Anda di halaman 1dari 15

Uji Toksisitas Subkronik Menggunakan Tikus

Reviewer 1
Nama : Sitti Masyithah Amaluddin
Nim : O1A117180

Definisi Toksisitas
1. Menurut Jurnal Ilmu Kefarmasian (Hidayat dkk.,2017).
Uji toksisitas subkronis oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik
yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang diberikan
secara oral pada hewan uji selama sebagian umur hewan, tetapi tidak lebih dari
10% seluruh umur hewan. Prinsip dari uji toksisitas subkronis oral adalah sediaan
uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan setiap hari pada beberapa kelompok
hewan uji selama 90 hari, akan lebih baik apabila ditambahkan kelompok satelit
untuk melihat adanya efek tertunda atau efek yang bersifat reversible.
2. Menurut Jurnal Penelitian Pangan (Setiasih dkk.,2016)
Uji toksisitas merupakan salah satu pengujian yang dilakukan untuk menilai
keamanan suatu senyawa kimia baik senyawa itu sendiri maupun senyawa
tersebut berada dalam bahan-bahan lainnya seperti bahan pangan. Toksisitas
didefenisikan sebagai kajian tentang hakikat dan mekanisme efek toksik berbagai
bahan terhadap makhluk hidup dan sistem biologi lainnya. Mekanisme kerja yang
mendasari efek toksik biasanya dapat diketahui lewat berbagai perubahan tingkat
subseluler. Bagian yang potensial dipengaruhi toksikan adalah nukleulus,
mitokondria, lisozom, reticulum endoplasma, struktur subseluler lainnya dan
membrane plasma.
3. Menurut Global Medical Health Communication (Rahcmawati dkk.,2018) .
Uji toksisitas subkronik dilakukan terhadap produk herbal yang diberikan dalam
dosis yang berulang selama kurang dari 6 bulan. Pengujian ini bertujuan
mengetahui dosis yang tidak menimbulkan efek toksik (no observed adverse
effect level/NOAEL), untuk mendeteksi efek toksik zat tersebut setelah pemberian
secara berulang, serta mempelajari efek kumulatif dan efek reversibilitas.

Bahan dan Metode


1. Menurut Jurnal Ilmu Kefarmasian (Hidayat dkk.,2017).
Hewan uji yang digunakan adalah tikus galur Wistar jantan dan betina berumur 6-
8 minggu dengan berat antara 150-200 g. Sebanyak 120 ekor tikus
dikelompokkan secara acak menjadi 6 kelompok, masing-masing 10 ekor tikus
jantan dan 10 ekor tikus betina, kemudian diadaptasi selama 7 hari. Uji toksisitas
subkronis dilakukan selama 90 hari (untuk kelompok perlakuan) dan 120 hari
(untuk kelompo pengamatan /satelit), sesuai ketentuan uji toksisitas yang
ditetapkan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Kelompok perlakuan
selama 90 hari diberikan kombinasi EEKD dan EEJB perbandingan 1:2 dalam
beberapa dosis. Kelompok kontrol negatif, hanya diberi pelarut aquadest, dan
CMC 0,5% kelompok I: kombinasi dosis rendah (EEKD:EEJB =
50:100mg/kgBB/hari), kelompok II : kombi nasi dos is menengah ( EEKD: EEJ
B = 100:200mg/kgBB/hari), kelompok III: kombinasi dosis tinggi (EEKD: EEJB
= 200:400mg/kgBB/hari), kelompok satelit selama 120 hari: kelompok satelit
kontrol negatif, hanya diberi aquadest dan pelarut CMC 0,5%, kelompok satelit
dosis tinggi (EEKD: EEJB = 200:400 mg/kgBB/hari).
2. Menurut Jurnal Penelitian Pangan (Setiasih dkk.,2016)
Hewan coba tikus pada dosis 15.000 mg/kgbb , kemudian diamati efek pemberian
KBDM pada menit ke-30, 60, dan 120, meliputi aktivitas motorik, fenomena
straub, piloereksi, ptosis, midriasis, grooming, urinasi, defekasi dan salivasi.
Setelah 24 jam, data tikus yang mati dicatat. Tikus yang bertahan hidup diamati
sampai hari ke-14.. Sedangkan Uji toksisitas sub kronis dibagi menjadi 4
kelompok dosis, 3 kelompok uji dan 1 kelompok kontrol. K1 pemberian dosis
1000 mg/kg bb sayur berozon (dosis rendah ), K2 pemberian dosis 10000
mg/kgbb sayur berozon (dosis tengah), K3 pemberian dosis 20000 mg/kgbb sayur
berozon (dosis atas), K4 merupakan satelit kontrol (aquades), K5 merupakan
satelit dosis 20000 mg/kg bb (satelit dosis atas). Kode K untuk tikus jantan dan
kode L untuk tikus betina. Pengamatan dilakukan setiap hari selama 90 hari.
Kelompok satelit tetap dipelihara selama 120 hari tanpa diberikan bahan. Evaluasi
hasil uji dilakukan melalui pengamatan pasca mati terhadap organ-organ hewan
coba untuk mengamati perubahan patologi anatomi dan histopatologinya.
3. Menurut Global Medical Health Communication (Rahcmawati dkk.,2018) .
Uji toksisitas subkronik dilakukan terhadap 40 ekor tikus putih jantan galur
Wistar yang berusia 2–3 bulan dengan bobot 200–300 gram. Sebelum perlakuan,
tikus diaklimatisasi selama 1 minggu dan diberi pakan standar dan air minum ad
libitum. Tikus lalu dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan secara acak. Pada
kelompok kontrol hanya diberi CMC Na 1%, sedangkan kelompok perlakuan
diberi ekstrak A. flava dosis 250, 500, dan 750 mg/kgBB per oral selama 28 hari.
Pada akhir perlakuan dilakukan pemeriksaan biokimia hepar berupa penentuan
kadar SGOT dan SGPT. Selain itu, dilakukan pembedahan untuk melihat
gambaran histopatologi hepar dan ginjal tikus. Data SGOT serta SGPT tikus
dianalisis dengan menggunakan ANOVA dan dilanjutkan dengan uji least
significant different (LSD).

