Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI I

“Uji Aktivitas Kolinergik”

Tingkat : 2B

Disusun oleh

Kelompok 3

Millata Auliyaa E.C (P17335118030) Hanisa Aprilia M (P17335118052)


Yoga Adi Restu M (P17335118040) Lu’lu’il Jannah Mutiasari (P17335118070)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN

PROGRAM STUDI D-III FARMASI

BANDUNG

2019
A. NAMA PERCOBAAN
Uji aktivitas kolinergik
B. TUJUAN PRAKTIKUM

Mengetahui gambaran aktivitas kolinergik sediaan obat

C. DASAR TEORI
Sistem saraf pusat merupakan sistem saraf eferen (motoric) yang mencakup saraf
pada organ-organ seperti otot-otot polos, otot jantung, dan berbagai kelenjar. Sistm ini
melakukan fungsi kontrol, missal kontrol tekanan darah, motilitas gastrointestinal, sekresi
gastrointestinal, pengosongan kandung kemih, proses berkeringat, suhu tubuh, dan
beberapa fungsi lain. Karakteristik utama SSO adalah kemampuan memengaruhi yang
sangat cepat (misal: dalam beberapa detik saja denyut jantung dapat meningkat hampir
dua kali semula, demikian juga dengan tekanan darah dalam belasan detik, berkeringat
yang dapat terlihat setelah dipicu dalam beberapa detik, juga pengosongan kandung
kemih). Sifat ini menjadikan SSO tepat untuk melakukan pengendalian terhadap
homeostasis mengingat gangguan terhadap homeostasis dapat memengaruhi seluru sistem
tubuh manusia. Dengan demikian, SSO merupakan komponen dari refleks viseral
(Guyton, 2006).
Berdasarkan macam-macam saraf otonom tersebut, maka obat berkhasiat pada
sistem saraf otonom digolongkan menjadi :
1. Obat yang berkhasiat terhadap saraf simpatik, yang diantaranya sebagai berikut :
a. Simpatomimetik atau adrenergik, yaitu obat yang meniru efek perangsangan dari
saraf simpatik (oleh noradrenalin). Contohnya, efedrin, isoprenalin, dan lain-lain.
b. Simpatolitik atau adrenolitik, yaitu obat yang meniru efek bila saraf parasimpatik
ditekan atau melawan efek adrenergik, contohnya alkaloida sekale, propanolol,
dan lain-lain.
2. Obat yang berkhasiat terhadap saraf parasimpatik, yang diantaranya sebagai berikut :
a. Parasimpatomimetik atau kolinergik, yaitu obat yang meniru perangsangan dari
saraf parasimpatik oleh asetilkolin, contohnya pilokarpin dan phisostigmin
b. Parasimpatolitik atau antikolinergik, yaitu obat yang meniru bila saraf
parasimpatik ditekan atau melawan efek kolinergik, contohnya alkaloida
belladonna (Pearce, 2002).

Kolenergika atau parasimpatomimetika adalah sekelompok zat yang dapat


menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP), karena
melepaskan neurohormon asetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya. Tugas utama
susunan parasimpatis adalah mengumpulkan energi dari makanan dan menghambat
penggunaannya, singkatnya berfungsi asimilasi. Bila neuron SP dirangsang, maka akan
timbul sejumlah efek yang menyerupai keadaan istirahat dan tidur. Efek kolinergis faal
yang terpenting seperti: stimulasi pencernaan dengan jalan memperkuat peristaltik dan
sekresi kelenjar ludah dan getah lambung (HCl), juga sekresi air mata, memperkuat
sirkulasi,antara lain dengan mengurangi kegiatan jantung, vasodilatasi, dan penurunan
tekanan darah,memperlambat pernafasan, antara lain dengan menciutkan bronchi,
sedangkan sekresi dahak diperbesar, kontraksi otot mata dengan efek penyempitan pupil
(miosis) dan menurunnya tekanan intraokuler akibat lancarnya pengeluaran air mata,
kontraksi kantung kemih dan ureter dengan efek memperlancar pengeluaran urin, dilatasi
pembuluh dan kotraksi otot kerangka, menekan SSP setelah pada permulaan
menstimulasinya, dan lain-lain. (Tan dan Rahardja, 2002).

