PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Fery Efendi dan Makhfudli, 2009, seseorang dikatakan lanjut usia apabila
usianya 65 tahun ke atas dan merupakan tahap lanjut dari proses kehidupan yang ditandai
dengan penurunan kemampuan tubuh beradaptasi terhadap lingkungan. Penurunan
kemampuan ini berkaitan dengan penurunan kepekaan terhadap perubahan lingkungan.
Perubahan lingkungan yang buruk tambah memperberat lansia untuk beraktivitas. Sedangkan
Rahayu (2010) menjelaskan bahwa lanjut usia (lansia) adalah proses yang dialami oleh semua
orang. Penampakannya tidak sama pada setiap orang. Pada usia 60 tahun ada yang tampak
seperti usia 40 tahun dan ada yang seperti 80 tahun. Perbedaan ini disebabkan oleh tingkat
kesehatan fisik dan psikis serta faktor lingkungan seperti polusi, dataran tinggi dan gaya hidup
di mana ada yang hidup santai dan ada yang hidup aktif ,Proses penuaan menyebabkan
banyak perubahan pada komposisi tubuh dan fungsi psikologis lansia. Hal ini disebabkan
penurunan kekuatan otot, keseimbangan, daya tahan, dan kemampuan aerobik. Permasalahan
pada panca indra juga mengakibatkan menurunnya refleks pada lansia. Akibatnya lansia
memiliki risiko jatuh lebih tinggi daripada usia muda (Efendi dan Makhfudli, 2009) .
WHO memperkirakan tahun 2025 jumlah lansia di seluruh dunia akan mencapai 1,2
miliar orang yang akan terus bertambah hingga 2 miliar orang di tahun 2050. Data WHO juga
memperkirakan 75% populasi lansia di dunia pada tahun 2025 berada di negara berkembang
(WHO, 2008).
Salah satu indikator kemajuan suatu negara adalah meningkatnya angka usia harapan
hidup, sehingga pertumbuhan jumlah penduduk lansia meningkat dari tahun ke tahun.
Permasalahan pada lansia terutama terletak pada masalah kesehatan. Hal ini disebabkan
karena penurunan kapasitas fisik dan kemampuan fungsional yang disebabkan proses alamiah
dan penyakit degeneratif yang memerlukan biaya perawatan yang tinggi (Saputra, 2012).
Data statistik 2009 menunjukan bahwa lansia laki-laki meninggal akibat jatuh, 34 %
lebih banyak daripada lansia wanita. Tetapi lansia wanita memiliki risiko patah tulang akibat
jatuh dua kali lebih tinggi daripada lansia laki-laki. Jatuh juga merupakan penyebab utama
cedera pada kepala lansia. Data mencatat 46 % cedera kepala berat dialami oleh lansia akibat
1
2
jatuh (Jones dan Bartlett, 2015). Di Indonesia tercatat dari 115 penghuni panti asuhan 30
lansia atau 43 % mengalami jatuh (Darmojo, 2004). Sebagian besar jatuh pada lansia terjadi
pada saat lansia berjalan. Hal tersebut diperparah oleh pengalaman pernah jatuh sehingga
lansia takut untuk melangkah. Angka jatuh pada lansia tersebut membuat perlu dipelajari
faktor-faktor yang mempengaruhi jatuh pada lansia. Faktor- faktor yang mempengaruhi jatuh
pada lansia adalah kelemahan otot, pengalaman pernah jatuh, efek samping dari empat atau
lebih obat-obatan, penggunaan alat bantu, arthritis, depresi, usia di atas 80 tahun, dan
permasalahan saat jalan yang dipengaruhi oleh keseimbangan, kesadaran, pengelihatan,
aktivitas sehari-hari. Menurut beberapa penelitian sebagian besar lansia jatuh pada saat
berjalan. Pada lanjut usia terjadi perubahan pola jalan, di mana amplitudo dan kecepatannya
berkurang (Kane et al., 2004).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian risiko jatuh pada lansia ?
