Kelompok 1 :
UNIVERSITAS MASYRAKAT
SERANG – BANTEN
TAHUN 2022
0
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas taufik dan rahmat-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam senantiasa kita sanjungkan
kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, serta semua umatnya
hingga kini. Dan semoga kita termasuk dari golongan yang kelak mendapatkan syafaatnya.
Dalam kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah berkenan membantu pada tahap penyusunan hingga selesainya makalah ini. Harapan
kami semoga makalah yang telah tersusun ini dapat bermanfaat sebagai salah satu rujukan
maupun pedoman bagi para pembaca, menambah wawasan serta pengalaman, sehingga
nantinya saya dapat memperbaiki bentuk ataupun isi makalah ini menjadi lebih baik lagi.
Kami sadar bahwa kami ini tentunya tidak lepas dari banyaknya kekurangan, baik dari
aspek kualitas maupun kuantitas dari bahan penelitian yang dipaparkan. Semua ini murni
didasari oleh keterbatasan yang dimiliki kami. Oleh sebab itu, kami membutuhkan kritik dan
saran kepada segenap pembaca yang bersifat membangun untuk lebih meningkatkan kualitas
di kemudian hari.
Penulis
1
DAFTAR ISI
2
BAB I
PENDAHULUAN
Beberapa orang sering mengalami risiko efek samping karena interaksi obat, dan
seberapa jauh risiko efeksamping dapat dikurangi. Dengan mengetahui bagaimanamekanisme
interaksi antar obat, dapatdiperkirakan kemungkinan efek samping yangakan terjadi dan
melakukan antisipasi. Interaksi obat terjadi jika efek suatu obat (index drug) berubah akibat
adanya obat lain(precipitant drug), makanan, atau minuman.Interaksi obat dapat
menghasilkan efek yangmemang dikehendaki (Desirable DrugInteraction), atau efek yang
tidak dikehendaki(Undesirable/Adverse Drug Interactions = ADIs)yang lazimnya
menyebabkan efek samping obatdan/atau toksisitas karena meningkatmya kadarobat di dalam
plasma, atau sebaliknyamenurunnya kadar obat dalam plasma yangmenyebabkan hasil terapi
menjadi tidak optimal.Interaksi obat dapat melalui beberapa cara mekanisme, yaitu interaksi
secara farmasetik (inkompatibilitas), interaksi secarafarmakokinetik, dan interaksi
secarafarmakodinamik.Makalah ini bermaksudmenguraikan mekanismeinteraksi antar obat
secara farmakokinetik.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Toksikokinetik atau studi tentang kinetika (pergerakan) bahan kimia di dalam tubuh
pada awalnya dilakukan dengan obat-obatan dan istilah farmakokinetik sering digunakan.
Studi toksikologi sendiri pada awalnya juga digunakan untuk obat-obatan. Ilmu toksikologi
telah berkembang dengan memuat bahan kimia di lingkungan, pekerja, dan obat-obatan.
Interaksi dalam proses farmakokinetik,yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme danekskresi
(ADME) dapat meningkatkan ataupunmenurunkan kadar plasma obat.
2.1 Absorpsi
Absorpsi adalah suatu proses transfer toksikan (xenobiotika) melalui/melewati sistem
(sel) organ tubuh hingga ke dalam darah atau sistem sirkulasi limfatik. Tempat utama
terjadinya absorpsi adalah saluran pencernaan, paru-paru, dan kulit. Namun, absorpsi juga
dapat terjadi melalui tempat lain seperti subkutis, peritoneum, atau otot.
Proses absorpsi juga erat kaitannya dengan sistem organ manusia. Tubuh manusia
tersusun atas substansi kimia yang merupakan unit penyusun semua zat/bahan dalam organ.
Satuan terkecil dalam tubuh manusia adalah sel yang tersusun atas substansi-substansi kimia.
Bagian sel yang berperan penting adalah membran sel, dimana proses absorpsi itu
terjadi.Membran sel merupakan lapisan terluar dari sel yang berfungsi untuk memisahkan sel
dengan materi-materi di luar sel. Membran sel akan membantu sel agar bisa mempertahankan
bagian dalam sel serta mengontrol senyawa yang keluar dan masuk ke dalam sel.
