Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PRINSIP DASAR FARMAKOLOGI DAN ASPEK


FARMAKOLOGIS INTERAKSI OBAT- MAKANANAN

Disusun Oleh :

Angri Avenli PO.62.31.3.18.244


Nur Aisah PO.62.31.3.18.272

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAANSUMBER DAYA
KESEHATAN MANUSIA POLITEKNIK KESEHATAN
KEMENTERIAN KESEHATAN PALANGKA RAYA PROGRAM
SERJANA TERAPAN GIZI DAN DIETETIK
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Tabel
Farmakologi adalah ilmu yang memelajari pengetahuan obat dengan seluruh aspeknya,
baik sifat kimiawi maupun fisikanya, kegiatan fisiologi, resorbsi, dan nasibnya dalam
organisme hidup. Obat didefinisikan sebagai senyawa yang digunakan untuk mencegah,
mengobati, mendiagnosis penyakit atau gangguan, atau menimbulkan kondisi tertentu.
Misalnya, membuat seseorang infertile, atau melumpuhkan otot rangka selama pembedahan.
Ilmu khasiat obat ini mencakup beberapa bagian, yaitu farmakognosi, biofarmasi,
farmakokinetika, dan farmakodinamika, toksikologi, dan farmakoterapi.

Farmakognosi adalah cabang ilmu farmakologi yang memelajari sifat-sifat tumbuhan


dan bahan lain yang merupakan sumber obat. Farmakoterapi adalah cabang ilmu yang
berhubungan dengan penggunaan obat dalam pencegahan dan pengobatan penyakit. Dalam
farmakoterapi ini dipelajari aspek farmakokinetik dan farmakodinamik suatu obat yang
dimanfaatkan untuk mengobati penyakit tertentu. Toksikologi adalah ilmu yang memelajari
keracunan zat kimia termasuk obat, zat yang digunakan dalam rumah tangga, industri maupun
lingkungan hidup lain, seperti insektisida, pestisida, dan zat pengawet. Dalam cabang ilmu ini
juga dipelajari juga cara pencegahan, pengenalan dan penanggulangan kasus-kasus keracunan.
Biofarmasi adalahbagian ilmu yangmeneliti pengaruh formulasi obat terhadap efek
terapeutiknya. Farmakologi terbagi menjadi 2 subdisiplin, yaitu:

1. farmakokinetik ialah apa yang dialami obat yang diberikan pada suatu makhluk hidup,
yaitu absorbsi (A), distribusi (D), metabolisme atau biotransformasi (M), dan ekskresi
(E);
2. farmakodinamik merupakan pengaruh obat terhadap sel hidup, organ atau makhluk
hidup.

Obat-obat yang digunakan pada terapi dapat dibagi dalam empat golongan besar,
yaitu obat farmakodinamik, obat kemoterapetik, obat tradisional dan obat diagnostik. Obat
farmakodinamik bekerja meningkatkan atau menghambat fungsi suatu organ. Misalnya,
furosemide sebagai diuretic meningkatkan kerja ginjal dalam produksi urin atau hormone
estrogen pada dosis tertentu dapat menghambat ovulasi dari ovarium. Obat kemoterapetik
bekerja terhadap agen penyebab penyakit, seperti bakteri, virus, jamur atau sel kanker.
Obat ini mempunyai sebaiknya memiliki kegiatan farmakodinamika yang sekecil-kecilnya
terhadap organisme tuan rumah dan berkhasiat membunuh sebesar-besarnya terhadap
sebanyak mungkin parasite (cacing, protozoa) dan mikroorganisme (bakteri dan virus).
Misalnya, pirantel pamoat membunuh cacing pada dosis yang aman bagi manusia. Obat
tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral,
sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun-temurun
telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Misalnya, daun kumis
kucing, minyak ikan, ekstrak daun mengkudu, dan lain-lain. Obat diagnostik merupakan
obat pembantu untuk melakukan diagnosis (pengenalan penyakit). Misalnya, dari saluran
lambung usus (barium sulfat) dan saluran empedu (natrium miopanoat dan asam iod
organik lainnya).

Pada bab-bab selanjutnya, kita juga akan menggunakan sebutan obat paten atau
spesialit dan obat generik. Obat paten atau branded generik adalah obat milik suatu
perusahaan dengan nama khas yang dilindungi hukum, sedangkan nama generik adalah
nama resmi suatu obat yang dapat digunakan di semua negara tanpa melanggar hak paten
obat yang bersangkutan. Sebagai contoh berikut ini.
Nama Kimia Nama Generik Nama Paten dan Branded Generik

Asam asetilsalisilat Asetosal Aspirin (Bayer)


Aspilet (United American)

Ascardia (Pharos)

(6R)-6-[α-d-(4- Amoksisilin Amoxil (GlaxoSmithKline)


Hydroxyphenyl)glycylamino Amoksan (Sanbe)

]penicillanic acid Kalmoxillin (Kalbe Farma)

Lapimox (Lapi)

A. REGULASI OBAT

Obat merupakan bahan yang di regulasi oleh pemerintah, dalam hal ini oleh Badan
POM. Tujuan regulasi adalah melindungi konsumen dari efek yang merugikan karena kualitas
atau keamanannya. Di Indonesia obat yang beredar dikelompokkan dalam 5 kelompok
sebagai berikut.

1. Obat Keras
Obat golongan ini hanya dapat dibeli dengan resep dokter. Obat golongan ini
dianggap tidak aman atau penyakit yang menjadi indikasi obat tidak mudah
didiagnosis oleh orang awam. Obat golongan ini bertanda dot merah.Contoh obat
keras adalah antibiotika, antihistaminika untuk pemakaian dalam dan semua obat
suntik. Psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah atau sintetis, bukan narkotika
yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Contoh zat
psikotropik adalah fenobarbital, diazepam, dan amitriptilin.

