Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Inflammatory bowel disease (IBD) adalah kondisi intestinal kronik yang
dimediasi oleh sistem imun. Tipe utama dari IBD adalah penyakit crohn (crohn disease)
dan kolitis ulseratif (ulcerative colitis).
Penyakit Crohn adalah gangguan peradangan yang terus menerus dan melibatkan
semua lokasi pada traktus gastrointestinal. Penyakit ini dapat didefinisikan berdasarkan
lokasi seperti ileum terminal, kolonik, ileokolik, dan gastrointestinal atas. Selain
berdasarkan lokasi, penyakit ini juga dapat didefinisikan berdasarkan bentuk penyakit
seperti inflamasi, fistula, atau striktura). Penyakit crohn ini umumnya mengenai bagian
akhir usus halus yaitu ileum sehingga sering disebut ileitis atau enteritis.
Penyakit kolitis ulseratif merupakan penyakit inflamasi kronik pada kolon (usus
besar) terutama mengenai bagian mukosa kolon. Penyakit ini termasuk salah satu
inflammatory bowel diseases (IBD) yang hingga saat ini belum diketahui penyebabnya
secara jelas (Ardizzone, 2003)
Penyebab IBD memang masih belum jelas, namun berhubungan dengan faktor
genetik dan faktor lingkungan sebagai pemicunya hal ini terbukti dari 10-20% penderita
pasti memiliki anggota keluarga yang terkena penyakit yang sama (Collins, 2006)
Insiden IBD beragam dan bergantung area geografiknya. Penyakit crohn dan
kolitis ulseratif memiliki insiden tertinggi di Eropa, USA, dan Amerika Utara. Puncak
usia untuk penyakit crohn dan kolitis ulseratif adalah antara 15 dan 30 tahun. Puncak
kedua muncul diantara usia 60 dan 80 tahun. Rasio pria dan wanita untuk penyakit crohn
1,1-1,8 : 1 dan untuk kolitis ulseratif 1 : 1.
Angka penderita IBD khususnya diusia produktif sangat merugikan. Oleh karena
itu penting bagi kita sebagai perawat untuk meminimalisir angka kejadian tersebut
khususnya pada usia produktif. Angka kejadian di usia lanjut juga tidak kalah penting
untuk diminimalisir sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di usia
lanjut. Peran kita yaitu kita harus mampu memahami secara teori mengenai kolitis
ulseratif, mampu melakukan tindakan asuhan keperawatannya dan mampu
menginformasikan kepada masyarakat sebagai tindakan preventif.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari enteritis regional?
2. Bagaimana etiologi dari enteritis regional?
3. Bagaimana manifestasi klinis dari enteritis regional?
4. Bagaimana patofisiologi dari enteritis regional?
1
5. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari enteritis regional?
6. Bagaimana penatalaksanaan dari enteritis regional?
7. Apa saja komplikasi yang diakibatkan oleh enteritis regional?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan patofisiologi pada klien
dengan penyakit enteritis regional
2. Tujuan Khusus
a) Memahami definisi dari enteritis regional
b) Memahami etiologi dari enteritis regional
c) Memahami manifestasi klinis dari enteritis regional
d) Memahami patofisiologi dari enteritis regional
e) Memahami pemeriksaan penunjang dari enteritis regional
f) Memahami penatalaksanaan dari enteritis regional
g) Memahami apa saja komplikasi yang diakibatkan oleh enteritis regional

D. Manfaat
1. Teori
Memahami defisi, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi dan
penatalaksanaan medis terhadap pasien dengan penyakit enteritis regional.
2. Manfaat Praktis
Sebagai calon perawat mampu memahami patofisiologi pada pasien dengan
penyakit enteritis regional

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Sistem Pencernaan


1. Mulut
Mulut adalah jalan masuk menuju sistem pencernaan dan berisi organ
aksesori yang berfungsi dalam proses awal pencernaan. Rongga vestibulum
(bukal) terletak di antara gigi dan, bibir dan pipi sebagai batas luarnya.
Batas-batas mulut adalah:
Atas : palatum durum dan molle,
Bawah : mandibula, lidah dan struktur lain pada dasar mulut,
Lateral : pipi,
Depan : bibir,
Belakang : lubang menuju faring.

2. Faring
Faring adalah tabung fibromuskular yang melekat pada dasar tengkorak di
atas dan berhubungan dengan esofagus di bagian bawah. Faring terdiri dari tiga
2
bagian, nasofaring dan orofaring. Laringofaring ada di belakang epiglotis dan
laring dan berhubungan dengan esofagus di bagian bawah. Makanan melewati
orofaring dan laringofaring masuk ke dalam esofagus.

3. Esofagus
Esofagus adalah tabung muskular dengan panjang sekitar 25 cm dan
berdiameter 0,5 cm. Esofagus dimulai di leher sebagai sambungan faring, berjalan
ke bawah leher dan toraks dan kemudian melalui crus sinistra diafragma
memasuki lambung. Di bagian depannya adalah: Trakea dan kelenjar tiroid,
Jantung, Diafragma. Di bagian belakangnya: Columna vertebralis. Pada setiap sisi
adalah: Paru dan pleura.
Arcus aorta terletak pada sisi kiri esofagus dan aorta descendens awalnya
terletak pada sisi kiri dan kemudian lewat di belakangnya, sehingga terletak di
antara esofagus dan columna vertebralis.