2. Bagaimana faktor yang mempengaruhi risiko jatuh pada lansia ?
3. Bagaimana dampak jatuh pada lansia ?
4. Bagaimana pencegahan jatuh pada lansia ?
C. Tujuan
Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan:
1. Pengertian jatuh pada lansia
2. Faktor yang mempengaruhi risiko jatuh
3. Dampak jatuh pada lansia
4. Pencegahan jatuh pada lansia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Risiko jatuh (risk for fall) merupakan diagnosa keperawatan berdasarkan North
American Nursing Diagnosis Association (NANDA), yang didefinisikan sebagai peningkatan
kemungkinan terjadinya jatuh yang dapat menyebabkan cedera fisik (Wilkinson, 2005).
Jatuh merupakan suatu kondisi dimana seseorang tidak sengaja tergeletak di lantai,
tanah atau tempat yang lebih rendah, hal tersebut tidak termasuk orang yang sengaja
berpindah posisi ketika tidur (WHO, 2007).
3
4
d) Otot
Perubahan struktur otot karena penuaan bervariasi pada masing – masing orang.
Perubahan tersebut meliputi penurunan jumlah dan ukuran serabut otot, atropi
pada beberapa serabut otot dan hipertropi pada beberapa serabut otot yang lain,
peningkatan jaringan lemak dan jaringan penghubung dan lain-lain
mengakibatkan efek negatif. Efek tersebut adalah penurunan kekuatan, otot
penurunan fleksibilitas otot, perlambatan waktu reaksi dan penurunan kemampuan
fungsional (Bonder & Wagner, 1994).
e) Sendi
Jaringan ikat disekitar sendi seperti tendon, ligamen dan fasia pada lansia
mengalami penurunan elastisitas. Ligamen, kartilago dan jaringan partikular
mengalami penurunan daya lentur dan elastisitas. Terjadi degenerasi, erosi dan
kalsifikasi pada kartilago dan kapsul sendi sehingga sendi kehilangan
fleksibilitasnya yang berdampak pada penurunan luas gerak sendi dan
menimbulkan kekakuan sendi.
2) Sistem Saraf
Penuaan menyebabkan penurunan persepsi sensorik dan respons motorik pada
susunan saraf pusat dan penurunan reseptor proprioseptif, hal ini menyebabkan
terjadinya gangguan koordinasi dan kemampuan dalam beraktivitas pada lansia. Hal
ini terjadi karena susunan saraf pusat pada lansia mengalami perubahan morfologis
dan biokimia. Akson, dendrit dan badan sel saraf banyak yang mengalami kematian,
sedangkan yang hidup mengalami perubahan. Dendrit yang berfungsi untuk
komunikasi antar sel saraf mengalami perubahan menjadi lebih tipis dan kehilangan
hubungan dengan sel saraf lain. Daya hantar saraf mengalami penurunan 10 %
sehingga gerakan menjadi lamban. Akson dalam medula spinalis menurun 37 %
(Timiras & Maletta, 2008). Kondisi tersebut mengakibatkan penurunan fungsi
kognitif, koordinasi, keseimbangan, kekuatan otot, refleksi, proprioseptif, perubahan
postur dan peningkatan waktu reaksi. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian latihan
koordinasi dan keseimbangan serta latihan untuk menjaga mobilitas dan postur (Sri
Surini & Utomo, 2002). Latihan untuk menjaga dan mengoptimalkan kebugaran
lansia juga harus diberikan untuk memaksimalkan kondisi sistem saraf lansia.
6
3) Sistem kardiovakuler
Massa jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertrofi dan kemampuan
peregangan jantung berkurang karena perubahan pada jaringan ikat katup jantung
mengalami fibrosis. Sinoatrial node (SA node) dan jaringan konduksi berubah
menjadi jaringan ikat. Kemampuan arteri dalam menjalankan fungsinya berkurang
sampai 50%. Pembuluh darah kapiler mengalami penurunan elastisitas dan
permeabilitas. Terjadi perubahan fungsional berupa kenaikan tahanan vaskular
sehingga menyebabkan peningkatan takanan sistole dan penurunan perfusi jaringan
(Timiras & Navazio, 2008). Curah jantung (cardiac output) menurun akibat
penurunan denyut jantung maksimal dan volume sekuncup. Respon vasokontriksi
untuk mencegah terjadinya penumpukan darah (poling of bload) menurun, sehingga
respon terhadap hipoksia menjadi lambat. Konsumsi oksigen pada tingkat maksimal
(VO2 maksimum) berkurang, sehingga kapasitas vital paru menurun. Latihan
berguna untuk meningkatkan VO2 maksimum, mengurangi tekanan darah dan berat
badan (Timiras & Navazio, 2008 ).
