A. Latar Belakang
Malformasi anorektal merupakan suatu spektrum dari anomali kongenital yang
terdiri dari anus imperforata dan kloaka persisten. Anus imperforata merupakan kelainan
kongenital tanpa anus atau dengan anus tidak sempurna, sedangkan kloaka persisten
diakibatkan karena pemisahan antara traktus urinarius, traktus genitalia dan traktus
digestivus tidak terjadi. Malformasi anorektal merupakan kerusakan berspektrum luas
pada perkembangan bagian terbawah dari saluran intestinal dan urogenital.
Banyak anak-anak dengan malformasi ini memiliki anus imperforata karena
mereka tidak memiliki lubang dimana seharusnya anus ada. Walaupun istilah ini
menjelaskan penampilan luar dari anak, istilah ini lebih ditujukan pada kompleksitas
sebenarnya dari malformasi. Ketika malformasi terjadi, otot dan saraf yang berhubungan
dengan anus juga sering mengalami malformasi dalam derajat yang sama. Tulang
belakang dan saluran urogenital juga dapat terlibat. Malformasi anorektal terjadi setiap 1
dari 5.000 kelahiran. Malformasi ini lebih sering terjadi pada pria dan pria dua kali lebih
banyak mengalami malformasi anorektal letak tinggi atau intermediet. Empat puluh
sampai tujuh puluh persen dari penderita mengalami satu atau lebih defek tambahan dari
sistem organ lainnya. Defek urologi adalah anomali yang paling sering berkaitan dengan
malformasi anorektal, diikuti defek pada vertebra, ekstrimitas dan sistem kardiovaskular.
Manajemen dari malfomasi anorektal pada periode neonatal sangatlah krusial
karena akan menentukan masa depan dari sang anak. Keputusan yang paling penting
adalah apakah pasien memerlukan kolostomi dan diversi urin untuk mencegah sepsis dan
asidosis metabolik. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang anatominya, diagnosis
yang lebih cepat dari malformasi anorektal dan defek yang berkaitan dan bertambahnya
pengalaman dalam memanajemen, akan didapatkan dengan hasil yang lebih baik.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Setelah membaca makalah ini, diharapkan pembaca mampu memberikan asuhan
keperawatan pre dan post operatif pada pada anak dengan atresia ani
2. Tujuan Khusus
Setelah membaca makalah ini, diharapkan pembaca dapat:
a. Mengetahui pengertian atresia ani
b. Mengetahui etiologi atresia ani
c. Mengetahui klasifikasi atresia ani
d. Mengetahui patofisiologi atresia ani
e. Mengetahui penatalaksanaan atresia ani
f. Mengetahui asuhan keperawatan pre dan post operatif atresia ani
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Definisi
Istilah atresia ani berasal dari bahasa Yunani yaitu “ a “ yang artinya tidak ada dan
trepsis yang berarti makanan dan nutrisi. Dalam istilah kedokteran, atresia ani adalah
suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang yang normal.
Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforata
meliputi anus, rektum, atau batas di antara keduanya (Betz, 2002). Atresia ani merupakan
kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran anus (Donna, 2003).
Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau
tertutupnya anus secara abnormal (Suradi, 2001). Atresia ani atau anus imperforata adalah
tidak terjadinya perforasi membran yang memisahkan bagian endoterm mengakibatkan
pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke
dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rektum
(Purwanto, 2001).
B. Klasifikasi
Klasifikasi atresia ani ada 4 yaitu :
1. Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga feses tidak dapat
keluar.
2. Membranosus atresia adalah terdapat membran pada anus.
3. Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum dengan anus.
4. Rectal atresia adalah tidak memiliki rektum.
Pasien bisa diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi yaitu :
1. Anomali rendah / infralevator
Rektum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborektalis, terdapat sfingter
internal dan eksternal yang berkembang baik dengan fungsi normal dan tidak terdapat
hubungan dengan saluran genitourinarius.