2. Obat Narkotika
adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik
sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan
menimbulkan ketergantungan. Golongan narkotika penjualannya diawasi secara ketat
untuk membatasi penyalahgunaannya. Obat golongan ini bertanda palang merah.
Contoh obat golongan narkotika adalah kodein yang juga dapat menekan batuk
3. Obat keras terbatas

Obat ini dapat dibeli di apotek atau di toko obat dan harus dalam bungkusan aslinya dan
tertera penandaan, misalnya “P6 Awas obat keras, hanya untuk bagian luar dari badan”.
Obat golongan ini bertanda dot biru. Contoh obat keras terbatas adalah

Caladin lotion, Cenfresh tetes mata.

4. Obat bebas

Obat bebas adalah obat yang dapat dibeli tanpa resep dokter dalam bungkusan dari
pabrik yang membuatnya secara eceran. Obat golongan ini bertanda dot hijau. Contoh
obat bebas adalah Panadol tablet, obat batuk hitam.

5. Obat tradisional

Yakni obat yang mengandung tanaman obat herbal. Ada 3 kategori obat tradisional di
Indonesia, yaitu:

a. Jamu, yaitu obat yang masih berbentuk simplisia.

b. Herbal terstandar, obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang
telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan
bahan bakunya telah di standardisasi.

c. Fitofarmaka, Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan
keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan
baku dan produk jadinya telah di standardisasi.

Juga dikenal obat wajib apotek, yaitu obat daftar G yang boleh diberikan oleh apoteker
pada pasien yang sebelumnya telah mendapatkannya dari dokter, biasanya untuk penggunaan
jangka panjang dan atau kondisi tertentu.

Tujuan Pembelajaran : Setelah mempelajari kompetensi ini, siswa diharapkan dapat : 1.


Mengetahui tentang sejarah obat. 2. Mengetahui istilah-istilah penting dalam farmakologi. 3.
Menetapkan sifat atau ciri dari sediaan obat. 4. Mencontohkan macam-macam sediaan obat B. Uraian
Materi 1. Perkembangan Sejarah Obat Pengertian obat ialah semua zat baik kimiawi, hewani maupun
nabati, yang dalam dosis layak dapat menyembuhkan, meringankan atau mencegah penyakit
berikut gejala-gejalanya. Dasar-dasar farmakologi mempelajari sejarah perkembangan obat , aspek
obat, mekanisme obat, istilah-istilah dasar farmakologi, macam-macam sediaan obat dan cara
pemberian obat . KEGIATAN BELAJAR 1 DASAR-DASAR UMUM FARMAKOLOGI Direktorat
Pembinaan SMK (2013) 9 Dasar-Dasar Farmakologi 1 Kebanyakan obat yang digunakan dimasa
lampau adalah obat yang berasal dari tanaman. Melalui cara mencoba-coba, secara empiris manusia
purba mendapatkan pengalaman dengan berbagai macam daun atau akar tumbuhan untuk
menyembuhkan penyakit. Pengetahuan ini secara turun temurun disimpan dan dikembangkan,
sehingga muncul ilmu pengobatan rakyat, sebagaimana pengobatan tradisional jamu di Indonesia.
Namun tidak semua obat memulai riwayatnya sebagai obat anti penyakit, adapula yang pada awalnya
digunakan sebagai alat ilmu sihir, kosmetika atau racun untuk membunuh musuh. Misalnya, strychnin
dan kurare mulanya digunakan sebagai racun panah penduduk pribumi Afrika dan Amerika Selatan.
Contoh yang paling baru ialah obat kanker nitrogen-mustard yang semula digunakan sebagai gas
racun (gas mustard) pada perang dunia pertama. Obat nabati digunakan sebagai rebusan atau ekstrak
dengan aktifitas dan efek yang sering kali berbeda-beda tergantung dari asal tanaman dan
pembuatannya. Kondisi ini dianggap kurang memuaskan, sehingga lambat laun para ahli kimia
memulai mencoba mengisolasi zat-zat aktif yang terkandung didalamnya. Hasil percobaan mereka
adalah serangkaian zat kimia : yang terkenal diantaranya adalah : • Efedrin dari tanaman Ma Huang
(Ephedra Vulgaris), • Kinin dari kulit pohon kina, • Atropin dari tanaman Atropa Belladona, • Morfin
dari candu (Papaver Somniferum), • Digoksin dari Digitalis lanata. Dari hasil penelitian setelah tahun
1950 dapat ditemukan : • Reserpin dan resinamin dari Pule Pandak (Rauwolvia serpentina), •
Vinblastin (antikanker) berasal dari Vinca rosea, sejenis kembang serdadu. • Artemisin yang berasal
dari tanaman di Cina, (Artemisina annua). Penemuan obat malaria ini sekitar tahun 1980 • Paclitaxel
(taxol), antikanker dari jarum-jarum sejenis cemara (konifer) Taxus brevifolia/baccata (1993) •
Genistein dari kacang kedelai.

PENGERTIAN DASAR INTERAKSI OBAT

DEFENISI DAN TERMINOLOGI


· Kejadian di mana suatu zat mempengaruhi aktivitas obat.
Efek-efeknya bisa meningkatkan atau mengurangi aktivitas, atau menghasilkan efek baru
yang tidak dimiliki sebelumnya.
· Modifikasi efek suatu obat lain yang diberikan bersamaan.
Bila dua atau lebih obat berinteraksi sedemikian rupa sehingga keefektifan suatu obat
berubah.
· Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat lain (interaksi
obat-obat) atau oleh makanan, obat tradisional dan senyawa kimia lain.

