Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Obat merupakan salah satu unsur penting dalam pelayanan kesehatan.

Diawali dari pencegahan, diagnosa, pengobatan dan pemulihan, obat menjadi salah

satu komponen pokok yang harus selalu tersedia dan tidak tergantikan pada

pelayanan kesehatan. Namun di sisi lain, obat dapat merugikan kesehatan bila tidak

memenuhi persyaratan atau disalahgunakan.

Dalam peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, produk obat yang

beredar di Indonesia terdiri dari produk obat paten atau produk dengan nama dagang

(bermerek) dan generik berlogo. Obat generik merupakan salah satu alternatif

pilihan bagi masyarakat karena harganya lebih murah dibandingkan harga obat

dengan nama dagang. Hal ini disebabkan karena adanya penekanan pada biaya

produksi dan promosi. Persaingan harga diikuti pengendalian mutu yang ketat akan

mengarah pada tersedianya obat generik bermutu tinggi dengan harga yang

terjangkau (Kemenkes, 2013).

Sebelum dipasarkan pun obat generik akan melalui berbagai uji. Uji

Bioavaibilitas dan Bioekivalensi (Uji BABE) ini memang dilakukan untuk

membuktikan bahwa mutu suatu obat generik sama dengan obat bermerek dan obat

paten.

Dalam studi biofarmasetika menunjukkan bahwa adanya perbedaan formulasi

dan proses produksi obat dapat mempengaruhi ketersediaan obat dalam tubuh
sehingga juga berpengaruh terhadap efektifitas obat tersebut (Shargel, 2005). Hal

ini disebabkan karena meskipun obat generik dibuat mirip dengan obat inovatornya,

eksipien yang digunakan mungkin berbeda.

Istilah ketersediaan hayati zat aktif suatu obat timbul sejak adanya

ketidaksetaraan terapetik di antara sediaan bermerek dagang yang mengandung zat

aktif yang sama dan dalam bentuk sediaan yang sama, serta diberikan dengan dosis

yang sama. Untuk menjamin kesamaan efektivitas obat-obat tersebut, maka perlu

dilakukan pengujian terhadap ketersediaan hayati obat dalam tubuh atau disebut uji

bioavailabilitas dan bioekuivalensi (BA/BE) obat (Shargel, 2005).

Uji ekivalensi adalah bioavabilitas komparatif yang dirancang untuk

menunjukan bioekivalensi antar produk uji dengan produk obat pembanding

(BPOM,2004). Uji bioekivalensi in vivo dilakukan pada subyek manusia. Uji

Bioekivalensi merupakan bukti tidak langsung atas keamanaan dan efikasi

(keyakinan dan kepercayaan) dari produk obat copy, karena itu perlu dilakukan

pengujian bioekivalensi dengan prosedur yang terstandarisasi. Dua produk obat

disebut ekivalen apabila keduanya mempunyai bioekivalensi farmaseutik dan

alternatif farmaseutik dan pada pemberian dengan dosis yang sama akan

menghasilkan bioavailabilitas yang sebanding sehingga efek dalam efikasi maupun

keamanan akan sama. Protokol Uji harus mendapat lulus kaji etik atau

eticalclearance) dan setiap subjek harus diberi informed consent sebelum studi

dilakukan. Dengan demikian hasil uji bioekivalensi yang diperoleh dapat

dipercaya dan akurat, serta hak, integritas dan kerahasiaan dari subyek uji klinik

juga terlindungi (World Health Organization,2006 dan BPOM,2004).


Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendorong keberhasilan penggunaan

obat generik dalam pelayanan kesehatan dan memiliki nilai keamanaan dan efikasi

yang bermutu yang memenuhi persyaratan uji bioekivalensi dan bioavaibilitas.

1.1 Tujuan Pengujian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan dua obat generik

terhadap obat paten.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Monografi

Didanosin

Rumus molekul : C10H12N4O3

Pemerian : Serbuk hablur , putih sampai hampir putih.

Kelarutan : Sangat mudah larut dalam dalam dimetil sulfoksida, praktis tidak

larut dalam aseton dan dalam metanol.

Bobot Molekul : 236,23

Titik lebur : 160-163°C

pKa : 9,13

Stabilitas : Didanosine stabil pada pH netral atau sedikit basa, tetapi tidak

stabil pada pH asam. Pada pH kurang dari 3, didanosin dihidrolisis

sepenuhnya menjadi hipoksantin dan 2 ', 3'-dideoksiribosa dalam

waktu kurang dari 2 menit pada 27° C.