4) Sistem Indera
Semua sistem indera yang berhubungan dengan keseimbangan statik dan dinamik
akan menurun bersamaan dengan menurunnya usia, seperti penglihatan (visual) dan
vestibular. Perubahan pada sistem penglihatan (visual) menyebabkan cahaya yang
dihantar ke retina berkurang sehingga ambang visual meningkat dan daya adaptasi
terang-gelap menurun, ketajaman penglihatan serta jarak pandang menurun.
Penurunan tajam penglihatan pada lansia disebabkan oleh katarak, degenerasi
makuler dan penglihatan perifer yang menghilang. Pada sistem vestibular terjadi
degenerasi sel-sel rambut dalam makula dan sel saraf. Karena kondisi tersebut lansia
akan kesulitan memperkirakan jarak dan memposisikan kepala pada garis
keseimbangan sehingga sering terjadi gangguan keseimbangan fungsional pada
lansia (Sri Surini & Utomo, 2002 ).
b. Kekuatan Otot
Kekuatan otot adalah kekuatan suatu otot atau group otot yang dihasilkan untuk
dapat melawan tahanan dengan usaha yang maksimum. Kekuatan otot diperlukan saat
melakukan aktivitas. Semua gerakan yang dihasilkan merupakan hasil dari adanya suatu
7
peningkatan tegangan otot sebagai respon motorik. Kekuatan otot dapat dijabarkan
sebagai kemampuan otot menahan beban baik berupa beban internal (internal force)
maupun beban eksternal (external force). Kekuatan otot sangat berhubungan dengan
sistem neuromuskuler yaitu seberapa besar kemampuan sistem saraf mengaktivasi otot
untuk melakukan kontraksi, sehingga semakin banyak serabut otot yang teraktivasi,
maka semakin besar pula kekuatan yang dihasilkan otot tersebut (Irfan, 2012).
Kekuatan otot dari kaki, lutut serta pinggul harus adekuat agar bisa menggerakan
anggota gerak bawah untuk melakukan gerakan fungsionalnya (Nugroho, 2011).
Kekuatan otot tersebut berhubungan langsung dengan kemampuan otot untuk melawan
gaya gravitasi serta beban eksternal lainnya yang secara berkelanjutan mempengaruhi
posisi tubuh. Kemampuan otot untuk mempertahankan posisi tegak dan stabil
merupakan bentuk dari aktivitas otot untuk menjaga keseimbangan baik saat statis
maupun dinamis saat melakukan suatu gerakan. Hal tersebut dapat dilakukan apabila
otot memiliki kekuatan dengan besaran tertentu.
Perubahan morfologis pada otot menyebabkan perubahan fungsional otot, yaitu
terjadinya penurunan kekuatan otot, elastisitas dan fleksibilitas otot, kecepatan waktu
reaksi dan rileksasi, dan kinerja fungsional. Setelah melewati usia 30 tahun, manusia
akan kehilangan kira-kira 3 – 5 % jaringan otot total per dekade. Penurunan fungsi dan
kekuatan otot akan mengakibatkan yaitu (1) penurunan kemampuan mempertahankan
keseimbangan tubuh, (2) hambatan dalam gerak duduk ke berdiri, (3) peningkatan risiko
jatuh, (4) perubahan postur. Masalah pada kemampuan gerak dan fungsi lansia
berhubungan erat dengan kekuatan otot yang bersifat individual. Lansia dengan
kekuatan otot quadrisep yang baik dapat melakukan aktivitas berdiri dari posisi duduk
dan berjalan 6 meter dengan lebih cepat (Bonder & Wagner, 1994). Penelitian lain
menunjukkan bahwa kelemahan otot abduktor sendi panggul dapat mengurangi
kemampuan lansia mempertahankan keseimbangan berdiri pada satu tungkai dan
timbulnya gangguan postural. Penurunan serabut otot reaksi cepat (tipe II) dapat
meningkatkan risiko jatuh karena penurunan respons terhadap keseimbangan (Bonder &
Wagner, 1994). Penurunan terhadap respon keseimbangan meyebabkan timbulnya
ganngguan dalam mengontrol keseimbangan.