Interaksi obat yang signifikan dapat terjadi jika dua atau lebih obat digunakan bersama-sama
Pada prinsipnya interaksi obat dapat menyebabkan dua hal penting. Yang pertama, interaksi
obat dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan khasiat obat. Yang kedua, interaksi obat
dapat menyebabkan gangguan atau masalah kesehatan yang serius, karena meningkatnya efek
samping dari obat- obat tertentu. Resiko kesehatan dari interaksi obat ini sangat bervariasi,
bisa hanya sedikit menurunkan khasiat obat namun bisa pula fatal.
Obat merupakan bahan kimia yang memungkinkan terjadinya interaksi bila tercampur dengan
bahan kimia lain baik yang berupa makanan, minuman ataupun obat-obatan. Interaksi juga
terjadi pada berbagai kondisi kesehatan seperti diabetes, penyakit ginjal atau tekanan darah
tinggi. Dalam hal ini terminologi interaksi obat dikhususkan pada interaksi obat dengan obat.

Dalam interaksi obat-obat, obat yang mempengaruhi disebut presipitan, sedangkan obat yang
dipengaruhi disebut objek. Contoh presipitan adalah aspirin, fenilbutazon dan sulfa. Object
drug biasanya bersifat mempunyai kurva dose-response yang curam (narrow therapeutic
margin), dosis toksik letaknya dekat dosis terapi (indeks terapi sempit). Contoh : digoksin,
gentamisin, warfarin, dilantin, obat sitotoksik, kontraseptif oral, dan obat-obat sistem saraf
pusat.
Berdasarkan jenis atau bentuknya interaksi obat diklasifikasikan atas:
1. Interaksi secara kimia atau farmasetis
2. Interaksi secara farmakokinetik
3. Interaksi secara fisiologi
4. Interaksi secara farmakodinamik

Interaksi secara kimia / farmasetis terjadi apabila secara fisik atau kimia suatu obat
inkompatibel dengan obat lainnya. Pencampuran obat yang inkompatibel akan
mengakibatkan inaktivasi obat. Interaksi ini sering terjadi pada cairan infus yang
mencampurkan berbagai macam obat .
Interaksi secara farmakokinetik terjadi apabila suatu obat mempengaruhi absorpsi, distribusi,
biotransformasi / metabolisme, atau ekskresi obat lain.
Secara fisiologi interaksi terjadi apabila suatu obat merubah aktivitas obat lain pada lokasi
yang terpisah dari tempat aksinya.
Sedangkan interaksi secara farmakodinamik terjadi apabila suatu obat mempengaruhi
aktivitas obat lain pada atau dekat sisi reseptornya.
Interaksi antar obat dapat berakibat menguntungkan atau merugikan. Interaksi yang
menguntungkan, misalnya (1) Penicillin dengan probenesit: probenesit menghambat sekresi
penicillin di tubuli ginjal sehingga meningkatkan kadar penicillin dalam plasma dan dengan
demikian meningkatkan efektifitas dalam terapi gonore; (2) Kombinasi obat anti hipertensi:
meningkatkan efektifitas dan mengurangi efek samping: (3) Kombinasi obat anti kanker: juga
meningkatkan efektifitas dan mengurangi efek samping (4) kombinasi obat anti tuberculosis:
memperlambat timbulnya resistansi kuman terhadap obat; (5) antagonisme efek toksik obat
oleh antidotnya masing-masing.
Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas
dan atau mengurangi efektifitas obat yang berinteraksi, jadi terutama bila menyangkut obat
dengan batas keamanan yang sempit, misalnya glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-obat
sitotastik. Demikian juga interaksi yang menyangkut obat-obat yang biasa digunakan atau
yang sering diberikan bersama tentu lebih penting daripada obat yang dipakai sekali-kali.
FAKTOR-FAKTOR PENUNJANG INTERAKSI OBAT
Insidens interaksi obat yang penting dalam klinik sukar diperkirakan karena :
1. Dokumentasinya masih sangat kurang;
2. Seringkali lolos dari pengamatan karena kurangnya pengetahuan para dokter akan
mekanisme dan kemungkinan terjadinya interaksi obat sehingga interaksi obat berupa
peningkatan toksisitas seringkali dianggap sebagai reaksi idiosinkrasi terhadap salah satu obat
sedangkan interaksi berupa penurunan efektifitas seringkali diduga akibat bertambahnya
keparahan penyakit; selain itu, terlalu banyak obat yang saling berinteraksi sehingga sulit
untuk diingat;
3. Kejadian atau keparahan interaksi dipengaruhi oleh variasi individual (populasi tertentu
lebih peka misalnya penderita lanjut usia atau yang berpenyakit parah, adanya perbedaan
kapasitas metabolisme antar individu ), penyakit tertentu ( terutama gagal ginjal atau penyakit
hati yang parah), dan faktor- faktor lain ( dosis besar, obat ditelan bersama-sama, pemberian
kronik).
1. USIA
Fisiologi tubuh, metabolisme dan eliminasi pada bayi, anak dan orang dewasa berbeda.
2. BOBOT BADAN
Perbandingan dosis obat – bobot badan menentukan konsentrasi obat yang mencapai sasaran.
3. KEHAMILAN
Pengosongan lambung↑, metabolisme ↑, ekskresi/filtrasi glomerolus ↑.
4. OBAT DALAM ASI
Ampisilin, eritromisin, kanamisin, linkomisin, kloramfenikol, rifampisin, streptomisin sulfat,
tetrasiklin, dll.
5. VARIASI DIURENAL
Hormon kortikosteroid dari korteks adrenal pada pagi hari ↑, mlm hari ↓
6. TOLERANSI
MK : Induksi enzim
7. SUHU TUBUH
Distribusi ekskresi, ikatan, aktivitas enzim
8. KONDISI PATOLOGIK
Gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal.
9. GENETIK
Defisiensi enzim
10. WAKTU PEMBERIAN
Sesudah makan/ sebelum makan
4 X y mg ≠ 2 X 2y mg
Sekarang ini, potensi efek yang tidak terduga sebagai akibat dari interaksi antara obat dan
obat lain atau makanan telah ditetapkan. Risiko interaksi obat akan meningkat seiring dengan
peningkatan jumlah obat yang digunakan oleh individu. Hal ini juga menyiratkan risiko yang
lebih besar pada orang tua dan mengalami penyakit kronis, karena mereka akan
menggunakan obat-obatan lebih banyak daripada populasi umum. Risiko juga meningkat bila
rejimen pasien berasal dari beberapa resep. Peresepan dari satu apotek saja mungkin dapat
menurunkan risiko interaksi yang tidak terdeteksi (McCabe, et.al., 2003). Interaksi obat
potensial seringkali terjadi pada pasien rawat inap yang diresepkan banyak pengobatan.
Prevalensi interaksi obat meningkat secara linear seiring dengan peningkatan jumlah obat
yang diresepkan, jumlah kelas obat dalam terapi, jenis kelamin dan usia pasien
MEKANISME DASAR INTERAKSI OBAT
Pada kenyataanya banyak obat yang berinteraksi obat terjadi tidak hanya dengan satu
mekanisme tetapi melibatkan dua atau lebih mekanisme. Akan tetapi secara umum
mekanisme interaksi obat dalam tubuh dapat dijelaskan atas dua mekanisme utama, yaitu
interaksi farmakokinetik dan interaksi farmakodinamik.
Pemberian suatu obat (A) dapat mempengaruhi aksi obat lainnya (B) dengan mekanisme
berikut:

1. Modifikasi efek farmakologi obat B tanpa mempengaruhi konsentrasinya di cairan


jaringan (interaksi farmakodinamik).

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara obat yang memiliki efek
farmakologis, antagonis atau efek samping yang hampir sama. Interaksi ini dapat terjadi
karena kompetisi pada reseptor atau terjadi antara obat-obat yang bekerja pada sistem
fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya dapat diprediksi dari pengetahuan tentang
farmakologi obat-obat yang berinteraksi
Interaksi farmakodinamik meliputi aditif , potensiasi, sinergisme dan antagonisme.
Mekanisme yang terlibat dalam interaksi farmakodinamik adalah perubahan efek pada
jaringan atau reseptor.
2. Mempengaruhi konsentrasi obat B yang mencapai situs aksinya (interaksi
farmakokinetik).

a. Interaksi ini penting secara klinis mungkin karena indeks terapi obat B sempit (misalnya,
pengurangan sedikit saja efek akan menyebabkan kehilangan efikasi dan atau peningkatan
sedikit saja efek akan menyebabkan toksisitas).

b. Interaksi ini penting secara klinis mungkin karena kurva dosis-respon curam (sehingga
perubahan sedikit saja konsentrasi plasma akan menyebabkan perubahan efek secara
substansial).

c. Untuk kebanyakan obat, kondisi ini tidak ditemui, peningkatan yang sedikit besar
konsentrasi plasma obat-obat yang relatif tidak toksik seperti penisilin hampir tidak
menyebabkan peningkatan masalah klinis karena batas keamanannya lebar.
d. Sejumlah obat memiliki hubungan dosis-respon yang curam dan batas terapi yang sempit,
interaksi obat dapat menyebabkan masalah utama, sebagai contohnya obat antitrombotik,
antidisritmik, antiepilepsi, litium, sejumlah antineoplastik dan obat-obat imunosupresan

Interaksi farmakokinetik terjadi ketika suatu obat mempengaruhi absorbsi, distribusi,


metabolisme dan ekskresi obat lainnya sehingga meningkatkan atau mengurangi jumlah obat
yang tersedia untuk menghasilkan efek farmakologisnya
Interaksi farmakokinetik ditandai dengan perubahan kadar plasma obat, area di bawah kurva
(AUC), onset aksi, waktu paruh dsb
Salah satu faktor yang dapat mengubah respon terhadap obat adalah pemberian bersamaan
dengan obat-obat lain. Ada beberapa mekanisme dimana obat dapat berinteraksi, tetapi
kebanyakan dapat dikategorikan secara farmakokinetik (absorpsi, distribusi, metabolisme,
eksresi), farmakodinamik, atau toksisitas kombinasi.
Pengetahuan tentang mekanisme dimana timbulnya interaksi obat yang diberikan sering
bermanfaat secara klinik, karena mekanisme dapat mempengaruhi baik waktu pemberian obat
maupun metode interaksi. Beberapa interaksi obat yang penting timbul akibat dua mekanisme
atau lebih.
Akibat interaksi obat dapat terjadi keadaan :
a) Sumasi (adiktif).
b) Sinergisme, contoh : Sulfonamid mencegah bakteri untuk mensintesa dihidrofolat,
sedangkan trimetoprim menghambat reduksi dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat. Kedua obat
ini bila diberikan bersama-sama akan memiliki efek sinergistik yang kuat sebagai obat anti
bakteri.
c) Antagonisme, contoh : Antagonis reseptor beta (beta bloker) mengurangi efektifitas obat-
obat bronkhodilator seperti salbutamol yang merupakan agonis beta reseptor.
d) Potensiasi, contoh :
1) banyak diuretika yang menurunkan kadar kalium plasma, dan yang akan memperkuat
efek glikosid jantung yang mempermudah timbulnya toksisitas glikosid.
2) Penghambat monoamin oksidase meningkatkan jumlah noradrenalin di ujung syaraf
adrenergik dan karena itu memperkuat efek obat-obat seperti efedrin dan tiramin yang
bekerja dengan cara melepaskan noradrenalin.
INTERAKSI OBAT BERMAKNA KLINIS
1. OBAT YANG RENTANG TERAPINYA SEMPIT
Contoh: antiepilepsi, digoksin, lithium, siklosporin, warfarin
2. OBAT YANG MEMERLUKAN PENGATURAN DOSIS TELITI
Contoh: antihipertensi
3. PENGINDUKSI ENZIM
Contoh: asap rokok, barbiturat, fenitoin, griseofulvin, karbamzepin, rifampisin.
4. PENGHAMBAT ENZIM
Contoh: amiodaron, diltiazem, eritromisin, ketokonazol, metronidazol, simetidin,
siprofloksasin, verapamil
HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN INTERAKSI OBAT
1. Tidak semua obat yang berinteraksi signifikan scr klinik
2. Interaksi tidak selamanya merugikan.
3. Jika dua obat berinteraksi tidak berarti tidak boleh diberikan
4. Interaksi tidak hanya untuk terapi yang berbeda tetapi kadang untuk mengobati penyakit yang
sama.
5. Interaksi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pengobatan.