Hasil dan Pembahasan

1. Menurut Jurnal Ilmu Kefarmasian (Hidayat dkk.,2017).


Setelah dilakukan pemeriksaan hematologi terhadap sampel darah 60 ekor tikus
jantan dan 60 ekor betina, menggunakan met ode kolorimeteri, dengan alat
Hematology Analyzer. kelompok perlakuan, menggunakan ANAVA dan jika
signifi kan dilanjutkan dengan uji beda Tukey HSD. Hematologi tikus antar
kelompok perlakuan, menggunakan ANAVA dan jika signifi kan dilanjutkan
dengan uji beda Tukey HSD. Has il pemeri ksaan hematologi tikus Wistar jantan
setelah pemberian perlakuan selama 90 hari, ternyata semua parameter
hematologi, Hb, MCHC, eritrosit, MCV, Ht, granul osit kecual i leukosit
(WBC) menunjukkan has il yang ti dak berbeda signifi kan dengan kelompok
kontrol (p>0,005). Yang menunjukkan perbedaan signifi kan secara statistika
adalah leukosit. Kadar leukosit yang paling tinggi didapat pada kelompok satelit
kontrol.
2. Menurut Jurnal Penelitian Pangan (Setiasih dkk.,2016)
Pengamatan dilakukan pada organ hati dan ginjal tikus putih jantan dan betina
terutama pada hepatosit, sinusoid, dan ada tidaknya sel-sel radang untuk organ
hati. Untuk ginjal dilakukan pada nephron, tubulus dan interstitium. Perubahan
yang terjadi pada kontrol negatif (K1 dan L1) terjadi degenerasi hidropis ringan
tetapi hati masih membetuk lobulasi yang jelas dengan vena sentralis yang berada
di tengah. Sitoplasma mengambil warna merah muda dan inti sel mengambil
warna unggu kebiruan.
3. Menurut Global Medical Health Communication (Rahcmawati dkk.,2018)
Preparat histopatologi hepar setelah diberi pewarnaan dengan hematoksilin eosin
diamati mempergunakan mikroskop. Hasil histopatologi hepar setelah pemberian
ekstrak A. flava pada berbagai kelompok. Pengamatan histopatologi kelompok
kontrol dankelompok perlakuan menunjukkan gambaran sel hepatosit normal.
pemberian ekstrak A. flava 500 mg/kgBB dan 750 mg/kgBB selama 28 hari dapat
meningkatkan kadar SGOT secara signifikan (p<0,05), sedangkan pada dosis
lazim, yaitu 250 mg/kgBB pemberian ekstrak A. Flava tidak meningkatkan kadar
SGOT tikus secara signifikan (p<0,05). Berbeda dengan kadar SGOT yang
mengalami peningkatan, kadar SGPT tikus tidak mengalami peningkatan secara
signifikan pada seluruh dosis perlakuan (p<0,05). Pada penelitian ini peningkatan
kadar SGOT itu tidak diikuti dengan SGPT yang menunjukkan bahwa ekstrak A.
flava tidak memengaruhi fungsi hepar hewan uji. Peningkatan SGPT dianggap
lebih spesifik digunakan untuk mendeteksi kelainan hati bila dibanding dengan
SGOT karena SGPT ditemukan pada hati dan jumlahnya lebih banyak dibanding
dengan SGOT. SGOT dapat ditemukan pada jantung, otot rangka, otak, maupun
ginjal. Keadaan ini sesuai dengan hasil pemeriksaan histopatologi hepar yang
memperlihatkan tidak terdapat nekrosis pada hepar.