Esofagus sedikit menyempit pada:


a. Ujung atas esofagus
b. Tempat bronkus menyilang esofagus
c. Tempat esofagus melewati diafragma
Komposisi
a. Lapisan dalam membran mukosa
b. Lapisan submukosa yang tebal, mengandung kelenjar mukus
c. Lapisan otot serat longitudinal dan sirkular
d. Lapisan fibrosa di bagian luar
Bolus memasuki sepertiga bagian atas esofagus kurang dari satu detik dan
di dorong ke bawah melewati sisanya oleh kontraksi seperti cincin otot esofagus.
Bolus yang lembab dan lunak mencapai pintu masuk lambung dalam beberapa
detik, tetapi bolus yang kering mungkin harus didorong oleh gelombang
sekunder, yang dapat terasa nyeri.

4. Lambung
Lambung bervariasi dalam bentuk tergantung dari jumlah makanan di
dalamnya, adanya gelombang peristaltik, tekanan dari organ lain, respirasi, dan
postur tubuh. Posisi, bentuk, dan mobilitas lambung sangat bervariasi.
Lambung biasanya memiliki bentuk J dan terletak di kuadran kiri atas
abdomen.
Lambung memiliki:
a. Permukaan anterior dan posterior
b. Curvatura minor pada sisi kanan
c. Curvatura mayor pada sisi kiri
d. Orificium cardia tempat esofagus bergabung

3
e. Fundus: kubah di atas tingkat orificium cardia, normal diisi oleh
gelembung udara
f. Corpus: bagian terbesar lambung
g. Canalis pyloricus: tabung sempit di bawah corpus
h. Lubang pylorus: ke dalam bagian pertama duodenum

5. Usus Halus
Usus halus memanjang dari lambung sampai katup ileo-kolika, tempat
bersambung usus besar. Usus halus terletak di daerah umbilikus dan dikelilingi
oleh usus besar. Usus halus dibagi menjadi beberapa bagian, diantaranya yaitu:
1. Duodenum
Merupakan bagian pertama usus halus yang memiliki panjang 25
cm, bentuknya seperti sepatu kuda, dan kepalanya mengelilingi kepala
pankreas. Isisnya adalah alkali. Saluran empedu dan saluran pankreas
masuk ke dalam duodenum pada suatu lubang yang disebut ampula
hepatopankreatika, atau ampula Vateri, 10 cm dari pilorus.
2. Yeyenum
Letaknya 2/5 sebelah atas dari usus halus yang selebihnya
3. Ileum
Letaknya 3/5 akhir.

6. Lapisan Usus Halus


Struktur usus halus, dindingnya terdiri dari 4 lapisan yang sama dengan
lambung, yaitu:
1. Dinding lapisan luar (serosa).
Yaitu peritoneum yang membalut usus dengan erat.
2. Dinding lapisan berotot
Terdiri atas 2 lapis serabut, yaitu:
a. Lapisan luar terdiri atas serabut longitudinal
b. Lapisan tebal terdiri atas serabut sirkuler.
Diantara kedua lapisan serabut berotot ini terdapat pembuluh limfe dan
plexus saraf.
3. Dinding submukosa

4
Terdapat antara otot sirkuler dan lapisan terdalam yang merupakan
perbatasannya. Dinding ini terdiri atas jaringan areolar dan berisi banyak
pembuluh darah, saluran limfe, kelenjar dan plexus saraf yang disebut
plexus Meissner. Di dalam duodenum terdapat beberapa kelenjar khasyang
dikenal sebagai kelenjar Brunner. Kelemnjar-kelenjar ini adalah jenis
kelenjar tandan yang mengeluarkan sekret cairan kental alakai yang
bekerja untuk melindungi lapisan duodenum dari pengaruh isi lambung
yang asam.
4. Dinding submukosa dan mukos
Dipisahkan oleh selapis otot datar yang disebut dengan mukosa
muskhularis. Serabut-serabut berasal dari dari sini naik Vili dengan
berkontraksi membantu mengososngkan semua lakteal.
5. Dinding mukosa dalam
Dinding ini yang menyelpauti sebelah dalamnya, disusun berupa
kerutan tetap seperti jala, yang disebut valvulae koniventes. Lipatan inin
menambah luasnya ermukaan sekresi dan absorpsi. Dengan ini juga
dihalangi agar isinya tidak terlalu cepat berjalan melalui usus. Dengan
demikian memberi kesempatan lebih lama pada getah pencernaan untuk
bekerja terhadap makanan. Lapisan mukosa ini berisi banyak lipatan
Lieberkuhn yang bermuara diatas permukaan di tengah-tengah vili.
Lipatan Liberkuhn ini berupa kelenjar sederhana yang diselaputi epitelium
silinder. Epitelium ini bersambung menutupi vili.

Gb. 1 Kedudukan usus halus dalam perbandingan terhadap kolon

5
Didalam dinding mukosa terdapat berbagai ragam sel, termasuk
banyak leukosit. Terdapat beberapa nodula jaringan limfe, yang disebut
kelenjarsoliter. Di dalam ileum terdapat kelompok-kelompok nodula itu.
Mereka membentuk tumpukan kelenjar Peyer dan dapat berisi 20 sampai
30 kelenjar soliter yang panjangnya 1 cm sampai bereapa sentimeter.
Kelenjar-kelenjar ini mempunyai fungsi melindungi dan merupakan
tempat peradangan pada demam usu (tifoid). Permukaan valvulae
koniventes tampak seperti beludru empuk karena adanya tajuk-tajuk
serupa bulu halus yang disebut vili.