GUNA INTERAKSI OBAT


1. MENINGKATKAN KERJA OBAT
Contoh : sulfametoksasol, analgetik dan kafein
2. MENGURANGI EFEK SAMPING
Contoh : anestetika dan adrenalin
3. MEMPERLUAS SPEKTRUM
Contoh : kombinasi antiinfeksi
4. MEMPERPANJANG KERJA OBAT
Probenesid dan penisilin.

PASIEN YANG RENTAN TERHADAP INTERAKSI OBAT


 Pasien lanjut usia
 Pasien yang mengkonsumsi lebih dari satu macam obat
 Pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan hati
 Pasien dengan penyakit akut
 Pasien dengan penyakit yang tidak tidak stabil (kadang kambuh)
 Pasien dengan karakteristik genetik tertentu
 Pasien yang dirawat oleh lebih dari satu dokter.
1. Mekanisme Interaksi Obat
Interaksi diklasifikasikan berdasarkan keterlibatan dalam proses farmakokinetik maupun
farmakodinamik. Interaksi farmakokinetik ditandai dengan perubahan kadar plasma obat, area
di bawah kurva (AUC), onset aksi, waktu paro dsb. Interaksi farmakokinetik diakibatkan oleh
perubahan laju atau tingkat absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Interaksi
farmakodinamik biasanya dihubungkan dengan kemampuan suatu obat untuk mengubah efek
obat lain tanpa mengubah sifat-sifat farmakokinetiknya. Interaksi farmakodinamik meliputi
aditif (efek obat A =1, efek obat B = 1, efek kombinasi keduanya = 2), potensiasi (efek A = 0,
efek B = 1, efek kombinasi A+B = 2), sinergisme (efek A = 1, efek B = 1, efek kombinasi
A+B = 3) dan antagonisme (efek A = 1, efek B = 1, efek kombinasi A+B = 0). Mekanisme
yang terlibat dalam interaksi farmakodinamik adalah perubahan efek pada jaringan atau
reseptor.
Mekanisme interaksi obat:
1) Interaksi Farmakokinetika
Dapat terjadi pada berbagai tahap meliputi absorbsi, distribusi, metabolisme, atau
ekskresi.
a. Absorbsi saluran pencernaan meliputi kecepatan dan jumlah.
Dipengaruhi oleh formulasi farmasetik termasuk bentuk sediaan, pKa dan
kelarutan obat dalam lemak disamping pH, flora bakteri, dan aliran darah dalam
organ pencernaan (meliputi usus besar, usus halus, usus 12 jari dan lambung).

Setelah obat bebas masuk ke peredaran darah, kemungkinan mengalami proses – proses
sebagai berikut :
1. Obat disimpan dalam depo jaringan.
2. Obat terikat oleh protein plasma terutama albumin.
3. Obat aktif yang dalam bentuk bebas berinteraksi dengan reseptor sel khas dan
menimbulkan respon biologis.
4. Obat mengalami metabolisme dengan beberapa jalur kemungkinan yaitu :
a) Obat yang mula-mula tidak aktif, setelah mengalami metabolisme akan
menghasilkan senyawa aktif, kemudian berinteraksi dengan reseptor dan
menimbulkan respon biologis ( bioaktivasi).
b) Obat aktif akan dimetabolisis menjadi metabolit yang lebih polar dan tidak
aktif, kemudian diekskresikan (bioinaktivasi).
c) Obat aktif akan dimetabolisis menghasilkan metabolit yang bersifat toksik
(biotoksifikasi).
5. Obat dalam bentuk bebas langsung diekskresikan.

b. Ikatan obat protein (pendesakan obat) meliputi obat bebas/ aktif dan obat terikat
/tidak aktif
c. Metabolisme hepatik meliputi induksi enzim (penurunan konsentrasi obat) dan
inhibisi enzim (peningkatan konsentrasi obat)
d. Klirens ginjal meliputi peningkatan ekskresi (penurunan konsentrasi obat) dan
penurunan ekskresi (peningkatan konsentrasi obat)
Reseptor obat adalah suatu makromolekul jaringan sel hidup mengandung
gugus fungsional atau atom atom terorganisasi, reaktif secara kimia dan bersifat khas,
yang dapat berinteraksi secara terpulihkan dengan molekul obat yang mengandung
gugus fungsional khas, menghasilkan respon biologis tertentu.

2) Interaksi Farmakodinamika
Meliputi sinergisme kerja obat, antagonisme kerja obat, efek reseptor tidak langsung,
gangguan cairan dan elektrolit. Pasien yang rentan terhadap interaksi obat :
a. Individu usia lanjut
b. Minum lebih dari 1 macam obat
c. Mempunyai gangguan fungsi ginjal dan hati
d. Mempunyai penyakit akut
e. Mempunyai penyakit yang tidak stabil
f. Memiliki karakteristik genetik tertentu
g. Ditangani lebih dari 1 dokter.