Absorpsi dapat terjadi karena adanya berbagai mekanisme dalam tubuh, yang
memungkinkan terjadinya transpor racun dari satu tempat ke tempat yang lain, yakni
mekanisme :
- Difusi (pasif)
- Difusi katalitis
- Transpor aktif
4
A. Difusi
Difusi adalah pergerakan ion dan molekul dari daerah berkonsentrasi tinggi ke daerah
berkonsentrasi rendah. Difusi merupakan mekanisme transpor dari satu sel ke sel yang lain
melalui membran sel. Dalam hal ini, zat yang terlarut dalam lemak (lipofilik),seperti alkohol,
asam lemak, dan steroi akan lebih cepat diserap melalui membran sel lipid apabila terdapat
gradien konsentrasi. Sedangkan, zat yang terlarut dalam air (hidrofilik), harus melalui saluran
tertentu. Ukuran molekul juga akan mempengaruhi difusi, partikel yang lebih kecil cenderung
akan bergerak lebih cepat daripada partikel yang berukuran besar. Faktor lain yang
mempengaruhi laju difusi adalah suhu, suhu yang lebih tinggi meningkatkan laju difusi.
B. Difusi katalitis
Yang dimaksud dengan difusi katalitis adalah aliran difusi dimana zat dapat berpindah
tempat akibat terikatnya pada permease (protein) atau ionofore HC) yang berada pada
dinding sel. Protein dan/atau hidrat karbon tadi berfungsi sebagai katalis. Setiap pembawa
pada membran sel bersifat spesifik, yaitu berikatan hanya dengan satu zat spesifik.
Banyaknya zat yang dibawa ke dalam sel bergantung pada banyaknya pembawa dan gradien
konsentrasi. Zat seperti glukosa dan asam amino akan berpindah menggunakan pembawa
karena glukosa dan asam amino tidak larut dalam lemak. Pada pembawa tertentu juga dapat
dipengaruhi oleh hormon, dimana hormon akan mengatur pergerakan zat tertentu ke dalam
sel. Faktor lain yang mempengaruhi difusi katalitis adalah suhu, pH, dan interaksi fisi-
kimiawi.
C. Transpor aktif
Transpor aktif adalah aliran zat yang terbalik dari difusi, yakni melawan aliran difusi
dan difusi katalitis, sehingga proses ini memerlukan energi yang dalam organisme berada
dalam bentuk Adenosin Trifosfate (ATP). Untuk mendapatkan energi ATP, perlu dilakukan
hidrolisis oleh enzim permasae yang memecah ATP menjadi ADP dengan melepaskan
energi. Mekanisme transpor aktif ini penting dalam mekanisme pengangkutan xenobiotik
menuju hati, ginjal, dan sistem syaraf pusat, serta dalam mempertahankan keseimbangan
elektrolit dan nutrien.
Tempat utama terjadinya absorpsi adalah saluran pencernaan, paru-paru, dan kulit.
Namun, absorpsi juga dapat terjadi melalui tempat lain seperti subkutis, peritoneum, atau
otot. Profesional eksperimentalis dan medis juga membedakan antara pemberian obat atau
xenobiotik melalui admistrasi parenteral dan enteral. Administrasi enteral mencakup semua
5
rute yang berkaitan dengan saluran pencernaan (sublingual, oral, dan rektal), sedangkan
administrasi parental mencakup semua rute lain (intravenous, intraperitoneal, intramuscular,
subcutaneous, dan lain-lain) (C. D. Klaassen, 2013).
Interaksi yang terjadi secara langsung sebelum obat diabsorpsi contohnya adalah
interaksi antibiotika (tetrasiklin, fluorokuinolon) dengan besi (Fe) dan antasida yang
mengandung Al, Ca, Mg, terbentuk senyawa chelafe yang tidak larut sehingga obat
antibiotika tidak diabsorpsi. Obat-obat seperti digoksin, siklosporin, asam valproat menjadi
inaktif jika diberikan bersama adsorben (kaolin, charcoal) atau anionic exchange resins
(kolestramin, kolestipol).
