Anda di halaman 1dari 4

Diet bagi Penderita Leukemia

March 25, 2014 — Leave a comment

“Siapa bilang gizi tidak banyak kaitannya dengan kesehatan! Siapa bilang salah gizi tidak
sama bahayanya dengan salah obat!”

Leukemia terdiri atas dua jenis, yakni Myeloid dan Lymphoblastic, yang bisa bersifat akut
maupun kronik. Leukemia jenis Myeloid menyerang sumsung tulang belakang, sehingga
pada penderita AML (Acute Myeloid Leukemia) maupun CML (Chronic Myeloid Leukimia)
akan terjadi gangguan pembentukan sel darah, baik itu sel darah merah, sel darah putih,
maupun trombosit. Kondisi tersebut memicu terjadinya kondisi anemia (kurangnya produksi
sel darah merah), trombositopenia (kurangnya produksi trombosit) dan leukopenia
(kurangnya produksi sel darah putih). Produksi trombosit yang rendah menyebabkan
penderita rentan terhadap pendarahan. Sel darah penderita Myeloid Leukimia akan ditemukan
adanya Auer Rods. Sedangkan, kondisi Lymphoblastic Leukemia, sel kanker menyerang
bagian diluar sumsum tulang belakang, dan berkaitan dengan pembentuk sel beta.

Selain itu, ada pula kondisi pre-leukemia, yakni Myelodysplastics Syndrome (MDS).
Myelodysplastic syndromes (MDS) merupakan gangguan pada produksi sel darah yang
terjadi di sumsum tulang belakang. Sumsum tulang belakang merupakan jaringan tipis yang
terletak di tengah tulang manusia dan berfungsi untuk memproduksi sel darah. Sumsum
tulang belakang penderita MDS akan memproduksi sel darah secara abnormal, dimana sel
darah yang dihasilkan bersifat immature dan dalam perjalanannya sel darah tersebut akan
mengalami kegagalan pematangan sehingga saat memasuki aliran darah tidak dapat berfungsi
secara sempurna. Sel darah yang tidak matang atau immature tersebut dikenal dengan nama
blast cell. Saat memasuki sistem peredaran darah, blast cell akan dipecah, sehingga
mengakibatkan kadar sel darah penderita MDS berada dibawah normal. Sel darah yang
jumlahnya dibawah normal bisa terdiri atas satu jenis sel darah saja atau bisa pula terdiri atas
beberapa jenis sel darah. Ada tujuh tahapan atau stadium dalam MDS menurut WHO, yakni :

1. Refractory cytopenia with unilineage dysplasia (RCUD)


2. Refractory anemia with ringed sideroblasts (RARS)
3. Refractory cytopenia with multilineage dysplasia (RCMD)
4. Refractory anemia with excess blasts-1 (RAEB-1)
5. Refractory anemia with excess blasts-2 (RAEB-2)
6. Myelodysplastic syndrome, unclassified (MDS-U)
7. Myelodysplastic syndrome associated with isolated del(5q)

MDS RAEB II merupakan suatu kondisi yang menunjukan kadar sel darah penderita berada
dibawah normal untuk satu atau lebih jenis sel darah dan produksinya di sumsum tulang
belakang juga tampak tidak normal. Penderita MDS RAEB II memproduksi 10 – 20% lebih
banyak blast cell di sumsum tulang dibandingkan penderita MDS RAEB I. Sekitar 5 hingga
19% sel darah yang diproduksi penderita MDS RAEB II merupakan blast cell dan blast cell
kemungkinan berisi Auer Rods (gumpalan material granular azurophilic yang membentuk
jarum memanjang terlihat dalam sitoplasma blast leukemia). Penderita MDS RAEB II
beresiko 50% lebih besar untuk berkembang menjadi AML (Sanz et al. 1989).

Resiko MDS tinggi pada orang yang sering terpapar zat kimia, rokok dan juga radiasi. Pada
pasien kanker yang menjalani penyembuhan dengan metode radiasi biasanya beberapa tahun
kemudian akan terserang MDS. Hal tersebut dinamakan MDS sekunder atau MDS terkait
pengobatan.