Reseptor kolinergika terdapat dalam semua ganglia, sinaps, dan neuron


postganglioner dari SP, juga pelat-pelat ujung motoris dan di bagian Susunan Saraf Pusat
yang disebut sistem ekstrapiramidal. Berdasarkan efeknya terhadap perangsangan,
reseptor ini dapat dibagi menjadi 2 bagian, yakni:

1. Reseptor Muskarinik
Reseptor ini, selain ikatannya dengan asetilkolin, mengikat pula muskarin, yaitu
suatu alkaloid yang dikandung oleh jamur beracun tertentu. Sebaliknya, reseptor
muskarinik ini menunjukkan afinitas lemah terhadap nikotin (Mycek, 2001)
2. Reseptor Nikotinik
Reseptor ini selain mengikat asetilkolin, dapat pula mengenal nikotin, tetapi afinitas
lemah terhadap muskarin. Tahap awal nikotin memang memacu reseptor nikotinik,
namun setelah itu akan menyekat reseptor itu sendiri. Reseptor nikotinik ini terdapat
di dalam sistem saraf pusat, medula adrenalis, ganglia otonom, dan sambungan
neuromuskular (Mycek, 2001).
Contoh-contoh obat yang bekerja pada SSO, yaitu :
1. Pilokarpin

Pilokarpin adalah turunan utama alkaloid dan termasuk ke dalam alkaloid


muskarinik. Alkaloid muskarinik memiliki ciri penanda yang berbeda-beda
tergantung dari struktur kimianya. Pilokarpin memiliki efek farmakologi ke beberapa
organ seperti ke organ pencernaan, Pilokarpin merangsang otot polos saluran usus,
sehingga meningkatkan motilitas. Pilokarpin juga meningkatan tonus, dan motilitas
saluran pencernaan (Goodman & Gilman, 2012).
2. Atropin

Atropin adalah ester organik yang dibentuk dengan komninasi dari asam aromatik,
asam tropikal dan basis organik kompleks. Atropin dikenal sebagai antagonis
muskarinik terhadap aseilkolin dan agonis muskarinik lainnya. Atropin hampir tidak
terasa efek di sistem saraf pusat (Goodman & Gilman, 2012).
D. ALAT DAN BAHAN
 Alat : Spuit, Sonde, Jarum suntik, Kotak pengamatan, dan kertas saring berwarna
merah muda.
 Bahan: Pilokarpin, atropine, dan NaCl 0,9%
E. PROSEDUR KERJA
1. Mencit dibagi menjadi 4 kelompok, tiap kelompok terdiri dari 4 ekor.
2. Semua mencit di oral terleboh dahulu dengan Phenobarbital, ditunggu 30 menit.
3. Setelah 30 menit, mencit diberi perlakuan sebagai berikut:
a. Kelompok 1 sebagai kontrol diberi NaCl fisiologis 0,1 ml dengan cara tanpa
dilihat bobot badannya.
b. Kelompok 2 diberi pilokarpin dengan rute pemberian yaitu ip.
c. Kelompok 3 diberi pilokarpin dengan rute pemberian yaitu ip, setelah muncul
efek diberi atropine dengan rute pemberian yaitu ip.
d. Kelompok 4 diberi atropin dengan rute pemberian yaitu ip, didiamkan 15 menit,
setelah itu diberi pilokarpin dengan rute pemberian ip.
4. Semua mencit disimpan dalam wadah yang telah diberi alas kertas saring yang telah
diwarnai.
5. Dilakukan pengamatan pengeluaran saliva pada kertas saring setiap 5 menit,
diameter bercak saliva pada kertas saring diukur.
6. Setiap kali pengamatan, kertas saring diganti dengan yang baru. Pengamatan
dilakukan selama 30 menit.
7. Dilakukan perhitungan persen inhibisi salivasi berdasarkan data diameter bercak
saliva untuk setiap kelompok dengan menggunakan persamaan berikut:
d awal − d akhir
%inhibisi = x 100%
d awal

F. HASIL PENGAMATAN
Perhitungan Dosis
Dosis Phenobarbital untuk Manusia = 120 mg/70Kg BB Manusia
Konsentrasi = 1,2 mg/mL
Dosis Phenobarbital untuk Mencit = 0,312 mg/20g BB Mencit
Mencit 1 (28 g) Mencit 4 (31 g) Mencit 5 (32 g) Mencit 6 (28 g)
31 32 28
28 𝑥0,312 𝑥0,312 𝑥0,312
𝑥0,312 = 0,364 ml 20 20 20
20
= 0,483 𝑚𝑙 = 0,4992 𝑚𝑙 = 0,364 𝑚𝑙

Pengamatan

 Mencit 1
Dengan pemberian NaCl Fisiologis (sebagai kontrol)

Waktu
5’ 10’ 15’ 20’ 25’ 30’
(menit)
Diameter
0 cm 0 cm 0 cm 0 cm 0 cm 0 cm
rata-rata
 Mencit 4
Dengan pemberian Pilokarpin (i.p)

Waktu
5’ 10’ 15’ 20’ 25’ 30’
(menit)
Diameter
8,425 cm 19,125 cm 7 cm 5,675 cm 5,7 cm 48,425 cm
rata-rata

 Mencit 5
Dengan pemberian Pilokarpin (i.p), setelah muncul efek diberi atropine (i.p)