Gb. 2. Struktur sebuah vilus

7. Gerakan Usus Halus


Fungsi usus halus adalah mencerna dan mengarbsorpsi khime dari
lambung yang dijalankan oleh serangkaian gerak peristaltik yang cepat. Terdapat
dua jenis gerakan lain, seperti berkut:
a. Gerakan segemental
Adalah gerakan yang memisahkan beberapa segmen usus karea diikat
dengan gerakan konstriksi serabut sirkuler. Hal ini memungkinkan isi yang
cair ini sementara bersentuhan dengan dinding usus untuk digesti dan
absorpsi. Kemudian segmen yang berisis itu hilang untuk timbul lebih jauh
lagi dalam usus tadi.
6
b. Gerakan pendulum atau ayunan
Gerakan ini menyebabkan isi usus bercampur. Dua cairan pencerna
masuk duodenum melalui saluran-salurannya yaitu empedu melalui hati dan
getah pankreas dari pankreas.

Gb. 3. Bagian-bagian usus halus. (A) Bagian duodenum dan jejenum. (B) Vili.
(C) Potongan pada villus memperlihatkan jaring-jaring kapilar, lakteal, dan
hubungan antar kelenjar usus.
Ada tiga spesialisasi struktural yang memperluas permukaan absorptif usus
halus sampai kurang lebih 600 kali, yaitu:
1. Plicae circulares adalah lipatan sirkular membran mukosa yang permanen
dan besar. Lipatan ini hampir secara keseluruhan mengitari lumen.
2. Vili adalah jutaan tonjolan menyerupai jari tingginya 0,2 mm- 1,0 mm yang
memanjang ke lumen dari permukaan mukosa . Vili hanya ditemukn
paadcausus halus, setiap vilus mengandung jaring-jaring kapilar dan
pemuluh limfe yng disebut lakteal.
3. Mikrovili adalah lipatan-lipatan menonjol kecil pada membran sel yang
muncul pada tepi yang berhadapan dengan sel-sel epitel

7
8. Kelenjar Usus Halus

1. Kelenjar-kelenjar usus (kripta Liebrkuhn) tertanam dalam mukosa dan


membuka diantara basis-basis vili. Kelenjar ini mensekresi hormon dan
enzim.
a. Enzim yang dibentuk oleh sel-sel epitel dibutuhkan untuk
melengkapi digesti.
b. Hormon-hormon yang mempengaruhi sekresi dan motilitas salauran
pencernan antara lain:
2. Kelenjar penghasil mucus
Sel gobet terletak dalam epitelium di sepanjang usus halus. Sel ini
memproduksi mukus pelindung.
3. Kelenjar Brunner terletak dalam submukosa duodenum. Kelenjar ini
memproduksi mukus untuk melindungi mukosa duodenum terhadap
kimus asam dan cairan lambung yang masuk ke pilorus melalui
lambung.
4. Kelenjar enteroendokrin menghasilakn hormon-hormon gastrointestinal.

8
9. Jaringan limfatik
Leukosit dan nodulus limfe ada di keseluruhan usus halus untuk
melindungi dinding usus terhadap invasi benda asing. Agregasi nodulus limfe
yang disebut bercak Peyer terdaoat dalam ileum.

10. Fungsi usus halus


1. Mengakhiri proses pencernaan makanan yang dimulai dari mulut dan di
lambung. Proses ini diselesaikan oleh enzim usus dan enzim pankreas
serta dibantu oleh empedu dalam hati.
2. Usus halus secara selektif mengabsorpsi produk digesti.

11. Usus Besar


Panjang usus besar bervariasi, berkisar sekitar 150 cm. Dapat dibedakan
dari usus halus dengan ukurannya yang lebih besar dan adanya taenia coli dan
appendices epiploicae. Taenia coli adalah 3 pita serat otot longitudinal pada bagian
luar colon dan memendek daripada seluruh dinding usus menyebabkan gambaran
sakulasi atau berkerut. Appendiks dan rectum tidak memiliki taenia coli.
Appendices epiploicae adalah umbai peritoneum yang mengandung lemak pada
permukaan caccum.