8
c. Keseimbangan
1) Definisi
Keseimbangan merupakan kemampuan tubuh untuk mengontrol pusat gravitasi
(center of gravity) atau pusat massa tubuh (center of mass) terhadap bidang tumpu
(base of support). Pusat gravitasi (center of gravity) adalah suatu titik dimana massa
dari suatu obyek terkonsentrasi berdasarkan tarikan gravitasinya. Pada manusia
normal, pusat gravitasi terletak di perut bagian bawah dan sedikit di depan sendi
lutut. Agar dapat menjaga keseimbangan, pusat gravitasi tersebut berpindah untuk
memberikan kompensasi agar tidak terjadi gangguan yang dapat menyebabkan orang
kehilangan keseimbangannya (Barnedh et al, 2006).
Keseimbangan melibatkan berbagai gerakan di setiap bagian tubuh dan didukung
oleh sistem muskuloskeletal serta bidang tumpu. Tujuan tubuh mempertahankan
keseimbangan, yaitu untuk menyangga tubuh melawan gaya gravitasi dan faktor
eksternal lain, untuk mempertahankan pusat massa tubuh agar sejajar dan seimbang
dengan bidang tumpu, serta menstabilkan bagian tubuh yang lain saat melakukan
suatu gerakan (Irfan, 2012). Kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara massa
tubuh dengan bidang tumpu akan membuat manusia mampu untuk beraktivitas
secara efektif dan efesien (Yuliana, 2014)
2) Fisiologi Keseimbangan
Mekanisme fisiologi terjadinya keseimbangan dimulai ketika reseptor di mata
menerima masukan penglihatan, reseptor di kulit menerima masukan kulit, reseptor
di sendi dan otot menerima masukan proprioseptif dan reseptor di kanalis semikularis
menerima masukan vestibular. Seluruh masukan atau input sensoris yang diterima di
salurkan ke nukleus vertibularis yang ada di batang otak, kemudian terjadi
pemrosesan untuk koordinasi di serebelum, dari serebelum informasi disalurkan
kembali ke nukleus vertibularis. Terjadilah output atau keluaran ke neuron motorik
otot ekstremitas dan badan berupa pemeliharaan keseimbangan dan postur yang
diinginkan, keluaran ke neuron motorik otot mata eksternal berupa kontrol gerakan
mata, dan keluaran ke SSP berupa persepsi gerakan dan orientasi. Mekanisme
tersebut jika berlangsung dengan optimal akan menghasilkan keseimbangan statis
yang optimal (Yuliana, 2014)
9
berlokasi di batang otak. Beberapa stimulus tidak menuju nukleus vestibular tetapi
ke serebelum, formatio retikularis, talamus dan korteks serebri (Canan, 2015) .
Nukleus vestibular menerima masukan (input) dari reseptor labyrinth, retikular
formasi, dan serebelum. Keluaran (output) dari nukleus vestibular menuju ke
motor neuron melalui medula spinalis, terutama ke motor neuron yang
menginervasi otot - otot proksimal, kumparan otot pada leher dan otot-otot
punggung (otot-otot postural). Sistem vestibular bereaksi sangat cepat sehingga
membantu mempertahankan keseimbangan tubuh dengan mengontrol otot-otot
postural (Canan, 2015).
Sistem somatosensoris terdiri dari taktil atau proprioseptif serta persepsi-kognitif.
Informasi propriosepsi disalurkan ke otak melalui kolumna dorsalis medula
spinalis. Sebagian besar masukan (input) proprioseptif menuju serebelum, tetapi
ada pula yang menuju ke korteks serebri melalui lemniskus medialis dan talamus
(Irfan, 2010). Kesadaran akan posisi berbagai bagian tubuh dalam ruang sebagian
bergantung pada impuls yang datang dari alat indra dalam dan sekitar sendi. Alat
indra tersebut adalah ujung-ujung saraf yang beradaptasi lambat di sinovia dan
ligamentum. Impuls dari alat indra ini dari reseptor raba di kulit dan jaringan lain,
serta otot diproses di korteks menjadi kesadaran akan posisi tubuh dalam ruang
(Irfan, 2010). Selain sistem sensoris, pengaturan keseimbangan juga dipengaruhi
oleh komponen lainya yaitu respon otot-otot postural yang sinergis, kekuatan otot,
adaptive system dan lingkup gerak sendi. Respon otot-otot postural yang sinergis
mengarah pada waktu dan jarak dari aktivitas kelompok otot yang diperlukan
untuk mempertahankan keseimbangan dan kontrol postur. Beberapa kelompok
otot baik pada ekstremitas atas maupun bawah berfungsi mempertahankan postur
saat berdiri tegak serta mengatur keseimbangan tubuh dalam berbagai gerakan.
