Anda di halaman 1dari 41

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar belakang Peningkatan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) dipengaruhi oleh banyak hal, salah satunya adalah aktifitas fisik yang sekarang masih menjadi masalah dunia akibat dampak globalisasi. Globalisasi telah merubah pekerjaan seseorang menjadi lebih instan, cenderung untuk bermalas-malasan dan tanpa sadar mengubah aktivitas fisiknya berkurang. Seperti contoh gaya hidup masyarakat kota, dimana masyarakat lebih banyak mengkonsumsi makanan yang cepat saji, tinggi lemak, tinggi pengawet dan rendah serat. Kebiasaan merokok masih berlanjut. Stres, masih sering menghantui dan mobilitas masyarakat lebih didominasi dengan sarana kendaraan bermotor dibandingkan dengan aktivitas fisik seperti berjalan kaki. Gaya hidup yang demikian ini akan berakibat semakin menurunnya tingkat kebugaran jasmani seseorang dan meningkatkan prevalensi penyakit kardiovaskular, obesitas dan penyakit konis lainnya. Bukan hanya prevalensinya, kasus kasus penyakit ini pun akibatnya terjadi pada usia yang lebih muda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Latihan fisik seperti olahraga (excercise) merupakan gaya hidup sehat yang melibatkan gerak seluruh anggota tubuh dimana bermanfaat demi meningkatkan kebugaran jasmani. Penelitian menunjukkan bahwa orang dengan aktifitas tubuh yang mempertahankan kebugaran tubuh dan melakukan pengaturan berat badan memiliki kualitas hidup lebih panjang dan resiko kematian berkurang tiga kali lipat dari pada orang yang jarang melakukan latihan fisik (berolahraga). (Guyton, 2006) Olahraga pada awalnya mengganggu hemostasis jaringan. Olahraga sering memerlukan koordinasi berkepanjangan diantara berbagai sistem tubuh, termasuk sistem otot, tulang, saraf, sirkulasi, pernafasan, kemih, integlumen, dan endokrin. (Sherwood, 2009) Peningkatan atau penurunan tekanan denyut nadi dan tekanan darah akan mempengaruhi homeostatsis di dalam jaringan. Tekanan darah selalu diperlukan untuk daya dorong mengalirnya darah di dalam arteri, arteriola, kapiler dan sistem

vena, sehingga terbentuklah suatu aliran darah yang menetap. Jika sirkulasi darah menjadi tidak memadai lagi, maka terjadilah gangguan pada sistem transportasi oksigen, karbodioksida, dan hasil-hasil metabolisme lainnya ke seluruh tubuh (Sherwood, 2009). Semakin besar metabolisme dalam suatu organ, maka semakin besar aliran darahnya. Hal ini akan dikompensasi jantung dengan mempercepat denyutnya dan memperbesar banyaknya aliran darah yang dipompakan dari jantung ke seluruh tubuh. Perubahan denyut nadi dan tekanan darah sering dipakai sebagai dasar untuk physical fitness test. (Irenne, Elly. 2006) Selain itu untuk memantau sistem sirkulasi saat beraktivitas juga, dapat dilakukan dengan pengukuran kecepatan pemakain oksigen dalam metabolisme aerob maksimum yang biasa disingkat VO2 Max. VO2 max adalah jumlah maksimum oksigen yang dapat dikonsumsi selama aktifitas fisik yang intens sampai akhirnya terjadi kelelahan. Nilai VO2 max secara normal dipengaruhi oleh sistem kardiovaskuler dibandingkan dengan sistem pernafasan karena, pemakaian oksigen oleh tubuh tidak dapat lebih dari kecepatan sistem kardiovaskuler dalam mengantarkan oksigen kejaringan. (Guyton, 2006) Nilai tekanan darah, tekanan nadi dan VO2 max saat berolahraga setiap individu memiliki nilai yang berbeda-beda dikarenakan banyak faktor yang mempengaruhinya seperti, umur, jenis kelamin, berat badan, faktor keturunan, penyakit kronis, perokok, peminum alkohol, dan peminum caffein. Itu semua merupakan faktor yang dapat mempengaruhi sirkulasi cardiorespiratory system tiap individu, contoh pada orang dengan kebiasaan merokok berat, saat excercise mungkin berbeda tingkat kebutuhan oksigennya dengan orang yang tidak merokok. Menurut banyak penelitian merokok dapat mengurangi pernafasan atlit. Dikarenakan pertama, salah satu dampak nikotin adalah menyebabkan kontriksi bronkhiolus terminalis paru, yang meningkatkan tahanan aliran udara kedalam dan keluar paru. Kedua, efek iritasi asap rokok menyebabkan kenaikan sekresi cairan dalam cabang-cabang bronkus, juga pembengkakan lapisan epitel. Ketiga, nikotin dapat melumpuhkan silia pada permukaan sel epitel pernafasan yang secara normal terus bergerak untuk memindahkan kelebihan cairan dan partikel asing dari saluran pernafasan. Akibatnya, lebih banyak debris berakumulasi dalam

jalan nafas dan menambah kesukaran bernafas. Dengan begitu, perokok ringan sekalipun akan merasa tahanan pernafasan selama latihan maksimum, dan tingkat performa jelas dapat berkurang. (Guyton, 2006)
Perilaku merokok inipun dapat mempengaruhi kesanggupan berolahraga seseorang, oleh karena kesanggupan berolahraga ditentukan oleh sistem

kardiovaskular dan sistem pernafasan. Apabila, salah satu sistem terganggu, maka dapat mempengaruhi kesanggupan berolahraga. Saat berolahraga, harus dibedakan antara perokok dengan bukan perokok yang tidak terlatih. Pada orang tidak terlatih frekuensi pernapasannya semakin meningkat, dikarenakan banyaknya udara yang tidak ikut menyegarkan alveoli. Jadi, semakin tinggi frekuensi pernapasan, semakin kurang efisien seseorang saat melakukan olahraga. Sedangkan pada sistem kardiovaskular orang yang tidak terlatih, kerja jantung meningkat lebih tinggi, sehingga memperoleh efek terjadi peningkatan pasokan oksigen yang akan dipompakannya keseluruh tubuh. (Cempaka, 2011)

MAN Buntet Pesantren, merupakan salah satu sekolah yang berada di wilayah naungan YLPI Buntet Pesantren, Astanajapura Cirebon. Dimana mayoritas siswanya hampir 90% adalah santri dan warga buntet pesantren. Kehidupan santri mungkin agak sedikit berbeda dibandingkan anak rumahan, dimana dari segi asupan gizi makanan yang kurang, kualitas tidur yang tidak teratur, serta kebiasaan merokok yang masih menjadi kebutuhan santri putra itu malah menjadi sebab munculnya banyak penyakit. Akibatnya, dari data statistis puskesmas Astanajapura banyak ditemukan santri putra yang mengeluh sering batuk, sesak nafas, dada berdebar-debar dan kurang semangat dalam melaksanakan aktifitasnya. Dari sini memunculkan ide peneliti untuk melakukan penelitian observasi tentang judul Perbandingan efek excercise sebelum berolahraga terhadap siswa merokok dan tidak merokok terkait perubahan nilai denyut nadi dan VO2 Max di MAN Buntet Pesantren

1.2

Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang ingin diambil adalah Apakah ada perbandingan efek excercise sebelum berolahraga terhadap

siswa merokok dan tidak merokok terkait perubahan denyut nadi dan VO2 Max di sekolah MAN Buntet Pesantren?

1.3

Tujuan penelitian

1.3.1 Tujuan umum Secara teoritis penelitian ini memberikan informasi dalam bidang ilmu pengetahuan, kesehatan dan olahraga terkait kualitas kebugaran jasmani siswa yang merokok dan tidak merokok pasca excercise dilihat dari denyut nadi dan kecepatan konsumsi paru maksimum (VO2 max) pada kedua kelompok siswa.

1.3.2 Tujuan khusus a. Mengetahui pengaruh (efek) warming-up terhadap denyut nadi siswa yang merokok b. Mengetahui pengaruh (efek) waring-up terhadap denyut nadi siswa yang tidak merokok c. Mengetahui dan membandingkan pengaruh (efek) yang ditimbulkan pada denyut nadi pasca warming-up dari kedua siswa yang merokok dan tidak merokok d. Mengetahui pengaruh (efek) warming-up terhadap kecepatan konsumsi maksimum paru (Vo2 max) siswa merokok e. Mengetahui pengaruh (efek) warming-up terhadap kecepatan konsumsi maksimum paru (VO2 max) siswa yang tidak merokok f. Mengetahui dan membandingkan pengaruh (efek) yang ditimbulkan pada VO2 max pasca warming-up dari kedua siswa yang merokok dan tidak merokok

1.4

Manfaat penelitian

1.4.1 Manfaat teoritis Dari segi perkembangan ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai tambahan informasi secara umum tentang tingkat kebugaran jasmani remaja.

1.4.2 Manfaat praktis a. Bagi institusi sekolah dan siswa 1. Siswa dapat mengetahui nilai kualitas denyut nadi dan VO2 maksimumnya pasca exsercise 2. Membantu guru dan isntitusi yang terkait dalam menilai angka kebugaran jasmani siswanya 3. Memberikan informasi bagi pembina, pelatih, guru olahraga dan siswa untuk dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam meningkatkan kebugaran jasmani siswa dan prestasi siswa di bidang olahraga. b. Bagi peneliti 1. Dapat menerapkan dan memanfaatkan ilmu yang didapat selama pendidikan tentang bidang faal yang diteliti 2. Menambah pengetahuan dan pengalaman dalam membuat penelitian ilmiah 3. Dapat dijadikan informasi ilmiah bagi peneliti untuk kepentingan penelitian selanjutnya jika .suaktu-waktu penelitian ini akan

dikembangkan.