2. Interaksi Obat Dengan Makanan


Ketika suatu makanan atau minuman mengubah efek suatu obat, perubahan tersebut
dianggap sebagai interaksi obat-makanan. Interaksi seperti itu bisa terjadi. Tetapi tidak semua
obat dipengaruhi oleh makanan, dan beberapa obat hanya dipengaruhi oleh makanan-
makanan tertentu. Interaksi obat-makanan dapat terjadi dengan obat-obat yang diresepkan,
obat yang dibeli bebas, produk herbal, dan suplemen. Meskipun beberapa interaksi mungkin
berbahaya atau bahkan fatal pada kasus yang langka, interaksi yang lain bisa bermanfaat dan
umumnya tidak akan menyebabkan perubahan yang berarti terhadap kesehatan tubuh.
Makanan dan obat dapat berinteraksi dalam banyak cara yang berbeda. Sering, zat
tertentu di dalam makanan memberikan efek. Perubahan-perubahan lain dapat disebabkan
oleh jumlah protein dalam diet anda, atau bahkan cara makanan tersebut disiapkan. Salah satu
cara yang paling umum makanan mempengaruhi efek obat adalah dengan mengubah cara
obat-obat tersebut diuraikan ( dimetabolisme ) oleh tubuh. Jenis protein yang disebut enzim,
memetabolisme banyak obat. Beberapa makanan dapat membuat enzim-enzim ini bekerja
lebih cepat atau lebih lambat, baik dengan memperpendek atau memperpanjang waktu yang
dilalui obat di dalam tubuh. Jika makanan mempercepat enzim, obat akan lebih singkat berada
di dalam tubuh dan dapat menjadi kurang efekteif. Jika makanan memperlambat enzim, obat
akan berada lebih lama dalam tubuh dan dapat menyebabkan efek samping yang tidak
dikehendaki.

Kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan dapat terjadinya interaksi obat


dengan makanan adalah :
1. Perubahan motilitas lambung dan usus, terutama kecepatan pengosongan lambung
dari saat masuknya makanan
2. Perubahan pH, sekresi asam serta produksi empedu
3. Perubahan suplai darah di daerah splanchnicus dan di mukosa saluran cerna
4. Dipengaruhinya absorpsi obat oleh proses adsorpsi dan pembentukan kompleks
5. Dipengaruhinya proses transport aktif obat oleh makanan
6. Perubahan biotransformasi dan eliminasi. (Widianto, 1989)

3. Faktor yang Mempengaruhi Interaksi Obat dengan Makanan.


Ada beberapa factor yang mempengaruhi interaksi obat dan makanan antara lain:
a. Pengosongan lambung
Pada kasus tertentu misalnya setelah pemberian laksansia atau penggunaan
preparat retard, maka di usus besarpun dapat terjadi absorpsi obat yang cukup besar.
Karena besarnya peranan usus halus dalam hal ini, tentu saja cepatnya makanan
masuk ke dalam usus akan amat mempengaruhi kecepatan dan jumlah obat yang
diabsorpsi. Peranan jenis makanan juga berpengaruh besar di sini. Jika makanan yang
dimakan mengandung komposisi 40% karbohidrat, 40% lemak dan 20% protein maka
walaupun pengosongan lambung akan mulai terjadi setelah sekitar 10 menit. Proses
pengosongan ini baru berakhir setelah 3 sampai 4 jam. Dengan ini selama 1 sampai
1,5 jam volume lambung tetap konstan karena adanya proses- proses sekresi.
Tidak saja komposisi makanan, suhu makanan yang dimakanpun
berpengaruh pada kecepatan pengosongan lambung ini. Sebagai contoh makanan
yang amat hangat atau amat dingin akan memperlambat pengosongan lambung. Ada
pula peneliti yang menyatakan pasien yang gemuk akan mempunyai laju
pengosongan lambung yang lebih lambat daripada pasien normal. Nyeri yang hebat
misalnya migren atau rasa takut, juga obat-obat seperti antikolinergika (missal
atropin, propantelin), antidepresiva trisiklik (misal amitriptilin, imipramin) dan
opioida (misal petidin, morfin) akan memperlambat pengosongan lambung.
Sedangkan percepatan pengosongan lambung diamati setelah minum cairan dalam
jumlah besar, jika tidur pada sisi kanan (berbaning pada sisi kiri akan mempunyai
efek sebaliknya,) atau pada penggunaan obat seperti metokiopramida atau khinidin.
Jelaslah di sini bahwa makanan mempengaruhi kecepatan pengosongan lambung,
maka adanya gangguan pada absorpsi obat karenanya tidak dapat diabaikan.

b. Komponen makanan
Efek perubahan dalam komponen-komponen makanan :
1. Protein (daging, dan produk susu)
Sebagai contoh, dalam penggunaan Levadopa untuk mngendalikan tremor
pada penderita Parkinson. Akibatnya, kondisi yang diobati mungkin tidak
terkendali dengan baik. Hindari atau makanlah sesedikit mungkin makanan
berprotein tinggi (Harknoss, 1989).
2. Lemak
Keseluruhan dari pengaruh makan lemak pada metabolisme obat adalah
bahwa apa saja yang dapat mempengaruhi jumlah atau komposisi asam lemak dari
fosfatidilkolin mikrosom hati dapat mempengaruhi kapasitas hati untuk
memetabolisasi obat. Kenaikan fosfatidilkolin atau kandungan asam lemak tidak
jenuh dari fosfatidilkolin cenderung meningkatkan metabolism obat (Gibson,
1991).
Contohnya : Efek Griseofulvin dapat meningkat.interaksi yang terjadi adalah
interaksi yang menguntungkan dan grieseofluvin sebaiknya dimakan pada saat
makan makanan berlemak seperti daging sapi, mentega, kue, selada ayam, dan
kentang goreng (Harkness, 1989).

3. Karbohidrat
Karbohidrat tampaknya mempunyai efek sedikit pada metabolism obat,
walaupun banyak makan glukosa, terutama sekali dapat menghambat metabolism
barbiturate, dan dengan demikian memperpanjang waktu tidur. Kelebihan glukosa
ternyata juga mengakibatkan berkurangnya kandungan sitokrom P-450 hati dan
memperendah aktivitas bifenil-4-hidroksilase (Gibson, 1991). Sumber
karbohidrat: roti, biscuit, kurma, jelli, dan lain- lain (Harkness, 1989).

