DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 5 - GELOMBANG C
COVER ................................................................................................ 1
DAFTAR ISI ....................................................................................... 2
I. PEMBAGIAN JOBDESK .................................................................. 3
II. JUDUL PRAKTIKUM ........................................................................ 3
III. TUJUAN PRAKTIKUM .................................................................... 3
IV. TANGGAL PRAKTIKUM.................................................................. 3
V. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 4
VI. ALAT DAN BAHAN .......................................................................... 9
a. Alat ................................................................................................. 9
b. Bahan ............................................................................................ 12
VII. CARA KERJA ..................................................................................... 13
VIII. DATA DAN ANALISIS ...................................................................... 17
1. Identifikasi Kualitatif .................................................................... 17
2. Identifikasi Kuantitatif .................................................................. 18
IX. PEMBAHASAN .................................................................................. 22
X. KESIMPULAN .................................................................................... 27
XI. DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 28
XII. LAMPIRAN ......................................................................................... 29
2
I. PEMBAGIAN JOBDESK
No Nama Jobdesk
Waktu : 12.30
3
V. TINJAUAN PUSTAKA
Saat ini penggunaan obat bahan alam cenderung terus meningkat dari tahun ke
tahun. Kecenderungan kembali ke alam (back to nature) dijadikan sebagai alternative
dalam pemilihan pengobatan. Faktor yang mendorong masyarakat untuk mendaya gunakan
obat bahan alam antara lain mahalnya harga obat modern/sintesis dan banyaknya efek
samping (Dewoto, 2007).
Penggunaan obat dari bahan alam atau yang dikenal dengan “jamu” oleh
masyarakat Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak zaman dahulu, terutama dalam
upaya pencegahan penyakit, peningkatan daya tahan tubuh, mengembalikan kebugaran
tubuh setelah melahirkan atau bekerja keras, bahkan untuk kecantikan wanita (Paryono,
2014).
Jamu merupakan warisan budaya bangsa Indonesia berupa ramuan bahan
tumbuhan obat yang telah digunakan secara turun temurun lebih dari tiga generasi yang
terbukti aman dan mempunyai manfaat bagi kesehatan. Pengaruh sosial budaya dalam
masyarakat memberikan peran penting dalam mencapai derajat kesehatan. Kebiasaan
minum jamu sering dilakukan masyarakat Indonesia khususnya Jawa. Secara umum jamu
relatif lebih aman dibandingkan dengan obat bahan kimia bila cara pemilihan dan
penggunaannya secara baik dan benar. Obat bahan alam dan jamu dapat diperoleh secara
bebas, yang umumnya tidak disertai informasi ataupun peringatan yang cukup, berbeda
dengan obat konvensional yang diperoleh dengan resep dokter atau disertai berbagai
peringatan (Dewoto, 2007).
Faktor yang perlu diperhatikan dalam menggunakan jamu adalah keamanan.
Aspek keamanan merupakan persyaratan mutlak yang harus dipenuhi oleh suatu jamu,
karena pemerintah telah mempersyaratkan ketentuan tentang keamanan jamu, sesuai
Peraturan Menteri Kesehatan No. 007 Tahun 2012 tentang registrasi obat tradisional,
bahwa jamu yang beredar di masyarakat harus memenuhi berbagai persyaratan, antara lain
menggunakan bahan yang memenuhi syarat keamanan dan mutu, berkhasiat yang
dibuktikan secara empiris, turun menurun dan atau secara ilmiah, begitu pula dengan
proses produksinya harus memenuhi persyaratan cara pembuatan obat tradisional yang
baik (CPOTB) dan tidak boleh mengandung bahan-bahan kimia obat (BKO), narkotika
4
atau psikotropika dan bahan lain yang berdasarkan pertimbangan kesehatan atau
berdasarkan penelitian dapat membahayakan kesehatan.
Bahan kimia obat (BKO) yang ditambahkan oleh pembuat jamu untuk menambah
khasiat jamu dan memberikan efek jamu yang lebih instan dibandingkan jamu yang tidak
mengandung bahan kimia obat, hal ini dapat membahayakan kesehatan. Jamu seringkali
digunakan dalam jangka waktu lama dan dengan takaran dosis yang tidak dapat dipastikan.