1.5

Orisinalitas Tabel 1.1 Daftar Perbedaan Penelitian yang Pernah Dilakukan No Penulis & Judul Tahun Penelitian Penelitian Adhikamika Pengaruh latihan Uliyandari fisik terprogram (2009) terhadap perubahan nilai konsumsi oksigen maksimum (Vo2 Max) pada siswi sekolah bola voli Tugu muda Semarang usia 11-13 tahun Metode dan Disain Penelitian Metode yang digunakan adalah eksperimental semu dengan disain Two Group Pre and Post Test Control Design dikarenakan menggunakan kelompok erlakuan dan kontrol Kesimpulan

1.

Terdapat peningkatan nilai Vo2 mak pada anak usia 11-13 tahun yang mendapat latihan fisik terprogram. Rerata nilai Vo2 max awal pada kelompok kontrol sebesar 44,4 3,86 ml/kg/menit dan rerata nilai Vo2 max akhir sebesar 37,0 5,64 ml/kg/menit. Ini berarti terjadi penurunan rerata nilai Vo2 max sebesar 7,4 6,47 ml/kg/menit. Sedangkan pada kelompok perlakuan didapat nilai Vo2 max awal sebesar 39,9 4,50 ml/kg/menit dan rerata nilai Vo2 max akhir sebesar 42,5 4,69 ml/kg/menit. Ini berarti terjadi peningkatan rerata nilai Vo2 max sebesar 2,6 5,03 ml/kg/menit. Berdasarkan hasil perhitungan statistik, diperoleh thitung = 6,423 dan ttabel = 2,020 dengan taraf signifikan 0,05 sehingga thitung > ttabel, Jadi terdapat perbedaan yang bermakna antara siswa yang latihan sepakbola dengan yang tidak latihan sepakbola. Pada penelitian ini Vo2.max siswa yang latihan sepakbola lebih

2.

Huldani (2008)

Perbedaan VO2.max antara Siswa yang latihan sepakbola dengan yang tidak latihan sepakbola di Pondok Pesantren Darul Hijrah

Metode analitik dengan pendekatan secara cross sectional, teknik purposive sampling. Jumlah sampel 80 orang dengan perbandingan 40 siswa yang berolahraga dan 40 siswa yang tidak berolahraga

besar dibanding yang tidak latihan. Vo2.max merupakan parameter tingkat kesegaran jasmani, maka dapat dinyatakan bahwa tingkat kesegaran jasmani siswa yang latihan sepakbola lebih baik dibanding yang tidak latihan. 3. Irenne Elly M.S (2006) Perubahan denyut nadi mahasiswa setelah aktifitas naik turun tangga Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimental dengan penelitian prepostest design. Populasi. Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa terjadi peningkatan denyut nadi yang signifikan yang merupakan respon kardiovaskular terhadap adanya kontraksi otot6. Pengaturan kardiovaskular terlihat dengan segera seturut dengan latihan. Tingkat kesanggupan mahasiswa fakultas kedokteran sumatera utara perokok superior sebanyak 28 orang, excellent 1 orang, dan good 1 orang. Sedangkan tingkat kesanggupan bukan perokok superior sebanyak 28 orang, excellent 2 orang, dan good tidak ada sama sekali. Rata-rata masa pemulihan antara mahasiswa fakultas kedokteran universitas sumatera utara perokok 3.70 (SD 2.65) dengan bukan perokok 3.93(SD 1.61) (p> 0,05). Tidak ada perbedaan VO2max dan gerakan

4.

Cempaka Dewi Nasution (2011)

Perbedaan kesanggupan berolahraga dan masa pemulihan antara mahasiswa perokok dengan bukan perokok saat latihan di fakultas kedokteran universitas sumatra utara

Penelitian eksperimental, diambil secara simpel cluster sampling dengan jumlah sampel 60

5.

Riko Madresty

Perbedaan VO2 max dengan

Jenis penelitian yang digunakan adalah

Hutabarat (2012)

gambaran gerakan pernafasan antara mahasiswa perokok dengan bukan perok saat latihan di fakultas kedokteran universitas sumatra utara

penelitian eksperimental. Sampel diambil secara simple random sampling.

pernafasan antara mahasiswa perokok dengan bukan perokok pada saat latihan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Rata-rata VO2max perokok 28,38 (SD 0,64) dan bukan perokok 28,62 (SD 0,71) didapat p>0,05. Rata-rata kenaikan gelombang amplitudo pada saat istirahat - stage 1 pada perokok 1,20 (SD 0,925) dan bukan perokok 1,27 (SD 0,868) didapat p>0,05. Rata-rata kenaikan gelombang amplitudopada saat stage 1 - stage 2 pada perokok 0,10 (SD 1,029) dan bukan perokok -0,13 (SD 1,008) didapat p>0,05. Rata-rata kenaikan gelombang amplitudo pada saat stage 2 ke stage 3 pada perokok -0,77 (SD 0,817) dan bukan perokok -0,70 (SD 0,974) didapat p>0,05.

Perbedaan penelitian yang dilakukan penulis adalah jenis sampel dan latihan fisik yang dilakukan. Latihan fisik yang dilakukan dalam penelitian penulis adalah lewat latihan excercise metode bleep test, dengan alasan penulis dapat lebih sederhana dan cepat dalam menentukan VO2 max siswa saat excercise. Sampel yang digunakan penulis adalah siswa perokok dengan siswa tidak perokok, karena perokok dapat mempengaruhi kerja denyut nadi dan kecepatan paru maksimum seseorang saat latihan fisik. kemudian dari metode yang dilakukan untuk mengukur Vo2 Max tiap kelompok, peneliti tidak dilakukan langsung lewat alat spirometer akan tetapi lewat pengukuran Vo2 max berdasarkan hasil multistage fitness test.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Excercise

2.1.1 Pengertian olahraga Excercise atau olahraga adalah suatu kegiatan latihan fisik yang melibatkan organ-organ tubuh (meliputi; Jantung, paru, otot, syaraf, pembuluh darah, otot, kelenjar, dst). Aktivitas olahraga akan menimbulkan reaksi dari organ-organ tubuh berupa usaha-usaha penyesuaian diri. Derajat kesehatan sel menimbulkan kualitas fungsional atau vitalitasnya yang dengan sendirinya akan menentukan derajat kesehatan, kesegaran jasmani, dan kualitas hidup individu yang bersangkutan.

2.1.2 Tujuan olahraga Tujuan aktifitas olahraga pada dasarnya untuk meningkatkan kemampuan fungsional sel, yang dengan sendirinya berarti juga untuk meningkatkan kemampuan fungsional individu (manusia) yang bersangkutan. (Cempaka,
2011)

Olahraga dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu, pertama adalah olahraga aerobik, yaitu olahraga yang menggunakan energi yang berasal dari pembakaran oksigen, dan membutuhkan oksigen tanpa menimbulkan hutang oksigen yang tidak terbayar. Contoh olahraga aerobik misalnya lari, jalan, treadmill, bersepeda, renang. Sedangkan olahraga anaerobik adalah olahraga yang menggunakan energi dari pembakaran tanpa oksigen, dalam hal ini aktivitas yang terjadi menimbulkan hutang oksigen. Contoh dari olahraga anaerobik adalah lari sprint jarak pendek, angkat beban, dan bersepeda cepat. (Sherwood, 2009; Elly, 2009) Dalam berolahraga ada tiga komponen yang tidak akan lepas, yaitu: a. b. c. Ketahanan (endurance) Kelenturan (flexibility) dan Kekuatan (strength)

10

Tiga komponen tersebut itu lah yang dapat mempengaruhi tingkat kesegaran dan ketahanan jasmani seseorang. Ketahanan, kelenturan dan kekuatan akan menjadi lebih baik jika dilakukan secara kontinyu selama 30 menit dalam 4-7 hari.

2.1.3 Manfaat berolahraga Olahraga memiliki banyak sekali manfaat dan pengaruhnya terhadap tubuh diantaranya yaitu: a. Terhindar dari penyakit jantung, stroke, osteoporosis, kanker, hipertensi, Diabetes melitus, dan penyakit kronis lainnya b. Berat badan seseorang akan lebih terkendali, bentuk tubuh menjadi ideal dan proporsional c. Otot dan tulang akan lebih lentur dan kuat

3.2

Bleep test Bleep test atau multistage fitness tes merupakan tes yang dilakukan di lapangan, sederhana namun menghasilkan suatu perkiraan yang cukup akurat tentang konsumsi oksigen maksimal untuk berbagi kegunaan atau tujuan. Pada dasarnya tes ini bersifat langsung yaitu tes berlari secara bolak-balik sepanjang jalur atau lintasan yang telah diukur sebelumnya, sambil mendengarkan serangkaian tanda yang berupa bunyi tut yang terekam dalam kaset. Waktu tanda tut tersebut pada mulanya berdurasi sangat lambat, tetapi secara tertahap menjadi lebih cepat sehingga akhirnya makin sulit testi untuk menyamakan kecepatan langkahnya dengan kecepatan yang diberikan oleh tanda tersebut. Testi berhenti apabila ia tidak mampu lagi mempertahankan langkahnya, dan tahap ini menunjukkan tingkat konsumsi oksigen maksimal testi tersebut. Dalam multistage fitness test, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan baik oleh tester maupun testi, antara lain tindakan tindakan pencegahan yang harus diperhatikan sebelum melakukan multistage fitness test, yaitu: (Desti, 2010) a. Apabila testi mengalami cidera atau menderita suatu penyakit, atau apabila sedang tidak berada dalam kondisi sehat, sebaiknya testi berkonsultasi kepada dokter sebelum melaksanakan tes ini.