4. Vitamin
Vitamin merupakan bagian penting dari makanan dan dibutuhkan untuk
sintesis protein dan lemak, keduanya merupakan komponen vital dari system
enzim yang memetabolisasi obat. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa
perubahan dalam level vitamin, terutama defisiensi, menyebabkan perubahan
dalam kapasitas memetabolisasi obat.
Contohnya :
a) Vit A dan vit B dengan antacid, menyebabkan penyerapan vitamin
berkurang.
b) Vit C dengan besi, akibatnya penyerapan besi meningkat.
c) Vit D dengan fenitoin (dilantin), akibatnya efek vit D berkurang.
d) Vit E dengan besi, akibatnya aktivitas vit E menurun.(Harkness, 1989)

5. Mineral
Mineral merupakan unsur logam dan bukan logam dalam makanan untuk
menjaga kesehatan yang baik. Unsur – unsure yang telah terbukti mempengaruhi
metabolisme obat ialah: besi, kalium, kalsium, magnesium, zink, tembaga,
selenium, dan iodium. Makanan yang tidak mengandung magnesium juga secara
nyata mengurangi kandungan lisofosfatidilkolin, suatu efek yang juga
berhubungan dengan berkurangnya kapasitas memetabolisme hati. Besi yang
berlebih dalam makanan dapat juga menghambat metabolisme obat. Kelebihan
tembaga mempunyai efek yang sama seperti defisiensi tembaga, yakni
berkurangnya kemampuan untuk memetabolisme obat dalam beberapa hal. Jadi
ada level optimum dalam tembaga yang ada pada makanan untuk memelihara
metabolism obat dalam tubuh (Gibson, 1991).

c. Ketersediaan hayati
Penggunaan obat bersama makanan tidak hanya dapat menyebabkan
perlambatan absorpsi tetapi dapat pula mempengaruhi jumlah yang diabsorpsi
(ketersediaan hayati obat bersangkutan). Penisilamin yang digunakan sebagai basis
terapeutika dalam menangani reumatik, jika digunakan segera setelah makan,
ketersediaan hayatinya jauh lebih kecil dibandingkan jika tablet tersebut digunakan
dalam keadaan lambung kosong. Ini akibat adanya pengaruh laju pengosongan
lambung terhadap absorpsi obat (Gibson, 1991).

4. Fase-Fase Dalam Interaksi Obat dengan Makanan


Ada beberapa fase dalam interaksi obat dengan makanan yaitu:
1. Fase farmasetis
Fase farmasetis merupakan fase awal dari hancur dan terdisolusinya obat.
Beberapa makanan dan nutrisi mempengaruhi hancur dan larutnya obat. Maka dari
itu, keasaman makanan dapat mengubah efektifitas dan solubilitas obat-obat tertentu.
Salah satu obat yang dipengaruhi pH lambung adalah saquinavir, inhibitor protease
pada perawatan HIV. Ketersediaan hayatinya meningkat akibat solubilisasi yang
diinduksi oleh perubahan pH lambung. Makanan dapat meningkatkan pH lambung,
disisi lain juga dapat mencegah disolusi beberapa obat seperti isoniazid (INH).

2. Fase farmakokinetik
Fase farmakokinetik adalah absorbsi, transport, distribusi, metabolisme dan
ekskresi obat. Interaksi obat dan makanan paling signifikan terlibat dalam proses
absorbsi. Usus halus, organ penyerapan primer, berperan penting dalam absorbsi
obat. Fungsi usus halus seperti motilitas atau afinitas obat untuk menahan sistem
karier usus halus, dapat mempengaruhi kecepatan dan tingkat absorbsi obat. Makanan
dan nutrien dalam makanan dapat meningkatkan atau menurunkan absorbsi obat dan
mengubah ketersediaan hayati obat.
Disini masukan tabel

Makanan yang mempengaruhi tingkat ionisasi dan solubilitas atau reaksi


pembentukan khelat, dapat mengubah absorbsi obat secara signifikan. Misalnya pada
reaksi pembentukan khelat pada :
a. kombinasi tetracyclin dengan mineral divalen seperti Ca dalam susu atau
antasida. Kalsium akan mempengaruhi absorbsi dari quinolon.
b. Reaksi antara besi (ferro atau ferri) dengan tetracyclin, antibiotik
fluoroquinolon, ciprofloxacin, ofloxacin, lomeflox dan enoxacin. Maka dari
itu, ketersediaan hayati ciprofloxacin dan ofloxacin turun masing-masing 52
dan 64 % akibat adanya besi.
c. Zink dan fluoroquinolon akan menghasilkan senyawa inaktif sehingga
menurunkan absorbsi obat(b)

Kecepatan pengosongan lambung secara signifikan mempengaruhikomposisi


makanan yang dicerna. Kecepatan pengosongan lambung ini dapat mengubah
ketersediaan hayati obat. Makanan yang mengandung serat dan lemak tinggi
diketahui secara normal menunda waktu pengosongan lambung. Beberapa obat
seperti nitrofurantoin dan hidralazin lebih baik diserap saat pengosongan lambung
tertunda karena tekanan pH rendah di lambung. Obat lain seperti L-dopa,Penicillin G
dan digoxin, mengalami degradasi dan menjadi inaktif saat tertekan oleh pH rendah
di lambung dalam waktu lama. Obat dieliminasi dari tubuh tanpa diubah atau sebagai
metabolit primer oleh ginjal, paru-paru, atau saluran gastrointestinal melalui empedu.
Ekskresi obat juga dapat dipengaruhi oleh diet nutrien seperti protein dan serat, atau
nutrien yang mempengaruhi pH urin.

3. Fase farmakodinamik
Fase farmakodinamik merupakan respon fisiologis dan psikologis terhadap
obat. Mekanisme obat tergantung pada aktifitas agonis atau antagonis, yang mana
akan meningkatkan atau menghambat metabolisme normal dan fungsi fisiologis
dalam tubuh manusia. Obat dapat memproduksi efek yang diinginkan dan tidak
diinginkan. Aspirin dapat menyebabkan defisiensi folat jika diberikan dalam jangka
waktu lama. Methotrexat memiliki struktur yang mirip dengan folat vitamin B, hal ini
dapat memperparah defisiensi folat.