Kesimpulan
1. Menurut Jurnal Ilmu Kefarmasian (Hidayat dkk.,2017).
Uji toksisitas subkronis pemberian kombinasi ekstrak etanol kedelai Detam 1 dan
ekstrak etanol jati belanda adalah aman dan tidak toksik terhadap hematologi
darah tikus Wistar setelah diberi perlakuan selama 90 hari, dilanjutkan
pengamatan 30 hari berikutnya (satelit) untuk kelompok yang tidak diberi
perlakuan dan perlakuan dosis tinggi.
2. Menurut Jurnal Penelitian Pangan (Setiasih dkk.,2016).
Pencucian ozonasi 1,9 ppm selama 5 menit pada KBDM berdasarkan nilai LD
tidak mengganggu kesehatan hewan uji sehingga aman untuk dikonsumsi
manusia. Sedangkan berdasarkan hasil uji toksisitas subkronis pencucian ozonasi
tersebut dapat menimbulkan degenerasi ringan pada hati dan ginjal tetapi
degenerasi tersebut bersifat reversible (mampu kembali ke kekeadaan semula).
3. Menurut Global Medical Health Communication (Rahcmawati dkk.,2018).
Pemberian ekstrak A. flava dosis 250, 500, dan 750 mg/kgBB pada tikus selama
28 hari tidak menyebabkan kerusakan sel-sel hepar dan ginjal melalui penentuan
SGOT, SGPT, dan pengamatan histopatologi.
Reviewer 2
Nama : Wa Ode Sinta Hasrawati
Nim : O1A117193
a. Definisi uji toksisitas subkronik
1. (Menurut Jurnal Sains Farmasi & Klinis (Wahyuni dkk., 2017).
Uji toksisitas subkronik adalah uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan
dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu, selama 1 sampai 3 bulan.
Prinsip uji toksisitas subkronik adalah zat uji dalam beberapa tingkat dosis
diberikan setiap hari, pada beberapa kelompok hewan uji, satu
dosis/perkelompok, selama 28 hari sampai 10% dari seluruh umur hewan (90
hari). Pada akhir percobaan, hewan yang masih hidup dipuasakan kurang
lebih 18 jam (bila pemberian zat uji dioral) dan dibedah, dilakukan pengujian
hematologi, biokimia darah, profil urin, uji perilaku dan histologi. Tujuannya:
 Memperoleh informasi tentang efek toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji
toksisitas akut
 Memperoleh infoemasi adanya efek toksi setelah pemaparan zat kimia secara
berulang dalam jangka waktu tertentu
 Memperoleh informasi dosis yang tidak menimbulkan efek toksik
 Mempelajari adanya efek kumulatif dan efek reversibilitas.
b. Metode penelitian
1. (Menurut Jurnal Sains Farmasi & Klinis (Wahyuni dkk., 2017).
Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit putih jantan yang berumur
2-3 bulan dengan berat badan 20-30 gram sebanyak 28 ekor untuk tiap
kelompoknya, dan belum pernah mengalami perlakuan terhadap obat. Hewan
percobaan dibagi dalam 4 kelompok yang terdiri dari 3 kelompok uji dan 1
kelompok kontrol. Sebelum digunakan, semua mencit diaklimatisasi selama 7
hari untuk membiasakan hewan berada pada lingkungan percobaan. Makanan
dan minuman diberikan secukupnya. Mencit yang digunakan adalah mencit
yang sehat dan tidak mengalami perubahan berat badan lebih dari 10% dan
secara visual menunjukkan perilaku yang normal.
2. Menurut Jurnal Majalah Farmasi Indonesia (Prasetyawati, 2004)
Hewan uji yang digunakan adalah tikus jantan Rattus norvegicus, galur Wistar
3-4 bulan berat badan 180-250 gramHewan uji dibagi menjadi 4 kelompok (5
ekor/kelompok) dimasukkan ke dalam kandang dilakukan pemejanan setiap
pagi selama 30 hari. Masing-masing hewan dari tiap kelompok dipejani