Waktu
5’ 10’ 15’ 20’ 25’ 30’
(menit)
Diameter
7,37 cm 9,21 cm 0,45 cm 0 cm 0 cm 0 cm
rata-rata
 Mencit 6
Dengan pemberian atropine (i.p), 30 menit kemudian diberi pilokarpin (i.p)

Waktu
5’ 10’ 15’ 20’ 25’ 30’
(menit)
Diameter
0 cm 0 cm 0 cm 0 cm 0 cm 0 cm
rata-rata
Grafik Pengamatan

Mencit 1

Diameter Rata-rata Bercak Saliva Mencit 1


1
0.9
Diameter Rata-rata (cm)

0.8
0.7
0.6
0.5
0.4 Diameter…
0.3
0.2
0.1 0 0 0 0 0 0
0
0 10 20 30 40
Waktu (menit)

Mencit 4

Diameter Rata-rata Bercak Saliva Mencit 4


60
48.425
50
Diameter Rata-rata (cm)

40

30
Diameter…
19.125
20
8.425 7
10 5.675 5.7

0
0 10 20 30 40
Waktu (menit)
Mencit 5

Diameter Rata-rata Bercak Saliva Mencit 5


10 9.21
9
Diameter Rata-rata (cm)
8 7.37
7
6
5
4 Diameter…
3
2
0.45
1 0 0 0
0
0 10 20 30 40
Waktu (menit)

Mencit 6

Diameter Rata-rata Bercak Saliva Mencit 6


1
0.9
0.8
Diameter Rata-rata (cm)

0.7
0.6
0.5
Diameter…
0.4
0.3
0.2
0.1 0 0 0 0 0 0
0
0 5 10 15 20 25 30 35
Waktu (menit)