Keseimbangan tubuh dalam berbagai posisi terjadi jika respon dari otot-otot
postural bekerja secara sinergi sebagai reaksi dari perubahan posisi, titik tumpu,
gaya gravitasi, dan aligment tubuh (Nugroho, 2011).
c) Komponen lain yang mempengaruhi keseimbangan adalah adaptive systems dan
lingkup gerak sendi. Kemampuan adaptasi akan memodifikasi input sensoris dan
keluaran motorik (output) ketika terjadi perubahan tempat sesuai dengan
11
kaki. Base of Support pada gerak manusia akan memberikan reaksi pada pola
gerak individu. Semakin dekat bidang tumpu dengan pusat gravitasi, maka
stabilitas tubuh makin tinggi (Wen Chang, 2009).
(4) Penurunan Keseimbangan pada Lansia
Penurunan keseimbangan pada lansia disebabkan oleh berbagai macam faktor
di antaranya adalah adanya gangguan pada sistem sensorik, gangguan pada
sistem saraf pusat (SSP), maupun adanya gangguan pada sistem
muskuloskeletal. Informasi mengenai posisi tubuh terhadap lingkungan atau
gravitasi diberikan oleh sistem sensorik, sedangkan sistem saraf pusat
berfungsi untuk memodifikasi komponen motorik dan sensorik sehingga
stabilitas dapat dipertahankan melalui kondisi yang berubah-rubah. Gangguan
pada sistem sensorik meliputi gangguan pada sistem visual, vestibular, dan
somatosensoris (Suadnyana, 2013).
Sistem visual seperti sistem organ lain mengalami degenerasi karena proses
penuaan. Pada sistem visual lansia, terjadi penebalan jaringan fibrosa dan
atrofi serabut saraf, berkurangnya sel-sel reseptor di retina, serta perubahan
elastisitas lensa dan otot siliaris. Penurunan fungsi visual tersebut,
menyebabkan masalah dalam persepsi bentuk dan kedalaman serta informasi
visual mengenai posisi tubuh yang diperlukan untuk kontrol postural
(Barnedh, 2006).
Sistem lain yang mengalami penurunan fungsi adalah sistem vestibular.
Perubahan degeneratif tersebut mengenai organ vestibular seperti: otolith,
epithelium sensorik dan sel rambut, nervus vestibularis, dan serebelum.
Makula secara progresif mengalami demineralisasi dan menjadi terpecah-
pecah. Hal ini mengakibatkan penurunan kemampuan dalam menjaga respon
postural terhadap gravitasi dan pergerakan linear. Selain itu terjadi pula atrofi
sel rambut disertai pembentukan jaringan parut dan setelah usia di atas 70
tahun terjadi penurunan sebanyak 20% jumlah sel rambut di makula dan 40%
di krista ampularis kanalis semisirkularis (Barnedh, 2006).
Sistem somatosensori memberikan informasi tentang posisi tubuh dan kontak
dari kulit melalui tekanan, taktil sensor, getaran, serta proprioseptor sendi dan
13
otot. Sensasi kulit melalui sentuhan, getaran dan tekanan sensor penting
dalam setiap aktivitas sehari-hari, terutama yang melibatkan gerakan.
Sensitivitas kulit berkurang dengan bertambahnya usia. Kurangnya masukan
dari taktil, tekanan dan getaran reseptor membuatnya sulit untuk berdiri atau
berjalan dan mendeteksi perubahan dalam pergeseran, yang penting dalam
menjaga keseimbangan (Suadnyana, 2013).