dengan infusa daun N. indicum per oral. Kelompok I sebagai kontrol diberi
aquades 3 ml/200 gBB, kelompok II dipejani dengan infusa 5% (750 mg
serbuk daun kering)/kgBB, kelompok III dipejani dengan infusa 10% (1500
mg/kgBB), sedangkan kelompok IV dipejani dengan infusa 20% (3000
mg/kgBB).
3. Menurut The 2nd University Research Coloquium (Haryoto dkk., 2015).
Percobaan dilakukan menggunakan 20 tikus putih jantan dengan galur wistar.
Hewan coba diaklimatisasi dalam laboratorium hewan selama 1 minggu
sebelum percobaan dengan kondisi laboratorium yang bersih. Tikus diberi
makanan dan minuman seperti saat perlakuan selama masa aklimatisasi.
Selama penelitian, dilakukan penimbangan dan pengukuran untuk asupan
makanan dan minuman yang diberikan. Selain asupan makan dan minum
dilihat juga perkembangan kenaikan berat badan yang terjadi selama
perlakuan dengan cara melakukan penimbangan setiap minggu. Hal ini
bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh ekstrak etanol daun Sala
terhadap kenaikan berat badan tikus. Pembagian kelompok hewan coba terdiri
dari satu kelompok kontrol (CMC- Na) dan tiga kelompok yang diberi
perlakuan dengan tingkat dosis berbeda. Perlakuan dilakukan setiap hari
selama 90 hari.
c. Hasil dan Pembahasan
1. (Menurut Jurnal Sains Farmasi & Klinis (Wahyuni dkk., 2017).
Pada uji toksisitas subkronis diamati beberapa parameter seperti kadar SGPT,
kadar kreatinin serum, rasio berat hati dan ginjal. Untuk hasil SGPT
didapatkan hasil pengolahaan statistik hasil yang didapat dari perhitungan
kadar SGPT bahwa aktivitas SGPT dipengaruhi secara bermakna oleh dosis
juga dipengaruhi secara bermakna oleh lama waktu pemberian. Namun
interaksi antar dosis dan lama pemberian tidak mempengaruhi kadar SGPT
secara bermakna. Pada penelitian ini nilai kreatinin serum yang diberi ekstrak
menunjukan aktifitas rata rata kreatinin serum yang lebih tinggi dibandingkan
dengan aktifitas rata rata kreatinin serum kontrol. Dapat dikatakan bahwa
semakin tinggi dosis yang diberikan kepada hewan uji, maka akan
meningkatkan kadar kreatinin serum pada hewan uji.
2. Menurut Jurnal Majalah Farmasi Indonesia (Prasetyawati., 2004)
Parameter yang diamati adalah gejala toksik, data berat untuk mengetahui
kondisi patologi dan kondisi hematologi hewan uji. Pengamatan gejala toksik
terhadap masing-masing hewan uji dilakukan setiap hari selama 30 hari,
selama 3 jam sesudah pemejanan ekstrak air daun N. indicum. Dari hasil
penelitian dilihat bahwa gejala-gejala toksik pada hewan uji tidak nampak
sama sekali, hal ini memberi indikasi tidak adanya efek toksik. Secara
kualitatif tidak ada perbedaan gejala antara kelompok kontrol dengan
kelompok perlakuan, baik dosis I, II serta dosis III artinya pemberian infusa
dengan ketiga peringkat dosis tidak menyebabkan timbulnya efek toksik
selama 3 jam pengamatan. Pada hasil data berat badan hewan uji didapatkan
purata kenaikan berat badan (PKPB)/hari (tabel II) dan jumlah makanan yang
dikonsumsi. Sedanghakan pada hasil pemeriksaan hematologi tikus uji
menunjukan pemberian infusa daun N. indicum dosis 750 mg/kgBB (5%),
1500 mg/kgBB (10%) dan 3000 mg/kgBB (20%) per oral selama 30 hari tidak
memberikan efek toksik atas sistem hematologi tikus putih jantan galur wistar