Walaupun efek penyembuhannya segera terasa, tetapi akibat penggunaan bahan kimia obat
dengan dosis yang tidak pasti dapat menimbulkan efek samping mulai dari mual, diare,
pusing, sakit kepala, gangguan penglihatan, nyeri dada sampai kerusakan organ tubuh yang
serius seperti kerusakan hati, gagal ginjal, jantung bahkan sampai menyebabkan kematian
(BPOM RI, 2011).
Permasalahan obat tradisional (OT) mengandung BKO bukan hanya menjadi
permasalahan di Indonesia melainkan juga di seluruh dunia. Berdasarkan informasi melalui
post marketing alert system (PMAS), world health organization (WHO) dan US food and
drug adimistration (FDA) sebanyak 30 OT dan suplemen kesehatan (SK) mengandung
BKO serta bahan dilarang lainnya juga ditemukan di negara-negara ASEAN, Australia,
dan Amerika Serikat (BPOM, 2015). Badan POM mengeluarkan peringatan publik pada
tanggal 11 Desember 2016 terkait OT mengandung BKO yang dilarang untuk dikonsumsi
masyarakat. Sebanyak 39 OT mengandung BKO yang 28 di antaranya merupakan OT tidak
terdaftar di Badan POM dan 11 OT izin edarnya dibatalkan. Temuan produk OT yang
teridentifikasi mengandung BKO pada tahun 2016 didominasi oleh jamu pegal linu
(penghilang rasa sakit) dan antirematik (BPOM, 2016).
Hasil pengawasan dan pemeriksaan yang dilakukan BPOM, BKO yang terdapat
pada jamu pegal linu antara lain fenilbutazon, parasetamol, deksametason, natrium
diklofenak, dan piroksikam (BPOM, 2016). Jamu pegal linu merupakan jamu yang banyak
dikonsumsi oleh para pekerja berat. Jamu pegal linu dikonsumsi untuk mengurangi rasa
nyeri, menghilangkan pegal linu, capek, nyeri otot dan tulang, memperlancar peredaran
darah, memperkuat daya tahan tubuh, dan menghilangkan sakit seluruh badan.
Berdasarkan beberapa kasus tentang BKO dalam jamu pegal linu yang berhasil
diungkapkan BPOM, BKO yang paling sering ditemukan adalah parasetamol (Handoyo,
2014).
5
Parasetamol merupakan obat analgesik non narkotik dengan cara kerja
menghambat sintesis prostaglandin terutama di sistem syaraf pusat (SSP). Analgesik
adalah senyawa yang dalam dosis terapeutik meringankan atau menekan rasa nyeri, tanpa
memiliki kerja anestesi umum (Darsono, 2002).
Untuk menganalisis kandungan BKO Paracetamol dalam jamu pegal linu dapat
digunakan metode kromatografi lapis tipis dan Spektrofotometer UV-Visibel. Identifikasi
Rhodamin B dilakukan dengan cara kromatografi lapis tipis (KLT). Penggunaan
kromatografi lapis tipis untuk pemisahan 2 fase yang sederhana dan cepat dalam proses
pemisahan dan sensitif (Khopkar, 2002).
Kromatografi lapis tipis merupakan metode pemisahan campuran analit dengan
mengelusi analit melalui suatu lempeng kromatografi lalu melihat komponen/analit yang
terpisah dengan penyemprotan atau pengecatan. Dalam bentuk yang paling sederhana,
lempeng-lempeng KLT dapat disiapkan di laboratorium, lalu lempeng diletakkan dalam
wadah dengan ukuran yang sesuai, lalu kromatogram hasil dapat discanning secara visual
(Rohman, 2012: 329). Kromatografi lapis tipis dalam pelaksanaannya lebih mudah dan
lebih murah, demikian juga peralatan yang digunakan. Dalam kromatografi lapis tipis,
peralatan yang digunakan lebih sederhana dan dapat dikatakan bahwa hampir semua
laboratorium dapat melaksanakan setiap saat secara cepat (abdul, 2009: 45).