Myelodysplastic syndrome (MDS) mengacu pada sekelompok gangguan heterogen yang


berkaitan erat dengan gangguan hematopoietik klonal. MDS ditandai dengan hypercellular
atau hiposeluler sumsum dengan gangguan morfologi dan pematangan (dysmyelopoiesis)
serta cytopenias darah perifer, akibat produksi sel darah tidak efektif. Semua jenis sel darah
dalam hematopoiesis myeloid dapat terlibat, termasuk eritrosit, granulosit, dan baris sel
megakaryocytic. Meskipun klonal, MDS dianggap sebagai kondisi premalignant dalam
subkelompok pasien yang sering berkembang menjadi akut leukemia myelogenous (AML)
ketika kelainan genetik tambahan diperoleh (Sanz et al. 1989).

Pada sindrom myelodisplastic, sumsum tulang belakang lebih banyak memproduksi sel blast
atau sel darah yang belum matang. Blast tidak dapat berfungsi layaknya sel darah normal
sehingga ketika memasuki peredaran darah sel blast akan dihancurkan. Seluruh sel tubuh
mahluk hidup mengandung DNA dan RNA, dimana ketika terjadi perombakan sel maka basa
purin yang terkandung dalam DNA dan RNA sel tersebut akan menghasilkan produk akhir
yang dikenal dengan nama asam urat. Peningkatan jumlah sel blast yang dirombak pada
penderita leukimia berakibat pula pada peningkatan asam urat dalam darah. Selain itu,
kemoterapi yang menyebabkan kerusakan sel, baik pada sel kanker maupun sel normal, akan
menyebabkan peningkatan kadar asam urat sebagai manifestasi akhirnya (Hurst 2008).

Diet Leukemia

Berdasarkan penjelasan diatas, diketahui bahwa kanker darah pun bisa menyebabkan
berbagai gangguan lain, baik anemia hingga asam urat, sehingga pada intervensi gizi yang
hendak direncanakan bagi penderita kanker darah ini tidak semata – mata hanya
mementingkan kondisi kankernya saja, namun juga mempertimbangkan adanya kemungkinan
efek lain yang akan timbul terkait penyakit tersebut. Pada prinsipnya, penderita kanker harus
menjalani diet Tinggi Energi dan Tinggi Protein, hal ini guna mengimbangi kebutuhan energi
dan protein yang juga ikut meningkat seiring adanya perkembangan kanker dalam tubuh. Sel
kanker ibarat suatu parasit dalam tubuh, ia akan menyedot dan menggunakan zat – zat gizi
yang seharusnya untuk kebutuhan tubuh secara normal. Zat – zat gizi tersebut akan
digunakan untuk pertumbuhan sel kanker itu sendiri, sehingga apabila asupan zat gizi
penderita kanker kurang, sel – sel kanker tersebut akan menggunakan cadangan energi dan
protein dalam tubuh dan lambat laun menyebabkan penurunan berat badan hingga kondisi
kurang gizi atau disebut kaheksia.

Berbicara tentang leukimia, seperti yang dijelaskan sebelumnya, penyakit yang satu ini bisa
membuat penderitanya mengalami peningkatan asam urat, meskipun belum tentu akan
berkembang dan menimbulkan gejala Gout. Meski demikian, kondisi tersebut tentunya tidak
bisa dibiarkan begitu saja. Untuk mencegah peningkatan asam urat yang berlebihan,
penderita leukimia akan diberikan obat alupurinol guna menurunkan asam uratnya, namun
ada baiknya hal tersebut juga didukung dengan diet rendah purin guna mendukung efek obat.
Diet rendah purin mengharuskan penderita leukemia membatasi konsumsi makanan berpurin
sedang hingga tinggi, misalnya tahu tempe, sayuran berdaun hijau, makanan laut, kacang –
kacangan, dan juga jeroan.