2. Anomali intermediet
Rektum berada pada atau di bawah tingkat otot puborectalis, lesung anal dan sfingter
eksternal berada pada posisi yang normal.
3. Anomali tinggi / supralevator
Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter internal tidak ada. Hal ini biasanya
berhubungan dengan fistula genitourinarius – retrouretral (pria) atau rectovagina
(perempuan). Jarak antara ujung buntu rectum sampai kulit perineum lebih dari1 cm.
D. Etiologi
Penyebab sebenarnya dari atresia ani ini belum di ketahui pasti, namun ada
sumber yang mengatakan bahwa kelainan bawaan anus di sebabkan oleh :
1. Karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan
pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik.
2. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang
anus.
3. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada kegagalan
pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.
4. Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan otot dasar
panggul. Namum demikian pada agenesis anus, sfingter internal mungkin tidak memadai.
Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa gen autosomal resesif yang
menjadi penyebab atresia ani. Orang tua tidak diketahui apakah mempunyai gen carier
penyakit ini. Janin yang diturunkan dari kedua orang tua yang menjadi carier saat
kehamilan mempunyai peluang sekitar 25 % - 30 % dari bayi yang mempunyai
sindrom genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan kongenital lain juga beresiko
untuk menderita atresia ani (Purwanto, 2001).
Faktor Predisposisi
Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital saat lahir, seperti :
1. Kelainan sistem pencernaan terjadi kegagalan perkembangan anomali pada
gastrointestinal.
2. Kelainan sistem perkemihan terjadi kegagalan pada genitourinari.
E. Patofisiologi
Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara
komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan
embrionik, sehingga anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian belakang.
Ujung ekor dari bagian belakang berkembang menjadi kloaka yang merupakan bakal
genitourinari dan struktur anorektal. Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan
pada kanal anorektal. Terjadi atresia anal karena tidak ada kelengkapan dan
perkembangan struktur kolon antara 7-10 minggu dalam perkembangan fetal. Kegagalan
migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra
dan vagina. Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar melalui anus sehingga
menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal mengalami obstruksi.
Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi baru lahir
tanpa lubang anus. Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan, terdapat tiga letak:
1. Tinggi (supralevator) : rektum berakhir di atas M. levator ani (M. puborektalis)
dengan jarak antara ujung buntu rektum dengan kulit perineum lebih dari 1 cm. Letak
upralevator biasanya disertai dengan fistel ke saluran kencing atau saluran genital.
2. Intermediate : rektum terletak pada M. levator ani tetapi tidak menembusnya.
3. Rendah : rektum berakhir di bawah M. levator ani sehingga jarak antara kulit dan
ujung rektum paling jauh 1 cm.
F. Manifestasi Klinik
Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat defekasi
mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih tinggi.
Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula. Pada bayi wanita sering ditemukan
fistula rektovaginal (dengan gejala bila bayi buang air besar feses keluar dari (vagina) dan
jarang rektoperineal, tidak pernah rektourinarius. Sedang pada bayi laki-laki dapat terjadi
fistula rektourinarius dan berakhir di kandung kemih atau uretra dan jarang rektoperineal.
Gejala yang akan timbul (Ngastiyah, 2005):
1. Mekonium tidak keluar dalm 24 jam pertama setelah kelahiran.
2. Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.
3. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.
4. Perut kembung.
5. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.
G. Komplikasi
1. Infeksi saluran kemih yang berkepanjangan.
2. Obstruksi intestinal
3. Kerusakan uretra akibat prosedur pembedahan.
4. Komplikasi jangka panjang :
a. Eversi mukosa anal.
b. Stenosis akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis.
b. Impaksi dan konstipasi akibat terjadi dilatasi sigmoid.
c. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
d. Inkontinensia akibat stenosis anal atau impaksi.
e. Fistula kambuh karena tegangan di area pembedahan dan infeksi (Betz, 2002).
