KELOMPOK III
AM I R (R011191105)
RUKIYA UMARELLA (R011191106)
RISKA ROFIQA (R011191142)
ARDIANSYAH NOCH (R011191045)
RIFKA ZULFIANI LATINAPA (R011191011)
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Menurut data WHO, penderita penyakit pertussis berkisar sekitar 30 sampai 50 juta kasus per tahunnya. Dampak akhir dari penyakit ini dapat menyebabkan kematian. Penyakit Pertusis dapat
diderita oleh semua orang tetapi penyakit ini lebih serius bila terjadi pada bayi (1). Di Negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, sebelum ditemukannya vaksin, angka kejadian dan kematian
akibat menderita pertusis cukup tinggi. Ternyata 80% anak-anak dibawah umur 5 tahun pernah terserang penyakit pertusis, sedangkan untuk orang dewasa sekitar 20% dari jumlah penduduk total.
Dengan kemajuan perkembangan antibiotic dan program imunisasi maka mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun. Namun demikian penyakit ini masih merupakan salah satu masalah
Penyakit pertusis terlebih dahulu menyerang saluran pernapasan bagian atas melalui udara ataupun percikan, kuman pathogen dapat mencapai saluran napas bagian bawah ketika sistem
pertahanan tubuh menurun. Pertusis dalam kondisi berat dapat menyebabkan komplikasi pneumonia, terutama pada anak kurang gizi dan anak dengan gangguan sistem imun. Untuk lebih cepat dalam
menganalisis penyakit ini diperlukan suatu teknologi komputer agar dapat dideteksi sedini mungkin. Tujuan dari deteksi dini ini adalah agar memudahkan dalam mengidentifikasi gejala, resiko dan
penyebarannya. Pertusis sangat infesius pada orang yang tidak memiliki kekebalan. Penyakit ini mudah menyebar ketika si penderita batuk. Sekali seseorang terinfeksi pertusis maka orang tersebut
kebal terhadap penyakit untuk beberapa tahun tetapi tidak seumur hidup, kadang-kadang kembali terinfeksi beberapa tahun kemudian. Pada saat ini vaksin pertusis tidak dianjurkan bagi orang dewasa.
Walaupun orang dewasa sering sebagai penyebab pertusis pada anak-anak, mungkin vaksin orang dewasa dianjurkan untuk masa depan.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah definisi pertusis ?
2. Bagaimana etiologi terjadinya pertusis ?
3. Bagaimana patofisiologi terjadinya pertusis ?
4. Bagaimana epidemiologi pertusis ?
C. TUJUAN
Tujuan umum
Dapat mengetahui dan memahami bagaimana tentang hal yang berkaitan dengan pertusis, gangguan pertusis terjadi, dan bagaimana pencegahannya serta bagaimana menyusun Asuhan
Keperawatannya.
Tujuan khusus
Inhalasi droplet
alveolus
Peningkatan aktivitas seluler
Reaksi atigen-antibodi
Tuberkel pecah Metabolisme meningkat
Reaksi radang pada paru
eksudasi Pemecahan KH, protein lemak dan adanya
Peningkatan produksi sekret penekanan pada saraf pusat lapar di otak
Fibrosis jaringan paru
Akumulasi sekret Kurang nafsu makan
Iskemia jaringan paru
Masa inkubasi Bordetella pertusis adalah 2-6 hari (rata-rata 7 hari). Sedangkan perjalanan penyakit terjadi antara 6-8 minggu.
Menyerupai gejala ispa: rinore dengan lendir cair, jernih, terdapat infeksi konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan iritatif kering dan intermiten, panas tidak begitu tinggi, dan droplet sangat infeksius.
Frekuensi derajat batuk bertambah 5-10 kali pengulangan batul, selama ekspirasi diikuti usaha inspirasi masif yang mendadak sehingga menimbulkan bunyi melengking (whooop) oleh karena udara yang
dihisap melalui glotis yang menyempit. Muka merah, sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi, petekia diwajah, muntah sesdah batuk paroksimal, apatis, penurunan berat badan, batuk
mudah dibangkitkan oleh stress emosionaldan aktivitas fisik. Kadang-kadang pada penyakit yang berat tampak pula perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis.