Penjerap/Fase diam pada KLT Dua sifat penjerap yang penting adalah ukuran
partikel dan fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penjerap berukuran kecil
dengan diameter partikel antara 10-30 µm. Semakin kecil ukuran ratarata partikel fase diam
dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam hal
efisiensinya dan resolusinya. Penjerap yang paling sering digunakan adalah silika dan
serbuk selulosa, sementara mekanisme sorpsi-desorpsi (perpindahan analit dari fase diam
ke fase gerak dan sebaliknya) yang utama pada KLT adalah partisi dan adsorpsi. Lapisan
tipis yang digunakan sebagai penjerap juga dapat dibuat dari silika yang telah dimodifikasi,
resin penukar ion, gel eksklusi, dan siklodestrin, yang digunakan untuk pemisahan kiral
(Rohman , 2012: 324).
Silika gel merupakan penjerap yang paling sering digunakan dalam studi KLT,
lempeng KLT silika gel yang beredar dipasaran mempunyai rata-rata ukuran partikel 10
µm dengan kisaran ukuran yang lebih sempit. Lempeng-lempeng KLT tersedia dengan
6
indikator fluorosen (bahan yang berflourosensi/berpendar), yang biasanya berupa seng
silikat atau fosfor yang diaktivasi oleh mangan(Mn), yang akan mengemisikan suatu
flourosensi hijau ketika diradiasi/disinari dengan lampu UV (lampu Hg) pada panjang
gelombang 254 nm. Senyawasenyawa yang mampu menjerap sinar UV akan muncul
sebagai bercak- 23 bercak hitam terhadap dasar yang berflourosensi hijau disebabkan oleh
adanya peredaman flourosensi (Rohman, 2012: 335-336).
Dalam KLT dan juga Kromatografi Kertas, hasil-hasil yang diperoleh digambarkan
dengan mencantumkan nilai Rf-nya yang merujuk pada migrasi relatif analit terhadap
ujung depan fase gerak atau eluen, dan nilai ini terkait dengan koefesien distribusi
komponen. Maka nilai Rf didefenisikan sebagai berikut :
Nilai Rf dapat digunakan sebagai cara untuk analisis kualitatif (Rohman, 2012: 331).
Spektrofotometri sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiri dari spektrometer
dan fotometer, spektrofotometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang
gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang
ditransmisikan atau yang diabsorpsi. Jadi spektrofotometer digunakan untuk mengukur
energi secara relatif jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan
sebagai fungsi dari panjang gelombang (Khopkar, 2008: 225).
Spektrofotometri UV-Vis merupakan metode yang digunakan untuk menguji
sejumlah cahaya yang diabsorpsi pada setiap panjang gelombang di daerah UV dan
Tampak. Dalam instrumen ini suatu sinar cahaya terpecah sebagian cahaya diarahkan
melalui sel transparan yang mengandung suatu larutan senyawa tetapi mengandung
pelarut. Ketika radiasi elektromagnetik dalam daerah UV-Vis melewati suatu senyawa
yang mengandung ikatan rangkap, sebagian dari radiasi biasanya diabsorpsi oleh senyawa.
Hanya beberapa radiasi yang diabsorpsi tergantung pada 31 panjang gelombang dari radiasi
dalam struktur senyawa (Mulja, 1995: 48 – 49). Pendeteksian senyawa dengan cara
sederhana menggunakan spektrofotometer ultraviolet dilakukan pada panjang gelombang
254 nm dan 356 nm. Radiasi senyawa pada panjang gelombang 254 nm menunjukkan
radiasi gelomang pendek, sedangkan pada panjang gelombang 356 nm menunjukkan
7
radiasi gelombang panjang. Bila senyawa menyerap sinar UV, maka akan tampak sebagai
bercak gelap pada latar belakang yang berflourosensi (Stahl, 1985: 3-18).
Prinsip penggunaan alat spektrofotometer UV-Visibel adalah melewatkan radiasi
melalui suatu larutan senyawa. Elektron-elektron pada ikatan di dalam molekul tereksitasi
sehingga menempati kuantum yang lebih tinggi, dan dalam prosesnya menyerap sejumlah
energi yang melewati larutan tersebut. Semakin longgar elektron tersebut ditahan di dalam
ikatan molekul, semakin panjang gelombang (energi lebih rendah) radiasi yang diserap
(Watson, 2010).
Besarnya penyerapan radiasi sebanding dengan jumlah molekul, sesuai dengan
hukum Lambeert-Beer menurut Watson (2010) dapat dilihat pada persamaan 1.