1. Caecum
Caecum adalah kantong lebar, terletak pada fossa iliaca dextra. Ileum
memasuki sisi kirinya pada lubang ileosekal, celah oval yang dikontrol oleh
sfingter otot. Appendiks membuka ke dalam caecum di bawah lubang
ileosekal. Caecum berlanjut ke atas sebagai colon ascendens.
2. Appendiks
Appendiks adalah tonjolan seperti cacing dengan panjang sampai 18 cm
dan membuka pada caecum pada sekitar 2,5 cm di bawah katup ileosekal.
Appendiks memiliki lumen yang sempit. Lapisan submukosanya mengandung
banyak jaringan limfe.
9
Appendiks berhubungan dengan mesenterium ileum oleh mesenterium
pendek berbentuk segitiga yang di dalamnya berjalan pembuluh darah dan
pembuluh limfe appendicular.
3. Colon ascendens
Colon ascendens membentang dari caecum pada fossa iliaca dextra ke
sisi kanan abdomen sampai flexura colica dextra di bawah lobus hepatis
dexter.
4. Colon transversum
Pada flexura colica dextra colon membelok ke kiri dengan tajam dan
menyilang abdomen sebagai colon transversum dalam lengkungan yang dapat
menggantung lebih rendah daripada umbilikus, dan naik pada sisi kiri berakhir
pada flexura colica sinistra di bawah lien.
5. Colon descendens
Pada flexura colica sinistra, colon membelok kembali berjalan ke bawah
pada sisi kiri abdomen sampai tepi pelvis, tempat colon berlanjut sebagai
colon sigmoid.
6. Colon sigmoid (pelvicus)
Colon sigmoid memiliki beberapa lengkungan di dalam pelvis dan
berakhir pada sisi yang berlawanan dengan pertengahan sacrum tempatnya
berhubungan dengan rectum.
7. Rectum
Rectum memiliki panjang sekitar 12 cm dan mendapat namanya karena
berbentuk lurus atau hampir lurus. Rectum dimulai pada pertengahan sacrum
dan berakhir pada canalis analis.

B. Enteritis Regional (Crohn’s Disease)


1. Pengertian
Penyakit Crohn adalah suatu gangguan radang kronis usus idiopatik yang
melibatkan bagian saluran pencernaan yang mana saja. Ditemukan pada bagian
saluran pencernaan dari mulut sampai anus paling umum ditemukan pada usus halus
(ileum terminal) (Marilynn, 1999). Penyakit ini menyerang dinding usus bagian
10
dalam. Lesinya bersifat diskontinu, yang menimbulkan efek “melompat-lompat”,
yaitu bagian usus yang sakit dipisahkan oleh jaringan yang normal. Timbul fistura,
fistula, dan penebalan dinding usus. Walaupun banyak persamaan antara kolitis
ulserativa dan penyakit Crohn, ada juga perbedaan-perbedaan besar dalam perjalanan
klinis dan distribusi penyakit di dalam saluran pencernaan. Proses radangnya
cenderung eksentris dan segmental, sering dengan daerah antara (yaitu daerah normal
usus di antara daerah-daerah radang). Sedangkan radang pada kolitis ulserativa
terbatas pada mukosa (kecuali pada megakolon toksik), keterlibatan saluran
pencernaan pada penyakit Crohn adalah transmural (Cecily Lynn Betz, 2009).
Inflamasi pada penyakit Crohn timbul sebagai lesi granulomatosa berbatas
tegas dengan pola terpisah-pisah yang tersebar di seluruh bagian usus yang terkena.
Di antara daerah inflamasi terdapat jaringan usus yang normal. Pada inflamasi kronis,
timbul jaringan ikat dan fibrosis sehingga usus menjadi kaku atau tidak fleksibel.
Apabila fibrosis terjadi di usus halus, penyerapan zat gizi akan terganggu. Jika
penyakit terlokalisasi terutama di kolon, keseimbangan air dan elektrolit dapat
terganggu. Saluran atau fistula abnormal kadang-kadang terbentuk antara bagian
saluran cerna dan antara saluran GI dan vagina, kandung kemih, atau rektum. Hal ini
dapat menyebabkan malabsorbsi dan infeksi.
Kondisi ini diyakini sebagai hasil dari ketidakseimbangan antara pro-inflamasi
dan mediator anti-inflamasi. Sebagian besar kasus enteritis regional melibatkan usus
halus, khususnya ileum terminal. Presentasi karakteristik enteristik regional adalah
sakit perut dan diare, yang mungkin menjadi rumit oleh fistula usus, obstruksi, atau
keduanya. Penyakit ini mempunyai sifat yang sulit diprediksi dan mempunyai tingkat
remisi jangka panjang (Aufses, 2001).
Pada tahun 1932, Crohn, Ginzberg, dan Oppenheimer mendeskripsikan
penyakit ini dengan melokalisasi segmen ileum dan memengaruhi saluran
gastrointestinal lainnya. Kondisi ini kemudian didokumentasikan bahwa enteritis
regional bisa melibatkan bagian mana pun dari saluran gastrointestinal (Thoreson,
2007).

