Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik serta
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyalesaikan Satuan Acara Penyuluhan (SAP)
Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yang mana SAP ini di susun untuk memenuhi
tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II yang diampu oleh ibu Eliza Zihni
Zahitulwani, S.Kep.,Ns.,M.Kep
Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan, saran, kritik, bimbingan dan juga dukungan sehingga makalah ini
dapat terselesaikan. Penulis minta maaf apabila dalam penulisan SAP ini masih
terdapat kesalahan maupun kekurangan oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat saya harapkan untuk perbaikan.
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Lupus adalah penyakit dengan seribu wajah, merupakan salah satu
penyakit reumatik autoimun yang memerlukan perhatian khusus baik dalam
mengenali tampilan klinis penyakitnya hingga pengelolaannya (Sudoyo,AW.2011).
Penyakit lupus merupakan penyakit autoimun yang menyebabkan inflamasi kronis.
Penyakit ini terjadi didalam tubuh akiibat sistem kekebalan tubuh salah menyerang
jaringan sehat. Penyakit ini juga merupakan penyakit multi-sistem dimana banyak
manifestasi klinis yang didapat penderita, sehingga setiap penderita mengalami
gejala yang berbeda dengan penderita yang lainnya tergantung dari organ yang
diserang oleh antibodi tubuhnya. Manifestasi klinis yang paling sering dijumpai
adalah skin rash, arthritis, dan lemah. Pada kasus yang lebih berat SLE bisa
menyebbkan nefritis, masalah neurologi, anemia dan trombositonemia
(Muthusamy,V.2017).
Penyakit lupus lebih banyak menyerang wanita usia 15-45 tahun dengan
perbandingan mengenai perempuan antara 10-15 kali lebih sering dari pria. Artinya,
penyakit ini sering mengenai wanita usia produktif tetapi jarang menyerang laki-laki
dan usia lanjut. Sebetulnya terdapat tiga jenis penyakit lupus, yaitu lupus diskoid,
lupus terinduksi obat dan lupus sistemik atau SLE ini (Roviati,E.2012). Faktor-
faktor yang bersifat predisposisidan yang ikut berkontribusi menimbulkan penyakit
autoimun antara lain, faktor genetik, kelamin (gender), infeksi, sifat autoantigen,
obat-obatan serta faktor umur (Hasdianah,2014).
1
BAB II
SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)
2
2.3 Rencana Kegiatan Penyuluhan
1. Metode : Ceramah , Diskusi, Dan Tanya Jawab
2. Media Dan Alat Bantu : Leaflet, Pertunjukan Slide PPT (Melalui LCD
Proyektor), Video Pembelajaran
3. Tempat Dan Waktu
a) Tempat Kegiatan : Balai Desa Samata
b) Hari/Tanggal : Kamis, 27 Mei 2021
4. Pemateri : Winda Sri Lestari Subhan
5. Peserta : Masyarakat Samata
6. Waktu : 50 Menit
3
peserta
1. Menyimpulkan kembali Peserta menjawab Ceramah
materi yang telah salam
disampaikan
Terminasi 2. Menyampaikan terima
(2menit) kasih atas waktu yang
telah diberikan oleh
peserta
3. Memberi salam penutup
4
BAB III
MATERI SATUAN ACARA PENYULUHAN
3.1 Definisi
Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan. Sedangkan
eritematosus berarti merah. Ini untuk menggambarkan ruam merah pada kulit yang
menyerupai gigitan anjing hutan di sekitar hidung dan pipi. Istilah ini mulai dikenal
sejak abad ke-10. Sehingga dari sinilah istilah lupus tetap digunakan untuk penyakit
Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Penyakit ini sebenarnya telah dikenal sejak
jaman Yunani kuno oleh Hipokrates, namun pengobatan yang tepat belum diketahui
(Roviati,E.2012).
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun multisistem
dimana organ, jaringan dan sel mengalami kerusakan yang dimediasi oleh
autoantibodi pengikat jaringan dan kompleks imun. Gambaran klinis SLE dapat
berubah, baik dalam hal akivitas penyakit maupun keterlibatan organ.
Imunopatogenisis SLE kompleks dan sejalan dengan gejalan klinis yang beragam.
Tidak ada mekanisme aksi tunggal yang dapat menjelaskan seluruh kasus dan
kejadian awal yang dapat memicu terjadinya SLE belum diketahui secara konkrit
(Muthusamy.V,2017).
3.2 Etiologi
Menurut Pusdatin (2017), factor-faktor penyebab Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) sebagai berikut :
1. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul
produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik umum untuk
menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar.