3. Menurut The 2nd University Research Coloquium(Haryoto dkk., 2015).


Parameter yang diamati adalah Penetapan Kimia Urin, dan Histopatologi
Ginjal. Pada analisis urin menggunakan reagen strip yang meliputi: Ph,
glukosa, keton, protein, bilirubin, ulobirinogen dan nitrit. Hasil yang diperoleh
menunjukkan Pemberian ekstrak etanol daun Sala pada tikus untuk kelompok
kontrol dan perlakuan selama 90 hari memberikan pengaruh pada parameter
protein, glukosa, keton, bilirubin, urobilinogen terhadap fungsi ginjal, namun
tidak mempengaruhi pH dan nitrit.
Pada pemeriksaan histpatologi dan organ ginjal menunjukkan jika terjadi
suatu peradangan pada daerah sekitar pembuluh darah, terdapat pada tikus
dengan pemberian dosis 1000 mg/kgBB dan dosis 1500 mg/kgBB.
d. Kesimpulan
1. (Menurut Jurnal Sains Farmasi & Klinis, Wahyuni dkk., 2017).
Dosis pemberian fraksi etil asetat kulit buah asam kandis memberikan
pengaruh yang bermakna terhadap aktivitas SGPT dan terhadap kadar
kreatinin serum mencit putih betina. Lama pemberian tidak memberikan
pengaruh yang bermakna terhadap peningkatan kadar kreatinin serum mencit
putih betina. Lama pemberian dan dosis pemberian tidak memberikan
pengaruh bermakna terhadap rasio berat hati dan ginjal mencit putih betina.
2. Menurut Jurnal Majalah Farmasi Indonesia, Prasetyawati., 2004)
 Data pemeriksaan hematologi menunjukkan bahwa pemberian infusa daun
N. indicum dosis 750 mg/kgBB (5%), 1500 mg/kgBB (10%) dan 3000
mg/kgBB (20%) per oral selama 30 hari tidak memberikan efek toksik
atas sistem hematologi tikus putih jantan galur wistar
 Hasil analisis statistik memperlihatkan penurunan yang bermakna kadar
WBC tikus putih jantan kelompok IV (dosis 3000 mg/kgBB)
dibandingkan dengan kelompok I (kontrol) dan penurunan yang bermakna
antara harga WBC sebelum dan sesudah 30 hari perlakuan dengan infusa
daun N. indicum
 Secara statistik terdapat kenaikan bermakna antara kadar PCV sebelum
dan sesudah 30 hari perlakuan dengan infusa daun N. indicum dosis 750
mg/kgBB, 1500 mg/kgBB dan 3000 mg/kgBB per oral pada tikus jantan.
 Secara statistik terdapat penuruan yang bermakna antara kadar protein
sebelum dan sesudah 30 hari perlakuan dengan infusa daun N. indicum
dosis 750 mg/kgBB, 1500 mg/kgBB dan 3000 mg/kgBB per oral pada
tikus jantan

3. Menurut The 2nd University Research Coloquium, Haryoto dkk., 2015).


Dosis pemberian fraksi etil asetat kulit buah asam kandis memberikan
pengaruh yang bermakna terhadap aktivitas SGPT dan terhadap kadar
kreatinin serum mencit putih betina. Lama pemberian tidak memberikan
pengaruh yang bermakna terhadap peningkatan kadar kreatinin serum mencit
putih betina. Lama pemberian dan dosis pemberian tidak memberikan
pengaruh bermakna terhadap rasio berat hati dan ginjal mencit putih betina.
1. Perlakuan uji toksisitas subkronik
Menurut BPOM (2014) perlakuan uji toksisitas subkronik adalah:
 Tikus betina normal dibagi menjadi 4 kelompok setiap kelompok
terdiri dari 6 tikus. Kelompok 1 menerima akuades dan sebagai
kontrol. Kelompok II, III dan IV menerima dosis ekstrak 45, 60 dan 75
mg/kgBB
 Ektrak Nerium indicum Mill diberikan stiap hari selama 28 hari
 Pengamatan pada kondisi setiap hewan coba dilakukan di setiap level
dosis setidaknya dua kali sehari setiap satu kali seminggu
 Berat hewan coba dievaluasi setiap satu kali seminggu
 Hewan coba didislokasi pada hari ke-29 setelah dipuasakan semalam
kemudian dilakukan pemeriksaan pada kadar bilirubin direct dan
histology sel hepar. Hasilnya dibandingna antara kelompok tikus
perlakuan kelompok kontrol untuk setiap level dosis.
Reviewer 3