6
Terjadinya perubahan pH cairangastrointestinal, misalnya peningkatan pH
karenaadanya antasida, penghambat-H2, ataupunpenghambat pompa-proton akan
menurunkanabsorpsi basa-basa lemah (misal, ketokonazol,itakonazol) dan akan
menimgkatkan absorpsiobat-obat asam lemah (misal, glibenklamid,glipizid, tolbutamid).
Peningkatan pH cairangastrointestinal akan menurunkan absorpsiantibiotika golongan =
selafosporin.
Difusi oksigen dari darah ke cairan jaringan (sel), terjadi ketika tekanan
oksigendalam kapiler-kapiler sistemik tinggi dan tekanan oksigen dalam
cairan jaringan (sel) rendah.
Difusi karbondioksida dari cairan jaringan (sel) ke darah, terjadi ketika
tekanan karbondioksida pada kapiler sistemik rendah dan tekanan
karbondioksida pada cairan jaringan (sel) tinggi.
7
Respon toksik bahan kimia dapat terjadi akibat adanya pajanan secara inhalasi.
Contohnya adalah keracunan karbon monoksida dan silikosis. Toksisitas ini diakibatkan oleh
adanya penyerapan (absorpsi) atau pengendapan racun dari udara di paru-paru. Kelompok
toksikan utama yang diabsorpsi melalui paru-paru adalah gas (seperti karbon monoksida,
nitrogen dioksida, dan sulfur dioksida), uap dari cairan yang mudah menguap (benzena dan
karbon tetraklorida) dan aerosol (Klaassen, 2013).
Ketika gas terhirup masuk ke paru-paru, molekul gas akan berdifusi dari alveoli ke
dalam darah hingga tercapainya kesetimbangan. Tingkat penyerapan gas di paru-paru
bervariasi tergantung pada rasio kelarutan toksikan (konsentrasi dalam darah/konsentrasi
pada fase gas) pada kesetimbangan. Gas dengan rasio kelarutan tinggi (>1) dapat dengan
mudah berpindah ke darah pada setiap siklus pernapasan, sehingga apabila masih ada, akan
menyisakan sedikit saja gas di alveoli sebelum terjadi inhalasi berikutnya. Darah akan
membawa molekul gas terlarut ke seluruh tubuh. Di setiap jaringan, molekul gas akan
ditransfer dari darah ke jaringan hingga tercapainya kesetimbangan. Setelah melepaskan gas
ke jaringan, darah akan kembali lagi ke paru-paru untuk mengambil lebih banyak gas
(Klaassen and Watkins III, 2015).
Kulit manusia bersentuhan dengan banyak bahan kimia beracun, tetapi pajanan
biasanya akan dibatasi oleh sifat kulit yang impermeabel. Namun, beberapa bahan kimia
dapat diserapoleh kulit dalam jumlah yang cukup untuk menghasilkan efek sistemik.
Contohnya adalah pajanan fatal terhadap beberapa jenis insektisida yang terjadi pada pekerja
pertanian setelah mengalami penyerapan insektisida melalui kulit (Klaassen, 2013).
Kulit terdiriatas dua lapisan utama, yaitu epidermis dan dermis. Epidermis tersusun
dari empat atau lima lapisan lagi tergantung dari lokasinya. Stratum korneum merupakan
lapisan terluar yang berfungsi sebagai barier terpenting untuk mencegah tubuh kehilangan
cairan sekaligus menjadi penghalang utama untuk mencegah penyerapan xenobiotik
kedalamtubuh (Klaassen and Watkins III, 2015).