Tempat table
Penelanan tablet dengan air yang cukup atau cairan lain penting untuk beberapa obat
karena jika ditelan tablet tersebut cenderung merusak saluran oesophagus. Petunjuk pada
pasien untuk mencegah iritasi dan atau ulcer pada oesophagus, tablet atau kapsul obat harus
ditelan dengan segelas air oleh pasien dengan posisi berdiri, misalnya untuk obat obat
seperti analgesik (contohnya aspirin), NSAID (contohnya Phenylbutazone, oxyphenbutazone,
indometacin), kloralhidrat, emepromium bromida, kalium klorida, tetracyclin
(terutamaDoxycyclin).

Obat diminum dengan atau tanpa makanan. Interaksi obat-makanan dalam saluran
gastrointestinal dapat bermacam- macam dan banyak alasan mengapa makanan dapat
berpengaruh pada efek obat.Contohnya obat mungkin terikat pada komponen makanan;
makanan akan mempengaruhi waktu transit obat pada usus; obat dapat mengubah first- pass
metabolism obat dalam usus dan dalam hati; dan makanan dapat meningkatkan aliran empedu
yang mampu meningkatkan absorbsi beberapa obat yang larut lemak.

Petunjuk pada pasien untuk mencegah interaksi tersebut adalah denganmeminum obat
dengan segelas air pada saat perut kosong, misalnya seperti pada obat- obat sefalosporin
(kecuali sefradin), dipyridamol, erythromycin, Isoniazid (INH), lincomycin, penicillamin,
pentaerithritel tetranitrat, rifampicin, penisilin oral dan tetracyclin. Absorbsi semua penisilin
oral optimal jika diminum pada saat perut kosong dengan segelas air. Pivampicillin harus
diminum bersama makanan karena dapat mengiritasi lambung atau perut. Tetracyclin kadang
kalamenyebabkan mual dan muntah jika diminum pada saat perut kosong. Meskipun
makanan mengurangi absorbsi tetracyclin tetapi tidak terjadi pada doxycyclin dan minocyclin.

Adanya makanan juga dapat meningkatkan perubahan bentuk profil serum obat tanpa
mengubah ketersediaan hayati obat. Hal ini terlihat pada studi sefradin, makanan tidak
memiliki efek signifikan terhadap ekskresi urin antibiotik tetapi pada nilai t-max. Beberapa
obat yang diminum bersama susu atau makanan berlemak antara lain alafosfalin, griseofulvin
dan vitamin Sedangkan obat yang tidak boleh diminum bersama susu antara lain bisacodyl
(dulcolax), garam besi, tetracyclin (kecuali doxycyclin dan minocyclin).

5. Interaksi obat dan makanan yang dapat menurunkan kinerja sistem pencernaan
Interaksi obat dan makanan yang dapat menurunkan kinerja sistem pencernaan dapat
meliputi interaksi obat yang menurunkan nafsu makan, mengganggu pengecapan dan mengganggu
traktus gastrointestinal/ saluran pencernaan.

A. Obat dan penurunan nafsu makan


Efek samping obat atau pengaruh obat secara langsung, dapat mempengaruhi
nafsu makan. Kebanyakan stimulan CNS dapat mengakibatkan anorexia. Efek samping
obat yang berdampak pada gangguan CNS dapat mempengaruhi kemampuan dan
keinginan untuk makan. Obat-obatan penekan nafsu makan dapat menyebabkan
terjadinya penurunan berat badan yang tidak diinginkan dan ketidakseimbangan nutrisi.
B. Obat dan perubahan pengecapan/penciuman
Banyak obat yang dapat menyebabkan perubahan terhadap kemampuan
merasakan/ dysgeusia, menurunkan ketajaman rasa/ hypodysgeusia atau membaui.
Gejala-gejala tersebut dapat mempengaruhi intake makanan. Obat-obatan yang umum
digunakan dan diketahui menyabapkan hypodysgeusia seperti: obat antihipertensi
(captopril), antriretroviral ampenavir, antineoplastik cisplastin, dan antikonvulsan
phenytoin.
C. Obat dan gangguan gastrointestinal
Obat dapat menyebabkan perubahan pada fungsi usus besar dan hal ini dapat
berdampak pada terjadinya konstipasi atau diare. Obat-obatan narkosis seperti kodein dan
morfin dapat menurunkan produktivitas tonus otot halus dari dinding usus. Hal ini
berdampak pada penurunan peristaltik yang menyebabkan terjadinya konstipasi.

D. Absorbsi
Obat-obatan yang dikenal luas dapat mempengaruhi absorbsi zat gizi adalah
obat- obatan yang memiliki efek merusak terhadap mukosa usus. Antineoplastik,
antiretroviral, NSAID dan sejumlah antibiotik diketahui memiliki efek tersebut.
Mekanisme penghambatan absorbsi tersebut meliputi pengikatan antara obat dan zat gizi
(drug-nutrient binding) contohnya Fe, Mg, Zn, dapat berikatan dengan beberapa jenis
antibiotik; mengubah keasaman lambung seperti pada antacid dan antiulcer sehingga
dapat mengganggu penyerapan B12, folat dan besi; serta dengan cara penghambatan
langsung pada metabolisme atau perpindahan saat masuk ke dinding usus.

E. Metabolisme
Obat-obatan dan zat gizi mendapatkan enzim yang sama ketika sampai di usus
dan hati. Akibatnya beberapa obat dapat menghambat aktifitas enzim yang dibutuhkan
untuk memetabolisme zat gizi. Sebagai contohnya penggunaan metotrexate pada
pengobatan kanker menggunakan enzim yang sama yang dipakai untuk mengaktifkan
folat. Sehingga efek samping dari penggunaan obat ini adalah defisiensi asam folat.

F. Ekskresi
Obat-obatan dapat mempengaruhi dan mengganggu eksresi zat gizi dengan
mengganggu reabsorbsi pada ginjal dan menyebabkan diare atau muntah

Anda mungkin juga menyukai