Lansia juga mengalami penurunan dalam kemampuan motorik. Hal ini
berhubungan dengan penurunan terhadap kontrol neuromuskular, perubahan
sendi, dan struktur lainnya. Menurunnya sistem muskuloskeletal berpengaruh
terhadap keseimbangan tubuh lansia karena terjadinya atropi otot yang
menyebabkan penurunan kekuatan otot, terutama ekstremitas bawah,
sehingga menyebabkan langkah kaki lansia menjadi lebih pendek, jalan
menjadi lebih lambat, tidak dapat menapak dengan kuat dan cenderung
mudah goyah, serta ada kecenderungan untuk tersandung. Hal ini
mengakibatkan lansia menjadi kurang percaya diri dan lebih berhati-hati
dalam berjalan. Penurunan kekuatan otot pelvis dan tungkai juga menjadi
faktor kontribusi bagi penurunan respon postural tersebut. Secara bersamaan,
hampir seluruh gerakan menjadi tidak elastis dan halus.
Gangguan motorik ini utamanya disebabkan oleh mulai hilangnya neuron-
neuron di medulla spinalis, otak, dan serebelum (Siti, 2009).
d) Indeks Massa Tubuh (IMT)
Dengan bertambahnya usia akan meningkatkan berat badan karena penumpukan
lemak di dalam otot sementara sel otot sendiri berkurang jumlah dan volumenya,
sehingga ada kecenderungan untuk mengurangi aktifitas fisik karena obesitas. Hal
ini menyebabkan kelemahan fisik yang dapat membatasi mobilitas yang
berpengaruh terhadap keseimbangan karena menjadi lamban di dalam bergerak
dan kurangnya reaksi antisipasi terhadap perubahan Centre Of Gravity (COG)
serta secara umum akan menurunkan kualitas hidup lansia.
14
2. Faktor Ekstrinsik
a. Lingkungan
Faktor lingkungan yang mempengaruhi risiko jatuh adalah penerangan yang tidak
baik, lantai yang licin dan basah, tempat berpegangan yang tidak kuat/tidak mudah
dipegang, dan alat – alat atau perlengkapan rumah yang tidak stabil
b. Latihan atau Aktivitas Fisik
Menurut WHO (2007) salah satu intervensi yang bisa digunakan untuk memperbaiki
faktor fisiologis yang menyebabkan kejadian jatuh adalah program latihan fisik. Latihan
fisik dapat didefinisikan sebagai sebuah tipe aktivitas yang direncanakan, terstruktur
dan berupa gerakan tubuh yang berulang – ulang yang dilakukan untuk meningkatkan
atau mempertahankan satu atau lebih komponen kebugaran fisik.
3. Kematian
Kasus
Seorang perawat melakukan kunjungan rumah keluarga lansia berusia 75 tahun
tinggal bersama istrinya 70 tahun dan anaknya yang sudah menikah seorang perempuan berusia
40 tahun dan cucunya berusia 13 tahun. Hasil kunjungan rumah didapatkan data bahwa lansia
dalam keluarga tersebut sering mengalami kebingungan jika hari sudah gelap. Setiap hari kedua
lansia tersebut hanya dirumah karena pendengaran dan ketajaman penglihatan yang sudah
menurun sehingga jarang keluar dari rumah. Dari hasil wawancara didapatkan dengan keluarga
didapatkan bahwa kedua lansia tersebut dalam 3 bulan terakhir sering terjatuh kadang di kamar
mandi dan di dalam rumah. Lansia juga mengatakan bahwa kadang persepsi pandanganya sudah
berubah karena yang dilihat beda dengan benda yang sebenarnya. Keluarga sudah menyiapkan
ruangan khusus untuk lansia diruang yang luas dan penerangan yang jelas. Kedua lansia saat ini
kelihatan agak lemah, di beberapa bagian tubuhnya tampak bekas luka lama akibat jatuh.
Kemudian menyatakan sering pusing kepalanya, dan menyatakan malas makan. Hasil
pemeriksaan TD: 100/ 80 MmHg. N: 56 x/ menit. Konjungtiva pucat.
LEMBAR KERJA
1. Hasil pengakajian lansia
Data Subyektif Data Obyektif
1. Keluarga mengatakan bahwa lansia 1. TD 100/ 80 MmHg
sering mengalami kebingungan jika hari 2. N 56 x/ menit
sudah gelap. 3. Konjungtiva pucat
2. Keluarga mengatakan setiap hari kedua 4. Kedua lansia kelihatan agak lemah
lansia tersebut hanya dirumah karena 5. Di beberapa bagian tubuhnya tampak
pendengaran dan ketajaman penglihatan bekas luka lama akibat jatuh
yang sudah menurun sehingga jarang
keluar dari rumah
3. Keluarga mengatakan 3 bulan terakhir
sering terjatuh kadang di kamar mandi
17
18
2. Analisis data
No Data Diagnosa Keperawatan
1. DS: Resiko Jatuh
1. Keluarga mengatakan bahwa lansia
sering mengalami kebingungan jika
hari sudah gelap.
