasi

Menganjurkan pasien untuk menarik nafas dalam dan mengisi

paru-paru dengan udara, menghembuskannya secara perlahan,

melemaskan otot-otot tangan, kaki, perut, dan punggung serta

mengulangi hal yang sama sambal terus berkonsentrasi hingga

didapat rasa nyaman, tenang, dan rileks.

6. Stimulasi kulit

Yaitu menggosok dengan halus pada daerah nyeri, menggosok

punggung menggunakan air hangat dan dingin, memijat dengan air

mengalir.

b. Manajemen Farmakologi

Manajemen nyeri farmakologi merupakan metode yang menggunakan

obat-obatan dalam praktik penanganannya. Cara dan metode ini


memerlukan instruksi dari medis. Jenis analgesiknya adalah narkotik

dan bukan narkotik. Jenis narkotik digunakan untuk menurunkan

tekanan darah dan menimbulkan depresi pada fungsi vital, seperti

respirasi. Jenis bukan narkotik yang paling banyak dikenal

dimasyarakat adalah aspirin, asetaminofen, dan bahan antiimflamasi

nonsteroid.

2.3.8 Pengkajian Nyeri

Pengkajian pada masalah nyeri yang dapat dilakukan adalah adanya riwayat

nyeri: keluhan nyeri seperti lokasi nyeri, intensitas nyeri, kualitas dan waktu

serangan. Pengkajian dapat dilakukan dengan cara PQRST:

P (Paliatif), yaitu faktor yang mempengaruhi gawat atau ringannya nyeri.

Q (Quality), dari nyeri seperti apakah rasa tajam, tumpul, atau tersayat.

R (Region), yaitu daerah perjalanan nyeri

S (Serverity), yaitu keparahan atau intensitas nyeri.

T (Time), yaitu lama atau waktu serangan atau frekuensi nyeri.

Perencanaan Keperawatan

a. Mengurangi dan membatasi faktor-faktor yang menambah nyeri,

menggunakan berbagai teknik inovasi untuk memodifikasi nyeri yang

alami.

b. Menggunakan cara-cara untuk mengurangi nyeri yang optimal, seperti

memberikan sesuai dengan program yang ditentukan.

2.3.9 Pelaksanaan Keperawatan


a. Mengurangi faktor yang dapat menambah nyeri misalnya

ketidakpercayaan, kesalahpahaman, ketakutan, kelelahan, dan

kebosanan.

b. Memodifikasi stimulasi nyeri dengan menggunakan teknik-teknik

seperti:

1. Latihan penglihatan seperti: menonton televisi, berbincang dengan

orang lain, mendengarkan musik.

2. Teknik relaksasi seperti: menganjurkan pasien untuk menarik nafas

dalam dan mengisi paru-paru dengan udara, menghembuskannya

secara perlahan, melemaskan otot-otot tangan, kaki, perut, dan

punggung serta mengulangi hal yang sama sambil terus

berkonsentrasi hingga didapat rasa nyaman, tenang dan rileks.

3. Stimulasi kulit seperti:

a. Menggosok dengan halus pada daerah nyeri

b. Menggosok punggung

c. Menggunakan air hangat dan dingin dan Memijat dengan air

mengalir.

c. Pemberian analgetik.

3.3 Tindakan dilakukan


3.3.1 Minyak Cengkeh
3.3.1.1 Pengertian
Cengkeh merupakan tumbuhan asli indonesia yang berasal dari

wilayah Maluku Utara. Cengkeh termasuk tumbuhan perdu, batangnya

mempunyai diameter yang besar, berkayu keras dan tinggi pohonnya


mencapai 30 m. Cabang cabangnya cukup banyak dan panjang, dipenuhi

oleh ranting ranting kecil. Mahkota cengkeh berbentuk kerucut. Daun

cengkeh berwarna hijau berbentuk bulat telur memanjang, dengan ujung

dan pangkal menyudut. Lebar daun 2-3 cm dan panjangnya 7,5 -12,5 cm.

Bunga dan buah cengkeh tumbuh pada ujung ranting daun, pendek

dan bertandan. Bunga cengkeh tumbuh pada ujung ranting daun, pendek

dan bertandan. Bunga cengkeh inilah yang banyak dimanfaatkan sebagai

bahan pengobatan tradisional. Pada waktu masih muda, bunga cengkeh

berwarna ungu, Kemudian berubah menjadi kuning kehijauan. Apabila

sudah tua, waran buah cengkeh berubah menjadi merah.