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dalam tindakan atresia ani yaitu :
1. Pembuatan kolostomi
Kolostomi adalah sebuah lubang buatan yang dibuat oleh dokter ahli bedah pada
dinding abdomen untuk mengeluarkan feses. Pembuatan lubang biasanya sementara
atau permanen dari usus besar atau colon iliaka. Untuk anomali tinggi, dilakukan
kolostomi beberapa hari setelah lahir.
2. PSARP (Posterio Sagital Ano Rectal Plasty)
Bedah definitifnya, yaitu anoplasty dan umumnya ditunda 9 sampai 12 bulan.
Penundaan ini dimaksudkan untuk memberi waktu pelvis untuk membesar dan pada
otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk menambah
berat badannya dan bertambah baik status nutrisinya.
3. Tutup kolostomi
Tindakan yang terakhir dari atresia ani. Biasanya beberapa hari setelah operasi, anak akan
mulai BAB melalui anus. Pertama, BAB akan sering tetapi seminggu setelah operasi
BAB berkurang frekuensinya dan agak padat.
I. Pemeriksaan Penunjang
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut :
1. Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
2. Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk mengetahui
jarak pemanjangan kantung rektum dari sfingternya.
3. Ultrasound terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam sistem pencernaan dan
mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.
4. CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
5. Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
6. Pemeriksaan fisik rektum
Kepatenan rektal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari.
7. Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan
traktus urinarius.
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
A. IDENTITAS KLIEN
No. Rekam Medis : 59.09.14 Orang tua/wali
Nama Klien : By. A Nama ayah/ibu/wali : Tn. D
Nama Panggilan :N Pekerjaan ayah/ibu/wali :
Tempat/Tanggal Lahir : 2 Februari 2013 Pendidikan :SLTA
Umur : 7 bulan Alamat ayah/ibu/wali : Dusun Jambi Amil
Jenis Kelamin : perempuan Rt 03/02 Cilamaya wetan Karawang Jabar
B. RIWAYAT SOSIAL
1. Yang mengasuh: ibu
2. Hubungan dengan anggota keluarga: pasien dekat dengan kedua orang tua, terutama
dengan ibu.
C. RIWAYAT KELUARGA
1. Sosial ekonomi : Ayah pasien merupakan seorang wiraswasta, sedangkan
ibunya adalah ibu rumah tangga.
2. Lingkungan rumah : Pasien tinggal bersama kedua orang tua, di daerah perumahan
3. Penyakit keluarga : penyakit jantung (-), hipertensi (-), DM (-), alergi (-)
E. PEMERIKSAAN FISIK
1 Keadaan umum KU sedang, Kesadaran : CM
2 Tanda-tanda vital N: 132x/menit RR:32x/menit t: 36,7o C
3 Antropometri BB: 8.7 kg TB:65 cm LK:41 cm LLA: 15.5 cm
4 Kulit Integritas utuh, tugor elastis, warna pucat (-), sianosis (-),
ikterik (-)
5 Kepala Ukuran: mesochepal, luka (-)
6 Mata Pupil isokor, reaksi terhadap cahaya (+)
Konjungtiva anemis -|-, Sklera ikterik -|-
7 Telinga: Tidak ada kelainan, discharge (-)
8 Hidung Tidak terjadi sinusitis maupun epistaksis
9 Mulut Mukosa lembab, lidah lembab,
10 Leher JVP tidak meningkat, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
11 Paru-paru Vesikuler, ronkhi -|-, wheezing -|-, slym (-)
12 Jantung S1,S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
13 Abdomen Supel, bising usus (+), distensi (-), kembung (-)
Terdapat colostomy, produk (+), prolapse (-)