11

b. c. d.

Sebelum melakukan tes, testi harus melakukan pemanasan. Sebelum melaksanakan tes, testi dlarang makan selama 2 jam. Testi dianjurkan mengenakan pakaian olahraga dan alas kaki yang dapat mengurangi kemungkinan tergelincir.

e.

Sebelum melakukan tes, testi dilarang minum alkohol, obat atau merokok jangan melakukan tes setelah selesai melakukan latihan berat pada hari yang sama.

f. g.

Hindari kondisi udara lembab atau cuaca panas. Setelah menyelesaikan tes lari multitahap, testi harus melakukan pendinginan misalnya dengan berjalan dan kemudian dilanjutkan peregangan.

2.2.1 Persiapan pelaksanaan tes Persiapan awal yang mesti dilakukan sebelum pelaksanaan tes adalah: (Desti, 2010) a. Mengukur jarak satu titik ketitik lainnya sepanjang 20 meter dan berilah tanda pada kedua ujungnya dengan kerucut atau tanda lain sebagai tanda jarak b. Memasukkan kaset rekaman ke dalam tape recorder kemudian pastikan pita telah tergantung kembali kepermukaan sisisnya. c. Untuk mengurangi bias alangkah lebih baiknya dianjurkan untuk mencek untuk meningkatkan ketelitian saat test Ketelitian sekitar 0,5 detik kearah (sisi) yang manapun dianggap cukup memadai. Apabila waktunya berselisih lebih besar dari 0,5 detik maka jarak tempat berlari perlu di ubah

12

Tabel 2.1 Penyesuaian Jarak Lari Bolak Balik Berdasarkan Kecepatan Pemutar Kaset Periode Waktu Standar (Detik) 55,0 55,5 56,0 56,5 57,0 57,5 58,0 58,5 59,0 59,5 6,0 Jarak Lari (Meter) 18,333 18,500 18,666 18,833 19,000 19,166 19,333 19,500 19,666 19,833 20,000 Periode Waktu Standar (Detik) 60,5 61,0 61,5 62,0 62,5 63,0 63,5 64,0 60,5 61,0 64,5 65,0 Jarak Lari (Meter) 20,166 20,333 20,500 20,688 20,833 21,000 21,166 21,333 20,166 20,333 21,500 21,666 (Desti, 2010)

d. Ingatkanlah kepada testi bahwa kecepatan awal harus lambat dan testi tidak boleh memulai pelaksanaan lari ini terlampau cepat. e. Pastikanlah bahwa setelah satu kaki testi telah menginjak tepat pada atau dibelakang garis batas akhir tiap kali lari. f. Pastikan kepada testi agar berbalik dengan membuat sumbu putar pada kakinya, dan jangan sampai testi berputar dalam lengkungan yang lebar. g. Apabila testi mulai tertinggal sejauh dua langkah atau lebih sebelum mencapai garis ujung putaran, atau dua kali lari bolak-balik dalam satu baris, tariklah testi tersebut dari pelaksanaan tes ini. h. Terakhir, penyesuaian jarak lari bolak-balik berdasarkan kecepatan pemutar kaset. Waktu standar adalah 60 detik. Dengan menggunakan sebuah stopwatch (dengan tingkat ketelitian hingga 1/10 detik), periksalah apakah durasi periode waktu standar benar-benar selama 60 detik. Apabila durasi tersebut lebih pendek atau lebih lama dari 60 detik, koreksilah jarak lintasan sejauh 20 meter

13

2.2.2

Penilaian bleep test Penilaian yang di ukur pada bleep test ini adalah: (Desti, 2010) a. Konsumsi oksigen maksimum yang dinilai dari tiap level yang dicapai, dijelaskan pada tabel dibawah ini

Tabel 2.2 Prediksi ambilan oksigen maksimum dengan tes lari bolak balik Level Shuttle Prediksi VO2 Max 26,8 27,6 28,3 29,5 30,2 31,0 31,8 32,9 33,6 34,3 35,0 35,7 36,4 47,5 48,0 48,7 49,3 50,8 51,4 51,9 52,5 53,1 53,7 54,4 54,8 55,4 56,0 56,5 57,1 Level Shuttle Prediksi VO2 Max 37,1 37,8 38,5 39,2 39,9 40,5 41,1 41,8 42,4 43,3 43,9 44,5 45,2 46,8 64,6 65,1 65,6 66,2 66,7 67,5 86,0 68,5 69,0 69,5 69,9 70,5 70,9 71,4 71,9 72,4

4 4 4 4 5 5 5 5 6 6 6 6 6 10 10 10 10 11 11 11 11 11 11 12 12 12 12 12 12

2 4 6 9 2 4 6 9 2 4 6 8 10 2 4 6 18 2 4 6 8 10 12 2 4 6 8 10 12

7 7 7 7 7 8 8 8 8 8 9 9 9 9 15 15 15 15 15 15 16 16 16 16 16 16 16 17 17 17

2 4 6 8 10 2 4 6 8 11 2 4 6 11 2 4 6 8 10 13 2 4 6 8 10 12 14 2 4 6

14

13 13 13 13 13 13 14 14 14 14 14 14 20 20 20 20 20 20 20 20

2 4 6 8 10 12 2 4 6 8 10 13 2 4 6 8 10 12 14 16

57,6 58,2 58,7 59,3 59,8 60,6 61,1 61,7 62,6 62,7 63,2 64,0 81,8 82,2 82,6 83,0 83,5 83,9 84,3 84,8

17 17 17 18 18 18 18 18 18 18 19 19 19 19 19 19 19 21 21 21 21 21 21 21 21

8 10 12 2 4 6 8 10 12 15 2 4 6 8 10 12 15 2 4 6 8 10 12 14 16

72,9 73,4 73,9 74,8 75,3 75,8 76,2 76,7 77,2 77,9 78,3 78,8 79,2 79,7 80,2 80,6 81,3 85,2 85,6 86,1 86,5 86,9 87,4 87,8 88,2

b.

Penilaian selanjutnya adalah menghitung tingkat kebugaran jasmani berdasarkan pada penilaian konsumsi oksigen maksimum(Desti, 2010)

Tabel 2.3 Penilaian tingkat kesegaran jasmani berdasarkan konsumsi oksigen maksimum Kategori Konsumsi Oksigen Maksimal (ml/kg bb/ menit) < 30 Tahun 30 39 Tahun 40 49 Tahun > 50 Tahun < 25,0 25,0 33,7 33,8 42,5 42,6 51,5 > 51,6 < 25,0 25,0 30,1 30,2 39,1 39,2 48 > 48 < 25,0 25,0 26,4 26,5 35,4 35,5 45,0 >45,1

Sangat Buruk Buruk Sedang Baik Sangat Baik

< 25,0 25,0 -33,7 33,8 43,0 > 43,1

15

Nilai normal komsumsi oksigen maksimum saat latihan yang akan dijelaskan pada tabel dibawah ini

Tabel 2.4 Normal Konsumsi Oksigen Maksimum (dalam mililiter O2/kg BB/menit) Age 20 29 30 39 40 49 50 - 65 20 29 30 39 40 49 50 - 59 60 - 69 2.3 Low < 28 < 27 < 25 < 21 Fair 29 34 28 33 26 31 22 28 39 43 35 39 31 35 26 31 22 26 Average Good Women 35 - 43 44 48 34 42 42 47 32 40 41 45 29 36 37 - 41 Men 52 56 48 51 44 47 40 43 36 39 High 49 - 53 48 52 46 50 42 45 57 62 52 57 48 53 44 48 40 44 Athletic 54 59 53 58 51 56 46 - 49 63 69 58 64 54 60 49 - 55 45 - 49 Olympic 60 + 59 + 57 + 50 +

< 38 < 34 < 30 < 25 < 21

44 - 51 40 47 36 43 32 39 27 35

70 + 65 + 61 + 56 + 50 +

Sistem kardiovaskuler Persyaratan kunci fungsi kardiovaskular dalam latihan adalah mengangkut oksigen dan nutrisi lain yang dibutuhkan ke otot yang bekerja. Untuk keperluan itu, aliran darah otot meningkat secara dramatis selama latihan. Aliran darah melalui pembuluh darah bergantung pada dua variabel yang saling berlawanan: perbedaan tekanan antara kedua ujung pembuluh darah dan resistensi terhadap aliran darah. Aliran darah meningkat karena terdapat peningkatan perbedaan tekanan antara kedua ujung pembuluh darah; sebaliknya, aliran darah menurun karena terjadi peningkatan resistensi. Hal yang penting diperhatikan adalah perbedaan tekanan (atau gradien tekanan), bukanlah tekanan absolut dalam pembuluh darah menentukan aliran darah. Semua aliran darah dalam sirkulasi disebut sebagai curah jantung. (Silvia A. Price, 2006) Curah jantung adalah volume rata-rata darah yang dipompa oleh masing-masing ventrikel permenit (bukan jumlah total darah yang dipompa oleh jantung). Selama suatu periode waktu, volume darah yang mengalir melalui sirkulasi sistemik. Dua penentu curah jantung adalah kecepatan jantung (denyut per menit) dan isi sekuncup (volume darah yang dipompa per denyut). Kecepatan jantung rata-rata saat istirahat

16

adalah 40 denyut permenit., ditentukan oleh ritmitisan nodus SA; isi sekuncup reratasaar istirahat adalah 70 ml per denyut, menghasilkan curah jantung rerata 4900 ml/menit atau mendekati 5 liter per menit. Curah jantung = kecepatan jantung x isi sekuncup = 70 denyut/menit x 70 x/menit = 4900 ml/mnt = 5 liter