11
Gb. 4. Penyakit Crohn pada ileum dengan penyempitan segmen yang
iregular (tanda panah)

2. Etiologi
Penyebab dari enteritis regional masih belum diketahui secara pasti.
Beberapa predisposisi seperti genetik, lingkungan, infeksi, imunitas, penyakit
vaskular, dan faktor psikososial, termasuk merokok, kontrasepsi oral, serta
menggunakan obat antiinflamasi non-steroid (OAINS), diyakini oleh sebagian
besar ahli terlibat dalam patogenesis enteritis regional (Wu, 2009).
Pada beberapa penelitian terdapat hubungan genetik pada enteritis
regional. Sebagian besar gen yang dianggap terlibat dalam perkembangan
penyakit ini berperan dalam imunitas mukosa dan ditemukan pada epitel
mukosa penghalang. Beberapa gen memberikan kontribusi untuk fenotip yang
kompleks, namun dalam mutasi gen NOD2 telah ditunjukkan memiliki
kerentanan terhadap enteritis regional (Church, 2001). Pengaruh lingkungan
seperti penggunaan tembakau tampaknya memiliki efek pada enteritis
regional. Perokok aktif dan perokok pasif mempunyai risiko rendah untuk
pengenbangan enteritis regional dan berbanding terbalik dengan terjadinya
risiko kolitis ulseratif (Thoreson, 2007). Kemungkinan infeksi seperti
Mycobacterium paratuberculosis, Pseudomonas, dan Listeria mempunyai
keterlibatan dalam patogenesis enteritis regional. Hal ini menunjukkan bahwa
radang dengan penyakit menghasilkan kondisi disfungsi terhadap sumber
infeksi (Van Heel, 2001). Interleukin dan tumor necrosis factor-alpha (TNF-
alpha) juga terlibat dalam proses enteritis regional. Enteritis regional ini
ditandai oleh pola respons imun selular T-helper tipe-1 yang mengarah pada
produksi interleukin 12 (IL-12), TNF, dan interferon gamma (IFN-gamma).
TNF telah ditunjukkan untuk memainkan peran penting dalam peradangan
pada penyakit ini. Peningkatan produksi TNF oleh makrofag pada pasien
dengan enteritis regional menyebabkan peningkatan konsentrasi TNF pada
tinja, darah, dan mukosa (Wu, 2009).

3. Manifestasi Klinis

12
Di antara anak-anak penderita penyakit Crohn, gejala permulaan paling
sering mengenai ileum dan kolon (yaitu ileokolitis), tetapi dapat juga
melibatkan usus halus saja pada 40% (50% anak menderita ileitis terminal
saja) atau kolon saja pada sekitar 10% (kolitis granulomatosa). Penyakit Crohn
jarang dijumpai pada umur 1 tahun pertama. Seperti pada kolitis ulserativa,
penyakit Crohn cenderung mempunyai distribusi umur bimodal dengan
puncak pertama mulai pada akhir umur belasan (Arif Muttaqin, 2011).
Penyakit Crohn dapat muncul dalam beberapa bentuk; manifestasinya
cenderung ditentukan oleh daerah usus yang terlibat, derajat radangnya, dan
adanya komplikasi seperti striktura atau fistula. Anak dengan ileokolitis khas
menderita nyeri abdomen dengan kram dan diare, kadang-kadang dengan
darah. Ileitis dapat muncul dengan nyeri abdomen kuadran kanan bawah saja.
Kolitis Crohn dapat disertai dengan diare bercampur darah, tenesmus, dan
mendadak ingin buang kotoran. Gejala dan tanda-tanda sistemik cenderung
lebih sering terjadi pada penyakit Crohn daripada pada kolitis ulserativa.
Demam, malaise, dan mudah lelah sering terjadi. Kegagalan pertumbuhan
dengan keterlambatan pematangan tulang dan keterlambatan perkembangan
seksual dapat mendahului gejala-gejala lain 1 atau 2 tahun sebelumnya dan
setidak-tidaknya 2 kali lebih sering terjadi pada penyakit Crohn daripada pada
kolitis ulserativa. Anak dapat datang dengan gagal tumbuh sebagai satu-
satunya manifestasi penyakit Crohn. Retardasi pertumbuhan disertai dengan
penurunan massa badan tetapi tidak disertai pengurangan lemak badan;
kehilangan protein melalui usus dan laju perputaran (turnover) protein tubuh
meningkat. Amenore primer atau sekunder sering terjadi. Berlawanan dengan
kolitis ulserativa, sering terjadi penyakit perianal (umbai-umbai = tags, fistula,
abses). Keterlibatan lambung atau duodenum mungkin disertai dengan muntah
berulang dan nyeri epigastrik. Obstruksi usus halus parsial, biasanya akibat
penyempitan lumen usus karena radang atau striktura, dapat menyebabkan
gejala-gejala nyeri abdomen dengan kram (terutama waktu makan),
borborigmi, dan kembung abdomen intermiten. Striktura harus dicurigai
apabila anak merasakan gejala mereda bersama dengan sensasi mendadak
degukan (gurgling) isi usus melalui regio tertentu abdomen. Obstruksi ureter
akibat perluasan proses radangnya merupakan komplikasi yang jarang pada
penyakit Crohn.
13
Manifestasi klinis penyakit Crohn menurut Diane, 2000 sebagai berikut:
1. Awitan gejala biasanya tersembunyi dan membahayakan, tanda nyeri
abdomen yang menonjol, dan diare tak sembuh dengan defekasi.
2. Diare terdapat pada 90% pasien penderita penyakit ini.
3. Nyeri kram terjadi setelah makan; pasien cenderung untuk
mengurangi masukan makanan; menyebabkan penurunan berat
badan, malnutrisi, dan anemia sekunder.
4. Mungkin terjadi diare kronis, mengakibatkan rasa sangan tidak
nyaman pada individu yang kurus dan kering akibat masukan
makanan yang tidak adekuat serta kehilangan cairan. Usus yang
mengalami inflamasi dapat mengalami perforasi dan membentuk
abses intraabdominal dan anal.
5. Terjadi demam dan leukositosis.
6. Abses, fistula, dan fisura merupakan hal yang umum terjadi.