Bunga cengkeh ini dipanen saat telah masak, setelah itu dikeringkan

dengan cara dijemur di bawah terik matahari langsung. Bunga cengkeh

kering berwarna cokelat kehitaman, rasanya khas dan pedas. Bunga

cengkeh ini banyak mengandung minyak atsiri, euganol, asam galotanat,

fenilin, karyofilin, resin, dan gom. Oleh karena banyaknya zat zatyang

terkandung di dalamnya, bunga cengkeh sangat bermanfaat untuk

mengatasi beragam penyakit. Zat eugwnol digunakan untuk menagani

syaraf gigi.
2.4.2 Minyak Jahe

2.4.2.1 Pengertian

Jahe (Zingiber officinale), telah dikenal secara luas oleh masyarakat

Indonesia. Jahe diduga berasal dari daerah Cina selatan, dan saat ini

dibudidayakan secara luas di daerah tropik dan sub tropik. Sampai saat ini India

adalah produsen utama jahe, dengan luas panen sekitar 50% dari luas panen Jahe

dunia. Jahe dikebunkan secara luas di beberapa kawasan di Indonesia, termasuk

dalam perkebunan sebagai tanaman tumpang sari dan tanaman sela dalam

program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Di beberapa tempat lainnya,

jahe ditanam terbatas untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Jahe bahkan

tumbuh di kebun-kebun secara liar (De Guzman & Siemonsma. 1999; Rostiana et

al., 2005; Duke et al., 2012).

Rimpang jahe sudah digunakan oleh manusia sejak lama sebagai anti-

inflamantori, peluruh kentut (carminative) dan mempunyai daya anti-mikrobial.

Total kekuatan antioksidan sebagaimana diukur dalam oxygen radical absorbance

capacity (ORAC) dari rimpang jahe adalah sebesar 14840 μmol TE/100 g. Hal ini

menjadikan jahe sebagai herba penting dalam kesehatan. Jahe merah mempunyai

kandungan minyak atsiri tertinggi dan digunakan untuk berbagai macam

pengobatan, antara lain adalah rematik, influenza, asma, masuk angin, dan radang

tenggorokan.

Gingerol yang terdapat dalam rimpang jahe dapat membantu

meningkatkan motilitas intestinal dan diketahui berperan sebagai agen anti-

inflammatory, meredakan nyeri (analgesic), anti-piretik dan anti-bakterial.

Berbagai studi melaporkan bahwa gingerol dapat meredakan rasa mual dan dapat
menyembuhkan sakit kepala dan migraine (Thomas, 1989; Shukla & Singh,

2016).

Penelitian para ahli menyebutkan bahwa zingerone, suatu senyawa kimia

yang memberikan karakter pedas terhadap rimpang jahe, sangat efektif dalam

melawan E.coli yang menyebabkan diare, khususnya pada anak-anak. Karena itu,

ada sekelompok masyarakat yang memanfaatkan Jahe sebagai obat diare

(Thomas, 2017).

2.4.2.2 Jenis jahe.

a. Jahe Kuning

Jahe kuning mempunyai ciri rimpang yang berwarna kuning emas. Berukuran

lebih besar dan gemuk, terlihat menggembung dibandingkan dengan jahe putih

dan jahe merah. Jahe kuning bisa dipanen saat berumur muda ataupun tua, dan

baik dikonsumsi dalam bentuk segar maupun olahan.

b. Jahe Putih

Jahe putih memiliki akar rimpan yang beruas kecil dan hanya sedikit

menggembung. Jahe putih dipanen setelah umurnya sudah tua. Minyak atsiri

yang terdapat di jahe putih lebih banyak dibanding dengan jahe kuning,

sehingga rasanya lebih tajam dan pedas. Jahe jenis ini digunakan sebagai

ramuan obat herbal.

c. Jahe Merah

Jahe merah memiliki akar rimpang berwarna merah. Ukurannya lebih kecil

dibandingkan dengan jahe kuning dan jahe putih. Seperti halnya jahe putih,

jahe merah baik dipanen setelah umumnya sudah tua. Jahe merah juga
memiliki kandungan minyak atsiri dalam umlah banyak sehingga banyak

dimanfaatkan sebagai ramuan obat herbal.