Sekitar 2-5% anak kembar dizigot beresiko menderita SLE, sementara pada
kembar monozigot resiko terjadinya SLE dalah 58%. Resiko terjadinya SLE
pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih
tinggi dibandingkan pada populasi umum (Rindhi.DW,2014).
5
2. Faktor lingkungan
Beberapa fakor lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE antara lain
(Pusdatin,2017) :
1) Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah
memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Karena respon imun tubuh akan
terganggu ketika sesorang dalam keadaan stres. Stres sendiri idak
mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem auto antibodinya tidak ada
gangguan sejak awal (Rindhi.DW,2014).
2) Obat-obatan
Beberapa obat dapat menyebabkan terjadinya gangguan sistem imun
melalui mekanisme molecular mimicry, yaitu molekul obat memiliki teksur
yang sama dengan molekul didalam tubuh sehingga menyebabkan gangguan
toleransi imun.
3) Infeksi
Infeksi dapat memicu respon imun dan pelepassan isi sel yang rusak
akibat infeksi dan dapa meningkatkan respon imun sehingga menyebabkan
penyakit autoimun
4) Paparan sinar ultraviolet
Adanya paparan sinar ultraviolet dapat menyebabkan kerusakan dan
kematian sel kulit dan berkaitan dengan fotosensitifitas pada SLE.
6
5. Nyeri pada sendi-sendi. Sendi berwarna kemerahan dan bengkak. Gejala ini
dijumpai pada 90% odapus.
6. Gejala pada paru-paru dan jantung berupa selaput pembentukannya terisi cairan.
7. Gangguan pada ginjal yaitu terdapatnya protein didalam urine.
8. Gangguan pada otak/sistem saraf mulai dari depresi, kejang, stroke, dan lain-
lain.
9. Kelainan pada sistem darah, dimana pada jumlah sel darah putih dan trombosit
berkurang. Dan biasanya terjadi juga anemia.
10. Tes ANA (Antinuclear Antibody) positif
11. Gangguan sistem kekebalan tubuh.
3.4 Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan permanen untuk SLE. Tujuan dari terapi adalah
mengurangi gejala dan melindungi organ dengan mengurangi peradangan dan atau
tingkat aktifitas autoimun ditubuh. Pasien dengan SLE lebih memutuhkan istirahat
selama penyakitnya aktif. Kualitas tidur yang buruk adalah faktor yang signifikan
dalam menyebabkan kelelahan. Hal ini memperkuat pentingnya bagi pasien dan
dokter untuk meningkatkan kualitas tidur. Selama periode ini, latihan tetap penting
untuk menjaga tekanan otot dan luas pergerakan dari persendian
(Muthusamy.V,2017).
Terapi SLE sebaiknya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar
tujuan terapi dapat tercapai. Berikut terapi SLE (Rindhi.DW,2014) :
1. Terapi Farmakologi
Jenis obat-obatan yang digunakan untuk terapi SLE sebagai berikut sesuai
dengan manifestasi klinis yang dialami adalah (Rindhi.DW,2014) :
1) NSAID (Non Sterois Anti-Inflamation Drugs)
NSAID dapat digunakan untuk mengendalikan gejala SLE pada
tingkatan yang ringan, seperti menurunkan inflamasi dan rasasakit pada otot,
sendi dan jaringan lain. Contoh obat : aspirin, ibuprofen, baproxen dan
sulindac. Obat-obatan tersebut dapat menimbulkan efek samping, yaitu pada
saluran pencernaan seperti mual, muntah, diare dan perdarahan lambung.
7
2) Kortikosteroid
Penggunaan dosis seroid yang tepat merupakan kunci utama dalam
pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah atau tinggi
sesuai tingka keparahan penyaki untuk pengendalian penyakit. Penggunaan
kortikosteroid dapat dilakukan secara oral, injeksi pada sendi dan intravena.
Contoh : Metilprednisolon. Kesalahan yang sering terjadi adalah pemberian
dosis yang tinggi, namun tidak disertai dengan konrol dan dalam waktu yang
lama. Beberapa efek samping dari mengonsumsi korikosteroid terdiri dari
meningkatkan berat badan, penipisan kulit, osteoporosis, meningkatnya
resiko infeksi virus dan jamur, perdarahan gastrointesinal, memperberat
hiperensi dan moon face.