4. Patofisiologi
Secara mikroskopis, lesi awal dimulai sebagai fokus peradangan
diikuti dengan ulserasi mukosa yang dangkal. Kemudian, menyerang sel-sel
inflamasi dalam lapisan mukosa dan dalam proses mulai membentuk
granuloma. Granuloma menyelimuti semua lapisan dinding usus dan masuk ke
dalam mesenterium dan kelenjar getah bening regional. Infiltrasi neutrofil ke
dalam bentuk abses yang dalam, menyebabkan kerusakan pada lapisan dalam
dan atrofi dari usus besar. Kerusakan kronis dapat dilihat dalam bentuk
penumpukan vili di usus kecil. Terbentuknya ulkus menjadi kondisi umum dan
sering terlihat (Thoreson, 2007).
Secara makrokospis kelainan awal adalah hiperemia dan edema dari
mukosa yang terlibat. Kemudian, diskrit terbentuk ulkus limfoid dangkal dan
dipandang sebagai bintik-bintik merah atau depresi mukosa. Keadaan ini dapat
menjadi mendalam, borok serpiginous terletak melintang dan longitudinal di
atas mukosa yang meradang. Lesi sering segmental dan dipisahkan oleh daerah
sehat (Thoreson, 2007).
Hasil peradangan transmural (meliputi mukosa dan seluruh dinding)
membentuk penebalan dinding usus dan penyempitan lumen. Obstruksi pada

14
awalnya disebabkan oleh edema dari mukosa dan spasme usus terkait.
Obstruksi biasanya bersifat intermiten dan sering reversibel setelah mendapat
agen antiinflamasi. Pada proses lanjut, halangan menjadi kronis akibat jaringan
parut, penyempitan lumen, dan pembentukan striktur. Lanjutan dari enteritis
regional berkembang komplikasi oleh suatu obstruksi atau ulkus yang
menyebabkan terbentuknya fistula dengan jalan terbentuknya sinus yang
menembus serosa, mikroperforasi, pembentukan abses, adhesi, dan
malabsorbsi. Fistula dapat bersifat enteroenteral, enterovesikal, enterovaginal,
atau enterokutaneous. Proses inflamasi melalui dinding usus mungkin juga
melibatkan mesenterium dan kelenjar getah bening sekitarnya (Wu, 2009).
Manifestasi pada enteritis regional akan terjadi nyeri abdomen menetap
dan diare yang tidak hilang dengan defekasi. Diare terjadi pada 90% pasien.
Jaringan parut dan pembentukan granuloma memengaruhi kemampuan usus
untuk mentranspor produk dari pencernaan usus atas melalui lumen yang
terkontriksi, mengakibatkan nyeri abdomen berupa kram.
Gerakan peristaltik usus dirangsang oleh makanan sehingga nyeri kram
terjadi setelah makan. Untuk menghindari nyeri kram ini, pasien cenderung
untuk membatasi masukan makanan, mengurangi jumlah dan jenis makanan
sehingga kebutuhan nutrisi normal tidak terpenuhi. Akibatnya adalah
penurunan berat badan, malnutrisi, dan anemia sekunder. Selain itu,
pembentukan ulkus di lapisan membran usus dan di tempat terjadinya
inflamasi, akan menghasilkan rabas pengiritasi konstan yang dialirkan ke
kolon dari usus yang tipis, bengkak, yang menyebabkan diare kronis.
Kekurangan nutrisi dapat terjadi akibat absorbsi terganggu. Malabsorbsi terjadi
sebagai akibat hilangnya fungsi penyerapan permukaan mukosa. Fenomena ini
dapat mengakibatkan malnutrisi protein-kalori, dehidrasi, dan beberapa
kekurangan gizi. Keterlibatan ileum terminal dapat mengakibatkan
malabsorpsi asam empedu, yang mengarah ke steatorrhea (buang air besar
dengan feses bercampur lemak), kekurangan vitamin yang larut lemak, dan
batu ginjal. Malabsorpsi lemak, dengan penangkap kalsium, dapat
mengakibatkan peningkatan ekskresi oksalat dan menyebabkan pembentukan
batu ginjal (Chen, 2007).

15
5. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Anemia mungkin disebabkan oleh beberapa penyebab, termasuk
peradangan kronis, malabsorpsi besi, kehilangan darah kronis, dan
malabsorpsi vitamin B12 atau folat.
b. Hipoalbuminemia, hipokolesteroemia, hipokalsemia, hipomagnesemia
dan hipoprothombinemia mungkin mencerminkan malabrorbsi.
c. Leukositosis mungkin disebabkan oleh peradangan kronis, abses, atau
pengobatan steroid.
d. Marker inflamasi akut, seperti C-reactive protein (CRP) dan
orosomucoid, berkorelasi erat dengan aktivitas penyakit. Laju endap
darah/eritrosit sedimentation rate (ESR) dianggap lebih bermanfaat
dalam menilai aktivitas enteritis regional daripada kolitis ileitis.

2. Pemeriksaan radiografik
a. Studi kontras barium
Studi ini sangat berguna dalam mendefinisikan sifat, distribusi, dan
tingkat keparahan enteritis regional (Chen, 2007). Setelah psien dapat
menoleransi prosedur, barium enema mungkin dapat membantu dalam
evaluasi lesi kolon. Studi kontras barium berguna dalam mengevaluasi
fitur seperti kekakuan, pseudodivertikula, fistula, dan edema
submukosa. Edema dan ulkus dari mukosa di usus kecil mungkin
tampak sebagai penebalan dan distorsi. Fistula juga dapat dideteksi
oleh studi barium saluran pencernaan atau melalui suntikan ke dalam
pembukaan fistula yang dicurigai (Mackalski, 2006).

b. Computed tomography scan


CT scan yang membantu dalam penilaian di luar komplikasi seperti
fistula dan abses, serta hepatobiliary dan komplikasi ginjal
(Mackalski, 2006).

c. Magnetic resonance imaging


Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat lebih unggul daripada CT
scan dalam menunjukkan lesi panggul. Oleh karena kadar air
diferensial, MRI dapat membedakan peradangan aktif dari fibrosis
darn dapat membedakan antara inflamasi serta lesi fibrostenosis
enteritis regional (Chen, 2007).