A=εBC
Keterangan :
A = Serapan (Absorbansi) (nm)
ε = Absorbtivitas molar (Nilai ekstensi)
B = Tebal tempat komponen (Tebal kurvet) (cm)
C = Konsentrasi komponen (yang dicari) (Watson, 2010).
Persamaan 1. Rumus Serapan Hukum Lambeert-Beer
Cairan pelarut yang digunakan untuk analisis menggunakan spektrofotometer UV-
Visibel memiliki syarat, yaitu tidak mengandung sistem ikatan rangkap terkonjugasi pada
struktur molekulnya dan tidak berwarna, tidak terjadi interaksi dengan molekul senyawa
yang dianalisis, serta kemurniannya harus tinggi (Mulja dan Suharman 1995).
Konfigurasi dasar setiap spektrofotometer visibel tersusun pada gambar 4.
SR M RS D A R
Keterangan :
SR = Sumber radiasi
M = Monokromator
RS = Ruang Sampel (kuvet)
D = Detektor
A = Amplifier (penguat sinyal)
R = Recorder (perekam)
8
VI. ALAT DAN BAHAN
a. Alat
No Nama Alat Alat Keterangan
9
4 Lempeng Sebagai zat penyerap,
Silica Gel pengering dan penopang
katalis.
10
8 Pipit Ukur Untuk memindahkan suatu
volume cairan dari satu
tempat ke tempat lain.
11
12. Labu Takar Digunakan untuk
mengukur larutan secara
spesifik dengan ketelitian
pengukuran yang sangat
tinggi. Alat ini biasa
digunakan untuk
mengencerkan larutan
b. Bahan
1. Sampel Jamu Pegal Linu A
2. Sampel Jamu Pegal Linu B
3. Sampel Jamu Pegal Linu C
4. Baku Paracetamol
5. Metanol
6. Aquades
7. Etanol
8. Kertas Saring Whatman 1
9. Amonia
10. Etil Asetat
11. Kloroform
12
VII. CARA KERJA (Skematis)
A. Uji kualitatif dengan metode kromatografi lapis tipis (BPOM RI, 1995)
13
2) Pembuatan larutan kontrol (pembanding)
Sari diuapkan di atas Filtrat diuapkan di atas penangas air sampai kerings
penangas air sampai kering
Cara pembuatannya sebagai berikut: 4,5 mL etil asetat, 5 mL etanol dan 2,5 mL
amonia diukur dan dicampur kemudian dimasukkan ke dalam chamber untuk
dijenuhkan
14
5) Persiapan fase diam
Plat KLT diaktifkan dengan cara pemanasan pada oven selama 30 menit pada
suhu 120°C
kemudan diberi garis dengan pensil dengan jarak 0,5 cm dari tepi atas dan 1 cm
dari tepi bawah
Skala masing-masing untuk tempat penotolan larutan uji adalah 1,5 cm.
15
3) Pembuatan larutan uji
5) Pembuatan kurva
16
VIII. DATA DAN ANALISIS
Metode Analisis : Kuantitatif dan Kualitatif
Sampel :
1. Sampel Jamu Pegal Linu A
2. Sampel Jamu Pegal Linu B
3. Sampel Jamu Pegal Linu C
4. Baku Paracetamol
I. Identifikasi Kualitatif
Jarak rambat fase gerak = 5 cm
Keterangan Spot Jarak Rambat Penampakan pada Penampakan pada
Paracetamol
17
Jamu C 1 2,5 Berwarna jingga
18
2. Penentuan waktu pendiaman/Operating Time
Menit Ke- Absorbansi
1 0,450
2 0,451
3 0,451
4 0,452
5 0,452
6 0,452
7 0,453
8 0,453
9 0,453
10 0,452
11 0,452
12 0,452
13 0,451
14 0,451
15 0,452
16 0,451
17 0,453
18 0,452
19 0,452
20 0,453
Operating time
21 0,453
22 0,453
23 0,453
24 0,453
25 0,453
26 0,453
27 0,453
28 0,453
29 0,453
30 0,453
19
Kesimpulan : Operating Time yang didapat dimulai pada menit ke-20 yaitu dengan
absorbansi sebesar 0,453 yang stabil hingga menit ke-30.