2.3.1 Kecepatan aliran darah Kecepatan aliran darah sepanjang sistem pembuluh darah bergantung pada luas penampang pembuluh darah. Kecepatan (V) aliran darah (Q) menurun seiring meningkatnya luas penampang pembuluh (A). Hubungan ini dinyatakan dengan rumus berikut ini A = V.Q Dengan mengalirnya darah ke sistem arteri perifer, kecepatan juga menurun karena percabangan yang progresif dan relatif meningkat pada luas penampang percabangan pembuluh darah. Pada tingkat kapiler, peningkatan yang besar terjadi pada luas penampang pembuluh sehingga menurunkan kecepatan aliran darah. Perlambatan ini memungkinkan terjadinya pertukaran makanan dan metabolit pada kapiler. (Silvia A. Price, 2006) Peningkatan tekanan arteri selama kerja fisik dikarenakan saat area motorik otak menjadi teraktifasi untuk menyebabkan kerja fisik pada saat bersamaan sebagian sistem pengaktifan retikular pada batang otak juga teraktifasi yang melibatkan peningkatan perangsangan yang sangat besar diarea vasokontriktor dan kardioakselerator di pusat vasomotor. Keadaan ini akan meningkatkan tekanan arteri dengan segera untuk menyetarakan besarnya peningkatan aktifitas otot. (Silvia A. Price, 2006)

2.3.2 Distribusi aliran darah Aliran darah didistribusi pada banyak sistem organ sesuai dengan kebutuhan metabolisme dan tuntutan fungsional jaringan. Kebutuhan jaringan terus-menerus mengalami perubahan sehingga aliran darah harus terus menerus disesuaikan. Dengan meningkatnya metabolisme jaringan, maka aliran darah harus ditingkatkan guna memasok oksigen dan nutrisi serta untuk membuang hasil akhir metabolisme. Misalnya, selama latihan yang cukup berat,

17

aliran darah menuju otot rangka harus ditingkatkan. Pengaturan ganda distribusi curah jantung dimungkinkan melalui mekanisme pengaturan ekstrinsik dan intrinsik. (Silvia A. Price, 2006) a. Pengaturan ekstrinsik Aliran darah yang menuju ke suatu sistem organ dapat ditingkatkan dengan memperbesar curah jantung atau dengan memindahkan darah dari suatu sistem organ yang relatif tidak aktif ke sistem organ lain yang lebih aktif. Aktivitas sistem saraf simpatis dapat menghasilkan kedua respons tersebut. Pertama, rangsangan simpatis akan meningkatkan curah jantung melalui peningkatan frekuensi denyut jantung dan kekuatan kontraksi. Kedua, serabut simpatis adrenergik juga meluas sampai jaringan pembuluh darah perifer, terutama arteriol. Perubahan perangsangan simpatis secara selektif akan merangsang reseptor alfa dan beta, menyempitkan beberapa arteriol tertentu dan melebarkan yang lain untuk redistribusi darah ke jaringan kapiler yang membutuhkan. Setiap jaringan kapiler memiliki cadangan yang cukup untuk aliran yang meningkat, karena biasanya hanya sebagian kapiler saja yang diperfusi. Aliran dapat ditingkatkan dengan membuka kapiler yang tidak mendapat perfusi, dan dilatasi lebih lanjut pada arteriol kapiler yang mendapat perfusi. (Silvia A. Price, 2006) Pembuluh darah otot rangka memiliki kemampuan vasodilatasi yang unik, karena dipersarafi oleh serabut kolinergik simpatis yang berasal dari korteks serebri. Serabut-serabut ini melepaskan asetilkolin, mengakibatkan telaksasi otot polos pembuluh darah. Namun, serabut kolinergik parasimpatis hanya mempersarafi sebagian kecil pembuluh darah perifer, Oleh karena itu aktivitas parasimpatis tidak banyak berpengaruh terhadap distribusi curah jantung atau resistensi perifer total. (Silvia A. Price, 2006) Selain pengaturan melalui saraf, maka agen-agen humoral juga mempunyai pengaruh ekstrinsik terhadap resistensi dan aliran perifer. Medula adrenal menyekresi katekolamin, epinefrin, dan norepinefrin sebagai respons terhadap kegiatan simpatis. Hormon-hormon ini

18

menimbulkan respons simpatis di pembuluh darah perifer. Zat-zat lain yang berasal dari darah vasopresin, angiotensin, serotonin, dan endothelia juga berperan penting dalam terjadinya vasokonstiksi. Selain itu, zat yang berasal dari darah (seperti bradikinin dan histamin) berperan sebagai vasodilator. (Silvia A. Price, 2006) b. Pengaturan Intrinsik Pengaturan intrinsik aliran darah (yaitu perubahan aliran darah sebagai respons terhadap perubahan keadaan jaringan lokal) sangat berperan penting dalam jaringan yang memiliki keterbatasan toleransi untuk penurunan aliran darah, seperti jantung atau otak. Kadar oksigen dan nutrisi lain merupakan indikator penting bagi kecukupan aliran darah. Mekanisme pengaturan intrinsik menyebahkan penurunan ketersediaan oksigen atau nutrisi (karena penurunan suplai maupun peningkatan kebutuhan) yang diatasi dengan meningkatkan aliran darah ke jaringan. (Silvia A. Price, 2006) Baru-baru ini, terdapat dua teori yang menjelaskan bahwa perubahan aliran darah ini berkaitan dengan kebutuhan oksigen dan nutrisi. Teori pertama adalah teori vasodilator, yang menyatakan bahwa bila metabolisme ditingkatkan atau bila hantaran nutrisi menurun, terjadi peningkatan zat vasodilator yang dihasilkan oleh jaringan. Sebagian zat vasodilator yang diajukan adalah adenosin dan karbondioksida, demikian juga dengan ion K+ dan hidrogen. Teori kedua adalah teori kurang nutrisi atau oksigen, yang menyatakan bahwa nutrisi berperan penting dalam mempertahankan tonus pembuluh darah yang dihasilkan oleh kontraksi sel otot polos. Bila kurang nutrisi (baik akibat hantaran yang tidak mencukupi maupun metabolisme yang meningkat), sel-sel otot polos tidak mampu berkontraksi. Hal ini biasanya menyebabkan terjadinya vasodilatasi.

Kemungkinan teori vasodilatasi dan teori kurang oksigen atau nutrisi tidak terjadi secara sendiri-sendiri; keduanya terjadi bersamaan untuk mengoptimalkan vasodilatasi. (Silvia A. Price, 2006) Jaringan juga memiliki kemampuan untuk mengatur aliran darah sebagai respons terhadap perubahan tekanan perfusi (tekanan darah arteri).

19

Seiring dengan perubahan tekanan perfusi, maka pembuluh darah pada jaringan yang terkena perubahan tersebut mengalami perubahan resistensi untuk mempertahankan aliran darah yang konstan (Hukum Ohm, Q = P : R). peningkatan tekanan perfusi diatasi dengan penurunan resistensi, dan sebaliknya, penurunan tekanan perfusi diatasi dengan peningkatan resistensi. Kemampuan untuk mempertahankan aliran darah konstan dalam perubahan tekanan perfusi disebut sebagai autoregulasi. (Silvia A. Price, 2006) Walaupun autoregulasi berfungsi pada banyak organ tubuh, mekanisme pasti autoreguilasi masih belum jelas. Satu penjelasan yang diajukan adalah mekanisme miogenik. Pada mekanisme ini, peningkatan tekanan perfusi yang disertai dengan peningkatan aliran darah diikuti dengan kontraksi otot polos arteriol, sehingga terjadi vasokonstriksi. Vasokonstriksi mengembalikan aliran darah seperti semula. Sebaliknya, dengan pengaruh mekanisme piogenik, penurunan tekanan perfusi yang disertai penurunan aliran darah diikuti dengan relaksasi sel-sel otot polos arteriol, sehingga terjadi vasodilatasi. Vasodilatasi mengembalikan aliran darah seperti semula. (Silvia A. Price, 2006)

2.3.3 Denyut nadi Frekuensi Denyut Jantung/Heart Rate (HR) didefinisikan sebagai jumlah kontraksi ventrikel jantung per satuan waktu (biasanya menit). Denyut nadi
merupakan rambatan dari denyut jantung yang dihitung tiap menitnya dengan hitungan repetisi (kali/menit), dengan denyut nadi normal 60-100

kali/menit.(Sherwood, 2009) Denyut nadi merupakan indikator untuk melihat intensitas olahraga yang sedang dilakukan. Pada satu orang, terdapat hubungan yang linier antara intensitas aktivitas fisik dengan denyut nadi, artinya: peningkatan intensitas olahraga akan

diikuti dengan peningkatan denyut nadi yang sesuai. Sedang pada dua orang yang berbeda, tinggi frekuensi denyut nadi yang dicapai untuk beban kerja yang sama ditentukan oleh tingkat kebugaran jasmaninya masing-masing. Artinya beban kerja objektif yang sama akan memberikan intensitas relatif yang berbeda, tergantung pada tingkat kebugaran jasmaninya dan karena itu