16
3. Pemeriksaan Ultrasonography
Ultrasonography (USG) dapat membantu dalam membedakan kelainan
tubo-ovarium. Namun, modalitas ini dapat juga mendeteksi pembesaran
kelenjar getah bening, abses, stenoses, dan bahkan fistula. USG dianggap
sebagai cara yang cepat dan murah metode penyaringan untuk membantu
dalam diagnosis IBD atau berulang-ulang mengevaluasi pasien untuk
komplikasi (Wu, 2009).

4. Pemeriksaan Kolonoskopi
Kolonoskopi (Colonoscopy) dapat membantu ketika barium enema satu
kontras belum informatif dalam mengevaluasi sebuah lesi kolon.
Kolonoskopi berguna dalam memperoleh jaringan biopsi, yang membantu
dalam diferensiasi penyakit lain, dalam evaluasi lesi massa, dan dalam
pelaksanaan surveilans kanker. Kolonoskopi juga memungkinkan
memvisualisasi fibrosis striktur pada pasien dengan penyakit kronis.
Selain itu, kolonoskopi juga dapat digunakan dalam periode pasca-operasi
bedah untuk mengevaluasi anatomosis dan memprediksi kemungkinan
kambuh klinis, serta respons terhadap terapi pascaoperasi (Mackalski,
2006).

5. Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP)


Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) sangat
membantu baik sebagai prosedur diagnostik dan alat terapeutik pada
pasien dengan striktur kolangitis sklerosa (Wu, 2009).

6. Penatalaksanaan Medis
1. Penurunan respons diare :
a. Pemberian antidiare
b. Pemberian diet rendah lemak
c. Kram perut dapat dikurangi dengan propantheline (0,125 mg),
dicyclomine (10-20 mg), atau hyoscyamine (0,125 mg)
d. Antiinflamasi

2. Terapi medikamentosa
Terapi steroid diindikasikan pada pasien dengan gejala sistemik yang
parah (misalnya: demam, mual, penurunan berat badan) dan dalam kondisi
mereka yang tidak merespons agen anti-inflamasi. Prednison (40-60
mg/hari) umumnya membantu dalam peradangan akut. Setelah resmi

17
tercapai, agen perlahan-lahan diturunkan (5-10 mg satu-dua minggu).
Berikan juga Kortikosteroid, Salazopirin, Azatioprin, Metronidazol, serta
Fe, asam folat, dan vitamin B12. Pada pasien yang kambuh setelah
pemberian steroid, pilihan perawatan lain diperlukan. Steroid tidak
diindikasikan untuk terapi perawatan karena komplikasi serius, seperti
nekrosis aseptik panggul, osteoporosis, katarak, diabetes, dan hipertensi.

3. Terapi imunosupresi
Pertimbangkan imunosupresi jika steroid tidak memberikan hasil
maksimal seperti azathioprine (2 mg/kg/hari) atau metabolit aktif, 6-
mercaptopurine (6-MP). Pengawasan diperlukan karena adanya risiko
supresi sumsum tulang.

4. Terapi bedah
Bedah memainkan peran integral dalam pengobatan enteritis regional
untuk mengontrol dan mengobati gejala komplikasi. Jika terapi medis
gagal, bedah reseksi dari usus yang meradang dengan pemulihan secara
berlanjut. Pembedahan dengan segera mungkin diperlukan dalam kasus
diare yang berkelanjutan atau berulang kondisi pendarahan atau kondisi
fistula enterovesicular, enterocutaneous, cologastric, dan fistula
coloduodenal.
Pembedahan akhirnya perlu dilakukan pada sekitar 30% kasus.
Reseksi usus halus yang terkena penyakit dan operasi pintas mungkin perlu
dilakukan dalam keadaan umum yang sakit berat dan kronis, namun
tindakan ini tidak bertujuan kuratif.

5. Diet
Diet harus seimbang pada pasien dengan enteritis regional. Suplemen
serat dikatakan bermanfaat bagi pasien dengan penyakit kolon karena fakta
menyatakan bahwa serat makanan dapat diubah menjadi rantai pendek
asam lemak, yang menyediakan bahan bakar untuk penyembuhan mukosa
kolon, sedangkan diet rendah serat biasanya diindikasikan untuk pasien
dengan gejala obstruksi.
Pasien dengan enteritis regional usus kecil sering memiliki intoleransi
laktosa sehingga perlu menghindari produk susu. Namun, suplemen
kalsium mungkin diperlukan.