Whoop mulai berangsur angsur menurun dan hilang 2-3 minggu kemudian tetapi pada beberapa pasien akan timbul batuk paroksimal kembali. Episode ini akan berulang ulang untuk beberapa bulan dan
sering dihubungkan dengan infeksi saluran napas bagian atas yang berulang (2).
F. Komplikasi
1. Alat pernafasan
Dapat terjadi otitis media “sering pada bayi”, bronhitis, bronkopneumonia, atelektasisyang disebebkan sumbatan mucus, emfisema “dapat juga terjadi emfisema mediastinum, leher, kulit pada kasus yang
berat”, bronkiektasis, sedangkan tuberculosis yang sebelumnya telah ada dapat menjadi bertambah berat, batuk yang keras dapat menyebabkan rupture alveoli, emfisema intestistial, pnemutorak.
2. Alat pencernaan
Muntah- muntah yang berat dapat menimbulkan emasiasi, prolapsus rectum atau hernia yang munkin timbul karena tingginya tekanan intra abdominal, ulcus pada ujung lidah karena lidah tergososk pada
gigi atau tergigit pada waktu serangan batuk, stomatitis.
Kejang dapat timbul karena gangguan keseimbangan elektrolit akibat muntah muntah. Kadang-kadang terdapat kongesti dan edema otak, mungkin pula terjadi perdarahan otak, koma, ensefalitis,
hiponatremi(2).
G. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium : LED dan leukosit meningkat.
Pada stadium kataralis dan permulaan stadium plasmodik jumlah leukosit meningkat antara 15.000 - 45.000 per mm 3 dengan limfositosis. Diagnosis
dapat diperkuat dengan mengisolasi kuman dari sekresi jalan nafas yang dikeluarkan pada waktu batuk.
Foto thorax, CT Scan.
Periksa sputum.
H. Penatalaksanaan
1. Antibiotik
a). Eritromisin dengan dosis 50 mg / kg BB / hari dibagi dalam 4 dosis. Obat ini menghilangkan B. Pertussis dari nasofaring dalam 2-7 hari ( rata-rata
3-6 hari) dan dengan demikian memperpendek kemungkinan penyebaran infeksi. Eritromisin juga menggugurkan atau menyembuhkan pertussis bila
diberikan dalam stadium kataral, mecegah dan menyembuhkan pneumonia dan oleh karena itu sangat penting dalam pengobatan pertusis khususnya
pada bayi muda.
b). Ampisilin dengan dosis 100 mg / kg BB / hari, dibagi dalam 4 dosis.
c). Lain-lain : Rovamisin, kotrimoksazol, klorampenikol dan tetrasiklin.
2. Ekspektoran dan mukolitik.
Ekspektoran biasanya diresepkan untuk batuk kering dimana pasien sulit untuk mengeluarkan dahak. sedangkan mukolitik adalah obat yang bekerja
dengan mengurangi kekentalan dahak sehingga diharapkan dahak tersebut menjadilebih mudah dikeluarkan.
3. Kodein
Kodein adalah golongan obat yang digunakan untuk mengobati nyeri sedang hingga berat, batuk dan diare. Selain sangat berperan untuk meredakan
batuk juga obat yang paling banyak digunakan dalam perawatan kesehatan. Kodein ini diberikan bila terdapat batuk-batuk yang hebat sekali.
Lanjutan………
Luminal atau fenobarbital adalah depresan sistem saraf pusat yang terutama digunakan sebagai hipnotik sedativ dan juga sebagai antikonvulsan dalam dosis subhypnotic (2).