G. PEMBAHASAN
Dalam praktkum kali ini dilakukan uji aktiivitas kolinergik dan adrenergikk yang
bertujuan untuk melihat aktivitas kolinergik dan adrenergik. Digunakan NaCl 0,9%
sebagai kontrol negatif. Pada mencit pertama, mencit ditimbang terlbih dahulu sebelum
diinjeksikan obat ke dalam tubuh mencit.
Hasil yang didapatkan adalah diameter air liur mencit adalah 0 cm. Hal ini
menunjukkan kesesuaian dengan teori, yaitu mencit yang tidak diberikan kolinergik dan
memunculkan efek setelah mencit diberi kolinergik dengan salah satu efek yang terlihat
adalah sekresi air liur dari mencit.
Mencit 4 merupakan mencit yang diberikan sedian pilokarpin secara
intraperitonial, sementara untuk mencit 1 adalah control, mencit 5 adalah mencit yang
diberikan pilokarpin kemudian diberi atropine setelah 30 menit, dan mencit 6 adalah
mencit yang diberikan sediaan atropine kemudian pilokarpin setelah 15 menit.
Sebelum mencit 4 diamati uji aktivitas kolinergiknya, mencit diberikan
phenobarbital secara peroral agar mencit tertidur dan mempermudah ketika penamatan,
karena efek kolinergik yang dijadikan parameter dalam praktikum kali ini adalah
diameter bercak saliva yang dihasilkan mecit pada kertas saring berwarna merah muda
dibawahnya. Ketika mencit sudah diberikan phenobarbital secara oral, mencit didiamkan
selama 30 menit untuk menunggu kerja dari phenobarbital itu sendiri. Setelah 30 menit,
mencit diberikan sediaan pilokarpin secara intaperitonial, kemudian dimasukan dalam
kotak pengamatan. Setiap 5 menit sekali selama 30 menit, keras saring yang digunakan
diganti dengan yang baru.
Berdasarkan hasil pengamatan, bercak saliva yang dihasilkan mencit memiliki
ukuran paling besar di menit 5 dan 10 yaitu 8,425 cm di menit kelima dan 19,125 cm di
menit ke 10, setelah menit 15 ukuran bercak saliva yang dihasilkan mencit semakin
menurun sampai menit ke 30. Hasil pengamtan pada mencit 4 yang diberikan pilokarpin
secara intraperitonial ini sesuai dengan literatur, bahwa pilokarpin merupakan obat
golonga parasimpatomimetik yang memiliki efek samping dimana salah satunya yaitu
dapat meningkatkan produksi dari kelenjar ludah.
Pada mencit 5 dilakukan pengamatan yang diawali dengan pemberian obat
phenobarbital dengan dosis 0,4992 mL secara oral. Pemberian phenobarbital dilakukan
untuk membuat efek sedasi terhadap mencit yang akan membuat mencit tidur atau paling
tidak menurunkan aktivitasnya sehingga tidak menyulitkan praktikan dalam melakukan
tindakan selanjutnya. Selain itu pemberian phenobarbital dilakukan karena dalam
keadaan tidur biasanya terjadi saliva dimana saliva ini dimanfaatkan dalam pengujian
obat-obatan sistem saraf otonom.
Setelah itu mencit diberikan pilokarpin sebanyak 0,1 mL dengan rute
intraperitonial agar efek yang ditimbulkan cepat. Pilokarpin adalah obat kolinergik
yang merangsang saraf parasimpatik yang dimana efeknya akan menyebabkan percepatan
denyut jantung dan mengaktifkan kelenjar-kelenjar pada tubuh salah satunya kelenjar air
liur. Hal tersebut dapat memicu terjadinya hipersalivasi sehingga air liur yang
dikeluarkan mencit lebih banyak.
Mencit kemudian diletakkan pada bejana kaca yang telah diberi alas kertas saring
yang telah diwarnai dengan metilen blue. Muncul efek pada menit ke 2 setelah pemberian
pilokarpin. Hal ini menunjukkan bahwa efek obat lebih cepat dan lebih kuat. Setelah
menibulkan efek, mencit kemudian diberi dengan atropine secara intraperitonial. Atropin
merupakan obat antikolinergik yang akan diuji pengaruhnya pada sistemsaraf otonom.
Atropin, seperti agen antimuskarinik lainnya, secara kompetitifdapat menghambat
asetilkolin atau stimulan kolinergik lain pada neuro efektor parasimpatik postganglionik,
kelenjar sekresi dan sistem syaraf pusat, meningkatkan output jantung,
mengeringkan sekresi, juga mengantagonishistamin dan serotonin. Pada dosis rendah
atropin dapat menghambat salivasi. Terhitung pengamatan setiap 5 menit setelah
diberikan atropine. Dihitung kelenjar saliva yang keluar dari mencit dan berbekas pada
kertas saring yang menjadi alas. Didapat jumlah diameter rata-rata kelenjar saliva pada
mencit 5 yaitu 17,12 cm.
Pada mencit nomor 6 diberi fenobarbital terlebih dahulu yang tujuannya untuk
membuat mencit tertidur atau menurunkan aktivitasnya. Setelah diberi fenobarbital,
dilakukan percobaan dengan perlakuan kelompok 4 yaitu diberi atropin secara
intraperitoneal. Hal ini bertujuan untuk melawan efek yang akan timbul dari pemberian
pilokarpin. Didiamkan terlebih dahulu selama 15 menit. Setelah itu diberikan pilokarpin
secara intraperitoneal. Mencit diletakkan dalam wadah yang sudah diberi kertas saring
yang berwarna. Hal ini dilakukan agar mempermudah pengukuran diameter saliva yang
dihasilkan, dimana kertas saring akan berubah warna menjadi putih setelah terkena saliva
yang dihasilkan. Amati selama 30 menit.
Pemberian pilokarpin dilakukan setelah pemberian atropin bertujuan agar persen
inhibisi dari atropin (antikolinergik) terhadap efek yang ditimbulkan oleh pilokarin
(perangsangan pengeluaran air liur) dapat dihitung. Persen inhibisi dhitung berdasarkan
penurunan jumlah saliva, yakni perbedaan jumlah pengeluaran saliva dari mencit yang
diinjeksi atropin dengan mencit yang tidak diberi atropin.
Hasil yang didapat dalam praktikum ini pada mencit nomor 6 selama 30 menit
yaitu tidak adanya saliva yang keluar dari mulut mencit. Hal ini karena efek yang
ditimbulkan dari atropine yaitu dapat bekerja sebagai antikolinergik yang akan menekan
efek pengeluaran saliva dari mencit. Sehingga pada saat mencit diberikan pilokarpin
saliva pada mencit tidak keluar.

H. KESIMPULAN
Pada praktikum kali ini dapat disimpulkan bahwa:
1. Mencit 1 yang diberikan NaCl 9% tidak menghasilkan bercak saiva. Hal ini sesuai
dengan literature karena, NaCl 9% tidak memiliki efek samping yang dapat
meningkatkan produksi saliva.
2. Mencit 2 yang diberikan pilokarpin secara intraperitonial menghasilkan becak saliva
paling besar diameternya. Hal iini sesuai dengan literature karena pilokarpin
memiliki efek samping yaitu dapat meningkatkan produksi dari kelenjar saliva.
3. Atropine merupakan antidote dari pilokarpin.
I. DAFTAR PUSTAKA
Evelyn. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedic. Jakarta : Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama.
Goodman & Gilman. 2012. Dasar Farmakologi Terapi. Edisi 10. Jakarta: Kedokteran
EGC.
Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: Penerbit Buku
Pearce.
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan
dan Efek-Efek Sampingnya, Edisi Keenam. Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo.
J. LAMPIRAN

Pemberian phenobarbital dengan


rute oral

Pengamatan pengeluaran saliva pada


mencit

Hasil dari saliva yang dikeluarkan


mencit

Anda mungkin juga menyukai