8
Untuk diserap dalam kulit, pertama – tama bahan kimia akan melewati stratum
korneum dan selanjutnya melewati enam lapisan kulit lainnya. Senyawa lipofilik umumnya
akan diserap lebih cepat, sebanding dengan sifat kelarutan lemaknya namun berbanding
terbalik dengan berat molekulnya. Sedangkan senyawa hidrofilik akan diserap lebih lambat
oleh stratum korneum, oleh karena itu senyawa hidrofilik lebih cenderung menembus kulit
melalui pelengkap kulit seperti folikel rambut. Permeabilitas kulit tergantung pada koefisien
difusi dan ketebalan stratum korneum. Fase kedua terdiri dari difusi melalui lapisan bawah
epidermis dan dermis, selanjutnya bahan kimia akan masuk kesirkulasi sistemik melalui
pembuluh darah dermis (Klaassen and Watkins III, 2015).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penyerapan toksikan melalui kulit, meliputi
integritas stratum korneum; kondisi hidrasi stratum korneum; suhu lingkungan; pelarut yang
berfungsi sebagai pembawa; dan ukuran molekul (Klaassen and Watkins III, 2015). Beberapa
zatkimia (toksikan) relatif lebih mudah diserap oleh kulit, contohnya seperti SARIN, CCl4,
insektisida, dan benzena.
2.2 Distribusi
Distribusi adalah proses pergerakan toksikan tersirkulasi dari tempat asal pajanan ke
daerah lain di dalam tubuh baik melalui sistem peredaran darah maupun limfatik (Klaassen
and Watkins III, 2015). Setelah melalui proses absorpsi, toksikan akan terdistribusi melalui
sistem peredaran darah maupun limfatik menuju ke jaringan di dalam tubuh. Proses
pergerakan ini akan mengikuti mekanisme transportasi toksikan melewati membran sel.
Toksikan yang mudah larut dalam lemak (lipofilil) akan lebih banyak ditemukan pada
jaringan lemak tubuh, seperti lemak di bawah kulit, susmsum tulang belakang, dan
otak.Sedangkan toksikan yang mudah larut dalam air (hidrofilik) akan lebih banyak terdapat
di darah. Beberapa faktor yang mempengaruhi distribusi toksikan adalah sebagai berikut:
9
Mekanisme transpor dalam distribusi ini sama dengan mekanisme transpor pada
absorpsi.Transpor katalitis dengan ikatan protein seperti serum albumin, merupakan
proseskompetitif dengan metabolit seperti asam keton, asam lemak, bilirubin, dan lain-
lain,dengan demikian metabolit tidak dapat ditranspor secara normal ke tempat
pembuangan.Oleh karenanya, sering ditemukan berbagai gejala tertumpuknya metabolit.
Distribusi akan mentraspor racun ke organ target ataupun seluruh tubuh,tergantung sifat
kimia – fisika racun dan reaksi tubuh terhadapnya. Mekanisme interaksi yang melibatkan
proses distribusi terjadi karena pergeseran ikatan protein plasma. Interaksi obat yang
melibatkan proses distribusi akan bermakna khinik jika:
1) obat indeks memiliki tkatan protein sebesar >85%, volume distribusi (Vd) obat <0,15
kg dan memiliki batas keamanan sempit;
2) obat presipitan berikatan dengan albumin pada tempat ikatan (binding site) yang sama
dengan obatindeks, serta kadamya cukup tinggi untuk menempati dan menjenuhkan
binding-site nya. Contohnya, fenilbutazon dapat menggeserwarfarin (ikatan protein
99%, Vd = 0,14 I/kg) dan tolbutamid (ikatan protein 96%, Vd = 0,12 kg) sehingga
kadar plasma warfarin dan tolbutamid bebas meningkat. Selain itu, fenilbutazou juga
menghambat metabolisme warfarin dan tolbutamid.
2.3 Metabolisme
10
Proses metabolisme atau yang juga disebut sebagai biotransformasi merupakan
mekanisme dasar pertahanan tubuh terhadap toksikan (xenobiotika). Pada metabolisme
terjadi proses – proses sebagai berikut:
Semua jaringan memiliki enzim yang dapat memetabolisme bahan kimia, namun hati
merupakan organ yang memiliki konsentrasi enzim tertinggi dibandingkan semua organ
tubuh dan biasanya merupakan tempat utama terjadinya metabolisme (Luttrell, Jederberg and
Still, 2008). Adapun bagian sel hati yang menjadi tempat utama proses metabolisme adalah
bagian reticulum endoplasma dan mitokondira.