3. Data Kurva Kalibrasi
Konsentrasi Absorbansi
2 ppm 0,360
4 ppm 0,473
6 ppm 0,590
8 ppm 0,695
10 ppm 0,870
12 ppm 0,949
0,590
0,600 0,473
0,360 Series1
0,400
Linear (Series1)
0,200
0,000
0 5 10 15
Konsentrasi Baku Paracetamol (ppm)
λ max = 244,8 nm
OT = 20 menit
Sehingga didapat regresi linear, sebagai berikut :
a = 0,2321
b = 0,0606
r = 0,9967
20
labu takar 10 mL, di tambahkan etanol sampai tanda batas, kemudian dibaca
absorbansinya, didapatkan A = 0,543. Hitung kadar Paracetamol dalam sampel C.
Perhitungan kadar :
Diketahui :
y = 0,543
y = bx + a
y : absorbansi sampel
x : kadar yang dicari
b dan a : didapat dari hasil regresi linear baku Rhodamin B
Sehingga diperoleh :
0,543 = 0,0606 x + 0,2321
0,0606 x = 0,3109
Absorbansi = 0,543
0,3109
x = 0,0606 = 5,1304 ppm ̴ 5,1304 µl/mL
= 513,04 / 50.000
= 1,0261 %
Dari data hasil praktikum analisis BKO dalam jamu, pada kelompok 5 gelombang 3
didapatkan hasil identifikasi kualitatif menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis yakni
pada sampel Jamu C spot 2 dihasilkan Rf sebesar 0,64 dimana Rf ini mendekati Rf dari baku
paracetamol dengan nilai 0,68. Hal ini dapat dikatakan bahwa sampel jamu C positif
mengandung paracetamol, sehingga kemudian diukur absorbansi nya pada panjang gelombang
maks 244,8 nm dan Operating Time pada menit ke 20 serta didapatkan data absorbansi pada
21
sampel C sebesar 0,543. Data absorbansi ini akan dimasukkan ke rumus regresi liniear y=bx+a
dan didapatkan hasil x yaitu 5,1304 ppm dengan % kadar sebesar 1,0261%.
IX. PEMBAHASAN
Praktikum Analisa Farmasi yang dilaksanakan pada Hari Jum’at tanggal 20 Maret
2020, kelompok praktikum gelombang C1 dan C2 melakukan praktikum tentang Analisis
Kualitatif dan Kuantitatif yakni Identifikasi BKO Paracetamol pada Jamu Pegal Linu yang
dilakukan secara Kromatografi Lapis Tipis dan Spektrofotometri UV-Visibel.
Aspek keamanan merupakan persyaratan mutlak yang harus dipenuhi oleh suatu jamu,
karena pemerintah telah mempersyaratkan ketentuan tentang keamanan jamu, sesuai Peraturan
Menteri Kesehatan No. 007 Tahun 2012 tentang registrasi obat tradisional, bahwa jamu yang
beredar di masyarakat harus memenuhi berbagai persyaratan, antara lain menggunakan bahan
yang memenuhi syarat keamanan dan mutu, berkhasiat yang dibuktikan secara empiris, turun
menurun dan atau secara ilmiah, begitu pula dengan proses produksinya harus memenuhi
persyaratan cara pembuatan obat tradisional yang baik (CPOTB) dan tidak boleh mengandung
bahan-bahan kimia obat (BKO), narkotika atau psikotropika dan bahan lain yang berdasarkan
pertimbangan kesehatan atau berdasarkan penelitian dapat membahayakan kesehatan.
Sehingga secara peraturan seharusnya jamu pegal linu yang beredar di pasaran tidak boleh
mengandung sedikitpun Bahan Kima Obat (BKO). Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui ada tidaknya kandungan BKO yakni paracetamol pada jamu pegal linu yang
beredar di pasaran yang dilakukan oleh kelompok praktikum C gelombang 1 dan 2.
Pada praktikum kali ini dilakukan analisis kadar Bahan Kimia Obat (BKO) alam sampel
jamu pegal linu yang beredar di daerah Ungaran dan sekitarnya dengan tujuan untuk
menganalisis kandungan parasetamol (BKO) pada sampel pegal linu secara kualitatif dengan
metode Kromatografi Lapis Tipis dan kuantitatif dengan metode spektrofotometri UV-Vis.