20

memberikan frekuensi denyut nadi yang berbeda (Cempaka, 2011). Ada dua faktor utama yang dapat mempengaruhi tekanan nadi: (1) curah si sekuncup dari jantung; (2) Komplians (distenbiliti total) dari percabangan arteri; (3) faktor terakhir, sebenarnya kurang begitu berpengaruh yaitusifat ejeksi dari jantung selama periode sistol. (Sherwood, 2009) Setiap kali darah bedenyut terdapat gelombang darah baru yang mengisi arteri. Bila tidak ada distenbilitas sistem arteri, semua darah tersebut akan segera mengalir melalui pembuluh darah perifer hanya selama periode sistol, dan tidak akan ada darah yang mengalir selama diastol.(Sherwood, 2009) Semakin besar curah isi sekuncup maka semakin besar pula jumlah darah yang harus ditampung di percabangan arteri pada setiap denyut jantung. Akibatnya, semakin besar peningkatan atau penurunan tekanan selama sistole dan diastole akan menyebabkan makin membesarnya peningkatan dan penurunan tekanan selama sistole dan diastole akan menyebabkan makin besarnya kenaikan tekanan yang akan terjadi akibat isi sekuncup darah yang dipompa kedalam arteri.(Sherwood, 2009) Perkiraan perubahan isi sekuncup dan frekuensi denyut jantung sewaktu curah jantung meningkat dari tingkat istirahat kira-kira 5,5 L/ menit menja'di 30 L/menit pada pelari maraton. Isi sekuncup meningkat dari 105 menjadi 162 mililiter, suatu kenaikan sekitar 50 persen, sedangkan frekuensi denyut jantung meningkat dari 50 menjadi 185 denyut/menit, suatu kenaikan sebesar 270 persen. Oleh karena itu, kenaikan curah jantung akan memberi proporsi kenaikan frekuensi denyut jantung lebih besar daripada kenaikan isi sekuncup selama latihan yang berat. Isi sekuncup biasanya mencapai keadaan maksimum pada saat curah jantung baru meningkat setengah dari keadaan rnaksimum-nya. Peningkatan curah jantung yang lebih lanjut akan terjadi dengan meningkatkan frekuensi denyut jantung. (Silvia A. Prince, 2006) Kegiatan olahraga kesehatan aerobik mengambil waktu minimal 10 menit yang disebut sebagai waktu minimal yang efektif untuk meningkatkan kapasitas aerobik seseorang, sedangkan waktu maksimalnya ialah 20 menit yang disebut sebagai waktu maksimal yang efisien (Giriwijoyo, 2000). Rumus

21

untuk menentukan denyut.nadi maksimal adalah (DNM) rumus: DNM = 220 umur. (Cempaka, 2011) Pemantauan denyut nadi setiap kali dilakukan segera setelah selesai melakukan olahraga kesehatan - dalam batas waktu 10 detik dan selalu harus dilakukan untuk mengetahui berapa nilai denyut nadi yang dicapainya. Menghitung denyut nadi latihan selama melakukan aktivitas olahraga sulit dilakukan, oleh karena itu denyut nadi latihan dihitung segera setelah orang berhenti atau menghentikan olahraganya. Namun waktu yang tersedia hanya 10 detik, lebih dari waktu itu nadi latihan sudah menurun, sehingga bila terlambat menghitung denyut nadi maka nadi yang diperoleh tidak mencerminkan nadi latihan yang sebenarnya, tetapi lebih rendah. (Cempaka, 2011) Dibawah ini merupakan tabel nilai rata-rata maksimum denyut jantung pada saat latihan berdasarkan umur yang diteliti.

Tabel 2.5. Prediksi rata-rata maksimum denyut jantung pada tes latihan 20 DN 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80

197 195 193 191 189 187 184 182 180 178 176 174 172
*American Heart Association Subcommitte on rehabilitation target group: standards for cardiovascular excercise treatment program. Circulation 59:1084A-1090A,1979 by permission of the American Heart Association, Inc.

2.4

Sistem respiratori

2.4.1 Fisiologi pernafasan Proses fisiologi pernafasan yaitu proses O2 dipindahkan dari udara ke dalam jaringan-jaringan, dan CO2 dikeluarkan ke udara ekspirasi. Respirasi melibatkan proses berikut ini, yaitu: 1) ventilasi pulmonal, jalan masuk dan keluarnya udara antara saluran pernafasan dan paru; (2) Respirasi eksternal adalah difusi O2 dan CO2 antara alveoli dan kapiler pulmonal; (3) Inspirasi internal adalah pengangkutan O2 dan CO2 dalam darah dan cairan tubuh dari, dan, ke, sel-sel jaringan tubuh; dan (4) Respirasi seluler adalah penggunaan O2 dari sel-sel tubuh untuk produksi energi dan pelepasan produksi oksidan (CO2 dan air) oleh sel-sel tubuh.( Cempaka, 2011) Sistem pernafasan dibagi menjadi dua bagian, yaitu: (Cempaka, 2011)

22

Bagian konduksi, terdiri atas rongga hidung, nasofaring, laring, trakhea, bronkus, dan bronkhiolus terminalis

Bagian respirasi (tempat berlangsungnya pertukaran gas), terdiri atas bronkhiolus respiratorius, duktuk alveolaris dan alveolus

Pernafasan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: 1. 2. Pernafasan dada Pernafasan perut Normalnya manusia membutuhkan kurang lebih 300 liter oksigen per hari. Dalam keadaan tubuh bekerja berat maka oksigen atau O2 yang diperlukan pun menjadi berlipat-lipat kali dan bisa sampai 10 hingga 15 kali lipat. Ketika oksigen tembus selaput alveolus, hemoglobin akan mengikat oksigen yang banyaknya akan disesuaikan dengan besar kecil tekanan udara. Pada pembuluh darah arteri, tekanan oksigen dapat mencapat 100 mmHg dengan 19 cc oksigen. Sedangkan pada pembuluh darah vena tekanannya hanya 40 milimeter air raksa dengan 12 cc oksigen. Oksigen yang kita hasilkan dalam tubuh kurang lebih sebanyak 200 cc di mana setiap liter darah mampu melarutkan 4,3 cc CO2. CO2 yang dihasilkan akan keluar dari jaringan menuju paru dengan bantuan darah. (Cempaka, 2011)

2.4.2 Pengaturan Pernafasan Otot-otot pernafasan diatur oleh pusat-pusat pernafasan yang terdiri dari neuron dan reseptor pada pons dan medula oblongata. Pusat pernafasan merupakan bagian sistem saraf yang mengatur semua aspek pernafasan. Faktor utama yang mempengaruhi pernafasan adalah respon dari pusat kemoreseptor dalam pusat pernafasan terdapat tekanan parsial (tegangan) karbodioksida (PaCo2) dan pH darah arteri. Peningkatan PaCO2 atau penurunan pH merangsang pernafasan. (Sherwood, 2009) Penurunan tekanan parsial O2 dalam darah arteri PaCO2 dapat juga merangsang ventilasi. kemoreseptor perifer yang terdapat dalam badan karotis pada bifurkasio arteri karotis komunis dan dalam badan aorta pada arkus aorta peka terhadap penurunan PaO2 dan pH, dan peningkatan PaCO2. Akan tetapi PaO2 harus turun dari nilai normal kira-kira sebesar 90 100 mmHg hingga

23

mencapai sekitar 60 mmHg sebelum ventilasi mendapat rangsangan yang cukup berarti. (Silvia A Prince, 2006) Mekanisme lain yang mengontrol jumlah udara yang masuk dalam paru pada waktu paru mengembang, reseptor-reseptor ini mengirimkan sinyal pada pusat pernafasan agar menghentikan pengembangan lebih lanjut. Sinyal dari reseptor regang tersebut akan berhenti pada akhir ekspirasi ketika paru dalam keadaan mengempis dan pusat pernafasan bebas untuk memulai inspirasi lagi. mekanisme ini yang dikenal dengan nama refleks Hering-Breuer, pernah dipertimbangkan berperan penting dalam mengontrol pernafasan akan tetapi penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa refleks ini tida aktif pada orang dewasa, kecuali bila volume tidak melebihi 1 liter seperti pada waktu berolahraga. Pola irama pengaturan pernafasan tersebut dijalankan melalui interaksi pusat-pusat pernafasan yang terletak dalam pons dan medula oblongata. Keluaran motorik akhir disalurkan melalui medula spinalis dan saraf frenikus yang mempersarafi diagfragma, yaitu otot utama ventilasi. Saraf utama lain yang ambil bagian adalah saraf asesorius dan interkostalis toraksika yang mempersarafi otot bantu pernafasan dan otot interkostalis. (Silvia A Prince, 2006) Bila seseorang melakukan latihan fisik, kemungkinan sinyal saraf langsung merangsang pusat pernapasan dalam tingkat yang hampir sesuai dengan penyediaan kebutuhan oksigen tambahan yang dibutuhkan selama latihan fisik, dan membuang karbon dioksida ekstra. Namun, kadang - kadang, sinyal saraf pengatur pernapasan terlalu kuat atau terlalu lemah. Kemudian, faktor-faktor kimia memegang peranan penting dalam melakukan penyesuaian akhir pernapasan, yang dibutuhkan untuk mempertahankan konsentrasi oksigen, karbon dioksida, dan ion hidrogen cairan tubuh sedekat mungkin dengan konsentrasi normal. Pada saat latihan fisik dimulai, ventilasi alveolus dengan segera meningkattanpa didahu-lui oleh peningkatan Pco2 arteri. Kenyataannya, pening-katan ventilasi alveolus ini biasanya cukup besar sehingga pada awalnya menurunkan Pco2 arteri di bawah normal, seperti yang diperlihatkan dalam gambar. Alasan yang diduga adalah bahwa, ventilasi mendahului peningkatkan pembentukan karbon dioksida dalam darah, sehingga