1. Detoksifikasi
Detoksifikasi adalah proses dimana xenobiotika dikonversi menjadi bentuk yang
kurang toksik. Detoksifikasi merupakan salah satu mekanisme pertahanan alamiah
yang dimiliki organisme. Secara umum, proses detoksifikasi merubah senyawa
toksikan yang lipofil menjadi senyawa yang lebih polar (hidrofil) agar lebih mudah
diekskresikan.
2. Bioaktivasi
Bioaktivasi merupakan proses dimana xenobiotika dapat berubah menjadi bentuk
yang lebih reaktif atau lebih toksik. Bioaktivasi merubah senyawa yang stabil secara
kimia menjadi metabolit yang reaktif. Contohnya adalah Karbon Tetraklorida (CCl4)
secara cepat diproses dalam tubuh menjadi senyawa kimia toksik Triklorometil.
Bioaktivasi terutama dikatalisis oleh Sitokrom P-450 Monooksigenase, namun pada
kasus tertentu enzim lain berperan. Pada bioaktivasi, terjadi pembentukan Epoksida,
N-Hidroksilasi, Radikal Bebas, dan Superoksida.
11
1. Hidrolisis (enzim yang berperan misalnya carboxylesterase)
2. Reduksi (enzim yang berperan misalnya carbonyl reductase)
3. Oksidasi (enzim yang berperan misalnya cytochrome P450 [CYP])
4. Konjugasi (enzim yang berperan misalnya UDP-glucuronosyltransferase
[UGT])(Klaassen, 2013).
Biotransformasi biasanya dibedakan menjadi dua bagian yaitu fase I dan fase II. Fase
ini umumnya dianggap terhubung karena produk pada fase I seringkali menjadi substrat
untuk fase II.
Fase I biotransformasi mencakup reaksi oksidasi, reduksi, dan hidrolisis pada bahan
kimia induk (Winder and Stacey, 2005). Pada fase I, biasanya terjadi penambahan gugus
fungsi seperti -OH, -NH2, -SH, atau -COOH, dan biasanya hanya menghasilkan sedikit
peningkatan hidrofilisitas pada suatu (Klaassen and Watkins III, 2015). Enzim sitokrom P450
merupakan kelompok enzim yang berperan penting pada fase I. Enzim ini dapat ditemukan di
retikulum endoplasma pada sel. Enzim ini mengkatalisis berbagai reaksi biotransformasi Fase
I dan bertanggung jawab atas metabolisme berbagai senyawa eksogen (Luttrell, Jederberg
and Still, 2008).
12
Pada kasus tertentu, metabolisme xenobiotik dapat menghasilkan metabolit yang lebih
reaktif dan lebih bersifat toksik dibandingkan dengan molekul induknya. Ini disebut
bioaktivasi. Salah satu contohnya adalah CCl4, metabolisme CCl4 akan menghasilkan
metabolit yang lebih reaktif (radikal bebas) oleh enzim yang bekerja di fase I. Dominannya,
enzim yang memetabolisme CCl4 adalah CYP2El. Pada orang yang mengkonsumsi alkohol,
akan terjadi peningkatan CYP2El pada hepatosit. Sehingga toksisitas hati setelah terpapar
CCl4 lebih mungkin timbul pada orang yang mengkonsumsi alkohol dari pada orang yang
tidak mengkonsumsi alkohol (Luttrell, Jederberg and Still, 2008).
2.4 Ekskresi
Toksikan dapat keluar dari dalam tubuh melalui berbagai macam cara, antara lain
melalui urin, empedu, ekspirasi, feses, cairan serebrospinal, air susu ibu (ASI), keringat, serta
saliva.
1. Urin
Organ tubuh yang berperan penting terhadap ekskresi toksikan melalui urinadalah
ginjal. Banyak toksikan yang dimetabolisme oleh ginjal menjadi lebih larut dalam air
agar lebih mudah diekskresi melalui urin. Prosesnya berupa filtrasi glomerulus pasif,
difusi tubuler pasif, dan sekresi tubuler aktif.