3) Antimalaria
Antimalaria yang dapat digunakan untuk terapi SLE terdiri dari
hydroxychloroquinon atau kloroquin. Hyrdoxychloroquinon lebih sering
digunakan dibanding kloroquin karena resiko efek samping ada mata lebih
rendah. Obat antimalaria efekif untuk SLE dengan gejala fatique, kulit dan
sendi. Baik untuk mengurangi ruam tampa meningkatkan penipisan
pembuluh darah. Toksisitas ada mata berhubungan dengan dosis harian dan
kumulatif, sehingga selama dosis tidak melebihi resiko tersebut sangat kecil.
Pasie SLE dianjurkan untuk memeriksakan ketajaman visual setiap enam
bulan untuk identifikasi dini kelainan mata selama pengobatan.
4) Immunosupresan
Obat immunosuprosan merupakan obat yang befungsi untuk menekan
sistem imun tubuh. Ada beberapa jenis obat immunosupresan yang biasa
dikonsumsi pasien SLE sperti azathioprine (imuran), mycophenolate mofetil
(MMF), methotrexate cyclosporine, cycloposphamide, dan Rituximab.
2. Terapi Non Farmakologi
Terapi non farmakologi yang bisa dilaukan oleh pasien SLE, yaitu
(Muthusamy.V,2017) :
1) Menghindari sinar matahari atau menutupinya dengan pakaian yang
melindungi dari sinar matahari bisa efekif mencegah masalah yang
disebabkan oleh fotosensitive.
8
2) Menurunkan berat bedan juga disarankan pada pasien yang obesitas dan
kelebihan berat badan untuk mengurangi efek dari penyakit ini, khususnya
jika ada masalah dengan persendian.
3) Pada pasien yang diberikan terapi dengan kortikosteroid sesuai teori.
Kortikosteroid yang digunakan adalah methylprednisolone. Selain itu pasien
juga dinasehatkan agar melindungi dirinya dari sinar matahari.
9
3. Beberapa jenis makanan yang harus dihindari oleh pasien lupus (Rustanti,
E.2020)
1) Menghindari makanan yang mengandung banyak asam amino seperti toge.
2) Mengkonsumsi asam arakidonat juga perlu dihindari oleh penderita lupus.
Seperti daging, susu, telur, kacang tanah, dan rumput laut.
3) Mengkonsumsi sayuran seperti buncis, dan jamur tidak baik bagi penderita
lupus karena kandungan amina dan hydrazines yang bisa meningkatkan
gejala lupus.
4) Saat memasak hindari penggunaan gara secara berlebihan, karena jika
mengkonsumsi terlalu banyak bisa menyebabkan lupus kambuh.
3.6 Pencegahan
Menurut Sumariyono (2018), berikut beberapa pencegahan yang bisa dilakukan:
1. Hindari aktifitas merokok dan paparan asap rokok dari orang lain
2. Hindari stress berlebihan
3. Menerapkan pola hidup sehat
4. Istirahat yang cukup
5. Hindari paparan sinar matahari berlebih
1) Gunakan tabir surya (SPF >30) 15 menit sebelum beraktifitas diluar ruangan.
2) Pakai pakaian yang melindungi dari paparan sinar matahari.
3) Beraktifitas diluar ruangan sebelum jam 10:00 atau setelah jam 16:00
10
3.7 Lampiran 1 Leafleat
11
12
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dengan adanya kegiatan penyuluhan tingkat pemahanan masyarakat mengenai
penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) lebih berfikir kritis akan hal
tersebut, bahwa Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan salah satu
penyakit yang banyak menyerang wanita usia 15-45 tahun dengan perbandingan
mengenai perempuan antara 10-15 kali lebih sering dari pria. Artinya, penyakit ini
sering mengenai wanita usia produktif tetapi jarang menyerang laki-laki dan usia
lanjut.
4.2 Saran
Diharapkan masyarakat dapat memahami dan menambah ilmu pengetahuan
mengenai latar belakang dari penyakit lupus.
13
DAFTAR PUSTAKA
Rindhi, DW. 2014. Karya Tulis Ilmiah Systemic Lupus Erythematous (SLE).
(Online).http://eprints.undip.ac.id/44553/3/22010110120110_BAB2KTI.
pdf (Diakses pada 20 Mei 2021)
Rustanti, E. 2020. Diet pada gangguan system imun dan hematologi. Bahan ajar.
Jombang; program S1 keperawatan
Sumariyono. 2018. Mengenal Lupus Eritematosus Media Briefing Hari Lupus Sedunia.
(Online) http://p2ptm.kemkes.go.id/uploads/2018/05/ pdf (Diakses pada
20 Mei 2021)
14