Ada satu lagi yang khas dari diet bagi penderita leukimia, yakni adanya pembatasan asam
folat. Penggunaan folat masih dipertentangkan dalam kasus leukimia, baik jenis
lymphoblastik maupun myeloid leukimia. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa defisiensi
asam folat dapat meningkatkan perkembangan kanker, sementara pada populasi lain,
defisiensi asam folat justru bisa menghambat perkembangan kanker. Penelitian yang
dilakukan Koury et al. (1997) menemukan bahwa defisiensi asam folat justru bisa
mempercepat perkembangan menuju AML (Acute Myeloid Leukimia) terutama pada pasien
yang berisiko tinggi mengidap penyakit ini. Namun, hal bertentang ditemukan oleh Sydney
Farber pada tahun 1948. Beliau melihat bahwa suplementasi asam folat pada anak – anak
penderita Anemia Perniciousa karena kekurangan vitamin B12 dapat diatasi dengan
pemberian asam folat. Asam folat dapat membantu mengurangi produksi blast pada penderita
Anemia Perniciousa. Kemiripan gejala antara Anemia Perniciousa dengan leukimia dalam hal
produksi blast membuat Farber mencoba untuk menggunakan terapi asam folat pada pasien
anak pengidap ALL (Acute Lymphoblastic Leukimia). Hasil mengejutkan ditemukan bahwa
pasien anak tersebut justru semakin bertambah parah dengan pemberian suplementasi asam
folat. Hal tersebut kemudian membawa pengobatan leukimia ke era baru dimana kemoterapi
bagi penderita leukimia dilakukan dengan pemberian antifolat, aminopterin.
Penelitian terkait asam folat dengan perkembangan kanker belum sepenuhnya jelas. Pada
penderita kanker kolorektal, suplementasi folat dapat menurunkan proliferasi adenoma dan
kemungkinan dapat mencegah munculnya adenoma di masa depan. Penelitian Young In Kim
pada tahun 2008 menyimpulkan bahwa pada jaringan normal asam folat dapat mencegah dan
menghambat timbulnya sel neoplastik, namun pada kondisi preneoplastik dan neoplastik,
asam folat akan mendorong proliferasi lesi kanker. Oleh karena itu, pemberian suplemen
asam folat tidak direkomendasikan sebagai kemopreventif.
Sumber bahan makanan yang mengandung sedikit sekali asam folat adalah daging (secara
umum), susu, telur, buah – buahan dan umbi. Bahan makanan yang mengandung folat dalam
jumlah tinggi adalah kacang – kacangan, daun – daunan berwarna hijau (folat berasal dari
bahasa latin “folium” berarti daun), seperti bayam, asparagus dan brokoli. Pemasakan dengan
temperatur tinggi dapat menurunkan kadar folat, misalnya susu bubuk memiliki kadar folat
yang lebih kecil dibandingkan dengan susu cair, karena pemanasan dapat merusak asam folat
(Piliang dan Soewondo 2006).

Referensi :

Hurst Marlene. 2008. Pathophysiology Reviews. US : Mc Graw Hill.

Koury MJ, Park DJ, Martincic D, Horne DW, Kravtsov V, Whitlock JA, del Pilar Aguinaga
M, dan Kopsombut P. 1997. Folate deficiency delays the onset but increases the incidence of
leukemia in Friend virus-infected mice. Blood 90(10) : 4054 – 4061.

Sanz GF, Sanz MA, Vallespi T et al. 1989.Two regression models and a scoring system for
predicting survival and planning treatment in myelodysplastic syndromes: a multivariate
analysis on prognostic factors in 370 patients. Blood 74 : 395 – 408

Young In Kim. 2008. Folic Acid Supplementation and Cancer Risk: Point. Cancer Epidemiol
Biomarkers Prev 17: 2220.
Piliang Wiranda G & Soewondo Djojosoebagio. 2006. Fisiologi Nutrisi Volume II. Bogor :
IPB Press.

Anda mungkin juga menyukai