24

otak mengadakan suatu rangsangan "antisipasi" pernapasan pada permulaan latihan, menghasilkan ventilasi alveolus ekstra bahkan sebelum dibutuhkan. Namun, setelah kira-kira 30 sampai 40 detik, jumlah CO2 yang dilepaskan ke dalam darah dari otot aktif hampir sama dengan peningkatan kecepatan ventilasi, dan Pco2 arteri kembali normal bahkan selama latihan berlangsung, seperti yang terlihat pada akhir periode latihan 1 menit. (Silvia A Prince, 2006) Kurva yang lebih atas menunjukkan perkiraan pergeseran kurva ventilasi ini yang disebabkan oleh rangsangan neurogenik dari pusat pernapasan yang timbul selama latihan fisik berat. Titik yang ditunjukkan pada kedua kurva tersebut memperlihatkan Pco2 arteri yang mula-mula pada keadaan istirahat dan kemudian pada keadaan latihan fisik. Perhatikan pada kedua keadaaan ini, ternyata Pco2 berada pada nilai normal sebesar 40 mm Hg. Dengan kata lain, faktor neurogenik menggeser kurva ke arah atas sekitar 20 kali lipat, sehingga ventilasi hampir bersesuaian dengan kecepatan pelepasan karbon dioksida, dengan demi-kian dapat mempertahankan Pco2 arteri untuk mendekati nilai normalnya. Jika, selama latihan, Pco2 arteri berubah dari nilai normalnya 40 mm Hg, maka hal ini akan memberi efek perangsangan ekstra terhadap ventilasi pada Pco2 lebih dari 40 mm Hg dan efek depresan pada Pco2 kurang dari 40 mm Hg. (Silvia A Prince, 2006) Banyak percobaan telah menunjukkan bahwa kemampuan otak untuk menggeser kurva respons ventilasi selama latihan fisik, yang ber-ulang-ulang, otak secara progresif menjadi lebih mampu untuk menghasilkan berbagai sinyal otak yang sesuai, yang dibutuhkan untuk mempertahankan Pco, darah pada nilai normalnya. (Silvia A Prince, 2006)

2.4.3 Konsumsi oksigen dan ventilasi paru dalam latihan Konsumsi oksigen normal pada pria dewasa muda sewaktu istirahat adalah sekitar 250 ml/menit. Akan tetapi, pada keadaan maksimum, hal ini dapat di-tingkatkan sampai sekitar nilai rata-rata berikut ini.(Guyton, 2006) Pria rata-rata tidak terlatih Pria rata-rata terlatih dalam atletik Pelari maraton 3600 4000 5100

25

Konsumsi oksigen dan ventilasi paru total meningkat sekitar 20 kali antara keadaan istirahat dan latihan dengan intensitas maksimum pada seorang atlet yang terlatih dengan baik. (Guyton, 2006) Kapasitas pernapasan maksimum adalah sekitar 50 persen lebih besar daripada ventilasi paru-paru yang sesungguhnya selama latihan maksimum. Keadaan ini menyediakan suatu elemen keamanan bagi atlet, memberi ventilasi tambahan yang dapat digunakan pada kondisi seperti (1) latihan pada tempat yang sangat tinggi, (2) latihan pada kondisi yang sangat panas, dan (3) abnormalitas sistem pernapasan. (Guyton, 2006) Hal yang penting adalah bahwa sistem pernapasan secara normal bukanlah faktor pembatas utama pengangkutan oksigen ke dalam otot selama metabolisme aerob otot maksimum.(Guyton, 2006)

2.4.4 Dampak latihan terhadap VO2 Max Kecepatan pemakaian oksigen dalam metabolisme aerob maksimum disingkat menjadi Vo2 Maks. menggambarkan dampak progresif latihan atletik terhadap Vo2 Maks yang dicatat dalam suatu'kelompok subjek, yang dimulai pada tingkat tanpa latihan dan kemudian meningkat ke program latihan selama 7 sampai 13 minggu. Dalam penelitian ini, sangat mengejutkan bahwa Vo2 Maks meningkat hanya sekitar 10 persen. Lebih jauh lagi, frekuensi latihan, apakah dua kali atau lima kali dalam seminggu, hanya menimbulkan sedikit pengaruh pada Vo2 Maks. Seperti yang telah diterangkan sebelum-nya,.Vo2 Maks pelari maraton kira-kira 45 persen lebih besar dari Vo2 orang yang tidak berlatih. Sebagian Vo2 Maks yang lebih besar ini mungkin ditentukan secara genetik; yaitu, orang yang memiliki ukuran dada lebih besar berkaitan dengan ukuran tubuh dan otot pernapasan yang lebih kuat, terseleksi menjadi pelari maraton. Akan tetapi, mungkin juga bahwa latihan bertahun-tahun pada pelari maraton memang meningkatkan Vo2 Maks dengan nilai 10 persen lebih besar dari nilai yang sudah tercatat dalam percobaan jangka pendek. (Silvia A Prince, 2006)

26

2.4.5 Volume Oksigen Maksimum (VO2 Max) Pengertian VO2max adalah V singkatan dari "volume" sementara O2 adalah notasi kimia untuk oksigen. VO2max, juga dikenal sebagai "pengambilan oksigen maksimal" dapat dinyatakan dalam banyak cara (dari liter oksigen per menit atau lebih dinormalisasi mililiter oksigen per kilogram berat badan per menit). Pengukuran ditentukan oleh gabungan dari kemampuan sistem pernapasan dan jantung untuk mengirim O2 untuk mengkontraktilkan otot skelet dan kemampuan otot tersebut mengkonsumsi O2. (Cempaka, 2011)

2.4.6 Pengukuran VO2 max VO2 max dapat diukur dengan beberapa cara, baik dengan menggunakan spirometer atau hanya dengan menggunakan rumus dari tes yang digunakan. Pada Multistage Fitness Test (MFT). Vo2 max diukur dengan meminta seseorang berolahraga, boleh menggunakan alat (seperti, treadmill dan ergometer sepeda) ataupun tanpa menggunakan alat (seperti, Multistage Fitness Test). Beban kerja secara bertahap ditingkatkan sampai orang tersebut kelelahan. Sampel udara ekspirasi yang dikumpulkan selama menit-menit terkahir olahraga, pada saat konsumsi O2 maksimum karena yang bersangkutan bekerja sekeras mungkin, dianalisis untuk mengetahui presentase kandungan O2 dan CO2 nya. Selain itu, voume udara yang diekspirasi juga diukur. Kemudian digunakan persamaan untuk menentukan jumlah O2 yang dikonsumsi, dengan memperhitungkan presentase O2 dan CO2 dalam udara inspirasi, volume total udara ekspirasi dan presentase O2 dan CO2 dalam udara ekspirasi. (Sherwood, 2011) Bagam dibawa ini akan menjelaskan tingkat kesanggupan berolah raga berdasarkan usia pada laki-laki terkait nilai VO2 max yang dihasilkan

Tabel 2.6 Kategori tingkat kesanggupan berdasarkan usia untuk laki-laki Fitness category Very poor (ml/kg/min) < 14,59 < 13,59 < 12.29 < 10,02 < 30 tahun 30 39 tahun 40 49 tahun 50 59 tahun

27

Poor Fair Good Excellent Superior

15,00 18,06 18,07 22,05 22,06 26,00 26,01 28,59 > 29,00

14,00 16,59 17,00 20,59 21,00 24,42 24,43 27,09 > 27,10

12,30 15,29 15,30 19,59 20,00 23,13 23,14 26,15 > 26,16

10,03 12,59 13,00 16,59 17,00 20,29 20,30 23,59 > 24,00

* Based on the cooper clinical modified baike treadmill protocol

2.4.7 Hubungan kinerja kardiovaskuler dengan VO2 Max Selama latihan maksimum, baik frekuensi denyut jantung maupun isi sekuncup meningkat sampai kira-kira 95 persen dari tingkat maksimumnya. Karena curah jantung sebanding dengan isi sekuncup dikali frekuensi denyut jantung, terlihat bahwa curah jantung adalah sekitar 90 persen dari keadaan maksimum yang dapat dicapai seseorang. Hal ini berbeda dengan venti-lasi paru maksimum yang kira-kira 65 persen. Oleh karena itu, seseorang dapat dengan mudah melihat bahwa sistem kardiovaskular secara normal lebih banyak membatasi Vo2 maks daripada sistem pernapasan, karena pemakaian oksigen oleh tubuh tidak dapat lebih dari kecepatan sistem kardiovaskular menghantarkan oksigen ke jaringan. Untuk alasan ini, sering dikatakan bahwa tingkat kinerja atletik yang dapat dicapai oleh seorang pelari maraton terutama bergantung pada kemampuan kinerja jantungnya karena jantung merupakan hubungan yang paling membatasi pengangkutan oksigen yang adekuat ke otot yang bekerja. Oleh karena itu, curah jantung yang lebih besar dari 40 persen, yang dapat dicapai oleh pelari maraton melebihi pria rata-rata yang tidak terlatih, mungkin merupakan keuntungan fisiologis tunggal yang paling penting dari program latihan pelari maraton. (Guyton,2006)

2.4.8 Faktor-faktor yang mempengaruhi sistem kardiorespiratori Pada dasarnya nilai konsumsi oksigen tiap individu berbeda-beda. Tergantung dari faktor yang mempengaruhi. Faktor-faktor tersebut adalah faktor eksternal dan faktor internal seperti yang akan dijelaskan dibawah ini. a. Faktor internal Usia

28

b.