Kromatografi Lapis Tipis bekerja dengan cara pemisahan senyawa berdasarkan adsorbsi dan
koefisien partisi. Pelarut yang digunakan bersifat polar yang akan berikatan dengan senyawa
yang juga bersifat polar begitu juga sebaliknya. Maka apabila semakin dekat kepolaran antar
senyawa dengan eluen maka senyawa akan semakin terbawa oleh fase gerak. Sedangkan
spektrofotometri UV-Vis merupakan analisis dengan menggunakan campuran
spektrofotometri UV dan Visibe. Pada praktikum kali ini dilakukan analisa pada sampel kode
A, B dan C. Jamu pegal linu merupakan salah satu produk obat tradisional yang banyak
diminati oleh masyarakat. Jamu pegel linu ini diyakini dapat menghilangkan pegel linu, capek,
nyeri otot dan tulang, memperlancar peredaran darah, memperkuat daya tahan tubuh dan
22
menghilangkan sakit seluruh badan. Banyak industri obat 3 tradisional maupun industri kecil
obat tradisional yang mengembangkan jamu ini dengan ramuan-ramuan tertentu.
Sebelum dilakukan analisis kuantitatif Parasetamol (BKO) pada sampel terlebih dahulu
dilakukan analisis kualitatif yakni identifikasi untuk mengetahui ada tidaknya Parasetamol
pada sampel A, B dan C yang diteliti dengan menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis.
Untuk analisis kualitatif pertama-tama yang dilakukan adalah pembuatan larutan baku induk
parasetamol, ditimbang parasetamol seksama 100 mg dilarutkan dalam etanol yang berfungsi
sebagai pelarut hingga volume tepat 100 mL (1000 ppm). Larutan induk merupakan larutan
baku kimia yang dibuat dengan kadar tinggi dan akan digunakan untuk membuat larutan baku
dengan kadar lebih rendah.
Setelah selesai membuat larutan induk, selanjutnya menyiapkan fase gerak yakni
berupa etil asetat : etanol : amonia dengan perbandingan 85:10:5. Jarak fase gerak yang
digunakan 5 cm. Kemudian sampel jamu A, B, dan C serta baku paracetamol diidentifikasi
dengan menotolkan masing-masing larutan tersebut pada plat KLT dan dielusi dengan
menggunakan eluen (Fase gerak) tersebut. Kemudian noda hasil KLT diamati secara visual dan
dihitung nilai Rfnya. Dari hasil didapatkan baku parasetamol Rf = 0,68 dengan warna noda
berwarna putih di lampu UV 366 nm sedangkan noda berwarna hitam di lampu UV 254 nm;
Jamu A spot 1 Rf = 0,54 dengan noda berwarna jingga di lampu UV 366 nm; Jamu A spot 2
Rf = 0,82 dengan noda berwarna kuning di lampu UV 366 nm; Jamu B spot 1 Rf = 0,4 dengan
noda berwarna jingga di lampu UV 366; Jamu B spot 2 Rf = 0,58 dengan noda berwarna biru
hijau di lampu UV 366 nm; Jamu B spot 3 Rf = 0,82 dengan noda berwarna kuning di lampu
UV 366 nm; Jamu C spot 1 Rf = 0,5 dengan noda berwarna jingga di lampu UV 366 nm; Jamu
C spot 2 Rf = 0,64 dengan noda berwarna putih di lampu UV 366 nm dan noda berwarna hitam
di lampu UV 254 nm; Jamu C spot 3 Rf = 0,84 dengan noda berwarna kuning di lampu UV
366 nm. Pada praktikum ini didapatkan hasil identifikasi kualitatif menggunakan metode
Kromatografi Lapis Tipis yakni pada sampel Jamu C spot 2 dihasilkan Rf sebesar 0,64 dimana
Rf ini mendekati Rf dari baku paracetamol dengan nilai 0,68. Selain Rf yang mendekati, warna
bercak noda yang dihasilkan sampel jamu C spot 2 dengan baku paracetamol juga sama yakni
berwarna hitam pada lampu UV 254 nm dan berwarna putih pada lampu UV 366 nm. Hal ini
dapat dikatakan bahwa sampel jamu C positif mengandung paracetamol.