14 Genitalia Jenis kelamin perempuan,
15 Anus Tidak tampak anus
16 Ekstremitas Akral hangat, nadi kuat, CRT < 2 detik, edema (-)
2. Radiologi
a. Thorax Foto Anak
1) Mediastinum superior tampak melebar, sangat mungkin kelenjar thymus
2) Cor dengan ukuran, bentuk dan posisi normal
3) Kedua kelenjar hifus tidak menebal
4) Paru tampak infiltrate parakardial kanan paru
5) Sinus diafragma,tulang dan jaringan lunak normal
KESAN: DD: Interstitial pneumonia
b. Foto BNO
1) Preperitoneal fat kanan kiri sebagian menghilang
2) Distribusi udara usus sampai pelvis minor
3) Udara usus prominen, tidak tampak pelebaran lumen usus
4) Tampak penebalan dinding-dinding usus
5) Kontur kedua ginjal samar
6) Tidak tampak bayangan batu radiopak sepanjang proyeksi traktus urinarius
7) Psoas line kanan-kiri suram
8) Tulang-tulang baik
KESAN: Suspect peritonitis
G. TERAPI
Tanggal Pengobatan/ tindakan
2 September 2013 IVFD KAEN 3B 20 tpm (micro)
Terapi oral: Kotrimoxazol + Metromid 3 x 1 bks, PCT
dll 3 x 1 bks
Terapi IV: Dycinon 1 cc/12 jam, Asam tranexamat 2.5
cc/12 jam, Ceftriaxon 1 gr/24 jam (dalam D5% 100 cc,
habis dalam ½ jam)
Makanan: tim saring 3x/hari, susu formula 6x 150 cc,
biscuit 1 x 3 keping
Cek laboraturium: DL, PTT, APTT, ureum, creatinin,
elektrolit, SGOT, SGPT, protein total, albumin
Spoeling distal: pagi dan sore
Besok USG abdomen
3 September 2013 PRC 80 cc
Puasa: IVFD KAEN 3A 34 tpm (micro)
4 September 2013 Operasi PSRAP dan pemasangan IV long line
Terapi IVtambahan: Vitamin C 2cc/24 jam, Alinamin F
10 cc/12 jam, Tramal 30 mg/kolf
Puasa
Tampon pertahankan 24 jam
Cek lab: DL post operasi
5 September 2013 IVFD KAEN 3A 350 cc, D40% 75 cc, ASFI 6% 100 cc
(36 cc/jam)
Terapi IV tambahan: Metronidazole 15 cc/ 8 jam
Makanan: Tim saring 3x/hari, Susu formula 6 x 150 cc,
Biskuit 3 keping
Aff tampon
6 September 2013 IVFD KAEN 3A 400 cc, ASFI 6% 100 cc (32 cc/jam)
Terapi IV tambahan : gentamicin 20 mg/12 jam
7 September 2013 IVFD KAEN 3A 400 cc, ASFI 6% 100 cc (28 ccc/jam)
Rawat luka
Cek elektrolit, protein total, dan albumin.
ANALISA DATA
Proteksi infeksi
h. Ganti letak IV perifer dan dressing sesuai dengan prosedur.
i. Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi
kandung kencing
j. Tingkatkan cairan dan nutrisi
k. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan,
panas, drainase
l. Pertahankan teknik aseptic dalam tiap tindakan
m. Ganti peralatan perawatan pasien per prosedur protocol
n. Lakukan pemeriksaan kultur bila suspek infeksi dan
laporkan hasilnya pada petugas yang berwenang
o. Tingkatkan intake nutrisi dan cairan
p. Tingkatkan tidur dan istirahat
q. Kelola pemberian antibiotic
r. Ajarkan pada pasien dan keluarga cara menghindari infeksi
s. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
CATATAN PERKEMBANGAN
Arifin, Zainul. 2010. Gambaran Jenis Atresia Ani Pada Penderita Atresia Ani Di Rsup H. Adam
Malik Tahun 2008-2010. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
McCloskey, J.C, Bulechek, G.M. (2004) Nursing Intervention Classification (NIC) 4th
edition, Mosby, Elsevier.
Moorhead, Sue, Johnson, Marion, Maas, M.L., Swnason, E. (2008) Nursing Outcomes
Classification (NOC) 4th edition, Mosby, Elsevier.
NANDA International. 2012. Nursing Diagnoses : Definitions & Classifications 2011-2012.
Jakarta : EGC