(Direktorat Jenderal, 2014:307 ; McEvoy,2003:649)


2.2 Farmakologi

Mekanisme : Didanosine (ddI) dimetabolisme secara intraseluler oleh

serangkaian enzim seluler menjadi bagian aktifnya,

dideoxyadenosine triphosphate (ddATP), yang menghambat enzim

reverse transcriptase HIV secara kompetitif dengan bersaing

dengan dATP alami. Ini juga bertindak sebagai terminator rantai

dengan penggabungannya ke dalam DNA virus karena kurangnya

gugus 3'-OH dalam analog nukleosida yang tergabung mencegah

pembentukan 5 'hingga 3' hubungan fosfodiester esensial untuk

perpanjangan rantai DNA, dan oleh karena itu, pertumbuhan DNA

virus dihentikan.

Mekanisme lengkap aktivitas antivirus ddI belum sepenuhnya

dijelaskan. Setelah konversi menjadi metabolit aktif secara

farmakologis, ddI tampaknya menghambat replikasi retrovirus,

termasuk virus human immunodeficiency, dengan mengganggu

RNA viral polymerase (reverse transcriptase) viral. Obat itu, ada

memberikan efek virustatik terhadap retrovirus dengan bertindak

sebagai inhibitor transkriptase terbalik. Seperti inhibitor

nukleosida reverse transcriptase lainnya (misalnya abacavir,

lamivudine, stavudine, zalcitabine, zidovudine) dan agen antivirus

nukleosida lainnya (misalnya, asiklovir, gansiklovir, ribavirin),

aktivitas antivirus dari ddI tampaknya bergantung pada konversi

intraselular dari obat ke obat 5'-trifosfat metabolit; dengan


demikian, dideoxyadenosine-5'-trifosfat dan ddI tidak berubah

tampaknya merupakan bentuk obat yang aktif secara farmakologis.

Perbedaan substansial ada pada tingkat di mana sel manusia

memfosforilasi berbagai agen antivirus analog nukleosida dan

dalam jalur enzimatik yang terlibat.

Dosis : Dewasa berat badan kurang dari 60 kg, 125 mg tiap 12 jam, berat

badan lebih dari 60 kg, 200 mg tiap 12 jam.

Indikasi : Infeksi HIV progresif atau lanjut; dalam kombinasi dengan

antiretroviral yang lain.

Peringatan : Riwayat pankreatitis (perhatian khusus); neuropati perifer,

hiperurisemia, gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal,

kehamilan; perlu pemeriksaan retina terutama pada anak di bawah

6 bulan, atau bila terjadi gangguan fungsi penglihatan.

Kontraindikasi : Gangguan fungsi hati karena pemberian didanosin sebelumnya;

ibu menyusui.

Efek Samping : Hiperurisemia asimtomatik (tangguhkan pemberian obat), diare

(adakalanya berat), mual, muntah, mulut kering, reaksi

hipersensitivitas, gangguan retina dan nervus optikus (terutama

pada anak); diabetes melitus.

Interaksi obat : Interaksi yang signifikan juga telah dicatat dengan allopurinol,

dan pemberian obat ini bersama-sama harus dihindari. Penurunan

tingkat plasma indinavir dan delavirdine telah terbukti terjadi

ketika diberikan bersamaan dengan ddI; obat-obatan ini harus


diberikan pada waktu yang berbeda. Ketoconazole, itraconazole,

ciprofloxacin harus diberikan pada waktu yang berbeda dari ddI

karena interaksi dengan zat penyangga.

2.3 Farmakokinetika

Bioavaibilitas : Bioavaibilitasnya adalah 42%. Tingkat penyerapan bervariasi dan

tergantung pada beberapa faktor termasuk bentuk sediaan yang

diberikan, pH lambung, dan keberadaan makanan dalam saluran

GI. Nilai plasma protein binding: < 5%

Metabolisme : Metabolisme mungkin terjadi melalui jalur yang sama yang

bertanggung jawab untuk menghilangkan purin endogen. Secara

intraseluler, ddI difosforilasi dan dikonversi oleh enzim seluler

menjadi metabolit aktif, dideoksi adenosin 5'-trifosfat.

Eksresi : Dieliminasi dalam urin dengan filtrasi glomerulus dan sekresi

tubular aktif. Dengan nilai klirens ≥90 mL/minute.

Waktu paruh : Dewasa 0,97-1,6 jam. Rata-rata waktu paruh plasma 1,2 jam pada

neonatus dan anak-anak usia 2 minggu hingga 4 bulan dan 0,8 jam.

Waktu paruh dalam plasma 30 menit dan lebih dari 12 jam di

lingkungan intraseluler.

Cmax : 1µg/mL (AHFS,2011).