2.4.2.2 Deskripsi Tanaman Jahe Merah


Jahe merah (Zingiber officinale Rosc. var. rubrum) adalah tumbuhan

tahunan yang memiliki tinggi 50-100 cm. Rimpang jahe merah tebal berwarna

coklat kemerahan. Daunnya sempit berbentuk lanset dengan panjang 5-25 cm dan

lebar 8- 20 mm. Ujung daunnya runcing, pangkal tumpul dan bertepi rata.

Tumbuhan ini berbunga majemuk dengan bentuk bulat telur, muncul dari

rimpang, dengan panjang tangkai 10-25 cm, terdapat daun kecil pada dasar bunga.

Mahkota bunga dari jahe merah berbentuk corong dengan panjang 2-2,5 cm

berwarna ungu tua dengan bercak krem-kuning. Kelopak bunganya kecil

berbentuk tabung dan bergerigi tiga (Ross 2001).

2.5.1 Minyak atsiri jahe


merah

Kandungan dari jahe

merah sangat banyak dan

bervariasi tergantung

pada tempat asal penanaman jahe merah, iklim saat panen, spesies jahe,

kematangan rimpang, dan tergantung rimpangnya segar atau kering dan metode

persiapan ekstrak (Ali et al. 2008; Bartels et al. 2015). Materia medica

melaporkan minyak atsiri yang terkandung adalah sebanyak 1-3% pada tiap

rimpang jahe merah.


Minyak atsiri tersebut bermanifestasi pada bau jahe yang berkarakteristik

tajam dan pedas. Pada minyak atsiri terkandung sesquiterpenoid (seperti

zingiberene, α-curcumene, β-bisabolene, α-farnesene), monoterpenoid (seperti β-

sesquiphellandrene dan camphene), konsep fenolik dari aroma jahe merah yang

tajam (gingerol dan shogaol sebanyak 5-8 %), lechitin, protein, zat tepung (60%),

vitamin, mineral dan lain-lain (Ali Hasan 2012; Ali et al. 2008; Young et al.

2006).

2.5.2 Efek Antiinflamasi dan Antirematik

Salah satu tanda adanya inflamasi adalah peningkatan oksigenasi dari

asam arakhidonat yang dimetabolisme melalui dua jalur enzim yaitu

cyclooxygenase dan 5-lipoxygenase sehingga menghasilkan prostaglandin dan

leukotrin.

Pada penelitian sebelumnya bahwa dua inhibitor cyclooxygenase dan 5-

lipoxygenase memiliki riwayat terapeutik lebih baik dan efek samping yang lebih

sedikit dibandingkan dengan NSAIDs (Funk et al. 2016). Jahe juga

mempengaruhi TNF (Tumor Necrosis Factor), zat yang diduga menjadi penyebab
degradasi pada tulang rawan sendi (Leach & Kumar 2008). Demikian maka dapat

disimpulkan bahwa pemberian jahe dapat memperlambat kerusakan daerah sendi

sekaligus menurunkan tanda dan gejala osteoarthritis sebagai akibat dari

terjadinya proses inflamasi. Pada beberapa kasus retrospektif, penggunaan jahe

dapat mengurangi gejala inflamasi dan gejala rematik pada klien (Thomson et al.

2002). Bahkan sebagian dari laporan tersebut melaporkan penurunan penggunaan

obat-obat antiarthritis (Masoud et al. 2005). Pada penanganan rheumatoid arthritis

atau osteoarthritis, dosis yang dianjurkan 510-1000 mg/hari serbuk jahe (Leach &

Kumar 2008).

Pada penelitian yang telah dilakukan oleh Leach & Kumar (2008)

pemberian ekstrak jahe 1 gr/ hari selama 4 minggu lebih efektif dibandingkan

dengan placebo dan sama efektifnya dengan ibuprofen dalam meredakan nyeri

pada osteoarthritis. Pada pemakaian luar untuk klien dengan arthritis dianjurkan

untuk menumbuk 2 ruas jahe sampai halus kemudian ditambahkan dengan sedikit

air hingga berbentuk adonan untuk kemudian ditempelkan pada bagian yang

terasa sakit (Mentri Kesehatan Republik Indonesia 2008).

2.6 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Nyeri sendi Terhadap


Minyak atsiri Jahe lansia
merah dan Cengkeh

Skema 2.1 Kerangka Konsep Penelitian


2.7 Hipotesis Penelitian

Ha :

Anda mungkin juga menyukai