Kemudian dibuat larutan baku seri yang dibuat dengan konsentrasi 2, 4, 6, 8 dan 10
ppm dengan cara menggunakan dari larutan baku induk. Konsentrasi larutan merupakan cara
untuk menyatakan hubungan kuantitatif antara zat terlarut dan pelarut. Selanjutnya dibuat
larutan uji, sampel jamu pegal linu ditimbang sebanyak 500 mg dan dimasukkan ke dalam
23
erlenmeyer yang ditambahkan 10 ml etanol yang berfungsi sebagai pelarut, dikocok selama 30
menit kemudian disaring. Penyaringan dilakukan untuk memisahkan zat warna dari senyawa-
senyawa pengotor yang ada dalam sampel jamu pegal linu. Kemudian sari diuapkan di atas
penangas air sampai kering dilarutkan dengan 5 ml etanol, kemudian diencerkan sebanyak 20
kali.
Uji kuantitatif dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kadar BKO Paracetamol
yang terdapat dalam sampel jamu pegal linu yang nantinya akan dinyatakan baik dalam ppm
maupun dalam persen (%) kadar. Uji kuantitatif dilakukan menggunakan metode
spektrofotometri UV-Vis. Pengukuran absorbansi dengan menggunakan spektrofotometer UV-
Visibel, hanya dapat dilakukan pada senyawa yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi atau
disebut juga dengan gugus kromofor (Williams dan Fleming, 2014). Senyawa dengan gugus
kromofor akan mengabsorbsi sinar UV dan sinar tampak jika diikat oleh senyawa bukan
pengabsorbsi atau disebut juga gugus auksokrom. Contoh gugus auksokrom adalah –OH,-
NH2,-NO, dan – X. Struktur dari Paracetamol diketahui mengandung gugus kromofor dan
gugus auksokrom sehingga dapat diukur absorbansi nya menggunakan alat spektrofotometer
UV-Vis.
24
panjang gelombang maksimum dan dibuat persamaan regresinya. Pembuatan kurva bertujuan
untuk mendapatkan hasil analsiis yang lebih akurat. Kemudian dibuat kurva yang merupakan
hubungan antara absorbansi (y) dengan konsentrasi (x). Didapatkan hasil kurva parasetamol
dan grafik sebagai berikut :
0,360
2
0,473
4
0,590
6
0,695
8
0,870
10
0,949
12
Terakhir dilakukan analisis kuantitatif pengukuran larutan uji, larutan uji diukur
serapannya pada panjang gelombang maksimum, lalu kadar dalam sampel dihitung
berdasarkan persamaan garis regresinya. Pada pengukuran serapan panjang gelombang
maksimum dan grafik hubungan konsentrasi larutan kurva baku parasetamol diperoleh nilai
a, b dan r yang digunakan untuk menghitung kadae sampel. regresi linearitas (r) = 0,9967
yang mendekati 1, jika koefisien korelasi semakin mendekati 1 maka data tersebut dikatakan
semakin linier. Hal ini sesuai dengan Azwar (2000), yang menyatakan jika koefisien
korelasi semakin mendekati 1 maka data tersebut dikatakan semakin linier. Nilai (r) yang
mendekati 1 membuktikan bahwa persamaan tersebut adalah linear dan simpangan baku
yang kecil menunjukkan ketetapan yang cukup tinggi. Selanjutnya di dapatkan nilai (a) =
0,2321, dan nilai (b) = 0,0606 yang kemudian dihitung presentase kadar pada sampel C.
25
Grafik Hubungan Antara Konsentrasi dengan
Absorbansi Baku Paracetamol
1,200
0,949 y = 0,0606x + 0,2321
1,000 0,870 R² = 0,9967
0,800 0,695
Absoransi
0,590
0,600 0,473
0,360 Series1
0,400
Linear (Series1)
0,200
0,000
0 5 10 15
Konsentrasi (ppm)
Grafik hubungan antara konsentrasi larutan kurva baku Paracetamol dengan absorbansi
dari baku Paracetamol akan didapat nilai a, b, dan r yang akan digunakan untuk menghitung
kadar sampel. Pada pengukuran larutan kurva baku Paracetamol dengan λ max (panjang
gelombang maksimum) : 244,80 nm dan OT (Operating Time) 20 menit diperoleh hasil regresi
linear dari hasil absorbansi yakni nilai a = 0,2321 ; b = 0,0606; r = 0,9967.