2. Keluarga mengatakan 3 bulan
terakhir sering terjatuh kadang di
kamar mandi dan di dalam rumah.
3. Lansia mengatakan bahwa kadang
persepsi pandanganya sudah
berubah karena yang dilihat beda
dengan benda yang sebenarnya.
19
DO:
1. Kedua lansia kelihatan agak lemah
2. Di beberapa bagian tubuhnya
tampak bekas luka lama akibat
jatuh
3. Konjungtiva pucat
2. DS: Konfusi Akut
1. Keluarga mengatakan bahwa lansia
sering mengalami kebingungan jika
hari sudah gelap.
2. Keluarga mengatakan setiap hari
kedua lansia tersebut hanya
dirumah karena pendengaran dan
ketajaman penglihatan yang sudah
menurun sehingga jarang keluar
dari rumah
3. Lansia mengatakan bahwa kadang
persepsi pandanganya sudah
berubah karena yang dilihat beda
dengan benda yang sebenarnya.
DO:
20
TD 100/ 80 MmHg
3. DS: Sindrom Lansia Lemah
1. Keluarga mengatakan 3 bulan
terakhir sering terjatuh kadang di
kamar mandi dan di dalam rumah.
2. Lansia mengatakan sering pusing
kepalanya
3. Keluarga mengatakan lansia (75
tahun) tinggal bersama istrinya (70
tahun)
DO:
1. TD 100/ 80 MmHg
2. N 56 x/ menit
3. Konjungtiva pucat.
3. Learning Objective
Mahasiswa mampu memahami dan mengetahui:
a. Asuhan keperawatan pada lansia dengan masalah resiko jatuh.
b. Memprioritaskan diagnosa keperawatan berdasarkan masalah.
c. Membedakan diagnosa yang sama sesuai kasus.
d. Penanganan kepada lansia yang memiliki resiko jatuh.
e. Peran perawat pada lansia dengan masalah resiko jatuh.
Total 3 2/ 3
Total 3 2/ 3
c. Konfusi Akut
No Kriteria Nilai Rasionalisasi
1 Sifat masalah 3/ 3 x 1 = 1 Karena lansia masih dalam keadaan
lemah shg masih ada riwayat jatuh
dan masih ada kemungkinan
mengalami jatuh kembali
4 Menonjolnya masalah 2/ 2 x 1 = 1
Total 2 7/ 6
diperlukan untuk
pelaksanaan
program
(Ners Vitria)
Pertemuan ke III
Pertemuan ke III S : Keluarga mengatakan
1. Mengedukasi keluarga lansia sudah tidak terjatuh.
dan pasien lingkungan
yang tinggi resiko O : lansia tampak sehat dan
2. Mempertimbangkan berhati-hati ketika berjalan
riwayat individu dalam
konsep personal dan A : Masalah teratasi
riwayat sosial budaya
individu kuluarga dan P: Lakukan edukasi keluarga
masyarakat dan pasien lingkungan yang
3. Meningkatkan sumber tinggi resiko
daya seperti ruang,
peeralatan ,dll yg I: Mengedukasi keluarga dan
diperlukan untuk pasien lingkungan yang
pelaksanaan program tinggi resiko
P: Hentikan intervensi
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Risiko jatuh (risk for fall) merupakan sebagai peningkatan kemungkinan terjadinya
jatuh yang dapat menyebabkan cedera fisik. Risiko jatuh dipengaruhi oleh faktor internal dan
faktor eksternal. Jatuh dapat mengakibatkan berbagai jenis cedera, kerusakan fisik dan
psikologis
B. Saran
Dengan di susunnya makalah ini mengharapkan kepada semua pembaca agar dapat
menelaah dan memahami apa yang telah tertulis dalam makalah ini sehingga sedikit banyak
bisa menambah pengetahuan pembaca mengenai asuhan keperawatan risiko jatuh pada lansia.
32
Di samping itu kami juga mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca sehingga kami
bisa menjadi lebih baik pada makalah asuhan keperawatan kami dikemudian hari.