2. Empedu
13
Ekskresi melalui empedu berasal dari metabolisme toksikan oleh organ hati. Hati
merupakan organ terpenting dalam metabolisme toksikan, termasuktoksikan yang
telah diabsorpsi melalui saluran pencernaan (gastrointestinal tract/ GIT), karena darah
dari GIT akan melewati terlebih dahulu sebelum akhirnya sampai pada sirkulasi darah
sistemik. Metabolit dari hati diekskresikan langsung ke empedu.
3. Paru-Paru
Toksikan yang tetap berada pada suhu tubuh akan diekskresikan melaluiparu-paru.
Contoh toksikan yang diekskresikan melalui paru-paru antara lain:
a. Cairan yang mudah menguap, misalnya dietil eter
b. Gas dengan kelarutan rendah dalam darah, misalnya etilen
c. Gas dengan kelarutan tinggi dalam darah, misalnya kloroform
d. Gas anestesi dengan kelarutan tinggi, misalnya halotan dan metoksifluran
4. Feses
Feses merupakan salah satu jalur ekskresi toksikan hasil metabolisme pada saluran
gastrointestinal. Toksikan yang diekskresikan melalui feses umumnya berupa
toksikan yang sangat lipofil, seperti insektisida organoklor, TCDD, dan PCB.
5. Air susu
Ekskresi toksikan melalui air susu sangat berbahaya karena dapat memindahkan
toksikan dari ibu kepada anaknya atau dari hewan (misalnya sapi) kepada manusia.
Toksikan diekskresikan ke air susu melalui proses difusi.
6. Keringat dan saliva
Keringat dan saliva merupakan jalur minor untuk ekskresi toksikan.
Mekanisme interaksi obat dapat terjadi pada proses ekskresi melalui empedu dan pada
sirkulasi enterohepatik, sekresi tubuli ginjal, dan karena terjadinya perubahan pH urin.
Gangguan dalam ekskresi melalui empedu terjadi akibat kompetisi antara obat dan metabolit
obat untuksistem transport yang sama, contohnya kuinidin menurunkan ekskresi empedu
digoksin, probenesid menurunkan ekskresi empedu tifampisin. Obat – obat tersebut memiliki
sistem transporter protein yang sama, yaitu. P-glikoprotein.’’ Obat-obat yang menghambat P-
glikoprotein di intesin akan meningkatkan bioavabilitas substrat P-glikoprotein, sedangkan
hambatan P-glikoprotein di ginjal dapat menunutkan ekskresi ginjal substrat. Contoh,
itrakonazol, suatu inhibitor P-glikoprotein diginjal, akan menurunkan kJirens ginjal digoksin
(substrat P-glikoprotein) jika diberikan bersama - sama, sehingga kadar plasma digoksin akan
meningkat.
14
Sirkulasi enterohepatik dapat diputuskan atau diganggu dengan mengikat obat yang
dibebaskan atau dengan mensupresi flora ususyang menghidrolisis konjugat obat, sehingga
obat tidak dapat direabsorpsi. Contoh: kolestirami (binding agents), akan mengikat parent
drug (misalnya warfarin, digoksin) sehingga re-absorpsinya terhambat dan klirens meningkat.
1) fraksi obat yang dickskresi utuh oleh ginjal cukup besar © 30%), dan
2) obat berupabasa lemah dengan pKa 7,5 — 10 atau asam lemah dengan pKa 3,0 —
7,5.
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Besarnya masalah interaksi obat, terutama yang dapat berakibat timbulnya efek
samping (adverse drug reaction), dapat meningkat secara bermakna pada populast masyarakat
tertentu sejalan dengan berambah banyaknya jumlah obat yang dikonsumsi secara bersamaan
setiap hari. Interaksi obat dapat melalui beberapa cara mekanisme, yaitu interaksi secara
farmasetik (inkompatibilitas), interaksi secara farmakokinetik, dan interaksi secara
farmakodinamik. Interaksi dalam proses farmakokinetik, yaitu absorpsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi (ADME) dapat meningkatkan ataupun menurunkan kadar plasma
obat.
3.2 Saran
16
DAFTAR PUSTAKA
Soemirat, Juli, 2005. Toksikologi Lingkungan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
https://media.neliti.com/media/publications/160648-ID-none.pdf
17