BAB III

DESAIN PENGUJIAN

Penelitian ini dilakukan dengan desain crossover dua arah, acak, dengan

kondisi eksperimental. Penelitian ini dilakukan terhadap dua formulasi yaitu

generik dan inovator, dimana masing-masing sediaan diberikan secara single dose

karena pada masing-masing sediaan memiliki kekuatan sediaan 200 mg. Satu

menjadi referensi (Videx®, Bristol-Myers-Squibb, Evansville, IN, USA) dan satu

formulasi generik. Formulasi generik digunakan dalam penelitian No. 1 yang

diproduksi oleh Laboratório Farmacêutico do Estado de Pernambuco S.A

(LAFEPE, Recife, PE, Brazil) dan Indústria Química do Estado de Goiás

(IQUEGO, Goiânia, GO, Brazil) sedangkan dalam penelitian No. 2 produsen adalah

Instituto Vital Brasil (IVB, Niteroi, RJ, Brasil) dan Fundação Ezequiel Dias

(FUNED, Belo Horizonte, MG, Brazil).


BAB IV

SUBJEK UJI ( Kriteria Inklusi, Kriteria Eksklusi, dan Prakondisi)

4.1 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :

1. Pasien pria dengan jumlah 24 orang

2. Sukarelawan dengan berat badan >60 kg

3. Sukarelawan yang sudah terinfeksi HIV

4.2 Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi penelitian ini adalah pasien yang tidak terinfeksi HIV.

4.3 Prakondisi

Prakondisi dalam penggunaan Didanosine ini yaitu untuk pasien yang telah

terinfeksi HIV dan resisten terhadap obat Zidovudine.


BAB V

CARA PENGUJIAN

Konsentrasi didanosine sampel serum dan parameter farmakokinetik

berasal dari dua studi bioekivalensi yang terdapat pada 24 volunter sehat dan sudah

terinfeksi HIV. Data subjek uji yang mengikuti pengujian harus memenuhi

persyaratan berdasarkan riwayat pengobatan, pemeriksaan fisik,

elektrokardiogram, dan hasil tes standar laboratorium (jumlah sel darah, profil

biokimia, dan urin analisis).

Pasien tidak boleh menerima obat lain selain obat yang diujikan. Dosis yang

diberikan sebanyak 200 mg, selama tiga periode sebanyak enam kali secara random

atau acak.Volunter menerima obat secara oral pada interval perminggu, dua tablet

dosis 100 mg dari tiga formula didanosine yang berbeda, dimana satu dari tiga

formula tersebut merupakan obat pembanding (Videx®). Tablet didanosine

diberikan dengan 200 ml air pada 7 pagi setelah puasa selama semalam, dan diambil

sampel darah sebanyak 8 ml.


BAB VI

SAMPEL UJI DAN WAKTU SAMPLING

Digunakan sampel uji berupa serum darah sebanyak 8 mL yang diambil

sebelum dan sesudah pemberian dosis pada 0.25, 0.5, 0.75, 1, 1.5, 2, 2.5, 3, 4, 5, 6,

dan 8 jam. Serum dipisahkan dalam 30 menit dan disimpan pada suhu -20oC
BAB VII

SENYAWA YANG AKAN DITENTUKAN DAN METODE ANALISIS

7.1 Metode Analisis Dan Senyawa Yang Akan Ditentukan

Senyawa yang akan dianalisis adalah didanosin dan metabolitnya dideoksi

adenosin 5’-trifosfat. Konsentrasi plasma yang mengandung didanosin diukur

menggunakan kromatografi cair dan elektrospray ion positif dengan detektor

spektrometer massa tandem.


BAB VIII

PENGOLAHAN DATA DAN PERHITUNGAN

Data konsentrasi didanosine dalam plasma dianalisis dengan menggunakan

model program non-linier efek campuran (NONMEM; presisi ganda, Versi V,

Level 1.1). pemasangan model dilakukan dengan NONMEM menggunakan metode

PHOSTOC dan konsentrasi Didanosine serum (N = 624 sampel) diukur setelah

pemberian formulasi referensi kepada 48 sukarelawan yang terdaftar. Struktur

kesalahan intraindividual proporsional dan model farmakokinetik dua

kompartemen (ADVAN3 TRANS3) menggunakan konstanta laju absorpsi (Ka),

clearance (CL), volume kompartemen pusat (V2), clearance antar kompartemen

(Q), volume kompartemen perifer (V3), dan durasi waktu dosis (D, digunakan untuk

memodelkan waktu disolusi tablet: laju = -2).

1. Vd = Dosis/Cp

2. Cl = Vd x Kel

3. T1/2 = Ln/K

Bioavailabilitas menunjukkan suatu pengukuran laju dan jumlah obat aktif

terapeutik yang dapat mencapai sirkulasi sistemik. Penilaiannya pada suatu obat

berdasarkan data hasil analisis plasma yang digunakan untuk menentukan

parameter AUC, tmax, dan Cmax. AUC mencerminkan jumlah obat aktif yang

mencapai sirkulasi sitemik, [AUC]tx, merupakan area di bawah kurva hubungan

antara kadar obat dalam darah (C) dan waktu dari mulai percobaan (t0) hingga akhir
pengambilan sampel pada dam tertentu (tx). AUC dapat dihitung dengan

menggunakan rumus penentuan area bidang trapesium.

