Obat-obat yang digunakan pada terapi dapat dibagi dalam empat golongan
besar, yaitu obat farmakodinamik, obat kemoterapetik, obat tradisional dan obat
diagnostik. Obat farmakodinamik bekerja meningkatkan atau menghambat
fungsi suatu organ. Misalnya, furosemide sebagai diuretic meningkatkan kerja
ginjal dalam produksi urin atau hormone estrogen pada dosis tertentu dapat
menghambat ovulasi dari ovarium. Obat kemoterapetik bekerja terhadap agen
penyebab penyakit, seperti bakteri, virus, jamur atau sel kanker. Obat ini
mempunyai sebaiknya memiliki kegiatan farmakodinamika yang sekecil-
kecilnya terhadap organisme tuan rumah dan berkhasiat membunuh sebesar-
besarnya terhadap sebanyak mungkin parasite (cacing, protozoa) dan
mikroorganisme (bakteri dan virus). Misalnya, pirantel pamoat membunuh
cacing pada dosis yang aman bagi manusia. Obat tradisional adalah bahan atau
ramuan bahan yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian
(galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun-temurun telah
digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Misalnya, daun kumis
kucing, minyak ikan, ekstrak daun mengkudu, dan lain-lain. Obat diagnostik
merupakan obat pembantu untuk melakukan diagnosis (pengenalan penyakit).
Misalnya, dari saluran lambung usus (barium sulfat) dan saluran empedu
(natrium miopanoat dan asam iod organik lainnya).
Pada bab-bab selanjutnya, kita juga akan menggunakan sebutan obat paten
atau spesialit dan obat generik. Obat paten atau branded generik adalah obat
milik suatu perusahaan dengan nama khas yang dilindungi hukum, sedangkan
nama generik adalah nama resmi suatu obat yang dapat digunakan di semua
negara tanpa melanggar hak paten obat yang bersangkutan. Sebagai contoh
berikut ini.
A. REGULASI OBAT
Obat merupakan bahan yang di regulasi oleh pemerintah, dalam hal ini
oleh Badan POM. Tujuan regulasi adalah melindungi konsumen dari efek yang
merugikan karena kualitas atau keamanannya. Di Indonesia obat yang beredar
dikelompokkan dalam 5 kelompok sebagai berikut.
1. Obat Keras
Obat golongan ini hanya dapat dibeli dengan resep dokter. Obat golongan
ini dianggap tidak aman atau penyakit yang menjadi indikasi obat tidak
mudah didiagnosis oleh orang awam. Obat golongan ini bertanda dot
merah.Contoh obat keras adalah antibiotika, antihistaminika untuk
pemakaian dalam dan semua obat suntik. Psikotropika adalah zat atau
obat baik alamiah atau sintetis, bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif
melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan
perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Contoh zat psikotropik
adalah fenobarbital, diazepam, dan amitriptilin.
2. Obat Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan menimbulkan ketergantungan. Golongan
narkotika penjualannya diawasi secara ketat untuk membatasi
penyalahgunaannya. Obat golongan ini bertanda palang merah. Contoh
obat golongan narkotika adalah kodein yang juga dapat menekan batuk.
3. Obat keras terbatas
Obat ini dapat dibeli di apotek atau di toko obat dan harus dalam
bungkusan aslinya dan tertera penandaan, misalnya “P6 Awas obat keras,
hanya untuk bagian luar dari badan”. Obat golongan ini bertanda dot biru.
Contoh obat keras terbatas adalah Caladin lotion, Cenfresh tetes mata.
4. Obat bebas
Obat bebas adalah obat yang dapat dibeli tanpa resep dokter dalam
bungkusan dari pabrik yang membuatnya secara eceran. Obat golongan ini
bertanda dot hijau. Contoh obat bebas adalah Panadol tablet, obat batuk
hitam.
5. Obat tradisional
Yakni obat yang mengandung tanaman obat herbal. Ada 3 kategori obat
tradisional di Indonesia, yaitu:
a. Jamu, yaitu obat yang masih berbentuk simplisia.
b. Herbal terstandar, obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan
alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah
dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah di standardisasi.
c. Fitofarmaka, Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah
dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji
praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah di
standardisasi.
Juga dikenal obat wajib apotek, yaitu obat daftar G yang boleh diberikan
oleh apoteker pada pasien yang sebelumnya telah mendapatkannya dari dokter,
biasanya untuk penggunaan jangka panjang dan atau kondisi tertentu.
B. ASPEK-ASPEK BIOFARMASI
Sebelum obat yang diberikan pada pasien tiba pada tempat kerjanya dalam
tubuh obat harus mengalami banyak proses. Dalam garis besarnya, proses-
proses ini dapat dibagi dalam tiga tingkat, yaitu fase biofarmasi, farmakokinetik,
dan farmakodinamik. Biofarmasi adalah ilmu yang bertujuan menyelidiki
pengaruh pembuatan sediaan obat atas kegiatan terapetiknya. Faktor formulasi
yang dapat mengubah efek obat dalam tubuh adalah: bentuk fisik zat aktif
(amorf, kristal, kehalusan), keadaan kimiawi (ester, garam kompleks dan
sebagainya), zat pembantu (zat pengisi, zat pelekat, zat pelicin, zat pelindung,
dan sebagainya), serta proses teknis pembuatan sediaan (tekanan mesin tablet).
3. Zat pembantu (zat pengisi, zat pelekat, zat pelicin, zat pelindung, dan
sebagainya)
Pada tahun 1971 di Australia terjadi peristiwa difantoin (=fenitoin), yaitu
ketika pasien yang menelan tablet anti-epilepsi ini menunjukkan gejala
keracunan. Ternyata kadar fenitoin dari tablet tersebut sangat tepat, tetapi zat
pengisi kalsium sulfat telah diganti dengan laktosa pada proses pembuatannya.
Akibat perubahan ini BA fenitoin ditingkatkan yang mengakibatkan kenaikan
resorpsinya dengan efek toksis. Zat-zat dengan kegiatan permukaan (tween,
span) atau zat hidrofil yang mudah larut dalam air (polivinilpirolidon,
carbowax) dapat mempercepat melarutnya zat aktif dari tablet. Sebaliknya zat-
zat hidrofob (= tidak suka air) digunakan pada produksi tablet sebagai pelicin
untuk mempermudah mengalirnya campuran tablet ke dalam cetakan (dies) dan
mencegah melekatnya pada stempel. Zat-zat ini (asam/magnesium stearate dan
lain-lain) dapat menghambat melarutnya zat aktif. Kini sering digunakan
aerosol (asam silikat koloidal) sebagai zat pelican dan anti lekat karena tidak
menghambat melarutnya zat aktif.
Zat pengikat pada tablet dan zat pengental suspensi, seperti gom, gelatin
dan tajin umumnya juga memperlambat larutnya obat. Zat desintegrasi
(berbagai jenis tepung) justru mempercepatnya.
Bentuk tablet.
Cara terbaru adalah plester transdermal yang dilekatkan pada kulit dan
sebaiknya pada bagian dalam pergelangan tangan, di belakang telinga, atau
tempat lain dengan kulit tipis yang banyak mengandung pembuluh darah.
Yang banyak digunakan adalah TTS (Transdermal Terapeutic System),
yaitu plester yang melepaskan obat secara berangsur- angsur dan teratur
selama beberapa waktu dan langsung memasuki darah. Contoh yang
terkenal adalah obat mabuk jalan skopolsmin (Scopoderm), obat anti-
angina nitrogliserin (Nitroderm TTS) dan estradiol (Estraderm TTS)