Hasil preparasi 5 gram sampel Jamu C dalam 100 mL Etanol, diambil sebanyak 1 mL
dimasukkan dalam labu takar 10 mL ditambahkan etanol sampai tanda batas. kemudian larutan
tersebut diencerkan lagi diambil sebanyak 1 mL dimasukkan dalam labu takar 10mL, di
tambahkan etanol sampai tanda batas, kemudian dibaca absorbansinya, didapatkan absorbansi
= 0,543. Pada proses pengenceran larutan tersebut didapatkan pengenceran sebanyak 100x. Hal
ini didapatkan dari perhitungan mencari kadar 5 gram dalam 100 mL dengan menggunakan
rumus pengenceran V1.N1=V2.N2 yang didapatkan kadar 50.000 ppm kemudian dipipet 1 mL
dan dihitung kadar yang diperoleh 5000 ppm, kemudian dipipet lagi 1 mL dan didapatkan kadar
500 ppm. Sehingga pengencerannya sebanyak 100 x pengenceran.
Dari regresi linear yang didapat dengan mengukur absorbansi seri konsentrasi kurva
baku, dilakukan perhitungan dengan persamaan y = bx + a dengan memasukkan y = absorbansi
dari sampel C yakni 0,543 dan didapat x = 5,1304 ppm atau 5,1304 µl/mL. Kemudian dari data
tersebut dapat dihitung persen (%) kadar sampel jamu C dan diperoleh kadar sebesar 1,0261%.
Hal ini berarti pada sampel C yang mengandung parasetamol berdasarkan hasil identifikasi
baik kualitatif maupun kuantitatif yang telah dilakukan pada ke tiga sampel A, B, dan C
sehingga dapat dikatakan bahwa yang positif mengandung parasetamol yaitu sampel C.
26
X. KESIMPULAN
Dari hasil praktikum yang dilakukan oleh kelompok 5 C2 dapat disimpulkan bahwa :
1. Hasil analisa kualitatif yang dilakukan dengan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
dihasilkan sampel jamu pegal linu C spot 2 yang positif mengandung Paracetamol
dengan nilai Rf yakni 0,64 dimana mendekati Rf Paracetamol yakni sebesar 0,68
dengan Noda berwarna Putih dan berpendar di lampu UV yang sama yakni 366 nm.
2. Hasil analisa kuantitatif yang dilakukan dengan metode Spektrofotometri UV-Vis
dihasilkan kadar Paracetamol dalam sampel jamu pegal linu C yakni sebesar 5,1304
ppm atau 5,1304 µl/mL yang kemudian dihitung persentase kadar nya dan diperoleh
hasil sebesar 1,0261 %.
27
XI. DAFTAR PUSTAKA
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2016. Bahaya Bahan Kimia Obat
(BKO) yang Dibubuhkan ke Dalam Obat Tradisional (Jamu). Diakses dari
www.pom.go.id pada tanggal 10 Desember 2017.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2011. Keputusan Kepala BPOM
Nomor Hk.00.05.41.1384 tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat
Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka. Jakarta.
Handoyo K. 2014. Jamu Sakti Mengobati Berbagai Penyakit. Jawa Timur: Dunia Sehat.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Pembuatan Jamu Segar Yang Baik
dan Benar. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Paryono AK. 2014. Kebiasaan Konsumsi Jamu Untuk Menjaga Kesehatan Tubuh pada Saat
Hamil dan Setelah Melahirkan di Desa Kajoran Klaten Selatan. Jurnal Terpadu Ilmu
Kesehatan. Mei 2014; 3(1): 64-72.
PERMENKES RI, 2010. No.1 Tentang Saintifikasi Jamu Dalam Penelitian Berbasis Pelayanan
Kesehatan. Jakarta: Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Williams, H.D., Fleming, I., 2014. Metode Spektroskopi dalam Kimia Organik. Penerbit Buku
Kedokteran, EGC. Jakarta. halaman 1-14; 29.
28
XII. LAMPIRAN
29
Gambar 2. Data Hasil Panjang Gelomang Maksimal dan Operating Time
30
Gambar 3. Data Hasil Kurva Kalibrasi
31