(𝐶𝑥 − 1) + 𝐶𝑥(𝑡𝑥 − (𝑡𝑥 − 1))


[𝐴𝑈𝐶]𝑡𝑥 − 1 =
2

Cx dan Cx-1 adalah kadar obat dalam daerah pada waktu x dan x-1.

AUC bergantung pada jumlah total obat yang tersedia (FD0) dibagi tetapan

laju eliminasi (K) dan volume distribusi (Vd). F adalah fraksi dosis terabsorbsi.

Setelah pemberian secara IV F=1, karena seluruh dosis terdapat dalam sirkulasi

sistemik dengan segera. Pada pemberian obat secara oral, F dapat berbeda- beda

mulai dari harga F=0 (tidak ada yang diabsorbsi) sampai F=1 (absorbsi obat

sempurna).

𝐹 𝐷0 𝐹 𝐷0
[𝐴𝑈𝐶]0 = =
𝐶𝑙 𝑘 𝑉𝑑

Bioavailabilitas (BA) relatif adalah ketersediaan suatu obat dalam sirkulasi

sitemik dibandingkan dengan standar obat yang sudah diketahui. Bioavailabilitas

relatif dari dua produk obat yang diberikan pada dosis dan rute pemberian yang

sama dapat diperoleh dengan persamaan berikut ini.

[𝐴𝑈𝐶]𝐴
𝐵𝐴 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 =
[𝐴𝑈𝐶]𝐵

Produk B merupakan standar pembanding yang telah diketahui

bioavailabilitasnya. Nilai BA dari rumus di atas dapat dikalikan 100 untuk

menghasilkan persen bioavailabilitas relatif. Untuk pemberian dosis yang berbeda,

dapat ditentukan BA relatifnya dengan memberi koreksi untuk dosisnya seperti

rumus di bawah ini.


[𝐴𝑈𝐶]𝐴/𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝐴
𝐵𝐴 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 =
[𝐴𝑈𝐶]𝐵/𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠𝐵
BAB IX

ANALISIS STATISTIK DAN INTERPRETASI DATA

Parameter bioavaibilitas yang dibandingkan untuk penilaian bioekivalensi

adalah AUC0-t, AUC0-∞, tmax, dan Cmax. Data akan diolah menggunakan statistik.

1. Data AUC dan Cmax dibuat dalam bentuk logaritmik (ln) sebelum

dianalisis secara statistik, baru dihitung dengan ANOVA dengan batas

kebermaknaan 5%.

2. Hasil ketiga parameter tersebut dihitung : 90% confidence intervals,

median, minimum dan maksimum.

3. Kriteria bioekuivalen :

a. Rasio nilai rata-rata geometrik (AUC)uji/(AUC)pembanding = 1,00

dengan 90% confidence intervals 80-125%.

b. Untuk obat dengan IT sempit nilai Cl dapat menjadi 90-111%.

c. Rasio nilai rata-rata geometrik (Cmaks)uji/(Cmaks)pembanding = 1,00

dengan 90% Cl = 80-125%.

d. Batas untuk nilai Cl untuk Cmaks dapat lebih lebar misalnya 73-133%

atau 70-143% dengan alasan yang tepat.


DAFTAR PUSTAKA

AHFS,2011. AHFS Drug Information, Bethesda: American Society of Health


System Pharmacists.

Badan POM RI. 2004. Pedoman Uji Bioekivalensi. Jakarta Halaman 1-5.

Direktorat Jenderal. 2014. Farmakope Indonesia edisi V. Jakarta : Departemen


Kesehatan.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Keputusan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 312/Menkes/SK/IX/2013 Tentang Daftar Obat

Esensial Nasional.

McEvoy, G.K., 2003. American Hospital Formulary Service - Drug Information


2003. Bethesda, MD: American Society of Health-System Pharmacists,
Inc.

Shargel, L.,d an Yu, A.B.C. (2005). Biofarmasetika dan farmakokinetika Terapan.

Cetakan Kedua. Penerjemah: Fasich dan S. Sjamsiah. Surabaya: Airlangga

University Press.

Velasque, L.S., R.C.E. Estrela., G. Suarez-Kurtz., dan C.J. Struchiner. 2007. A new

model for the population pharmacokinetics of didanosine in healthy

subjects. Brazilian Journal of Medical and Biological Research. 40: 97-104.

Anda mungkin juga menyukai