Nama : Jumarni

Nim : O1A117026

1. Indonesian Journal of Medicine and Health, (Subchronic toxicity test on


combination of extracted Phyllanthus niruri and Centella asiatica on
haematology in rats) (Fatimah dkk., 2019)
a. Latar Belakang
Meniran (Phyllanthus niruri L.) dan pegagan (Centella asiatica L.) merupakan
salah satu tanaman obat yang dikenal baik di Indonesia. Pemanfaatan meniran
dan pegagan perlu dilakukan evaluasi secara subkronis untuk melihat
keamanannya. Dengan demikian, dialakukan penelitian untuk mengevaluasi
pengaruh pemberian subkronis kombinasi herba meniran dan herba pegagan
pada tikus galur Wistar terhadap parameter hematologi (eritrosit, hemoglobin,
hematokrit, MCV, MCH dan MCHC).
b. Metode
Studi ini menggunakan tikus galur Wistar jantan dan betina sebanyak 56 ekor
yang dibagi secara acak menjadi 4 kelompok. Kelompok 1 diberi CMC-Na
1% (kelompok kontrol). Kelompok 2 diberi ekstrak meniran-pegagan 50:50
mg/kgBW. Kelompok 3 diberi ekstrak meniran-pegagan 250:250 mg/ kgBW.
Kelompok 4 diberi ekstrak meniran-pegagan 1250:1250 mg/kgBW. Pengujian
subkronis dari kombinasi ekstrak meniran dan pegagan dilakukan dengan
memberikan perlakuan selama 28 hari kepada tikus galur Wistar. Data
hematologi dianalisis secara statistika menggunakan metode one way
ANOVA dengan taraf kepercayaan 95% dan post-hoc.
c. Hasil
Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai hematologi pada tikus wistar jantan
adalah normal dan tidak mengalami perubahan signifikan (p>0,05). Hasil
penelitian nilai hemoglobin dan hematokrit pada tikus Wistar betina
menunjukan normal dan tidak adanya perubahan signifikan (p>0,05). Nilai
eritrosit, MCV, MCH dan MCHC pada tikus Wistar betina menunjukan
perubahan signifikan ((p>0,05), namun kadar masih berada dalam rentang
normal tikus.
d. Kesimpulan
Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian kombinasi ekstrak
meniran dan pegagan pada seluruh dosis tidak toksik terhadap hematologi
tikus.
2. Jurnal Sains Farmasi & Klinis (Uji Toksisitas Subkronis Fraksi Etil Asetat Kulit
Buah Asam Kandis (Garcinia cowa Roxb.) terhadap Fungsi Hati dan Ginjal
Mencit Putih Betina (Wahyuni dkk., 2017)
a. Latar Belakang
Sebagai bahan obat herbal baru dan akan digunakan oleh masyrakat,
perlu dilakukan kajian keamanan terhadap G. cowa. Meskipun obat herbal
sudah dimanfaatkan sejak lama namun penggunaannya belum sepenuhnya
aman, sehingga sangatlah penting mengetahui batas keamanan atau
ketoksikannya. Untuk mengevaluasi suatu zat kimia perlu dikenali bahayanya
dengan mengumpulkan dan menyusun data toksisitas. Keamanan obat
menjadi salah satu faktor terpenting yang perlu diperhatikan dalam
pengembangan dan penggunaan obat herbal. Keamanan obat juga menjadi
salah satu syarat dalam pelaksanaan uji praklinik obat herbal.
Penelitian tentang keamanan fraksi etil asetat kulit buah asam kandis
pada tingkat toksisitas sub akut telah dilakukan. Penelitian sebelumnya
mengatakan bahwa fraksi etil asetat kulit buah asam kandis aman untuk
digunakan karena tidak mempengaruhi kadar SGPT hati dari mencit putih
secara langsung setelah pemberian selama 21 hari, namun dipengaruhi secara
bermakna terhadap besaran dosis yang diberikan. Kadar kreatinin mencit
putih dipengaruhi secara bermakna oleh lama pemberian dan dosis fraksi etil
asetat kulit buah asam kandis. Untuk menguji keamanan fraksi lebih lanjut di
perlukan pengujian lanjutan akan keamanan fraksi etil asetat kulit buah asam
kandis ini. Oleh karena itu, dilakukan penelitian lanjutan yang merupakan uji
toksisitas sub kronik.
b. Metode
Sebanyak 18 ekor mencit putih betina berusia 2-3 bulan dengan berat badan
20-30 gram digunakan sebagai hewan uji. Hewan dibagi menjadi 3 kelompok
yaitu 1 kelompok kontrol dan 2 kelompoj perlakuan yang diberi fraksi etil
asetat kulit buah asam kandis dengan dosis 500 dan 1000mg/kgBB sekali
sehari secara oral selama 60 hari. Parameter yang diamati yaitu aktivitas