Jenis kelamin Berat badan Status gizi Daya tahan aerobik atau kardiorespiratori Daya tahan otot Kekuatan otot Kelenturan Komposisi tubuh

Faktor eksternal Kebiasaan merokok Kebiasaan olahraga Riwayat penyakit paru dan jantung Obesitas Kebiasaan minum alkohol Kebiasaan minum Caffein

2.5

Merokok Merokok adalah membakar tembakau yang kemudian diisap asapnya, baik menggunakan rokok maupun menggunakan pipa. Asap rokok yang dihisap atau asap rokok yang dihirup melalui dua komponen: komponen yang lekas menguap berbentuk gas dan komponen yang bersama gas terkondensasi menjadi komponen partikulat. Dengan demikian, asap rokok yang diisap berupa gas sejumlah 85% dan sisanya berupa partikel. (Cempaka, 2011) Kandungan rokok adalah: (Cempaka, 2011) 1. Nikotin Komponen ini terdapat di dalam asap rokok dan juga di dalam tembakau yang tidak dibakar. Nikotin memegang peranan penting dalam ketagihan merokok. Nikotin bersifat toksis terhadap jaringan syaraf, juga menyebabkan tekanan darah sistolik dan diastolik mengalami peningkatan. Denyut jantung bertambah, kontraksi otot jantung seperti dipaksa, pemakaian oksigen bertambah, aliran darah pada pembuluh koroner bertambah, dan

vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Nikotin meningkatkan kadar gula

29

darah, kadar asam lemak bebas, kolesterol LDL dan meningkatkan agregasi sel pembekuan darah 2. Tar Dalam tar dijumpai kanserogenik yaitu polisiklik hidrokarbon aromatis yang memicu kanker paru. Selain itu, juga dijumpai N (nitrosoamine) nikotin di rokok yang berpotensi besar sebagai kanserogenik terhadap jaringan paruparu. 3. Gas karbonmonoksida Gas karbonmonoksida bersifat toksis yang bertentangan dengan gas oksigen dalam transport hemoglobin. Dalam rokok terdapat 2-6 % gas karbon oksida yang diisap saat merokok, sedangkan gas karbon oksida yang diisap oleh perokok paling rendah 400 ppm (part per million) sudah dapat meningkatkan kadar karbosi-hemoglobin dalam darah sejumlah 2-6 %. Kadar normal karboksi-hemoglobin hanya 1% pada bukan perokok. Apabila keadaan terus berjalan maka terjadi polisitemia yang akan mempengaruhi syaraf pusat. 4. Timah hitam Timah hitam merupakan partikel asap rokok. Setiap satu batang rokok yang diisap di perhitungkan mengandung 0,5 mikrogram, sedangkan batas bahaya kadar PB dalam tubuh adalah 20 mikrogram/hari.

2.5.1 Kategori perokok 4.1. Perokok pasif adalah asap rokok yang di hirup oleh seseorang yang tidak merokok. Asap rokok merupakan polutan bagi manusia dan lingkungan sekitarnya. Asap rokok lebih berbahaya terhadap perokok pasif daripada perokok aktif. Asap rokok yang dihembuskan oleh perokok aktif dan terhirup oleh perokok pasif, lima kali lebih banyak mengandung karbon monoksida, empat kali lebih banyak mengandung tar dan nikotin (Wardoyo, 1996). 4.2. Perokok aktif, menurut Cempaka (2011) rokok aktif adalah asap rokok yang berasal dari hisapan perokok atau asap utama pada rokok yang dihisap (mainstream). Dari pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perokok aktif adalah orang yang merokok dan langsung

30

menghisap rokok serta bisa mengakibatkan bahaya bagi kesehatan diri sendiri maupun lingkungan sekitar.

2.5.2 Jumlah rokok yang dihisap Menurut Cempaka (2011) jumlah rokok yang dihisap dapat dalam satuan batang, bungkus, pak per hari. Jenis rokok dapat dibagi atas 3 kelompok yaitu: a. Perokok Ringan: Disebut perokok ringan apabila merokok kurang dari 10 batang per hari. b. Perokok Sedang: Disebut perokok sedang jika menghisap 10-20 batang per hari. c. Perokok Berat: Disebut perokok berat jika menghisap lebih dari 20 batang.

2.5.3 Lama menghisap rokok Menurut Cempaka (2011) merokok dimulai sejak umur kurang dari 10 tahun atau lebih dari 10 tahun. Semakin awal seseorang merokok makin sulit untuk berhenti merokok. Rokok juga punya dose-response effect, artinya semakin muda usia merokok, akan semakin besar pengaruhnya. Apabila perilaku merokok dimulai sejak usia remaja, merokok dapat berhubungan dengan tingkat arterosclerosis. Risiko kematian bertambah sehubungan dengan banyaknya merokok dan umur awal merokok yang lebih dini (Smet, 1994). Merokok sebatang setiap hari akan meningkatkan tekanan sistolik 1025 mmHg dan menambah detak jantung 520 kali per menit (Sitepoe, M., 1997). Dampak rokok akan terasa setelah 10-20 tahun pasca digunakan.

2.5.4 Dampak merokok terhadap sistem kardiovaskuler Pada sistem kardiovaskular, nikotin berfungsi sebagai perangsang terhadap jantung, yaitu dengan melepaskan catecholamine yang dapat menaikkan tekanan darah, denyutan jantung dan jumlah oksigen yang diperlukan, juga dapat merangsang susunan saraf. Nikotin ini mengikat dan merangsang sel otak melalui central nicotinic cholinergic receptors sehingga

31

neurohumoral pathways diaktifkan yang mengakibatkan keluarnya hormon dan berbagai neurotransmitters. Efek ini segera dirasakan dalam waktu 7 detik setelah orang mengisap dan mengeluarkan asap rokok yang pertama. (Cempaka, 2011)

2.5.5 Dampak merokok terhadap Ventilasi paru saat latihan Secara luas telah diketahui bahwa merokok dapat mengurangi "napas" atlet. Pernyataan ini benar karena terdapat banyak alasan. Pertama, salah satu dampak nikotin adalah menyebabkan konstriksi bronkiolus terminal paru-paru, yang meningkatkan resistensi aliran udara ke dalam dan ke luar paru-paru. Kedua, efek iritasi asap rokok itu sendiri menyebabkan peningkatan sckresi cairan ke dalam cabang-cabang bronkus, juga pembengkakan lapisan epitel. Ketiga, nikotin melumpuhkan silia pada permukaan sel epitel pernapasan yang normalnya terus bergerak untuk memindahkan kelebihan cairan dan partikel asing dari saluran pernapasan. Akibatnya, lebih banyak debris terakumulasi di jalan napas dan menambah kesukaran bernapas. Dengan semuanya itu, bahkan perokok ringan sekalipun Sering merasakan adanya tahanan pernapasan selama latihan maksimum, dan tingkat kinerjanya dapat berkurang. (Guyton, 2006)

32

BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP & HIPOTESIS

3.1

Kerangka teori Excercise


Merokok (F. Memperberat kerja organ

S. Kardiovaskuler Isi sekuncup & frekuensi denyut jantung

S. Saraf

S. Muskuleskeletal

S. Paru

S. Integlumen

S. Endokrin

PaCO2, PaO2, pH VO2 Max, Sesak nafas

Skema 3.1 Kerangka Teori

3.2

Kerangka konsep Tdk Perokok Perokok


VO2 Max

Excercise

S. Respiratori S. Kardiovaskuler

Denyut nadi

Skema 3.2 Kerangka konsep

3.3

Hipotesis Hipotesis awal yang muncul dari pemikiran penulis adalah adanya perbedaan gambaran nilai VO2 max dan denyut nadi pada siswa perokok dan yang tidak perokok

32

33

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1

Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian adalah ilmu faal, khususnya fisiologi olahraga

4.2

Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilakukan di Sekolah MAN Buntet Pesantren Cirebon pada bulan Desember 2012 Januari 2013 terhadap mahasiswa laki laki perokok dengan bukan perokok kelas XI. Tempat tersebut dipilih sebagai lokasi penelitian karena melihat kebiasaan santri yang masih dibebaskan untuk merokok.

4.3

Jenis dan rancangan penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan desain penelitian dengan metode eksperimental murni, yang bertujuan untuk mengetahui suatu pengaruh yang timbul sebagai akibat dari adanya perlakuan tertentu. Ciri khusus dari penelitian eksperimental ini adalah adanya percobaan atau trial. Percobaan ini berupa perlakuan atau intervensi terhadap suatu variabel dari perlakuan tersebut, sehingga diharapkan terjadi perubahan atau pengaruh terhadap variabel lain. (Notoatmodjo, 2005) Rancangan penelitian yang akan digunakan adalah Randomized Control Group Pretest Posttest Design yang terdiri dari 1 kelompok kontrol dan 1 kelompok perlakuan. Kelompok kontrol adalah siswa yang tidak merokok dan kelompok perlakuan adalah siswa yang perokok. Rancangan ini dapat digambarkan sebagai berikut: T1 K1 S OP T1 K0 X T2 T3 X T2 T3

Skema 4.1 Rancangan penelitian

33

34

Keterangan: S : Subyek penelitian

OP : Ordinal pairing K1 : Kelompok perlakuan K2 : Kelompok kontrol T1 : Perhitungan nadi 1 X : Perlakuan warming-up dengan bleep test

T2 : Perhitungan nadi 2 T3 : Perhitungan nadi 3 (kecepatan pengembalian) Berdasarkan rancangan penelitian diatas, maka penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut: subyek penelitian diberikan kuesioner sebagai ordinal pairing menentukan kriteria inklusi ekslusi yang nanti dapat di kelompokkan ke dalam dua kelompok penelitian. Kelompok perlakuan (K1) merupakan kelompok siswa yang memiliki kebiasaan merokok, sedangkan kelompok kontrol (K2) merupakan kelompok siswa yang tidak merokok. Keduanya diberikan perlakuan sama dan dilakukan dalam waktu yang bersamaan. T1 merupakan perhitungan nadi awal yang digunakan sebagai pretest untuk menentukan nilai awal kedua kelompok percobaan sebelum diberikan perlakuan. X adalah saat keduanya diberikan perlakuan warm-up dengan multistage fitness test ( melalui Bleep test). T2 merupakan perhitungan nadi saat setelah perlakuan, kemudian tunggu beberapa menit untuk menghitung lagi nadi (T3) sebagai nilai pengembalian. Sehingga dari sini peneliti mendapatkan data sebagai bahan untuk menyimpulkan seberapa jauh pengaruh perbedaannya. 4.4 Populasi dan sampel

4.4.1 Populasi target Populasi target pada penelitian ini adalah siswa laki-laki MAN Buntet Pesantren kelas X XII.

35

4.4.2 Populasi terjangkau Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah kelompok siswa laki-laki kelas XI yang terdaftar sebagai siswa MAN Buntet Pesantren yang telah diseleksi melalui kriteria inklusi dan ekslusi. dan bersedia diberikan perlakuan.