Pencegahan
1. Secara aktif
a). Dengan pemberian imunisasi DTP dasar diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan(DTP tidak boleh dibrikan sebelum umur 6 minggu)dengan jarak 4-8 minggu. DTP-1 deberikan pada umur 2
bulan,DTP-2 pada umur 4 bulan dan DTp-3 pada umur 6 bulan. Ulangan DTP selanjutnya diberikan 1 tahun setelah DTP-3 yaitu pada umur 18-24 bulan,DTP-5 pada saat masuk sekolah umur
5 tahun. Pada umur 5 tahun harus diberikan penguat ulangan DTP. Untuk meningkatkan cakupan imunisasi ulangan,vaksinasi DTP diberika pada awal sekolah dasar dalam program bulan
imunisasi anak sekolah(BIAS). Beberapa penelitian menyatakan bahwa vaksinasi pertusis sudah dapat diberikan pada umur 1 bulan dengan hasil yang baik sedangkan waktu epidemi dapat
diberikan lebih awal lagi pada umur 2-4 minggu. Kontra indikasi pemberian vaksin pertusis :
Riwayat kejan
Reaksi berlebihan setelah imunisasi DTP sebelumnya, misalnya suhu tinggi dengan kejang, penurunan kesadaran, syok atau reaksi anafilaktik lainnya.
b). Perawat sebagai edukator melakukan penyuluhan kepada masyarakat khususnya kepada orang tua yang mempunyai bayi tentang bahaya pertusis dan manfaat imunisasi bagi bayi.
2. Secara pasif
Secara pasif pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan kemopropilaksis. Ternyata eritromisin dapat mencegah terjadinya pertussis untuk sementara waktu (2).
Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
A. Identitas
B. Riwayat kesehatan
Keluhan utama
Pola nafas
Nutrisi
Eliminasi
Personal higine
Komunikasi
D. Pemeriksaan fisik
Tanda-tanda vital
Pemeriksaan Kepala
E. Pemeriksaan penunjang
2. Diagnosa Keperawatan
Nursing Care Plane
Pertusis adalah penyakit infeksi yang ditandai dengan radang saluran nafas yang menimbulkan serangan batuk panjang yang bertubi-tubi, berakhir dengan inspirasi
berbising. Nama lain penyakit ini adalah tussis quinta, whooping cough, batuk rejan, batuk 100 hari. Pertusis terutama terjadi pada anak-anak usia 4 tahun yang tidak
diimunisasi.
Bordetella pertusis adalah satu-satunya penyebab pertusis yaitu bakteri gram negatif, tidak bergerak, dan ditemukan dengan melakukan swab pada daerah nasofaring
dan ditanamkan pada media agar Bordet-Gengou.
B. Saran
Anak-anak dibawah 5 tahun sangat rentan terhadap infeksi pertusis, oleh karena itu dianjurkan untuk melakukan imunisasi atau pemberian vaksin pada usia 2, 4, dan 6
bulan sesuai dengan Program Pengembangan Imunisasi untuk mencegah infeksi yang berat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Susilo H. Vol. I No.2 Juni 2018 http://joernal.umsb.ac.id/index.php/RANGTEKNIKJOURNAL Rang Teknik Journal
Sistem Pakar Metode Forward Chaining Dan. 2018;I(2):185–94.
2. Andareto O. Penyakit Menular di Sekitar Anda. Aryanti RD, editor. Jakarta: Pustaka Ilmu Semesta; 2015.
3. Sir P, Penyebaran U, Pertusis P, Pada V, Manusia P. Pemodelan SIR untuk penyebaran Penyakit Pertusis dengan
Vaksinasi pada populasi Manusia Konstan. Unnes J Math. 2018;7(1):96–107.
4. Herdman, T.H dan Kamitsuru. S (2018) Nanda-I Diagnosis Keperawatan. Defenisi dan Klasifikasi 2018-2020.Edisi 11
EGC: Jakarta
5. Bulechek, Butcher, Dochterman & Wagner(2016). Nursing Interventions Classification (NIC) Edisi VI. Elsevier Global
Rights
6. Moorhead, Johnson Maas & Swanson (2016). Nursing Outcomes Classification (NOC) Edisi V. Elsevier Global Rights