SGPT dan rasio berat hati untuk fungsi hati dan aktivitas kreatinin serum dan
rasio berat ginjal untuk aktivitas ginjal. Data aktivitas SGPT, kreatinin serum
dan rasio berat organ hati dan ginjal dianalisis dengan ANOVA dua arah.
c. Hasil
Menurut hasil pengolahaan statistik hasil yang didapat dari
perhitungan kadar SGPT bahwa aktivitas SGPT dipengaruhi secara bermakna
oleh dosis juga dipengaruhi secara bermakna oleh lama waktu pemberian.
Namun interaksi antar dosis dan lama pemberian tidak mempengaruhi kadar
SGPT secara bermakna. Setelah dilakukan uji lanjut dengan menggunakan
Duncan’s Multiple Range Test (DMRT). Terlihat bahwa terdapat perbedaan
nyata antara letak subset dari kontrol dan dosis 500 mg/kgBB juga 1000
mg/kgBB. Sedangkan untuk dosis 500 mg/kgBB dan 1000 mg/kgBB tidak
terdapat perbedaan bermakna aktivitas rata rata kadar SGPT karena masih
terletak pada subset yang sama. Artinya tidak ada pengaruh atau efek yang
bermakna yang terjadi akibat pemberian dosis yang berbeda.
Terjadinya perbedaaan aktivitas rata rata kadar SGPT untuk kelompok
kontrol dan kelompok yang diberi sediaan dikarenakan pada dosis kontrol
tidak diberikan sediaan uji. Sediaan uji meningkatkan proses metabolisme hati
hewan uji sehingga terjadinya kerusakan hati dan sel sel hati mengalami lisis.
Enzim GPT yang dimana dalam keadaan normal berada di dalam sel saat
terjadinya lisis sel hati akan keluar dan masuk ke dalam sirkulasi darah,
sehingga kadar SGPT menjadi tinggi dalam darah. Dengan hasil uji lanjut ini
menandakan bahwa dengan bertambahnya dosis yang diberikan memberikan
peningkatan SGPT kepada hewan uji.
Berdasarkan pengujian statistik dengan uji analisis variasi dua arah
dari data pengujian fungsi ginjal diketahui bahwa aktivitas SGPT, Kreatinin
serum dipengaruhi secara langsung oleh dosis (p<0,05).
d. Kesimpulan
Dari hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa dosis pemberian fraksi
etil asetat kulit buah asam kandis memberikan pengaruh yang bermakna
terhadap aktivitas SGPT dan kadar kreatinin serum mencit putih betina. Lama
pemberian tidak memberikan pengaruh yang bermakna terhadap peningkatan
kadar kreatinin serum mencit putih betina dan rasio berat hati dan ginjal
mencit putih betina.
3. Jurnal Sains Farmasi & Klinis (Uji Toksisitas Subkronis Ekstrak Etanol Tali
Putri (Cassytha filiformis L.) terhadap Fungsi Ginjal Tikus (Yuliandra dkk.,
2015).
a. Latar Belakang
Meskipun herbal medicine merupakan obat yang berasal dari alam,
anggapan bahwa ia aman digunakan dan terhindar dari efek yang merugikan
adalah sepenuhnya salah. Pemanfaatan bahan alam tersebut harus
mempertimbangkan banyak hal, beberapa di antaranya adalah: ketepatan
dosis, ketepatan waktu dan cara penggunaan, dan yang tidak kalah penting
adalah ketepatan telaah informasi. Meskipun bahan alam seperti jamu adalah
relatif lebih aman, penggunaan dalam jangka waktu yang lama tetap
mempunyai risiko untuk memberikan efek yang tidak diinginkan. Penggunaan
bahan alam yang tidak tepat sangat berpotensi menyebabkan berbagai gejala
yang tidak diinginkan. Tidak hanya obat, bahan alam juga mempunyai resiko
yang cukup besar dalam menyebabkan kerusakan organ.
Pengujian toksisitas pada tumbuhan tali putri yang sudah dilakukan
berhasil mengungkap bahwa ekstrak tersebut tidak menimbulkan efek toksik
pada organ hati, limfa, testis, dan ginja. Meskipun demikian belum ditemukan
informasi tentang jenis toksisitas lainnya dari tumbuhan ini, oleh karena itu
dilakukan penelitian lanjutan khususnya toksisitas subkronis terhadap fungsi
ginjal.
b. Metode
Sebanyak 16 ekor tikus jantan berusia 2-3 bulan dengan berat badan ±250
gram digunakan sebagai hewan uji. Hewan dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu
1 kelompok kontrol dan 3 kelompok perlakuan yang diberi ekstrak etanol tali
putri dengan dosis 1,25; 2,5; dan 5 mg/kg sekali sehari secara intraperitoneal