18
Enteral terapi dengan diet elemental telah disarankan untuk
merangsang remisi pada enteritis regional akut, konsumsi minimal 1.200
kkal/hari dikaitkan dengan tingkat lebih rendah penyakit kambuh, tetapi
pasien kondisi sering kambuh setelah memulai diet normal.
Indikasi untuk Total Parenteral Therapy (TPN) adalah sebagai berikut :
a. Penggunaan jangka pendek : pasien dengan inflamasi aktif dan
kekurangan gizi, serta mereka dengan fistula (diberikan sejak
preoperatif).
b. Penggunaan jangka panjang : pasien yang telah mengalami reseksi
usus luas, mengakibatkan sindrom usus pendek

7. Komplikasi
a. Megakolon toksik (lebih lazim pada kolitis ulseratif)
b. Dehidrasi dan malnutrisi akibat diare dan malabsorpsi. Vitamin yang larut
dalam lemak dan vitamin B12 yang terutama cenderung terpengaruh
c. Perforasi usus dan pembentukan abses
d. Kanker usus (lima kali lipat dari kontrol yang sama usianya)
e. Penyakit ginjal antara lain urolitiasis (tidak ditemukan pada kolitis
ulseratif)
f. Hemoragi
g. Abses hati dan penyakit hati

8. WOC Enteritis Regional

Faktor predisposisi genetik, lingkungan, infeksi,


imunitas, makanan, penyakit vaskular, dan faktor
psikososial, kontrasepsi oral, dan menggunakan OAINS

Respon peningkatan progresifitas enteritis regional

Enteritis regional Malabsorpsi

19
Asupan nutrisi tidak
Jaringan parut dan pembentukan
Kecemasan Kekuatan
granumola adekuat. Penurunan
Mual, muntah,
Respons
Pemenuhan jaringan
Gangguan
Penyempitan
transportasi
lumen berat badan. Output
Gangguan
kembung,
psikologis
Informasi Nyeri
pascabedah
intestinal
makanan cairan berlebih
gastrointestinal
diare, anoreksia
Pembentukan Penurunan
fistula absorpsi
enteroenteral, nutrisi dan
enterovesikal, asam folat
enterovaginal,
atau Gangguan
Intervensi metabolisme
enterokutaneo
bedah total Kram cairan dan
us
kolektomi dan abdomen elektrolit
ileostomi
Frekuensi
BAB
Preoperatif Pascaoperatif
meningkat

Respons Port de Ketidakseimbangan Diare


psikologis entree nutrisi kurang dari
Perdarahan
Misinterpreta pascabedah kebutuhan
si perawatan Ketidakseimbangan
Risiko Kekurangan
dan cairan dan
infeksi volume
penatalaksana elektrolit
cairan
an
pengobatan
Kecemasan Aktual/risiko ketidakefektifan
Pemenuhan Penurunan kemampuan batuk efektif bersihan jalan napas
Informasi

Rasa perih di daerah


Resiko gangguan
anus ketika BAB
Integritas kulit

20
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Penyakit Crohn adalah penyakit inflamasi dan ulseratif yang menyerang
sembarang bagian saluran cerna dari mulut sampai anus. Penyakit ini menyerang
dinding usus bagian dalam. Lesinya bersifat diskontinu, yang menimbulkan efek
“melompat-lompat”, yaitu bagian usus yang sakit dipisahkan oleh jaringan yang
normal. Timbul fisura, fistula, dan penebalan dinding usus. Granuloma terdapat pada
kira-kira 50% kasus.
B. Saran
Untuk menurunkan resiko gangguan pada usus, pasien yang menderita
gangguan sistem pencernaan seperti enteritis regional dan kolitis ulseratif
hendaknya melakukan terapi medis maupun non-medis secara kontinyu, melakukan
pola gaya hidup sehat seperti olahraga teratur, diet teratur sesuai dengan kebutuhan,
menjaga kestabilan emosional dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA

Pearce, Evelyn C. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia
21
Betz, Cecily Lynn. 2009. Buku saku keperawatan pediatri. Jakarta: EGC

Doenges, Marylinn E. 1999. Rencana asuhan keperawatan: pedoman untuk perencanaan


dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC

Baughman, Diane C. 2000. Keperawatan medikal-bedah : buku saku untuk Brunner dan
Suddarth. Jakarta: EGC

Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi : buku saku. Jakarta: EGC

Muttaqin, Arif & Kumala Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika

Inayah, Iin. 2004. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Pencernaan.
Jakarta: Salemba Medika

Kliegman, Robert M., dkk. 1999. Nelson textbook of pediatrics. Jakarta: EGC

Patel, Pradip R. 2007. Lecture Notes: Radiologi. Jakarta: Penerbit Erlangga

Graber, Mark A. 2006. Buku saku dokter keluarga. Jakarta: EGC

Rubenstein, David., dkk. 2007. Lecture Notes: Kedokteran Klinis. Jakarta: Penerbit Erlangga

Gibson, John. 2002. Fisiologi dan Anatomi Modern untuk Perawat. Jakarta: EGC

Ariestine, Dina Aprillia. 2008. Kolitis Ulseratif Ditinjau dari Aspek Etiologi, Klinik, dan
Patogenesa
Sodikin. 2011. Gangguan Sistem Gastrointestinal dan Hepatobilier (hal.252-255, hal.260-
263). Jakarta: Salemba Medika
Schwartz, M. William. 2005. Pedoman Klinis Pediatri (hal. 279-280). Jakarta: EGC.
Ulcerative Colitis Edition 7. National Association for Colitis and Crohn’s Disease (NACC).
2011

22

Anda mungkin juga menyukai