4.4.3 Sampel penelitian Sampel penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah siswa laki-laki kelas XI MAN Buntet Pesantren yang perokok maupun yang bukan perokok. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik simple cluster sampling. Besar sampel yang digunakan adalah berjumlah 30 sampel, 15 sampel kontrol dan 15 sampel perlakuan dengan tujuan menghindari drop-out. Responden yang diambil adalah berdasarkan kriteria inklusi dan ekslusi sebagai berikut:

4.4.3.1 Kriteria inklusi a. b. c. d. e. f. Usia 15 17 tahun Laki laki Memiliki BMI Index normal Berat Badan 50 57 Frekuensi berolahraga: sering, sesekali, tidak pernah Bersedia diberikan perlakuan

4.4.3.2 Kriteria eksklusi a. Memiliki riwayat penyakit; 1) Hipertensi 2) Kolesterol 3) DM 4) Asma 5) Penyakit ginjal 6) Cedera b. c. Riwayat peminum alkohol Obesitas

36

4.5

Variabel penelitian

4.5.1 Variabel bebas Merokok dan tidak merokok

4.5.2 Variabel tergantung Nilai denyut nadi dan VO2 max

4.5.3 Variabel perancu Faktor internal dan faktor eksternal selain merokok

4.6

Definisi operasional

4.6.1 Perokok Perokok merupakan orang yang dengan kebiasaan merokok dan langsung menghisap batang serta asap rokoknya selama lebih dari 6 bulan Alat ukur : Kuesioner Hasil pengukuran : Perokok dan bukan perokok Skala ukur: Nominal

4.6.2 Multistage fitness test Pengukuran VO2 max dan denyut nadi melalui bleep tes Cara Ukur: Multistage fitness test Sekala: Ordinal

4.6.3 Masa Pemulihan Waktu yang di ambil saat perhitungan nadi setelah latihan sampai mencapai nadi istirahat Cara ukur: Pengukuran dengan dua jari pada arteri radialis selama 1 menit. Hasil pengukuran: Nadi setelah latihan dan sampai mencapai nadi istirahat < 3 menit, 3 menit, > 3 menit Sekala ukur: Numerik

37

4.7

Alat dan cara kerja Perlengkapan dan alat yang digunakan adalah: a. Halaman, lapangan, atau permukaan datar dan tidak licin dengan panjang 22 meter. b. c. d. e. f. g. Mesin pemutar kaset (tape recorder). Kaset audio yang telah tersedia. Pita pengukur atau meteran untuk mengukur jalur sepanjang 20 meter. Kerucut sebagai tanda batas jarak. Lebar lintasan kurang lebih 1 hingga 1,5 meter untuk tiap testi. Stopwatch.

Cara kerja yang digunakan adalah: a. Multistage Fitness Test (MFT) dilakukan dengan menempuh jarak 20 meter dengan lebar lintasannya 1-1,5 meter, untuk setiap subyek penelitian dengan lari bolak-balik dimulai dengan lari pelan-pelan, secara bertahap makin lama makin cepat, sampai subyek penelitian tidak mampu mengikuti irama waktu lari, berarti kemampuan maksimalnya pada level dan bolak-balik tersebut. b. c. Setiap level waktunya satu menit Mulailah menghidupkan tape recorder. Pada bagian permulaan pita tersebut, jarak antara dua sinyal tut menandai suatu interval 1 menit yang telah terukur secara akurat. d. Pada saat bunyi tut tunggal pada beberapa interval yang teratur para subyek penelitian diharapkan berusaha agar dapat sampai ke ujung yang berlawanan (di seberang) bertepatan dengan sinyal tut yang pertama berbunyi, kemudian subyek penelitian harus meneruskan berlari pada kecepatan seperti ini, dengan tujuan agar salah satu dari kedua ujung tersebut bertepatan dengan terdengarnya sinyal tut berikutnya. e. Bunyi sinyal tut tunggal menandai akhir tiap lari bolak-balik dan bunyi tut tiga kali berturut-turut menandai akhir dari setiap level. f. Subyek penelitian selalu menempatkan salah satu kaki tepat pada atau di belakang tanda garis 20 meter pada akhir setiap lari dan berbalik lari menunggu bunyi tut berikutnya.

38

g.

Subyek penelitian harus meneruskan lari selama mungkin, sampai tidak mampu lagi mengikuti dengan kecepatan yang telah diatur dalam pita rekaman.

h.

Apabila subyek penelitian gagal mencapai jarak dua langkah menjelang garis ujung pada saat terdengar sinyal tut, subyek penelitian masih diberi kesempatan untuk meneruskan dua kali lari agar dapat memperoleh kembali langkah yang diperlukan sebelum ditarik mundur.

i.

Setelah subyek penelitian selesai melakukan tes harus melakukan gerakan pendinginan dengan berjalan dan diikuti dengan peregangan otot, janganlah dibiarkan subyek penelitian duduk secara mendadak setelah selesai melaksanakan tes.

4.8

Alur penelitian
Pemilihan Subyek Subyek memenuhi kriteria inklusi Kriteria ekslusi

Kelompok Kontrol n = 15 Pengukuran I

Kelompok Perlakuan n = 15 Pengukuran I

Perlakuan warming-up dengan bleep test


Pengukuran II Pengukuran III Hasil & penilaian n= 20

Perlakuan warming-up dengan bleep test


Pengukuran II Pengukuran III Hasil & penilaian n= 20

Analisis Data dan Laporan

Skema 4.2 Alur penelitian

39

4.9

Analisis data Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji statistik t independent. Hasil dikatakan bermakna bila P<0,05. Analisis statistik dilakukan dengan bantuan komputerisasi.

4.10 Etika penelitian Sebelum penelitian dilaksanakan, peneliti meminta izin dari komite etik penelitian FK Unswagati Cirebon kepada pihak sekolah terkait, dalam hal ini adalah sekolah MAN Buntet Pesantren yang nanti akan menjadi lokasi penelitian. Informed Consent didapat dengan meminta persetujuan dari kepala sekolah, guru penjaskes dan subyek penelitian. Subyek penelitian berhak menolak untuk diikutsertakan, boleh berhenti sewaktu-waktu, dan biaya yang berhubungan dengan penelitian akan ditanggung peneliti.

40

DAFTAR PUSTAKA

Cempaka, Dewi N. 2011. Perbedaan kesanggupan berolahraga dan masa pemulihan antara mahasiswa perokok dengan bukan perokok saat latihan di fakultas kedokteran universitas sumatra utara. (Online) diakses 25 Oktober 2012 Desti, Indah H. 2010. Tes pengukuran daya tahan aerobik dalam multistage fitness test. Arsip makalah FKIP Universitas PGRI Palembang. (Online) diakses pada tanggal 26 Oktober 2012 Elly Puji Kusumawati. (2009) Hubungan tingkat energi dan protein dengan ketahanan fisik atlit senam di club sepakbola. Skripsi Fk Undip (online) diakses tanggal 20 oktober 2012 Guyton, Hall. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi II. Fisiologi Olahraga. Jakarta: EGC. Hal. 1111-1123 Hani ahmad, nur. 2011. Peregangan dalam olahraga. (online).

(http://norhananiahmad.blogspot.com/ Peregangan dalam olahraga. Diakses tanggal 20 oktober 2012) Irenne, Elly. 2006. Laporan KTI Perubahan Denyut Nadi Pada Mahasiswa Setelah Aktifitas Naik Turun Tangga. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponogoro Komang, Gede CD. 2011. Pengaruh pelatihan renang gaya crawl terhadap peningkatan volume oksigen maksimal (Vo2 Max) dan volume paru-paru terhadap anggota club junior renang guna tirta tabanan. (online) diakses tanggal 20 Oktober 2012 Lauralee, Sherwood. 2009. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta: EGC Madesty H., Riko. 2012. Perbedaan vo2max dan gambaran gerakan pernapasan antara mahasiswa perokok dengan bukan perokok saat latihan di fakultas kedokteran universitas sumatera utara. Arsip skrisi FK USU. (Online) diakses 25 Oktober 2012 Silvia A. Prince, Loraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi. Gangguan sistem pernafasan. Jakarta. EGC

41

Uliyandri, andhikarmika. 2009. Pengaruh latihan fisik terprogram terhadap perubahan nilai konsumsi oksigen maksimal (vo2max) pada siswi sekolah bola voli tugu muda semarang usia 11-13 tahun. Skripsi Fk Undip (Online) diakses 20 Oktober 2012

Anda mungkin juga menyukai