selama 14 hari. Data bersihan kreatinin, persentase fungsi ginjal, dan rasio
organ ginjal dianalisis dengan ANOVA dua arah.
c. Hasil
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bersihan kreatinin dan persentase fungsi
ginjal rata-rata tikus mengalami penurunan secara bermakna selama perlakuan
(p<0,05). Rasio berat organ ginjal kelompok ekstrak, terutama pada dosis
besar mengalami peningkatan dengan sangat bermakna dibandingkan dengan
kelompok kontrol (p<0,01). Ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol tali putri
dengan dosis 1,25-5 mg/kg dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal,
tetapi masih relatif aman bila digunakan selama 14 hari.
d. Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh Ekstrak etanol tali putri (Cassytha filiformis
L.) pada dosis yang digunakan dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal
tikus, tetapi masih relatif aman terhadap fungsi ginjal tikus bila digunakan
pada pemberian selama 14 hari.
4. Jurnal Kefarmasian Indonesia (Uji Toksisitas Subkronik Kombinasi Ekstrak
Daun Uncaria gambir dan Caesalpinia sappan (Ningsih dkk., 2017).
a. Latar Belakang
Penelitian toksisitas terhadap ekstrak secang dan gambir secara
tunggal telah dilakukan sebelumnya. Secang dalam bentuk sediaan infus yang
diberikan baik dosis tunggal dan jangka panjang 30 hari tidak menyebabkan
mortalitas dan gangguan efek toksik hewan coba. Nalla MK melaporkan
bahwa pemberian ekstrak kloroform secang dosis tunggal hingga dosis 2000
mg/kg BB tidak menyebabkan kematian dan reaksi toksik yang nyata. Ekstrak
etanol secang termasuk dalam kategori aman pada uji toksisitas akut. Ekstrak
etanol secang juga terbukti mampu melindungi hati akibat senyawa radikal
melalui aktivitas antioksidan.
Uji kemanan ekstrak gambir juga secara in vitro pada sel Vero10 sel
intestinal IEC-6 dan uji mutagenik menunjukkan bahwa ekstrak ini
aman.11,12 Sementara itu, uji pada hewan coba hingga dosis 4 g/kg BB tidak
menyebabkan lesi organ hati yang bermakna.13 Pengujian keamanan dari
kombinasi kedua ekstrak tersebut belum pernah dilakukan.
Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan melakukan
pembuktian keamanan jangka panjang (subkronis) FH pada hewan coba
secara in vivo. Diharapkan hasil penelitian dapat mengungkap tingkat
keamaan dari FH dan dijadikan dasar pada pengujian keamanan berikutnya.
b. Metode
Penelitian ini bertujuan untuk menguji keamanan subkronis FH pada hewan
tikus galur Sprague Dawley jantan dan betina. Tikus dikelompokkan secara
acak menjadi 4 kelompok, yaitu DOSIS-1 (75 mg/kg BB), DOSIS-2 (300
mg/kg BB), DOSIS-3 (1200 mg/kg BB) dan kontrol pembawa. FH diberikan
secara peroral selama 7 minggu.
c. Hasil
Hasil menunjukkan bahwa pemberian FH pada ketiga dosis uji tidak
memengaruhi biokimia darah dan hematologi darah secara bermakna
dibandingkan kontrol (p>0,05), kecuali pada hewan betina DOSIS-2
menunjukkan kadar NEUT lebih rendah dan berbeda bermakna dibanding
kontrol (p0,05), khususnya pada kelompok DOSIS-1. Selanjutnya, DOSIS-1
tidak memengaruhi konsumsi pakan dan berat badan hewan coba. Dapat
disimpulkan bahwa pemberian FH dosis 75 mg/kg BB selama 7 minggu tidak
menyebabkan gangguan biokimia darah, hematologi darah dan gambaran
histopatologi ginjal, hati, jantung, usus halus, dan lambung.
d. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian, pemberian FH pada dosis 75 mg/kg bb selama 7
minggu pada tikus jantan dan betina galur Sprague Dawley terbukti aman,
tidak memengaruhi kadar kimia darah (urea, kreatinin, bilirubin total, ASAT,
ALAT dan gama-GT) dan hematologi darah (WBC, RBC, HGB, HCT,
MCHC, PLT, RDW-CV, P-LCR, PCT, NEUT, LYMPH), tidak menyebabkan
kerusakan/lesi organ jantung, lambung, usus, hati dan ginjal, serta tidak
menyebabkan penurunan berat badan hewan dan komsumsi pakan yang
bermakna dibanding kontrol.

Anda mungkin juga menyukai